Anda di halaman 1dari 12

Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Clinical Science Session

PRINSIP DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


KARSINOMA NASOFARING

Oleh:

Nurul Fadhilah 1840312267


Try Mutiara Suci T 1840312432

Preseptor :
Dr. dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL (K)

BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL PADANG
2019

Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.


Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 2
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Clinical Science Session

Prinsip Diagnosis dan Tatalaksana Karsinoma Nasofaring


Fadhilah N dan Dwinanda A.

1.4 Manfaat Penulisan


PENDAHULUAN
Manfaat penulisan makalah ini adalah menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai karsinoma
1.1 Latar Belakang
nasofaring.
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan jenis tumor
ganas paling sering yang muncul di area nasofaring 1.
Tumor ganas ini merupakan salah satu keganasan yang
berkaitan dengan virus Epstein-Barr dan memiliki suatu
TINJAUAN PUSTAKA
distribusi geografis tersendiri.2 Kanker ini sangat prevalen di
daerah Cina bagian Tenggara dengan insidensi bervariasi 2.1 Definisi
antara 30-80 kasus per 100.000 populasi tiap tahunnya. Karsinoma diartikan sebagai suatu pertumbuhan
Insidensi yang cukup tinggi juga ditemukan pada populasi sel abnormal yang berasal dari sel yang melapisi
keturunan Arab dan Mediterania yaitu 8-12 kasus per permukaan dalam dan luar tubuh(epitel).6 Sehingga
100.000 populasi tiap tahunnya. Sedangkan insidensi karsinoma nasofaring (KNF) merupakan suatu tumor ganas
kanker ini pada Negara-negara Barat hanya 1 kasus per (kanker) yang berasal dari sel epitel nasofaring. Ruang
100.000 populasi tiap tahunnya2. Di Indonesia sendiri, nasofaring adalah bagian yang berada di atas tenggorok
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan dan berada di belakang hidung serta dekat dengan dasar
terbanyak ke-4 setelah karsinoma payudara karsinoma tulang tengkorak.7
leher rahim, dan karsinoma paru. 3 Kanker ini terutama
menyerang kelompok usia produktif baik laki-laki dan 2.2 Epidemiologi
perempuan dengan rasio 2,18 : 1 dan 60 % kasus berada Secara global, kanker nasofaring merupakan
pada rentang usia 25-60 tahun.4 kanker yang jarang ditemui dengan insidensi kasus sekitar
Beberapa studi mengaitkan hubungan insidensi yang 80.000 kasus tiap tahunnya dan memiliki proporsi 0,7 %
tinggi dari karsinoma nasofaring ini dengan daerah Asia dan dari seluruh jenis kanker. Di daerah Amerika Utara dan
Mediterania berdasarkan kecenderungan untuk melepaskan Eropa, tingkat insidensi <1 kasus per 100.000 populasi.
zat nitrosamine volatile selama memasak makanan Tetapi kasus karsinoma nasofaring bersifat endemis pada
berbasis ikan yang diasinkan ataupun daging-dagingan5. area China Selatan (seperti Hong Kong) dan Asia
Selain itu, karsinoma nasofaring juga dikaitkan dengan Tenggara, dengan tingkat insidensi yaitu 20-30 kasus per
keberadaan alel spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) 100.000 populasi pada pria dan 8-15 kasus per 100.000
seperti B17, BW 46, AW19, Bsinz dan A2.5 populasi pada wanita.1 Insiden tertinggi KNF terdapat di
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang Cina bagian selatan khususnya di provinsi Guangdong.
muncul pada area di atas tenggorok dan di belakang Pada provinsi Guangdong insiden KNF pada pria mencapai
hidung. Oleh karena predileksinya yang tidak tampak dari 20 - 50/100000. Kejadian karsinoma nasofaring jarang
luar, maka keberadaan tumor ini jarang sekali terdeteksi ditemukan di Eropa dan Amerika Utara.3
hingga telah menimbulkan gejala-gejala tertentu akibat Ras mongoloid merupakan faktor dominan
komplikasi dari penyakit itu sendiri.4 Penegakkan diagnosis timbulnya kanker nasofaring sehingga, selain di Cina, angka
yang terlambat pada kasus kanker nasofaring membuat kejadian kanker nasofaring juga cukup tinggi pada
pasien baru mencapai fasilitas kesehatan dengan kondisi di penduduk Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
stadium lanjut yang berhubungan dengan tingkat prognosis Singapura dan Indonesia.9
yang rendah. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi Menampik dari tingginya beban kesehatan
dalam manajemen tatalaksana pasien dengan karsinoma masyarakat di daerah endemik, etiologi pasti masih belum
nasofaring dan mengharuskan adanya suatu alur diagnosis bisa diketahui. Walaupun paparan lingkungan tertentu
dini yang dapat diterapkan dalam suatu jenjang pelayanan seperti kebiasaan merokok, kurangnya konsumsi buah-
kesehatan untuk meningkatkan luaran pasien dengan KNF buahan segar dan sayur-sayuran telah disepakati sebagai
nantinya.5 faktor resiko dari munculnya kanker nasofaring.2
Kerugian yang ditanggung oleh pasien, klinisi dan
fasilitas kesehatan serta pemerintah akibat keterlambatan 2.3 Anatomi
diagnosis dini suatu kasus keganasan membuat penulis
tertarik untuk membahas lebih lanjut prinsip diagnosis dan 2.3.1 Faring
manajemen tatalaksana yang direkomendasikan oleh Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang
kolegium perkumpulan dokter Telinga Hidung Tenggorok bentuknya seperti corong, dimulai dari dasar tengkorak
Bedah Kepala-Leher (THT-KL) terhadap pasien dengan yang terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra
kecurigaan karsinoma nasofaring. servikal ke - 6. Bagian atas faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, bagian depan berhubungan
1.2 Tujuan Penulisan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagian bawah berhubungan dengan laring melalui aditus
anatomi nasofaring, definisi, epidemiologi, etiologi atau laring dan juga esofagus. Panjang dinding posterior faring
faktor resiko, patogenesis, prinsip diagnosis dan tata pada orang dewasa kurang lebih 14 cm.10
laksana, serta prognosis dari karsinoma nasofaring.

