Disusun Oleh
Jurusan Akuntansi
Kendari
2019
Pemberlakuan Pajak penjualan di Indonesia dimulai Tanggal 1 Oktober 1951
berdasarkan Undang-Undang Darurat Tahun 1951 No. 19 Lembaran Negara No. 94 Tahun
1951, yang kemudian disahka menjadi Undang-Undang No. 35 Taun 1951. Bahkan sebelum
ada Pajak Penjualan Tahun 1951 telah ada Pungutan Pajak atas penyerahan barang yang
dikenal dengan Pajak Peredaran atas dasar Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1950 yang
ditetapka Tanggal 13 Februari 1950 malah pemberlakuannya ditangguhkan sampai Januari
1951. Apabila dibandingkan dengan jenis pajak lainnya tentu saja Pajak Penjualan ini paling
muda pemberlakuannya di Indonesia.
Dengan memperhatikan sejarah perkembangannya, pada era Orde baru yaitu pada
Tahun 1983 telah dilakukan pembaruan yang dikenal dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan berlaku efektif Tanggal 1 April 1985,
selanjutnya perkembangan ekonomi dan krisis ekonomi di Era Reformasi yang lebih
mengedepankan unsur keadilan serta mendorong investasi di Indonesia, menuntut juga
adanya perubahan dalam Undang-Undang Perpajakan.
Pada Tahun 2009 pemerintah juga telah melakuka perubahan Undang-Undang untuk
kesekian kalinya. Perubahan dimaksudkan menyangkut pula Undang-Undang PPN dan
PPnBM yang berlku efektif Tanggal 1 April 2010. Perubahan atau diistilahka pembaruan.
Perundang-undangan atau aturan pelaksanaannya pasti berkaitan dengan informasi akuntansi.
OBJEK PAJAK
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
- Barang yang berwujud diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
- Barang yang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak
berwujud
- Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Paeban
- Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Barang Kena Pajak (PKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang
dikenakan pajak berdasrkan Undang-Undang PPN dan PPnBM. Dari uraian tersebut bahwa
Barang Kena Pajak dipersyratkan:
1. Barabg berwujud atau barang tidak berwujud (Merek Dagang, Hak Cipta, Hak paten, dan
lain-lain);
2. Dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan NIlai.
Dengan demikian batasan Barang Kena Pajak tidak dikaitkan dengan proses
pengolahan (fabrikasi). Oleh karena itu, pengertian menghasilkan tidak berkaitan dengan
penentuan barang terutang PPN atau tidak, tetapi mempunyai hubungan dengan subjek pajak.
Dalam pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertembahan Nilai yang memberikan peluang
pengaturan tentang jenis-jenis barang yag tidak dikenakan PPN adalah sebagai berikut:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumber
jenisnya seperti minyak mentah (crude oil), gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih
timah, dan bijih emas.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti
beras dan gabah, jagung, sagukedelai, garam, baik yang beryodium maupun yang tidak
beryodium
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya,. Tidak dikenakannya ini untuk menghindarkan pajak berganda karena telah
ditetapkan sebagai objek pajak daerah.
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atas
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permiintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan PPnBM.
1. Batasan tersebut di atas mengandung makna bahwa semua jenis jasa dapat dikenakan
pajak, kecuali ditetapkan sebaliknya, pasal 4A ayat (3) Undang-Undang PPN dan
PPnBM telah menetapkan jenis jasa yang tidak dikenai PPN yaitu jasa tertentu dalam
kelompok jasa berikut:
2. Jasa Pelayanan Kesehatan Medik
3. Jasa Pelayanan Sosial
4. Jasa Pengiriman Surat dengan Perangko
5. Jasa Keuangan
6. Jasa Asuransi
7. Jasa Keagamaan
8. Jasa Pendidikan
9. Jasa Kesenian dan Hiburan
10. Jasa Penyiaran yang Tidak Bersifat Iklan
11. Jasa Angkutan Umum di Darat dan di Air serta Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri
yang Menjadi Bagian yang Tidak Terpisahkan dari Jasa Angkutan Udara Luar Negeri
12. Jasa Tenaga Kerja
13. Jasa Perhotelan
14. Jasa yang DIsediakan Pemerintah Dalam Rangka Menjalankan Pemerintahan Secara
Umum
15. Jasa Penyediaan Tempat Parkir
16. Jasa Telepon Umum Dengan Menggunakan Uang Logam
17. Jasa Pengiriman Uang dengan Wesel Pos
18. Jasa Boga atau Katering
Tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah sebagai
berikut:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum dagang
2. Penyerahan Barang Kena Pajak Untuk Jaminan Utang Piutang
3. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang, dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut
melakukan pemusatan tempat pajak terutang.
4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka Penggabungan ,peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
5. Barang Kena Pajak berupa asset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersedia pada saat pembubaran perusahaan dan yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimkasud Pasal 9 ayat
(8) huruf b dan huruf c.
Pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pembelian JKP,
termasuk JKP yang digunakan untuk kepentingan sendiri atau Jasa Kena Pajak yang
diberikan secara Cuma-Cuma oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pemakaian JKP untuk kepentingan ssendiri atau pemberian JKP secara Cuma-Cuma
termasuk dalam pengertian penyerahan JKP, dengan pertimbangan untuk mempertahankan
adanya perlakuan yang sama sebagaimana halnya pada pemakaian Barang Kena Pajak untuk
kepentingan sendiri atau penyerahan barang secara Cuma-Cuma oleh Pengusaha Kena Pajak .
Berikut ini akan diuraikan beberapa aturan atas PPN Jasa.
a) Jasa Kustodian
Jasa custodian merupakan jassa yang dilakukan oleh bank yang dapat berupa jasa
penitipan, jasa settlement, jasa aksi korporasi (corporate actions), dan jassa registrasi.
b) Jasa Consumer Credit, Credit Card, dan Debit Card
Berdasarkan Surat Edaran No. 34/PJ.53/1995 Tanggal 1 Agustus 1995, jasa consumer
credit, credit card, dan debit card \merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN,
sehingga atas penyerahannya tidak terutang PPN.
c) Jasa Penagihan Listrik dan Telepon oleh Bank
Berdasarkan Surat Edaran No. SE. 63/PJ.53/1995 Tanggal 29 Desember 1995, jasa
penagihan rekening listrik dan telepon yang dilakukan oleh bank merupakan jasa yang
tidak dikenakan PPN. Dengan demikian atas penyerahan jasa penagihan listrik dan
telepon tersebut tidak terutang PPN.
d) Jasa Angkutan dan Jasa Ekspedisi Muatan
Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-426/PJ.53/1996 Tanggal 13 Februari 1996
menyatakan bahwa jasa angkutan umum di darat, laut, udara, maupun sungai yang
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta \, dan jasa angkutan udara luar negeri,
terrnasuk di dalamnya jasa angkutan dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri tersebut, merupakan salah ssatu
kelompok jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.
1. Pengenaan terhadap PPnBM ini hanya satu kali yaitu pada waktu penyerahan BKP
yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
2. PPnBM tidak dapat dilakukan pengkreditan dengan PPN. Namun demikian, apabila
eksportir mengekspor BKP yang tergolong mewah, maka PPnBM yang Telah dibayar
pada saat perolehan dapat direstitusi.
Sebagai Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Sebaagai Berikut:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan pengusaha yang
menghasilkan Barang tersebut dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya, dan
2. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah
TARIF PAJAK
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual atau penggantian atau Nilai Impor
atau Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Selanjutnya yang dimaksud
dengan Harga Jual, Penggantian, Nilai Ekspor, dan Nilai Impor yaitu sebagai berikut:
1) Harga Jual
Adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atas seharusnya diminta
oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPn yag dipungut
menurut Undang-Undang PPn dan PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
2) Penggantian
Adalah nilai berupa uang, termassuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No.42 Tahun
2009, dan potonga harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima Jasa karen Pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak.
a) Nilai Ekspor
Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yag seharusnya
diminta oleh eksportir. Nilai ekspor dapat diketahui dari dokumen ekspor, misalnya
harga yag tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
b) Nilai Impor
Adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yag dikarenakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Perundang-
Undangan Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yag dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM.
