Anda di halaman 1dari 35

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terapi Kompres Air Hangat

2.1.1. Definisi Air Hangat

Air hangat adalah tindakan keperawatan dengan memberikan

kompres air hangat berguna untuk memenuhi rasa nyaman. air yang

bersuhu 37,0ºC – 40,0ºC mempunyai manfaat bagi tubuh. Air adalah

media terapi uang tepat untuk pemulihan cedera, karena secara alamiah

air hangat berdampak fisiologis bagi tubuh. Pertama berdampak pada

pembuluh darah yaitu membuat sirkulasi darah menjadi lancar. Kedua,

faktor pembebanan didalam air akan menguatkan otot dan ligamen yang

mempengaruhi sendi tubuh. Selain itu, suhu air yang hangat akan

meningkatkan kelenturan jaringan Wijayanti (2009, dalam Ningtyas,

2014).

2.1.2. Manfaat Rendam Air Hangat

Air hangat dapat melancarkan sirkulasi darah, menguatkan ligment

dan otot sendi yang mengalami kekakuan otot. Air dapat digunakan

untuk memperbaiki tingkat kekuatan dan ketahanan terhadap penyakit.

Pengaturan sirkulasi tubuh dengan menggunakan terapi air dapat

menyembuhkan berbagai penyakit seperti demam, radang paru-paru,

sakit kepala, dan nyeri. Terapi air adalah cara yang baik untuk

14
15

meningkatkan daya tahan tubuh, melancarkan peredaran darah dan

memicu pembuangan racun Wijayanti (2009, dalam Ningtyas, 2014).

2.1.3. Kompres Air Hangat

Kompres hangat merupakan intervensi keperawatan yang dapat

digunakan untuk meredakan nyeri, meningkatkan relaksasi otot,

meningkatkan relaksasi psikologis, dan memberi rasa nyaman dan

sebagai counteriritan Kozier dan Erb (2009, dalam Izza, 2014). Menurut

Potter dan Perry (2001, dalam Aini, 2010) penggunaan panas mempunyai

keuntungan untuk meningkatkan aliran darah ke suatu area dan dapat

menurunkan nyeri. Panas yang lembab dapat menghilangkan kekakuan

pada pagi hari akibat arthritis. Kompres panas juga dapat membantu

meredakan nyeri, kaku dan spasme otot.

Menurut Sisks et al (2010, dalam Nurhanifah, 2013) terapi

kompres hangat juga merupakan tindakan untuk memenuhi kebutuhan

rasa nyaman, mengurangi nyeri, mencegah atau mengurangi spasme otot,

merangsang peristaltik usus dan memberikan rasa hangat.

2.2. Terapi Masasse

Menurut Mander (2003, dalam Sari & Pantiawati, 2013) masasse

adalah terapi yang paling primitif menggunakan refleks lembut manusia

untuk menahan, menggosok atau meremas bagian tubuh yang nyeri.

Masasse adalah melakukan tekanan tangan pada jaringan lunak, biasanya

otot, tendon, atau ligamentum, tanpa menyebabkan gerakan atau


16

perubahan posisi sendi untuk meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi

dan membaiki sirkulasi. Terapi masasse dilakukan sebanyak 3 kali dalam

seminggu dengan waktu 5-10 menit.

Menurut Priyonoadi (1995, dalam Anggriawan & Kushartanti,

2014) masasse dalam istilah ini berasal bahasa arab “mass’h” yang

berarti tekan dengan lembut. Di Indonesia telah dikembangkan masasse

frirage yang digunakan untuk rehabilitasi cedera anggota gerak tubuh

bagian atas dan bawah. Masasse frirage termasuk jenis segment massage

karena masasse frirage dapat bermanfaat untuk penyembuhan setelah

maupun sebelum penanganan medis sebagai alah satu dari pencegahan

dan perawatan tubuh dari cedera.

Menurut Rahim (1988, dalam Anggriawan, 2013) masase

merupakan salah satu manipulasi sederhana yang dilakukan manusia

untuk mengusap bagian tubuh yang sakit, meletakkan tangan dengan

halus pada bagian tubuh yang sakit atau mengusap dahi yang panas

sehingga menimbulkan efek yang menyenangkan.

Menurut Priyonoadi (2001, dalam Ganti, 2015) masasse yang

termasuk dalam kelompok segment massage yaitu shiatsu, tsubo, q-

igong, chiropractic, oriental massage, dan massage frirage, yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Shiatsu adalah teknik pijatan tradisional dari china yang

menggunakan tekanan jari untuk menyelaraskan chi atau energi

kehidupan dan merangsang aliran energi disepanjang saluran


17

mengatasi gangguan seperti insomnia, sakit kepala, kecemasan, dan

nyeri punggung.

2. Tsubo merupakan pijat terapi dari Asia Kuno ini merangsang

ketahanan alami tubuh dan membantu tubuh untuk menyembuhkan

diri sendiri, menggunakan pijatan-pijatan pada titik-titik khusus pada

tubuh.

3. Qi-gong (pemijatan dan latihan ala China yang dapat dilakukan

sendiri) adalah mengembalikan aliran energi di sepanjang meridian-

meridian pada tubuh, Qi-gong meliputi seni gerakan yang lembut,

tanpa menggunakan kekuatan otot.

4. Chiropractic digunakan untuk menghilangkan nyeri dengan jalan

melkaukan manipulasi dan memperbaiki masalah yang timbul dalam

persendian dan otot.

