Anda di halaman 1dari 20

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Oleh Kelompok 5

Kelas C

1. NI LUH PUTU SANDRA DEWI (17C10189)

2. I DEWA AYU EKA CANDRA ASTUTISARI (17C10190)

3. NYOMAN INDAH DWI PRATYWI (17C10191)

4. I MADE AGUS SURYAWAN PUTRA (17C10192)

5. NI LUH PUTU IKA WIYASTINI (17C10193)

6. I GEDE KAMA BUDIANTARA DTHA (17C10194)

7. INDAH NOVITA ANGGRENI (17C10195)

8. NI KOMANG KRESNIARI (17C10196)

9. NI MADE SETYANINGSIH (17C10197)

10. NI KADEK AYU LESTARI (17C10198)

11. PUTU JENIRIAN BRAHMAWIDO SARI (17C10199)

12. AYU DIAN PERMATA DEWI (17C10116)

ILMU KEPERAWATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

2019
Anatomi Fisiologi Sistem Imun
A. Anatomi
1. Sel sistem Imun
a) Fagosit mononukleus
merupakan salah satu jenis sel fagosit yang terdiri dari sel monosit dan
makrofag
b) Limfosit
Limfosit adalah salah satu dari beberapa jenis leukosit yang berukuran
kecil dan memiliki fungsi terkait reaksi imunitas. Jumlah limfosit adalah 20-
25% dari keseluruhan leukosit (sel darah putih). Sel-sel limfosit dibentuk di
sumsum tulang.
Sel-sel limfosit berperan dalam kekebalan tubuh dengan cara tertentu.
Selain itu, limfosit juga bekerja sama dengan sel-sel fagosit di dalam melawan
mikroorganisme atau zat asing (antigen) yang masuk ke dalam tubuh.
c) Null cells
limfosit agranular besar yang berkembang di dalam sumsum tulang.
d) Neutrofil
Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh
terhadap infeksibakteri serta proses peradangan kecil lainnya, serta biasanya
juga yang memberikan tanggapan pertama terhadap infeksi bakteri; aktivitas
dan matinya neutrofil dalam jumlah yang banyak menyebabkan adanyananah.
e) Eosinofil
Eosinofil terutama berhubungan dengan infeksi parasit, dengan
demikian meningkatnya eosinofil menandakan banyaknya parasit.
f) Basofil
Basofil terutama bertanggung jawab untuk memberi
reaksi alergi danantigen dengan jalan mengeluarkan histamin kimia yang
menyebabkanperadangan.
g) Epitel
2. Organ sistem imun
a) Sumsum tulang
Jaringan lunak yang ditemukan pada rongga interior tulang yang
merupakan tempat produksi sebagian besar sel darah baru. Sumsum tulang
merupakan jaringan limfatik karena memproduksi limfosit muda yang akan
diproses pada timus atau tempat-tempat lainnya untuk menjadi limfosit T atau
limfosit B.
b) Timus
Suatu jaringan limfatik yang terletak di sepanjang trakea di rongga
dada bagian atas. Fungsinya memproses limfosit muda menjadi T limfosit.
c) Kelenjar limfe, limpa, dan jaringan limfoid terkait usus
1. Kelenjar limfe
Struktur pembuluh limfe serupa dengan vena kecil, tetapi
memiliki lebih banyak katup sehingga pembuluh limfe tampaknya
seperti rangkaian petasan. Pembuluh limfe yang terkecil atau kapiler
limfe lebih besar dari kapiler darah dan terdiri hanya atas selapis
endotelium. Pembuluh limfe bermula sebagai jalinan halus kapiler
yang sangat kecil atau sebagai rongga-rongga limfe di dalam jaringan
berbagai organ. Sejenis pembuluh limfe khusus, disebut lacteal (khilus)
dijumpai dalam vili usus kecil.
2. Limpa
Limpa adalah kelenjar tanpa saluran (ductless) yang
berhubungan erat dengan sistem sirkulasi dan berfungsi sebagai
penghancur sel darah merah tua.
3. Jaringan limfoid
Jaringan limfoid terdiri dari daerah seperti mesh jaringan ikat
dalam tubuh yang mengandung sel darah putih, limfosit paling umum.
Jaringan dan pembuluh limfatik limfoid, yang mengangkut cairan
tubuh yang jelas disebut getah bening ke jantung, terdiri dari sistem
limfatik.
B. Fisiologis
1. Imunitas Bawaan dan didapat
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme
pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel
limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel
makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme
pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu
antigen yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga
menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan
lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan
terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang
merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen. Sel yang berperan dalam
imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC =
antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel
limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan
imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel
target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel
plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan
fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan
sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan prosesantibody
dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC). Limfosit berperan utama dalam
respon imun diperantarai sel. Limfosit terbagi atas 2 jenis yaitu Limfosit B dan
Limfosit T. Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan Limfosit B.

2. Antigen
Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan reseptor
sel limfosit B. Pengikatan tersebut menyebabkan sel limfosit B berdiferensiasi
menjadi sel plasma. Sel plasma kemudian akan membentuk antibody yang
mampu berikatan dengan antigen yang merangsang pembentukan antibody itu
sendiri. Tempat melekatnya antibody pada antigen disebut epitop, sedangkan
tempat melekatnya antigen pada antibodi disebut variabel.
3. Respon Imun
Respons imun alamiah: respons imun alamiah tidak memiliki
spesifisitas dan memori sehingga pertahanan tidak meningkat dengan adanya
infeksi berulang. Respons ini diperankan oleh sel fagosit dan sel NK dengan
menggunakan faktor soluble yaitu lisosom, komplemen, acute phase proteins
(CRP), dan interferon. Mikroorganisme yang masuk dalam tubuh akan melalui
dua mekanisme pertahanan utama, yaitu efek destruksi oleh enzim yang
bersifat bakterisidal dan mekanisme fagositosis oleh sel-sel fagosit (gambar 4).
Sel fagosit akan mengenali berbagai mikroorganisme. Mekanisme ini akan
menimbulkan respons inflamasi akibat migrasi sel-sel yang terlibat dalam
respons imun serta mengakibatkan vasodilatasi.
Respons imun adaptif terjadi melalui identifikasi dan pengenalan
terhadap adanya stimulus, misalnya bakteri dan virus. Respons ini memiliki
tiga karakter utama, yaitu spesifik, memori, dan intensitas yang bervariasi.
Komponen respons imun spesifik terdiri dari respons imun humoral dan
respons imun seluler.

