HUKUM PERKAWINAN
Nama : Intan Oktavia Permata Sari
Nim : EAA 118 019
PENDAHULUAN
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi
golongan-golongan tertentu. Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi bumi putra
yang beragama Islam. Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang
perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam
pelaksanaan akad nikah perkawinannya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam
yang sudah diresipil dalam hukum adat berdasarkan teori recepti yang dikemukakan
oleh Hurgronye, Ter Haar, dan Vollen Hoven.
A. Larangan Perkawinan
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
Di dalam hukum islam juga mengenal larangan perkawinan yang dalam fiqih
disebut dengan mahram ( orang yang haram dinikahi ) . di dalam masyarakat istilah ini
sering disebut dengan muhrim sebuah istilah yang tidak terlalu tepat. Muhrim, kalaupun
kata ini ingin digunakan maksudnya adalah suami yang menyebabkan istriny tidak
boleh kawin dengan pria lain selama masih terikat dalam sebuah perkawinan atau masih
berada dalam „ iddah talak raj‟i „. Ulama‟ fiqih telah membagi mahram ini ke dalam 2
macam yang pertama mahram mu‟aqqat ( larangan untuk waktu tertentu ) dan yang
kedua mahram mu‟abad (larangan untuk selamanya ).
Mengacu dalam status hukum yang kuat, posisi yang cukup strategis dan luhur
tujuan perkawinan, maka Hukum Islam mengatur semua aspek dalam perkawinan yang
diorientasikan untuk menjaga eksistensi dan keharmonisannya. Aspek-aspek itu
mencakup ranah preventif (pencegahan perkawinan), agar mawaddah wa ar-rahmah
sebagai tujuan perkawinan tetap terjaga optimal dan tidak terlepas.
1. Nikah Mutah
2. Nikah Sigar
3. Nikah Muhallil
5. Melakukan perkawinan dalam masa iddah yaitu masa tunggu bagi seorang
perempuan yang cerai dari suaminya untuk dapat melakukan perkawinan lagi, hal ini
agar dapat diketahui apakah perempuan ini mengandung atau tidak. Jika perempuan
itu mengandung, maka ia diperbolehkan kawin lagi setelah anaknya lahir; apabila ia
tidak mengandung, maka ia harus menunggu selama 4 bulan 10 hari jika bercerai
karena suami meninggal dunia atau selama tiga kali suci dari haid jika dikarenakan
cerai hidup.
B. PENCEGAHAN PERKAWINAN
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab III
“PENCEGAHAN PERKAWINAN” Pasal 13 dinyatakan bahwa: perkawinan dapat
dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah segala hal yang berkaitan
dengan rukun dan syarat sahnya perkawinan serta persyaratan yang diatur oleh undang-
undang, salah satunya adalah harus memenuhi semua unsur legal formal dari Undang-
Undang No.1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974.
1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah satu calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) Pasal ini juga berhak mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
menyebabkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai
hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) Pasal ini.
Perkawinan yang harus dicegah, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
adalah perkawinan yang menyimpang dari undang-undang yang berlaku. Di antara
perkawinan yang marak dilakukan adalah: perkawinan di bawah tangan, perkawinan
agama, perkawinan sirri, perkawinan mut’ah/kawin kontrak, dan sejenisnya.
Nikah sirri, meskipun hukumnya boleh dan sah menurut pendapat para fuqoha
atau fiqh, namun bertentangan dengan undang-undang, maka perkawinan tersebut harus
dicegah. Nikah sirri sering dilakukan dengan berbagai alasan, di antaranya adalah:
3. Kedua pasangan telah berbuat zina dan mengaku telah nikah sirri
Secara sosiologis perkawinan secara sirri tidak berbeda dengan kumpul kebo
karena hidup bersama yang dilakukan oleh kedua pasangan suami istri yang ilegal
tersebut tidak memperdulikan hukum sosial yang berlaku. Padahal dalam ajaran Islam,
setiap perkawinan sebaiknya diumumkan agar masyarakat dan yang terpenting saudara
dekat, para kerabat mengetahui secara pasti dan meyakinkan sehingga tidak
menimbulkan fitnah. Akan tetapi, jika pergaulan antara laki-laki dan perempuan
terlampau melewati batas, dan keduanya takut berbuat zina, nikah sirri secara teologis
merupakan upaya menyelamatkan diri dari azab Allah. Oleh sebab itu, dapat dilakukan
dengan pertimbangan untuk menghindarkan diri dari kerusakan. Dalam kaidah ushul
fiqh dinyatakan “dar-u al-mafasid muqadamun min jalb al-mashalih” artinya
meniadakan kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis
dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu), jika tidak ada dua oang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat agar tidak menimbulkan
keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu
tidak menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah kepada Allah,
Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S al Baqarah: 282).
1. Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi
umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, maka perkawinan itu dapat
dicegah untuk dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya
sampai umur calon mempelai memenuhi umur yang ditetapkan undang-undang.
4. Pelanggaran terhadap pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau istri yang telah
kawin cerai dua kali tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya
sepanjang menurut agamanya (hokum) mengatur lain.
Tata cara pencegahan perkawinan ini terdapat pada pasal 17 UU Perkawinan yang
bunyinya:
C. Pembatalan Perkawinan
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 27:
Pasal 28:
b) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan
lain yang lebih dahulu
c) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Suatu perkawinan tidak dapat dinyatakan batal begitu saja, kecuali ada yang
mengajukan pembatalannya melalui pengadilan. Oleh sebab itu, perkawinan yang telah
berlangsung meskipun menyimpang dari undang-undang, tetap sah menurut hukum
Islam. Menurut para fuqoha dapat dilegalisasi oleh pengajuan buti-bukti surat
keterangan tentang telah terjadinya perkawinan untuk diaktakan oleh pegawai pencatat
nikah. Jika perkawinan yang dmaksudkan diajukan pembatalannya oleh pihak-pihak
yang dinyatakan memiliki wewenang dan diputuskan oleh pengadilan tentang batalnya
perkawinan tersebut, kedua mempelai dapat melakukan perkawinan ulang sebagaimana
perkawinan yang harus mengikuti prosedur yang berlaku dan dibenarkan oleh undang-
undang.
Jika ditinjau dari perspektif KHI, di dalam pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan
batal (batal demi hukum) apabila :
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu dan ayah
tiri.
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau
paman sesusuan.
d. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau
istri-istrinya
2. Perempuan yang dikawini ternyata dikemudian diketahui masih menjadi istri pria
yang mafqud
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.
Pasal 72
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau
istri.
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74 ayat 2
Pasal 75 KHI
1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad.
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya.