Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Kerajaan Majapahit: Negara Besar yang Akhirnya Punah

Majapahit menjadi imperium adidaya pada abad ke-13. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia
Modern (1991), misalnya, menyebut Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang
menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu negara terbesar dalam sejarah Indonesia
(hlm. 19). Raden Wijaya adalah pendiri Kerajaan Majapahit yang bertakhta pada 1293-1309
dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Awalnya, Majapahit berpusat di Mojokerto, Jawa Timur.
Pada era Jayanegara (1309-1328), ibukota dipindahkan ke Trowulan. Sejak Girindrawardhana
(1456-1466) berkuasa, pusat Majapahit digeser lagi, kali ini ke Kediri. Majapahit mencapai masa
jaya pada era Raja Hayam Wuruk atau Rajasanagara (1350-1389) berkat dukungan Mahapatih
Gajah Mada. Tahun 1336, saat pengangkatannya menjadi mahapatih pada era Tribhuwana
Tunggadewi (ibunda Hayam Wuruk), Gajah Mada mengucapkan Sumpah Amukti Palapa yang
kelak melegenda.

Takhta Majapahit dan Bakti Tribhuwana Tunggadewi Kepada Ibu

Takhta Majapahit dan Bakti Tribhuwana Tunggadewi Kepada Ibu Gajah Mada bersumpah akan
menyatukan wilayah-wilayah Nusantara di bawah naungan Majapahit. Kelak, ikrar ini terwujud.
Dikutip dari buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005) karya Slamet
Muljana, Sumpah Amukti Palapa telah mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan untuk
pertamakalinya dalam sejarah. Wilayah kekuasaan Majapahit, tercatat dalam Nagarakertagama,
meliputi Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur, termasuk Nusa
Tenggara, Sulawesi, hingga sebagian Maluku. Masih menurut Negarakertagama seperti dikutip
dari buku Dinamika Islam Filipina, Burma, dan Thailand karya Choirul Fuad Yusuf (2013), tidak
kurang dari 98 kerajaan yang bernaung di bawah kuasa Majapahit Pengaruh dan ekspansi
Majapahit sampai pula ke negeri-negeri seberang, dari Semenanjung Malaya (Malaysia dan
Brunei), Tumasik (Singapura), serta sebagian Thailand dan Filipina. Angkatan Laut Majapahit
waktu itu sangat kuat sehingga disebut sebagai Talasokrasi atau Kemaharajaan Bahari.

Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit Wafatnya Gajah Mada pada 1364
menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya Majapahit.

Hikayat Raja Pasai mengisahkan, salah satu penyebab Majapahit menyerang Kesultanan
Samudera Pasai pada 1350 berawal dari ulah Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (bertahta sejak 1349).
Sultan ini diceritakan sebagai raja berperangai buruk yang menjadi otak serangkaian tindakan keji,
bermula di lingkungan kesultanan, lalu merembet ke luar hingga melukai martabat Majapahit.
Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang didirikan oleh Marah Silu --
kemudian bergelar Sultan Malik Al-Salih -- pada 1267 (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo,
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. 2006:50). Dengan pusatnya di pesisir pantai utara Sumatera,
dekat Lhokseumawe, kesultanan ini pernah menguasai perdagangan di Selat Malaka dan menjadi
sentrum penyebaran Islam di Nusantara.

Berbagai teori mengenai kapan dan berasal dari mana masuknya ajaran Islam ke Nusantara
ternyata masih menarik untuk dikulik, terlebih ketika “kajian” tentang Kesultanan Majapahit dan
klaim Gaj Ahmada sebagai nama muslim Gajah Mada dimunculkan yang lantas memantik
kehebohan.

Kerajaan (bukan kesultanan atau istilah untuk menyebut kerajaan Islam) Majapahit yang selama
ini dipercaya menganut agama Hindu dan Buddha berdiri sejak 1293 M atau akhir abad ke-11
dengan pusatnya di Jawa bagian timur (Nicholas Tarling, The Cambridge History of Southeast
Asia, 1999).
Lantas, apakah agama Islam sudah masuk dan berkembang di Jawa ketika atau bahkan sebelum
Majapahit berdiri?
Setidaknya ada 5 versi terkait teori-teori tentang masuknya ajaran Islam ke Nusantara beserta para
pembawanya dan asalnya dari mana, yakni teori Arab (Timur Tengah), teori Cina, serta teori
Gujarat (India) dan teori Persia (Iran), hingga teori Maritim.
Teori Timur Tengah (Abad 7 M)
Teori Timur Tengah, atau tepatnya dari Arab, merupakan versi yang cenderung paling banyak
diyakini terkait perkiraan masuknya ajaran Islam ke Nusantara. Beberapa ahli yang mendukung
teori ini adalah J.C. van Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold, dan Abdul Malik Karim Amrullah
atau Buya Hamka.

Buya Hamka menolak anggapan bahwa Islam dibawa oleh pedagang dari Gujarat (India) sejak
abad ke-13 Masehi. Sanggahan ini dikemukakan oleh tokoh asal Sumatera Barat itu dalam
“Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia” di Medan pada 1963 (Yusran Rusydi,
Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, 2017).

Menurut Hamka, Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7 M atau tahun-tahun awal Hijriah,
dibawa oleh bangsa Arab, khususnya dari Mekkah. Hamka, seperti dikutip dari A. Shihabuddin
(2013:474) dalam Membongkar Kejumudan: Menjawab Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahhabi,
disebutkan bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah bagi para pedagang Arab itu sebelum
menuju ke Nusantara

Salah satu bukti yang diajukan Hamka adalah naskah kuno dari Cina yang menyebutkan,
sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan Pantai Barat Sumatera (tepatnya di Barus,
Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) pada 625 M (Hamka, Sejarah Umat Islam, 1997). Di Barus,
yang pernah dikuasai Kerajaan Sriwijaya, juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh
Rukunuddin, wafat tahun 672 M.

Keyakinan Hamka tersebut dikuatkan oleh teori yang dikemukakan oleh T.W. Arnold sebelumnya,
berdasarkan sumber yang sama yaitu berita dari Cina. Arnold (1935) dalam The Preaching of
Islam menyebut bahwa ada seorang pembesar Arab yang menjadi kepala daerah pendudukan
bangsa Arab di Pantai Barat Sumatera pada 674 M

Teori datangnya Islam ke Nusantara berasal dari Timur Tengah, meskipun tidak hanya dari
Mekkah, juga pernah dimunculkan. Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De
Hollander (1861), dan P.J. Veth (1878), meyakini Islam datang dari Hadramaut atau Yaman
Selatan (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, 2004).
Yang menjadi landasan atas teori ini adalah bahwa orang-orang Islam di Hadramaut adalah
pengikut mazhab Syafii, seperti halnya di Indonesia (Hermansyah & Zulkhairi, Transformasi Syair
Jauharat At-Tauhid di Nusantara, 2014). Selain itu, ada pula yang menyebut Islam datang ke
Nusantara dari Mesir dengan alasan serupa.
Teori Gujarat-India (Abad 13 M)
Sebelum Hamka membantah, ada teori lain yang mempercayai ajaran Islam dibawa ke Nusantara
oleh pedagang Gujarat (India) pada awal abad ke-13 M. Teori ini dicetuskan oleh G.W.J. Drewes
yang lantas dikembangkan oleh Snouck Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, J.P. Moquette,
hingga Sucipto Wirjosuparto.

Drewes sebenarnya tidak menyebut bahwa yang membawa ajaran Islam ke Indonesia adalah para
pedagang India, namun oleh kaum saudagar asal Arab yang terlebih dulu menetap di Gujarat
sebelum melanjutkan rute dagangnya ke Nusantara sekaligus untuk syiar Islam (Nur Syam, Islam
Pesisir, 2005).

Teori Drews lalu dikembangkan, terutama oleh Hurgronje yang menyebut bahwa Islam masuk ke
Nusantara seiring terjalinnya relasi niaga antara kerajaan atau masyarakat lokal dengan pedagang
Gujarat dari India Selatan (Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur, 2001).

Argumen Hurgronje ini didasarkan atas peranan orang-orang Gujarat yang telah membuka
hubungan dagang dengan bangsa lokal Indonesia sebelum para pedagang dari Timur Tengah atau
Arab. Menurutnya, yang pertamakali dimasuki para saudagar muslim-Gujarat itu adalah wilayah
Kesultanan Samudera Pasai di Aceh.

Hurgronje didukung oleh sejumlah pakar lainnya, termasuk Moquette dan Wirjosuparto, yang
memaparkan bukti berupa corak batu nisan Sultan Malik As-Saleh (Marah Silu) memiliki
kemiripan dengan corak nisan di Gujarat, juga hubungan dagang antara Nusantara dengan India
telah lama terjalin (Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, 2009).

Namun, teori ini dinilai kurang sahih karena memiliki banyak kelemahan. Selain seperti kata
Hamka, yakni bahwa India hanya menjadi persinggahan para pedagang dari Arab, Gujarat pada
abad ke-12 hingga 13 M masih merupakan wilayah Hindu. Ajaran Islam yang kemudian masuk
ke Gujarat pun berasal dari mazhab Hanafi, bukan mazhab Syafii yang lebih lekat dengan muslim
Nusantara.

