Anda di halaman 1dari 21

JENIS-JENIS KEUANGAN ISLAM

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Manajemen
Keuangan Islam

Oleh :

Digjaya Nata Nagara (10090317001)

Muhamad Bayu Nur Rohman (10090317004)

Mochammad Ervan Masoem (10090317024)

Rifki Hadi (10090317031)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum wr.wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dengan judul “Jenis-Jenis Keuangan Islam” ini untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Manajemen Keuangan Islam di Universitas Islam
Bandung.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, serta kemampuan
penulis. Namun demikian penulis telah berusaha sesuai dengan kemampuan yang
penulis miliki. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun akan
penulis terima dengan senang hati untuk perbaikan selanjutnya.

Wassallamualaikum wr.wb.

Bandung, 22 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................................
1.2 Identifikasi Masalah...........................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan ...............................................................................................
BAB II ISI
2.1 Perbankan Islam ................................................................................................
2.2 Asuransi Islam ...................................................................................................
2.3 Pasar Modal Syariah ..........................................................................................
2.4 Gadai (Rahn) ......................................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Seorang muslim di tuntut untuk hidup dalam bingkai dan koridor ketaatan
kepada Allah Ta’ala dimana seorang muslim dalam ajaran agama Islam di larang
atau diharamkan untuk memakan harta secara bathil (tidak benar), diantara bentuk
memakan harta secara bathil adalah dengan cara mengambil riba atau bertransaksi
dengan metode yang ribawi. Didalam Al Qur’an surah Ali Imran ayat 130
diterangkan bahwa “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Bagi seorang muslim riba secara keseluruhannya adalah haram, baik riba yang
berlipat ganda maupun yang sedikit dan riba merupakan perbuatan yang tercela
karena merupakan perbuatan yang mengeksploitasi sesama manusia. Perbuatan riba
tidaklah ada perbedaan apakah dilakukan oleh pribadi maupun berjamaah secara
institusi dimana semuanya sama saja keharamannnya bagi muslim.
Oleh karena itu dengan semakin sadarnya umat muslim terhadap ayat diatas
yang menyatakan bahwa kita dituntut untuk menjauhi riba, maka saat ini banyak
sekali jenis-jenis keuangan islam yang bisa menjadi solusi bagi umat muslim agar
bisa menjalankan segala transaksi sesuai dengan syariat islam, seperti adanya bank
syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, dll.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan memberikan identifikasi
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah perbankan islam serta apa misinya dan bagaimana prinsip
operasionalnya?
2. Apa yang dimaksud dengan asurasi syariah dan bagaimana prinsip-prinsip
dasarnya?
3. Apa yang dimaksud dengan pasar modal Syariah serta bagaimana fungsi dan
karakteristiknya.
4. Apa yang dimaksud dengan gadi (rahn) serta bagaimana rukun dan syarat
perjanjian gadai dan bagaimana pemanfaatan dan penjualan barang gadai?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka tujuan
penulisannya adalah:
1. Untuk mengetahui sejarah perbankan islam serta misi dan prinsip
operasionalnya.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan asuransi syariah dan prinsip-
prinsip dasarnya.
3. Untuk mengetahui pengertian pasar modal Syariah serta fungsinya dan
karakteristiknya.
4. Untuk mengetahui pengertian dari gadai (rahn) serta rukun dan syrat
perjanjiann gadai dan pemanfaatan dan penjualan barangnya.
BAB II
ISI

