Anda di halaman 1dari 15

BUDIDAYA LADA

I. PNDAHULUAN
Tanaman lada termasuk tanaman rempah yang banyak
dikembangkan di Indonesia. PT. Natural Nusantara berupaya
membantu meningkatkan produksi tersebut secara kuantitas,
kualitas dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan(Aspek
K-3).

II. SYARAT PERTUMBUHAN


2.1. Iklim
- Curah hujan 2.000-3.000 mm/th.
- Cukup sinar matahari (10 jam sehari).
- Suhu udara 200C - 34 0C.
- Kelembaban udara 50% - 100% lengas nisbi dan optimal
antara 60% - 80% RH.
- Terlindung dari tiupan angin yang terlalu kencang.

2.2. Media Tanam

- Subur dan kaya bahan organic


- Tidak tergenang atau terlalu kering
- pH tanah 5,5-7,0
- Warna tanah merah sampai merah kuning seperti Podsolik, Lateritic, Latosol dan
Utisol.
- Kandungan humus tanah sedalam 1-2,5 m.
- Kelerengan/kemiringan lahan maksimal ± 300.
- Ketinggian tempat 300-1.100 m dpl.

III. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA

3.1. Pembibitan
- Terjamin kemurnian jenis bibitnya
- Berasal dari pohon induk yang sehat
- Bebas dari hama dan penyakit
- Berasal dari kebun induk produksi yang sudah berumur 10 bulan-3 tahun
(Kebutuhan bibit ± 2.000 bibit tanaman perhektar)

3.2. Pengolahan Media Tanam


a. Cangkul 1, pembalikan tanah sedalam 20-30 cm.
b. Taburkan kapur pertanian dan diamkan 3-4 minggu.
Dosis kapur pertanian :
- Pasir dan Lempung berpasir: pH Tanah 3,5 ke 4,5 = 0,6 ton/ha; pH
Tanah 4,5 ke 5,5 = 0,6 ton/ha; pH Tanah ke 6,5 = 0,9 ton/ha.
- Lempung: pH Tanah 3,5 ke 4,5 = 0,6 ton/ha; pH Tanah 4,5 ke 5,5 = 1,7
ton/ha; pH Tanah ke 6,5 = 0,9 ton/ha.
- Lempung Berdebu: pH Tanah 3,5 ke 4,5 = 0,6 ton/ha; pH Tanah 4,5 ke
5,5 = 2,6 ton/ha; pH Tanah ke 6,5 = 3,2 ton/ha.
- Lempung Liat: pH Tanah 3,5 ke 4,5 = 0,6 ton/ha; pH Tanah 4,5 ke 5,5 =
3,4 ton/ha; pH Tanah ke 6,5 = 4,2 ton/ha.
c. Cangkul 2, haluskan dan ratakan tanah
3.3. Teknik Penanaman
- Sistem penanaman adalah monokultur (jarak tanam 2m x 2m). Tetapi juga
bisa ditanam dengan tanaman lain.
- Lubang tanam dibuat limas ukuran atas 40 cm x 35 cm, bawah 40 cm x 15
cm dan kedalaman 50 cm.
- Biarkan lubang tanam 10-15 hari barulah bibit ditanam.
- Waktu penanaman sebaiknya musim penghujan atau peralihan dari musim
kemarau kemusim hujan, pukul 6.30 pagi atau 16.30-18.00 sore.
- Cara penanaman : menghadapkan bagian yang ditumbuhi akar lekat
kebawah, sedangkan bagian belakang (yang tidak ditumbuhi akar lekat)
menghadap keatas.
- Taburkan pupuk kandang 0,75-100 gram/tanaman yang sudah dicampur
NATURAL GLIO.
- Tutup lubang tanam dengan tanah galian bagian atas yang sudah dicampur
pupuk dasar :
+ NPK 20 gram/tanaman
+ Untuk tanah kurang subur ditambahkan 10 gram urea, 7 gram SP 36 dan
5 gram KCl per tanaman.
+ Segera setelah ditutup, disiram SUPERNASA :
- Alternatif 1 : 0,5 sendok makan/ 5 lt air per tanaman.
- Alternatif 2 : 1 botol SUPER NASA diencerkan dalam 2 liter (2000
ml) air dijadikan larutan induk. Kemudian setiap 1 liter
air diberi 20 ml larutan induk tadi untuk penyiraman
setiap pohon.
- Pemberian SUPERNASA selanjutnya dapat diberikan setiap 3 - 4 bulan
sekali.

3.4. Pemeliharaan Tanaman


3.4.1. Pengikatan Sulur Panjat
Panjatkan pada tiang panjat menggunakan tali. Ikatkan dengan dipilin
dan dilipat hingga mudah lepas bila sulur tumbuh besar dan akar
lekatnya sudah melekat pada tiang panjat.
3.4.2. Penyiangan dan Pembumbunan
Penyiangan setiap 2-3 bulan sekali. Pembubunan dilakukan
bersamaan dengan penyiangan.
3.4.4. Perempalan
Perempalan atau pemangkasan dilakukan pada:
Batang, dahan, ranting yang tidak produktif, atau terserang hama dan
penyakit.
Pucuk/batang, karena tidak memiliki dahan yang produktif
Batang yang sudah tua agar meremajakan tanaman menjadi muda
kembali.
3.4.5. Pemupukan Susulan
Penyemprotan POC NASA (4-5 tutup) atau POC NASA (3- 4 tutup) +
HORMONIK (1 tutup) per tangki setiap 3 - 4 minggu sekali.
Pupuk makro diberikan sebagai berikut :

Umur Pupuk makro (gram/pohon)


(bln) Urea SP 36 KCl
3-4 35 15 20
4-5 35 20 25
5-6 35 25 30
6-17 35 30 35
3.4.6. Pengairan dan Penyiraman
Pada musim kemarau penyiraman sehari sekali di sore hari. Pada
musim hujan tidak boleh tergenang.
3.4.7. Pemberian Mulsa
Usia 3-5 bulan, beri mulsa alami berupa dedaunan tanaman tahunan
ataupun alang-alang.
3.4.8. Penggunaan Tajar ( Ajir)
Sebaiknya gunakan tajar mati dari bahan kayu. Pangkal tajar
diruncingkan, bagian ujung dibuat cabang untuk menempatkan batang
lada yang panjangnya telah melebihi tinggi tajar. Panjang tajar 2,5-3
m.
3.5. Hama dan Penyakit
3.5.1. Hama
a. Hama Penggerek Batang (Laphobaris Piperis)
Ciri: berwarna hitam, ukuran 3-5 mm. Serangga dewasa lebih suka
menyerang bunga, pucuk daun dan cabang-cabang muda.
Akibat lain bila Nimfanya (serangga muda) berupa ulat akan
menggerek batang dan cabang tanaman. Pengendalian:
memotong cabang batang; penyemprotan PESTONA.
b. Hama bunga
Ciri: Serangga dewasa berwarna hitam, sayap seperti jala,
terdapat tonjolan pada punggungnya, ukuran panjang tubuh
4,5 mm dan lebar 3 mm. Gejala: serangga dewasa/nimfanya
menyerang bunga berakibat bunga rusak dan menimbulkan
kegagalan pembuahan, siklus hidupnya sekitar 1 bulan.
Pengendalian: penyemprotan PESTONA, serta dapat juga
dilakukan pemotongan pada tandan bunga.
c. Hama buah
Ciri: serangga berwarna hijau kecoklatan, nimfanya tidak bersayap,
berwarna bening dan empat kali ganti kulit. Serangga dewasa
atau nimfanya menyerang buah sehingga isi buah kosong.
Telurnya biasa diletakkan pada permukaan daun atau pada
tandan buah, siklus hidupnya sekitar 6 bulan. Pengendalian:
musnahkan telur dipermukaan daun, cabang, dan yang ada
pada tandan buah. Gunakan PESTONA.

3.5.2. Penyakit
a. Penyakit busuk pangkal batang (BPP)
Penyebab: jamur Phytopthora Palmivora Var Piperis. Gejala: awal
serangan sulit diketahui. Bagian yang mulai terserang
pada pangkal batang memperlihatkan garis-garis coklat
kehitaman dibawah kulit batang. Daun berubah warna
menjadi layu (berwarna kuning). Pencegahan :
penanaman jenis lada tahan penyakit BPB. Pemberian
Natural Glio sebelum dan sesudah tanam.
b. Penyakit kuning
Penyebab: tidak terpenuhinya berbagai persyaratan agronomis
serta serangan cacing halus (Nematoda) Radhophalus
similis yang mungkin berasosiasi dengan nematoda lain
seperti Heterodera SP, M incognita dan Rotylenchus
Similis. Gejala: menyerang akar tanaman lada, ditandai
menguningnya daun lada, akar rambut mati, membusuk
dan berwarna hitam. Cepat lambatnya gejala daun
menguning tergantung berat ringannya infeksi dan
kesuburan tanaman. Pengendalian: Pemberian pupuk
kandang, pengapuran, pemupukan tepat dan
seimbang, pemberian Natural Glio sebelum dan
sesudah tanam.
Catatan : Jika pengendalian hama penyakit dengan menggunakan
pestisida alami belum mengatasi dapat dipergunakan
pestisida kimia yang dianjurkan. Agar penyemprotan
pestisida kimia lebih merata dan tidak mudah hilang oleh air
hujan tambahkan Perekat Perata AERO 810, dosis + 5 ml
(1/2 tutup)/tangki. Penyemprotan herbisida (untuk gulma)
agar lebih efektif dan efisien dapat di campur Perekat
Perata AERO 810, dosis + 5 ml (1/2 tutup)/tangki.

3.6. Panen

3.6.1. Ciri dan Umur Panen


Panen pertama umur tiga tahun atau kurang. Ciri-ciri: tangkainya
berubah agak kuning dan sudah ada buah yang masak (berwarna
kuning atau merah).
3.6.2. Cara Panen
Pemetikan dari buah bagian bawah hingga buah bagian atas, dengan
mematahkan persendian tangkai buah yang ada diketiak dahan.
3.6.3. Periode Panen
Periode panen sesuai iklim setempat, jenis lada yang ditanam dan
intensitas pemeliharaan
Budidaya Lada Dengan Tiang Panjat
Pembudidayaan lada dengan tiang panjat memerlukan tahapan kegiatan antara lain, persiapan lahan,
penanaman, pemupukan, dan perawatan. Tahapan kegiatan tersebut merupakan teknis budidaya yang
harus dilakukan dengan baik.

A.PERSIAPAN LAHAN TANAMAN LADA

Teknis persiapan lahan untuk pembudidayaan lada berbeda-beda sesuai topografi dan jenis tanah.
Bahkan pembukaan lahan baru dan peremajaan tanaman berbeda cara persiapan lahannya. Tahap-
tahap persiapan lahan:

1.Pembersihan Lahan

Pembersihan lahan merupakan kegiatan awal dalam pengolahan tanah. Biasanya pada lahan bukaan
baru sering ditumbuhi oleh segala jenis gulma, semak, dan pepohonan. Oleh karena itu, semak, gulma,
dan pepohonan ini harus disingkirkan. Kegiatan ini dilakukan saat musim kemarau.

Untuk lahan yang ditumbuhi alang-alang dan pepohonan kecil, kegiatan pembersihan bukan hanya
menebang pohon dan alang-alang, tetapi juga pembuangan tunggulnya. Namun bila lahan hanya
ditumbuhi alang-alang, selain secara manual, cara kimiawi pun dapat dilakukan, yaitu dengan
penyemprotan herbisida sistematik. Cara ini dilakukan bila vegetasi alang-alang cukup luas. Untuk lahan
yang ditumbuhi hutan sekunder, pepohonan dibersihkan dengan cara ditebang, dibongkar tunggulnya,
lalu dibakar.

2.Pengolahan Tanah Pertama.

Setelah bersih dari gulma, semak dan pepohonan, tanah dioalah dengan cara dicangkul, ditraktor, atau
dibajak sesuai kondisi lahan. Lahan bervegetasi alang-alang dan pepohonan kecil diolah dua kali dalam
waktu sebulan. Sementara lahan bervegetasi hutan sekunder diolah tiga kali dalam waktu satu bulan.
Setelah diolah tanah dibiarkan selama dua minggu lalu digaru.

Setelah diolah, tanah diratakan dan dibagi menjadi beberapa petakan, misalnya beruuran 5m x 5m.
Petakan dibuat supaya pengelolaan tanaman menjadi lebih mudah. Pembentukan petakan harus
memperhatikan garis tinggi (kontur) dan kemiringan lahan. Derajat kemiringan tanah optimum untuk
dibuatkan petakan adalag 15 derajat Celcius. Setiap petakan dilingkari oleh jalan dengan lebar sekitar
satu meter. Selain jalan, perlu juga dibuat parit untuk drainase dengan kedalaman 60 cm dan lebar 40
cm. Parit berfungsi untuk mencegah terjadinya genangan dan memudahkan peresapan air kedalam
tanah.

Pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15 derajat, perlu dibentuk teras. Teras dibuat untuk mencegah
terjadinya erosi. Lebar teras disesuaikan dengan kemiringan lahan. Pada umumnya teras dibuat selebar
200 cm tegantung topografi lahanya. Ada dua jenis teras yang dapat dibuat, yaitu teras individu dan
teras bersambung. Teras individu dibuat pada lahan lereng dengan ukuran 2m x 2m dan dibuat miring
kearah berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Sementara teras bersambung dibuat bersambung
sesuai garis kontur.

Selain dibuat teras, pada lahan kering juga harus dibuat lubang-lubang penampung air (rorakan)
dibawah teras. Fungsi rorakan ini adalah untuk menampung air, memudahkan air hujan meresap
kedalam tanah, menghindarkan genangan air, dan mencegah erosi. Rorakan dibuat setiap 12-24 cm
dengan panjang 2 – 4 m, lebar 20 cm dan kedalaman 20 cm.
3.Pengolahan Tanah Kedua

Setelah dibuat petakan atau teras, tanah perlu diolah kembali sebelum dibuat lubang tanam.
Pengolahan tanah kedua ini dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk perakaran tanaman lada.
Lada tidak berakar tunggang, tetapi dapat masuk kedalam tanah hingga 1-2 meter. Oleh karena itu
pengolahan tanah tidak perlu terlalu dalam, cukup dilakukan pada tanah bagian atas. Yaitu pada
ketebalan 30-35 cm.