1.3 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah adalah studi kepustakaan
dengan merujuk pada berbagai literatur.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.


Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 3
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
tersebut berasal dari arteri karotis eksterna beserta cabang-
cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah
membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus
pterigoid di daerah superior dan fasia posterior atau vena
jugularis interna di bawahnya.14

2.3.2.2 Aliran limfatik daerah nasofaring


Pada nasofaring terdapat pleksus limfatik
submukosa yang luas. Kelompok pertama adalah
limfonodus pada daerah retrofaringeal yang berada pada
ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia
faringobasilar dan fasia prevertebra.11 Dinding lateral
terutama di daerah tuba Eustachius merupakan daerah
yang paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfe berjalan
Gambar 1. Batasan faring dalam klasifiksi; nasofaring, ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar
orofaring, dan laringofaring retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari
masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis
interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid.
(sirkular) dan memanjang (longitudinal). Otot-otot sirkular Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat
terdiri dari M. Konstriktor faring superior, media, dan inferior, denan saraf-saraf kranial terakhir yaitu saraf IX, X, XI, dan
berfungsi untuk mengecilkan lumen faring dan dipersyarafi XII. Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi sampai
oleh N. Vagus. Otot-otot longitudinal adalah M. Stilofaring dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya
dan M. Palatofaring. M. stilofaring berguna untuk datang dengan kelenjar limfe bilateral.15
melebarkan faring dan menarik laring, yang dipersarafi oleh
N. Glossofaringeus. M. Palatofaring yang mempertemukan
ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan
laring, dipersyarafi oleh N. Vagus.11