4.1. Perbankan Islam


2.1.1 Sejarah Perbankan Islam
Perbankan Islam memiliki sejarah yang unik. Dikatakan unik karena lembaga
ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga berbeda dengan perbankan
konvensional, sehingga acuan perbankan Islam bukanlah dari perbankan
konvensional itu sendiri, akan tetapi dari Baitutamwil. Dalam sejarahnya, baitulmal
merupakan lembaga keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah. Lembaga
ini pertama kali hanya berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara dari
zakat, infak, sedekah, pajak, dan harta rampasan perang. Kemudian, pada zaman
pemerintahan para sahabat Nabi berkembang pula lembaga lain yang disebut dengan
Baitutamwil, yang merupakan lembaga keuangan Islam yang menampung dana-dana
masyarakat untuk diinvestasikan ke proyek-proyek atau pembiayaan perdagangan
yang menguntungkan.
Baituta'mwil ini kemudian pada akhirnya berkembang menjadi berbagai
lembaga keuangan Islam yang cukup diperhitungkan di kawasan Timur Tengah. Hal
ini dapat dilihat-dari munculnya Al Kuwaiti Beit ut Tamwil, International Leasing
Company, dan Kuwait Gulf Investment House di Kuwait. Selain itu, juga terdapat
Beit Ihlas Al Turki di Turki serta Beit Tamweel Al-Awkaf di Bangladesh.
Akan tetapi, penggunaan nama Baitutamwil ternyata tidak bisa dengan mudah
digunakan di beberapa negara-negara Islam yang dahulunya merupakan jajahan dari
negara-negara di kawasan Eropa, karena istilah Baituttamwil tidak dikenal dalam
sistem perundang-undangan negara-negara tersebut yang banyak mewarisi
perundang-undangan dari negara yang menjajah. Atas dasar itulah digunakan nama
bank Islam untuk menggantikan nama Baitutamwil. Di dunia internasional, bank-
bank Islam ini tetap menggunakan nama perbankan meskipun prinsip
operasionalnya tetap seperti Baitutamwil. Di antara namanya adalah Bahrain Islamic
Bank, Faisal Islamic Bank of Bahrain, ' Islamic Bank of Bangladesh, dan berbagai
bank Islam yang lain.
Pada tahun 1940-an, upaya untuk mewujudkan suatu lembaga keuangan
dengan basis bagi hasil mulai menampakkan bentuknya secara nyata, terutama
dengan berdirinya suatu lembaga keuangan yang mengelola dana-dana jamaah haji
dengan cara yang tidak sama dengan yang dilakukan oleh lembaga keuangan
konvensional. Hal ini terjadi dan dilakukan di Malaysia (dahulu bernama
Persekutuan Tanah Melayu) dan juga Pakistan. Meskipun begitu, tetap saja lembaga
yang didirikan tersebut tidak bisa menggunakan nama baitut tamwil dikarenakan
hukum yang berlaku adalah hukum dari negara-negara Barat yang sebelumnya
banyak melakukan penjajahan di negara-negara dengan penduduk mayoritas
muslim, seperti Malaysia dan Pakistan. Barulah pada tahun 1960-an; tepatnya pada
tahun 1963, bentuk nyata dari lembaga perbankan Islam mulai terlihat dengan
berdirinya Mit Ghamr Lokal Saving Bank di Mesir, sebuah lembaga keuangan Islam
unit desa yang didirikan oleh Prof. Ahmed Najjar.
Usaha untuk mengembangkan perbankan Islam terus dilakukan. Pada tahun
1969 secara bersama beberapa negara dari kelompok Islam internasional yang
terbentuk dalam wadah Organisasi Konferensi Islam (OKI) sedunia menggagas ide
tentang perlunya bank Islam pada tingkat internasional. Konferensi ini
diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21 s.d. 27 April 1969 dengan
diikuti oleh 19 negara peserta (Syahdeini, 1999: 5) dan enam negara sebagai
peninjau (Usman, 2002: 2). Konferensi tersebut membahas soal riba dan bank yang
hasilnya memutuskan beberapa hal, yaitu:
1. Tiap keuntungan haruslah tunduk pada hukum untung dan rugi. Jika tidak
demikian, maka hal itu termasuk riba, dan riba itu sedikit ataupun banyak,
hukumnya haram.
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank Islam yang bersih dari sistem riba
dalam waktu secepat mungkin.
3. Sementara bank Islam belum berdiri, .bank-bank yang menerapkan bunga
masih diperbolehkan untuk beroperasi hanya apabila memang benar-benar
dalam keadaan darurat.
Mesir meskipun sempat menutup salah satu bank tanpa bunga yang beroperasi
dinegaranya karena alasan politik sebagai negara yang juga menjadi anggota OKI
rupanya tetap ingin menjadi pelopor dalam pendirian lembaga perbankan tanpa
bunga, atau bank Islam. Hal ini dibuktikan dengan diajukannya sebuah proposal
untuk mendirikan bank Islam di tingkat internasional dalam pertemuan para menteri
luar negeri negara-negara anggota OKl yang berlangsung di Karachi, Pakistan pada
Desember 1970. Proposal dengan nama Pendirian Bank Islam Internasional untuk
Perdagangan dan Pembangunan ini kemudian dikaji oleh para ahli dari 18 negara
Islam dan kemudian dibicarakan kembali dalam sidang para Menteri Luar Negeri
OKI di Benghazi, Libya, pada Maret 1973. Dalam sidang tersebut pada akhirnya
diputuskan agar OKl memiliki bidang yang secara khusus menangani masalah
ekonomi dan juga keuangan. Sebagai kelanjutan dari sidang menteri luar negeri OKI
tersebut, pada bulan ]uli 1973, komite ahli yang direkomendasikan dan mewakili
negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Ieddah, Arab Saudi dalam rangka
pendirian bank Islam. Hasil dari serangkaian pembahasan tersebut disampaikan pada
Mei 1974 dalam sidang para Menteri Keuangan negara-negara anggota OKI, yaitu
dengan didirikannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank
dengan modal awal 2 miliar dinar atau 2 miliar SDR ( Special Drawing Right ).
Dengan berdirinya IDB, maka banyak negara Islam yang lain yang juga mendirikan
lembaga perbankan Islam. Beberapa di antaranya adalah Dubai Islamic Bank yang
didirikan pada tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari beberapa negara.
Sementara pada tahun 1977 berdiri pula dua bank swasta bebas bunga dengan nama
Faysal Islamic Bank of Egypt dan Faysal Islamic Bank of Sudan (Syahdeini, 1999:
5), yang didirikan oleh Almarhum Raja Faisal bin Abdul Azis al-Saud dari Arab
Saudi, yang dianggap tclah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan
ekonomi Islam dan perbankan syariah (Haron, 1996: 10). Pada tahun 1977,
pemerintah Kuwait juga turut serta mengembangkan perbankan Islam mendirikan
Kuwait Finance House (Syahdeini, 5). Selain itu Pakistan, Iran, Malaysia, dan juga
Turki turut serta mengembangkan bank Islam.
2.1.2 Misi Perbankan Islam
Sebagai sebuah bank dengan prinsip khusus, maka bank Islam diharapkan
dapat menjadi lembaga keuangan yang dapat menjembatani antara para pemilik
modal atau pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan
dana. Fungsi yang dijalankan oleh bank Islam ini diharapkan dapat menutup
kegagalan fungsi sebagai lembaga intermediasi yang gagal dilaksanakan oleh bank
konvensional. Adapun beberapa fungsi dari didirikannya perbankan Islam adalah:
1. Mengarahkan agar umat Islam dalam melaksanakan kegiatan muamalahnya
secara islami, dan terhindar dari praktik riba serta praktik lain yang
mengandung unsur gharar, di mana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang
dalam Islam juga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan
perekonomian masyarakat.
2. Dalam rangka menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi dengan
melakukan pemerataan pendapatan melalui berbagai kegiatan investasi, agar
tidak terjadi kesenjangan ekonomi yang besar antara pemilik modal dengan
mereka yang membutuhkan dana.
3. Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup umat manusia dengan jalan
membuka peluang usaha yang lebih besar, terutama kepada kelompok miskin
serta mengarahkan mereka untuk menjalankan kegiatan usaha yang
produktif.
4. Dalam rangka membantu penanggulangan masalah kemiskinan yang biasa
terjadi di negara-negara sedang berkembang, yang ironisnya banyak dihuni
oleh umat Islam. Upaya yang dilakukan oleh bank Islam di dalam usaha
pengentasan kemiskinan ini adalah berupa pembinaan nasabah yang lebih
menonjol dengan sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap, seperti
program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara,
program pengembangan modal kerja, serta dikembangkannya program
pengembangan modal bersama.
5. Untuk menjaga tingkat stabilitas dari ekonomi dan moneter dan juga untuk
menghindari persaingan yang tidak sehat yang mungkin dapat terjadi antara
lembaga keuangan.
2.1.3 Prinsip Operasional Perbankan Islam
Pada umumnya, kegiatan operasional yang dilakukan oleh perbankan Islam
dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Tiga bagian itu berkaitan dengan produk
yang ada dalam dunia perbankan Islam, yaitu penghimpunan dana, penyaluran dana,
dan jasa-jasa perbankan. (Karim, 83; 2003)
 Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dananya kepada nasabah, secara garis besar produk
perbankan Islam dapat dibagi atas beberapa bagian yaitu murabahah, salam (In-front
payment sale), bai’ al- Istishna, musyarakah, mudarabah, dan ijarah.
 Pengimpunan Dana
Perkembangan dan pertumbuhan dunia perbankan akan sangat dipengaruhi
oleh kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil
maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga
keuangan masalah bank yang paling utama adalah dana. Tanpa dana yang cukup,
bank tidak dapat berfungsi sama sekali. Sebagai sebuah lembaga keuangan,
perbankan Islam juga melakukan kegiatan penghimpunan dana agar dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Penghimpunan dana di bank Islam dapat
berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional Islam yang diterapkan
dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi'ah dan mudarabah.
 Produk Jasa Bank
Bank Islam, sebagai sebuah bank pada umumnya, selain menjalankan
fungsinya sebagai tempat jasa intermediaries dari pihak yang membutuhkan dana
dengan pihak yang kelebihan dana juga melakukan berbagai pelayanan jasa
perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan.
Jasa-jasa tersebut di antaranya berupa pelayanan sharf, atau jual beli valuta asing,
rahn, wakalah dan hawalah.

