Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HUKUM PERDATA

Dosen pengampu: Tazkiah Ashfis S.HI, MH

Disusun oleh:

MUHAMMAD HELMI ARIZZA

MUHAMMAD ABI FAUZAN

Ahwalus Syakhsiyah

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA

KAMPUS B PARUNG – BOGOR


Kata Pengantar

Asslamu’alaikum wr.wb

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah swt. Yang telah memberikan kita begitu
banyak nikmatnya, yaitu nikmat kesehatan, kesempatan serta keimanan, sehingga dengan
nikmat-nikmat ini lah kita masih dapat merasakan keindahan alam semesta ini. Shalawat serta
salam tak lupa pula kita haturkan kepada baginda Nabiullah Muhammad saw, sebagai nabi
panutan seluruh ummat manusia, Nabi yang paling sempurna dari segi akhlaknya, baik akhlak
kepada sesama ummat islam maupun akhlak kepada orang-orang yang masih berada diluar
islam.

Alhamdulillah dengan ridho Allah saw, kami dapat menyelesaikan tugas Hukum Perdata
yang telah diberikan kepada kami dengan judul materi Hukum Keluarga III dimana kami diberi
tugas untuk membuat makalah dan harus menyelesaikannya dengan tepat waktu. Kami
mengucapkan banyak terima kasih kepad segenap pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, baik dari segi pemikiran ataupun tenaganya.

Kami sadar makalah kami ini masih sangat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari segenap pembaca, yang pastinya denagan kritikan
yang membangun, agar pembuatan makalah kedepannya kami dapat lebih semangat dan terus
memperbaiki kekurangan dari kami. Wassalamu’alaikum wr.wb

Parung, 19 Oktober 2019

Penyusun

2
Daftar isi

Kata pengantar..............................................................................................................i
Daftar isi ........................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang ...............................................................................................4
1.2 Rumusan masalah .........................................................................................4
1.3 Tujuan ...........................................................................................................4
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Perceraian ...................................................................................2
2.2 Asas-asas Hukum Perceraian .......................................................................5
2.3 Akibat Hukum Perceraian ............................................................................5
2.4 Perjanjian Perkawinan..................................................................................8
2.5 Pembagian Harta Setelah Perceraian ...........................................................9
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................10

Datar pustaka ................................................................................................................11

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya
pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria
dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan
bersamasuami isteri tersebut.Setiap orang menghendaki agar pernikahan yang dilakukannya tetap
utuh sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pula pernikahan yang dibina dengan
susah payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu pernikahan yang dilaksanakan
itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan
membinanya secara baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih
untuk membubarkan pernikahan.

Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami
isteri supaya pernikahan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila ada di antara
suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara
mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga
terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar berupa
perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat
membenci perceraian tersebut.

B. Rumusan Masalah
1) Apa definisi cerai ?
2) Bagaimana dasar hukum perceraian?
3) Apa saja akibat-akibat perceraian ?
4) Apa saja perjanjian perkawinan ?
5) Bagaimana pembagian harta setelah perceraian ?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1) Untuk mengetahui tentang Putusnya Pernikahan Menurut Undang-Undang Pernikahan
2) Untuk mengetahui apa saja sebab akibat dari perceraian

4
BAB II
PEMBAHASAN

HUKUM KELUARGA III

1. PENGERTIAN PERCERAIAN

Kata “cerai” menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus hubungan
sebagai suami istri, talak. Kemudian, kata “perceraian” mengandung arti: perpisahan, perihal
bercerai (antara suami istri), perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti: tidak bercampur
(berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlaki-bini (suami istri)1. Talak diambil dari kata it}hlaq
yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan. Jadi talak ialah menghilangkan
ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya.2 Dalam mengemukakan arti talak secara terminogis, ulama mengemukakan rumusan
yang berbeda, namun esensinya sama, yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan
menggunakan lafadz talak dan sejenisnya.

Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa dalam Hukum Islam hak talak ini hanya
diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa pada umumnya suami lebih
mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu dari pada istri (wanita) yang
biasanya bertindak atas dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya perceraian lebih dapat
diminimalisasi dari pada jika hak talak diberikan kepada istri.3

2. ASAS-ASAS HUKUM PERCERAIAN

Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adalah tujuan utama
adanya perkawinan dan hal ini sangat diperhatikan oleh syari’at Islam. Akad perkawinan
dimaksudkan untuk selama hidup, agar dengan demikian suami istri menjadikan rumah tangga
sebagai tempat berteduh yang nyaman dan permanen agar dalam perlindungan rumah tangganya

1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 185
2
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), 192.
3
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: UII Press, 2011), 106.

5
itu kedua suami istri dapat menikmati kehidupannya serta agar keduanya dapat menciptakan
iklim rumah tangga yang memungkinkan terwujudnya dan terpeliharanya anak keturunan dengan
sebaik-baiknya.4
Oleh karena itu suami istri wajib memelihara terhubungnya tali pengikat perkawinan itu, dan
tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali pengikat tersebut. Meskipun
suami oleh Hukum Islam diberi menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami menggunakan
haknya itu dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi hanya menurutkan hawa nafsu.
Memang tidak terdapat dalam Al-Quran ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi
perceraian itu, sedangkan dalam perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh
melakukannya. Walaupun banyak ayat Al-Quran yang mengatur talak, namun isinya hanya
mengatur bila talak mesti terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau larangan. Seperti dalam
firman
Allah SWT:
َْ َ ‫طل ْقت ُ َُمَ َوإِذَا يَ ْنكِحْ نَََأ‬
…‫ن‬ ََ ِِّ‫ضلُوهُنََفَالَأ َ َجلَ ُهنََفَبَلَ ْغنَََالن‬
َ َ‫سا ََء‬ ُ ‫ت َ َْع‬
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,َMaka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka kawin lagiَdengan bakal suaminya. (QS>. al-Baqarah 2: 232)