4. Pengolahan dan penyajian antigen


Sel-sel imunokompeten agar dapat mengenali antigen maka pada
permukaan sel T dan sel B dilengkapi dengan reseptor molekul. Reseptor
antigen pada permukaan limfosit T berbentuk heterodimer dengan molekul
CD3, sedangkan pada permukaan limfosit B terdapat sebagai molekul
imunoglobulin.
Dalam proses pengenalan antigen bakteri atau parasit limfosit B dapat
melaksanakan sendiri tanpa bantuan sel yang lain. Sebaliknya limfosit T tidak
dapat mengenali secara langsung. Proses pengenalan antigen tersebut
memerlukan jenis sel lain yang dinamakan sel pelengkap (Accessory cell)
yang berfungsi untuk memproses secara kimia terlebih dahulu agar antigen
dapat disajikan kepada limfosit T bersama-sama dengan molekul Major
Histocompatibility Complez (MHC) (Hokama, 1982; Grey dkk, 1989; Vitetta
dkk, 1989).
Limdosit T hanya dapat menanggapi antigen apabila disajikan oleh sel
pelengkap. Sel pelengkap pertama yang diketahui sebagai penyaji antigen
(APC) adalah sel makrofag. Sel penyaji akan memproses antigen dahulu
sebelum disajikan sebagai molekul yang dikenali oleh limfosit T. Cara
memproses dan penyajian antigen“eksogen“ pada umumnya dapat
menyebabkan aktivasi limfosit dari sub populasi tertentu sehingga membantu
aktivasi limfosit B dalam memproduksi antibodi. Limfosit T yang berperan
dalam peristiwa ini adalah limfosit T helper (CD 4) (Roitt dkk, 1993; Subowo,
1993).
Tidak semua antigen yang dikenal oleh limfosit T berasal dari luar sel
penyaji. Antigen“endogen“ diperoleh oleh sel penyaji sebagai akibat infeksi
virus dalam sel atau dari sel yang telah berubah menjadi ganas. Sel-sel
tersebut mengekspresikan antigen khas virus tumor pada permukaannya.
Secara teoritis semua sel dalam tubuh inang mempunyai kemampuan sebgai
sel penyaji antigen“endogen“ yang khass tersebut, terhadap limfosit T dari sub
populasi yang tergolong sel sitotoksik. Sel sitotoksik dapat menanggapi
antigen“endogen“ dengan cara membunuh sel-sel yang menyajikannya (Abbas
dkk, 1991; Bellanti, 1985; Subowo, 1993).
Sampai saat ini diduga bahwa antigen endogen yang disajikan
sebelumnya tidak perlu diproses. Hal ini disebabkan oleh karena protein
sebagai antigen endogen tersebut merupakan bentuk ekspresi gen virus atau
gen tumor, sehingga limfosit sitotoksik dapat bereaksi langsung terhadap
antigen tersebut. Dengan demikian dalam sistem imun terdapat dua jalur
terpisah untuk menyampingkan antigen yaitu : Jalur untuk antigen eksogen
dan jalur untuk antifen endogen.
Protein bakteri yang diambil oleh limfosit B dari sekitarnya yang
kemudian diproses oleh limfosit T helper akan mempunyai dampak
diproduksinya antobodi spesifik. Sebaliknya protein abnormal yang dibuat
oleh sel inang mendorong aktivasi limfosit T sitotoksik untuk membunuh sel
inang. Zinkernagel dan Doherty (1974) mengemukakan bahwa sel limfosit T
tidak saja mampu mengenali antigen asing akan tetapi juga molekul MHC
yang terdapat pada permukaan sel inang yang dihadapinya. Limfosit T yang
telah mengadakan respon imun terhadap antigen yang disajikan oleh sel-sel
yang terinfeksi virus bersama-sama molekul MHC kelas I tertentu dengan
antigen yang sama tetapi disajikan oleh sel terinfeksi virus dengan molekul
MHC kelas I yang berbeda latar belakang genetiknya. Mereka menemukan
bahwa apabila molekul protein MHC kelas I pada sel-sel yang terinfeksi virus
ini berasal dari individu yang berbeda dengan individu yang pertama maka
sel-sel yang terinfeksi virus tersebut tidak akan dibunuh oleh sel-sel T
tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, agar limfosit dapat mengadakan
respon imun, harus mengenal dua kesatuan antigen yaitu antigen asing dan
antigen diri yang spesifik. Persyaratan ini dinamakan dengan “Restriksi MHC“
(Hendrik, 1989; Kresno, 1991; Roitt dkk, 1993).
Ada beberapa hipotesis mengenai cara limfosit T berinteraksi dengan
antigen yang terikat pada MHC. Hipotesis pertama menyatakan bahwa
interaksi itu dilakukan melalui dua reseptor pada permukaan sel T, dimana
satu reseptor berinteraksi dengan antigen sedangkan reseptor yang lainnya
berinteraksi dengan MHC. Sedangkan hipotesis kedua mengemukakan bahwa
reseptor pada limfosit T berbentuk reseptor tunggal yang secara spesifik
mengenal dua antigen asing dan antigen MHC secara bersama-sama.
Belakangan ini orang lebih cenderung setuju dengan teori yang kedua (Abbas
dkk, 1991; Kresno, 1991; Subowo, 1993).
Teori reseptor tunggal tersebut menjelaskan bahwa abtigen yang akan
diproses dan antigen MHC harus merupakan suatu kesatuan kompleks yang
harus cocok dengan reseptor pengenal tunggal dari limfosit T. Dengan
demikian molekul MHC pada mulanya bertindak sebagai reseptor primer
untuk antigen yang telah diproses dan selanjutnya sebagai kompleks molekul
baru yang akan berikatan secara tepat dengan reseptor sekunder pada limfosit
T agar terjadi respon imun.
Untuk membangkitkan suatu respon imun, agar antigen dapat