4.2. Asuransi Islam


2.2.1 Pengertian Asuransi dan Asuransi Islam
Pengertian asuransi menurut William Ir. dan Heins yang dikutip dalam
bukunya Muhammad Syakir Sula, memiliki dua pengertian dari dua sudut pandang
yaitu sudut pandang pemegang polis dan sudUt pandang perusahaan asuransi. (Sula:
2004: 47)
Sudut pandang pemegang polis merupakan potensi terhadap kerugian finansial
di mana kerugian tersebut akan ditanggung oleh perusahaan asuransi (insurer), jadi
asuransi merupakan transfer device. Adapun bagi perusahaan asuransi adalah suatu
alat yang digunakan untuk mengumpulkan dana yang berasal dari individu-individu
atau dari perusahaan yang mengasuransikan dirinya dan dari dana inilah klaim
mereka akan dibayarkan. ]adi, asuransi menurut perusahaan asuransi merupakan
retention dan combination device.
Selain itu, asuransi adalah perjanjian peralihan risiko, pihak penanggung
mengambil alih risiko tertanggung, dan sebagai kontraprestasinya tertanggung
berkewajiban membayar premi. Adapun risiko yang tidak tentu disebut evanumber.
Menurut bahasa Arab, istilah asuransi adalah at-ta’min, diambil dari kata
amana memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari
rasa takut. Asuransi itu dinamakan at-ta'min telah disebabkan pemegang polis
sedikit banyak telah merasa aman begitu mengikatkan dirinya sebagai anggota atau
nasabah asuransi. Pengertian yang lain dari at-ta'min adalah seseorang membayar
atau menyerahkan uang cicilan agar pemegang polis atau ahli warisnya.

2.2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi Islam


Asuransi Islam merupakan bagian dari ekonomi Islam merupakan salah satu
aspek dari sistem Islam yang tentunya memiliki nilai dasar atau prinsip-prinsip yang
sesuai dengan nilai-nilai illahiyah dalam pelaksanaan operasionalnya, namun nilai-
nilai dari prinsip-prinsip asuransi Islam terdapat juga dalam prinsip-prinsip asuransi
secara umum, adapun prinsip asuransi secara umum tersebut antara lain:
1. Prinsip Insurable Interest (Prinsip kepentingan).
Yang dimaksud dengan prinsip insurable interest (prinsip kepentingan)
adalah hak atau adanya hubungan dengan persoalan pokok dari perjanjian,
seperti menderita kerugian finansial sebagai akibat terjadinya kerusakan,
kerugian, atau kehancuran suatu benda. (Huda dan Hakim, 2006: hal. 7).
Kepentingan di sini dapat terjadi karena adanya beberapa hal antara lain:
a. Kepemilikan, misalnya kendaraan milik kita sendiri;
b. Kuasa dari orang lain, misalnya kendaraan yang sedang dalam
proses perbaikan di bengkel;
c. Karena undang-undang, misalnya pemilik gedung bertang_ gung
jawab atas kerugian yang dialami pengunjung gedung. (Sula, 2004,
236)
Karena itu, pengakuan terhadap hak milik dan tanggung jawab atas hak
milik seseorang yang dikuasakan kepada kita, diatur dan diakui dalam
Islam.
Tanpa insurable interest, maka suatu perjanjian akan merupakan
perjanjian taruhan atau perjanjian perjudian dan dapat menimbulkan niat
jahat untuk menyebabkan terjadinya kerugian dengan tujuan memperoleh
keuntungan. Dengan kata lain, jika kepentingan itu tidak ada, maka harus
dikategorikan sebagai kegiatan perjudian.
2. Prinsip Utmost Good Faith (Prinsip iktikad baik atau prinsip kejujuran yang
sempurna)
Dalam perjanjian asuransi, unsur saling percaya antara penanggung
dan tertanggung itu sangat penting. Penanggung percaya bahwa tertanggung
akan memberikan segala keterangan dengan benar. Di lain pihak
tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung akan
membayar ganti rugi. Saling percaya ini dasarnya adalah iktikad baik. (Huda
& Hakim, 2006: 7)
Karena itu, hal yang sangat penting bagi kedua belah pihak dalam
prinsip Utmost Good Faith ini adalah adanya informasi yang benar dari
masing-masing pihak. Artinya, informasi yang diberikan tidak mengandung
unsur kebohongan, penipuan, dan kecurangan (Sula, 2004: 138) Di dalam
bermuamalah hal tersebut dapat merusak perjanjian (akad). Karena dalam
perjanjian (akad) muamalah satu sama lain harus saling memenuhi akad atau
perjanjian tersebut.
3. Prinsip Idemnity
Idemnity adalah kompensasi keuangan yang eksak, cukup untuk
mengembalikan tertanggung pada posisi keuangan sesaat sebelum kerugian
terjadi. Bertujuan memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita
oleh tertanggung yang disebabkan oleh bahaya sebagaimana ditentukan
dalam polis. (Huda & Hakim, 2006: 3-4). Bentuk idemnity, yaitu: cash,
repair, replacement, dan reinstatement.
4. Prinsip Proximate Cause
Proximate cause adalah suatu sebab aktif, efisien yang
mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau berurutan dan
intervensi kekuatan lain, diawali dengan bekerja dengan aktif dari suatu
sumber baru dan independen.
5. Prinsip Subrogation
Subrogation merupakan hak penanggung yang telah memberikan
ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang
mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa
kerugian. Prinsip ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari prinsip
indemnity, yang hanya memberikan ganti rugi kepada tertanggung sebesar
kerugian yang dideritanya. Contohnya, dalam asuransi kebakaran; bilamana
terjadi kebakaran karena kesalahan orang lain (pihak ketiga) kerugian-
kerugian yang terjadi bisa digeserkan kepada pihak ketiga. (salim, 2003:18)
6. Prinsip Contribution
Contribution (kontribusi) menurut sudut pandang asuransi terbagi
menjadi dua, yaitu sudut pandang penanggung (perusahaan asuransi) dan
sudut pandang tertanggung (pemegang polis). Untuk sudut pandang
penanggung Contribution suatu prinsip di mana penanggung berhak
mengajak penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang
sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada tertanggung,
meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung berbeda.
2.3 Pasar Modal Syariah
2.3.1 Pengertian Modal dan Pasar Modal Syariah
Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrument
keuangan jangka panjang yang bisa diperjual belikan, baik dalam bentuk utang
(obligasi) maupun maupun modal sendiri (saham). Kegiatan pasar modal Indonesia
diatur dalam UU No. 8 tahun 1995 (Undang-Undang Pasar Modal /UUPM). UUPM
tidak membedakan apakah kegiatan pasar modal tersebut dilakukan dengan prinsip-
prinsip syariah atau tidak. Dengan demikian,berdasarkan UUPM, kegiatan pasar
modal Indonesia dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip syariah dan dapat pula
dilakukan tidak sesuai dengan prinsip syariah.

Pasar modal syariah adalah pasar modal yang seluruh mekanisme


kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan
mekanisme perdagangannya telah sesuai dengan perinsip prinsip syariah. Sedangkan
yang dimaksud dengan efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan
peruasahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip prinsip syariah. Adapun
yang dimaksud dengan prinsip-prinsip syariah adalah prinsip yang didasarkan oleh
syariah ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI melalui fatwa
(Firdaus, et. al., 2005).