5. Akupuntur merupakan pengobatan Cina tradisional dengan

menentukan titik-titik tubuh tertentu yang ditusuk dengan jarum di

sepanjang garis meridian. Akupuntur digunakan untuk mengarai

adanya ketidakseimbangan antara yin dan yang dengan memperbaiki

kondisi terebut dengan jalan menusukkan jarum-jarum pada titik-

titik garis meridian yang terdapat sebanyak 365 titik.

6. Masasse Frirage adalah terapi masase untuk kesehatan dan

penyembuhan dari cedera serta penyembuhan bagian tubuh lainnya.

Menurut Graha dan Priyonoadi (2009, dalam Ganti, 2015) masasse

frirage berasal dari Indonesia yang menggunakan metode masasse yang


18

berasal dari ratusan atau ribuan macam metode masasse lama maupun

baru dari para ahli masasse di dunia. Masasse Frirage berasal dari kata,

masasse yang artinya pijatan dan frirage yaitu gabungan teknik masasse

atau manipulasi dari friction (gerusan) dan efflurage (gosokan) yang

dilakukan secara bersamaan dalam melakukan pijatan hanya

menggunakan ibu jari untuk memasassenya. Metode masasse frirage

yang bertujuan merawat cedera ringan yang mengalami cedera seperti

terkilir pada persendian dan kontraksi otot, perawatan tubuh, perawatan

bayi. Manipulasi dalam masase frirage menggunakan 4 cara yaitu

manipulasi friction, efflurage, traction (tarikan), dan reposition

(reposisi). Seperti yang dijelaskan dibawah ini :

1. Manipulasi friction adalah manipulasi dengan cara menggerus.

Tujuannya adalah menghancurkan myogilosis yaitu timbunan dari

sisa-sisa pembakaran yang terdapat pada otot dan menyebabkan

pengerasan serabut otot.

2. Manipulasi efflurage adalah menggunakan ibu jari untuk menggosok

daerah tubuh yang mengalami kekakuan otot. Tujuan dari manipulasi

efflurage adalah untuk memperlancar peredarandarah.

3. Traction (tarikan) adalah dengan menarik supaya ada peregangan

pada bagian sendi yang nantinya akan dilakukan reposisi.

4. Reposition (reposisi) adalah memposisikan bagian tubuh yang

mengalami cedera khususnya pada sendi ke posisi semula.


19

Menurut Nova (2008, dalam Anggriawan, 2013) efek fisiologis

masase antara lain memperlancar peredaran darah, menghasilkan hormon

endorfin dan merilekskan otot. Secara keseluruhan proses tersebut dapat:

1. Membantu mengurangi pembengkakan pada fase kronis.

2. Mengurangi persepsi nyeri melalui mekanisme penghambat

rangngsang nyeri (gate control).

3. Meningkatkan relaksasi otot sehingga mengurangi rasa nyeri.

4. Meningkatkan jangkauan gerak, kekuatan, koordinasi, keseimbangan

dan fungsi otot.

5. Mengurangi dan menghilangkan ketegangan saraf dan mengurangi

rasa sakit.

2.3. Nyeri Sendi

2.3.1. Definisi Nyeri Sendi

Penyakit sendi yang dialami merupakan proses degeneratif dan

menimbulkan nyeri sendi pada lansia. Angka insidensi nyeri sendi pada

ini banyak dialami oleh lansia wanita karena perubahan hormonal secara

signifikan Smeltzer et al (2010, dalam Wulan, 2015).

Menurut Santoso (2009, dalam Idris & Astarani, 2016) nyeri sendi

adalah suatu peradangan sendi yang ditandai dengan pembengkakan

sendi, warna kemerahan, panas, neri dan terjadinya gangguan gerak. Pada

keadaan ini lansia sangat terganggu, apabila lebih dari satu sendi yang

terserang.
20

Nyeri sendi dapat mengakibatkan perubahan hingga penurunan

fungsi pada otot apabila penderita tidak melatih guna mengaktifkan

fungsi otot Ismayadi (2004 dalam Anggraeni, 2013).

2.3.2. Etiologi

Menurut Brunner dan Sudarth (2002, dalam Anggraeni, 2013)

pernyebab utama penyakit nyeri sendi masih belum diketahui secara

pasti. Namun ada beberapa teori yang diduga sebagai penyebab nyeri

sendi yaitu:

1. Mekanisme imunitas

Penderita nyeri sendi mempunyai auto body dalam serumnya

yang dikenal sebagai faktor rematoid. Antibodi tersebut yaitu

antigama globulin (IgM) yang bereaksi dengan IgG titer yang lebih

besar 1:100, serta dikaitkan dengan vaskulitis dan prognosis yang

buruk.

2. Faktor metabolik

Faktor metabolik dalam tubuh memiliki hubungan yang erat

dengan proses autoimun.

3. Faktor genetik dan faktor pemicu lingkungan

Penyakit nyeri sendi memliki kaitan dengan genetik termasuk

lingkungan, persoalan perumahan dan penataan yang buruk dan

lembab.
21

4. Faktor usia

Degenerasi dari organ tubuh menyebabkan usia lanjut lebih

rentan terhadap penyakit baik yang bersifat akut maupun kronik.

