Anda di halaman 1dari 19

Akuntansi Pajak

“Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang


Mewah”

Disusun Oleh

Nama : REGINA CAHYANI

Stambuk : B1C1 16 200

Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis

Universitas Halu Oleo

Kendari

2019
Pemberlakuan Pajak penjualan di Indonesia dimulai Tanggal 1 Oktober 1951
berdasarkan Undang-Undang Darurat Tahun 1951 No. 19 Lembaran Negara No. 94 Tahun
1951, yang kemudian disahka menjadi Undang-Undang No. 35 Taun 1951. Bahkan sebelum
ada Pajak Penjualan Tahun 1951 telah ada Pungutan Pajak atas penyerahan barang yang
dikenal dengan Pajak Peredaran atas dasar Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1950 yang
ditetapka Tanggal 13 Februari 1950 malah pemberlakuannya ditangguhkan sampai Januari
1951. Apabila dibandingkan dengan jenis pajak lainnya tentu saja Pajak Penjualan ini paling
muda pemberlakuannya di Indonesia.

Dengan memperhatikan sejarah perkembangannya, pada era Orde baru yaitu pada
Tahun 1983 telah dilakukan pembaruan yang dikenal dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan berlaku efektif Tanggal 1 April 1985,
selanjutnya perkembangan ekonomi dan krisis ekonomi di Era Reformasi yang lebih
mengedepankan unsur keadilan serta mendorong investasi di Indonesia, menuntut juga
adanya perubahan dalam Undang-Undang Perpajakan.

Pada Tahun 2009 pemerintah juga telah melakuka perubahan Undang-Undang untuk
kesekian kalinya. Perubahan dimaksudkan menyangkut pula Undang-Undang PPN dan
PPnBM yang berlku efektif Tanggal 1 April 2010. Perubahan atau diistilahka pembaruan.
Perundang-undangan atau aturan pelaksanaannya pasti berkaitan dengan informasi akuntansi.

OBJEK PAJAK

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertembahan Nilai dikenakan atas :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
- Barang yang berwujud diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
- Barang yang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak
berwujud
- Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Paeban
- Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2. Impor Barang Kena Pajak;


Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak, pemungutan dilakukan
melalui Direktorat Jenderal Pajak Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan Barang
Kena Pajak. Pada Butur I di atas siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke
dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan
usaha atau pekerjaannya atau tidak tetap dikenai pajak.
3. Penyeraha Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh pengusaha;
Penyerahan Jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak
b) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
c) Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan pengusaha yang
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang
seharusnya dikukuhka sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean; Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama
dengan impor Barang Kena Pajak, maka atas Barang Kena Pajak tidak berwujud yang
berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah
Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
Terhadap jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siappun
di dalam Daerah Pabean dikenai PPN.
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
Berbeda bila dibandingkan dengan pengusaha yang melakukan kegiatan seperti pada
angka 1 dan/atau angka 3, terhadap pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Barang Kena Pajak
(perhatikan Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang PPN dan PPnBM).
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
Seperti pada kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, terhadap pengusaha yang
melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang PPN
dan PPnBM). Termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak Tidak Berwujud antara
lain:

a) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian


atau karya ilmiah, peten, desain, atau model, rencana, formula atau proses
rahasia, merek dagang atau bentuk hak kekaayaan intelektual/industrial atau hak
serupa lainnya;
b) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah

Selengkapnya telah dimuat dalam penjelasan Pasal 4 Undag-undang PPN dan


PPnBM.
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam
Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan dan melakukan ekspor. Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar
pesanan atau permintaan dan atas petunjuk dari pemesanan di luar Daerah Pabean.
Batasan kegiatan dari jenis Jassa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai PPN diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Barang Kena Pajak

Barang Kena Pajak (PKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang
dikenakan pajak berdasrkan Undang-Undang PPN dan PPnBM. Dari uraian tersebut bahwa
Barang Kena Pajak dipersyratkan:
1. Barabg berwujud atau barang tidak berwujud (Merek Dagang, Hak Cipta, Hak paten, dan
lain-lain);
2. Dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan NIlai.
Dengan demikian batasan Barang Kena Pajak tidak dikaitkan dengan proses
pengolahan (fabrikasi). Oleh karena itu, pengertian menghasilkan tidak berkaitan dengan
penentuan barang terutang PPN atau tidak, tetapi mempunyai hubungan dengan subjek pajak.
Dalam pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertembahan Nilai yang memberikan peluang
pengaturan tentang jenis-jenis barang yag tidak dikenakan PPN adalah sebagai berikut:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumber
jenisnya seperti minyak mentah (crude oil), gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih
timah, dan bijih emas.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti
beras dan gabah, jagung, sagukedelai, garam, baik yang beryodium maupun yang tidak
beryodium
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya,. Tidak dikenakannya ini untuk menghindarkan pajak berganda karena telah
ditetapkan sebagai objek pajak daerah.
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Jasa Kena Pajak

Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atas
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permiintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan PPnBM.

