Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini ganguan pada sistem-sistem organ manusia semakin
berkembang. Gangguan tersebut ada yang timbul karena factor gaya hidup yang
kurang tepat dan ada juga yang timbul sejak bayi lahir (konginetal). Kelainan
konginetal bisa disebabkan oleh kegagalan pada saat proses embriologi, tetapi ada
juga yang disebabkan oleh kelainan genetik. Salah satu contoh kelainan genetik
pada system pernapasan adalah cystic fibrosis. Cystic fibrosis merupakan
gangguan monogenik yang ditemukan sebagai penyakit multisistem. Tanda dan
gejala pertama biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun sekitar 5% pasien
di Amerika Serikat didiagnosis pada waktu dewasa.
Prevalensi dari cystic fibrosis atau yang biasa disingkat dengan CF
beragam, tergantung dari etnis suatu populasi. CF dideteksi pada sekitar 1 dari
3000 kelahiran hidup pada populasi Kaukasia di Amerika bagian Utara dan Eropa
Utara, 1 dari 17.000 kelahiran hidup pada African Amerikan (Negro), dan 1 dari
90.000 kelahiran hidup pada populasi Asia di Hawaii Karena adanya
perkembangan dalam terapi, >41% pasien yang sekarang dewasa (18 tahun) dan
13% melewati umur 30 tahun. Median harapan hidup untuk pasien CF adalah >41
tahun sehingga CF tidak lagi merupakan penyakit pediatrik, dan internis harus
siap untuk menentukan diagnosis CF dan menangani banyak komplikasinya.
Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri kronis pada saluran napas
yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan bronchiolectasis,
insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar keringat
abnormal, dan disfungsi urogenital.
Cystic fibrosis bisa terjadi akibat adanya mutasi genetic yang membentuk
protein CF transmembrane conductance regulator (CFTR) yang terletak pada
kromosom 7. Mekanisme terjadinya malfungsi sel pada cystic fibrosis tidak
diketahui secara pasti. Sebuah teori menyebutkan bahwa kekurangan klorida yang
terjadi pada protein CFTR menyebabkan akumulasi secret di paru-paru yang
mengandung bakteri yang tidak terdeteksi oleh system.imun Teori yang lain
menyebutkan bahwa kegagalan protein CFTR menyebabkan peningkatan
perlawanan produksi sodium dan klorida yang menyebabkan pertambahan
reabsorbsi air, menyebabkan dehidrasi dan kekentalan mucus. Teori-teori tersebut
mendukung sebagian besar observasi tentang terjadinya kerusakan di cystic
fibrosis yang menghambat jalanya organ yang dibuat dengan secret yang kental.
Hambatan ini menyebabkan perubahan bentuk dan infeksi di paru-paru, kerusakan
pada pankreas karena akumulasi enzim digestive, hambatan di usus halus oleh
kerasnya feses dan lain-lain.
Begitu besaranya resiko perkembangan penyakit cystic fibrosis, sebagai
tenaga kesehatan diharapkan bias mengidentifikasi secara dini sebagai upaya
pencegahan penyebaran penyakit ke berbagai organ lain.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Cystic Fibrosis ?
2. Bagaimana etiologi dari Cystic Fibrosis ?
3. Bagaimana patofisiologi dari Cystic Fibrosis ?
4. Bagaimana gejala dan tanda dari Cystic Fibrosis ?
5. Bagaimana tata laksana terapi pada penyakit Cystic Fibrosis ?
6. Bagaimana KIE dan monitoring untuk penyakit Cystic Fibrosis ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Cystic Fibrosis.
2. Untuk mengetahui etiologi dari Cystic Fibrosis.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari Cystic Fibrosis.
4. Untuk mengetahui gejala dan tanda dari Cystic Fibrosis.
5. Untuk mengetahui tata laksana terapi pada penyakit Cystic Fibrosis.
6. Untuk memberikan informasi dan monitoring pada penyakit Cystic Fibrosis.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi Cystic Fibrosis
Cystic fibrosis merupakan gangguan monogenik yang ditemukan sebagai
penyakit multisistem. Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri kronis
pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan
bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal, fungsi
kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi urogenital.
Cystic fibrosis adalah suatu gangguan kronik multisistem yang ditandai
dengan infeksi endobronkial berulang, penyakit paru obstruktif progresif dan
insufisiensi pankreas dengan gangguan absorbsi/malabsorbsi intestinal. Kelainan
ini merupakan kelainan genetik yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran
patobiologis yang mencerminkan mutasi pada gen-gen regulator transmembran
fibrosis kistik (cystic fibrosis transmembrane conductance regulator/CFTR).