2.3.3. Artritis Gout

Menurut Sudoyo (2009, dalam Wurangian, Bidjuni, & Kallo, 2014)

gout arthritis adalah suatu penyakit yang sering ditemukan dan tersebar

diseluruh dunia. Gout (pirai) merupakan kelompok penyakit heterogen

sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat

supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraselular. Gangguan

metabolisme yang menimbulkan gout adalah hiperurisemia yang

merupakan peninggian kadar asam urat lebih dari 7,0 ml/dl dan 6,0

mg/dl.

Penanganan penderita gout arthritis difokuskan pada cara

mengontrol rasa sakit, mengurangi kerusakan sendi, meningkatkan dan

mempertahankan fungsi dan kualitas hidup Potter (2005, dalam

Wurangian, Bidjuni, & Kallo, 2014).

2.3.4. Arthritis Reumatoid

2.3.4.1. Definisi

Menurut Daud (2007, dalam Chintyawati, 2014) reumatoid artritis

(RA) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi kronik

yang ditandai dengan adanya sinovitis erosif simetrik yang mengenai

jaringan persendian ataupun organ tubuh lainnya. Penyakit autoimun

terjadi jika sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Reumatoid


22

artritis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh reaksi autoimun

yang terjadi di jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-

enzim dalam sendi sehingga kolagen terpecah dan terjadi edema,

proliferasi membran sinovial yang membentuk pannus. Pannus akan

menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang.

Menurut Gordon (2002, dalam Lase, 2015) reumatoid artritis

adalah penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan

kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan

akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.

2.3.4.2. Etiologi

Penyebab penyakit artritis reumatoid belum diketahui pasti, namun

faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi),

faktor metabolik dan infeksi virus Suratun (2008 dalam Lase, 2015).

Adapun faktor resiko terjadinya artritis reumatoid yaitu faktor genetik,

faktor lingkungan termasuk infeksi bakteri atau virus, faktor hormon

estrogen, faktor stress, penuaan, inflamasi dan degenerasi.

2.3.4.3. Gambaran Klinis

Menurut Reeves (2001, dalam Chintyawati, 2014) gejala umum

reumatoid artritis tergantung pda tingkat peradangan jaringan. Ketika

jaringan tubuh meradanga, penyakit ini aktif. ketika jaringan berhenti

meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan

atau dengan pengobatan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau

tahun, orang-orang pada umunya merasa sakit ketika penyakit ini aktif.
23

Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada

pergelangan di tangan, pergelangan dan kaki. Secara progresif mengenai

perendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang

serviks dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan

simetris. Persendian teraba hangat, bengkak kaku pada pagi hari

berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki

adalah hal umum Smeltze dan Bare (2002, dalam Chintyawati, 2014).

Adapun kriteria artritis reumatoid menurut ARA (American

Rheumatism Association) antara lain kaku pada pagi hari (morning

stiffnes), artritis pada 3 daerah, artritis pada persendian, artritis simetris,

nodul reumatoid, faktor rheumatoid serum positif dan terdapat perubahan

gambaran radiologis yang khas ) Daud (2000, dalam Lase 2015).

2.3.4.4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan atau tindakan yang dapat dilakukan untuk

mengatasi atau menurunkan nyeri artritis reumatoid menurut Bruner &

Suddarth (2010, dalam Lase, 2015) yaitu:

1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan

yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik serta ketaatan

pasien untuk tetap berobat dalam jangka aktu yang lama.

2. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) diberikan sejak dini untuk

mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai seperti

aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak dan

sebagainya.
24

3. DMARD digunakan untuk melindungi awan sendi dan tulang dari

proses dekstruksi akibat artritis reumatoid seperti klorokuin,

sulfasalzin, D-penisilin, garam emas, obat imunosupresif dan

kortikosteroid.

4. Rehabilitasi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien.

5. Pembedahan.

2.4. Nyeri

2.4.1. Definisi Nyeri

Menurut Judha (2010, dalam Puspitasari, 2014) nyeri adalah

pengalaman pribadi, subyektif, yang dipengaruhi oleh budaya, persepsi

seseorang, perhatian, dan variabel psikologis lain yang menggangu

perilaku berkelanjutan dan memotivasi semua orang untuk menghentikan

rasa itu. Nyeri dapat timbul ketika jaringan sedang rusak, dan

menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri.

nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsangan nyeri) dan

reseptor.

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus

kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga

nosireseptor, secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan ada
25

yang tidak bermielin dari syaraf perifer (Smeltzer & Bare, 2002 dalam

Novita, 2012).

Menurut Smeltzer dan Bare (2002, dalam Novita, 2012) nyeri

adalah keadaan penderitaan seseorang yang mendrita nyeri atau

kehilangan, suatu keadaan distres berat yang mengancam kebutuhan

seseorang.

2.4.1. Fisiologi Nyeri

2.4.1.1.Reseptor Nyeri

Menurut Tamsuri (2007, dalam Cahyasari, 2015) reseptor nyeri

adalah organ tubuh yang menerima rangsangan nyeri, yaitu ujung syaraf

yang berada didalam kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat

yang secara potensial dapat merusak. Reseptor nyeri dapat juga disebut

Nosireseptor, yang dapat dikelompokan berdasarkan letaknya didalam

tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatic dalam (Deep somatic), dan

pada daerah visceral. Karena letak syaraf yang berbeda-beda inilah

sehingga menimbulkan sensasi nyeri yang berbeda. Nosireseptor

cutaneous berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasikan dan

didefinisikan,
26

Menurut (Smeltzer dan Bare, 2002; Rospond, 2008; Black &

Hawks, 2009 dalam Novita 2012) reseptor jaringan kulit terbagi dalam 2

komponen yaitu:

1. Reseptor A delta

Serabut ini kecil, termielinisasi yang akan direkrut pertama

kali sebagai respon terhadap stimuli noxious. Manifestasi respon

pertama nyeri cepat karena serabut komponennya memiliki

kecepatan tranmisi 6-3- m/det, yang memungkinkan timbulnya nyeri

tajam, sensasinya jelasdan terlokalisasi. Tetapi akan cepat hilang

apabila oenyebab nyeri dihilangkan. Ambang batas nyeri ini relatif

sama untuk semua orang.