Teori Cina (9 M) dan Persia (13 M)


Pendapat lain terkait masuknya Islam ke Nusantara adalah teori Cina. Diyakini bahwa Islam
memasuki Indonesia bersama migrasi orang-orang Cina ke Asia Tenggara dan memasuki
Palembang pada 879 atau abad 9 M. Slamet Muljana dan Sumanto Al Qurtuby adalah pendukung
teori ini (Tsabit Azinar Ahmad, Sejarah Kontroversial di Indonesia, 2016).

Ajaran Islam sendiri berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M), dibawa oleh
panglima muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era Khalifah Ustman bin Affan, yakni
Saad bin Abi Waqqash. Jean A. Berlie (2004) dalam buku Islam in China menyebut relasi pertama
antara orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Cina terjadi pada 713 M.

Namun, teori ini juga diragukan. Relasi langsung Cina dengan Nusantara baru terjadi antara abad
13-15 M (semisal terkait Panglima Cheng Ho, atau Raden Patah dan beberapa orang Walisongo
yang oleh Slamet Muljana [2005] dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara disebut keturunan Cina) meskipun hubungan dagang jarak
jauhnya sudah ada sebelum itu.

Berkembang pula teori Persia dari Umar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat. Dikutip dari
Reception Through Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia karya
Abdurrahman Misno (2016), Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam di
Indonesia memiliki persamaan dengan Persia (Iran), semisal seni kaligrafi yang terpahat pada
batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara.

Contoh lain adalah tradisi peringatan 10 Muharam atau tradisi budaya Islam-Persia yang juga
mirip dengan tradisi serupa di Nusantara, yakni upacara Tabuik atau Tabut di beberapa wilayah
pesisir Sumatera (Abdurrachman Mas'ud, Dari Haramain ke Nusantara, 2006).

Selain itu, seperti yang dinukil dari Jaih Mubarak (2008) dalam buku Sejarah Peradaban Islam,
ada kesamaan mazhab antara muslim Indonesia dan sebagian wilayah Persia pada saat itu, yakni
menganut mazhab Syafii. Namun, teori Persia ini juga masih kalah kuat ketimbang teori Arab, dan
akhirnya runtuh.
Teori Maritim dan Lainnya
Di samping teori-teori “besar” terkait klaim masuknya ajaran Islam ke Nusantara, muncul pula
sejumlah versi lainnya, termasuk teori Maritim. Ini mirip dengan salah satu teori masuk dan
berkembangnya ajaran Hindu-Buddha di Indonesia, yakni teori Arus-Balik.

Teori Maritim meyakini bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotori oleh orang lokal sendiri
yang ulung dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Mereka berlayar ke negeri-negeri yang jauh,
termasuk ke wilayah asal Islam atau negeri yang sudah menganut Islam, berinteraksi dengan
orang-orang di sana, dan kembali ke tanah air dengan membawa ajaran Islam yang kemudian
disebarkan.

Sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch, mempertegas argumen itu dengan menyebut bahwa para
pelaut dan pedagang asli Nusantara bersinggungan langsung dengan para saudagar muslim,
terutama yang datang dari Timur Tengah, khususnya Arab.

Mereka kemudian memperkenalkan Islam di jalur perniagaan yang disinggahi. Menurut Baloch,
ini terjadi pada sekitar abad ke-7 M dan dimulai dari pesisir Aceh dan seterusnya hingga tersebar
lebih luas (Akhmad Jenggis Prabowo, Kebangkitan Islam, 2011).

Masih ada pula sekelumit teori lainnya, seperti dari Mesir atau Turki. Namun argumen dan bukti-
bukti yang dipaparkan tidak cukup kuat sehingga terpatahkan. Atau, teori-teori lain itu biasanya
tetap bermuara pada peran kaum pedagang dari Arab yang diyakini memiliki andil paling sentral
dalam upaya masuknya ajaran Islam ke Indonesia.
Kesultanan Samudera Pasai berjaya saat dipimpin Sultanah (Ratu) Nahrasiyah sejak 1406 (ada
sumber lain yang menyebut tahun 1400) sampai 1428. Petualang kondang asal Italia, Marco Polo,
juga Ibnu Batutah sang penjelajah muslim dari Maroko, hingga armada Cina pimpinan Laksamana
Cheng Ho, pernah menyambangi wilayah kerajaan ini. Marco Polo menyebut Samudera Pasai
dengan nama “Giava Minor” atau “Jawa Kecil” (Mohammad Said, Risalah Seminar Sejarah
Masuknya Islam ke Indonesia, 1963:82-83).
Tentang Hikayat Raja Pasai
Salah satu referensi dalam tulisan ini adalah Hikayat Raja Pasai yang memang sering dijadikan
sumber utama dalam historiografi atau penulisan sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Hikayat
Raja Pasai yang diperkirakan ditulis pada abad ke-14 kini telah disusun ulang, salah satunya oleh
Dr. Russell Jones yang bukunya diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1999.

Hikayat Raja Pasai terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menceritakan tentang peristiwa-
peristiwa sebelum berdirinya Kesultanan Samudera Pasai hingga wafatnya Sultan Malik Al-
Mahmud (bertahta sejak 1326). Sultan Malik Al-Mahmud adalah ayahanda Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir.

Sebagai catatan, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir adalah orang yang berbeda dengan Sultan
Muhammad Malik Az-Zahir, pemimpin Kesultanan Samudera Pasai yang bertahta pada 1297-
1326, atau Sultan Mahmud Malik Az-Zahir yang berkuasa pada 1466-1468.
Bagian kedua Hikayat Raja Pasai membahas peristiwa-peristiwa di sekitar hubungan antara Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir dengan anaknya yang bernama Tun Beraim Bapa. Nantinya, disebutkan
bahwa Tun Beraim Bapa tewas di tangan ayahnya sendiri.

Adapun Hikayat Raja Pasai pada bagian ketiga bercerita tentang Raden Galuh Gemerencang, putri
dari Kerajaan Majapahit yang terlibat jalinan percintaan dengan putra Sultan Ahmad Malik Az-
Zahir yang kedua, yakni Tun Abdul Jalil, hingga runtuhnya Kesultanan Samudera Pasai (ulasan
tentang Hikayat Raja Pasai dalam MelayuOnline.com, 2009).
Bagian kedua dan ketiga Hikayat Raja Pasai itulah yang membeberkan kekejaman Sultan Ahmad
Malik Az-Zahir, putra Sultan Malik Al-Mahmud. Bernama lahir Ahmad Permadala Permala, ia
naik tahta pada 1349. Sebelum masa ini, wilayah kekuasaan Samudera Pasai sempat dibagi
menjadi dua pemerintahan, yaitu Kesultanan Samudera dan Kesultanan Pasai.
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dikaruniai lima orang anak (tiga putra dan dua putri). Tiga anak
pangeran tersebut masing-masing bernama Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil, serta Tun Abdul
Fadil. Sedangkan dua anak perempuan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir diberi nama Tun Medam
Peria dan Tun Takiah Dara.
Dan, seperti termaktub dalam Hikayat Raja Pasai, kisah kekejian sang sultan pun dimulai.
Perangai Buruk Sultan Samudera Pasai
Menurut Hikayat Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dicitrakan sebagai pemimpin yang
buruk. Dikisahkan, sang sultan ternyata menaruh berahi terhadap dua anak perempuannya sendiri,
yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Beberapa kali gelagat tak pantas tersebut ketahuan
oleh penghuni istana lainnya.
Sikap keterlaluan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir itu memantik desas-desus tak sedap. Anak sulung
sang sultan yang juga putra mahkota, Tun Beraim Bapa, mengingatkan ayahnya agar
menghentikan kelakuan tak patut tersebut.
Bukannya menahan diri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru murka, bahkan mengancam Tun
Beraim Bapa agar tidak mencampuri urusannya. Tun Beraim Bapa pun waspada dan berusaha
sekuat tenaga dua saudara perempuannya dari kebuasan sang ayah yang tidak layak dijadikan
panutan tersebut.
Merasa dilawan oleh anaknya sendiri, kemarahan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir meledak. Ia lalu
merencanakan niat jahat. Secara diam-diam, sang sultan mengutus orang untuk meracuni sang
pangeran. Usaha itu berhasil. Tun Beraim Bapa yang kelak seharusnya melanjutkan singgasana
ayahnya justru harus meregang nyawa lebih cepat.
Mengetahui sang kakak mati mendadak, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara sangat bersedih
hati sekaligus takut setengah mati terhadap ayah mereka sendiri. Maka, kedua putri Samudera
Pasai itu pun memilih menyusul Tun Beraim Bapa, bunuh diri dengan meminum racun (Russell
Jones, Hikayat Raja Pasai, 1999:35-56).
Dengan kekuasaannya yang nyaris tanpa batas, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir langsung menutup
rapat kegemparan yang sempat terdengar di lingkungan kesultanan setelah tewasnya tiga anaknya
tersebut. Ini dilakukan agar kabar buruk itu tidak menyebar luas, apalagi hingga ke luar kerajaan.
Memantik Murka Majapahit
Tabiat biadab Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kambuh lagi beberapa waktu berselang. Kali ini
bermula dari hubungan asmara antara putra kedua sultan, Tun Abdul Jalil (adik kandung Tun
Beraim Bapa) dengan seorang putri dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Galuh
Gemerencang.