Pengolahan tanah diawali dengan pencangkulan lapisan tanah atas sedalam satu cangkulan dan lebar.
Tanah ini disisihkan kesamping, Lalu tanah lapisan berikutnya dicangkul hingga menjadi cerul atau
gembur. Setelah gembur, masukan pupuk organik atau pupuk dasar berupa fosfat alam. Fosfat alam
berfungsi menyediakan zat fosfat dalam jangka panjang dan memperbaiki kemasaman tanah. Setelah
itu, tanah lapisan pertama dikembalikan keatas tanah lapisan kedua.Dengan cara inimaka lapisan top
soil akan kaya bahan organic, cukup mengandung zat fosfat, gembur, tidak mengalami erosi, tidak
mudah tergenang air dan tingkat kemasaman tanah menjadi lebih baik.Kondisi ini akan sangat
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman lada.

4.Pembuatan Bedengan

Setelah tanah diolah, lahan dibuat bedengan.Bedengan ini hanya dibuat pada tanah datar atau agak
miring. Sementara pada tanah miring tidak perlu dibuat bedengan karena sudahberupa teras. Bedengan
dibentuk dengan cara dibuat guludan-guludan. Jarak antar guludan sekitar 2 m dengan kedalaman
sekitar 30 cm. Guludan juga berfungsi sebagai saluran pembuangan air. Dengan adanya guludan maka
akan terbentuk bedengan-bedengan.

5.Pembuatan Lubang Tanam

Lubang tanam dibuat ditengah bedengan. Ukuran lubang tanam bagian atas 35 cm x 35 cm hingga 40 cm
x 40 cm. Sementara bagian bawah lubang menyempit. Jarak antar lubang tanam tergantung jenis panjat.
Apabila panjat berupa tanaman hidup, jarak antar lubang 2,5 – 3,5 cm sesuai kesuburan
lahan.Sementara bila panjat berupa kayu gelondongan , kayu ulin, atau tiang beton, jarak antar lubang
cukup 2 m. Setelah lubang dibuat, campur tanah hasil galian dengan pupuk kandang. Lalu, campurkan
tanah hasil galian dengan pupuk kandang. Lalu, campuran tanah ini ditimbun dalam lubang.

B.PERSIAPAN PANJAT TANAMAN LADA

Ada dua jenis panjat tanaman lada, yaitu panjat hidup dan panjat mati. Masing-masing panjat memiliki
keuntungan dan kerugian tersendiri, disini saya hanya membahas tentang panjat hidup saja.
1.Panjat Hidup Lada

Panjat hidup berupa tanaman yang digunakan untuk memanjatkan tanaman lada. Panjatan hidup dapat
ditanam beberapa bulan lada atau bersamaan dengan penanaman lada. Ada beberapa jenis tanaman
yang dapat digunakan sebagai panjatan, diantaranya dadap, lamtoro gung, kapok, dan kalikiria. Selain
itu , ada juga yang menggunakan tanaman buah-buahan sehingga ada hasil tambahan dari panjatan
hidup tersebut.

Dadap merupakan panjatan hidup yang paling disukai petani lada, terutama petani kecil. Alasanya
karena pertumbuhannya tergolong cepat, mudah diperoleh, murah, dan dapat ditanam bersamaan
penanamannya dengan penanaman bibit lada. Lamtoro gung memang belum banyak digunakan sebagai
panjat tanaman lada. Namun, karena pertumbuhannya cepat dan kondisi tanamannya yang kuat maka
lamtoro gung dapat dipertimbangkan sebagai panjatan. Aapalagi lamtoro gung menghasilkan daun yang
cukup banyak dan dapat dimanfaatkan sebagai mulsa tanaman lada.
Kapok juga dapat digunakan sebagai panjatan karena perakarannya kuat. Hanya saja, karena
perakarannya sangat kuat maka dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan lada. Kalikiria
merupakan tanaman pagar hidup yang banyak dimanfaatkan sebagai penahan angin. Tanaman ini
mudah membentuk batang pokok ganda maupun tunggal.Daun dan cabangnya udah dipangkas untuk
memperkaya nitrogen tanah dan bahan organik. Pertumbuhan kalikiria sangat cepat dan dengan mudah
ditanam dari stump biasa sepanjang sekitar satu meter, dengan diameter 3-5 cm. Oleh karena akar
lateralnya cukup tebal maka dikhawatirkan akan mudah terjadi persaingan pertumbuhan akar.

C.PENAMAN TANAMAN LADA

Kegiatan awal proses penanaman adalah penyiapan bibit. Bibit paling baik adalah berupa setek. Panjang
setek sekitar tujuh ruas. Setelah disiapkan,pada bekas galian lubanng tanam dibuat lubang barudengan
ukuran 20 cm x 20 cm.

Selanjutnya bibit stek dimasukan kedalam lubang tanam dengan posisi dasar stek berada dibagian
bawah hingga kedalaman sekitar 10-30 cm atau sekitar empat ruas. Setek diletakkan dengan posisi 45
derajat celcius mengarah ketiang panjat. Setelah itu lubang ditutup kembali dengan tanah halus.
Usahakan penimbunan tanah agak diletakan agar posisi bibit menjadi kuat. Tanah yan ditimbun
dibentuk agak cembung. Sementara sisa ruas setek dibagian luar lubang tanam diikat pada panjatan
sementara atau permanen.

Umumnya musim tanam lada jatuh pada bulan November - Januari sehingga penyiraman bibit sesudah
tanam bukan merupakan keharusan. Hanya saja pada periode tersebut dapat saja terjadi
kekeringan.Tindakan yang dapat dilakukan agar bibit tidak mengalami kekeringan adalah penanaman
lebih dari satu bibit. Untuk menghindari dari sinra matahari sementara agar tanaman tidak lay dan mati,
perlu adanay pelindung bagi tanaman misanya berupa pakis andam atau resam.