2. Serabut C

Sesnsai nyeri menyebar, perlahan, membakar atau linu

merupakan akibat dari stimuli yang ditranmisikan oleh serabut C

yang tidak termielinisasi. Serabut ini adalah komponen lambat

dengan kecepatan 0,5 m/det yang terdapat pada daerah yang lebih

dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit untuk dilokalisasi.

Ambang batas nyeri ini berbeda untuk setiap individu.

Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial

dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan yang disebut

nosisespstor, yang merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri.

Nosisepstor menyusun axon perifer tingkat pertama. Reseptor ini


27

umumnya dijumpai pada bagian superfisial/permukaan kulit, kapsul

sendi, periosteum tulanh dan di sekitar dinding pembuluh darah.

2.4.1.2.Transmisi Nyeri

Terdapat beberapa teori yang menggambarkan bagaimana

nosireseptor dapat menimbulkan nyeri menurut Tamsuri (2007, dalam

Cahyasari, 2015), yaitu :

i. Teori gerbang kendali nyeri (pain control gate theory)

Teori ini menyatakan terdapat “pintu gerbang” yang dapat

memfasilitasi atau memperlambat transmisi nyeri.

ii.Teori spesivitas (specivity theory)

Teori ini menyatakan adanya kepercayaan yang menggambarkan

adanya organ tubuh yang secara khusus menstransmisi rasa nyeri.

5. Teori pola (pattern theory)

Teori menyatakan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang

mampu mengantar rangsangan dengan cepat dan serabut saraf yang

mengantar rangsangan secara lambat. Kedua syaraf tersebut

bersinapsis pada medula spinalis dan meneruskan informasi ke otak

mengenai intensitas, jumlah, dan tipe input, kemudian sensori nyeri

menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri.

2.4.1.3.Neuororegulator Nyeri

Neuroregulator yang berperan dalam transmisi stimulan syaraf

dibagi dalam kelompok besar yaitu neurotransmiter yang mengirim

implus-implus elektrik melalui rongga sinapsis antar dua serabut syaraf,


28

dan dapat bersifat sebagai penghambat atau dapat mengeksitasi, dan

neuro modular bekerja untuk memodifikasi aktifitas neuoron tanpa

menstransfer secara langsung sinyal-sinyal menuju sinap Tamsuri, (2007,

dalam Cahyasari, 2015).

2.4.2. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri di bagi menjadi lima, nyeri yang dirasakan oleh

seseorang tidak sama tergantung bagaimana individu tersebut

menanggapi rasa nyerinya. (Guyton dan Hall, 2013) sebagai berikut :

1. Nyeri superfisial

Biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada

laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri superfisial memiliki

durasi yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam.

2. Nyeri somatik dalam

Nyeri somatik dalam adalah nyeri yang terjadi pada otot dan

tulang struktur penyokong lainya, umumnya bersifat tumpul, dan

stimulasi dengan adanya peregangan iskemik.

3. Nyeri viseral

Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan

organ internal, nyeri yang timbul bersifat difusi dan durasinya cukup

lama, sensasi yang timbul biasanya cukup tumpul.

4. Nyeri sebar (radiasi)

Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang dirasakan

meluas dari daerah asal kedaerah sekitar, nyeri jenis ini biasanya
29

dirasakan oleh klien bergerak dari daerah asal nyeri kesekitar atau

sepanjang bagian tubuh tertentu, nyeri dapat bersifat intermiten atau

konstan.

5. Nyeri fantom

Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien

yang mengalami amputasi, nyeri yang dipersepsikan berada pada

organ yang telah di amputasi seolah-olah organnya masih ada.

6. Nyeri alih

Nyeri alih adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral

yang menjalar keogan lain sehingga dirasakan nyeri pada beberapa

tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena masuknya

neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri.

2.4.3. Respon Tubuh Terhadap Nyeri

Menurut Potter dan Perry (2006, dalam Widiyaningsih, 2015)

menyatakan, respon tubuh terhadap nyeri adalah sebagai berikut:

1. Respon Fisiologik

Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom

menghasilkan respon fisiologis dan sistem saraf parasimpatis

menghasilkan suatu aksi.

2. Respon Afektif

a. Diam tidak berdaya

b. Menolak

c. Depresi
30

d. Marah

e. Tidak punya harapan

f. Tidak punya kekuatan

3. Respon Perilaku

Respon perilaku yang ditujukan oleh pasien sangat beragam.

Respon perilaku pasien dapat dijadikan indikasi pertama bahwa ada

sesuatu yang tidak beres, respon perilaku seharusnya tidak boleh

digunakan sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam

situasi yang tidak lazim dimana pengukuran tidak memungkinkan

(misalnya orang tersebut mengalami retardasi mental yang berat atau

tidak sadar).

