Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,”
atau “Serigala,” memiliki ciri yaitu munculnya bercak atau kelainan pada
kulit, dimana di sekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerah-merahan
seperti kupu-kupu. Lupus juga menyerang organ dalam lainnya seperti ginjal,
jantung, dan paru-paru.Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik”,
karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya
mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut Lupus
Kulit (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya di bandingkan lupus yang
sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah
suatu penyakit yang di tandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh
sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun
virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri
seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena
organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya,
maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal
terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang
sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut
hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di
RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE
( sistemiclupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit
yang seringterl ambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi
yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang
dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum
terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari
SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardio pulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,
trombosit, dan kematian janin (Hahn, 2005).

1
2

B. Tujuan

1. Tujuan umum:
Mengetahui secara menyeluruh mengenai konsep teori dan konsep asuhan
keperawatan lupus.
2. Tujuan khusus
a. Memahami pengertian dari lupus.
b. Mengetahui klasifikasi dari lupus.
c. Mengetahui anatomi dan fisiologi lupus.
d. Mengetahui etiologi lupus.
e. Memahami patofisiologi dari lupus.
f. Memahami patoflowdiagram lupus.
g. Mengetahui tanda dan gejala dari lupus.
h. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
penderita lupus.
i. Mengetahui penatalaksanaan dari lupus.
j. Mengetahui komplikasi dari lupus.
k. Menguasai konsep asuhan keperawatan pada lupus.

C. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyelesaian makalah ini, maka penulis menyusun


sistematika penulisan sebagai berikut:
1. Bab I : Pendahuluan
Bab ini membahas latar belakang masalah, tujuan masalah, dan
sistematika penulisan.
2. Bab II : Tinjauan Teori
Bab ini membahas pengertian, klasifikasi, anatomi fisiologi, etiologi,
patofisiologi, patoflowdiagram, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan medis, komplikasi, dan konsep dasar keperawatan.
3. Bab III : Kesimpulan
Bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang


disebabkan oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem
pertahanan tubuh yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara
jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti kulit, jantung,
paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun
yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. (Silvia & Lorraine,
2006).
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang
menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut
atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah,
penuakit ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan
jantung (Robins, 2007).

B. Klasifikasi

Ada tiga jenis type lupus :


1. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus. Tipe lupus ini hanya
terbatas pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul
pada muka, leher, atau kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas
terlihat pada daerah kulit yang terkena sinar ultraviolet (seperti sinar
matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa macam tipe ruam
pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul, bersisik
dan merah, tetapi tidak gatal.
2. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada beberapa macam
organ. Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada
gangguan kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru,

3
4

ginjal, darah ataupun organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena.
SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak
muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif
(flare).
3. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf.
Obat yang umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis
hidralazin (untuk penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid
(untuk penanganan detak jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak
semua orang yang memakan obat ini akan terkena drug-induced lupus.
Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu yang bakal
membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali
yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka
gejala lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinya
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun,
Systemic Lupus selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan
dapat menyerang organ atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit
dan persendian yang diserang. Meski begitu, pada orang lain bisa merusak
persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau jaringan lain.

C. Anatomi fisiologi

1. System pertahanan tubuh atau system kekebalan tubuh


Diartikan sebagai semua mekanisme yang digunakan oleh
tubuhuntuk menangkal pengaruh factor atau zat yang berasal dari
lingkungan, yang asing bagi tubuh kita.
2. Organ yang berperan dalam system
pertahanan tubuh
Organ-organ yang berperan dalam
system pertahanan tubuhmeliputi organ-
organ penghasil sel-sel pertahanan
tubuh. Organ-organ tersebut adalah
sumsum tulang, kelenjar timus, limpa,
dan tonsil.
5