Seharusnya, momen ini bisa dimanfaatkan untuk menjalin relasi yang lebih erat dengan Majapahit.
Calon imperium yang berpusat di Jawa bagian timur itu memang sedang menatap masa gemilang
seiring dinobatkannya Hayam Wuruk sebagai raja dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara,
meneruskan tahta sang ibunda, Tribhuwana Wijayatunggadewi, pada 1350.

Ditambah lagi, Majapahit memiliki seorang mahapatih sekaligus panglima perang tertinggi yang
namanya sudah terkenal, siapa lagi kalau bukan Gajah Mada. Saat ditunjuk sebagai mahapatih
oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1336, ia mengucapkan Sumpah Palapa sebagai
tekad untuk menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara di bawah naungan Majapahit.

Namun, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru memantik konflik dengan Majapahit. Kecantikan
Raden Galuh Gemerencang yang tidak lain adalah calon menantunya ternyata membuat sultan
jatuh cinta. Kala itu, sang putri beserta para pengawalnya sedang bersiap untuk pergi ke Samudera
Pasai untuk menemui sang pujaan hati.

Tak rela Raden Galuh Gemerencang diperistri putranya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir
pun menyiapkan siasat keji untuk Tun Abdul Jalil, sama seperti yang pernah dilakukan terhadap
anak sulungya, Tun Beraim Bapa. Nyawa pangeran kedua pun dihabisi dan mayatnya
ditenggelamkan ke laut.

Sementara itu, rombongan Raden Galuh Gemerencang akhirnya tiba di Samudera Pasai. Sang putri
terkejut mendengar kabar dari orang-orang kepercayaannya Tun Abdul Jalil bahwa calon
suaminya itu telah dibunuh atas perintah Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.

Raden Galuh Gemerencang yang jiwanya terguncang jelas sangat sedih. Ia lalu menenggelamkan
diri ke laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil dibenamkan sebelumnya. Rombongan pengawal yang
mengiringi sang putri segera kembali ke Jawa untuk melapor kepada Raja Hayam Wuruk dan
Mahapatih Gajah Mada tentang kejadian tragis tersebut.

Demikian dikisahkan dalam Hikayat Raja Pasai bagian ketiga (Jones, 1999: 57-65).

Sinyal Runtuhnya Samudera Pasai


Hikayat Raja Pasai dalam bab yang sama melanjutkan cerita ini. Setelah mendapat laporan dari
para pengiring Raden Galuh Gemerencang, putri Majapahit yang mengakhiri hidupnya di
Samudera Pasai, juga kekejaman Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, Raja Hayam Wuruk murka,
begitupula dengan Gajah Mada.

Hayam Wuruk pun memerintahkan Gajah Mada untuk segera menghimpun pasukan dan bergegas
berangkat ke ujung barat sana. Slamet Muljana (2005:140) dalam buku Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara menuliskan dengan cukup rinci
serangan dan siasat Gajah Mada ke Samudera Pasai ini. Singkat cerita, pertempuran pun tak
terhindarkan. Majapahit ternyata lebih unggul dari tuan rumah.

Dalam situasi yang semakin gawat karena pasukan Majapahit kian merangsek ke pusat istana,
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir terpaksa menyelamatkan diri. Ia melarikan diri ke suatu tempat
bernama Menduga yang berlokasi kira-kira 15 hari perjalanan dari ibukota Samudera Pasai (Jones,
1999: 57-65).

Serangan Majapahit itu menjadi awal dari keruntuhan Kesultanan Samudera Pasai di Aceh.
Meskipun kerajaan Islam ini pada akhirnya masih bisa bertahan hingga bertahun-tahun ke depan,
bahkan sempat berjaya pada era Sultanah Nahrasiyah Nahrisyyah (1406-1428), namun pada
akhirnya Samudera Pasai runtuh juga.

Intrik dan konflik internal di lingkungan istana menjadi penyebab utamanya, bukan semata karena
faktor eksternal macam serangan dari Majapahit. Ditambah lagi dengan kemunculan Kesultanan
Malaka pada 1405 yang mengikis dominasi ekonomi Samudera Pasai di zona perdagangan tersebut
(Muhammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah, 1997:24). Perjalanan panjang
Samudera Pasai semakin mendekati akhir setelah lahirnya Kesultanan Aceh Darussalam pada
1496 hingga penaklukan Portugis pada 1521.

