Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

HUKUM PERKAWINAN
Nama : Intan Oktavia Permata Sari
Nim : EAA 118 019
PENDAHULUAN

Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi
golongan-golongan tertentu. Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi bumi putra
yang beragama Islam. Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang
perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam
pelaksanaan akad nikah perkawinannya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam
yang sudah diresipil dalam hukum adat berdasarkan teori recepti yang dikemukakan
oleh Hurgronye, Ter Haar, dan Vollen Hoven.

Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada “BAB 1


DASAR PERKAWINAN” pasal 1 dinyatakan bahwa: “perkawinan adalah ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Anonimous, 2004: 8). Perkawinan bukan hanya
mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, melainkan
mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat
membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Untuk mewujudkan
cita-cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada
ajaran-ajaran Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sifatnya global, tetapi
perkawinan berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan dinyatakan sah jika
menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi hukum dan syarat-syaratnya.

LARANGAN, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan menurut UU Perkawinan terdapat pada pasal 8 yaitu:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;


b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.

Di dalam hukum islam juga mengenal larangan perkawinan yang dalam fiqih
disebut dengan mahram ( orang yang haram dinikahi ) . di dalam masyarakat istilah ini
sering disebut dengan muhrim sebuah istilah yang tidak terlalu tepat. Muhrim, kalaupun
kata ini ingin digunakan maksudnya adalah suami yang menyebabkan istriny tidak
boleh kawin dengan pria lain selama masih terikat dalam sebuah perkawinan atau masih
berada dalam „ iddah talak raj‟i „. Ulama‟ fiqih telah membagi mahram ini ke dalam 2
macam yang pertama mahram mu‟aqqat ( larangan untuk waktu tertentu ) dan yang
kedua mahram mu‟abad (larangan untuk selamanya ).

Mengacu dalam status hukum yang kuat, posisi yang cukup strategis dan luhur
tujuan perkawinan, maka Hukum Islam mengatur semua aspek dalam perkawinan yang
diorientasikan untuk menjaga eksistensi dan keharmonisannya. Aspek-aspek itu
mencakup ranah preventif (pencegahan perkawinan), agar mawaddah wa ar-rahmah
sebagai tujuan perkawinan tetap terjaga optimal dan tidak terlepas.

Mengenai upaya preventif, di dalam hukum perkawinan islam(fiqih al-


munakahah) dikenal adanya beberapa perkawinan yang dilarang oleh syara‟. Larangan
perkawinan dalam hukum islam ini semata untuk menghindari madharat yang akan
terjadi jika perkawinan tetap dilaksanakan. Adapun jenis-jenis perkawinan yang
dilarang dalam hukum perkawinan islam antara lain adalah sebagai berikut:

1. Nikah Mutah
2. Nikah Sigar

3. Nikah Muhallil

4. Nikah Pinangan Atas Pinangan

5. Melakukan perkawinan dalam masa iddah yaitu masa tunggu bagi seorang
perempuan yang cerai dari suaminya untuk dapat melakukan perkawinan lagi, hal ini
agar dapat diketahui apakah perempuan ini mengandung atau tidak. Jika perempuan
itu mengandung, maka ia diperbolehkan kawin lagi setelah anaknya lahir; apabila ia
tidak mengandung, maka ia harus menunggu selama 4 bulan 10 hari jika bercerai
karena suami meninggal dunia atau selama tiga kali suci dari haid jika dikarenakan
cerai hidup.

B. PENCEGAHAN PERKAWINAN

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab III
“PENCEGAHAN PERKAWINAN” Pasal 13 dinyatakan bahwa: perkawinan dapat
dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah segala hal yang berkaitan
dengan rukun dan syarat sahnya perkawinan serta persyaratan yang diatur oleh undang-
undang, salah satunya adalah harus memenuhi semua unsur legal formal dari Undang-
Undang No.1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974.

Di dalam Pasal 14 dikemukakan sebagai berikut:

1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah satu calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) Pasal ini juga berhak mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
menyebabkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai
hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) Pasal ini.
Perkawinan yang harus dicegah, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
adalah perkawinan yang menyimpang dari undang-undang yang berlaku. Di antara
perkawinan yang marak dilakukan adalah: perkawinan di bawah tangan, perkawinan
agama, perkawinan sirri, perkawinan mut’ah/kawin kontrak, dan sejenisnya.

Nikah sirri, meskipun hukumnya boleh dan sah menurut pendapat para fuqoha
atau fiqh, namun bertentangan dengan undang-undang, maka perkawinan tersebut harus
dicegah. Nikah sirri sering dilakukan dengan berbagai alasan, di antaranya adalah:

1. Kedua pasangan takut berbuat zina

2. Kedua pasangan tidak mau berterus terang kepada kedua orangtuanya

3. Kedua pasangan telah berbuat zina dan mengaku telah nikah sirri

4. Kedua pasangan tidak direstui oleh satu atau kedua orangtuanya

5. Kedua pasangan sering berganti-ganti pasangan

6. Kedua pasangan terlalu menyepelekan syariat Islam dan undang-undang yang


berlaku

Secara sosiologis perkawinan secara sirri tidak berbeda dengan kumpul kebo
karena hidup bersama yang dilakukan oleh kedua pasangan suami istri yang ilegal
tersebut tidak memperdulikan hukum sosial yang berlaku. Padahal dalam ajaran Islam,
setiap perkawinan sebaiknya diumumkan agar masyarakat dan yang terpenting saudara
dekat, para kerabat mengetahui secara pasti dan meyakinkan sehingga tidak
menimbulkan fitnah. Akan tetapi, jika pergaulan antara laki-laki dan perempuan
terlampau melewati batas, dan keduanya takut berbuat zina, nikah sirri secara teologis
merupakan upaya menyelamatkan diri dari azab Allah. Oleh sebab itu, dapat dilakukan
dengan pertimbangan untuk menghindarkan diri dari kerusakan. Dalam kaidah ushul
fiqh dinyatakan “dar-u al-mafasid muqadamun min jalb al-mashalih” artinya
meniadakan kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.

Menurut Ahmad Rofiq, pencatatan perkawinan bagi sebagian masyarakat


tampaknya masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini terjadi akibat pemahaman
yang fiqh sentris, yang dalam kitab fiqh hampir tidak pernah dibicarakan, sejalan
dengan situasi dan kondisi waktu kitab fiqh itu ditulis. Namun apabila kita coba
perhatikan ayat al Mudayanah (Q.S al Baqarah: 282) yang berbunyi:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis
dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu), jika tidak ada dua oang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat agar tidak menimbulkan
keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu
tidak menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah kepada Allah,
Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S al Baqarah: 282).

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian,


yang dalam perkawinan menjadi rukunnya tetapi sangat disayangkan, tidak ada sumber-
sumber fiqh yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan
membuktikannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan dengan ayat di atas. Pemerintah
mengatur pencatatan dalam pernikahan adalah sesuai dengan epistimologi hukum Islam
dengan metode istishlah atau maslahat. Meskipun secara formal tidak ada ketentuan
ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan, kandungan maslahatnya sejalan
dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
Berdasarkan Pasal 13 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 suatu perkawinan dapat
dicegah berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.

Syarat-syarat perkawinan yang dapat dijadikan alasan untuk adanya pencegahan


perkawinan disebutkan dalam Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974, yaitu:

1. Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi
umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, maka perkawinan itu dapat
dicegah untuk dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya
sampai umur calon mempelai memenuhi umur yang ditetapkan undang-undang.

2. Melanggar pasal 8, yaitu mengenai larangan perkawinan. Misalnya saja antara


kedua calon mempelai tersebut satu sama lain mempunyai hubungan darah dalam
satu garis keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas berhubungan darah
semenda, satu susuan ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang untuk
melangsungkan perkawinan.