D.PEMELIHARAAN TANAMAN LADA

Tujuan pemeliharaan tanaman lada secara keseluruhan antara lain untuk mengoptimalkan kondisi
lingkungan dan produksi serta menjaga kondisi lahan dan tanaman. Adapun beberapa tindakan
pemeliharaan tanaman adalah penjagaan kondisi lahan, pengaturan, pertumbuhan tanaman,
pemangkasan, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit.
RAGAM TEKNOLOGI BUDIDAYA LADA

M. Syakir

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan salah satu tanaman rempah-rempah dimana negara rodusen
terbesar di dunia adalah Indonesia, India, Malaysia dan Brasil. Secara tradisional tanaman lada
diperbanyak dari sulur panjat, sehingga dalam budidaya memerlukan tiang panjat yang dapat berupa
tegakan mati atau tegakan hidup. Dari hasil manipulasi teknologi agronomi tanaman lada dapat
dikembangkan dari cabang buah yang menghasilkan lada perdu. Tanaman lada yang dibudi dayakan
dengan menggunakan tiang panjat mati ada kecenderungan memperlihatkan pertumbuhan dan
produksi lebih tinggi, namun umur produktif lebih pendek dan biaya investasi awal usaha tani lebih
mahal, karena tiang panjat mati yang tahan lama harganya lebih mahal dan ketersediannya semakin
sulit. Budidaya lada yang menggunakan tiang panjat hidup, manakala tidak dilakukan pemilihan tiang
panjat hidup yang tepat dan tidak dilakukan pemangkasan tiang panjat hidup secara teratur dapat
menyebabkan pertumbuhan dan pro-duktivitas tanaman ladanya lebih rendah akibat dari terjadinya
kompetisi dalam hal sinar matahari, unsur hara, air, CO2, dan ruang bahkan dapat menyebabkan efek
alelopati tiang panjat hidup terhadap tanaman ladanya. Dari pengam atan di lapangan tanaman lada
yang menggunakan tiang panjat hidup memiliki umur produktif lebih lama dan manakala dilakukan
pemeliharaan yang intensif, maka tanaman lada yang dibudidayakan dengan tiang panjat hidup memiliki
tingkat produkti vitas yang sama dengan lada yang dibudidayakan dengan menggunakan tiang panjat
mati. Tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan potensi dari berbagai ragam teknologi budidaya
tanaman lada sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memilih jenis teknologi budidaya
yang tepat dalam pengembangan tanaman lada.

Kata kunci : Piper nigrum L, lada, lada perdu, tiang panjat mati, tiang panjat hidup, potensi, budidaya
ABSTRACT Technology of Black Pepper Cultivation

Black pepper plant (Piper nigrum L.) is one of spice plants. The largest producing countries in the
world are Indonesia, India, Malaysia and Brazil. Black pepper plants are tradionally multiplied fro m cli
mbing shoots, so that in cultivation they require climbing poles in the form of dead or alive poles. From
the results of agronomy technological manipulation, black pepper plants can be developed from fruit
branches which produce clump black pepper. The use of dead climbing poles tend to show the higher
growth and production, however, the productive age is shorter and the cost is more expensive. The use
of alive climbing poles need proper selection of plant poles. This is due to competition in terms of
sunshine, nutrients, water, CO2 and space. Unprop er poles will decrease growth and productivity as
well as side effect of alive climbing poles , moreover can cause allelopaty effect of alive climbing pole on
black pepper plants. From observation in the field, black pepper plants use alive climbing poles have
longer productive age. I ntensive maintenance of black pepper plant cultivated with alive climbing
poles have the same productivity with black pepper plants which are cultivated by using dead
climbing poles. This pepper aims to show the potency of various kinds of black pepper plant cultivation
technology, so that it will be useful in selecting the kind of exact cultivation technology in
development of black pepper plants.

Keywords : Black pepper, clump black pepper, cultivation, alive climbing poles, dead climbing poles,
Piper nigrum L., potency

PENDAHULUAN

Lada merupakan salah satu produk tertua dan terpenting dari produk rempah- rempah yang
diperdagangkan di dunia. Theophratus yang hidup 372-287 SM (sebelum masehi), menyebutkan dua
jenis lada yang telah digunakan oleh bangsa Mesir dan Romawi pada waktu itu yaitu lada hitam (Black
pepper) dan lada panjang (Pepper longum ). Purseglove (1968) menyebutkan bahwa lada merupakan
produk pertama yang diperdagangkan antara Barat dan Timur. Pada abad pertengahan tahun 1. 100 –
1. 500 M, perdagangan lada memiliki kedudukan yang sangat penting. Pada waktu itu lada digunakan
sebagai alat tukar dan mas kawin, selain untuk keperluan rempah- rempah. Tanaman lada (Piper nigrum.
L) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peluang strategis dalam system usaha
perkebunan, baik secara ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi lada dapat menjadi salah satu sumber
utama pendapatan petani dan devisa negara sektor non migas, sedangkan secara sosial merupakan
komoditas tradisional yang telah dibudidayakan sejak lama dan keberadaannya merupakan penyedia
lapangan kerja yang cukup luas terutama di daerah sentra produksi. Usaha tani lada di Indonesia
umumnya diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada dekade terakhir turunnya harga lada
bukan hanya disebabkan persaingan antar negara- negar a produsen, seperti Indonesia, Malaysia,
India, dan Brazil, tetapi juga disebabkan oleh munculnya negara-negara baru penghasil lada seperti
Thailand, Srilanka, dan Vietnam. Di sisi lain semakin kritisnya negara- negara konsumen terhadap mutu
lada turut memperkuat terjadinya persaingan untuk merebut pangsa di pasaran internasional seperti
kekhawatiran konsumen akan adanya residu pestisida dan kontaminasi mikroba seperti Escherichia
coli, Salmonolla spp. dan jamur yang menghasilkan defatoksin. Untuk mempertahankan produk lada
sebagai salah satu komoditas ekspor non migas andalan, upaya antisipatif yang dilakukan, tentunya
tidak hanya pada peningkatan produktivitas, melainkan lebih difokuskan pada perbaikan teknologi
budidaya dan mutu lada yang memiliki keunggulan dalam menekan biaya produksi dan meningkatkan
kualitas hasil.

BUDIDAYA LADA DENGAN TEGAKAN HIDUP

Tegakan hidup pada umumnya digunakan pada budidaya tanaman lada secara ekstensif dan semi
intensif. Penggunaan tegakan hidup pada budidaya lada yang intensif saat ini belum dilakukan dan
masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Tidak semua jenis tanaman dapat dipakai sebagai tegakan
lada. Wahid dan Yuf di (1989) menyarankan tegakan hidup hendaknya memiliki sifat :

a) Berumur panjang

b) Memungkinkan akar lada melekat dengan baik

c) Efek negatif terhadap tanaman lada tidak begitu besar, seperti adanya kompetisi akan hara, air dan
CO2, efek alelopati

d) Mudah dan cepat tumbuh serta tahan pangkas

e) Murah dan mudah diperoleh Zaubin (1992) menambahkan bahwa lingkar batang jangan terlalu
besar, relatif tahan terhadap hama dan penyakit, tidak menjadi inang hama dan penyakit lada, dari
famili legumi-noseae dan mempunyai perakaran yang dalam.