2.4.4. Faktor yang Memengaruhi Nyeri

Menurut Prasetyo (2010, dalam Puspitasari, 2014) terdapat

berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi individu terhadap nyeri

antara lain:

1. Usia

Anak yang masih kecil tidak bisa mengungkapkan rasa nyeri

yang dirasakannya tetapi dengan menggunakan mimik wajah kita

bisa menilai skala nyeri yang dirasakannya. Pada setiap lansia nyeri

yang di rasakan berbeda-beda karenan penyebab dari nyeri itu

sendiri lebih dari satu.


31

2. Jenis Kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda dalam merespon

nyeri. Beberapa kebudayaan memengaruhi jenis kelamin dalam

memaknai nyeri misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki

harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan

boleh menangis dalam situasi yang sama.

3. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai kebudayaan mempengaruhi cara individu

mengatasi nyeri. Tergantung bagaimana setiap individu mengartikan

nyeri yang dirasakannya, selain itu yang menyebabkan perbedaan

persepi antar individu dipengaruhi pada masa kanak-kanak yaitu

dimana mereka belajar dari sekitar mereka tentang respon nyeri.

4. Makna Nyeri

Makna nyeri dipengaruhi pengalaman dan cara seseorang

beradaptasi terhadap nyeri, hal ini juga dikaitkan secara dekat

dengan latar belakang individu tersebut. Individu akan

mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda, apabila nyeri

tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan

tantangan nyeri.

5. Perhatian

Tingkat nyeri yang dirasakan oleh individu tergantung

bagaimana kepedulian individu terhadap nyeri itu sendiri.

Kepedulian yang tinggi dapat mengurangi nyeri rasa yang dirasakan


32

sedangkan tingkat kepedulian yang kurang akan mempengaruhi

nyeri tersebut.

6. Ansietas

Ansietas dapat mempengaruhi rasa nyeri tetapi nyeri itu juga

dapat mempengaruhi ansietas. Jika respon individu dalam merespon

ansietas itu positif maka dapat mengaktifkan bagian sistem limbik

yang diyakini mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas.

Sistem limbik dapat memproses reaksi terhadap nyeri, yakni

memperburuk atau menghilangkan nyeri tergantung bagaiman

individu menanggapi.

7. Keletihan

Menurut Potter & Perry (2006, dalam Kurniawan, 2016)

keletihan atau kelelahan yang dirasakan seseorang akan

meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan akan menyebabkan

sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.

Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, persepsi nyeri bahkan

dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali lebih berkurang

setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lengkap.

2.4.5. Pengkajian Nyeri

Menurut Strong, Unruh dan Baxter (2002 dalam Novita, 2012)

nyeri bersifat subjektif sehingga pengkajian awal sangat penting

berdasarkan laporan klien. Menurut Horlocker (2006, dalam Novita,

2012) tujuan dari pengkajian nyeri adalah mengidentifikasi penyebab


33

nyeri, memhami persepsi klien terkait nyerinya, mendapatkan

karakteristik nyerinya, menentukan level nyeri yang bisa ditoleransi oleh

klien sehingga klien masih dapat memenuhi kebutuhan ADL nya sesuai

batas toleransi.

Pengkajian nyeri menurut Muttaqin (2008, dalam Chintyawati,

2015):

1 Provoking incident

Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab nyeri, apakah

nyeri berkurang apabila beristirahat, apakah nyeri bertambah berat

bila beraktivitas (agravation). Faktor yang dapat meredakan nyeri

(misalnya gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat,

obat bebas, dan sebagainya) dan apa yang dipercaya klien dapat

membantu mengatasi nyeri.

2 Quality or Quantity of Pain

Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan misalnya terbakar, berdenyut,

tajam, atau menusuk.

3 Region

Dimana lokasi nyeri harus ditunjukkan dengan tepat oleh klien,

apakah rasa sakit dapat reda, apakah rasa sakit menjalar atau

menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.


34

4 Severity (Scale) of Pain

Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur skala

nyeri, diantaranya yang dikemukakan oleh AHCPR (Agency for

Health Care Policy & Reseacrch):

a. Deskripsi sederhana terdiri dari: tidak nyeri, nyeri sedang, berat,

nyeri sangat berat.

b. Visual Analog Scale (VAS): digunakan garis 10 cm batas antara

daerah yang tidak kesebelah kiri dan sebelah kanan menandakan

nyeri hebat.

5. Time

Berapa lama nyeri berlangsung (bersifat akut atau kronis), kapan,

apakah waktu tertentu yang menambah rasa nyeri.

2.4.6. Pengukuran Skala Nyeri

Pengukuran skala nyeri menurut Tamsuri (2007 dalam Puspitasari,

2014) dapat dilakukan dengan menggunakan skala intensitas diskriptif

sederhana, numerik, dan analog visual. Namun dalam penelitian skala

pengukuran yang akan digunakan adalah skala intensitas nyeri numerik

Skala nyeri numerik adalah alat ukur tingkat nyeri seseorang yang

digunakan dengan meminta pasien untuk menilai rasa nyeri yang

dirasakan sesuai dengan level intensitas nyeri pada skala numeral dari 0-

10.
35

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 2.1 Skala Intensitas Nyeri Numerik

Keterangan :

a. Skala 0 yaitu tidak ada nyeri.

b. Skala 1, 2,dan 3 yaitu nyeri ringan dengan kriteria klien dapat

berkomunikasi dengan baik.

c. Skala 4, 5, dan 6 yaitu nyeri sedang dengan kriteria klien

mendesis, dapat menunjukan lokasi nyeri yang dirasakan dan

dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah

dengan baik.

d. Skala 7, 8, dan 9 yaitu nyeri berat dengan kriteria klien

terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih memberi

respon terhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi nyeri, tidak

dapat mendeskripsikan nyeri yang dirasakan, nyeri tidak dapat

diatasi dengan alih atau merubah posisi, nafas panjang dan

distraksi.

e. Skala 10 yaitu nyeri paling hebat atau sangat berat yaitu

dengan kriteria klien tidak mampu berkomunikasi dan

memukul.