ditangkap oleh limfosit T, maka adanya kesesuaian antara molekul MHC yang
berbeda pada setiap individu dengan antigen yang telah diproses oleh sel inang
merupakan tahap pertama yang sangat menentukan (okama, 1982; Vitetta,
1989).
Aktivasi Limfosit T
Aktivasi limfosit T merupakan akibat dari interaksi ligan-reseptor yang
berlangsung antara permukaan limfosit T dan sel penyaji antigen (APC).
Interaksi ini akan mengawali peristiwa biokimia dalam sel T yang memuncak
dalam bentuk respon seluler. Walaupun telah jelas bahwa sejumlah molekul
permukaan sel yang berbeda-beda pada sel T dan sel penyaji ikut berperan
dalam interaksi antar sel selama penyajian yang rumit, namun untuk aktivasi
limfosit T oleh antigen paling sedikit harus melibatkan perangsangan reseptor
antigen dari sel T (TCR). Antigen yang terikat oleh molekul MHC merupakan
ligan untuk reseptor pada limfosit T (Abbas dkk, 1991; Roitt dkk., 1993;
Kresno, 1991).
Rangsangan oleh induksi sel antigen dapat dianggap sebagai
pemberian rangasangan primer dalam mengawali aktivitas limfosit T.
Rangsangan pada T cell receptor (TCR) saja tidak cukup untuk menginduksi
terjadinya pembelahan sel T dalam tahap Go. Molekul-molekul permukaan
yang lain pada sel T istirahat ikut berperan pula dalam aktivasi sel sebagai
molekul pelengkap dengan cara berikatan dengan molekul mitranya pada sel
penyaji atau sel sasaran. Molekul-molekul pelengkap ini ada yang bertindak
sebagai reseptor untuk molekul permukaan sel penyaji atau reseptor untuk
molekul protein yang dihasilkan oleh sel penyaji. Molekul pelengkap tersebut
berperan dalam proses aktivasi :
a) Sebagai molekul perekat, akan memperkuat interaksi antara sek T
dengan sel penyaji.
b) Sebagai transduser, antara sinyal transmembran yang diterima oleh
reseptor antigen (Ti/TCT).
c) Untuk mengawali sinyal transmembran mereka sendiri yang berbeda
dengan sinyal yang melalui TCR.
Interaksi antara TCR dengan ligannya (antigen+MHC)
megawali aktivasi seluler dengan cara menginduksi sinyal
transmembran. Transduksi sinyal semacam ini bermanifestasi dalam
bentuk mediator intraseluler yang dinamakan dengan“second
messenger“ yang berfungsi untuk melalui aktivasi sel (Vitetta, 1989;
Hendrik, 1989; Abbas, 1991).
Selama terjadinya proses aktivasi, akan berlangsung transduksi
sinyal melalui TCR baik secara lansung maupun secara tidak langsung,
sedangkan periode berikutnya terjadi pembelahan sel yang pada
umumya sebagai hasil dari sederetan aktivasi gen yang sangat
kompleks. Dengan demikian aktivasi seluler dari limfosit T istirahat,
menghasilkan ekspresi molekul permukaan yang baru, sekresi
limfogen, pembelahan sel dan diferensiasi sel menjadi sel efektor.
Interaksi antara antigen yang disajikan oleh APC dengan
limfosit T helper (Th), merupakan tahap awal terjadinya respon imun
seluler maupun respon imun humoral. Sel T dan sel B berkomunikasi
satu dengan yang lainnya melalui berbagai reseptor dan berbagai
sebstansi yang diproduksi. Subpopulasi sel T yang bereaksi dengan
antigen yang ditampilkan bersama dengan MHC berbeda satu dengan
yang lainnya tergantung dari sifat antigen dan MHC yang mengikat
dan yang menampilkannya. Sel T yang disebut CD4+ bereaksi dengan
antigen yang diproses oleh APC dan dipresentasikan bersama dengan
MHC kelas II. Sub populasi sel T yang lain yaitu CD8+ yang berfungsi
sebagai sel sitotoksi bereaksi dengan antigen yang dibentuk oleh sel,
misalnya protein virus atau antigen histokompatibilitas minor, yang
ditampilkan bersama dengan MHC kelas I. Proses pengikatan antigen
yang dibentuk dengan MHC kelas I dapat berlangsung saat sintesis
atau perakitan kedua molekul bersangkutan. Presentasi antigen yang
terikat pada MHC kelas I merangsang sel T sitotoksik untuk
melancarkan aksinya (Vitetta dkk, 1989; Hendrik, 1989; Roitt dkk,
1993).
Antigen yang ditangkap oleh makrofag atau oleh sel-sel APC
yang lain akan masuk kedalam sel dengan cara endositosis atau
pinositosis. Sebagai APC baik makrofag maupun sel B mempunyai
fungsi yang sama tetapi sel B mempunyai kelebihan dari makrofag
karena sel B mampu menangkap antigen melalui imunoglobulin
permukaan (sIg). Dengan demikian antigen dalam jumlah kecilpun
akan dapat ditangkap dan diproses sehingga sel B dapat berfungsi
sangat efisien. Tetapi jika konsentrasi antigen cukup tinggi sel B tidak
perlu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan karena
proses internalisasi dapat terjadi dengan cara pinositosis pada
makrofag (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Antigen di dalam sel diproses dengan berbagai cara diantaranya
melalui proses denaturasi atau proteolisis yang terjadi di dalam
endosom. Segmen-segmen yang bersifat hidrofobik kemudian
dimunculkan kembali pada permukaan sel bersama-sama dengan
MHC. Pada beberapa keadaan antigen tidak dirombak dengan cara
proteolisis tetapi hanya dirubah konfigurasinya atau hanya dilekatkan
pada molekul lipid (Vitetta dkk, 1989; Subowo, 1993).