1. Batasan tersebut di atas mengandung makna bahwa semua jenis jasa dapat dikenakan
pajak, kecuali ditetapkan sebaliknya, pasal 4A ayat (3) Undang-Undang PPN dan
PPnBM telah menetapkan jenis jasa yang tidak dikenai PPN yaitu jasa tertentu dalam
kelompok jasa berikut:
2. Jasa Pelayanan Kesehatan Medik
3. Jasa Pelayanan Sosial
4. Jasa Pengiriman Surat dengan Perangko
5. Jasa Keuangan
6. Jasa Asuransi
7. Jasa Keagamaan
8. Jasa Pendidikan
9. Jasa Kesenian dan Hiburan
10. Jasa Penyiaran yang Tidak Bersifat Iklan
11. Jasa Angkutan Umum di Darat dan di Air serta Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri
yang Menjadi Bagian yang Tidak Terpisahkan dari Jasa Angkutan Udara Luar Negeri
12. Jasa Tenaga Kerja
13. Jasa Perhotelan
14. Jasa yang DIsediakan Pemerintah Dalam Rangka Menjalankan Pemerintahan Secara
Umum
15. Jasa Penyediaan Tempat Parkir
16. Jasa Telepon Umum Dengan Menggunakan Uang Logam
17. Jasa Pengiriman Uang dengan Wesel Pos
18. Jasa Boga atau Katering

PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK

Pengertian penyerahan dimaksudkan sebgai penyerahan hak, pengalihan hak atas


barang, pemakaian sendiri dan penyerahan lainnya seperti penyerahan karena konsinyasi.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sesuai Undang-Undang PPN
adalah sebagai berikut:

1. Penyerahan hakatas Barang Kens Pajak karena suatu perjanjian.


2. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/ atau perjanjuan
sewa (leasing).
3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian Cuma-Cuma atas Barang Kena Pajak
5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau asset yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang
7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi
8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena
Pajak.
Tidak Termassuk Penyerahan Barang Kena Pajak

Tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah sebagai
berikut:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum dagang
2. Penyerahan Barang Kena Pajak Untuk Jaminan Utang Piutang
3. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang, dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut
melakukan pemusatan tempat pajak terutang.
4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka Penggabungan ,peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
5. Barang Kena Pajak berupa asset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersedia pada saat pembubaran perusahaan dan yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimkasud Pasal 9 ayat
(8) huruf b dan huruf c.

PENYERAHAN JASA KENA PAJAK

Pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pembelian JKP,
termasuk JKP yang digunakan untuk kepentingan sendiri atau Jasa Kena Pajak yang
diberikan secara Cuma-Cuma oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pemakaian JKP untuk kepentingan ssendiri atau pemberian JKP secara Cuma-Cuma
termasuk dalam pengertian penyerahan JKP, dengan pertimbangan untuk mempertahankan
adanya perlakuan yang sama sebagaimana halnya pada pemakaian Barang Kena Pajak untuk
kepentingan sendiri atau penyerahan barang secara Cuma-Cuma oleh Pengusaha Kena Pajak .
Berikut ini akan diuraikan beberapa aturan atas PPN Jasa.