Riwayat Samudera Pasai akhirnya benar-benar tamat pada masa pemerintahan sultan terakhirnya,
Zain Al-Abidin IV (1514-1517). Sejak tahun 1524, wilayah kekuasaan kerajaan Islam Nusantara
pertama ini diambil-alih oleh Kesultanan Aceh Darussalam yang menjadi penguasa baru di
Serambi Mekkah Hayam Wuruk yang sangat menghormati sosok penasihatnya itu tidak menunjuk
mahapatih baru. Baginya, Gajah Mada tak tergantikan. Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk
limbung. Kejayaan Majapahit goyah. Keruntuhan bahkan kepunahan imperium besar ini pun mulai
terlihat.

Seperti yang telah ditulis di bagian pertama, Majapahit berjaya di era Hayam Wuruk (1350-1389)
dan Gajah Mada. Namun, wafatnya Gajah Mada pada 1364 menjadi salah satu faktor penyebab
melemahnya Majapahit. Stabilitas wilayah yang amat luas mulai goyah. Beberapa negeri taklukan
yang tersebar luas di Nusantara mulai berusaha melawan untuk melepaskan diri. Tahun 1389,
Hayam Wuruk meninggal dunia. Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (2005) menceritakan polemik dalam proses suksesi
raja baru. Perselisihan keluarga semakin memperlemah Majapahit. Baca juga: Gajah Mada dan
Kontroversi Dalang Pembunuhan Raja Majapahit Belum lama sang raja mangkat, terjadilah
Perang Paregreg. Perang saudara ini melibatkan Wikramawardhana yang mengklaim sebagai
penerus takhta Majapahit melawan Bhre Wirabhumi. Wikramawardhana adalah suami putri
Hayam Wuruk dari permaisuri, Kusumawardhani, sementara Bhre Wirabhumi merupakan putra
Hayam Wuruk dari istri selir. Dikutip dari Pranoedjoe Poespaningrat dalam Kisah Para Leluhur
dan yang Diluhurkan: Dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru (2008), perang saudara ini
menjadi salah satu faktor kemunduran Majapahit, selain tidak adanya pemimpin yang kuat setelah
Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Majapahit memang masih mampu bertahan cukup lama, bahkan
sempat nyaris bangkit saat dipimpin oleh Ratu Suhita (1429-1447). Namun, kerajaan ini ternyata
tak sanggup seperkasa dulu. Tiada lagi raja secakap Hayam Wuruk, juga mahapatih setangguh
Gajah Mada. Bahkan, Majapahit sempat mengalami kekosongan kepemimpinan antara 1453
hingga 1456.
Dyah Suhita, Pemimpin Perempuan Terakhir di Jawa Timur Munculnya Kesultanan Demak pada
1475 membuat Majapahit kian merana.

Dalam riwayat Majapahit yang dimulai sejak akhir abad ke-13, setidaknya ada dua ratu yang
pernah memimpin kerajaan besar yang berpusat di Jawa bagian timur ini. Pertama adalah Ratu
Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350), kedua adalah Ratu Dyah Suhita (1429-1447). Setelah itu,
tidak ada lagi sosok perempuan yang memimpin Jawa Timur, hingga kini.

Tribhuwana Tunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit. Ia adalah putri sang pendiri dan raja
pertama Raden Wijaya (1293-1309), adik tiri raja yang kedua Jayanegara (1309-1328), dan ibunda
Hayam Wuruk (1350-1389).

Selain Tribhuwana dan Dyah Suhita, muncul pendapat lain bahwa masih ada satu lagi sosok ratu
yang sempat memerintah Majapahit, yaitu Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk. Ia
menggantikan suaminya, Wikramawardhana (raja pengganti Hayam Wuruk, bertakhta sejak
1390), yang meninggalkan istana untuk bertapa.
Bermula dari Perang Saudara
Naiknya Dyah Suhita menjadi ratu tidak terlepas dari kekisruhan yang terjadi di Majapahit
sepeninggal raja terbesarnya, Hayam Wuruk. Terjadi intrik politik dan pergolakan yang cukup
sengit terkait suksesi kepemimpinan.
Yang tercatat sebagai penguasa Majapahit selanjutnya bernama Wikramawardhana. Orang ini
adalah anak dari adik Hayam Wuruk, Dyah Nertaja, yang kemudian menikahi putri sang raja,
Kusumawardhani. Dengan demikian, Wikramawardhana merupakan keponakan sekaligus
menantu Hayam Wuruk.

Diakuinya Wikramawardhana sebagai raja membuat putra Hayam Wuruk yang bernama Bhre
Wirabhumi tidak terima dan melakukan perlawanan. Maka, terjadilah perseteruan besar di
kalangan sesama anggota istana yang dikenal dengan nama Perang Paregreg yang dimulai sejak
1404.

Seperti dikutip dari Pranoedjoe Poespaningrat dalam Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan:
Dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru (2008), perang ini menjadi salah satu faktor utama
kemunduran Majapahit. Penyebab lain adalah tidak adanya pemimpin yang kuat setelah Hayam
Wuruk dan masuknya Islam ke Nusantara (hlm. 16).