5. Pengenalan dan pengaktifan limfosit T


limfosit T dibentuk di sumsum tulang. Akan tetapi, proses pematangan
limfosit terjadi di kelenjar timus, sehingga disebut limfosit T ("T" berasal dari kata
timus). Untuk lebih jelasnya mengenai proses pembentukan dan pematangan limfosit
T dan limfoit B, perhatikanlah gambar dibawa ini
Pada saat perkembangannya di kelenjar timus, limfosit T berdiferensiasi
menjadi beberapa jenis limfosit. Jenis-jenis limfosit tersebut adalah sebagai berikut.
1. Limfosit T sitotoksit, berfungsi dalam menghancurkan sel yang telah
terinfeksi.
2. Limfosit T penolong, berfungsi mengaktifkan limfosit T dan limfosit B.
3. Limfosit T supresor, berfungsi mengurangi produksi antibodi yang
dihasilkan sel-sel plasma.
4. Limfosit T memori, berfungsi mengingat antigen yang pernah masuk ke
dalam tubuh. Dengan adanya limfosit T memori ini, antigen yang pernah
masuk akan mudah dikenali dan lebih cepat dihancurkan.
Setelah mengalami pematangan, limfosit T dan limfosit B akan masuk
ke dalam sistem perdaran limfatik. Oleh karena itu, sel-sel limfosit akan
banyak ditemui pada peredaran darah limfatik, sumsum tulang, kelenjar
timus, kelenjar limpa, amandel, darah, dan sistem pencernaan. Untuk lebih
jelasnya mengenai sistem peredaran limfatik atau peredaran getah bening.

6. Sel Efektor CD8


Dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul
tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T.
Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda
permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal
yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of
differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan
masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan
petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan
molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit
CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah
keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi
penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat
memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit T
(TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah
memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya
mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari
timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan
limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th =
CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten
lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi sel
imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T
efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target,
dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang
merekrut sel radang ke tempat antigen berada.

7. Pengaktifan Limfosit B
Limfosit B jumlahnya mencapai 30% dari keseluruhan limfosit di
dalam tubuh. limfosit B dibentuk dan mengalami pematangan dalam sumsum
tulang (bone marrow). Huruf "B" pada limfosit B berasal dari kata :bursa
fabrisius:, yaitu organ pada unggas tempat pematangan limfosit B. Pada
organ bursa fabrisius inilah limfosit B pertama kali ditemukan. Akan tetapi,
beberapa ahli juga menyebutkan bahwa huruf "B" pada limfosit B berasal dari
"bone marrow" (sumsum tulang).
Limfosit B yang berkembang dalam sumsum tulang mengalami
pembelahan atau diferensiasi menjadisel plasma dan sel limfosit B memori.
Sel plasma yang terbentuk bertugas menyekresikan antibodi ke dalam cairan
tubuh. Adapun sel limfosit B memori berfungsi menyimpan informasi antigen.