Dalam hal ini perkawinan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bahkan dapat


dicegahkan pelaksanaannya untuk selama-lamanya misalnya perkawinan yang
akan dilakukan oleh kakak-adik, bapak dengan anak kandung dan lain-lain.

3. Pelanggaran terhadap pasal 9 yaitu mengenai seseorang yang masih terikat


perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali apabila memenuhi
pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 tentang syarat-syarat untuk seorang suami yang
diperbolehkan berpoligami.

4. Pelanggaran terhadap pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau istri yang telah
kawin cerai dua kali tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya
sepanjang menurut agamanya (hokum) mengatur lain.

5. Pelanggaran terhadap pasal 12 yaitu melanggar syarat formal untuk melaksanakan


perkawinan yaitu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu dimulai
dengan pemberitahuan, penelitian dan pengumuman (lihat Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975).
Sedangkan yang boleh melakukan pencegahan berlangsungnya suatu perkawinan
adalah:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah


2. Saudara
3. Wali nikah
4. Wali
5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.

Berdasarkan pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 pegawai pencatat


perkawinan tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan
apabila dia mengetahui adanya pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang ini.

Bahkan pegawai pencatat perkawinan berhak dan berkewajiban untuk menolak


melangsungkan suatu perkawinan apabila benar-benar adanya pelanggaran terhadap
Undang-Undang ini (Pasal 21 ayat (1)). Jadi pencegahan perkawinan itu dilakukan
sebelum perkawinan dilangsungkan. Akibat hokum dari pencegahan perkawinan ini
adalah adanya penangguhan pelaksanaan perkawinan bahkan menolak untuk selama-
lamanya suatu perkawinan dilangsungkan.

Tata cara pencegahan perkawinan ini terdapat pada pasal 17 UU Perkawinan yang
bunyinya:

“Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum


dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada
pegawai pencatat perkawinan.”

C. Pembatalan Perkawinan

Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada “BAB IV


BATALNYA PERKAWINAN” Pasal 22 dikatakan bahwa: Perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah persyaratan usia kedua calon
mempelai, persyaratan kerelaan kedua calon mempelai, persyaratan izin orangtua kedua
mempelai, persyaratan administrasi, dan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya
berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang
No.9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan


perkawinan yaitu:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri

2. Suami atau istri

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan

4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 27:

Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan


apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum

Pasal 28:

1. Batalnya suatu perkawina dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai


kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

2. Keputusan tidak berlaku surut kepada:

a) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

b) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan
lain yang lebih dahulu
c) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Suatu perkawinan tidak dapat dinyatakan batal begitu saja, kecuali ada yang
mengajukan pembatalannya melalui pengadilan. Oleh sebab itu, perkawinan yang telah
berlangsung meskipun menyimpang dari undang-undang, tetap sah menurut hukum
Islam. Menurut para fuqoha dapat dilegalisasi oleh pengajuan buti-bukti surat
keterangan tentang telah terjadinya perkawinan untuk diaktakan oleh pegawai pencatat
nikah. Jika perkawinan yang dmaksudkan diajukan pembatalannya oleh pihak-pihak
yang dinyatakan memiliki wewenang dan diputuskan oleh pengadilan tentang batalnya
perkawinan tersebut, kedua mempelai dapat melakukan perkawinan ulang sebagaimana
perkawinan yang harus mengikuti prosedur yang berlaku dan dibenarkan oleh undang-
undang.

Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan atau kontrak keperdataan


biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah, sebagaimana dalam KHI ditegaskan bahwa
perkawinan sebagai akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan
pelaksanaannya merupakan ibadah sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

