Oleh:
Preseptor :
Dr. dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL (K)
2.3.2 Nasofaring
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang
koana yang berhubungan dengan orofaring dan terletak
pada superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada orang
dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada
dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm
dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung. 12 Bagian
atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan
vertebra cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah
daerah sempit jaringan lunak yang merupakan batas koana
posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle.
Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan M.
Konstriktor faring superior.13
Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, Gambar 4. Sistem perdarahan dan limfatik pada faring
masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di
fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di atas
batas superior muskulus konstriktor faring superior, yang 2.4 Etiologi
disebut fossa rossenmuller (resessus faringeal). Fossa Studi epidemiologis mengungkapkan distribusi
rossenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior etnis dan geografis pada kejadian KNF yang menunjukkan
nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya peran kerentanan genetik pada kejadian KNF.
sebagian besar KNF dan daerah yang paling sensitif Kecenderungan penurunan KNF yang dilaporkan di Hong
terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring. Kong, Taiwan dan Singapura menunjukkan bahwa
kebiasaan diet dan perubahan faktor lingkungan juga dapat
mempengaruhi tingkat insidensi KNF. Asal usul infeksi
Eipsten-Barr Virus dan keberadaannya pada KNF di mana-
mana juga sangat menunjukkan keterlibatannya dalam
patogenesis KNF. Infeksi EBV, kerentanan genetik dan
faktor lingkungan dianggap sebagai tiga faktor etiologi
utama KNF pada daerah endemik KNF terutama di Cina
Selatan.16
Kebiasaan merokok, mengkonsumsi ikan asin dan
makanan berpengawet, menghirup asap kayu bakar,
riwayat infeksi saluran pernafasan berulang dilaporkan juga
berhubungan dengan karsinoma nasofaring.17
Gambar 2. Struktur anatomi pada faring
2.5 Patogenesis
Patogenesis Karsinoma nasofaring terjadi akibat
2.3.2.1 Perdarahan dan persarafan
perubahan faktor genetik karena pengaruh dari faktor
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi
lingkungan dan virus. Perubahan epitel ke lesi pra-kanker
daerah nasofaring adalah arteri faringeal asendens, arteri
rendah, apabila genetik dipengaruhi oleh faktor
palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang
karsinogenik dari lingkungan. Bila terinfeksi EBV maka
faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 4
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
perubahan epitel ke lesi pra-kanker akan lebih tinggi. Virus mukosa (creeping tumor). Gangguan pada telinga
EBV yang masuk kedalam tubuh akan mengenai epitel merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
faring kemudian akan terjadi replikasi virus yang tumor dekat muara eutachius (fossa Rosenmuller).
menyebabkan proliferasi limfosit B sehingga terjadi Gangguan dapat berupa, rasa tidak nyaman di telinga
translokasi gen CMYC yang menurunkan ekspresi gen sampai rasa nyeri di telinga (otalgia), tinitus serta gangguan
MHC kelas I yang berguna untuk mengenali antigen asing pendengaran. Nasofaring berhubungan dekat dengan dasar
oleh CD8+. Bila CD8+ menurun maka kemampuan untuk tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan
mengenali dan menghancurkan sel kanker juga akan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
menurun sehingga berefek pada perkembangan sel kanker karsinoma apabila terdapat penyebaran ke intrakranial.
yang meningkat.17 Penyebaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf
otak ke III, IV, V dan VI, sehingga tidak jarang pasien
1. Penyebaran ke superior datang dengan keluhan utama adalah diplopia. Neuralgia
Tumor dapat meluas ke intrakranial dengan menjalar trigeminal adalah gejala yang sering ditemui pada
sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, konsultasi klini tetapi terlihat tidak begitu khas oleh pasien
Tumor dapat melalui foramen laserum dan kemudian sehingga banyak yang belum berpikir untuk memeriksakan
menyebar ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa dirinya sekalipun nyeri pada kepala, wajah ataupun area
kranii anterior dan mengenai saraf-saraf kranialis anterior lain yang dipersarafi oleh Nervus Trigeminal telah muncul.
(N.I – N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya Penyebarana lanjutan dari karsinoma =kan mengenai saraf
saraf kranialis anterior ini disebut Sindrom Petrosfenoid. otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melewati foramen
Keluhan yang paling sering terjadi adalah berupa pandangan Jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom
ganda (diplopia) dan neuralgia trigeminal (parese N. II- Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut
N.VI).18 sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi
tulang tengkorak biasanya berhubungan dengan prognosis
2. Penyebaran ke belakang yang buruk.9
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial
menembus fascia faringobasilaris yaitu sepanjang fosa
posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, 2.7 Prinsip diagnosis
foramen ovale dll), di mana di dalamnya terdapat N. IX - Dalam penegakan diagnosis karsinoma
XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena nasofaring, tetap dilakukan secara berurutan dan sistematik
adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII – N. XII melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat
akibat kerusakan pada N. IX – N. XII disebut Sindrom berupa pemeriksaan serologis, radiologis dan patologi
Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan anatomis.
VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena
letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh.18 2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan kepada penderita
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening mengenai identitas dan asal daerahnya. Kanker nasofaring
Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening memiliki tren dalam area geografis tertentu sehingga
sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar penting untuk mengetahui adanya faktor resiko dari segi
getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. genetik/keturunan, ras, kebiasaan dan lingkungan yang
Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali membuat pasien rentan untuk mengalami kanker
pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu nasofaring. Tanyakan riwayat infeksi oleh virus Epstein-Barr
Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh sebelumnya dan bagaimana respon imunitasnya saat itu.
dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan Hal ini dapat mendasari pola manajemen pasien nantinya
tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. untuk melakukan pemeriksaan serologis agar mendukung
Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering kecurigaan ke arah karsinoma nasofaring. Kemudian
diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat tanyakan pasien terkait gejala-gejala yang berhubungan
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dengan karsinoma nasofaring yang terdiri dari gejala
dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut metastasis / leher.19
lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.18 2.7.2 Pemeriksaan fisik
Dalam melakukan pemeriksaan fisik, selalu nilai
4. Metastasis jauh status generalis pasien berupa keadaan umum, kesadaran
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah dan tanda vital. Selanjutnya pemeriksaan difokuskan ke
bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya area regional yaitu telinga, hidung, tenggorok, kepala dan
jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari leher yang secara anatomis memiliki keterkaitan satu sama
paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis lain sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan terpisah
sangat buruk.18 apabila terdapat gangguan pada salah satunya. Selanjutnya
pemeriksaan area yang terkena, yaitu nasofaring.
2.6 Gejala Klinis Pemeriksaan bisa menggunakan cara tidak langsung yaitu
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam dengan rinoskopi posterior atau cara langsung
empat kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala menggunakan nasofaringoskopi dengan alat endoskop/
telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala metastasis nasofaringoskop kaku (rigid nasopharyngoscope).
organ atau gejala di leher. Tidak keseluruhan gejala akan Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat keadaan massa di
muncul pada seorang pasien, tetapi dipengaruhi oleh nasofaring.19 Pemeriksaan menggunakan nasofaringoskopi
perluasan tumor dan arah penyebarannya. diketahui lebih detail dibandingkan rinoskopi posterior
Gejala nasofaring dapat berupa epitaksis atau rasa karena dengan pemeriksaan tersebut kita dapat
hidung tersumbat dan keluar cairan dari hidung. Gejala ini mengetahui seluruh keadaan dari rongga hidung dan
sering belum muncul tetapi tumor sebenarnya sudah nasofaring. Sedangkan bila menggunakan rinoskopi
tumbuh atau tumor tidak tampak karena terdapat di bawah posterior terdapat halangan berupa bayangan yang ada
pada kaca.21
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 5
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Secara umum stadium tumor saat didiagnosis
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang merupakan faktor utama penentu prognosis serta
Adapun pemeriksaan penunjang pada karsinoma merupakan elemen yang sangat penting dalam menetukan
nasofaring yaitu: terapi berdasarkan pengalaman sebelumnya dan hasil dari
terapi pasien dengan stadium yang sama sebelumnya.
2.7.3.1 Pemeriksaan serologik Penentuan stadium secara akurat juga penting untuk
Dasar pemikiran dari pemeriksaan serologis mengevaluasi hasil dari pengobatan. KNF distaging dengan
terhadap antibodi pada kuman EBV yang ditemukan pada sistem TNM UICC/AJCC edisi ke-8 tahun 2018:
penelitian yang melibatkan hasil pemeriksaan jaringan dari
kanker nasofaring yang banyak berkaitan dengan infeksi
dari EBV. Pemeriksaan serologik yang dilakukan dapat
berupa pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA), radio imuno assay atau
PCR.
Pemeriksaan serologi ini dilakukan untuk
mengetahui keberadaan dan titer antibodi yaitu IgA anti
EBV-VCA, IgA anti EBV-EA, antibodi terhadap membran,
antibodi 20 terhadap inti EBV, antibody dependent cellular
cytotoxicity (ADCC) dan antibodi terhadap EBV-DNAse.