2.1.2 Etiologi Cystic Fibrosis


Cystic fibrosis merupakan penyakit yang diwariskan secara resesive
autosomal. Gen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya CF telah
diidentifikasi pada tahun 1989 sebagai cystic fibrosis transmembrane-
conductance regulator glycoprotein (CFTR gen) yang terletak pada lengan
panjang kromosom no 7.
Protein CFTR merupakan rantai polipeptida tunggal, mengandung 1480
asam amino, yang sepertinya berfungsi untuk cyclic AMP–regulated Cl– channel
dan dari namanya, mengatur channel ion lainnya. Bentuk CFTR yang terproses
lengkap ditemukan pada membran plasma di epithelial normal. Penelitian
biokimia mengindikasikan bahwa mutasi F508 menyebabkan kerusakan proses
dan degradasi intraseluler pada protein CFTR. Sehingga alpanya CFTR pada
membrane plasma merupakan pusat dari patofisiologi molecular akibat mutasi
F508 dan mutasi kelompok I-II lainnya. Namun, mutasi kelompok III-IV
menghasilkan protein CFTR yang telah diproses lengkap namun tidak berfungsi
atau hanya sedikit berfungsi pada membrane plasma. Gen CFTR ini membuat
protein yang mengontrol perpindahan garam dan air di dalam dan di luar sel di
dalam tubuh. Orang dengan cystic fibrosis, gen tersebut tidak bekerja dengan
efektif. Hal ini menyebabkan kental dan lengketnya mucus serta sangat asinnya
keringat yang dapat menjadi ciri utama dari cystic fibrosis.
Mekanisme terjadinya malfungsi sel pada cystic fibrosis tidak diketahui
secara pasti. Sebuah teori menyebutkan bahwa kekurangan klorida yang terjadi
pada protein CFTR menyebabkan akumulasi secret di paru-paru yang
mengandung bakteri yang tidak terdeteksi oleh system imun. Teori yang lain
menyebutkan bahwa kegagalan protein CFTR menyebabkan peningkatan
perlawanan produksi sodium dan klorida yang menyebabkan pertambahan
reabsorbsi air, menyebabkan dehidrasi dan kekentalan mucus. Teori-teori tersebut
mendukung sebagian besar observasi tentang terjadinya kerusakan di cystic
fibrosis yang menghambat jalanya organ yang dibuat dengan secret yang kental.
Hambatan ini menyebabkan perubahan bentuk dan infeksi di paru-paru, kerusakan
pada pancreas karena akumulasi enzim digestive, hambatan di usus halus oleh
kerasnya feses dan lain-lain.

