Anda di halaman 1dari 7

AKUNTANSI UNTUK PERUBAHAN HARGA

Kelompok : - Muh. Ardiansyah. A (90400114080)


- Aan Quraishi (90400114065)

Nilai Tukar Rupiah Jeblok, Beban PLN Melonjak Sehingga Merugi


Rp 27,4 Triliun di Kuartal III 2015

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menerbitkan laporan keuangan


Kuartal III tahun 2015. Akibat beban kurs Rupiah melemah, perusahaan listrik
pelat merah ini mengalami kerugian Rp 27,4 triliun.
Bambang Dwiyanto, Plt Kepala Satuan Komunikasi Korporat PT PLN
mengatakan pendapatan penjualan tenaga listrik PT PLN (Persero) pada Kuartal
III 2015 mengalami kenaikan sebesar Rp 20,7 triliun atau 15,56% sehingga
menjadi Rp 153,9 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar
Rp133,3 triliun. “Pertumbuhan pendapatan ini berasal dari kenaikan v olume
penjualan kWh menjadi sebesar 149,7 Terra Watt hour (TWh) atau naik 1,94%
dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 146,8 TWh, serta adanya
kenaikan harga jual rata-rata dari sebesar Rp 910,61/KWh menjadi
Rp1.036,16/KWh, kata Bambang dalam siaran pers, Selasa (27/10/2015).

Jumlah pelanggan yang dilayani perusahaan pada akhir Triwulan III 2015
mencapai 60,3 juta pelanggan atau naik 13,78% dari periode yang sama tahun
sebelumnya yaitu 56,5 juta pelanggan. Bertambahnya jumlah pelanggan ini juga
mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional yaitu dari 82,9% pada September
2014 menjadi 87,3% pada September 2015.

Perusahaan dapat melakukan efisiensi sehingga subsidi listrik pada Triwulan III
2015 turun sebesar Rp37,28 triliun menjadi sebesar Rp45,9 triliun dibandingkan
Triwulan III 2014 sebesar Rp83,35 triliun.

Meskipun volume penjualan meningkat, namun beban usaha perusahaan turun


sebesar Rp13,3 triliun atau 7,45% menjadi Rp164,7 triliun dibandingkan periode
yang sama tahun lalu sebesar Rp177,9 triliun. Penurunan ini terjadi karena program

1
efisiensi yang terus dilakukan perusahaan antara lain melalui substitusi
penggunaan bahan bakar minyak/BBM dengan penggunaan batubara/energi
primer lain yang lebih murah, dan pengendalian biaya bukan bahan b akar, serta
turunnya harga komoditas energi primer. Efisiensi terbesar terlihat dari
berkurangnya biaya BBM sebesar Rp28,46 triliun sehingga pada Triwulan III
2015 menjadi Rp27,4 trilliun atau 50,93% dari tahun sebelumnya Rp55,9 trilliun.

Dengan demikian Laba operasi/usaha Perseroan pada Triwulan III 2015 sebesar
Rp41,8 triliun, turun sebesar Rp1,6 triliun atau 3,63% dibanding periode lalu
sebesar Rp43,6 triliun. Pada Triwulan III 2015, PLN mengalami rugi bersih
sebesar Rp 27,4 triliun. “Terutama karena adanya rugi selisih kurs sebesar
Rp45,7 trilliun akibat menurunnya nilai tukar Rupiah terhadap USD (kurs
Rp/USD per 31 Desember 2014 dan per 30 September 2015 masing masing
sebesar Rp12.440 dan Rp14.657),” ujar Bambang.

Dengan diberlakukannya Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8


mulai tahun 2012, maka sebagian besar transaksi tenaga listrik antara PLN
dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dicatat
seperti transaksi sewa guna usaha. Kondisi ini berdampak pada liabilitas/h utang
valas PLN meningkat signifikan dan laba rugi PLN sangat berfluktuasi
dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap valas.

2
PENYELESAIAN KASUS

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terjadi
berakibat pada menurunnya daya beli dari uang (rupiah). Dengan menurunnya
daya beli uang akan derdampak pada naiknya indeks harga umum, terlebih BBM.
Naiknya harga BBM membuat pengeluaran PT PLN ini meningkat. Sehingga
membuat PT PLN harus mengganti penggunaan BBM menjadi Batu Bara untuk
mengurangi subsidi listrik. Akan tetapi PT PLN tetap dihadapkan pada kerugian
dimana salah satu alasannya adalah hingga kini perusahaan pelat merah itu
memiliki utang yang cukup besar dalam bentuk valuta asing yang digunakan
untuk membiayai investasi infrastruktur ketenagalistrikan PT PLN. Pelemahan
Rp2.025/dollar bakal membuat PT PLN mendapatkan rugi selisih kurs sebesar
Rp45,7 triliun. Sehingga mau tak mau PLN terpengaruh pada pelemahan kurs.
Berdasarkan dari keterangan tersebut, permasalahan yang dihadapi oleh
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dapat diselesaikan dengan berpedoman
pada:
KERANGKA DASAR PENYUSUNAN DAN PENYAJIAN LAPORAN
KEUANGAN, Paragraf 80 menjelaskan bahwa definisi beban juga mencakup
kerugian yang belum direalisasi, sebagai contoh kerugian yang timbul dari
pengaruh kenaikan kurs valuta asing dalam hubungan dengan pinjaman
perusahaan dalam mata uang tersebut. Jika kerugian diakui dalam laporan laba
rugi, biasanya disajikan secara terpisah karena pengetahuan mengenai pos
tersebut berguna untuk tujuan pengambilan keputusan ekonomik. Kerugian sering
kali dilaporkan dalam jumlah bersih setelah dikurangi dengan penghasilan yang
bersangkutan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Hasibuan dan
Nopryannus (2013) 1 bahwa selisih kurs dalam mata uang asing adalah bagian
dari suatu unsur laporan laba rugi perusahaan, yaitu unsur laba rugi yang berasal
dari bukan operasi utama suatu perusahaan. Dimana laba atau rugi selisih kurs
tersebut disajikan pada pos pendapatan atau beban lain-lain. Adapun jurnal pada
saat perusahaan membayar hutang dan mengalami kerugian selisih kurs:

1
Hasibuan, David H.M dan Nopryannus. 2013. Analisis Selisih Kurs dan Pengaruhnya
Terhadap Laporan Laba Rugi Perusahaan. Jurnal Imliah Akuntansi. 1(2): 151-160

3
Hutang xxx
Kerugian Selisih Kurs xxx
Kas xxx

Jadi dalam hal ini, kerugian selisih kurs yang dialami PT PLN akibat dari
pelemahan daya beli uang ini dilaporkan dalam laba rugi sebagai beban lain-lain.
Untung atau rugi daya beli merupakan informasi untuk membantu pemakai dalam
menentukan laba ekonomik perusahaan karena informasi tersebut berkaitan
dengan seberapa jauh kapital secara ekonomik harus dipertahankan
(Suwardjono, 2005:631).

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang


berdampak pada melonjaknya beban PT PLN tersebut mencerminkan perubahan
harga umum dimana menurut Suwardjono (2005:626) perubahan harga umum
mencerminkan kenaikan atau penurunan nilai tukar satuan uang atau dikenal
dengan perubahan daya beli, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan faktor
ekonomik serta ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran barang
secara umum atau perubahan harga pasar dunia untuk komoditas dasar tertentu
(misalnya minyak bumi, emas, atau kayu lapis).
Berdasarkan hal tersebut maka dalam PSAK 10: PERUBAHAN KURS
VALUTA ASING, Paragraf 20c menjelaskan bahwa transaksi valuta asing
adalah transaksi yang memerlukan penyelesaian dalam valuta asing yang mana
transaksinya timbul karena memperoleh atau melepas aset, atau mengadakan atau
menyelesaikan liabilitas, yang didenominasikan dalam valuta asing. Dan,
Paragraf 23a menjelaskan bahwa pada akhir setiap periode pelaporan, pos
moneter valuta asing dijabarkan menggunakan kurs penutup. Jadi, berdasarkan
dengan masalah yang dihadapi PT PLN maka pada saat pelaporannya
menggunakan kurs 31 desember 2015. Jika pada saat penyelesaian pos moneter
atau proses penjabaran pos moneter terdapat perbedaan kurs pada saat pengakuan
awal dengan pada saat pelaporan maka sesuai dengan Paragraf 28 selisihnya
tersebut diakui dalam laba rugi pada periode saat terjadinya. Dan Paragraf 52
mensyaratkan pula bahwa entitas mengungkapkan :

4
a. Jumlah selisih kurs yang diakui dalam laba rugi, kecuali untuk selisih kurs
yang timbul pada instrument keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui
laba rugi sesuai dengan PSAK 55 Instrumen Keuangan: Pengakuan dan
Pengukuran.
b. Selisih kurs neto yang diakui dalam penghasilan komprehensif lain dan
diakumulasikan dalam komponen ekuitas yang terpisah, serta rekonsiliasi
selisih kurs tersebut pada awal dan akhir periode.