a) Jasa Kustodian
Jasa custodian merupakan jassa yang dilakukan oleh bank yang dapat berupa jasa
penitipan, jasa settlement, jasa aksi korporasi (corporate actions), dan jassa registrasi.
b) Jasa Consumer Credit, Credit Card, dan Debit Card
Berdasarkan Surat Edaran No. 34/PJ.53/1995 Tanggal 1 Agustus 1995, jasa consumer
credit, credit card, dan debit card \merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN,
sehingga atas penyerahannya tidak terutang PPN.
c) Jasa Penagihan Listrik dan Telepon oleh Bank
Berdasarkan Surat Edaran No. SE. 63/PJ.53/1995 Tanggal 29 Desember 1995, jasa
penagihan rekening listrik dan telepon yang dilakukan oleh bank merupakan jasa yang
tidak dikenakan PPN. Dengan demikian atas penyerahan jasa penagihan listrik dan
telepon tersebut tidak terutang PPN.
d) Jasa Angkutan dan Jasa Ekspedisi Muatan
Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-426/PJ.53/1996 Tanggal 13 Februari 1996
menyatakan bahwa jasa angkutan umum di darat, laut, udara, maupun sungai yang
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta \, dan jasa angkutan udara luar negeri,
terrnasuk di dalamnya jasa angkutan dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri tersebut, merupakan salah ssatu
kelompok jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Terhadap penyerahan barang kena Pajak (BKP) disamping dikenakan Pajak


Pertembahan Nilai (PPN) sebagaimana telah disebut dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
PPN dan PPnBM dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Beberapa
karakteristik yang perlu dipahami dalam PPnBM adalah sebagai berikut:

1. Pengenaan terhadap PPnBM ini hanya satu kali yaitu pada waktu penyerahan BKP
yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
2. PPnBM tidak dapat dilakukan pengkreditan dengan PPN. Namun demikian, apabila
eksportir mengekspor BKP yang tergolong mewah, maka PPnBM yang Telah dibayar
pada saat perolehan dapat direstitusi.

OBJEK PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Sebagai Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Sebaagai Berikut:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan pengusaha yang
menghasilkan Barang tersebut dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya, dan
2. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah

TARIF PAJAK

Tarif Pajak Pertambahan Nilai

1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen)


Tarif Pertambahan Nilai memerlukan daftar penggolongan barang atau penggolongan
jasa dengan tarif yag berbeda sebagaimana berlaku pada Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atau Ekspor Barang Kena Pajak sebesar 0% (nol
persen).
Pajak pertambahan nilai adalah pajak pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Tarif Pajak atas Barang Mewah
1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah serendah-rendahnya 10% dan paling
tinggi 20%.
Tariff pajak penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa
pengelompokkan tariff, yaitu tariff terendah sebesar 10% dan paling tinggi yaitu 20%.
Perbedaaan tariff tersebut didasarka pada pengelompokkan Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah yang atas pengenaanya juga dikenakan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
2) Atas ekspor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah dikenai pajak denga tarif 0%
(nol persen).
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang diekspor atau dikonsumsi diluar
daerah pabean, dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diekspor atau
dikonsumsi di luar daerah Pabean, dikenakan Pajak atas Barang Mewah dengan tariff
0% (nol persen).

DASAR PENGENAAN PAJAK

Untuk menghitung beesarnya pajak yang terutang, diperlukan adanya Dasar


Pengenaan Pajak (DPP). Pajak yag terutang dihitung dengan cara mengalihkan Tarif Pajak
dengan Dasar Pengenaan Pajak.

Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual atau penggantian atau Nilai Impor
atau Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Selanjutnya yang dimaksud
dengan Harga Jual, Penggantian, Nilai Ekspor, dan Nilai Impor yaitu sebagai berikut:
1) Harga Jual
Adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atas seharusnya diminta
oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPn yag dipungut
menurut Undang-Undang PPn dan PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
2) Penggantian
Adalah nilai berupa uang, termassuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No.42 Tahun
2009, dan potonga harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima Jasa karen Pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak.
a) Nilai Ekspor
Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yag seharusnya
diminta oleh eksportir. Nilai ekspor dapat diketahui dari dokumen ekspor, misalnya
harga yag tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
b) Nilai Impor
Adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yag dikarenakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Perundang-
Undangan Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yag dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM.

Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak

Nilai lain yaitu nilai berupa uang yang ditetapkan dan digunakan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak sesuai sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010
tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang diberlakukan mulai Tanggal 1 April
2010

Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bagi PKP Pedagang Eceran

Nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi PKP Pedagang Eceran dihitung dengan
cara sebagai berikut:

a) Pajak Pertambahan Nilai yang terutag oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran
adalah sebesar 10% x Harga Jual Barang Kena Pajak
b) Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
Pedagang Eceran adalah sebesar 10% x 20% x Jumlah seluruh penyerahan barang
dagangan.

Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang dalam suatu tahun buku tidak memilih
menggunakan Dasar Pengenaan Pajak dengan nilai lain wajib memberitahukan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.