2.3.2 Nasofaring
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang
koana yang berhubungan dengan orofaring dan terletak
pada superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada orang
dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada
dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm
dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung. 12 Bagian
atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan
vertebra cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah
daerah sempit jaringan lunak yang merupakan batas koana
posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle.
Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan M.
Konstriktor faring superior.13
Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, Gambar 4. Sistem perdarahan dan limfatik pada faring
masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di
fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di atas
batas superior muskulus konstriktor faring superior, yang 2.4 Etiologi
disebut fossa rossenmuller (resessus faringeal). Fossa Studi epidemiologis mengungkapkan distribusi
rossenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior etnis dan geografis pada kejadian KNF yang menunjukkan
nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya peran kerentanan genetik pada kejadian KNF.
sebagian besar KNF dan daerah yang paling sensitif Kecenderungan penurunan KNF yang dilaporkan di Hong
terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring. Kong, Taiwan dan Singapura menunjukkan bahwa
kebiasaan diet dan perubahan faktor lingkungan juga dapat
mempengaruhi tingkat insidensi KNF. Asal usul infeksi
Eipsten-Barr Virus dan keberadaannya pada KNF di mana-
mana juga sangat menunjukkan keterlibatannya dalam
patogenesis KNF. Infeksi EBV, kerentanan genetik dan
faktor lingkungan dianggap sebagai tiga faktor etiologi
utama KNF pada daerah endemik KNF terutama di Cina
Selatan.16
Kebiasaan merokok, mengkonsumsi ikan asin dan
makanan berpengawet, menghirup asap kayu bakar,
riwayat infeksi saluran pernafasan berulang dilaporkan juga
berhubungan dengan karsinoma nasofaring.17
Gambar 2. Struktur anatomi pada faring
2.5 Patogenesis
Patogenesis Karsinoma nasofaring terjadi akibat
2.3.2.1 Perdarahan dan persarafan
perubahan faktor genetik karena pengaruh dari faktor
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi
lingkungan dan virus. Perubahan epitel ke lesi pra-kanker
daerah nasofaring adalah arteri faringeal asendens, arteri
rendah, apabila genetik dipengaruhi oleh faktor
palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang
karsinogenik dari lingkungan. Bila terinfeksi EBV maka
faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 4
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
perubahan epitel ke lesi pra-kanker akan lebih tinggi. Virus mukosa (creeping tumor). Gangguan pada telinga
EBV yang masuk kedalam tubuh akan mengenai epitel merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
faring kemudian akan terjadi replikasi virus yang tumor dekat muara eutachius (fossa Rosenmuller).
menyebabkan proliferasi limfosit B sehingga terjadi Gangguan dapat berupa, rasa tidak nyaman di telinga
translokasi gen CMYC yang menurunkan ekspresi gen sampai rasa nyeri di telinga (otalgia), tinitus serta gangguan
MHC kelas I yang berguna untuk mengenali antigen asing pendengaran. Nasofaring berhubungan dekat dengan dasar
oleh CD8+. Bila CD8+ menurun maka kemampuan untuk tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan
mengenali dan menghancurkan sel kanker juga akan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
menurun sehingga berefek pada perkembangan sel kanker karsinoma apabila terdapat penyebaran ke intrakranial.
yang meningkat.17 Penyebaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf
otak ke III, IV, V dan VI, sehingga tidak jarang pasien
1. Penyebaran ke superior datang dengan keluhan utama adalah diplopia. Neuralgia
Tumor dapat meluas ke intrakranial dengan menjalar trigeminal adalah gejala yang sering ditemui pada
sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, konsultasi klini tetapi terlihat tidak begitu khas oleh pasien
Tumor dapat melalui foramen laserum dan kemudian sehingga banyak yang belum berpikir untuk memeriksakan
menyebar ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa dirinya sekalipun nyeri pada kepala, wajah ataupun area
kranii anterior dan mengenai saraf-saraf kranialis anterior lain yang dipersarafi oleh Nervus Trigeminal telah muncul.
(N.I – N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya Penyebarana lanjutan dari karsinoma =kan mengenai saraf
saraf kranialis anterior ini disebut Sindrom Petrosfenoid. otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melewati foramen
Keluhan yang paling sering terjadi adalah berupa pandangan Jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom
ganda (diplopia) dan neuralgia trigeminal (parese N. II- Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut
N.VI).18 sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi
tulang tengkorak biasanya berhubungan dengan prognosis
2. Penyebaran ke belakang yang buruk.9
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial
menembus fascia faringobasilaris yaitu sepanjang fosa
posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, 2.7 Prinsip diagnosis
foramen ovale dll), di mana di dalamnya terdapat N. IX - Dalam penegakan diagnosis karsinoma
XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena nasofaring, tetap dilakukan secara berurutan dan sistematik
adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII – N. XII melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat
akibat kerusakan pada N. IX – N. XII disebut Sindrom berupa pemeriksaan serologis, radiologis dan patologi
Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan anatomis.
VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena
letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh.18 2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan kepada penderita
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening mengenai identitas dan asal daerahnya. Kanker nasofaring
Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening memiliki tren dalam area geografis tertentu sehingga
sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar penting untuk mengetahui adanya faktor resiko dari segi
getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. genetik/keturunan, ras, kebiasaan dan lingkungan yang
Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali membuat pasien rentan untuk mengalami kanker
pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu nasofaring. Tanyakan riwayat infeksi oleh virus Epstein-Barr
Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh sebelumnya dan bagaimana respon imunitasnya saat itu.
dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan Hal ini dapat mendasari pola manajemen pasien nantinya
tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. untuk melakukan pemeriksaan serologis agar mendukung
Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering kecurigaan ke arah karsinoma nasofaring. Kemudian
diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat tanyakan pasien terkait gejala-gejala yang berhubungan
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dengan karsinoma nasofaring yang terdiri dari gejala
dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut metastasis / leher.19
lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.18 2.7.2 Pemeriksaan fisik
Dalam melakukan pemeriksaan fisik, selalu nilai
4. Metastasis jauh status generalis pasien berupa keadaan umum, kesadaran
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah dan tanda vital. Selanjutnya pemeriksaan difokuskan ke
bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya area regional yaitu telinga, hidung, tenggorok, kepala dan
jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari leher yang secara anatomis memiliki keterkaitan satu sama
paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis lain sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan terpisah
sangat buruk.18 apabila terdapat gangguan pada salah satunya. Selanjutnya
pemeriksaan area yang terkena, yaitu nasofaring.
2.6 Gejala Klinis Pemeriksaan bisa menggunakan cara tidak langsung yaitu
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam dengan rinoskopi posterior atau cara langsung
empat kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala menggunakan nasofaringoskopi dengan alat endoskop/
telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala metastasis nasofaringoskop kaku (rigid nasopharyngoscope).
organ atau gejala di leher. Tidak keseluruhan gejala akan Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat keadaan massa di
muncul pada seorang pasien, tetapi dipengaruhi oleh nasofaring.19 Pemeriksaan menggunakan nasofaringoskopi
perluasan tumor dan arah penyebarannya. diketahui lebih detail dibandingkan rinoskopi posterior
Gejala nasofaring dapat berupa epitaksis atau rasa karena dengan pemeriksaan tersebut kita dapat
hidung tersumbat dan keluar cairan dari hidung. Gejala ini mengetahui seluruh keadaan dari rongga hidung dan
sering belum muncul tetapi tumor sebenarnya sudah nasofaring. Sedangkan bila menggunakan rinoskopi
tumbuh atau tumor tidak tampak karena terdapat di bawah posterior terdapat halangan berupa bayangan yang ada
pada kaca.21
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 5
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Secara umum stadium tumor saat didiagnosis
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang merupakan faktor utama penentu prognosis serta
Adapun pemeriksaan penunjang pada karsinoma merupakan elemen yang sangat penting dalam menetukan
nasofaring yaitu: terapi berdasarkan pengalaman sebelumnya dan hasil dari
terapi pasien dengan stadium yang sama sebelumnya.
2.7.3.1 Pemeriksaan serologik Penentuan stadium secara akurat juga penting untuk
Dasar pemikiran dari pemeriksaan serologis mengevaluasi hasil dari pengobatan. KNF distaging dengan
terhadap antibodi pada kuman EBV yang ditemukan pada sistem TNM UICC/AJCC edisi ke-8 tahun 2018:
penelitian yang melibatkan hasil pemeriksaan jaringan dari
kanker nasofaring yang banyak berkaitan dengan infeksi
dari EBV. Pemeriksaan serologik yang dilakukan dapat
berupa pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA), radio imuno assay atau
PCR.
Pemeriksaan serologi ini dilakukan untuk
mengetahui keberadaan dan titer antibodi yaitu IgA anti
EBV-VCA, IgA anti EBV-EA, antibodi terhadap membran,
antibodi 20 terhadap inti EBV, antibody dependent cellular
cytotoxicity (ADCC) dan antibodi terhadap EBV-DNAse.
Menurut Tjokro Setiyo dari Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia bahwa pemeriksaan IgA VCA memiliki
sensitivitas sebesar 97,5% dan spesifisitas 91,8% dan Ig A
anti EA memiliki sesitivitas 100% dan spesifisitas 30%.19