Tegakan hidup memberikan naungan sehingga kondisi iklim mikro dibawahnya ikut terpengaruh yang
berakibat pada seluruh aspek agronomis tanaman dibawahnya. Oleh karena itu, budidaya lada dengan
tegakan hidup sifatnya sangat kompleks dan memerlukan pertimbangan- pertimbangan yang cermat.
Pengenalan sifat- sifat dan kebutuhan tanaman lada perlu dikuasai untuk dijadikan sebagai acuan dalam
memanipulasi tegakan hidup. Tegakan hidup yang populer adalah tanaman glirisidia atau gamal
(Gliricidia maculata) dan dadap cangkring (Erythrina fusca). Kedua jenis tanaman ini termasuk famili
leguminoseae yang toleran terhadap hama dan penyakit yang menyerang tanaman lada. Karena
tanaman ini diperbanyak dengan setek, maka perakarannya dangkal sehingga menimbulkan kompetisi
unsur hara dan air dengan tanaman lada. Meskipun biomas yang dihasilkan tanaman dadap melalui
pemangkasan tidak sebanyak yang dihasilkan oleh tanaman glirisidia, namun perakaran dadap disukai
oleh jasad renik tanah yang bermanfaat, seperti rhizobium, mikoriza (Almeida, et al. , 1984; Hasanah et
al ., 1990). Selain itu perakaran dadap mengeluar-kan senyawa-senyawa yang mempu-nyai efek
nematisida (Koshj et al., 1977). Selama ini budidaya tanaman lada dengan tegakan hidup dinilai kurang
baik. Produktivitas tanaman lada relatif rendah akibat kompetisi akan hara, air dan CO2, serta efek
alelopati dan naungan yang berlebih. Berbagai upaya telah dicoba untuk mengurangi efek negatif dari
tegakan hidup melalui manajemen kebun yang baik. Menurut Wahid (1987) tanaman lada
membutuhkan 50-70 % intensitas sinar matahari. Pada intensitas sinar yang rendah laju fotosintesisnya
akan rendah dan serapan unsur-unsur hara juga lambat, yang berakibat poduksi tanaman rendah.
Karena itu disarankan agar tanaman penegak dipangkas 3 kali/tahun selama musim penghujan. Pe-
mangkasan ini hendaknya diatur agar sebaran dan ukuran percabangan dapat merata sehingga dapat
diperoleh cahaya dengan intensitas yang cukup untuk fotosintesa. Disarankan agar tinggi tegakan hidu
p 1½ kali jarak tanamnya.Hasil pemangkasan, berupa biomas, dapat bermanfaat untuk menambahkan
organik tanah, menghalangi permukaan tanah dari terpaan air hujan, mengurangi perkembangan dan
penyebaran penyakit, mempengaruhi iklim mikro dalam kebun dan meningkatkan efektifitas dan
efisiensi penggunaan pupuk anorganik (Zaubin, 1992). Intensitas pemangkasan tegakan hidup
menunjukkan korelasi yang negatif dengan pemangkasan sulur lada selama fase vegetatif sampai umur
2 tahun. Wahid dan Daras (1988) membuktikan bahwa apabila tegakan hidup (glirisidia) dipangkas 3
kali/tahun, maka tanaman lada cukup dipangkas sekali saja yaitu pada umur 12 bulan setelah tanam.
Apabila tegakan hidup dipangkas 2 kali/tahun, maka sulur tanaman lada perlu dipangkas secara intensif
sebanyak 6 kali. Selain itu Zaubin (1992) menyarankan agar pemupukan tanaman lada dilakukan 2-3
minggu setelah pemangkasaan tegakan hidup, saat tegakan masih mengalami stress dan tidak menjadi
saingan bagi tanaman lada.

BUDIDAYA LADA DENGAN TEGAKAN MATI

Ada kecenderungan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman lada lebih baik apabila menggunakan
tegakkan mati dari pada tegakan hidup. Pada budidaya lada dengan tegakan mati tidak ada persaingan
akan unsur-unsur hara, air dan CO2,selain itu tanaman lada mendapat intensitas sinar matahari yang
tinggi sehingga laju fotosintesisnya dipacu. Beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh tegakan
mati adalah :

a) Tahan lama

b) Permukaannya agak kasar

c) Diameter tegakan tidak terlalu besar

d) Relatif tahan terhadap hama dan penyakit

e) Tidak menyerap panas matahari terlalu banyak

f) Relatif murah dan mudah diperoleh

Masalah pada penggunaan tegakkan mati adalah tingginya harga dan terbatasnya tegakan mati yang
baik seperti kayu besi, mendaru dan melangir yang dapat bertahan sampai ± 15 tahun. Tegakan ini
diambil dari bagian tengah pokok tanaman yang cukup tua sehingga kayu yang diperoleh sangat keras
dan cukup tahan terhadap serangan hama, seperti rayap, ngengat, dan sebagainya. Tegakan yang relatif
murah, seperti kayu pelawan, gelam, seru, hanya bertahan 2- 4 tahun. Selain itu adanya larangan
penebangan pohon-pohon dihutan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan hidup makin
membatasi ketersediaan kayu untuk tegakan mati. Masalah keterbatasan akan tegakan mati ini dapat
diatasi, antara lain dengan menggunakan bahan pengawet pada kayu yang relatif murah, menggunakan
pipa paralon atau beton. Pemilihan jenis pengawet kayu hendaknya memperhatikan pengaruhnya
terhadap peningkatan daya tahan kayu dan efek negatif yang mungkin ditimbulkan terhadap tanaman
lada. Sedang tegakan dari pipa paralon dan beton perlu memperhatikan kekasaran permukaan dan daya
serapnya terhadap suhu yang dapat mempersulit sulur tanaman lada untuk memanjat. Upaya untuk
menjawab permasalahan tegakan mati tersebut telah dimulai di Bangka tahun 1974 dengan cara
membandingkan tegakan kayu, beton, tanaman dadap dan kapok terhadap pertumbuhan dan produksi
beberapa varietas lada. Ternyata tegakan lada mulai yang terbaik adalah tegakan kayu yang tidak
berbeda nyata dengan tegakan pohon dadap, tegakan pohon kapok dan tegakan beton (Zaubin et al. ,
1990). Disini diperoleh petunjuk bahwa pengaruh penggunaan tegakan hidup pohon dadap sama
baiknya seperti kayu mati. Selanjutnya Wahid dan Yufdi (1989) melaporkan bahwa untuk menghemat
penggunaan tegakan kayu dapat dilakukan kombinasi 58 % tegakkan kayu (mendaru) dengan 42 %
tegakan hidup (glirisidia). Selain itu penggunaan bahan pengawet pada tegakan kayu yang relatif murah
dan masih dalam taraf penelitian awal. Hasil sementara menunjukkan adanya harapan untuk
menggunakan bahan pengawet tertentu asalkan tidak mengandung senyawa-senyawa yang dapat
merugikan pertumbuhan tanaman lada (Dhalimi dan Ray, 1995). Pipa paralon PVC sebesar tegakan
tanaman lada pernah dicoba di PTP XXIII, tetapi karena permukaannya yang licin akar tidak dapat
melekat dengan baik (Wahid dan Yufdi, 1989). Pengunaan tegakan beton di perkebunan lada yang
dikelola oleh Missie- Bangka sudah dimulai sejak 1949, namun perkem-bangannya kurang baik karena
mem-butuhkan waktu dan tenaga yang relatif bany ak. Di Lampung Selatan peng-gunaan tegakan beton
menunjukkan hasil yang cukup baik apabila disekitar tegakan ditanami tanaman yang dapat memberi
naungan kepada tegakan beton. Dengan pola tanam campur lada dengan pepaya (Carica papaya),
pisang (Musa. sp) dan tanaman hor-tikultura lainnya tegakan beton tampak-nya memberti harapan
baik.