Nilai lain yaitu nilai berupa uang yang ditetapkan dan digunakan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak sesuai sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010
tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang diberlakukan mulai Tanggal 1 April
2010
Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bagi PKP Pedagang Eceran
Nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi PKP Pedagang Eceran dihitung dengan
cara sebagai berikut:
a) Pajak Pertambahan Nilai yang terutag oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran
adalah sebesar 10% x Harga Jual Barang Kena Pajak
b) Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
Pedagang Eceran adalah sebesar 10% x 20% x Jumlah seluruh penyerahan barang
dagangan.
Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang dalam suatu tahun buku tidak memilih
menggunakan Dasar Pengenaan Pajak dengan nilai lain wajib memberitahukan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Apabila terjadi penyerahan BKP dan/atau JKP yang pembayarannya ternyata dilakukan
dengan menggunakan valuta asing, maka sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun
1994 diatur:
1) Pajak yag terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan
menggunakan kurs yang berlaku sesuai Keputusan Menteri Keuangan pada saat
Faktur Pajak dibuat;
2) Terhadapa penyerahan BKP dan/atau JKP dilakukan kepada pemungut PPn,
besarnya pajak terutang harus dikonversi ke mata uang rupiah dengan kurs yag
berlaku sesuai Keputuan Menteri Keuangan pada saat pemungut PPN melakukan
pembayaran.
Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah dengan mengalikan
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (10% atau 0% untuk ekspor Barang Kena Pajak) dengan Dasar
Pengenaan pajak.
Dasar pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian , nilai impor, nilai
ekspor atau nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar
untuk menghitung pajak yang terutang.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang ini merupakan Pajak keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli merupakan Pajak Masukan.
Sebagai contoh Pengusaha Kena Pajak yang sudah menjual barang kena pajak secara tunai
seharga Rp 10.000.000
Dalam hal PN atau PPnBM telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan
Barang Kena Pajak ata penyerahan Jasa Kena Pajak, maka PPn dan PPnBM yang terutang
dihitung 1/10 atau 1/30 (tergantung tarif PPnBM) dikalikan Dasar Pengenaan Pajaka atau
diartikan dengan dikalikan harga atau pembayaran atau penyerahan Barang Kena Pjak atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak.
Dalam suatu transaksi dapat terjadi bahwa transaksi tersebut menjadi objek PPN dan objek
PPnBM karena BKP yang dijual tergolong mewah. Contoh
Sesuai ketentuan Pajak Pasal 1 angka 27 Undang-Undang PPN tahun 2009 bahwa
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan pemerintah atau pejabat yang
melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Kewajiban yang melekat pada Wajib Pajak untuk melaporkan usaha dan kewajiban
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam Undang-Undang PPN
sebagai berikut :
FAKTUR PAJAK
Faktur pajak adalah bukti pengutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak karena
penyerahan Barang Kena Pajak tas penyerahan jasa kena pajak atau bukti pungutan pajak
karena impor barang kena pajak digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ketentuan Pasal 13 UU PPN dan PPnBM mewajibkan pengusaha kena pajak membuat faktu
ajak pada setiap :
1. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
2. Ekspor Brang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
3. Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak
4. Penyerahan brang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
atau ekspor barang kena pajak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak atau Penyerahan
Barang Kena Pajak berupa aset yang menurut tujuan semua tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak kecuali ata penyerahan aset pajak
masukannya tidak dapat dikreditkan .
Pengusaha kena pajak wajib membuat Faktur kena pajak untuk setiap barang kena pajak yang
dilakukan didalam daerah pabean atau ekspor barang kena pajak dan untuk setiap penyerahan
jasa kena pajak yang dilakukan di daerah pabean tersebut.
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan barang kena pajak atau sebelum
penyerahan jasa kena pajak, faktur pajak dibuat pada saat pembayaran, apabila pembayarn
telah diterima sebelum penyeraha Barang Kena Pajak atau penyerahan jasa kena pajak. Maka
terutang pajak terjadi pada saat penerimaan pembayaraan.
Kelompok Faktur Pajak
Terdapat kelompok fakutr pajak yaitu faktur pajak, faktur pajak gabungan, dan faktur pajak
khusus yang pada prinsipnya dikenal sebagai faktur pajak
Faktur Pajak
faktur yang dapat digunakan sebagai bukti pungutan pajak sebagai sarana untuk
mengkreditkan pajak masukan. Faktur pajak ini dahulu dikenal dengan faktur pajak standar
sesuai Undang-Undang PPN dan PPnBM lama sebelum perubahan. Untuk setiap penyerahan
Barang Kena Pajak ata penyerahan jasa Kena Pajak Olh pengusah kena pajak harus dbuat
satu faktur pajak.
Faktur pajak yang meliputi seluruh Barang Kena Pajak atas Penyerahan Jasa Kena Pajak
yang terjadi selama satu bulan kalender kepada pembeli yang ssama atau penerimaan Jasa
Kena Pajak yang sama. Faktur pajak ini harus dibuat paling lama pada akhir bulan
penyerahan setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Faktur pajak berfungsi sebagai bukti pemungutan pajak yang dibuat pengusaha kena pajak
yang melakukan penyerahan barang kena pajak atas penyerahan jasa kena pajak. Hal-hal
yang perlu diperhatiakn antara lain :
Kesalahan dalam pengisian kode dan nomor seri faktur pajak, maka faktur pajak sebagai
faktur pajak yng tidak dapat dikreditkan.
Pada dasarnya faktur pajak harus dibuat saat penyerahan atau saat penerimaan pembayaran
dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dapat terjadi dalam hal tertentu
dimungkinkan saat pembuatan faktur pajak tidak sama dengan saat tersebut sebagai contoh
dalam hal terjadi penyerahan jasa kena pajak kepada bendaharawan pemerintah, sehingga
diperlukan pengaturan oleh menteri keuangan untuk menetapkan saat lain sebagi saat
pembuatan faktur pajak. Mengacu pada pasal 13 ayat (1a).
PENGEMBALIAN BARANG KENA PAJAK (RETUR)
Pasal 5A Undang-Undang PPN dan PPnBM mengatur bahwa terhadap PPN atau PPnBM atas
penyerahan BKP yang dikembalikan dapat dikurangkan dari PPN atau PPnBM terutang
dalam masa pajak terjadinya pengembalian BKP dengan dibuatnya nota retur. Hal ini dapat
terjadi dalam hal barang kena pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan retur oleh
pembeli, maka PPN atau PPnBM dari BKP dikembalikan tersebut mengurangi pajak keluaran
dan PPnBM yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual.
PPN atas penyeraha Jasa Kena Pajak yang dibatlkan baik seluruhnya maupun sebagian, dapat
dikurangkan dari PPN yang terutang dalam measa pajak terjadinya pembatalan tersebut.
Dengan demikian dalam hal terjadi pembatalan penyerahan jasa kena pajak oleh penerima
kena pajak, maka PPN dari jasa kena pajak yang dibatlakn mengurangi Pajak Kekuaran yang
terutang oleh pengusaha kena pajak pemberi jasa kena pajak
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomoe 13/PJ/2010 menegaskan bahwa Pengusaha Kena
pajak dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat 4 Undang-Undang KUP Tahun
1983 sebagaima telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tdalam
hal :
1. Menerbitkan faktur pajak yang tidak memuat ketrang/tidak mengisi secara lengkap,
jelas, benar atau tidak ditandatangani oleh pejabat atau kuasa yang ditunjuk oleh
Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak
2. Menerbitkan faktur pajak tidak sesuasi dengn batas waktu yang ditetapkan yatu tiga
bulan sejak faktur pajak seharusnya dibuat.
Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayarkan oleh
pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak atau perolehan jasa kena pajak
atau pemnafaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean atau pemnfaatan
jasa kena pajak dari luar daerah pabean atau impor baran/jasa
Pajak masukan yang telah dibayar oleh pengusaha kena pajak pada waktu perolehan atau
impor barang kena pajak atas penerimaan jasa kena pajak dapat dikreditkan denga pajak
keluaran yang dipungut pengusaha kena pajak pada waktu menyerahkan Barang kena pajak
atas barang jasa kena pajak . pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran tersebut
harus dilakukan dalam masa pajak yang sama.