Nilai Penyerahan yang Menggunakan Valuta Asing

Apabila terjadi penyerahan BKP dan/atau JKP yang pembayarannya ternyata dilakukan
dengan menggunakan valuta asing, maka sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun
1994 diatur:

1) Pajak yag terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan
menggunakan kurs yang berlaku sesuai Keputusan Menteri Keuangan pada saat
Faktur Pajak dibuat;
2) Terhadapa penyerahan BKP dan/atau JKP dilakukan kepada pemungut PPn,
besarnya pajak terutang harus dikonversi ke mata uang rupiah dengan kurs yag
berlaku sesuai Keputuan Menteri Keuangan pada saat pemungut PPN melakukan
pembayaran.

CARA MENGHITUNG PAJAK

Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai

Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah dengan mengalikan
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (10% atau 0% untuk ekspor Barang Kena Pajak) dengan Dasar
Pengenaan pajak.

PPN yang Terutang = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak

Dasar pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian , nilai impor, nilai
ekspor atau nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar
untuk menghitung pajak yang terutang.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang ini merupakan Pajak keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli merupakan Pajak Masukan.
Sebagai contoh Pengusaha Kena Pajak yang sudah menjual barang kena pajak secara tunai
seharga Rp 10.000.000

Besarnya PPN terutang 10% x Rp 40.000.000 = Rp 4.000.000

PPN atau PPnBM menjadi Bagian dari Harga

Dalam hal PN atau PPnBM telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan
Barang Kena Pajak ata penyerahan Jasa Kena Pajak, maka PPn dan PPnBM yang terutang
dihitung 1/10 atau 1/30 (tergantung tarif PPnBM) dikalikan Dasar Pengenaan Pajaka atau
diartikan dengan dikalikan harga atau pembayaran atau penyerahan Barang Kena Pjak atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak.

Perhitungan PPN dan PPnBM dalam satu transaksi

Dalam suatu transaksi dapat terjadi bahwa transaksi tersebut menjadi objek PPN dan objek
PPnBM karena BKP yang dijual tergolong mewah. Contoh

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Sesuai ketentuan Pajak Pasal 1 angka 27 Undang-Undang PPN tahun 2009 bahwa
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan pemerintah atau pejabat yang
melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Kewajiban yang melekat pada Wajib Pajak untuk melaporkan usaha dan kewajiban
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam Undang-Undang PPN
sebagai berikut :

1. Terhadap pengusaha yang melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak atau


Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean atau melakukan ekspor Barang
Kena Pajak diwajibkan :
a. Melaporkan usahanya dilakukan sebagai Pengusaha Kena Pajak
b. Memungut Pajak Terutang
c. Menyetor Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak
keluaran lebih besar dari pajak masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan
pajak
d. Penjualan atas barang mewah terutang
2. Pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan menjadi PKP wajib melakukan ketentuan
butir diatas
3. Orang pribadi atau badan yang memnafaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar daerah pabean (Pasal 4 hruf d UU PPN) dan yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak
dari luar daerah pabean (Pasal 4 huruf e) wajib memungut, menyetor dan melaporkan
PPN yang terutang (diatur dikeputusan Menteri Keuangan)

FAKTUR PAJAK

Faktur pajak adalah bukti pengutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak karena
penyerahan Barang Kena Pajak tas penyerahan jasa kena pajak atau bukti pungutan pajak
karena impor barang kena pajak digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ketentuan Pasal 13 UU PPN dan PPnBM mewajibkan pengusaha kena pajak membuat faktu
ajak pada setiap :

1. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
2. Ekspor Brang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
3. Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak
4. Penyerahan brang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
atau ekspor barang kena pajak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak atau Penyerahan
Barang Kena Pajak berupa aset yang menurut tujuan semua tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak kecuali ata penyerahan aset pajak
masukannya tidak dapat dikreditkan .

Pengusaha kena pajak wajib membuat Faktur kena pajak untuk setiap barang kena pajak yang
dilakukan didalam daerah pabean atau ekspor barang kena pajak dan untuk setiap penyerahan
jasa kena pajak yang dilakukan di daerah pabean tersebut.

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan barang kena pajak atau sebelum
penyerahan jasa kena pajak, faktur pajak dibuat pada saat pembayaran, apabila pembayarn
telah diterima sebelum penyeraha Barang Kena Pajak atau penyerahan jasa kena pajak. Maka
terutang pajak terjadi pada saat penerimaan pembayaraan.
Kelompok Faktur Pajak

Terdapat kelompok fakutr pajak yaitu faktur pajak, faktur pajak gabungan, dan faktur pajak
khusus yang pada prinsipnya dikenal sebagai faktur pajak

Faktur Pajak

faktur yang dapat digunakan sebagai bukti pungutan pajak sebagai sarana untuk
mengkreditkan pajak masukan. Faktur pajak ini dahulu dikenal dengan faktur pajak standar
sesuai Undang-Undang PPN dan PPnBM lama sebelum perubahan. Untuk setiap penyerahan
Barang Kena Pajak ata penyerahan jasa Kena Pajak Olh pengusah kena pajak harus dbuat
satu faktur pajak.

Faktur Pajak Gabungan

Faktur pajak yang meliputi seluruh Barang Kena Pajak atas Penyerahan Jasa Kena Pajak
yang terjadi selama satu bulan kalender kepada pembeli yang ssama atau penerimaan Jasa
Kena Pajak yang sama. Faktur pajak ini harus dibuat paling lama pada akhir bulan
penyerahan setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak Khusus

Dalam rangka melaksaksanakan ketaatan perundang-undangan perpajakan terutama Undang-


undang PPN dan PPnBM tentang cara pengajuan atas penyelesaian Restitusi PPN atas Barang
Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri diperlukan aturan tata caranya.

TATA CARA PEMBUATAN FAKTUR PAJAK

Faktur pajak berfungsi sebagai bukti pemungutan pajak yang dibuat pengusaha kena pajak
yang melakukan penyerahan barang kena pajak atas penyerahan jasa kena pajak. Hal-hal
yang perlu diperhatiakn antara lain :

1. Faktur pajak harus diisi secara lengkap dan jelas


2. Pengusaha kena pajak harus menerbitkan faktur pajak dengan menggunakan kode dan
nomor seri faktur pajak
3. Nomor urut seri paa faktur pajak dan tanggal faktur pajak harus dibuat secara
berurutan, tanpa perlu dibedakan antara kode transaksi, kode status faktur pajak dan
mata uang yang digunakan
4. Pengusaha kena pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama
pejabat yang berhak menandatangani faktur pajak yang dsertai contoh tanda tangan
kepala KPP paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak blan pejabat mulai
melakukan penandatangan faktur
5. Bentuk dan ukuran formulir faktur pajak disesuaikan dengan kepentingan pengusaha
kena pajak
6. Pengadaan formulir faktur pajak dilakukan oleh pengusaha kena pajak
7. Faktur pajak paling sedikit dibuat dua rangkap.

PEMBUATAN FAKTUR PAJAK PENGGANTI, SALINAN ARSIP FAKTUR PAJAK,


DAN PEMBATALAN FAKTUR PAJAK
Faktur pajak pengganti dapat dibuat pada saat menerbitkan faktur pajak yang ternyata cacat,
rusak, salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan yang mengakibatkan faktur pajak
dimaksud tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar. Tata cara diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 15 PJ/20 Tanggal 24 Maret 2010.
Jika terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa
Kena Pajak yang Faktur Pajaknya telah diterbitkan. Pihak pengusaha kena pajak yang
menerbitkan faktur pajak harus melakukan pembatalan faktur pajak. Tata cara mengacu pada
Peraturan Direktor Jenderal Pajak.
PERSYARATAN FORMAL DOKUMEN TERTENTU
Dalam pembuatan dokumen bisnis yang selanjutnya disebut sebagai dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak harus memenuhi persyaratan formal yaitu
dokumen harus diisi secara lengkap, jelas dan benar sesuai dengan ketentuan Pasal 2
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 10/PJ/2010 tentang dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak.

KODE DAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK


Setiap faktur wajib pajak mencantumkan kode dan nomor seri Faktur Pajak sebagaimana
telah ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak 13/PJ/2010 tentang bentuk, ukuran,
prosedur pemberitahuan dalam rangka pembuatan, tata cara pengisian keterangan, dan tata
cara pembatalan faktur pajak, kode faktur pajak yang dimaksud meliputi :
1. Dua digit kode transaksi
2. Satu digit kode status
3. Tiga digit kode cabang

Sedangkan untuk nomor seri faktur pajak terdiri dari :

1. Dua digit tahun penerbitan


2. Delapan digit nomor urut.

Kesalahan dalam pengisian kode dan nomor seri faktur pajak, maka faktur pajak sebagai
faktur pajak yng tidak dapat dikreditkan.

SAAT PEMBUATAN FAKTUR

Pada dasarnya faktur pajak harus dibuat saat penyerahan atau saat penerimaan pembayaran
dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dapat terjadi dalam hal tertentu
dimungkinkan saat pembuatan faktur pajak tidak sama dengan saat tersebut sebagai contoh
dalam hal terjadi penyerahan jasa kena pajak kepada bendaharawan pemerintah, sehingga
diperlukan pengaturan oleh menteri keuangan untuk menetapkan saat lain sebagi saat
pembuatan faktur pajak. Mengacu pada pasal 13 ayat (1a).
PENGEMBALIAN BARANG KENA PAJAK (RETUR)

Pasal 5A Undang-Undang PPN dan PPnBM mengatur bahwa terhadap PPN atau PPnBM atas
penyerahan BKP yang dikembalikan dapat dikurangkan dari PPN atau PPnBM terutang
dalam masa pajak terjadinya pengembalian BKP dengan dibuatnya nota retur. Hal ini dapat
terjadi dalam hal barang kena pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan retur oleh
pembeli, maka PPN atau PPnBM dari BKP dikembalikan tersebut mengurangi pajak keluaran
dan PPnBM yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual.

PEMBATALAN JASA KENA PAJAK

PPN atas penyeraha Jasa Kena Pajak yang dibatlkan baik seluruhnya maupun sebagian, dapat
dikurangkan dari PPN yang terutang dalam measa pajak terjadinya pembatalan tersebut.
Dengan demikian dalam hal terjadi pembatalan penyerahan jasa kena pajak oleh penerima
kena pajak, maka PPN dari jasa kena pajak yang dibatlakn mengurangi Pajak Kekuaran yang
terutang oleh pengusaha kena pajak pemberi jasa kena pajak

LARANGAN DAN SANSKI DALAM PEMBUATAN FAKTUR PAJAK

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomoe 13/PJ/2010 menegaskan bahwa Pengusaha Kena
pajak dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat 4 Undang-Undang KUP Tahun
1983 sebagaima telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tdalam
hal :

1. Menerbitkan faktur pajak yang tidak memuat ketrang/tidak mengisi secara lengkap,
jelas, benar atau tidak ditandatangani oleh pejabat atau kuasa yang ditunjuk oleh
Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak
2. Menerbitkan faktur pajak tidak sesuasi dengn batas waktu yang ditetapkan yatu tiga
bulan sejak faktur pajak seharusnya dibuat.

PAJAK MASUKAN DAN PAJAK KELUARAN

Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayarkan oleh
pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak atau perolehan jasa kena pajak
atau pemnafaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean atau pemnfaatan
jasa kena pajak dari luar daerah pabean atau impor baran/jasa

Pengkreditan Pajak Masukan

Pajak masukan yang telah dibayar oleh pengusaha kena pajak pada waktu perolehan atau
impor barang kena pajak atas penerimaan jasa kena pajak dapat dikreditkan denga pajak
keluaran yang dipungut pengusaha kena pajak pada waktu menyerahkan Barang kena pajak
atas barang jasa kena pajak . pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran tersebut
harus dilakukan dalam masa pajak yang sama.
Tempat Pengkreditan Pajak Masukan

Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku
antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan
Pengukuhan.

Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain, selain tempat Pengusaha Kena
Pajak dikukuhkan, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak
maupun secara jabatan.

Kelebihan Pajak Masukan

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat
dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.

PAJAK MASUKAN DALAM HAL PKP MELAKUKAN PENYERAHAN YANG


TERUTANG PAJAK DAN TIDAK TERUTANG PAJAK

Penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
(perhatikan pasal 4A) dan yang dibebankan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai kegiatan
di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean dan lain sebagainya.

Apabila Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan
yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengreditkan
Pajak Masukan yang berkenaan 2 (dua) macam penyerahan yaitu:

1. Penyerahan terutang pajak sebesar Rp50.000.000; pajak keluarannya Rp5.000.000


2. Penyerahan tidak terutang pajak Rp20.000.000; pajak keluarannya menjadi nihil.
PENGUSAHA YANG MENGHITUNG PENGHASILAN NETO DENGAN NORMA
PERHITUNGAN

Sesuai pedoman yang bersumber dari undang-undang PPh bahwa Wajib Pajak yang
tidak menyeleggarakan pembukuan tetapi diizinkan menyelenggarakan pencatatan, maka
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti karena pengusaha
tidak membuat pencatatan atas pembelian (pengusaha hanya mencatat peredaran bruto dan
penerimaan bruto).

Penetapan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan ditetapkan dengan


Keputusan Menteri Keuangan. Pedoman perhitungan pengkreditan Pajak Masukan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan telah dikeluarka dengan penyerahan yang terutang pajak.
Bagi penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari
pembukuan Pengusaha Kena Pajak.

Dapat pula terjadi Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang sepanjang tidak
dapat diketahui dengan pasti, maka cara perhitungan Pajak Masukan dihitung berdasarkan
pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pengusaha Kena Pajak yang
diperbolehkan menggunakan pedoman perhitungan pengkreditan Pajak Masukan adalah
pengusaha orang pribadi yang memilih dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Neto berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Berdasarkan Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan telah mengatur


yaitu sebagai berikut:

1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000 diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dan tahun pajak yang
bersangkutan. Wajib Pajak tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan secara teratur
tentang peredaran brutonya. Pencatatan dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan neto.
2. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan dan/atau wajib
menyelenggarakan pencatatan dan/atau dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan, tetapi:
a. Tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau
pembukuan
b. Tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Dengan ketentuan di atas, maka perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap Wajib
Pajak yang Penghasilan netonya dihitung berdasarkan norma penghasilan neto sebagai
berikut:

1. Untuk Wajib Pajak tersebut pada butir 1 dan butir 2, apabila berdasarkan suatu
pemeriksaan ternyata peredaran bruto menurut hasil pemeriksaan lebih besar daripada
peredaran bruto yang dilaporkan Pengusaha Kena Pajak dalam ketentuan Pasal 9 ayat
(8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan yang tidak
dilakukan pemeriksaan tidak dapat dikreditkan. Yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah peredaran bruto yang
dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan PPN.
2. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
tidak dikenakan PPN Rp300.000.
3. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
dibebankan dari pengenaan PPN Rp.500.000.
PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN

Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi,
untuk pengeluaran-pengeluaran di bawah ini, pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.

1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha.
Pengertian pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah
pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor jenis sedan, station wagon, kecuali
apabila Barang Kena Pajak tersebut merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau bermanfaat Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagai Faktur Pajak atau tidak terpenuhi persyaratan formal dan
materiil.
Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana
untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang PPN.
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan Ketetapan Pajak.
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusahan Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2a)
Undang-Undang PPN dan PPnBM.
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN PADA MASA PAJAK BERIKUTNYA

Pengkreditan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam suatu masa pajak dapat
dilakukan terhadap Pajak Keluaran untuk masa pajak yang sama, namun terhadap Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada masa
pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan
sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk Mengkreditkan Pajak


Masukan dengan Pajak Keluaran dalam masa pajak yang tidak sama, yang disebabkan antara
lain karena Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam masa pajak
yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada masa pajak berikutnya
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan. Dalam
hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat
dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai yang
bersangkutan.

Apabila pada saat pemeriksaan, diketahui adanya perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang telah dibukukan atau dicatat dalam pembukuan Pengusaha
Kena Pajak, tetapi Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan yang
Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada masa pajak
diterimanya Faktur Pajak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK MASUKAN

Kelebihan Pajak Masukan dalam satu Masa Pajak, dikompensasikan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak berikutnya. Namun demikian, apabila kelebihan Pajak Masukan
terjadi dalam Masa Pajak pada akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat
diajukan permohonan pengembalian (restitusi).

AKUNTANSI PAJAK

Dalam akuntansi komersial tidak mengatur tersendiri perilaku akuntansi khusus untuk
PPN maupun PPnBM, PSAK hanya mengatur Akuntansi Pajak Penghasilan.

Namun demikian baik dalam akuntansi komersial maupun dalam akuntansi pajak
terdapat persamaan dalam melakukan pencatatan yang harus dipersiapkan antara lain sebagai
berikut:

1. Akun Pajak Masukan


Untuk mencatat besarnya Pajak Masukan yang dibayar atau dipungut atas terjadinya
transaksi pembelian.
2. Akun Pajak Keluaran
Pada akun ini untuk mencatat Pajak Keluaran yang dipungut atau disetorkan ke kas
negara atas transaksi.
Terjadinya transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Akun
biaya yang digunakan tetap sama dengan akun yang lazim digunakan dalam akuntansi
komersial.

Anda mungkin juga menyukai