Hukum talak berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasinya.َ Terkadang talak itu
hukumnya mubah, tapi juga bisa menjadi makruh.َ Terkadang juga sunnah, tetapi juga bisa
menjadi wajib dan bisa menjadiَharam.َ
Nabi mengatakan hal ini sebagai perbuatan yang halal, tetapi sangatَdibenci Allah, menunjukkanَ
kalau dalam kondisi seperti ini hukum talak ituَ makruh meskipun asalnya mubah. Ia bisa
dihukumiَ makruh karena talak bisaَ meniadakan sebuah perkawinan yang di dalamnya banyak
sekali maslahatَyang dianjurkan dalam syariat Islam.5

3. AKIBAT HUKUM PERCERAIAN


Meskipun diantara suami-isteri yang telah menjalin perjanjian suci, namun tidak menutup
kemungkinan bagi suami-isteri tersebut mengalami

4
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
149.
5
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 698.

6
pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah tangga. Hubungan suami-isteri
terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan. Apabila mencermati Pasal 38 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian dan atas keputusan Pengadilan. Perceraian adalah salah satu bentuk dari
sebab putusnya perkawinan (Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan). Perceraian
tentunya juga melahirkan konsekuensi tertentu yaitu harta, hak asuh anak (hadhanah) dan status
pernikahan.
Kemudian berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan, perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian juga harus dengan cukup
alasan bahwa sudah tidak terdapat lagi kecocokan dan persamaan tujuan dalam membina rumah
tangga, artinya sudah tidak dapat hidup rukun kembali sebagai sepasang suami isteri.
Gugatan perceraian dapat diajukan dengan alasan-alasan yang dijabarkan dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 Ayat (2) sebagai
berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan
terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan berbagai alasan yang
dapat mengakibatkan perceraian, terdiri atas :
a. Zinah atau overspel.

7
b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat.
c. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang
lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.
d. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri
atausuaminya, yang demikian, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau
dianiaya, sehingga mengakibatkan lukaluka yang membahayakan.

4. PERJANJIAN PERKAWINAN
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang suami isteri
untuk mengatur akibat-akibat perkawinan mengenai harta kekayaan. Pengertian diatas
menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan mengatur mengenai dua orang yang melakukan
perjanjian perkawinan, dimana perjanjian tersebut mengenai pengaturan harta kekayaan serta
akibat-akibatnya. Perjanjian perkawinan dapat dibuat oleh mereka yang tunduk pada hukum
perdata maupun hukum Islam dengan ketentuan dibuat dengan akta otentitk dan wajib
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil maupun pada Kantor Urusan Agama (KUA) untuk
memenuhi ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan agar perjanjian
perkawinan tersebut berlaku dan mengikat bagi pihak ketiga. Mengenai bentuk dan isi
perjanjian perkawinan tersebut, sebagiamana halnya dengan perjanjian pada umumnya,
kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya asalkan
tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan yang baik atau tidak melanggar
ketertiban umum.
Menurut advokat Anita D.A. Kolopaking, perjanjian perkawinan yang lazim disepakati
antara lain berisi:
1) Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing
maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan.
2) Semua hutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka yang dibuat
oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan suami atau istri.
3) Istri akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan
dengan tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik hartanya itu maupun
pekerjaannya atau sumber lain

8
4) Untuk mengurus hartanya itu, istri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suami.

5. PEMBAGIAN HARTA SETELAH PERCERAIAN


Berdasarkan ketentuan Pasal 124 KUHPerdata, suamilah yang berhak mengurus harta
bersama, termasuk berwenang melakukan berbagai perbuatan terhadap harta tersebut. Isi
Pasal 124 KUHPerdata tersebut antara lain adalah:
1) Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu
2) Dia boleh menjualnya, memindahtangankan dan membebaninya tanpa bantuan istrinya,
kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 140
3) Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama
masih hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian
atau jumlah yang tertentu dan barang-barang bergerak, bila bukan kepada anak-anak yang
lahir dan perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan
4) Bahkan dia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai sesuatu
barang yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang
itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa si suami sendiri yang mengurus
persatuan harta kekayaan, hanya si suami yang berwenang melakukan perbuatan-perbuatan
terhadap harta kekayaan tersebut, dan si istri tidak boleh ikut campur dalam pengurusan
tersebut. Namun demikian ada perkecualian, yakni suami tidak diperbolehkan mengurus
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 140 ayat 3 yang menyatakan, mereka juga berhak untuk
membuat perjanjian, bahwa meskipun ada golongan harta bersama, barang-barang tetap,
surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjamanpinjaman negara, surat-surat berharga
lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama perkawinan dan
pihak istri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh
suaminya tanpa persetujuan si istri.

9
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Kedudukan suami isteri adalah seimbang dinamis dan saling membutuhkan. Hakikat
perkawinan menyatukan laki-laki dan perempuan dalam sebuah bangunan keluarga yang
tenteram, penuh cinta kasih dan sejahtera lahir bathin. Tidak ada subordinasi dalam lembaga
perkawinan. Perceraian atau thalak merupakan solusi terakhir dalam memecahkan problematika
perkawinan. Perceraian diizinkan hanya dalam keadaan darurat.
Konstruksi thalak dan akibat hukum yang ditimbulkannya mengedepankan prinsip
kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan. Dalam implementasinya terkadang terjadi pemahaman
yang menyimpang dari dua nilai tersebut dan oleh karena itu pencerahan kembali sebagai wujud
rekonstruksi konsep thalak menjadi suatu hal yang niscaya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), 192.


Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: UII Press, 2011)
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006)

11

Anda mungkin juga menyukai