BUDIDAYA LADA PERDU

Sebagai alternatif dalam budi-daya lada, budidaya lada perdu mampu menekan biaya produksi sehingga
meningkatkan efisiensi usaha tani lada. Keunggulan-keunggulan komparatif budidaya lada perdu
terhadap budidaya lada dengan tiang panjat antara lain :

1) Lebih efisien dalam penggunaan bahan tanaman untuk perbanya-kan

2) Tidak memerlukan tiang panjat

3) Populasi tanaman per satuan luas (4.000 – 4.500 tanaman/ha) lebih banyak, sehingga penggunaan
lahan lebih efisien.

4) Pemeliharaan dan panen lebih mudah

5) Dapat berproduksi lebih awal (umur 2 tahun), dan

6) Dapat ditanam dengan pola tanam campuran atau tumpang sari dengan tanaman tahunan lainnya
(Syakir dan Zaubin, 1994; Dhalimi et al., 1998).Syakir et al. (1998) dan Wahid etal. (1999) melaporkan
bahwa berdasar-kan analisis keuntungan sosial bersih pada beberapa komoditas perkebunan, lada
perdu menghasilkan manfaat ekonomi paling besar, dibandingkan lada tiang panjat mati, kelap a sawit,
kakao, kopi, dan karet.

Di samping itu telah dilakukan pula analisis sumber daya dalam negeri (BSD) dan keung-gulan
komparatif lada perdu terhadap komoditas- komoditas perkebunan ter-sebut di atas. Analisis BSD
merupakan varia-bel yang dapat digunakan untuk meng-ukur besarnya biaya sumber daya da-lam negeri
yang harus dikorbankan (dalam rupiah) untuk memperoleh satu satuan devisa. Apabila lebih kecil dari-
pada nilai tukar bayangan atau rasio keduanya kurang dari 1, maka investasi tersebut dikatakan efisien.
Semakin ke-cil rasionya menunjukkan komoditas tersebut makin memiliki keunggulan komparatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa lada perdu memiliki nilai BSD dan rasio yang paling kecil diban-dingkan
komoditas perkebunan lain-nya. Dengan demikian dari korbanan dalam negeri, lada perdu merupakan
usaha tani yang paling efisien dan memiliki keunggulan komparatif paling besar. Hasil penelitian
Rosmeilisa et al. (1999) di Kabupaten Bangka juga menunjukkan bahwa usaha tani lada perdu memiliki
tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan lada tiang panjat mati. Walaupun produk-sinya lebih
rendah, tetapi biaya pro-duksi lada perdu jauh lebih rendah dibandingkan biaya produksi lada tiang
panjat mati. Secara teknis perbedaan antara budidaya lada perdu dengan lada tiang

panjat terletak pada aspek agronomi yang meliputi : penyiapan dan perba-nyakan bahan tanaman,
pendederan dan pembibitan, pemeliharaan, dan panen. Sedangkan untuk aspek pengen-dalian dan
penyakit serta pasca panen lada perdu, pada dasarnya s ama dengan yang diterapkan pada lada tiang
panjat. Untuk itu penjelasan budidaya lada per-du akan lebih ditekankan pada aspek agronominya. Lada
perdu diperoleh dari perba-nyakan secara vegetatif (setek) cabang buah tanaman lada. Pengambilan
setek pada kondisi yang cocok untuk akumu-lasi fotosintat akan menghasilkan setek dengan perakaran
yang baik. Hasil penelitian Syakir et al. (1994) menun-jukkan bahwa pengambilan s etek an-tara pukul
11.00 – 12.00 merupakan waktu yang paling baik untuk pertum-buhan akar dan tunas setek lada
perdu mengingat pada saat kandungan karbo-hidrat tanaman paling tinggi. Bahan tanaman yang dipilih
ter-sebut sebaiknya tidak terlalu tua. Setek bahan tanaman dapat disiapkan dengan dua cara yaitu;
setek cabang bertapak dan setek cabang buah. Pada setek cabang bertapak bahan tanaman berasal
dari cabang primer deng an 3- 4 daun dengan menyertakan satu buku sulur panjat haus dibuang agar
tidak terben-tuk kembali sulur panjat. Sementara itu setek cabang buah berasal dari cabang buah
primer, sekunder, dan tersier (Syakir, 1996). Namun demikian untuk setek cabang buah sebaiknya
berasal dari cabang buah sekunder (2- 3 buku) dengan 2 – 4 tahun karena menghasil-kan persentase
tumbuh yang lebih baik (Suparman dan Sopandi, 1988). Untuk mamacu pertumbuhan dan memperkecil
tingkat kematian se-tek lada di pembibitan, perlu dilakukan perlakuan pendahuluan. Bagian basal
setek (± 5 cm) diberi 3-4 keratan me-lingkar dan bagian pangkal setek dipo-tong tepat diatas buku atau
bagian interkalari. Selanjutnya bagian setek yang dikerat dicelupkan ke dalam larut-an H2SO4 2 %
selama 30 – 60 detik, kemudian setek direndam dalam larut-an IBA 2 % - sukrosa 2 % selama 4 jam
(Zaubin et al., 1992). Perlakuan pendahuluan dapat pula dilakukan de-ngan cara merendam setek dalam
larut-an air kelapa 25 % selama 12 jam (Syakir et al. , 1993). Lama setek di pembibitan 6 – 9 bulan dan
bunga/buah yang berbentuk harus dibuang/dirompes. Selama setek di pendederan dan pembibitan
perlu di beri naungan/sungkup warna merah (Syakir, 1996; Zaubin dan Supardijono, 1994). Sebelum
dilakukan penanaman perlu dibuat lubang tanam dengan jarak 1,5 x 1,5 m. Hasil penelitian Barus (1998)
menunjukkan bahwa ukuran lubang tanam hanya berpengaruh ter-hadap komponen pertumbuhan
vege-tatif lada perdu, sedangkan terhadap produksi tidak berpengaruh nyata. Ukuran lubang tanam
yang dianjurkan yaitu panjang 40 cm, lebar 40 cm, dalam 40 – 60 cm, dan bagian atas tanah dicampur
dengan pupuk kandang 5 – 10 kg/lubang tanam. Untuk mene-kan tingkat kematian bibit,
penanamansebaikny a dilakukan saat musim hujan dan perlu diberikan naungan secukup-nya. Naungan
dapat dikurangi secara bertahap sampai tanaman dapat tumbuh baik. Pemeliharaan lada perdu me-
liputi : penyiangan dan peggemburan tanah, perompesan bunga, pemupukan, pemberian mulsa,
pembuatan para-para, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan secara terbatas,
yaitu hanya di sekitar tajuk tanaman dan dilakukan bersamaan dengan penggemburan tanah. Wahid et
al. (1999) melaporkan bahwa budidaya lada perdu pada intensitas radiasi 100 % (cahaya penuh)
dan/atau jenis tanah dengan kesuburan sedang dan/ atau curah hujan 2.500 – 3.000 mm/tahun,
dianjurkan menggu-nakan varietas Petaling 1 dengan taraf pemberian hara 400 gr NPK
Mg/tanaman/tahun. Sedangkan pada inten-sitas radiasi 50 –75 % dan/atau jenis ta-nah dengan
kesuburan ≥ sedang de-ngan taraf pemberian 600 g NPK Mg/tanaman/tahun. Pada tahun pertama
pupuk diberikan setengah rekomendasi, sedangkan pada tahun kedua dan selan-jutnya pupuk diberikan
dengan dosis penuh. Pemupukan dilakukan selama musim hujan dan dibagi dalam 3 kali agihan degnan
perbandingan 2:3:5 pa-da tahun pertama, 5:3:2 pada tahun kedua dan selanjutnya. Pemupukan un-tuk
setiap agihan dilakukan dengan selang pemberian 40 hari. Untuk tanaman muda pupuk diberikan
dengan cara alur (melingkar), sedangkan pada tanaman berumur lebih dari 2 tahun diberikan dengan
cara larikan sesuai ukuran tajuk tanaman. Selanjutnya pemberian pupuk kandang 5 – 10 kg/tanaaman
dan mulsa dapat dilakukan pada setiap awal musim kemarau. Pada tanaman lada perdu dewasa
umumnya tajuk sampai ke permukaan tanah. Kondisi tersebut memudahkan terjadinya serangan
penyakit busuk pangkal batang yang dapat menyebar melalui alirang air di permukaan tanah. Untuk
mencegah hal tersebut dapat dibuatkan penyanhha berupa para- para. Penggunaan para- para cukup
penting terutama pada daerah yang memiliki tipe iklim A dan B (curah hujan dan kelembaban udara
cukup tinggi). Selama 12 bulan setelah tanam semua bunga/buah yang terbentuk ha-rus dibuang
/diromperss. Hal ini dimak-sudkan agar pertumbuhan vegetatif ta-naman tidak terganggu oleh fase
gene-ratif. Mulai tahun ke- 2 perompesan bunga dihentikan dan bunga dipelihara sampai membentuk
buah. Apabila hasil lada akan dijadikan lada hitam, buah dianggap masak petik jika butir- butir buah
dalam tandannya sudah mencapai ukuran normal, cukup keras (sukar dihancurkan tangan), dan
berwarna hijau sampai hijau kekuning-an. Waktu yang dibutuhkan sampai dengan masak petik tersebut
biasanya mencpai 7 – 8 bulan setelah pem-buangan (Syakir, 1996). Dari beberapa hasil penelitian dan
pengamatan di lapangan, kisaran produksi yang dapat dicapai lada perdu adalah sebagai berikut : umur
1 tahun 0 g/tanaman, umur 2 tahun 80 – 160 g/tanaman, umur 3 tahun 160 – 250 g/tanaman , dan
umur 4 tahun 250 – 320 g/tanaman. Sementara itu Yuhono et al.(1994) melaporkan bahwa di Kabu-
paten Ciamis lada perdu umur 15 tahun masih dapat menghasilkan 500 g/tanaman. Berdasarkan
karakter morfologi, fisiologi, dan lingkungan tumbuhnya, lada perdu sangat berpotensi untuk di-
kembangkan dalam berbagai bentuk polatanam. Seperti di bawah tegakan tanaman tahunan atau
dikombinasikan dengan tanaman pangan semusim. Disamping itu lada perdu dapat pula dikembangkan
sebagai tanaman peka-rangan. Pengembangan lada perdu dalam bentuk polatanam, khususnya di
bawah tegakan tanaman tahunan memiliki be-berapa keuntungan, diantaranya :

1. Dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan.

2. Mampu memberikan nilai tam-bah yang cukup signifikan

3. Risiko kematian tanaman akibat cekaman lingkungan relatif kecil dibandingkan penanaman secara
monokultur (tanpa naungan).

Berdasarkan kebutuhan intensi-tas radiasi surya, lada perdu sebaiknya dikembangkan di bawah tegakan
ta-naman tahunan yang dapat meloloskan radiasi surya 50 - 75 %. Di antara tanaman tahunan
tersebut, kelapa me-rupakan tanaman yang sangat berpo-tensi dan sering dipolatanamkan de-ngan lada
perdu. Pengembangan lada perdu di ba-wah tegakan tanaman tahunan juga dapat menekan tingkat
kematian ta-naman akibat cekaman lingkungan. Hasil penelitian Wahid et al. (1995) menunjukkan
bahwa akibat cekaman air tingkat kematian lada perdu yang ditanam di bawah tegakan kelapa mencapai
28,9 %, sedangkan secara monokultur 34,1 %. Tanaman kelapa merupakan sa-lah satu tanaman yang
potensial untuk dikembangkan pada tanaman lada. Struktur tajuk dan kanopi tanaman ke-lapa
memungkinkan masih dapat me-loloskan energi radiasi surya ke per-mukaan tanah. Darwis (1988),
menge-mukakan bahwa kemampuan melewat-kan radiasi matahari 20 – 50% dapat terjadi pada
tanaman kelapa sampai umur 45 tahun. Namun, biasanya ra-diasi yang lolos sampai ke permukaan
tanah tergantung pada jarak tanam, varietas, pemeliharaan dan tinggi tanaman serta umur tanaman.
Menurut Nair (1983) perakaran kelapa efektif terkonsentrasi tertinggi sampai sejauh 2 m dari pangkal
batang-nya dengan kedalaman 1,5 m. Tanam-an lada memiliki struktur akar yang dangkal engan
perakaran 63,8% ter-konsentrasi pada kedalaman 0- 50 cm dari permukaan tanah (Ippor et al.,1993).
Tanaman tahunan lainnya yang cukup berpotensi untuk dipola tanam-kan dengan lada perdu yaitu
tanaman sengon (Albazia falcataria). Disamping tanaman sengon memiliki bintil akar yang dapat
mengikat nitrogen bebas. Lada perdu selain dipolatanamkan dengan tanaman tahunan, juga dapat
dikombinasikan dengan tanaman pangan semusim, seperti jagung dan kacang tanah. Penanaman dapat
dilakukan dalam bentuk tumpangsari ataupun sistem jalur (Strip cropping). Tanaman jagung yang
menghendaki intensitas cahaya penuh dan memiliki tajuk yang tinggi dapat berfungsi sebagai naungan
bagi lada perdu, sementara itu kacang tanah dapat membantu ketersediaan unsur hara nitrogen. Pada
polatanam tersebut biomass sisa panen jagung dan kacang tanah dapat dikembalikan sebagai sumber
bahan organik, sehingga diharapkan pemberian hara dari pupuk anorganik dapat dikurangi (Syakir et al,
1999).

KESIMPULAN
Pengembangan tanaman lada da-pat dilakukan dengan penerapan tekno-logi budidaya dengan
menggunakan tiang panjat mati, tiang panjat hidup dan lada perdu. Tanaman lada yang dibudidayakan
dengan menggunakan tiang panjat mati memperlihatkan produktivitas lebih tinggi, namun umur
produktif lebih pendek dan biaya investasi awal usahatani lebih mahal. Budidaya lada dengan tiang
panjat hidup, manakala dilakukan pemilihan tiang panjat hidup yang tepat, pemu-pukan, pemangkasan
tiang panjat hidup dan tanaman ladanya secara teratur akan menghasilkan pertumbuhan dan
produktivitas yang tinggi. Budidaya lada perdu memiliki potensi untuk dikembangkan dengan pola
tanam campuran atau tumpangsari dengan tanaman tahunan.