2.4.7. Manajemen nyeri

Managemen nyeri adalah upaya dalam ilmu medis dalam

menghilangkan keluhan nyeri yang di rasa pasien nyeri. Bebarapa


36

manajemen nyeri keperawatan adalah mengatur posisi fisiologis dan

imobilisasi ekstremitas yang mengalami nyeri, mengistirahatkan klien,

kompres, manajemen lingkungan, teknik relaksasi nafas dalam, teknik

distraksi, manajemen sentuhan Terapi non farmakologis dapat digunakan

sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan farmakologis

yang lebih baik Muttaqin (2011, dalam Pangestu, 2016).

2.4.7.1.Penanganan farmakologis

Menurut Kozier dan erb (2009, dalam Sani, 2013)

penatalaksanaan farmakologis untuk mengatasi nyeri yaitu dengan

memberikan obat-obatan seperti penggunaan opiat (narkotik), nonopiat/

obat AINS (Anti Inflamasi Nonsteroid),obat-obat adjuvans atau

koanalgesik. Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan,

namun banyak klien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka

panjang untuk mengurangi nyeri.

Menurut Kasran dan Kusumaratna (2006, dalam Lase, 2015)

pengobatan secara topikal dapat pula digunakan untuk mengurangi rasa

nyeri yang bersifat neuropatik atau sindrome rasa nyeri kompleks

regional Lidokain 5% secara topikal sangat bermanfaat untuk mengatasi

rasa nyeri yang terjadi pada postherpetic neuralgia. Preparat topikal

aspirin, kapsaisin, antidepresan trisiklik, lidokain, OAINS dan opioids

dapat mengurangi rasa nyeri terutama gangguan musculoskeletal.

Untuk mengobati rasa nyeri yang berat (“tangga analgesik”

ketiga) dapat digunakan obat golongan opioid. Sebuah studi di Amerika


37

Serikat tentang strategi untuk mengobati rasa nyeri pada lansia

menunjukkan penggunaan obat analgesik merupakan strategi yang paling

banyak digunakan. Obatobat yang digunakan adalah golongan

asetaminofen, aspirin, COX-2 inhibitors dan opioids. Beberapa penulis

menambahkan dan memodifikasi menjadi empat “tangga pengobatan”

yaitu dengan prosedur intervensi seperti blok sistem saraf, pembedahan,

prosedur operatif, dan pengobatan 29 perilaku kognitif bagi penderita

dengan rasa nyeri yang tidak dapat dikendalikan. Prosedur lain untuk

mengurangi rasa nyeri dengan menggunakan neural ablation dapat

mengurangi atau menghilangkan ketergantungan pada golongan

analgesik opioid. Termasuk teknik neural ablation adalah dengan

menyuntikkan alkohol atau fenol, krioanalgesik atau tindakan operatif

pada jalur nociceptive. Namun penelitian menunjukkan pengobatan

operatif dengan blok saraf tidak efektif untuk mengobati rasa nyeri

kronik pada lansia Kasran dan Kusumaratna (2006, dalam Lase, 2015).

2.4.7.2.Penanganan Farmakologis

Metode nonfarmakologi untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi

menjadi dua kelompok yaitu terapi modalitas fisik dan strategi kognitif-

perilaku. Kompres hangat dan kompres dingin merupakan terapi

modalitas fisik dalam bentuk stimulasi kutaneus Price & Wilson (2006,

dalam Sani, 2013).


38

Menurut Potter dan Perry (2005, dalam Devi, 2014) terdapat

beberapa manajemen nyeri secara non Farmakologi sebagai berikut :

2.4.7.2.1.1.1. Bimbingan antisipasi

Memodifikasi secara langsung cemas yang berhubungan

dengan nyeri dan menambah efek tindakan untuk menghilangkan

nyeri lain. Klien harus diberi penjelasan terperinci tentang prosedur

medis dan rasa nyaman pada penderita artritis rhematoid.

2.4.7.2.1.1.2. Distraksi

Sistem aktivasi retikular menghambat stimulus yang

menyakitkan jika seorang menerima masukan sensori yang cukup

ataupun lebih. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan

pelepasan endomorfin.

2.4.7.2.1.1.3. Biofeedback

Merupakan terapi prilaku yang dilakukan dengan memberikan

individu informasi tentang respon fisiologis. Terapi ini digunakan

untuk menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif mengatasi

ketegangan otot dan nyeri.

2.4.7.2.1.1.4. Hipnosis diri

Dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh

sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis diri

menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang rilek dan

damai.
39

2.4.7.2.1.1.5. Stimulasi kutaneus

Stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri.

Mandi air hangat, kompres, dan stimulasi syaraf elekrik transkutan

merupakan langkah-langkah sederhana dalam upaya menurunkan

skala nyeri.