a. Sumsum tulang
Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel
penting bagi tubuh. Di dalam sumsum tulang dihasilkan
berbagai jenis sel yang berperan dalam pertahanan tubuh. Sejumlah
sel yang dihasilkan oleh sumsum tulang berperan dalam produksi
sel-sel fagosit, sebagian berperan dalam penggumpalan darah, dan
sebagian lagi berperan dalam penguraian senyawa.
b. Kelenjar timus
Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas jantung
dan paru-paru. Dalam system limfatik, kelenjar timus merupakan
organ yang penting, terutama pada bayi yang baru lahir karena organ
tersebut mengatur perkembangan limpa dan nodus limpa. Setelah
pubertas, kelenjar timus akan mengecil, tetapi tetap merupakan
organ kekebalan yang penting. Menurut pengamatan biologis,
kelenjar timus tampak seperti organ biasa tanpa suatu fungsi khusus.
Meskipun demikian, kelenjar timus sebenarnya memiliki fungsi yang
teramat penting. Di dalam kelenjar timus, limfosit T di bentuk dan
mendapat semacam “pelatihan” yang berupa transfer informasi.
Informasi ini berguna untuk mengenali karakteristik khusus sel-
sel tubuh. Disini, limfosit dilatih untuk mengenal identitas sel-sel
dalam tubuh dan diprogram untuk membentuk antibody melawan
mikroorganisme spesifik. Terakhir, limfosit yang bermuatan
informasi itu meninggalkan kelenjar timus. Dengan demikian, ketika
limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang sel-sel yang
identitasnya telah dikenali, tetapi hanya menyerang dan
membinasakan sel-sel lain yang bersifat asing.
c. Limpa
Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik danterletak
di sisi kiri bagian atas abdomen, di antara rusukterbawah serta
lambung. Di dalam limpa terdapat pembuluhlimpa dan pembuluh
darah. Fungsi utama limpa adalah menghancurkan sel-sel darah
merah yang rusak, bakteri, dan benda-benda asing dalam darah, serta
menghasilkan limfosit dan antibody. Limfosit yang telah dibuat
limpa akan mengikutialiran darah.Limpa mengandung sejumlah
6

besar sel makrofag (sel pembersih). Makrofag menelan dan


mencerna sel-sel darahmerah atau sel-sel darah lainnya yang rusak
dan tua, serta bahan-bahan lain, yang dibawa darah ke limpa. Di
dalam limpa, makrofag mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel
darah merah yang ditelannya menjadi bilirubin (pigmen empedu).
d. Tonsil
Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan
berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil
ada yang terletak di dekat dasar lidah, di bagian kiri dan
kanan pangkal tenggorok (disebut amandel) serta di rongga hidung
(disebut polip). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh terhadap
infeksi (sebagai penghasil limfosit) yang dapat tersebar dari hidung,
mulut dan tenggorok. Tonsil dapat meradang jika sedang
“ bertempur “ melawan bibit penyakit. (Pujiyanto, 2014)

D. Etiologi

Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa
factor yang terlibat seperti factor genetic,obat-obatan,hormonal dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan
tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan
antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam kompleks
imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan
kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar
dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat
terjadi sekunder terhadap beberapa factor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE
1. Factor genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal
sehingga timbul produk auto antibodi yang berlebihan. Kecenderungan
genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan
7

pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita
SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah
58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa
kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human
Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain
itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah
satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90%
orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi
menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali
sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
8

3. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di
tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang
dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada
seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak
awal.
4. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE.
5. Faktor Farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis
obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. Musai (2010)
9

E. Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan auto antibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, stress, infeksi).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin
dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadiakibat
fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks
imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu
1. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleksimun
maupun sitokin dalam tubuh.
b. enurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuhsebagai
antigen karena adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodydi
dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnyaantibody-
antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun.Kompleks imun tersebut
terdeposisi pada jaringan atau organ yangakhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.
10

F. Patoflowdiagram
11

G. Tanda dan Gelaja

Gambaran klinis biasanya dapat membingungkan, gejala yang palin


sering adalah sebagai berikut:
1. Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).
2. Demam akibat peradangan kronik
3. Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung,
kata Lupus berarti serigala dan mengacu kepada penampakan topeng
seperti serigala.
4. Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan
hipoksia kronik.
5. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
6. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
7. Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung
8. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan
hipertensi.
9. Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi
karena serangan terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit
(Elizabeth, 2009).

H. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang di lakukan meliputi:


1. ANA (anti nucler antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi
namun spesifisitas yang rendah.
2. Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES,
biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.
3. Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien.
4. Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan
lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait
dengan kambuhnya LES.
5. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
6. Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis reumatoid,
sindrom sjogren, skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia lain.
7. Anti ssDNA (single stranded)
12

8. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif


Mansjoer, 2000).

I. Penatalaksanaan Medis

Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:


1. Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat
ini lebih jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi,
dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.
Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-
obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus
dipantau secara seksama.
2. Kortikosteroid
3. Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS
tidak dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria
mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan
remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau
pemakaian dosis.
4. Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat
dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini
biasanya dipakai ketika:
a. Diagnosis pasti sudah ditegakkan
b. Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
c. Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila
pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid
harus diturunkan karena adanya efek samping
d. Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan
Lorraine, 1995).
13

J. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita adalah sebagai berikut:


1. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES.
Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada
glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan
cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III.
2. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang
mengelilingi jantung).
3. Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi
perapasan. Sering terjadi bronkhitis.
4. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.
5. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan
kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan
kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya
(Elizabeth, 2009).

K. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
a) Nyeri
b) Gatal-gatal
2) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
b) Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin, prokainamid,
isoniazid, kontrasepsi oral dll
c) Riwayat terinfeksi virus
d) Terekspos bahan kimia
3) Riwayat kesehatan keluarga
a) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
b) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
14

4) Riwayat kesehatan sekarang


Pasien mengatakan:
a) nyeri sendi karena gerakan
b) kekakuan pada sendi
c) kesemutan pada tangan dan kaki
d) sakit kepala
e) Demam
f) merasa letih, lemah
g) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu
senggang, pekerjaan
h) keputusasaan dan ketidakberdayaan
i) kesulitan untuk makan
j) nausea, vomitus
k) sesak nafas
l) nyeri dada
m) ancaman pada konsep diri, citra diri
b. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan latihan
a) Keterbatasan rentang gerak
b) Deformitas
c) Kontraktur2)
2) Nyeri dan kenyamanan
a) Pembengkakan sendi
b) Nyeri tekan
c) Perubahan gaya berjalan/pincang
d) Gerak otot melindungi yang sakit
3) Kardiovaskuler
a) Fenomena raynoud
b) Hipertensi
c) Edema
d) Pericardial friction rub
e) Aritmia
f) Murmur
15

4) Nutrisi dan metabolic


a) Lesi pada mulut
b) Penurunan berat badan
5) Pola eliminasi
a) Peningkatan pengeluaran urin
b) Konstipasi /diare
2. Diagnosa
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan otot pernapasan
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d gangguan aliran arteri
atau vena
c. Penurunan curah jantung b.d kontraktilitas jantung
d. Nyeri akut b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
e. Resiko infeksi b.d gangguan integritas kulit
f. Kerusakkan integritas kulit b.d imunodefisiensi
g. Gangguan citra tubuh b.d penyakit
3. Intervensi
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan otot pernapasan

Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Setelah diberikan asuhan  Monitor kecepatan, ritme,  Untuk mengetahui


keperawatan selama ….. kedalaman,dan usaha pasien keadekuatan pernapasan.
diharapkan pola nafas saat bernafas.
kembali efektif dengan
Kriteria Hasil :  Monitor suara nafas seperti  Mengetahui adanya
 Frekuensi, irama, ked snoring. sumbatan pada jalan nafas.
alaman pernapasan da
lam batas normal
 Tidak menggunakan  Posisikan pasien semi  Untuk memaksimalkan
otot - otot bantu fowler. potensial ventilasi.
pernapasan
 Tanda – tanda vital  Berikan HE tentang  Informasi ini dapat
dalam rentang normal pengobatan : indikasi, membantu pasien dalam
(TD 120-90/90-60 dosis, frekuensi, dan mengonsumsi obat dengan
mmHg, nadi 80-100 x kemungkinan efek samping. aman dan benar.
/ menit, RR : 18-24 x
/ menit, suhu 36,5 -  Kolaborasi dalam  Meningkatkan ventilasi
37,5 C). pemberian oksigen. dan asupan oksigen.
16