Sebelum wafat, Hayam Wuruk sebenarnya sudah memperkirakan perselisihan tersebut bakal
terjadi. Maka, raja yang juga tandem sejati Mahapatih Gajah Mada ini membuat keputusan bahwa
sepeninggal dirinya nanti wilayah kerajaan harus dibagi dua.

Diputuskan, wilayah timur yaitu Blambangan (Banyuwangi) akan diberikan kepada Bhre
Wirabhumi, putranya dari istri selir. Sedangkan bagian barat (di pusat Majapahit yakni
Trowulan/Mojokerto) untuk Kusumawardhani, putrinya yang kemudian dinikahi
Wikramawardhana (Soendoro, Sedjarah Indonesia Volume 1, 1956: 38).

Namun, Bhre Wirabhumi menyebut bahwa Wikramawardhana tidak berhak atas bagian itu,
apalagi sampai dinobatkan menjadi raja. Bhre Wirabhumi merasa paling layak meneruskan takhta
Majapahit karena ia adalah putra kandung Hayam Wuruk. Ditambah lagi, ia kecewa karena hanya
diberikan bagian di luar pusat kerajaan.

Kubu Kusumawardhani di pihak lain juga mengklaim hal yang sama karena Bhre Wirabuhmi
bukan putra mahkota, melainkan hanya anak selir. Namun, Kusumawardhani ternyata enggan
meneruskan takhta ayahnya.

Maka, Dewan Penasihat Agung Kerajaan (Sapta Prabu) menunjuk Wikramawardhana, suami
Kusumawardhani. Wikramawardhana dinilai pantas duduk di singgasana karena masih termasuk
lingkaran utama keluarga raja, yakni putra dari adik Hayam Wuruk.

Wikramawardhana sebenarnya sempat menanggalkan takhtanya pada 1400 untuk bertapa, dan
Kusumawardhani akhirnya bersedia menjadi ratu. Namun, Wikramawardhana kembali ke istana
setelah istrinya itu wafat pada 1401 dan memulai perseteruan dengan iparnya, Bhre Wirabhumi.

Pertikaian pun tak terhindarkan. Dua kubu yang masih dalam satu keluarga itu saling berhadapan
di medan pertempuran. Hingga akhirnya muncul Dyah Suhita, yang ternyata terikat erat dengan
kedua pihak yang sedang berperang.
Asal-Usul Dyah Suhita
Menurut J. Krom dalam “De Hindoe-Javaansche Tijd” seperti dikutip dari buku
Girīndrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir (1978) yang ditulis Hasan Djafar, Dyah
Suhita adalah putri dari Bhre Wirabhumi (hlm. 47).

Sementara dalam Kitab Pararaton disebutkan bahwa Dyah Suhita adalah cucu Bhre Wirabhumi
dari salah satu anaknya yang disebutkan bernama Bhra Hyang Wisesa (hlm. 73). Yang janggal,
Bhra Hyang Wisesa merupakan gelar Wikramawardhana setelah menjadi raja, lengkapnya yaitu
Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama.

Hal ini membingungkan lantaran Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi berada di kubu yang
berbeda. Bahkan, keduanya saling berhadapan sebagai dua tokoh utama dalam Perang Paregreg.
Salah satu tafsir Pararaton lainnya menyatakan bahwa Dyah Suhita adalah putri
Wikramawardhana dari istri selir, seperti yang dituliskan Ratna Rengganis pada halaman 96 buku
Sosok di Balik Perang (2012).

Keterkaitan antara Dyah Suhita, Wikramawardhana, dan Bhre Wirabhumi menjadi sedikit jelas
jika melihat paparan Dhurorudin Mashad dalam Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang
Hilang (2014). Mashad, yang juga menafsirkan Pararaton, menyebut bahwa setelah Bhre
Wirabhumi tewas pada 1406, Wikramawardhana memperistri putri kakak ipar sekaligus musuhnya
itu sebagai selir. Dari istri selir inilah lahir Dyah Suhita (hlm. 77).

Keyakinan bahwa Dyah Suhita adalah anak Wikramawardhana juga dituliskan Slamet Muljana
dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara
(2005). Namun, Muljana justru menyebut Dyah Suhita merupakan anak yang lahir dari perkawinan
Wikramawardhana dengan Kusumawardhani (hlm. 21).

Dengan demikian, Pararaton—yang kerap mengabaikan kronologi peristiwa sehingga


menyebabkan kesulitan dalam penafsirannya—mencatat bahwa Dyah Suhita adalah cucu Bhre
Wirabhumi sekaligus anak Wikramawardhana, entah anak dari istri selir (Bhre Daha/putri Bhre
Wirabhumi) atau dari permaisuri, yakni Kusumawardhani (kakak Bhre Wirabhumi/putri Hayam
Wuruk).

