Anda di halaman 1dari 4

 Saintifkasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan

kesehatan.
 Surat Bukti Registrasi Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya
disebut SBR- TPKA adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan
pekerjaan tenaga pengobatan komplementer-alternatif.
 Surat Tugas Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut ST-
TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki
Surat Izin Praktik/Surat Izin Kerja untuk pelaksanaan praktik pengobatan
komplementeralternatif.
 Surat Izin Kerja Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut
SIK-TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga pengobatan
komplementer-alternatif dalam rangka pelaksanaan praktik pengobatan komplementer-
alternatif.
 BAB II TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2 Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah:
a. Memberikan landasan ilmiah (evidence based ) penggunaan jamu secara empiris
melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
b. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya
sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui
penggunaan jamu.
c. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu.
d. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara
ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam
fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 3 (1) Ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif,
promotif, rehabilitatif dan paliatif. (2) Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif
hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis pasien sebagai komplementeralternatif
setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup.
 Definisi clinical trials ?
Pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologik,
tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan
penyakit atau pengobatan gejala penyakit
 Tujuan clinical trials ?
o Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam
pencegahan atau pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
o Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggungjawabkan keamanan dan
manfaatnya.
 Tahap-tahap clinical trials ?
Tahap-tahap uji klinik
Sebelum suatu obat dapat digunakan secara luas perlu dilakukan pengujian melalui
berbagai tahap. Tahap-tahap uji klinik yg hrs dilalui oleh setiap obat :
1. Uji klinik fase I:
Diujikan pada manusia (sukarelawan sehat),baik untuk melihat efek farmakologik
maupun efek samping. Tujuan uji klinik pada fase ini adalah:
a. Melihat adanya efek samping dan toleransi subjek thd obat yang diujikan,
b.Menilai hubungan dosis dan efek obat,
c.Melihat sifat kinetik obat yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi.
2. Uji klinik fase II:
 Bertujuan untuk melihat kemungkinan efek terapetik dari obat yang diujikan.
 Pada tahap ini uji klinik dilakukan secara terbuka tanpa kontrol (uncontrolled
trial). Mengingat subjek yang digunakan terbatas, hasil dan kesimpulan yang
diperoleh belum dapat digunakan sebagai bukti adanya kemanfaatan klinik obat.
3. Uji klinik fase III:
 Dalam tahap ini obat diuji atas dasar prinsip-prinsip metodologi ilmiah yang
ketat.
 Mengingat hasil yang diperoleh dari uji klinik fase III ini harus memberi
kesimpulan definitif mengenai ada/tidaknya kemanfaatan klinik obat,
makadiperlukan metode pembandingan ya ng terkontrol (controlled clinical
trial). Di sini obat yang diuji dibandingkan dengan obat standard yang sudah
terbukti kemanfaatannya (kontrol positif) dan/atau plasebo (kontrol negatif).
4. Uji klinik fase IV (post marketing surveillance).
 Uji tahap ini dilakukan beberapa saat setelah obat dipasarkan/digunakan secara
luas di masyarakat.
Uji ini bertujuan untuk mendeteksi adanya efek samping yang jarang dan serius
(rare and serious adverse effects) pada populasi, serta efek samping lain yang
tidak terdeteksi pada uji klinik fase I, II dan III.
Uji klinis
 Fase 1: Sehat, Konfirmasi temuan pada uji praklinis, Kinetik, Dinamik dan efek
farmakoterapi, ESO dan tolerabilitas
 Fase 2: Pasien, Studi pendahuluan pada pasien, Uji manfaat pada pasien terbatas
Kinetik, Penentuan dosis, Lingkup terapi, ESO dan tolerabilitas
 Fase 3: Pasien, Bukti manfaat & Keamanan, Bukti manfaat Keamanan, Dosis regimen
 Fase 4: Populasi pasien, Penggunaan luas pada populasi pasien, ESO yang jarang

 Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Pasal 6 Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin atau sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 7 (1) Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk saintifikasi jamu
dapat diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swasta.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan.
b. Klinik Jamu.
c. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).
d. Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional
Masyarakat (LKTM).
e. Rumah Sakit yang ditetapkan.
(3) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan ditetapkan sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan
berdasarkan Peraturan Menteri ini dan mengikuti ketentuan persyaratan Klinik Jamu Tipe
A.
(4) Klinik jamu dapat merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun
praktik berkelompok dokter atau dokter gigi.
(5) Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi jamu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, c, d, dan e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku dengan tipe klinik ditetapkan sesuai pemenuhan persyaratan.

Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus dibuktikan khasiat
dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji klinik
berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind
controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik
pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut
telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional
seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi.
Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan
informed-consent sebelum penelitian dilakukan, dan diberi ethical clearance.
Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek
yang terulangkan (reproducible)

Menurut Deklarasi Helsinki uji klinik terdiri dari 4 fase.

1. Fase I  calon uji pada sukarelawan sehat untuk mendapatkan hasil yang sama
dengan hewan percobaan. Biasanya dilakukan terhadap 50-150 sukarelawan yang
sehat
2. Fase II  calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efi kasi pada penyakit yang
diobati. Dilakukan terhadap 100-200 pasien.
Fase II awal : dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa
pembanding. Jumlah pasien 100-200; dilakukan uji toksisitas kronik, uji sediaan
bahan obat
Fase II akhir :dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding.
3. Fase III  efikasi dan keamanan obat baru dibandingkan obat pembanding efeknya
pada kelompok besar yang sakit. Pasien yang dilibatkan biasanya 50-5000 orang.
Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat, mirip obat yang sudah ada dan
menunjukkan keamanan bagi si pemakai, maka obat baru diizinkan untuk diproduksi
oleh industri sebagai legal drug. Obat dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang
dapat diresepkan oleh dokter.

4. Fase IV  setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pascapemasaran yang


diamati pada pasien dalam berbagai kondisi, usia, dan ras. Studi ini dilakukan pada
jangka waktu lama untuk melihat terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam
menggunakan obat. Setelah hasil studi fase ini dievaluasi, masih memungkinkan obat
ditarik dari perdagangan jika membahayakan.
Sebagai contoh cerivastatin, suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak
ginjal. Talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat
menyebabkan kecacatan janin. Sedangkan troglitazon suatu obat antidiabetes di
Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.

Anda mungkin juga menyukai