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d gangguan aliran arteri


atau vena

Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Setelah diberikan asuhan  Kaji secara komprehensif  Sirkulasi perifer dapat


keperawatan selama ….. sirkulasi perifer. menunjukkan tingkat
diharapkan perfusi keparahan penyakit.
jaringan perifer efektif
dengan Kriteria Hasil :  Monitor laboratorium (Hb,  Nilai laboratorium dapat
 Waktu pengisian hmt). menunjukkan komposisi
kapiler < 3 detik darah.
 Tekanan sistol dan
diastol dalam rentang  Evaluasi nadi perifer dan  Pulsasi yang lemah
yang diharapkan edema. menimbulkan penurunan
 Tingkat kesadaran kardiak output.
membaik
 Ubah posisi pasien setiap 2  Mencegah komplikasi
jam. dekubitus.

 Dorong latihan ROM  Menggerakkan otot dan


sebelum bedrest. sendi agar tidak kaku.

 Kolaborasi pemberian anti  Meminimalkan adanya


platelet atau anti bekuan dalam darah.
perdarahan.

c. Penurunan curah jantung b.d kontraktilitas jantung

Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Setelah diberikan asuhan  Kaji suara nafas dan suara  Data dasar dalam
keperawatan selama ….. jantung. menentukan intervensi
diharapkan curah jantung lebih lanjut.
mengalami peningkatan
dengan Kriteria Hasil :  Ukur CVP pasien  Mengetahui kelebihan
 Menunjukkan curah atau kekurangan cairan
jantung yang tubuh.
memuaskan
dibuktikan oleh  Monitor aktivitas pasien  Mengurangi kebutuhan
efektifitas pompa oksigen.
jantung, status
sirkulasi, perfusi  Monitor saturasi oksigen  Mengetahui manifestasi
jaringan, dan status penurunan curah jantung.
TTV.
 Tidak ada edema  Kolaborasi pemberian  Mengejan dapat
paru, perifer, dan laksatif. memperparah penrunan
asites. curah jantung.
17

d. Nyeri akut b.d inflamasi dan kerusakan jaringan

Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Setelah diberikan asuhan  Lakukan pengkajian nyeri  Untuk mengetahui tingkat


keperawatan selama ….. komprehensif yang meliputi nyeri pasien.
diharapkan nyeri dapat lokasi, karakteristik ,onset
berkurang dengan atau durasi, frekuensi,
Kriteria Hasil : kualitas, intensitas atau
o Ekspresi wajah klien beratnya nyeri dan
tidak menunjukkan faktor pencetus.
ketegangan
o klien tidak gelisah  Observasi reaksi  Untuk mengetahui tingkat
o klien dapat ketidaknyamanan secara ketidaknyamanan yang
beristirahat nonverbal. dirasakan oleh pasien.
o klien tidak mengalami
kesulitan dalam
berkonsentrasi.  Ajarkan cara penggunan  Agar klien mampu
terapi non farmakologi menggunakan teknik non
(distraksi, relaksasi). farmakologi dalam
memanajemen nyeri yang
dirasakan.

 Berikan informasi tentang  Pemberian HE dapat


nyeritermasuk penyebab mengurangi tingkat
nyeri,berapalama nyeri akan kecemasan dan membantu
hilang, antisipasiterhadap klien dalam membentuk
ketidaknyamanan dari mekanisme koping
prosedur. terhadap rasa nyeri.

 Kolaborasi pemberian  Pemberian analgetik dapat


analgetik. mengurangi rasa nyeri
pasien.

e. Resiko infeksi b.d gangguan integritas kulit


Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Setelah diberikan asuhan  Monitor karakteristik,  Untuk mengetahui tingkat


keperawatan selama ….. warna, ukuran, cairan, nyeri pasien.
diharapkan pasien dapat dan bau luka.
terhindar dari resiko
infeksi dengan Kriteria  Bersihkan luka dengan  Normal salin merupakan
Hasil : normal salin. cairan isotonis yang sesuai
o Integritas kulit klien dengan cairan dalam
normal tubuh.
o Temperature kulit
klien normal  Ajarkan klien dan keluarga  Memandirikan keluarga
o Tidak ada lesi pada untuk melakukan perawatan dan pasien.
18

kulit. luka.