Menurut Tjokro Setiyo dari Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia bahwa pemeriksaan IgA VCA memiliki
sensitivitas sebesar 97,5% dan spesifisitas 91,8% dan Ig A
anti EA memiliki sesitivitas 100% dan spesifisitas 30%.19
2.7.3.2 Pemeriksaan Radiologis Tabel 1. Kriteria TNM pada KNF dalam AJCC Edisi 8
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk melihat
ukuran sebenarnya massa karsinoma nasofaring dan
mengetahui seberapa jauh penyebaran karsinoma
nasofaring tersebut sehingga membantu dalam
menentukan prognosis pasien. Pemeriksaan radiologis
dapat berupa pemeriksaan foto polos tengkorak, hal ini
dilakukan untuk mengetahui adanya jaringan lunak, struktur
tulang dan foramen, serta ekspansi tumor kehidung dan
sinus para nasal.20
Dapat juga berupa pemeriksaan computed
tomography scan (CT scan), pemeriksaan ini melihat masa
dari fossa Rosenmuller.21 Pemeriksaan CT scan lebih
spesifik untuk menilai keadaan nasofaring dikarenakan
lebih detail. Pemeriksaan ini mampu menilai perluasan
masa tumor dan penyebaran ke kelenjar limfa leher.20
Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
lebih akurat untuk mendiagnosis karsinoma nasofaring.21
MRI bermanfaat untuk membedakan antara jaringan lunak Tabel 3. Staging Karsinoma Nasofaring sesuai
dan cairan sehingga mampu membedakan karsinoma AJCC edisi 8
nasofaring dan limfoma.
2.8 Tatalaksana Karsinoma Nasofaring
2.7.3.3 Pemeriksaan Patologi Anatomi Pemilihan terapi telah diatur dalam Pedoman
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan Praktik Klinis Kanker Nasofaring yang mencakup radiasi,
biopsi pada nasofaring dengan menggunakan alat yang kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung dengan
dimasukkan ke hidung dengan bantuan rinoskopi posterior terapi simptomatik sesuai dengan gejala yang timbul.
atau nasofaringoskopi. Bisa juga dengan menggunakan Pilihan modalitas terapi juga disesuaikan dengan stadium
biopsi aspirasi jarum halus kelenjar. Bila penderita dari tumor tersebut. Berikut dijelaskan melalui tabel 4.
karsinoma nasofaring memiliki nilai serologik positif namun
pada pemeriksaan patologi negatif maka tidak dapat
dianggap sebagai penderita karsinoma nasofaring. 20
Menurut WHO tahun 2005 ada tiga tipe karsinoma
nasofaring yaitu:
2.8.2 Kemoterapi
Kemoterapi diberikan kepada pasien dengan
kasus yang telah berulang ataupun telah bermetastasis ke
organ lain.20 Kemoterapi ini merupakan sebagai
radiosensitizer untuk pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Tabel 5. Rekomendasi dalam rehabilitasi medis dan
Mekanisme kerja dari kemoterapi yaitu dengan asupan nutrisi pasien KNF
menghambat sintesis purin dan pirimidin sehingga
mengubah struktur DNA dan menggagalkan replikasi dari 2.8.5 Edukasi
sel tumor tersebut. Obat kemoterapi ada yang diberikan Hal-hal yang perlu diedukasikan kepada pasien
untuk menghambat seluruh siklus pembelahan sel dan telah dibahas dalam subbab sebelumnya. Berikut ini adalah
mengahambat siklus tertentu pada pembelahan sel. rangkuman mengenai hal-hal yang penting untuk
Kemoterapi biasanya dikombinasikan dengan radioterapi. 20 diedukasikan kepada pasien.23
Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan
preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali,
setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan
radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan
pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3
minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus
rekuren/metastatik.
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah
dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi
adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU
atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-
40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali. Terapi
sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus
Rekuren/Metastatik:
• Terapi Kombinasi
• Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
• Cisplatin/5-FU
• Carboplatin
• Cisplatin/gemcitabine
• Gemcitabine
• Taxans + Patinum +5FU
• Terapi Tunggal
• Cisplatin
• Carboplatin
• Paclitaxel
• Docetaxel
• 5-FU
• Methotrexate
• Gemcitabine
• Capecitabine
DAFTAR PUSTAKA
1. J.K.C. Chan, B.Z. Pilch BZP, T.T. Kuo, B.Z. “Karsinoma Nasofaring”. Disunting oleh Efiaty Arsyad
Pilch, Wenig, B.M., Lee AWM. Tumours of the Soepardi dan Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu
Nasopharynx. In: WHO classification of tumours: Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &
head & neck tumours. Lyon: IARC Press; 2005. Leher, Edisi Keenam. Jakarta : FKUI.
p. 81–106. 18. Roezin A, Adham M. 2014. Karsinoma Nasofaring.