2.1.2 Patofisiologi Cystic Fibrosis


Cystic Fibrosis merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi gen
yang terletak pada kromosom 7. Mutasi gen ini menyebabkan hilangnya
fenilalanin pada rantai asam ammino 508 yang dikenal sebagai regulator
transmembran fibrosis kistik (CFTR).
Protein CFTR merupakan rantai asam amino yang berfungsi sebagai
saluran Cl- diatur AMP siklik. Proses pembentukan CFTR seluruhnya ditemukan
pada membran plasma epitel normal. Mutasi DF 508 menyebabkan proses yang
tidak benar dan pemecahan protein CFTR intraseluler sehingga tidak
ditemukannya protein CFTR pada lokasi seluler.
Tanda biofisika diagnostik pada CF epitel saluran napas yaitu adanya
peningkatan perbedaan potensi listrik transepitelial (Potential difference/PD).
Transepitelial PD menunjukkan jumlah transport ion aktif dan resistensi epithelial
terhadap aliran ion. CF saluran napas memperlihatkan ketidaknormalan pada
absorbsi Na+ dan Sekresi Cl- aktif. Defek sekresi Cl memperlihatkan
alpanya cyclic AMP–dependent kinase dan protein kinase C–regulated Cl–
transport yang dimediasi oleh CFTR. Suatu pemeriksaan yang penting
mengatakan bahwa adanya perbedaan molekul pada Ca2+- activated Cl–channel
(CaCC) yang terlihat pada membran apical. Channel ini dapat menggantikan
CFTR dengan imbas pada sekresi Cl- dan dapat menjadi target terapeutik
berpotensial. Regulasi abnormal dari absorbsi Na+ merupakan gambaran inti pada
CF di epitel saluran napas. Abnormalitas ini menunjukkan fungsi kedua dari
CFTR, yaitu sebagai tonik inhibitor pada channel Na+. Mekanisme molekuler
yang memediasi aksi CFTR belum diketahui.
Klirens mucus merupakan pertahanan innate primer saluran napas
terhadap infeksi bakteri yang terhisap. Saluran napas mengatur jumlah absorbsi
aktif Na+ dan sekresi Cl- untuk mengatur jumlah cairan (air), misal “hidrasi”, pada
permukaan saluran napas untuk klirens mucus yang efisien. Hipotesis utama
tentang patofisiologi CF saluran napas adalah adanya regulasi yang salah terhadap
absorbsi Na+ dan ketidakmampuan untuk mengsekresi Cl-melalui CFTR,
mengurangi volume cairan pada permukaan saluran napas, baik penebalan mucus,
maupun deplesi cairan perisiliar mengakibatkan adhesi mucus pada permukaan
saluran napas. Adhesi (tarik-menarik benda yang sejenis) mucus menyebabkan
kegagalan untuk membersihkan mucus dari saluran napas baik melalui
mekanisme siliar dan batuk. Tidak ditemukannya keterkaitan yang tegas antara
mutasi genetik dan keparahan penyakit paru-paru menyimpulkan adanya peran
penting dari gen pemodifikasi dan interaksi antara gen dan lingkungan.
Infeksi yang terdapat pada CF saluran napas cenderung melibatkan
lapisan mukosa dibandingkan invasi epitel atau dinding saluran napas.
Predisposisi dari CF saluran napas terhadap infeksi kronis Staphylococcus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa selaras dengan kegagalan membersihkan
mucus. Sekarang ini, telah didemonstrasikan bahwa tekanan O2 sangat rendah
pada mucus CF, dan adaptasi terhadap hypoxia merupakan penentu penting
fisiologi bakteri pada paru-paru CF. Ditekankan bahwa, baik stasis mucus dan
hypoxia mucus dapat berkontribusi terhadap kecenderungan Pseudomonas untuk
dapat tumbuh pada koloni biofilm didalam plak mucus disekitar permukaan
saluran napas dengan CF.
PATHWAY
Jamur,virus,bakteri ,protozoa

Masuk ke alveoli

Eksudent dan serous masuk Penumpukan


Peningkatan suhu
melalui pembuluh darah cairan dalam
tubuh
alveoli
Gg.fungsi
otak
SDM dan leukosit
Keringat berlebihan PMN mengisi alveoli gg.pertukaran
gas

kejang

Resiko kekuranganvolume Leukosit dan fibrin


cairan mengalami konsolidasi
dalam paru

PMN meningkat
Komplience paru
menurun

Sputum mengental

Gangguan pola nafas

Bersihan jalan nafas


2.1.4 Gejala dan Tanda Cystic Fibrosis
Gangguan dapat terjadi pada banyak organ di seluruh tubuh. Organ yang
paling sering terkena adalah paru-paru, pankreas, usus halus, hati, kandung
empedu, dan organ-organ reproduksi.
Tanda dan gejala fibrosis kristik bervariasi, tergantung dari keparahan
penyakit. Bahkan pada orang yang sama, gejala bisa memburuk atau membaik
seiring dengan waktu. Pada sebagian penderita, gejala bisa mulai muncul sejak
bayi. Penderita lainnya mungkin tidak mengalami gejala hingga mencapai usia
remaja atau dewasa.
1. Tanda dan gejala pada sistem pernafasan
Lendir yang tebal dan lengket pada fibrosis kristik menyumbat saluran nafas
yang membawa udara masuk daan keluar paru-paru. Hal ini memyebabkan
terjadinya :
1) Batuk persisten dengan dahak yang kental
2) Sesak nafas
3) Menurunnya kemampuan untuk beraktivitas/berolahraga
4) Infeksi paru berulang
5) Hidung tersumbat atau peradangan pada hidung

Seiring dengan berkembangnya penyakit, gejala cenderung lebih sering


terjadi, bentuk dada menjadi seperti tong (barrel-shaped), dan oksigen yang tidak
adekuat bisa membuat jari-jari berbentuk tabuh (clubbing fingers) dan ujung-
ujung jari berwarna kebiruan.
2. Tanda dan gejala pada sistem pencernaan
Sekret yang kental juga bisa menyumbat saluran yang menyalurkan enzim-
enzim pencernaan dan pankreas ke usus halus. Tanpa enzim-enzim ini, usus tidak
dapat menyerap zat gizi dari makanan dengan sempurna. Akibatnya :
1) Tinja yang berminyak dan berbau busuk
2) Berat badan rendah dan gangguan pertumbuhan
3) Sumbatan usus, terutama pada bayi baru lahir (ileus mekonium)
4) Konstipasi berat
Karena adanya sumbatan pada usus, penderita menjadi sering mengedan saat
buang air besar. Hal ini bisa menyebabkan sebagian rektum menonjol keluar dari
anus (prolaps rekti). Anak yang lebih besar dan orang dewasa bisa mengalami
episode berulang dari sumbatan usus, yang menyebabkan perubahan pola buang
air besar, timbulnya nyeri krim perut, konstipasi, penurunan nafsu makan, dan
terkadang muntah.

2.1.5 Komplikasi
Komplikais yang dapat terjadi pada cystic fibrosis adalah :
1) Sinusitis , disebabkan oleh produksi nucus yang berlebihan sehingga
menutupi dan menginfeksi sinus.
2) Bronchiectasis. Bronkus akan teregang dan membentuk kantong- kantong
ketika terkumpul mucus. Mucus ini adalah tempat berkembangnya bakteri
yang sangat berpotensi menyebabkan infeksi paru. Infeksi ini akan lebih
merusak bronkus dan jika tidak diobati bronkiektasis dapat berkembang
menjadi penyakit parah termasuk gagal pernapasan.
3) Pancreatitis.
4) Polip hidung
5) Clubbing, ini terjadi karena tidak adanya perpindahan oksigen dari paru-
paru ke aliran darah.
6) Kolaps paru
7) Prolaps rektal. Batuk persisten atau penekanan mungkin dapat
menyebabkan jaringan rektum timbul keluar.
8) Penyakit liver
9) Diabetes
10) Pneumothorax sering terjadi (>10% pasien)
11) Komplikasi paling buruk dari cystic fibrosis adalah kegagalan pernapasan
dan cor pulmonale

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis CF
antara lain :
1. Pemeriksaan laboratorium
1) Test kandungan chlorida keringat (sweat chloride test) :

a) Dilakukan pengumpulan dan analisis komposisi keringkat dengan


metodaiontophoresis pilocarpine.
b) Konsentrasi ion klorida sekitar 60 mEq/L keatas merupakan khas
diagnostik. Nilai normal rata-rata konsentrasi klorida dibawah 30
mEq/L.
c) Nilai antara 30 – 60 mEq/L mungkin kondisis heterozygous
carriers, dan tidak dapat diidentifikasi secara akurat menggunakan test
ini (SCT).