2.3.2 Fungsi Pasar Modal Syariah


Pasar modal berperan menjalankan dua fungsi secara simultan berupa fungsi
ekonomi dengan mewujudkan pertemuan dua kepentingan, yaitu pihak yang
memiliki kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana, dan fungsi
keuangan dengan memberikan kemungkinan dan kesempatan untuk memperoleh
imbalan bagi pemilik dana melalui investasi. Pada fungsi keuangan, pasar modal
berperan sebagai sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi perusahaan
untuk mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang diperoleh
dari pasar modal dapat dipergunakan untuk pengembangan saha, ekspansi,
penambahan modal kerja dan lain-lain. Sedangkan pada fungsi yang kedua pasar
modal menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinvestasipada instrumen keuangan
seperti saham, oligasi, reksadana, dan lainlain. Dengan demikian, masyarakat dapat
menempatkan dana yang dimilikinya sesuai dengan karakteristik keuntungan dan
risiko masing masing instrumen.
Fungsi pasar modal syariah menurut Metwally (Rifai, 2009:535):
1. Memungkinkan bagi masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan bisnis
dengan memperoleh bagian dari keuntungan dan risikonya.
2. Memungkinkan para pemegang saham menjual sahamnya guna
mendapatkan likuiditas.
3. Memngkinkan perusahaan meningkatkan modal dari luar untuk
membangun dan mengmbangkan lini produksinya.
4. Memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi jangka pendek pada
harga saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal konvensional.
5. Memungkinkan investasi pada ekonomi itu ditentukan oleh kinerja
kegiatan bisnis sebagaimana tercermin pada harga saham.

2.3.3 Karakteristik Pasar Modal Syariah


Menurut Mokhtar Muhammad Metwally (Rifai, 2009) karakteristik pasar
modal syariah adalah:
1. Semua saham harus diperjual belikan pada bursa efek.
2. Bursa perlu mempersiapkan pasca perdagangan dimana saham dapat
diperjualbelikan melalui pialang.
3. Semua perusahaan yang mempunyai saham yang dapat diperjualbelikan di
bursa efek diminta menyampaikan informasi tentang perhitungan (account)
kentungan dan kerugian serta neraca keuntungan kepada komite
manajemen bursa efek, dengan jarak tidak lebih dari tiga bulan sekali.
4. Komite manajemen menerapkan harga saham tertinggi (HST) tiap tiap
perusahaan dengan interval tidak lebih dari tiga bulan sekali.
5. Saham tidak boleh diperjual belikan dengan harga lebih tinggi dari HST .
6. Saham dapat dijual dengan harga dibawah HST.
7. Komite manajemen harus memastikan bahwa semua perusahaan yang
terlibat dalam bursa efek itu mengikuti standar akuntansi syariah.
8. Perdagangan saham mestinya hanya berlangsung dalam satu minggu
priode perdagangan setelah menentukan HST.
9. Perusahaan hanya dapat menerbitkan saham baru dalam periode
perdagangan dengan harga HST.

2.4 Gadai (Rahn)


2.4.1 Pengertian Gadai (Rahn)
Dalam Istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga
dinamai al-habsu (Pasaribu, 1996 : 139). Secara etimologis, arti rahn adalah tetap
dan lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak
sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut (Syafe’i, 2000 :
159). Sedangkan menurut Sabiq (1987 : 139), rahn adalah menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga
orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian
(manfaat) barangnya itu. Pengertian ini didasarkan pada praktik bahwa apabila
seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik
berupa barang tak bergerak atau berupa barang ternak berada di bawah penguasaan
pemberi pinjaman sampai penerima pinjaman melunasi hutangnya.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab al-
Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk
dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari
orang yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al-Anshary dalam kitabnya
Fathul Wahab mendefinisikan rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta
benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta benda itu
bila utang tidak dibayar (Sudarsono, 2003 : 157). Dari beberapa pengertia di atas
dapat kita simpulkan bahwa pengertan rahn adalah menahan harta salah satu milik
si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Secara sederhana
dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.

2.4.2 Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)


Mohammad Anwar dalam buku Fiqh Islam (1988 : 56) menyebutkan rukun
dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut :
1. Ijab Qabul (Sighor)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan
saja di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara
para pihak.
2. Orang yang Bertransaksi (Aqid)
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu
rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah : telah
dewasa, berakal, dan atas keinginan sendiri.
4. Adanya Barang yang Digadaikan (Marhun)
Syarat-Syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan
oleh rahin (pemberi gadai) adalah :
 Dapat diserahterimakan
 Bermanfaat
 Milik rahin (orang yang menggadaikan)
 Jelas
 Tidak bersatu dengan harta lain
 Dikuasai oleh rahin
 Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
5. Marhun Bih (Utang)
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan
alas gadai adalah :
 Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan
 Utang harus lazim pada waktu akad
 Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murtahin,
maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali
jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan
adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murtahin
dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang
menguatkan dakwaannya, karena Rasulullah bersabda : “Barang bukti dimintakan
dari orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang tidak
mengaku.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik) (Al-Jazairi, 2000 :
533).

2.4.3 Pemanfaatan dan Penjualan Barang Gadai


1. Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan).
a) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan
barang tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh
memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Pendapat ini senada dengan
pendapat ulama Hanabilah.
b) Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada di tangan
murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkan (Sayyid Sabiq, 1987 :
141).
c) Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk
memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak
perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-
lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah,
kebun, rahn harus meminta izin pada murtahin.
2. Pemanfaatan murtahin atas borg.
a) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh
memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak
boleh memanfaatkannya.
b) Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika
diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut
barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara
jelas. Pendapat ini hampir senada dengan pendapat ulama safi’iyah.
c) Pendapat ulama Hanabilah berbeda dengan jumhur. Mereka
berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan
seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya
meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak
boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.
Menurut (Sabiq, 1987 : 141-143), akad gadai bertujuan untuk meminta
kepercayaan dan menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan
memanfaatkan barang adalah tak ubahnya seperti qiradh yang mengalirkan manfaat,
dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Keadaan seperti
qiradh yang mengandung unsur riba ini, jika borgnya bukan berbentuk binatang
yang bisa ditunggangi atau binatang ternak yang bisa diambil susunya. Jika
berbentuk binatang atau ternak, murtahin boleh memanfaatkan sebagai imbalannya
memberi makan binatang tersebut. Murtahin boleh memanfaatkan binatang yang
bisa ditunggangi seperti unta, kuda, keledai dan lain sebagainya. Murtahin juga
dapat mengambil susu sapi, kambing dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan semakin berkembangnya zaman, maka saat ini terdapat banyak jenis-
jenis keuangan islam, diantaranya ada perbankan islam, asuransi islam, pasar modal
syariah, dan gadai (rahn). Terdapat beberapa misi perbankan islam, salah satunya
adalah mengarahkan agar umat Islam dalam melaksanakan kegiatan muamalahnya
secara islami. Dan pada prinsip operasional perbankan islam dibagi menjadi tiga
bagian yaitu, penghimpunan dana, penyaluran dana, dan produk jasa bank. Asuransi
adalah perjanjian peralihan risiko, pihak penanggung mengambil alih risiko
tertanggung, dan sebagai kontraprestasinya tertanggung berkewajiban membayar
premi. Terdapat beberapa prinsip dasar dalam asuransi islam, diantaranya adalah
prinsip kepentingan, prinsip iktikad baik, prinsip idemnity, prinsip proximate cause,
prinsip subrogation, dan prinsip contribution. Pasar modal syariah adalah pasar
modal yang seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek
yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya telah sesuai dengan perinsip
prinsip syariah. Sedangkan pengertian dari gadai (rahn) adalah menjadikan barang
yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang,
hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil
sebagian (manfaat) barangnya itu.
DAFTAR PUSTAKA

Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta:
Prenada Media Group
Gadjah Mada University Press. 2011. Gadai Syariah di Indonesia: Konsep,
Implementasi, dan Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Awaluddin STAI. 2016. Pasar Modal Syariah : Analisis Penawaran Efek Syariah di
Bursa Efek Indonesia. Jurnal kajian Ekonomi Islam. 1(2): 63-82
Huda, Nurul. 2006. Perkembangan Pasar Modal Syariah di Indonesia. Journal
Ekonomi Yarsi. 3(2): 138-151
Budiono, Arief. 2017. Penerapan Prinsip Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah.
Jurnal Law and Justice, 2

Anda mungkin juga menyukai