2.7.3.2 Pemeriksaan Radiologis Tabel 1. Kriteria TNM pada KNF dalam AJCC Edisi 8
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk melihat
ukuran sebenarnya massa karsinoma nasofaring dan
mengetahui seberapa jauh penyebaran karsinoma
nasofaring tersebut sehingga membantu dalam
menentukan prognosis pasien. Pemeriksaan radiologis
dapat berupa pemeriksaan foto polos tengkorak, hal ini
dilakukan untuk mengetahui adanya jaringan lunak, struktur
tulang dan foramen, serta ekspansi tumor kehidung dan
sinus para nasal.20
Dapat juga berupa pemeriksaan computed
tomography scan (CT scan), pemeriksaan ini melihat masa
dari fossa Rosenmuller.21 Pemeriksaan CT scan lebih
spesifik untuk menilai keadaan nasofaring dikarenakan
lebih detail. Pemeriksaan ini mampu menilai perluasan
masa tumor dan penyebaran ke kelenjar limfa leher.20
Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
lebih akurat untuk mendiagnosis karsinoma nasofaring.21
MRI bermanfaat untuk membedakan antara jaringan lunak Tabel 3. Staging Karsinoma Nasofaring sesuai
dan cairan sehingga mampu membedakan karsinoma AJCC edisi 8
nasofaring dan limfoma.
2.8 Tatalaksana Karsinoma Nasofaring
2.7.3.3 Pemeriksaan Patologi Anatomi Pemilihan terapi telah diatur dalam Pedoman
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan Praktik Klinis Kanker Nasofaring yang mencakup radiasi,
biopsi pada nasofaring dengan menggunakan alat yang kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung dengan
dimasukkan ke hidung dengan bantuan rinoskopi posterior terapi simptomatik sesuai dengan gejala yang timbul.
atau nasofaringoskopi. Bisa juga dengan menggunakan Pilihan modalitas terapi juga disesuaikan dengan stadium
biopsi aspirasi jarum halus kelenjar. Bila penderita dari tumor tersebut. Berikut dijelaskan melalui tabel 4.
karsinoma nasofaring memiliki nilai serologik positif namun
pada pemeriksaan patologi negatif maka tidak dapat
dianggap sebagai penderita karsinoma nasofaring. 20
Menurut WHO tahun 2005 ada tiga tipe karsinoma
nasofaring yaitu:

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (keratinized


squamous cell carcinoma). Merupakan tipe yang
banyak menghasilkan keratin dan dapat
berdiferensiasi dengan baik.
2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratin (non-
keratinized squamous cell carcinoma). Pada tipe
ini dibagi menjadi dua yaitu tipe differentiated dan
tipe undifferentiated.
3. Karsinoma sel skuamosa basaloid (basaloid
squamous cell carcinoma).22 Tabel 4. Modalitas terapi KNF tergantung stadium

2.7.3.4 Penentuan Stadium KNF (Staging) 2.8.1 Radioterapi


Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 6
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Radioterapi merupakan terapi utama karsinoma
nasofaring yaitu dengan cara merusak DNA sehingga
menyebabkan kerusakan pada sel tumor.20 Radioterapi ada
2 yaitu radioterapi kuratif definitif dan radioterapi paliatif.
Radio terapi kuratif definitif diberikan kepada tumor primer
pada nasofaring dan perluasan terbatas KGB leher
sedangkan untuk radioterapi paliatif diberikan pada stadium
lanjut dan sudah bermetastasis.

2.8.2 Kemoterapi
Kemoterapi diberikan kepada pasien dengan
kasus yang telah berulang ataupun telah bermetastasis ke
organ lain.20 Kemoterapi ini merupakan sebagai
radiosensitizer untuk pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Tabel 5. Rekomendasi dalam rehabilitasi medis dan
Mekanisme kerja dari kemoterapi yaitu dengan asupan nutrisi pasien KNF
menghambat sintesis purin dan pirimidin sehingga
mengubah struktur DNA dan menggagalkan replikasi dari 2.8.5 Edukasi
sel tumor tersebut. Obat kemoterapi ada yang diberikan Hal-hal yang perlu diedukasikan kepada pasien
untuk menghambat seluruh siklus pembelahan sel dan telah dibahas dalam subbab sebelumnya. Berikut ini adalah
mengahambat siklus tertentu pada pembelahan sel. rangkuman mengenai hal-hal yang penting untuk
Kemoterapi biasanya dikombinasikan dengan radioterapi. 20 diedukasikan kepada pasien.23
Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan
preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali,
setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan
radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan
pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3
minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus
rekuren/metastatik.
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah
dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi
adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU
atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-
40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali. Terapi
sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus
Rekuren/Metastatik:

• Terapi Kombinasi
• Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
• Cisplatin/5-FU
• Carboplatin
• Cisplatin/gemcitabine
• Gemcitabine
• Taxans + Patinum +5FU
• Terapi Tunggal
• Cisplatin
• Carboplatin
• Paclitaxel
• Docetaxel
• 5-FU
• Methotrexate
• Gemcitabine
• Capecitabine