DAFTAR PUSTAKA

Almeida, R.T. de. I Vasconcelos, V.F. Freire, 1984. Occurence of V.A. mycorhizae in soils Ander legume
trees in Ceara. Brazil. Pesquisa Agropecuaria Brasilieira 19 : 281-282.

Barus, J., 1998. Pengaruh usuranlubang tanam dan komposisi bahan organik terhadap pertumbuhan
dan produksi lada perdu. Jornal Pene-litian Tanaman Industri. Vol. 3 (5-6). Bogor : Puslitbangbun : 151-
158.

Darwis, S.N., 1988. Tanaman sela diantara kelapa. Puslitbangtri Seri Pengembangan (2) : 117 h.

Dhalimi, A. dan Amrizal Ray, 1995. Pengaruh tiang panjat dan pe-ngaruhnya terhadap pertumbuhan
lada. Media Komunikasi Pene-litian dan Pengembangan Tanaman Industri No. 15 Jakarta : Balitbang
Pertanian : 75- 77.

Dhalimi, A., M. Syakir dan E. Sur-maini, 1998. Peningkatan efisiensi pemberian hara lada perdu dibawah
tegakan kelapa melalui aplikasi ZPT. Prosiding Konperensi Nasio-nal Kelapa IV. Bandar Lampung, 21- 23
April 1998 : 527 – 532. Puslitbangbtri. Bogor.

Hasanah, Y. Pujiharti dan A. Sukawa,1990. Penelitian pendahuluan mi-noriza pada tanaman lada (Piper
nigrum L.). Makalah disampaikan pada seminar bulanan sub Balittro Natar. 10 h.

Ippor, I.B., A.S. Siti Hajijah dan K. Ahmad, 1993. Preliminary studies of root architecture of pepper (
Pipper nigrum L.) dalam The Pepper Industry Problems and Prospect. Centre for Applied Sciences.
University Agricultura Malaysia. Bintul.

Koshy, P.K, V.K. Sosamma and P. Sundaraju, 1977. Screening of plant used pepper standarts against
rootknot nematode. Indian Phy -top athology 30:128-129.

Nair, P.K.R., 1983. Agroforestry with coconuts and other tropical plan-tation crops plant research and
Agroforestry. Inst. Coconut for Ris in Agroforestry. p. 79- 102.

Purseglove, J.W. et al., 1968. Spice Volume 1. London : Longman : 10- 99.

Rosmeilisa, P. M. Syakir, dan E. Surmaini, 1999. Rentabilitas budi-daya lada perdu dan lada tiang panjat
mati. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 5 (1): 18- 24.

Suparman, U. dan A. Sopandi, 1988. Pertumbuhan bibit lada dari cabang buah primer dan sekunder.
Pemb. Littri XIV (1-2):65- 68.

Syakir, M., M. H. Bintoro, dan A.Y. Daulay, 1993. Pengaruh berbagai zat pengatur tumbuh dan bahan
setek terhadap pertumbuhan setek cabang buah lada. Pemb. Littri. Vol XIX (3- 4) : 59- 65.

Syakir, M. J. Wiroatmodjo, dan E. Rasnasari, 1994. Pengaruh kondisi pohon induk dan waktu pengam-
bilan setek terhadap pertumbuhan setek cabang buah. Tidak dipub-likasi.
Syakir, M. dan R. Zaubin, 1994. Pengadaan bahan tanaman lada perdu. Prosiding Simposium II Pe-
nelitian dan Pengembangan Ta-naman Industri. Puslitbang Tanam-an Industri. Bogor 21 – 23
Nopember 1994 : 161 - 171.

Syakir, M., 1996. Budidaya lada perdu, Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rampah
dan Obat. Bogor. (1): 93- 104.

Syakir, M., P. Rosmeilisa, dan P. Wahid, 1998. Nilai tambah pe-ngembangan lada perdu di antara
tanaman kelapa. Konperensi Nasio-nal Kelapa IV. Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Puslitbang
Tanaman Industri Bogor. 462 – 472.

Syakir, M. , R . Zaubin, E. R. Pribadi, dan Hoerudin, 1999. Pengaruh ber-bagai kombinasi tanaman sela
ter-hadap efisiensi pemberian hara, pertumbuhan, dan produksi lada perdu. Laporan Hasil Penelitian
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Tidak dipubli-kasi.

Wahid P., 1987. Pengaruh Pemupukan dan Pemangkasan Tiang Panjat Hidup terhadap Produktifitas Ta-
naman Lada. Pemb. Littro XII (3-4). 58- 66.

Wahid, P dan U. Daras, 1988. Pengaruh pemangkasan tajar dan tanaman lada terhadap pertumbuh-an
dan produksinya. Makalah di-sampaikan pada seminar bulanan Balitro, 2 Januari 1988. 10 h.

Wahid, P. dan P. Yufdi, 1989. Masalah tiang panjat dalam pembudidayaan tanaman lada. Prosiding
Simpo-sium Hasil Penelitian dan Pengem-bangan Tanaman Industri di Cari-ngin – Bogor, 25- 27 Juli
1989. hal. 560- 568.

Wahid, P., R. Zaubin, M. Syakir, dan P. Rosmeilisa, 1995. Peningkatan produktivitas dan efisiensi teknik
budidaya lada. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. (tidak
dipublikasikan).

Wahid, P., M.H.B. Joefri, M. Syakir, P. Roesmelia, J. Potono, Hermanto, dan E. Surmaini, 1999. Tanggap
beberapa varietas lada perdu ter-hadap serapan hara di bawah ragam intensitas radiasi surya. Dalam
Manipulasi agronomic dalam upaya meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif lada perdu.
Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menteri Riset dan Tekonologi. Jakarta.

Wahid, P., M.H.B. Joefri, M. Syakir, P. Rosmelisa, J. Pitono, Hermanto, dan E. Surmaini, 1999. Analisis
keunggulan komparatif budidaya lada dalam bentuk perdu. Dalam manipulasi agronomik dalam upaya
meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif lada perdu. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV.
Kantor Menteri Riset dan Teknologi. Jakarta.

Yuhono, JT., M. Syakir, S. Kemala dan R. Zaubin, 1994. Keragaan usaha-tani lada perdu di Desa
Belatang, Kabupaten Ciamis. (tid ak dipubli-kasikan).

Zaubin, R., Y. Nuryani dan P. Wahid, 1990. Penggunaan berbagai jenis panjatan untuk tanaman lada di
Bangka. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri XV (4) : 137-141.

Zaubin, R. , R.T. Sunarti, dan E. Sudiadi, 1992. Pengaruh perlukaan dan pemberian H2SO4serta IBA
terhadap pertumbuhan akar setek cabang buah lada. Bul. Littro VII (1): 10- 14.

Zaubin, R., 1992. Pemanfaatan pohon penegak pada usahatani lada (Piper nigrum L) Media Komunikasi
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 11:27- 33.

Zaubin, R. dan Supardijono, 1994. Pengaruh warna sungkup plastic dan konsentrasi perangsang tum-
buh atonik terhadap pertumbuhan lada ( Piper nigrum L. var. Belatung). Buletin LITTRO Vol. IX No. 2 :
115 – 120.

Anda mungkin juga menyukai