Terlepas dari beberapa penafsiran tersebut, yang jelas Dyah Suhita menikah dengan Aji
Ratnapangkaja. Orang ini adalah keponakan Wikramawardhana (anak adiknya), juga tercatat
sebagai salah satu panglima perang yang turut menyerang pasukan Bhre Wirabhumi di wilayah
timur (Blambangan/Banyuwangi) dalam Perang Paregreg.

Dengan kekalahan Bhre Wirabhumi pada 1406, maka singgasana Majapahit sepenuhnya dikuasai
Wikramawardhana yang bertakhta cukup lama. Setelah Wikramawardhana meninggal dunia pada
1428, sempat terjadi kebingungan mengenai siapa yang berhak melanjutkan kuasa sebagai
pemimpin tertinggi Majapahit berikutnya.
Menurut Pararaton, Wikramawardhana sebenarnya sempat menetapkan anaknya dari
Kusumawardhani, yakni Rajakusuma atau Hyang Wekasing Putra, menjadi calon penggantinya.
Namun, putra mahkota itu mati muda. Anak lelaki Wikramawardhana lainnya, dari istri selir, Bhre
Tumapel, juga meninggal dunia (Mashad, 2014:77).
Keturunan Wikramawardhana hanya tersisa dua anak saja, semuanya dari istri selir, yakni Dyah
Suhita dan Bhre Kertawijaya. Akhirnya, sepeninggal Wikramawardhana, Dyah Suhita yang
ditunjuk untuk menempati singgasana Majapahit karena lebih tua dari Kertawijaya.

Versi berbeda diungkapkan Slamet Muljana yang tidak menyebut Rajakusuma atau Hyang
Wekasing Putra. Menurut Muljana, yang berhak menjadi penerus takhta sejak mula memang Dyah
Suhita yang diyakininya sebagai anak Wikramawardhana dengan Kusumawardhani. Sementara
Bhre Tumapel dan Kertawijaya tidak berhak karena lahir dari istri selir (hlm. 22).
Ratu Terakhir Jawa Timur
Dyah Suhita dinobatkan pada 1429. Ada yang beranggapan bahwa Dyah Suhita adalah orang yang
sama dengan Ratu Kencanawungu, sedangkan Bhre Wirabhumi (penguasa Blambangan) adalah
Menakjingga, sementara Raden Gajah/Bhra Narapati, orang Wikramawardhana yang membunuh
Bhre Wirabhumi pada 1406, adalah Damarwulan (Soenarto Timoer, Damarwulan, 1980: 34).

Tahun 1433, Dyah Suhita menghukum mati Raden Gajah. Peristiwa ini seolah menguatkan
hubungan Dyah Suhita dengan Bhre Wirabhumi sebagai cucu dan kakek. Meskipun Dyah Suhita
adalah anak Wikramawardhana, tetapi ibunya yang merupakan putri Bhre Wirabhumi, diperistri
paksa, hanya sebagai selir pula.
Dyah Suhita bersama suaminya, Ratnapangkaja, yang kemudian bergelar Bhatara Parameswara,
memerintah cukup lama di Majapahit. Selama era kepemimpinannya, Dyah Suhita gencar
menghidupkan kearifan lokal yang sempat terabaikan selama masa ricuh sebelum ia bertakhta.

R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (2002) menuliskan, masa


pemerintahan Dyah Suhita ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia (Nusantara).
Berbagai tempat pemujaan didirikan di lereng-lereng gunung, dan bangunan-bangunan (candi) itu
disusun sebagai punden berundak-undak, misalnya di lereng Gunung Penanggungan, Gunung
Lawu, dan sebagainya (hlm. 78).

Dyah Suhita wafat pada 1447, menyusul suaminya yang meninggal dunia terlebih dulu tepat 10
tahun sebelumnya. Lantaran pasangan ini tidak dikaruniai anak, maka yang dinobatkan sebagai
penguasa Majapahit selanjutnya adalah Kertawijaya, adik bungsu Dyah Suhita. Kertawijaya
adalah Raja Majapahit yang mulai memakai nama Brawijaya, sebagai pengingat akan pendiri
kerajaan itu, yakni Raden Wijaya.

Setelah Dyah Suhita mangkat, tidak ada lagi ratu yang memimpin Majapahit, juga wilayah Jawa
bagian timur yang menjadi pusat kerajaan besar itu. Bahkan, hingga Nusantara bersulih rupa
menjadi Indonesia, daerah (provinsi) Jawa Timur belum pernah lagi dipimpin sosok perempuan.

Anda mungkin juga menyukai