Teknik stimulasi kutaneus dapat meredakan nyeri sementara

secara efektif. Teknik ini mendistraksi klien dan memfokuskan perhatian

pada stimulus taktil, jauh dari sensasi yang menyakitkan sehingga

mengurangi persepsi nyeri Kozier dan Erb (2009, dalam Sani, 2013).

2.4.7.2.1.1.6. Masase kulit

Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan

ketegangan otot.

2.4.7.2.1.1.7. Relaksasi

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri

dengan merelaksasi ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa relaksasi efektif dalam

menurunkan nyeri.

2.5. Konsep Lansia

2.5.1. Definisi Lansia

Menurut Undang-Undang RI No. 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan Lanjut Usia dinyatakan bahwa lansia adalah laki-laki atau

perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia bukanlah suatu


40

penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan

yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi

dengan stress lingkungan Pudjiastuti (2003, dalam Kurniawan, 2016).

Batasan lanjut usia dibagi menjadi empat kelompok, meliputi usia

pertengahan (middle age) antara usia 45-59 tahun, usia Lanjut (elderly)

antara usia antara 60-70 tahun, usia lanjut tua (old) antara usia antara 71-

90 tahun, usia sangat tua (very old) antara usia diatas 90 tahun Azizah

(2011, dalam Izza, 2014).

Menurut Nugroho (2009, dalam Syam, 2016) lanjut usia

merupakan bagian dari proses pertumbuhan dan perkembangan yang

akan dialami oleh setiap orang. Proses ini dimulai sejak terjadinya

konsepsi dan berlangsung sampai mati. Pada proses menua, terjadi

perubahan-perubahan yang berlangsung secara progresif dalam proses-

proses biokimia, sehingga terjadi perubahan-perubahn struktu dan fungsi

jaringan atau organ dalam tubuh individu.

Usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang

dapat mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut

memerlukan tindakan keperawatan, baik yang bersifat promotif maupun

preventif, agar ia dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia

lanjut yang berguna dan bahagia Keliat (1999, dalam Aminah, 2010).

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia secara

perlahan memgalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi ini


41

dapat memengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia, termasuk

kehidupan seksualnya.

2.5.2. Batasan umur lansia

Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda, umumnya

berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan

usia diantaranya:

Menurut WHO lanjut usia meliputi Notoatmodjo (2007, dalam

Syam, 2016) ada empat tahapan usia, yaitu:

a. Usia pertengahan (Middle age) usia 45-59 tahun.

b. Lanjut usia (Elderly) usia 60-70 tahun.

c. Lanjut usia tua (Old) usia71-90 tahun.

d. Usia sangat tua (Very old) usia >90 tahun.

Menurut Nugroho (2008, dalam Komariah, 2014) pengelompokan

lanjut usia sebagai berikut:

a. Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun.

b. Young age yaitu umur 75-80 tahun.

c. Very old yaitu umur lebih dari 80 tahun.

Menurut Bee dalam Padila (2013, dalam Kurniawan, 2016) membagi

usia menjadi lima kriteria:

a. Masa dewasa muda, usia 18-25 tahun.

b. Masa dewasa awal, usia 25-40 tahun.

c. Masa dewasa tengah, usia 40-65 tahun.

d. Masa dewasa lanjut, usia 65-75 tahun.


42

e. Masa dewasa sangat lanjut, usia > 75 tahun.

2.5.3. Klasifikasi Lansia

Lima klasifikasi pada lansia yang terdiri dari : pralansia (prasenilis)

yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah seseorang

yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah seseorang

yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau

lebih dengan masalah kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih

mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan

barang/jasa, lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya

mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain

Depkes RI (2003, dalam Kurniawan, 2016).

2.5.4. Tipe Lansia

Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,

lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonominya. Tipe tersebut

dijabarkan sebagai berikut:

1. Tipe arif bijaksana.

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah

hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi

panutan.
43

2. Tipe mandiri.

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif

dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi

undangan.

3. Tipe tidak puas.

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga

menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani,

pengkritik dan banyak menuntut.

4. Tipe pasrah.

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan

agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.

5. Tipe bingung.

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,

menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

2.5.5. Proses menua

Menurut Mubarak (2011, dalam Kurniawan, 2016) aging process

atau proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat

dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti serta mempertahankan struktur

dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap cedera, termasuk adanya

infeksi. Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang

mencapai dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada


44

otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh ‘mati’ sedikit demi

sedikit. Sebenarnya tidak ada batasan yang tegas, pada usia berapa

kondisi kesehatan seseorang mulai menurun. Setiap orang memiliki

fungsi fisiologis alat tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal

pencapaian puncak fungsi tersebut maupun saat menurunnya. Umumnya

fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun.

Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi

tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai

dengan bertambahnya usia.

Menurut Widuri (2010, dalam Utami, 2015) perubahan akibat

proses menua pada lansia, sel mengalami penurunan, sistem persyarafan

mengalami kemunduran seperti kepekaan terhadap rangsangan yang

berkurang, sistem pendengaran akan menurun, semakin bertambahnya

umur maka lansia tidak peka terhadap suara yang ditimbulkan benda

maupun orang, kemunduran-kemunduran sistem penglihatan, sistem

kardiovaskular, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem pernapasan, sistem

pencernaan, sistem reproduksi, sistem endokrin, sistem genitourina,

sistem muskuloskeletal, dan sistem integumen. Dampak kemunduran,

semakin umur bertambah maka semakin sensitif, merasa dirinya tidak

menarik, kulit keriput, rasa lesu dan sensualitas menurun.

2.5.6. Perubahan pada lansia

Menurut Fatmah (2010, alam Dessy, 2016) proses dan pola menua

yang terjadi hampir sama antara lansia yang satu dengan lansia lainnya
45

tetapi laju perubahannya dapat bervariasi. Menurunnya fungsi tubuh

akibat proses menua menyebabkan perubahan pada lansia. Perubahan-

perubahan tersebut meliputi aspek anatomi dan fisiologis, sosial,

lingkungan dan sebagainya.

Secara umum perubahan anatomi dan fisiologis tubuh meliputi:

1. Sistem Penglihatan

Terjadinya degenerasi struktur jaringan lensa mata, iris, pupil

dan retina menyebabkan kemampuan penglihatan pada lansia

menurun dan menimbulkan berbagai penyakit seperti katarak dan

glaukoma. Bentuk bola mata lebih cekung sedangkan bentuk kelopak

mata menjadi cembung disebabkan karena terjadinya penyusutan

lemak periorbital.

2. Sistem Pendengaran

Perubahan fungsi pendengaran bukan hanya menjadi masalah

fisiologis tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial lansia.

Menurut Bocklehurst-Allen yang dikutip oleh Fatmah (2010, dalam

Dessy, 2016), pada beberapa penelitian di Negara Barat isolasi sosial

yang diakibatkan oleh gangguan pendengaran lebih besar

dibandingkan yang diakibatkan oleh gangguan penglihatan. Dilihat

dari segi fisiologis, 65-70% lansia menunjukkan kemunduran

pendengaran secara fungsional (tuli fungsional) setelah berusia 80

tahun dan 5% dari populasi usia di atas 65 tahun.


46

3. Sistem Integumen

Jaringan lemak, lapisan epitel, serat kolagen dan kelembapan

kulit yang berkurang saat proses menua menyebabkan kulit menjadi

lebih mengerut dan kaku.

4. Sistem Muskuloskeletal

Lansia yang melakukan olahraga secara teratur tidak

mengalami kehilangan massa otot dan tulang sebanyak lansia yang

inaktif. Kekuatan dan ukuran serat otot yang mengalami

pengurangan sebanding dengan penurunan massa otot. Pertambahan

usia menyebabkan proses pembentukan tulang menjadi lambat

karena adanya penurunan aktivitas fisik dan hormon-hormon dalam

tubuh. Salah satu penyakit yang sering menyerang sistem

muskuloskeletal pada lansia adalah osteoporosis.

5. Sistem Kardiovaskuler

Proses menua menyebabkan jantung mengecil, katup jantung

menjadi kaku dan menebal dan kekuatan kontraksi otot jantung

menurun sehingga kemampuan memompa darah berkurang.

Penurunan tersebut dapat terjadi secara signifikan jika lansia

mengalami stres fisik seperti olahraga berlebihan.


47

6. Sistem Pencernaan

Berkurangnya kekuatan otot rahang, penurunan fungsi dan

sensitifitas saraf indera pengecap, gerakan peristaltik esofagus dan

asam lambung menyebabkan lansia mengalami penurunan nafsu

makan. Selain itu juga terjadi penurunan sekresi pankreatik yang

biasanya terjadi setelah usia 40 tahun.

Menurut Nugroho (2000, dalam Kurniawan, 2016) perubahan yang

terjadi pada lansia Menurunnya fungsi tubuh akibat proses menua

menyebabkan perubahan-perubahan pada lansia. Perubahan tersebut

antara lain:

1. Perubahan kondisi fisik

Perubahan kondisi fisik pada lansia meliputi perubahan dari

tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh, diantaranya sistem

pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem

pengaturan tubuh, muskolosketal, gastrointestinal, urogenital,

endokrin, dan integumen. Masalah fisik sehari-hari yang sering

ditemukan pada lansia diantaranya lansia mudah jatuh, mudah lelah,

kekacuan mental akut, nyeri pada dada, berdebar-debar, sesak nafas,

pada saat melakukan aktifitas/kerja fisik, pembengkakan pada kaki

bawah, nyeri pinggang atau punggung, nyeri sendi pinggul, sulit

tidur, sering pusing, berat badan menurun, gangguan pada fungsi

penglihatan, pendengaran, dan sulit menahan kencing.


48

2. Perubahan kondisi mental

Pada umumnya lansia mengalami penurunann fungsi kognitif

dan psikomotor. Perubahan-perubahan ini erat sekali kaitannya

dengan perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau

pengetahuan, dan situasi lingkungan. Dari segi mental dan emosional

sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan

cemas. Adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan

timbulnya suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak

berguna lagi. Hal ini bisa meyebabkan lansia mengalami depresi.

3. Perubahan psikososial

Masalah perubahan psikososial serta reaksi individu terhadap

perubahan ini sangat beragam, bergantung pada kepribadian individu

yang bersangkuatan.

4. Perubahan kognitif

Perubahan pada fungsi kognitif di antaranya adalah

kemunduran pada tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan

tugas yang memerlukan memori jangka pendek, kemampuan

intelektual tidak mengalami kemunduran, dan kemampuan verbal

akan menetap bila tidak ada penyakit yang menyertai.

5. Perubahan spiritual

Agama dan kepercayaan makin terintegrasi dalam

kehidupannya.

Anda mungkin juga menyukai