Tempat Pengkreditan Pajak Masukan
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku
antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan
Pengukuhan.
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain, selain tempat Pengusaha Kena
Pajak dikukuhkan, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak
maupun secara jabatan.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat
dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
(perhatikan pasal 4A) dan yang dibebankan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai kegiatan
di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean dan lain sebagainya.
Apabila Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan
yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengreditkan
Pajak Masukan yang berkenaan 2 (dua) macam penyerahan yaitu:
Sesuai pedoman yang bersumber dari undang-undang PPh bahwa Wajib Pajak yang
tidak menyeleggarakan pembukuan tetapi diizinkan menyelenggarakan pencatatan, maka
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti karena pengusaha
tidak membuat pencatatan atas pembelian (pengusaha hanya mencatat peredaran bruto dan
penerimaan bruto).
Dapat pula terjadi Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang sepanjang tidak
dapat diketahui dengan pasti, maka cara perhitungan Pajak Masukan dihitung berdasarkan
pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pengusaha Kena Pajak yang
diperbolehkan menggunakan pedoman perhitungan pengkreditan Pajak Masukan adalah
pengusaha orang pribadi yang memilih dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Neto berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000 diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dan tahun pajak yang
bersangkutan. Wajib Pajak tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan secara teratur
tentang peredaran brutonya. Pencatatan dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan neto.
2. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan dan/atau wajib
menyelenggarakan pencatatan dan/atau dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan, tetapi:
a. Tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau
pembukuan
b. Tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Dengan ketentuan di atas, maka perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap Wajib
Pajak yang Penghasilan netonya dihitung berdasarkan norma penghasilan neto sebagai
berikut:
1. Untuk Wajib Pajak tersebut pada butir 1 dan butir 2, apabila berdasarkan suatu
pemeriksaan ternyata peredaran bruto menurut hasil pemeriksaan lebih besar daripada
peredaran bruto yang dilaporkan Pengusaha Kena Pajak dalam ketentuan Pasal 9 ayat
(8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan yang tidak
dilakukan pemeriksaan tidak dapat dikreditkan. Yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah peredaran bruto yang
dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan PPN.
2. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
tidak dikenakan PPN Rp300.000.
3. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
dibebankan dari pengenaan PPN Rp.500.000.
PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi,
untuk pengeluaran-pengeluaran di bawah ini, pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.
1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha.
Pengertian pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah
pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor jenis sedan, station wagon, kecuali
apabila Barang Kena Pajak tersebut merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau bermanfaat Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagai Faktur Pajak atau tidak terpenuhi persyaratan formal dan
materiil.
Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana
untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang PPN.
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan Ketetapan Pajak.
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusahan Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2a)
Undang-Undang PPN dan PPnBM.
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN PADA MASA PAJAK BERIKUTNYA
Pengkreditan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam suatu masa pajak dapat
dilakukan terhadap Pajak Keluaran untuk masa pajak yang sama, namun terhadap Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada masa
pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan
sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Apabila pada saat pemeriksaan, diketahui adanya perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang telah dibukukan atau dicatat dalam pembukuan Pengusaha
Kena Pajak, tetapi Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan yang
Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada masa pajak
diterimanya Faktur Pajak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kelebihan Pajak Masukan dalam satu Masa Pajak, dikompensasikan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak berikutnya. Namun demikian, apabila kelebihan Pajak Masukan
terjadi dalam Masa Pajak pada akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat
diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
AKUNTANSI PAJAK
Dalam akuntansi komersial tidak mengatur tersendiri perilaku akuntansi khusus untuk
PPN maupun PPnBM, PSAK hanya mengatur Akuntansi Pajak Penghasilan.
Namun demikian baik dalam akuntansi komersial maupun dalam akuntansi pajak
terdapat persamaan dalam melakukan pencatatan yang harus dipersiapkan antara lain sebagai
berikut: