Anda di halaman 1dari 3

STATUS KERJA DAN PEMBERIAN HAK BIDAN

SEBAGAI TENAGA KESEHATAN

Kinerja Pembangunan kesehatan, 80 % ditentukan oleh tenaga kesehatan (WHO).


Permasalahan tenaga kesehatan di Indonesia sangat komplek. Terutama terkait dengan
distribusi dan kualitas baik sisi kompetensi maupun komitmen penugasan di perdesaan. Yang
secara keseluruhan bermuara pada berkembangnya budaya “transaksional” dalam
pelayanan kesehatan serta kualitas yang rendah dan distribusi yang menumpuk di perkotaan.
Hal ini sebagai akibat tidak tersedianya sistem pendidikan, rekruitmen, kesejahteraan dan
karir bagi Tenaga kesehatan yang jelas, bijak dan terkendali secara “rigid” oleh
pemerintah. Untuk itu dibutuhkan kebijakan makro strategis proses tersebut Sehingga
mampu menghasilkan tenaga kesehatan yang memiliki jiwa sosial yang tinggi serta distribusi
yang sesuai dengan kebutuhan pemenuhan hak sehat seluruh warga NKRI. Hal ini salah satu
kebijakan makro strategis Revolusi Kesehatan. Sehingga dikemudian hari, selain sistem
kesehatan nasional yang kompitble dengan kebutuhan tantangan pembangunan kesehatan
yang berkelanjutan (Hasil Rekonstruksi Total Sistem Kesehatan Nasional, salah satu
kabijakan makro strategis Revolusi Kesehatan), tetapi juga pelaku pelayanan kesehatan saat
ini akan digantikan dengan tenaga kesehatan yang jauh lebih baik.

Praktik kebidanan musti memperhatikan aspek keselamatan dan kesejahteraaan ibu secara
menyeluruh. Praktik kebidanan harus pula memberikan pelayanan yang bertanggung jawab.
Seorang bidan musti memiliki kompetensi dalam menjalankan praktiknya. Kompetensi
seorang bidan meliputi pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimilikinya dalam
melaksanakan praktek kebidanan secara aman dan bertanggung jawab. Kompetensi tersebut
dikelompokkan dalam dua kategori yaitu kompetensi inti/dasar yakni kompetensi minimal
yang mutlak dimiliki oleh bidan, dan kompetensi tambahan/lanjutan yang merupakan
pengembangan dari pengetahuan dan keterampilan dasar untuk mendukung tugas bidan
dalam memenuhi tuntutan masyarakat yang dinamis sebagaimana perkembangan IPTEK.

Polemik terkait praktik kebidanan mencuat sejak terbitnya Permenkes No 7 tahun 2013
tentang pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak
Tetap. Adapun point-point yang krusial yakni :

Pembatasan masa bakti Bidan PTT yang berakhir Juli 2014. Setelah itu mereka bisa menjadi
Bidan PTT kembali dengan tidak ada penghitungan masa kerja. Masa kerja dihitung kembali
0 tahun. Padahal mayoritas Bidan PTT tersebut masa kerjanya sudah 9 tahun. Para Bidan
PTT menginginkan status kerja yang jelas, mengingat masa bakti yang sudah sekian lama,
pemerintah seharusnya memprioritas para Bidan PTT dalam rekruitmen PNS secara otomatis,
melalui jalur khusus dan tanpa pungutan biaya apapun.
Cuti melahirkan yang seharusnya pada aturan terkait selama tiga bulan, bagi Bidan PTT
hanya diberi cuti 40 hari kalender setelah melaksanakan tugas selama satu tahun berturut-
turut. Artinya, jika kurang dari masa kerja tersebut tidak mendapatkan cuti melahirkan.

Tindakan diskriminatif lain yang diterima Bidan PTT adalah terkait indikasi “pelarangan
Bidan PTT yang masih melaksanakan masa bakti melanjutkan pendidikan. Alasannya,
mereka tidak boleh meninggalkan tempat tugas. Di sisi lain syarat untuk mendapatkan ijin
praktek minimal harus berijasah D3, sementara masih banyak Bidan PTT berpendidikan D1.
Sehingga apabila status PTT dicabut, maka merekapun tidak bisa membuka praktek mandiri.

Permenkes 07 tahun 2013 dan induknya, yaitu Kepres No. 77 tahun 2000 musti dicabut dan
diganti dengan aturan baru yang lebih memberikan jaminan pada status kerja dan pemberian
hak-hak Bidan PTT sebagai Tenaga Kesehatan.

Meski bidan merupakan profesi yang tergolong tua namun hingga saat ini belum ada aturan
undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kebidanan. Karena itu payung hukum
yang dipakai bidan adalah Permenkes No. 1464 tahun 2010 tentang izin dan Registrasi
Penyelenggaraan Praktik Bidan. Upaya penguatan profesi bidan dalam mempersiapkan
generasi berkualitas, perlu didukung dengan aturan perundang-undangan yang jelas dan kuat.

Draft RUU Kebidanan telah dibahas bersama Kemenkes, Kemdikbud, Kemenpan, serta
Kemenkum & HAM dan 33 PD termasuk dengan MPO dan sesepuh IBI. Rancangan
Undang-Undang (RUU) Kebidanan diharapkan dapat mengatur masalah belum meratanya
distribusi bidan di Indonesia. Saat ini distribusi masih terpusat di kota besar saja, bidan
cenderung kurang berminat ditempatkan di daerah terpencil, terluar dan terjauh di Indonesia
Timur serta wilayah perbatasan. Masih ada sekitar 20 persen desa yang tidak ada bidannya.
Rasio standar ketersediaan bidan yang ideal adalah 1.000 : 1. Jumlah bidan saat ini sekitar
250 ribu. Sebanyak 83 persen di antaranya berada di pelayanan kesehatan tingkat primer
seperti Puskesmas, Pos Kesehatan Desa dan Pos Kesehatan. Pelayanan kesehatan terkait
reproduksi perempuan selama ini diberikan kepada bidan kebanyakan berada di desa dan
daerah. Karenanya Bidan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan dari masyarakat
desa dan daerah. Sebanyak 75 persen pelayanan kontrasepsi diberikan bidan, baik di
Puskesmas maupun di rumah sakit. Bidan juga diarahkan dapat menjadi duta dan
menggalakkan pemakaian kontrasepsi di masyarakat untuk menurunkan kegagalan KB
melalui program penggunaan kontrasepsi jangka pendek dan jangka panjang. Penggunaan
kontrasepsi jangka pendek memiliki resiko kegagalan lebih besar daripada jangka panjang.
Jika pemakainya lupa, dapat mengakibatkan kehamilan yang tak diinginkan.

Seyogyanya RUU Kebidanan tersebut mengatur beberapa hal seperti perlindungan kepada
masyarakat, pengaturan standar pelayanan, pendidikan bidan, pendistribusian bidan di daerah
dan peran pemerintah daerah. Contohnya pendidikan. Sebagian besar lulusan bidan D3,
kalau kita lihat tugas dan tanggung jawab persalinan, apakah kini sudah memadai hanya D3?
Mengenai kesejahteraan bidan, sudah ada sistem yang mengatur, baik itu bidan PNS dan
PTT. Misal PTT, dulu gajinya Rp550 ribu, sekarang Rp1,7 juta, dan daerah terpencil Rp2,7
juta dengan kontrak sembilan tahun. Dengan adanya pembatasan masa bakti Bidan PTT yang
berakhir Juli 2014, namun setelah itu mereka bisa menjadi Bidan PTT kembali dengan tidak
ada penghitungan masa kerja yang sudah dijalani. (baca : masa kerja dihitung kembali 0
tahun). Bagaimanapun juga para Bidan PTT menginginkan status kerja mereka dihargai
dengan posisi yang jelas, tidak lagi dalam posisi kegamangan dalam statusnya tersebut.

Forum Komunikasi Bidan Pegawai Tidak Tetap Indonesia (FK Bidan PTT Indonesia)
berharap ada kebijakan mengenai status bidan PTT untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS)
di pemerintahan baru pak Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Pasalnya, sampai saat ini terdapat 45
ribu bidan PTT di seluruh Indonesia yang sudah mengabdi sampai 9 tahun untuk pelayanan
kesehatan masyarakat namun nasibnya tidak jelas.

Bidan adalah pekerjaan profesi sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah. Bidan
juga memiliki peran penting untuk mencapai penurunan angka kematian ibu dan bayi di desa
terpencil. Lebih lanjut, bidan memberikan kontribusi pada pelayanan medis yang besar
namun bidan PTT kurang diapresiasi. Profesi bidan PTT belum mendapatkan perhatian yang
sama oleh pemerintah.

“Bagaimana bidan bisa melayani jika mereka sendiri tidak sejahtera, apalagi untuk mereka
yang kontrak di desa, tidak punya masa depan dan jenjang karir yang jelas,”?.
Permasalahan lain adalah keberadaan Peraturan Menteri Kesehatan Nomer 7 Tahun 2013 dan
Keputusan Presiden No 77 Tahun 2000 agar dicabut dan digantikan dengan peraturan baru
yang lebih memberikan jaminan status kerja dan pemberian hak-hak Bidan PTT.

Anda mungkin juga menyukai