Dalam KHI dijelaskan bahwa perkawinan dilakukan bertujuan untuk mewujudkan


kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan demikian,
perlu adanya aturan dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan perkawinan yang
dimaksud tercapai. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa rukun dalam suatu
perbuatan harus terpenuhi demi terlaksananya suatu perbuatan. Rukun adalah sesuatu
yang harus ada untuk sahnya suatu perbuatan dan menjadi bagian dari perbuatan
tersebut. Dalam KHI rukun nikah terdapat dalam bab IV bagian kesatu Pasal 14 yang
berisi: “untuk melaksanakan perkawinan harus ada: (a) calon suami, (b) calon istri, (c)
wali nikah, (d) dua orang saksi, (e) ijab dan qabul”. Rukun nikah yang terakhir, yaitu
ijab dan qabul merupakan rukun yang paling pokok, karena merupakan simbol keridaan
laki-laki dan perempuan untuk mengikat hidup berkeluarga. Selain ijab dan qabul,
keberadaan wali nikah pun sangat berperan penting. Walau Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan tidak mengatur masalah wali nikah secara eksplisit, hanya
dalam Pasal 26 Ayat (1) dinyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka
Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau
perkawinan yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya
oleh pihak keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami istri. Secara implisit bunyi
Pasal 26 Undang-Undang No.1 tahun 1974 ini mengisyaratkan bahwa perkawinan yang
tidak dilaksanakan oleh wali, maka perkawinan tersebut batal atau dapat dibatalkan.
Jadi, ketentuan ini dapat dikembalikan kepada Pasal 26 Undang-Undang No.2 tahun
1974 tentang Perkawinan, dimana ditegaskan bahwa ketentuan hukum agama adalah
menjadi penentu dalam sah tidaknya suatu akad perkawinan. Ketentuan ini dpertegas
lagi oleh Pasal 19 KH yang menyatakan bahwa wali dalam suatu akad perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahinya.

Jika ditinjau dari perspektif KHI, di dalam pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan
batal (batal demi hukum) apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah


karena sudah mermpunyai ermpat orang isteri, srekalipun salah satu dari keermpat
isterinya itu dalam iddah talak raj’i.
b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang terlah dili’annya
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yan yang terlah dijatuhi tiga talak olehnya,
kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kermudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria terserbut dan telah habis masa
iddahnya.
d. Perkawinan di lakukan antara dua orang yang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut pasal 8 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu:

1. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas.

2. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara


saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu dan ayah
tiri.
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau
paman sesusuan.

d. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau
istri-istrinya

Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan apabila:

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama

2. Perempuan yang dikawini ternyata dikemudian diketahui masih menjadi istri pria
yang mafqud

3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.

4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan


pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974.

5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.

6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan


apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan


apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau istri

Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan


adalah pasal 73 yang berbunyi: yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan adalah:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau
istri.

2. Suami atau istri.


3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-
undang.

4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan tampaknya bunyi


pasal KHI sama dengan UUP.

Pasal 74 ayat 2

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan Agama


mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saaat berlangsungnya
perkawinan.

Jelaslah bahwa KHI secara eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan


perkawinan yaitu perkawinan batal demi hukum yang seperti termuat dalam pasal 70
dan perkawinan yang dapat dibatalkan (relative) seperti yang terdapat pada pasal 71.

Akibat pembatalan perkawinan pun dibahas dalam UU No.1/1974 pasal 28 ayat(2),


sedangkan jika kita tilik sesuai KHI seperti terdapat padda pasal 75 dan 76.

Pasal 75 KHI

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad.

2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik


sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Pasal 76 KHI

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya.

Dengan demikian jelaslah pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap


status anak yang telah merekan lahirkan.Apabila rukun dan syarat-syarat pernikahan
tidak terpenuhi, perkawinan dapat dicegah dan dibatalkan, karena perkawinan yang
berlangsung dapat menimbulkan kemudharatan bagi kedua mempelai. Misalnya
perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri yang akhirnya pihak mempelai wanita
menjadi korban penipuan mempelai pria, dan anak yang dilahirkan sukar mendapatkan
akta kelahiran yang sah, dan hal tersebut mempermudah terjadinya kawin cerai tanpa
disertai dengan keterangan dan bukti tertulis yang jelas. Status pihak mempelai wanita
bukan janda dan juga bukan perawan.

Tata cara pembatalan perkawinan yaitu permohonan pembatalan perkawinan


diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan
atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Anda mungkin juga menyukai