 Rawat luka dengan konsep  Agar tidak terjadi infeksi


steril. dan terpapar oleh kuman
atau bakteri.

 Gunakan sabun antimikroba  Mengurangi mikroba


untuk cuci tangan. bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi.

 Berikan penjelasan kepeda  Agar keluarga pasien


klien dan keluarga mengetahui tanda dan
mengenai tanda dan gejala gejala infeksi.
infeksi.

 Kolaborasi pemberian  Pemberian antibiotik


antibiotik. untuk mencegah
timbulnya infeksi.

f. Kerusakkan integritas kulit b.d imunodefisiensi


Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Setelah diberikan asuhan  Monitor kulit yang  Dengan memonitoring


keperawatan selama ….. memerah dan terjadi area kulit yang merah dan
diharapkan dapat kerusakan. terjadi kerusakan untuk
mencegah terjadinya mengurangi resiko
kerusakan pada kulit dekubitus.
dan jaringan didalamnya
dengan Kriteria Hasil :  Mobilisasi klien setiap 2  Dengan memobilisasi
o Tidak terdapat jam. klien dapat mengurangi
tekanan penekanan.
o Tidak menunjukkan
adanya kelainan pada  Lakukan perawatan kulit  Untuk meningkatkan
persendian secara aseptic 2 kali sehari. proses penyembuhan lesi
kulit serta mencegah
terjadinya infeksi
sekunder.

 Berikan pendidikan  Meningkatkan


kesehatan kepada klien dan pengetahuan pasien dan
keluarganya tentang keluarganya mengenai
pentingnya menjaga pentingnya menjaga
kebersihan kulit sekitar luka kebersihan kulit serta
guna mempercepat supaya pasien lebih
penyembuhan dan ajarkan kooperatif.
teknik perawatannya.
19

 Kolaborasi pemberian  Mempercepat


NSAID dan kortikosteroid. penyembuhan.

g. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh (kehamilan),


perunahan persepsi diri.
Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Setelah diberikan asuhan  Monitor frekuensi kalimat  Untuk mengetahui


keperawatan selama ….. yang mengkritik diri sendiri seberapa besar klien
diharapkan gangguan mampu menerima
citra tubuh klien teratasi keadaan dirinya.
dengan Kriteria Hasil :
o Citra tubuh positif  Bantu klien untuk  Untuk meningkatkan
o Mendeskripisikan mengenali tindakan yang percaya diri klien.
secara faktual akan meningkatkan
perubahan fungsi penampilannya.
tubuh
o Mempertahankan  Anjurkan kontak mata  Agar klien lebih peraya
interaksi sosial dalam berkomunikasi diri.
dengan orang lain

 Gunakan gambaran  Mekanisme evaluasi dari


mengenai gambaran diri. persepsi citra diri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang
menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa
akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya
sendiri.
Ada tiga jenis type lupus :
1. Cutaneous Lupus, Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe
lupus ini hanya terbatas pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam
yang muncul pada muka, leher, atau kulit kepala.
2. Discoid Lupus, Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada
beberapa macam organ.
3. Drug-induced lupus, Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau
sistem syaraf.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan tetanus
antara lain:
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan otot pernapasan
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d gangguan aliran arteri
atau vena
c. Penurunan curah jantung b.d kontraktilitas jantung
d. Nyeri akut b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
e. Resiko infeksi b.d gangguan integritas kulit
f. Kerusakkan integritas kulit b.d imunodefisiensi
g. Gangguan citra tubuh b.d penyakit

B. Saran

Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan


mengenai konsep teori dan konsep asuhan keperawatan pasien lupus bagi
para pembaca dan untuk menunjang makalah ini agar lebih baik lagi
diharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

20
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta:


EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Johnson, Marion, dkk. 2000. IOWA Intervention Project Nursing


Outcomes Classifcation (NOC), Second edition. USA : Mosby.

Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit
dan Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Wilkinson, Judith M. dkk. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis


NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC, Edisi Sembilan.
Jakarta:EGC.

21

Anda mungkin juga menyukai