2.8.3 Dukungan Nutrisi


Tabel 6. Rekomendasi topik edukasi yang harus
Kebanyakan pasien karsinoma mengalami
diberikan pada pasien KNF
malnutrisi. Prevalensi kaheksia pada pada penderita kanker
kepala dan leher yaitu sekitar 6,7%. Pada pasien karsinoma
2.8.6 Follow-up
nasofaring yang sedang melakukan proses terapi sering
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan
mengalami efek samping berupa mukositis, xerostomia,
pemeriksaan fisik:23
mual, muntah, diare dan disgeusia, sehingga membutuhkan  Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
pemberian nutrisi secara optimal. Terapi pemberian nutrisi 
bisa dilakukan dengan memberikan nasehat kepada pasien Tahun 2 : setiap 2-6 bulan

dan menyarankaan untuk banyak makan makanan yang Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan

mengandung kuah, membawa minum setiap pergi dan 5 tahun : setiap 12 bulan
makan makanan yang dapat merangsang pengeluaran air
liur.19 Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3
bulan pasca terapi:
2.8.4 Rehabilitasi Medik a) MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI +
Rehabilitasi medik diberikan untuk meningkatkan ADC
pengembalian fungsi tubuh yang terganggu dan b) Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi
meningkatkan kualitas hidup pasien. Rehabilitasi medik metastasis tulang.
dapat dimulai sejak awal pengobatan.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 7
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi);
follow-up dengan CT Scan pada siklus pertengahan terapi Riwayat penyakit dahulu :
untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor. - Riwayat hipertensi tidak ada.
- Riwayat Diabetes militus tidak ada
2.9 Prognosis
Prognosis keseluruhan tidak baik dan angka - Riwayat tumor sebelumnya tidak ada
survival 5 tahunnya hanya 30%. Hal ini biasa terjadi karena
terlambat menegakkan diagnosis. Dengan pengenalan Riwayat penyakit keluarga :
tanda dan gejala sedini mungkin maka prognosis dapat - Tidak ada anggota keluarga yang mengalami
membaik.24 keluhan seperti ini.
Stadium T1 dan T2 memiliki angka kontrol - Tidak ada keluarga yang menderita penyakit
lokoregional yang tinggi (> 95%) 5-year locoregional control
keganasan.
rates. Angka survival dapat mencapai 70 –75%. Pada
stadium lanjut T3 dan T4, angka kontrol lokoregional 26
mencapai secara berturut-turut 70% dan 50%. Angka Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan :
survival 5 tahun pasien dengan stadium lanjut yang ● Pasien sekarang petani
ditangani kemoterapi adalah 66% dan dengan radiasi ● Pasien memiliki riwayat merokok sejak 20 tahun
76%.25 yang lalu 1bungkus/minggu. Dan sudah berhenti
merokok 7 bulan ini.

LAPORAN KASUS PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
IDENTITAS PASIEN Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Nama : Tn. MZ Kesadaran : Composmentis kooperatif
Umur : 50 tahun Tekanan darah : 120/80 mmHg
Jenis Kelamin : Laki-laki Frekuensi nadi : 90 x/menit
No MR : 01.06.61.33 Frekuensi nafas : 16 x/menit
Alamat : Jambi Suhu : afebris

ANAMNESIS Pemeriksaan Sistemik


Seorang pasien laki-laki berusia 50 tahun datang RSUP Kepala : normochepal
Dr.M.Djamil Padang dengan: Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
Keluhan Utama : Wajah : tidak ditemukan kelainan
- Benjolan di leher kanan yang semakin membesar Thorax
sejak 1 bulan yang lalu Paru : suara nafas bronkovesikular, rh -/-, wh -
/-
Riwayat Penyakit Sekarang : Jantung : bunyi jantung 1,2 reguler gallop (-)
- Benjolan di leher kanan yang semakin membesar Abdomen : supel, bising usus (+) normal
sejak 1 bulan yang lalu sebesar bola tenis, dan Extremitas : akral hangat dan refilling kapiler <2”
tidak nyeri.
- Awalnya, pasien merasakan ada benjolan di leher Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
sebelah kanan sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan Daun Kelainan Tidak ada Tidak ada
awalnya sebesar kelereng, lalu bertambah besar Telinga Kongenital
menjadi sebesar telur ayam. Benjolan tidak nyeri,
permukaan licin, tidak ada keluar sekret, tidak Trauma
merah. Pasien sebelumnya sudah berobat ke poli Tidak ada Tidak ada
bedah onkologi dan telah dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi dengan hasil metastase Radang
carsinoma ke KGB (kemungkinan berasal dari Tidak ada Tidak ada
nasofaring).
- Hidung tersumbat tidak ada.
- Riwayat mimisan tidak ada. Kelainan
- Telinga terasa penuh ada sejak Metabolik Tidak ada Tidak ada
- Telinga berdenging ada sejak
- Keluar cairan dari telinga tidak ada. Nyeri Tarik
- Pandangan ganda tidak ada. Tidak ada Tidak ada
- Sukar menelan tidak ada.
- Sukar mengangkat bahu tidak ada.
- Benjolan di tempat lain tidak ada. Nyeri Tekan
- Pasien seorang petani. Tragus Tidak ada Tidak ada
Liang dan Cukup Cukup Cukup
- Pasien memiliki riwayat merokok sejak 20 tahun
Dinding Lapang lapang lapang
yang lalu 1bungkus/minggu. Dan sudah berhenti Telinga
merokok 7 bulan ini. Sempit - -
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 8
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Kongenital
Hiperemis Tidak Tidak
hiperemis hiperemis Trauma Tidak ada Tidak ada