8. Struktur dan Fungsi antibodi


a. STRUKTUR DASAR ANTIBODI
Sebenarnya, struktur dasar dari Antibodi adalah
molekul protein berbentuk huruf Y yang memiliki dua rantai
polipeptida berat dan dua rantai polipeptida ringan. Setiap
Antibodi memiliki rantai atas yang berfungsi sebagai pengikat
daripada antigen. Dengan rantai ini, jadi Antibodi dapat
mengikatkan dirinya sendiri pada tubuh antigen.
Sedangkan di rantai bawah Antibodi berfungsi untuk
menentukan bagaimana suatu Antibodi dapat berhubungan
dengan antigen. Rantai ini membuat Antibodi dapat mengatur
dan merangsang respon imun yang tepat.

b. FUNGSI ANTIBODI
Secara umum, Antibodi pada manusia memiliki dua
fungsi yang terpisah. Yaitu :
1. Antibodi memiliki kemampuan untuk mengenali dan
menempel/melekat pada antigen yang dianggap dapat
menyebabkan penyakit oleh tubuh.
2. Dalam mengenali dan melekatkan diri dengan antigen, zat
Antibodi senantiasa bertindak sebagai penanda, dan
selanjutnya akan mengirimkan sinyal ke sel darah putih
yang lain untuk menyerang zat asing tersebut.

9. Mekanisme Humoral Eliminasi antigen


Respons imun humoral diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi
satu populasi (klon) sama yang memproduksi antibodi spesifik dan limfosit B
memori. Antibodi akan berikatan dengan antigen untuk mengaktivasi
komplemen yang mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Tiga elemen
penting dalam respons imun humoral, yaitu: antibodi, reseptor sel T (T cell
receptors), dan molekul MHC (Major Histocompatibility Complex).7,19
Antibodi berfungsi untuk pertahanan host karena menjadikan mikroorganisme
infektif sebagai target, merekrut mekanisme efektor host yang dapat merusak,
menetralkan toksin, dan menyingkirkan antigen asing dari sirkulasi. TCR
berinteraksi bukan dengan antigen secara keseluruhan, tetapi dengan segmen
pendek dari asam amino (antigen peptida). Fungsi TCR adalah untuk mengikat
dan mengenali kompleks antigen spesifik dengan molekul MHC. MHC
berfungsi untuk menentukan kemampuan sistem imun seseorang dalam
membedakan self dan nonself, mengatur berbagai interaksi antara berbagai
jenis sel yang terlibat dalam respons imun, dan menentukan kemampuan
individu untuk bereaksi terhadap antigen spesifik dan kecenderungan untuk
menderita kelainan imunologik.
10. Mekanisme peradangan
respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi
mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat
jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi.
Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem
kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia
(histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang
dilepaskan olehsel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem
kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
11. Respon Imun Hipersensitivitas
reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon
imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat
fatal) yang dihasilkan oleh sistem imun.