2) Test Prenatal :

a) Pada masa kehamilan dapat dilakukan pemeriksaan melalui test villi


korionik (chronic villous testing) pada usia kehamilan sekitar 10-12
minggu.
b) Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk mendiagnosis CF yang akan
diterminasi kehamilannya. Pemeriksaan prenatal ini sudah jarang
dilakukan karena harapan hidup pasien-pasien dengan KF sekarang
telah meningkat.

3) Test genetika

a) Test genetik melalui test darah dapat mendeteksi kondisi karier dengan
keakuratan sampai 95%
b) Biaya yang diperlukan berkisar $US 50-150
c) Testing in direkomendasikan untuk individu-individu yang mempunyai
riwayat keluarga dengan CF dan untuk pasangan-pasangan yang
merencanakan kehamilan, namun tidak diindikasikan untuk keperluan
skrining secara umum (NIH Consensus Stetment, 1999).

 Skrining bayi baru lahir dapat dilakukan melalui pengukuran kadar


tripsin immunoreaktive pada blood spot test Guthrie.
 Diagnosis CF secara laboratoris ditegakkan jika ada salah satu
marker seperti test genetik atau test kadar klorida keringat positif
ditambah salah satu dari gejala klinis dibawah ini :
 Penyakit paru obstruksi kronik khas
 Insufisiensi eksokrin kelenjar pancreas
 Riwayat keluarga positif CF

4) Pemeriksaan radiologis CT scan


Pemeriksaan CT scan paranasal dilakukan melalui potongan aksial dan
koronal tanpa kontras. Umumnya pasien dengan CF memberiksan hasil :
1) Lebih dari 90% menunjukkan bukti adanya sinusitis kronik yang ditandai
dengan opaksifikasi, pergeseran ke medial dinding lateral kavum nasi
pada daerah meatus media, serta demineralisasi prosesus unsinatus.
2) Kelainan berupa buging ke arah medial dari kedua dinding lateral hidung
disertai gambaran mukus viskus di sinus maksila terdapat hampir pada
12% pasien dan merupakan stadium mucucelelike yang harus segera
ditangani dengan pembedahan.
3) Sinusitis kronik sering menyebabkan gangguan peneumatisasi dan
hipoplasia dari sinus maksila dan etmoid, juga menyebabkan
terganggunya pembentukan sinus frontalis. Pasien-pasien adolesen
dengan CF sering didapatkan tidak terbentuknya sinus frontalis pada
gambaran CT scannya.
5) Pemeriksaan Kultur
Aspirasi sinus penting dilakukan untuk pemeriksaan kultur pada pasien-
pasien CF untuk mendeteksi adanya keterlibatan infeksi kuman pseudomonas.
1) Pengambilan kultur sebaiknya dilakukan aspirasi transantral sinus
maksila dan tak ada gunanya mengambil di daerah nasofaring,
tenggorok atau septum. Dari penelitian organisme yang sering
ditemukan dari hasil kultur pasien-pasien dengan CF
adalah pseudomonas (65%), haemophilusinfluenzae (50%)
, Alphahaemolticstreptococci (25%) dan kuman-kuman anaerob
seperti peptostreptococcus serta Bactroides (25%).Sensitivitas terapi
organisme-organisme dengan antibiotika sama sensitivnya pada
pasien-pasien CF dibanding dengan yang nonCF, kecuali pada
kuman pseudomonas.
2) Pasien-pasien dengan sinusitis akut tanpa CF kuman penyebabnya
umumnya terdiri dari Pneumococcus, H Influenza dan Moraxella
catarrhalis, sedang jika sinusitis kronik selain kuman diatas ditambah
dengan organisme Staphylococcus aureus dan kuman anaerob
seperti Bacteroides, Veillonella dan Fusobacterium.

6) Tes carrier cystic fibrosis.


Untuk menentukan adanya carrier CF, jika:
1) Memiliki keluarga dengan riwayat CF
2) Memiliki hubungan dengan seseorang yang menderita CF.