Radang/ Tidak ada Tidak ada


Edema Tidak ada Tidak ada Massa
Sinus Deformitas Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada Paranasal
Nyeri Tidak ada Tidak ada
Tekan
Sekret/ Bau - - Tidak ada
Serumen Nyeri Tidak ada
Warna - - Ketok
Rinoskopi Anterior

Jumlah - - Vestibulum Vibrise Positif Positif

Jenis - - Radang Tidak ada Tidak ada


Kavum Nasi Normal/Cu Cukup Cukup
Membran Timpani
kup lapang lapang
Utuh Warna Putih Putih Lapang
mutiara mutiara - -
Sempit
Refleks + (arah jam + ( arah - -
Cahaya 5) jam 7) Lapang
Sekret Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bulging Tidak ada Tidak ada
- -
Retraksi Tidak ada Tidak ada Jenis
- -
Atrofi Tidak ada Tidak ada Jumlah
Perforasi Jumlah Tidak ada Tidak ada - -
perforasi Bau
Konka Inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Jenis - -
Kuadran Warna Merah Merah muda
muda
Pinggir - -
Mastoid Tanda Tidak ada Tidak ada Permukaan Licin Licin
Radang
Edema Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada Konka Media Ukuran Eutrofi Eutrofi

Sikatrik Tidak ada Tidak ada Warna Merah Merah muda


muda
Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada Licin
Permukaan Licin
Tidak ada
Nyeri Ketok Tidak ada Tidak ada Edema Tidak ada
Tes Garpu Rinne + + Septum Cukup Tidak ada Tidak ada
Tala Lurus/Devi devisi deviasi
Weber Tidak ada Tidak ada asi
Lateralisasi Lateralisasi
Permukaan Licin Licin
Sama Sama
Schwabach dengan dengan Warna Merah Merah muda
pemeriksa pemeriksa muda

Spina Tidak ada Tidak ada


Kesimpulan Normal Normal
Krista Tidak ada Tidak ada
Audiometri Tidak diperiksa
Abses Tidak ada Tidak ada
Timpanometri Tidak diperiksa
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Hidung Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada

Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra Bentuk - -


Hidung Luar Deformitas Tidak ada Tidak ada
Ukuran - -
Kelainan Tidak ada Tidak ada
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 9
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Permukaan - -
Edema Tidak Tidak
Warna - - ada ada
Konsistensi - -
Bercak/ Tidak Tidak
Mudah - - eksudat ada ada
Digoyang Dinding Warna Merah Merah
Faring muda muda
Pengaruh
Vasokonstr Permukaan Licin Licin
iksi Tonsil Ukuran T1 T1
Rinoskopi Posterior

Koana Cukup Sulit dinilai Sulit dinilai Warna Merah Merah


Lapang/ muda muda
Normal
Sempit Permukaan Licin Licin

Massa + + Muara kripti Tidak Tidak


melebar melebar
Mukosa Warna Sulit dinilai Sulit dinilai
Detritus Tidak Tidak
Edema Sulit dinilai Sulit dinilai ada ada

Eksudat Tidak Tidak


Jaringan Sulit dinilai Sulit dinilai ada ada
Granulasi Peritonsil Warna Merah Merah
Konka Inferior Ukuran Sulit dinilai Sulit dinilai muda muda
Warna Sulit dinilai Sulit dinilai Edema Tidak Tidak
ada ada
Permukaan Sulit dinilai Sulit dinilai

Edema Sulit dinilai Sulit dinilai Abses Tidak Tidak


Adenoid Ada/tidak Sulit dinilai Sulit dinilai ada ada

Muara Tuba Tertutup Sulit dinilai Terbuka Perlengketan Tidak Tidak


Eustachius ada ada
Sekret Sulit dinilai Tidak ada Tumor Lokasi
Edema Sulit dinilai Tidak ada
Bentuk
Ukuran Tidak ada
Mukosa Sulit dinilai Sulit dinilai Permukaan
Massa Lokasi Sulit dinilai Sulit dinilai Konsistensi
Gigi Karies/radiks Tidak Tidak
ada ada
Ukuran Sulit dinilai Sulit dinilai Kesan
normal normal
Bentuk Sulit dinilai Sulit dinilai
Lidah Warna Merah Merah
Permukaan Berbonjol Berbonjol
muda muda
bonjol
Post Nasal Ada/Tidak Sulit dinilai Sulit dinilai Bentuk Tidak Tidak
Drip ada ada
Jenis - - kelainan kelainan

Oral Cavity dan Orofaring Deviasi Tidak Tidak


ada ada
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Trismus Tidak Tidak Massa Tidak Tidak
ada ada ada ada
Uvula Ditengah Ditengah
Laringoskopi Indirek (sulit dinilai karena pasien merasa
Palatum Simetris/ Simetris Simetris
mual)
Mole + tidak
Arkus Faring Pemeriksaa Kelainan Dextra Sinistra
Warna Merah Merah n
muda muda
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 10
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Epiglotis Bentuk Sulit Sulit  Laringoskopi indirek: epiglotis tenang, aritenoid