2. Bustam FP, Berawi KN, Wahyudo R, Kedokteran Dalam: Soepardi EA,Iskandar N, Bashirudin J, Restuti
F, Lampung U, Fisiologi B, et al. Konsumsi Ikan RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
Asin sebagai Faktor Resiko pada Pasien tenggorokan. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Karsinoma Nasofaring Consumption of Salted p. 158–63.
Fish as a Risk Factor in Nasopharyngeal 19. Putri EB. 2011. Karakteristik penderita karsinoma
Carcinoma Patients. 2018;8(April):1–6. nasofaring di departemen ilmu kesehatan THT-KL
3. Maubere F, Nuaba IGA. Karakteristik Pasien FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode
Karsinoma Nasofaring di Poliklinik Telinga Tahun 2006 - 2010 [skripsi]. Bandung: Universitas
Hidung Tenggorokkan-Kepala Leher Rumah Padjadjaran.
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Pada 20. Yueniwati Y. 2016. Tumor extension and tumor staging
Bulan November - Desember 2014. of nasopharyngeal carcinoma. indonesian society of
4. Wah S, Ling Y, Man C, Shin P, Ming V, Lau Y, et radiology annual scientific meeting, 19-21, 2016 May
al. Etiological factors of nasopharyngeal and Indonesia, Balikpapan. Indonesia. Indonesia:
carcinoma. Oral Oncol [Internet]. Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi.
2014;50(5):330–8. Available from: 21. Rahman S, Budiman B, Subroto H. Faktor Risiko Non
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2014.02. Viral Pada Karsinoma Nasofaring. 2015 4(3), JKA, p.
0065. - Diakses 9 Juli 2019 988-995.
5. Ma J, Cao S. The Epidemiology of 22. Kementrian Kesehatan RI. Panduan Penatalaksanaan
Nasopharingeal Carcinoma. Berlin Heideberg: Kanker Nasofaring. 2012.
Na, 2010. nasopharingeal carcinoma. p. 1-7. 23. Bull TR. The pharynx and larynx In Color atlas of ENT
6. Soepardi AA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti diagnosis. Thieme 2003 p 166-235
RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung 24. Lalwani AK. Chapter 22 benign and malignant lesions of
Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Fakultas the oral cavity, oropharynx and nasopharynx In.
Kedokteran Universitas Indonesia, 2012. Current diagnosis and treatment otolaryngology.The
7. Chang ET, Adami HO. the enigmatic McGraw-Hill Companies. 2007 p.22.1-16
epidemiology of nasopharingeal carcinoma.
2006, cancer epidemiologic biomarkers prev, p.
15(10) 1765-72.
8. Ekburaranawat W, Ekspanyaskul C, Brennan P,
Kanka C, Tepsiwan K, Tamisyatith S et al.
Evaluation of Non Viral Risk Factors for
Nasopharingeal Carcinoma in Thailand: result
from a case control study. 2010, Asian Pacific J
Cancer Prev, p. 929-32.
9. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and
esophagus. In: Lee KJ. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 9th ed. Tempat.2008. P
: 530-551.
10. Irfandy D. Laryngopharyngeal Reflux. Bagian
THT-KL FKUA RSUP M Djamil Padang. 2018. 1-
15, 5.
11. Chew, C.T. 1997. Nasopharynx (the Postnasal
Space), Scott-Brown’s. Otolaryngology, 6th
edition, Butterworth-Heinemann, Great Britain,
vol 5, pp. 5/13/1-30.
12. Witte MC, Neel. 1998. Nasopharyngeal Cancer.
In: Byron J. Bailey, editors. Head and.
13. Hasselt CAV, Gibb A. 1999. Nasopharyngeal
Carcinoma.
14. Dhingra PL, Dhingra S (2007). Diseases of ear,
nose and throat, 4 th ed, India: Elsevier, p: 4-5,
70.
15. Wah S, Ling Y, Man C, Shin P, Ming V, Lau Y, et
al. Etiological factors of nasopharyngeal
carcinoma. Oral Oncol [Internet].
2014;50(5):330–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2014.02.
006. - Diakses 9 Juli 2019
16. Putri EB. 2011. Karakteristik penderita
karsinoma nasofaring di departemen ilmu
kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung Periode Tahun 2006 - 2010
[skripsi]. Bandung: Universitas Padjadjaran.
17. Roezin, Averdi dan Syafril, Anida. 2016.