2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksaan cystic fibrosis meliputi dua hal yaitu medikamentosa dan
pembedahan.
1. Medikamentosa
1) Terapi antibiotic
Diberikan untuk gejala kronik dari obstruksi hidungnya berupa
discharge purulen atau batuknya terhadap kuman pseudomonas dan
staphylococcus.
2) Terapi mukolitik
Menggunakan ekspektoran yang mungkin dapat meredakan gejala
klinis.
3) Irigasi
Irigasi menggunakan saline bertujuan untuk menurunkan kolonisasi
bakteri,mencuci keluar sekresi lender yang menyebabkan obstruksi,
dan secara berkala membantu vasokontriksi pembuluh darah konka.
2. Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan bila terapi medikamentosa tidak efektif,
dan dilakukan pada area saluran napas yang terdapat kelainan
yang bagaimanapun juga pertimbangan pembedahan harus benar-benar
matang pada pasien CF karena bahaya-bahaya kemungkinan terbentuknya
mucus kental yang banyak selama operasi dengan anastesi umum yang
resikonya semakin meningkat sejalan dengan lamanya intubasi.
Indikasi pembedahan pada pasien CF menurut Nishioka :
1) Obstruksi nasi persistent yang disebabkan polip nasi dengan atau
tanpa penonjolan ke medial dinding lateral hidung. Pembedahan yang
dilakukan pada polip meliputi polip ekstraksi, dan BSEF ( bedah
sinus endoskopi fungsional ).
2) Medialisasi dinding lateal hidung yang dibuktikan melalui CT scan
walau tanpa disertai gejala subjektif obstruksi nasi, pembedahan perlu
dilakukan karena tingginya prevalensi mucocelelike formations.
3) Timbulnya eksaserbasi penyakit paru yang berkorelasi dengan
eksaserbasi penyakit sinonasalnya, memburuknya status penyakit
parunya atau penurunan aktifitas fisik serta kegagalan terapi
medikamentosa.
4) Nyeri wajah atau nyeri kepala yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya selain adanya FK yang dapat menggangu kualitas hidup
penderita.
5) Tidak ada perbaikan dari gejala klinis sinonasal setelah terapi
medikamentosa adekuat.
Kontraindikasi dilakukan pembedahan :
1. Penyakit paru obstruktif kronik berat yang beresiko saat dilakukan
anastesi.
2. Pasien dengan CF sangat beresiko terhadap defisiensi vitamin K
akibat insufisiensi pankreas, penyakit hepatobilier atau keduanya dan
jika tidak disuplement akan beresiko perdarahan, yang ditandai dengan
pemanjangan masa prothrombin time (PT) dan harus dikoreksi terlebih
dahulu sebelum dilakukan pembedahan.
3. Sinusitis kronik dapat menyebabkan terganggunya/terlambatnya
pneumatisasi dan perkembangan dari sinus maksila, etmoid dan frontal
pada pasien CF khususnya anak-anak sehingga ini terkadang kurang
diperhitungkan. Dalam hal diatas perlu dilakukan CT scan coronal dan
axial preoperatif untuk kenfirmasi sebelumnya.

2.2 Manajemesn Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
1. Anamnesa
Data yang dikumpulkan selama pengkajian digunakan sebagai dasar
untutk membuat rencana asuahan keperawatan klien. Proses pengkajian
keperawatan harus dilakukan dengan sangat individual (sesuai masalah dan
kebutuhan klien saat ini). Dalam menelaah status pernapasan klien, perawat
melakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memaksimalkan data yang
dikumpulkan tanpa harus menambah distres pernapasan klien. Setelah
pengkajian awal perawat memilih komponen pemeriksaan yang sesuai dengan
tingkat distres pernapasan yang dialami klien.
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
1) Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang: nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
2) Keluhan Utama
Pasien dengan cystic fibrosis didapatkan keluhan berupa infeksi saluran
napas kronis berupa batuk kronis berdahak sering berulang, batuk dapat
disertai darah (hemoptysis), sesak napas, selera makan menurun, demam,
insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas dan abnomalitas kelenjar keringat
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang pada pasien cystic fibrosis menunjukkan
adanya mutasi genetic yang membentuk protein CF transmembrane
conductance regulator (CFTR) yang terletak pada kromosom 7.
4) Riwayat penyakit dahulu
Kedua orang tua merupakan carrier dari gen resesif CFTR atau salah satu
dari orang tua ada yang menderita cystic fibrosis. Selain itu perlu
ditanyakan juga apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC
paru, pneumonia, gagal jantung, tauma dan sebagainya. Hal ini diperlukan
untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor preisposisi
5) Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-
penyakit yang disinyalir sebagai penyebab cystic fibfosis.

2. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breath)
Meliputi sesak napas, paru kekurangan oksigen sehingga jaringan rusak
dan kulit berwarna kebiruan (sianosis) dan batuk yang semakin hari semakin
buruk
2) B2 (Blood)
Memungkinkan terjadinya hiperglikemi akibat pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin dengan baik akibat mukus yang berlebihan hingga
merusak pankreas.
3) B5 (Bowel)
Pada bowel kelainanya meliputi diare, dehidrasi, nyeri dan
ketidaknyamanan pad perut karena terlalu banyak gas dalam usus sebgai
akibat disfungsi enzim digestine. Selain itu, dapat ditemui kelainan berupa
nafsu makan besr tetapi tidak menambah berat badan dan pertumbuhan
(cenderung menurun).

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret
mukus yang kental dan banyak serta upaya batuk buruk.
2) Ketidakefektifanpola nafas berhubungan dengan obstruksi
trakeobronkial
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
4) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif.

2.2.3 Intervensi Keperawatan


1. Dx : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
sekret mukus yang kental dan banyak serta upaya batuk buruk.
Tujuan : Klien tidak mengalami aspirasi
Kriteria Hasil : Menunjukan batuk yang efektif dan peningkatan
pertukaran udara dalam paru-paru.
Intervensi Dx 1 :
1) Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas misalnya
mengi, krekels, ronki
2) Lakukan fisioterapi untuk mengeluarkan secret dan berikan
pasien posisi yang nyaman, missal peninggian kepala tempat
tidur, duduk pada sandaran tempat tidur (posisi semi fowler /
fowler).
3) Bantu klien untuk mengencerkan sputum dengan kolaborasi
pemberian espektoran untuk meningkatkan bersihan jalan napas.
4) Berikan nebulisasi dengan larutan dan alat yang tepat sesuai
ketentuan.
2. Dx.Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan obstruksi
trakeobronkial.
Tujuan : 1) Memperbaiki atau mempertahankan pola pernapasan
normal
2) Pasien mencapai fungsi paru-paru yang maksimal
Kriteria hasil :
1) Pasien menunjukan frekuensi pernapasan yang efektif dengan
frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru
jelas/bersih
2) Pasien bebas dari dispnea, sianosis, atau tanda-tanda lain distress
pernapasan.
Intervensi :
1. Berikan posisi fowler atau semifowler.
2. Ajarkan teknik napas dalam dan atau pernapasan bibir atau
pernapasan diafragma abdomen bila diindikasi serta latiahan batuk
efektif.
3. Observasi TTV (RR atau frekuensi permenit)