Warna dinilai dinilai tenang, plika vokalis dan ventrikularis simetris,

Edema rima glotis terbuka, standing sekret -/-


Pemeriksaan Anjuran
Pinggir Labor
Rata/Tidak
Massa Rontgen
Aritenoid Warna Sulit Sulit
dinilai dinilai Diagnosis
Edema
Tumor nasofaring susp malignancy
Massa
Terapi anjuran
Gerakan
Plika Vokalis Warna Biopsi dalam general anestesi
Gerakan
Sulit Sulit
Pinggir DISKUSI
dinilai dinilai
Medial
Massa
Sinus Massa Sulit Sulit
Piriformis Sekret dinilai dinilai DAFTAR PUSTAKA
Valekulae Massa Sulit Sulit 1. Union for International Cancer Control. Review of Cancer
Medicines on the WHO List of Essential Medicines :
Sekret/Jeni dinilai dinilai Nasopharyngeal Carcinoma. WHO. 2014
snya 2. Lei Wu, Churong Li dan Li Pan. Nasopharyngeal carcinoma :
a Review of Current Updates. Experimental and Therapeutic
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher Medicine. 2018;15:3687-3692
3. Bustam FP, Berawi KN, Wahyudo R, Kedokteran F, Lampung
Inspeksi U, Fisiologi B, et al. Konsumsi Ikan Asin sebagai Faktor
Resiko pada Pasien Karsinoma Nasofaring Consumption of
 Lokasi : Tampak pembesaran KGB Salted Fish as a Risk Factor in Nasopharyngeal Carcinoma
Patients. 2018;8(April):1–6
pada level II, III, IV
4. Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, Jack Z, Lisnawati ,
 Bentuk : Witjaksono F, et al. Pelayanan nasional pelayanan
kedokteran: kanker nasofaring: Kementerian Kesehatan RI
 Soliter / Multiple : -
5. Fathi A, Amani F, Davoodi M, Bahadoram S dan Bahadoram
Palpasi M. A Rare Presentation of Primary Nasopharyngeal
 Bentuk : Teraba pembesaran KGB Carcinoma (NPC) in Mediastinum. Iran J Cancer Prev.
2016;9(40:e4277
 Ukuran : 85x80x55 6. American Cancer Society. Nasopharyngeal Cancer.
2018;1.800.227.2345. Cancer.org
 Konsistensi : padat 7. Wah S, Ling Y, Man C, Shin P, Ming V, Lau Y, et al.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncol
 Mobilitas : terfiksir [Internet]. 2014;50(5):330–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2014.02.0065. -
Diakses 9 Juli 2019
RESUME 8. Ma J, Cao S. The Epidemiology of Nasopharingeal
Carcinoma. Berlin Heideberg: Na, 2010. nasopharingeal
Anamnesis: carcinoma. p. 1-7.
9. Soepardi AA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar
 Benjolan di leher kanan semakin membesar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
 Telinga terasa penuh Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2012.
 Telinga berdenging 10. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and esophagus. In: Lee
KJ. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 9th ed.
Status lokalis THT : Tempat.2008. P : 530-551.
11. Irfandy D. Laryngopharyngeal Reflux. Bagian THT-KL FKUA
 Telinga ADS: LT lapang/lapang, MT perforasi
RSUP M Djamil Padang. 2018. 1-15, 5.
utuh/utuh, RC +/+, sekret -/-, serumen -/- 12. Chew, C.T. 1997. Nasopharynx (the Postnasal Space), Scott-
Brown’s. Otolaryngology, 6th edition, Butterworth-
 Hidung KNDS: KN lapang/lapang, KI eutrofi/ Heinemann, Great Britain, vol 5, pp. 5/13/1-30.
13. Witte MC, Neel. 1998. Nasopharyngeal Cancer. In: Byron J.
eutrofi, KM eutrofi/eutrofi, sekret -/-, SD -/-, massa Bailey, editors. Head and.
-/- 14. Hasselt CAV, Gibb A. 1999. Nasopharyngeal Carcinoma.
15. Dhingra PL, Dhingra S (2007). Diseases of ear, nose and
 Rinoskopi posterior : tampak massa berbonjol throat, 4 th ed, India: Elsevier, p: 4-5, 70.
16. Wah S, Ling Y, Man C, Shin P, Ming V, Lau Y, et al.
bonjol Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncol
[Internet]. 2014;50(5):330–8. Available from:
 Tenggorok: arkus faring simetris, uvula ditengah,
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2014.02.006. -
tonsil T1– T1 tenang, dinding posterior faring Diakses 9 Juli 2019
17. Putri EB. 2011. Karakteristik penderita karsinoma nasofaring
tenang di departemen ilmu kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.
Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Hasan Sadikin Bandung Periode Tahun 2006 - 2010 [skripsi].
Bandung: Universitas Padjadjaran.
18. Roezin, Averdi dan Syafril, Anida. 2016. “Karsinoma
Nasofaring” Disunting oleh Efiaty Arsyad Soepardi dan
Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher, Edisi Keenam. Jakarta : FKUI.
19. Roezin A, Adham M. 2014. Karsinoma Nasofaring. Dalam:
Soepardi EA,Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan. Edisi ke-7.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. p. 158–63.
20. Putri EB. 2011. Karakteristik penderita karsinoma nasofaring
di departemen ilmu kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung Periode Tahun 2006 - 2010 [skripsi].
Bandung: Universitas Padjadjaran.
21. Yueniwati Y. 2016. Tumor extension and tumor staging of
nasopharyngeal carcinoma. indonesian society of radiology
annual scientific meeting, 19-21, 2016 May and Indonesia,
Balikpapan. Indonesia. Indonesia: Perhimpunan Dokter
Spesialis Radiologi.
22. Rahman S, Budiman B, Subroto H. Faktor Risiko Non Viral
Pada Karsinoma Nasofaring. 2015 4(3), JKA, p. 988-995.
23. Kementrian Kesehatan RI. Panduan Penatalaksanaan
Kanker Nasofaring. 2012.
24. Bull TR. The pharynx and larynx In Color atlas of ENT
diagnosis. Thieme 2003 p 166-235
25. Lalwani AK. Chapter 22 benign and malignant lesions of the
oral cavity, oropharynx and nasopharynx In. Current
diagnosis and treatment otolaryngology.The McGraw-Hill
Companies. 2007 p.22.1-16

Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.