Menurut Suwardjono (2005:621) Perubahan daya beli uang terjadi


karena tingkat harga secara umum dalam ekonomi suatu Negara berubah (terjadi
inflasi). Model akuntansi untuk mengatasi hal tersebut adalah akuntansi tingkat
harga umum atau istilah lainnya akuntansi daya beli konstan. Suwardjono
(2005:630) Untung atau rugi daya beli pos moneter terjadi apabila perusaha an
menahan aset moneter atau pembayaran utang moneter dalam jangka waktu
tertentu.
Tetapi di asumsikan disini, utang PT PLN harus segera dibayarkan pada
akhir triwulan III 2015. Maka dari itu, untuk menghindari kerugian yang
disebabkan oleh meningkatnya beban operasi akibat mata uang rupiah
terdepresiasi terhadap mata uang asing terutama USD, perusahaan seharusnya
melakukan transaksi lindung nilai atas sebagian kewajiban dan hutang usaha
dalam valuta asing yang akan jatuh tempo. Dimana syaarat-syarat atau pedoman
dalam melakukan lindung nilai dijelaskan pada :
ISAK 13: LINDUNG NILAI INVESTASI NETO DALAM KEGIATAN
USAHA LUAR NEGERI
Paragraf 2 yang menjelaskan bahwa akuntansi lindung nilai resiko mata
uang asing yang timbul dari investasi neto dalam kegiatan usaha luar negeri akan
diterapkan hanya ketika aset neto kegiatan usaha luar negeri tersebut dimasukkan
dalam laporan keuangan. Item yang dilindung nilai adalah yang terkait dengan
resiko mata uang asing yang timbul dari investasi neto dalam kegiatan luar negeri
mungkin merupakan suatu jumlah aset neto yang sama atau lebih kecil dari pada
jumlah tercatat aset neto kegiatan usaha luar negeri. Dan Paragraf 14 yang
menjelaskan bahwa suatu instrumen derivative atau nonderivarif dapat ditetapkan

5
sebagai intrumen lindung nilai dalam suatu lindung nilai investasi neto dalam
kegiatan usaha luar negeri. Instrument lindung nilai dapat dimiliki oleh setiap
entitas atau entitas-entitas dalam kelompok usaha, sepanjang terpenuhinya
persyaratan penetapan, dokumentasi, dan efektivitas dalam PSAK 55: Instrumen
Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran Paragraf 88 yang terkait dengan
lindung nilai investasi neto. Khususnya, strategi lindung nilai dalam kelompok
usaha harus jelas didokumentasikan karena kemungkinan perbedaan penetapa n
pada tingkatan berbeda dari kelompok usaha tersebut.
Dan PSAK 55: INSTRUMEN KEUANGAN: PENGAKUAN DAN
PENGUKURAN
Paragraf 79 menjelaskan bahwa tidak seperti pinjaman yang diberikan
dan piutang, investasi dimiliki hingga jatuh tempo bukan merupakan item yang
dilindung nilai terhadap resiko suku bunga atau resiko pembayaran awal, karena
penetapan investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo pembayaran mensyaratkan
intensi untuk memiliki investasi tersebut hingga jatuh tempo tanpa
memperhatikan perubahan pada nilai wajar atau arus kas dari investasi tersebut
yang disebabkan oleh perubahan dalam suku bunga. Akan tetapi, investasi yang
dimiliki hingga jatuh tempo ditetapkan sebagai item yang dilindung nilai
terhadap resiko yang berasal dari perubahan nilai tukar dan resiko kredit. Dan
pada Paragraf 82 menjelaskan pula bahwa jika item yang dilindung nilai
merupakan aset atau liabilitas nonkeuangan, maka item tersebut ditetapkan
sebagai item yang dilindung nilai (a) terhadap resiko perubahan nilai tukar, atau
(b) untuk keseluruhan nilainya terhadap seluruh resiko karena adanya kesulitan
untuk memisahkan atau mengukur secara tepat bagian atas perubahan arus kas
atau nilai wajar yang disebabkan oleh resiko spesifik selain dari resiko perubahan
nilai tukar. Dalam mencatat lindung nilai atas investasi neto pada kegiatan usaha
luar negeri mengacu pada Paragraf 102 yang menjelaskan bahwa cara
mencatatnya serupa seperti lindung nilai arus kas yaitu: (a)bagian dari
keuntungan atau kerugian atas instrument lindung nilai yang ditetapkan sebagai
lindung nilai yang efektif diakui dalam penghasilan komprehensif lain. (b)bagian
yang tidak efektif diakui dalam laba rugi.

6
Jadi dengan diterapkannya suatu lindung nilai dapat mengurangi
timbulnya resiko bisnis yang tidak terduga. Masalah kerugian yang dihadapi oleh
PT PLN dari transaksi investasi ketenaga listrikannya pun dapat dihindari.

Anda mungkin juga menyukai