3. Dx : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan


napas oleh obstruksi nasal.
Tujuan : Mempertahankan oksigenasi atau ventilasi adekuat
Kriteria hasil :
1) Pasien memperlihatkan frekuensi napas efektif
2) Bebas dari distress pernapasan
3) GDA dalam rentang normal.
Intervensi :
1. Pertahankan jalan napas yang paten
2. Posisikan untuk mendapatkan efisiensi ventilator maksimum seperti
posisi Fowler tinggi atau duduk, membungkuk ke depan.
3. Pantau tanda-tanda vital, gas darah arteri (GDA), dan oksimetri nadi
untuk mendeteksi/mencegah hipoksemia.
4. Berikan suplemen oksigen sesuai ketentuan/kebutuhan. Pantau pasien
dengan ketat karena narkosis karbondioksida akibat oksigen
merupakan bahaya dari terapi oksigen pada pasien dengan penyakit
paru kronis.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
Tujuan: Menyeimbangkan volume cairan sesuai dg. Kebutuhan tubuh.
Kriteria hasil:
Individu akan:
1) Meningkatkan masukan cairan minimal 2000 ml/hari (kecuali bila ada
kontraindikasi).
2) Menceritakan perlunya untuk meningkatkan masukan cairan selama
stres atau panas.
3) Meningkatkan berat jenis urine dalam batas normal
4) Memperlihatkan tidak adanya tanda dan gejala dehidrasi.
Intervensi :
1. Beri minuman kesukaan dalam batasan diet
Rasional: agar klien mau minum banyak
2. Rencanakan tujuan masukan cairan untuk setiap pergantian (mis; 1000
ml selama pagi, 800 ml sore dan 200 ml malam hari).
Rasional: agar kebutuhan cairan klien terpenuhi
3. Kaji pengertian individu tentang alasan-alasan untuk mempertahankan
hidrasi yang adekuat dan meoda-metoda untuk mencapai tujuan
masukan cairan.
Rasional: agar klien mengerti dan memahami pentingnya masukan
cairan yang seimbang.
4. Untuk anak-anak, tawarkan: bentuk-bentuk cairan yang menarik (es
krim bertangkai, jus dingin, es berbentuk kerucut), wadah yang tidak
biasa (cangkir berwarna, sedotan), dengan sebuah permainan atau
aktivitas (suruh anak minum jika tiba giliran anak).
Rasional: penambahan cairan dengan cara ini dapat meningkatkan
minat anak untuk memenuhi cairan yang hilang.

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi ini dilakukakan sesuai dengan pelaksaanan dari intervensi
yang akan dilakukan.
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi ini adalah apa hasil yang didapatkan dari hasil implementasi.

2.3 Trend dan Isusue Fibrosis Cystica


BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cystic fibrosis merupakan gangguan monogenic yang ditemukan sebagai
penyakit multisistem. Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri kronis
pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan
bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal, fungsi
kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi urogenital.Cystic fibrosis bisa terjadi
akibat adanya mutasi genetic yang membentuk protein CF transmembrane
conductance regulator (CFTR) yang terletak pada kromosom 7. Manifestasi cystic
fibrosis yang umum pada tahun pertama atau kedua kehidupan pada traktus
respiratorius yang paling sering batuk dan/atau infiltrate pulmoner. Sebagian besar
gejala dari cystic fibrosis adalah disebabkan oleh banyaknya mucus. Gejala
umumnya seperti batuk persisten yang disertai sputum, batuk dari efek bronkitis
dan pneumonia. Pemeriksaan diagnosyik pada kasus cystic fibrosis meliputi
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis CT scan, dan pemeriksaan
kultur. Sedangkan penatalaksanaan untuk mengatasi cystic fibrosihan yaitu
medikamentosa dan pembedahan. Asuhan keperawatan untuk kasus ini meliputi
tahap asuhan keperawatan pada umumnya. Adapun diagnosa keperawatan yang
dapat ditegakkan pada kasus cystic fibrosis salah satunya adalah bersihan jalan
napas tidak efektif berhubungan dengan sekret mukus yang kental dan banyak
serta upaya batuk buruk.

3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan., S.G. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen Farmakologi


dan Terapetik FK-UI. Jakarta.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi kedokteran Edisi 11. ECG.
Jakarta.

Ratjen, Felix A. 2009. Cystic Fibrosis: Pathogenesis and Future Treatment


Strategies. Respiratory care, Vol 54, No 5.

Tjay, HT. Rahardja K. 2003. Obat-Obat Penting. Gramedia. Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik


Klinis.EGC : Jakarta.

Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta.

http://cetrione.blogspot.com. (Cystic Fibrosis, Chapter 253, Harrison's Principles


of Internal Medicine 17th ed.,diterjemahkan oleh Husnul
Mubarok,S.ked). Akses tanggal 3 Desember 2010.

Anda mungkin juga menyukai