Dokter Muda THT-KL Periode November - Desember 2019 12
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

DAFTAR PUSTAKA

1. J.K.C. Chan, B.Z. Pilch BZP, T.T. Kuo, B.Z. “Karsinoma Nasofaring”. Disunting oleh Efiaty Arsyad
Pilch, Wenig, B.M., Lee AWM. Tumours of the Soepardi dan Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu
Nasopharynx. In: WHO classification of tumours: Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &
head & neck tumours. Lyon: IARC Press; 2005. Leher, Edisi Keenam. Jakarta : FKUI.
p. 81–106. 18. Roezin A, Adham M. 2014. Karsinoma Nasofaring.
2. Bustam FP, Berawi KN, Wahyudo R, Kedokteran Dalam: Soepardi EA,Iskandar N, Bashirudin J, Restuti
F, Lampung U, Fisiologi B, et al. Konsumsi Ikan RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
Asin sebagai Faktor Resiko pada Pasien tenggorokan. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Karsinoma Nasofaring Consumption of Salted p. 158–63.
Fish as a Risk Factor in Nasopharyngeal 19. Putri EB. 2011. Karakteristik penderita karsinoma
Carcinoma Patients. 2018;8(April):1–6. nasofaring di departemen ilmu kesehatan THT-KL
3. Maubere F, Nuaba IGA. Karakteristik Pasien FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode
Karsinoma Nasofaring di Poliklinik Telinga Tahun 2006 - 2010 [skripsi]. Bandung: Universitas
Hidung Tenggorokkan-Kepala Leher Rumah Padjadjaran.
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Pada 20. Yueniwati Y. 2016. Tumor extension and tumor staging
Bulan November - Desember 2014. of nasopharyngeal carcinoma. indonesian society of
4. Wah S, Ling Y, Man C, Shin P, Ming V, Lau Y, et radiology annual scientific meeting, 19-21, 2016 May
al. Etiological factors of nasopharyngeal and Indonesia, Balikpapan. Indonesia. Indonesia:
carcinoma. Oral Oncol [Internet]. Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi.
2014;50(5):330–8. Available from: 21. Rahman S, Budiman B, Subroto H. Faktor Risiko Non
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2014.02. Viral Pada Karsinoma Nasofaring. 2015 4(3), JKA, p.
0065. - Diakses 9 Juli 2019 988-995.
5. Ma J, Cao S. The Epidemiology of 22. Kementrian Kesehatan RI. Panduan Penatalaksanaan
Nasopharingeal Carcinoma. Berlin Heideberg: Kanker Nasofaring. 2012.
Na, 2010. nasopharingeal carcinoma. p. 1-7. 23. Bull TR. The pharynx and larynx In Color atlas of ENT
6. Soepardi AA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti diagnosis. Thieme 2003 p 166-235
RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung 24. Lalwani AK. Chapter 22 benign and malignant lesions of
Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Fakultas the oral cavity, oropharynx and nasopharynx In.
Kedokteran Universitas Indonesia, 2012. Current diagnosis and treatment otolaryngology.The
7. Chang ET, Adami HO. the enigmatic McGraw-Hill Companies. 2007 p.22.1-16
epidemiology of nasopharingeal carcinoma.
2006, cancer epidemiologic biomarkers prev, p.
15(10) 1765-72.
8. Ekburaranawat W, Ekspanyaskul C, Brennan P,
Kanka C, Tepsiwan K, Tamisyatith S et al.
Evaluation of Non Viral Risk Factors for
Nasopharingeal Carcinoma in Thailand: result
from a case control study. 2010, Asian Pacific J
Cancer Prev, p. 929-32.
9. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and
esophagus. In: Lee KJ. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 9th ed. Tempat.2008. P
: 530-551.
10. Irfandy D. Laryngopharyngeal Reflux. Bagian
THT-KL FKUA RSUP M Djamil Padang. 2018. 1-
15, 5.
11. Chew, C.T. 1997. Nasopharynx (the Postnasal
Space), Scott-Brown’s. Otolaryngology, 6th
edition, Butterworth-Heinemann, Great Britain,
vol 5, pp. 5/13/1-30.
12. Witte MC, Neel. 1998. Nasopharyngeal Cancer.
In: Byron J. Bailey, editors. Head and.
13. Hasselt CAV, Gibb A. 1999. Nasopharyngeal
Carcinoma.
14. Dhingra PL, Dhingra S (2007). Diseases of ear,
nose and throat, 4 th ed, India: Elsevier, p: 4-5,
70.
15. Wah S, Ling Y, Man C, Shin P, Ming V, Lau Y, et
al. Etiological factors of nasopharyngeal
carcinoma. Oral Oncol [Internet].
2014;50(5):330–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2014.02.
006. - Diakses 9 Juli 2019
16. Putri EB. 2011. Karakteristik penderita
karsinoma nasofaring di departemen ilmu
kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung Periode Tahun 2006 - 2010
[skripsi]. Bandung: Universitas Padjadjaran.
17. Roezin, Averdi dan Syafril, Anida. 2016.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2019.

Anda mungkin juga menyukai