12. Pembentukan IgE pada reaktivitas alergik


Respon Imun terhadap Alergen dan Iritan
Faktor yang terpenting dalam reaksi anafilaktik adalah IgE, yang disebut
antibodi homostitotropik atau reagin. IgE mempunyai sifat khas yang tidak dimiliki
oleh imunoglobulin kelas lain yang afinitasnya tinggi pada mastosit (sel mast) dan
basofil melalui reseptor Fc pada permukaan sel bersangkutan yang mengikat fragmen
Fc IgE. Sekali terikat, IgE dapat melekat pada permukaan mastosit dan basofil selama
beberapa minggu dan IgE yang terikat inilah yang berperan besar pada reaksi
anafilaktik. Selain IgE, IgG4 diketahui mempunyai kemampuan serupa, tetapi dengan
afinitas yang jauh lebih rendah. Penelitian-penelitian terakhir mengungkapkan bahwa
berbagai jenis limfokin dan sitokin dengan peran multi fungsi juga dilepaskan pada
reaksi ini sebagai akibat aktivitas mastosit oleh IgE. IL-3 dan IL-4 mungkin
mempunyai dampak autokrin pada sel mast bersangkutan dan substansi ini bersama-
sama dengan sitokin yang lain meningkatkan produksi IgE oleh sel B. Disamping itu,
beberapa jenis sitokin lain, termasuk produk golongan gen IL-8/IL-9, berperan dalam
proses kemotaksis dan aktifitas sel-sel inflamasi di daerah terjadinya alergi.
Apabila IgE yang melekat pada mastosit atau basofil, mengalami pemaparan
ulang pada alergen spesifik yang dikenalnya, maka alergen akan diikat oleh IgE
demikian rupa sehingga alergen tersebut membentuk jembatan antara 2 molekul IgE
pada permukaan sel (crosslinking). Crosslinking hanya terjadi dengan antigen yang
bivalen atau multivalen tetapi tidak terjadi dengan antigen univalen. Crosslinking
yang sama hanya dapat terjadi bila fragmen Fc-IgE bereaksi dengan anti IgE, atau bila
reseptor Fc dihubungkan satu dengan lain oleh anti reseptor Fc. Crosslinking
merupakan mekanisme awal atau sinyal untuk degranulasi sel mast atau basofil.
Segera setelah ada sinyal pada membran sel, terjadi serangkaian reaksi
biokimia intraseluler secara berurutan menyerupai kaskade, dimulai dengan aktivitas
enzim metiltransferase dan serine esterase, diikuti dengan perombakan
fosfatidilinositol menjadi inositol trifosfat (IP3), pembentukan diasilgliserol dan
peningkatan ion Ca2+ intrasitoplasmatik. Reaksi-reaksi biokimia ini menyebabkan
terbentuknya zat-zat yang memudahkan fusi membran granula sehingga terjadi
degranulasi. Degranulasi mengakibatkan pelepasan mediator-mediator yang
sebelumnya telah ada di dalam sel misalnya histamin, heparin, faktor kemotaktik
neutrofil (neutrophil chemotactic factor = NCF), platelet activating factor (PAF),
maupun pembentukan berbagai mediator baru. Diantara mediator baru yang dibentuk
adalah slow reacting substances anapltylaxis yang terdiri atas substansi-substansi
dengan potensi spasmogenik dan vasodilatasi yang kuat yaitu leukotrien LTB4,
LTC4, dan LTD4, disamping beberapa jenis prostaglandin dan tromboksan. Mediator-
mediator tersebut mempunyai dampak langsung pada jaringan, misalnya histamin
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, penyempitan bronkus,
edema pada mukosa, dan hipersekresi.
Iritan yang mengenai tubuh akan memicu sel mast untuk melepaskan
neuropeptida substansi P yang akan merangsang serabut saraf C (n.trigeminus)
sehingga timbul nyeri. Substansi P terletak dalam sel saraf yang terpencar di seluruh
tubuh sel dan dalam sel endokrin khusus di usus. Neuropeptida ini dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan merupakan neurotransmiter rasa
nyeri, raba, dan temperatur.
ASUHAN KEPERWATAN KISTIK FIBROSIS
1. Pemeriksaan Fisik
 B1 (Breath)
Meliputi sesak napas, paru kekurangan oksigen sehingga jaringan rusak dan
kulit berwarna kebiruan (sianosis) dan batuk yang semakin hari semakin
buruk. Pada perkusi paru, sering ditemukan adanya suara hipersonor, akibat
adanya udara yang terjebak dalam paru. Sementara itu, adanya tactil
fremitus yang tidak sama pada kedua lapang paru menunjukan terjadinya
komplikasi atelektasis pada permukaan paru yang teraba getarannya lebih
keras.
 B2 (Blood)
Memungkinkan terjadinya hiperglikemi akibat pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin dengan baik akibat mukus yang berlebihan hingga
merusak pankreas.
 B3 (Brain)
Dapat ditemukan adanya kecemasan pada klien dengan tanda hipoksia yang
nyata
 B4 (Bladder)
Tidak ditemukan adanya kelainan, gejala yang muncul disesuaikan dengan
komplikasi lanjutan.
 B5 (Bowel)
Pada bowel kelainanya meliputi diare, dehidrasi, nyeri dan
ketidaknyamanan pada perut karena terlalu banyak gas dalam usus sebagai
akibat disfungsi enzim digestine. Selain itu, dapat ditemui kelainan berupa
nafsu makan besar tetapi tidak menambah berat badan dan pertumbuhan
(cenderung menurun).
 B6 (Bone)
Tidak ditemukan adanya kelainan, gejala yang muncul disesuaikan dengan
komplikasi lanjutan.
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosis yang muncul meliputi :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi mukus yang berlebih
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi dan
ventilasi
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan tubuh primer
(kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia (over mucus), cairan
tubuh statis, perubahan sekresi PH, perubahan peristaltik)

3. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi mukus yang berlebih
NOC : Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif, yang dibuktikan
oleh pencegahan aspirasi, status pernapasan, kepatenan jalan nafas, dan status
pernapasan, ventilasi tidak terganggu.
Menunjukan status kepatenan jalan nafas yang dibuktikan dengan, kemudahan
bernafas, frekuensi dan irama pernapasan, pergerakan sputum dan atau
sumbatan total keluar dari jalan nafas.

Intervensi :
a. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui
penurunan atau ketidakadaan ventilasi dan adanya suara tambahan
Rasional : whezzing, ronchi terdengar pada inspirasi dan atau ekspirasi
pada respon terhadap pengumpulan cairan, sekret kental dan spasme jalan
nafas/obstruksi
b. Kaji dan dokumentasikan adanya ketidakefektifan pemberian oksigen,
adanya nyeri, batuk tidak efektif, mukus yang kental dan kelelahan
Rasional : adanya nyeri, batuk tidak efektif maupun penumpukan sekret
menyebabkan oksigen tidak maksimal masuk ke dalam paru.
c. Tentukan kebutuhan pengisapan lendir oral atau trakhea
Rasional : suction merupakan tindakan yang beresiko menimbulkan
trauma mukosa jalan nafas jika dilakukan terus menerus
d. Pantau status oksigen klien dengan mengamati nilai SaO2 dan status
hemodinamik klien dengan melihat MAP serta irama jantung segera
sebelum melakukan pengisapan
Rasional : Suction dapat menghisap lendir dan oksigen yang ada di
saluran pernapasan
e. Anjurkan aktivitas fisik minimal (alih baring) guna mobilisasi sekret
Rasional : Mobilisasi pasien bertujuan untuk memobilisasi sekret agar
tidak nomaden dalam satu bagian lobus paru.
f. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau
perlatan pendukung
Rasional : Perkusi bertujuan untuk memobilisasi sekret agar jatuh pada
bronkus, agar secret lebih mudah untuk dikeluarkan
g. Berikan oksigen yang telah dilembabkan sesuai dengan instruksi
Rasional : Oksigen bersifat kering, sehingga dapat mengiritasi mukosa
saluran nafas
h. Beritahu dokter terkait hasil analisa gas darah yang abnormal.
Rasional : Perubahan hasil AGD, menunjukan tingkat kemajuan ataupun
kemunduran proses pernapasan.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi dan
ventilasi
NOC : Gangguan pertukaran gas akan berkurang, yang dibuktikan oleh tidak
terganggunya respon alergik, sistematik, keseimbangan elektrolit dan asam
basa
Status pernapasan, pertukaran gas tidak akan terganggu yang dibuktikan oleh
indikator gangguan status kognitif, PaO2, PaCO2, Ph arteri dan saturasi O2.
Intervensi :
a. Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri nadi
Rasional : tingkat saturasi menggambarkan adekuat perfusi oksigen ke
jaringan
b. Pantau hasil analisa gas darah
Rasional : Kadar PaO2 yang rendah dan PaCO2 yang tinggi menunjukan
perburukan pernapasan
c. Pantau kadar elektrolit
Rasional : Perubahan kadar elektrolit yang ekstrim pada tubuh, dapat
memperburuk proses pernapasan dan memunculkan komplikasi lain, aritia,
konvulsif
d. Pantau status mental (misalnya tingkat kesadaran, gelisah dan konvulsif)
Rasional : Pada kondisi hipoksia berat, perubahan status mental sering
terjadi
e. Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak somnolen
Rasional : Peningkatan kecepatan pernapasan dengan disertai penurunan
kesadaran merupakan indikasi terjadinya ketidaksesuaian antara Suplai
dan deman O2
f. Observasi terhadap sianosis, terutama membran mukosa mulut
Rasional : Sianosis pada ujung jari dan tepi bibir menunjukan terjadinya
hipoksia
g. Indikasikan kebutuhan pasien terhadap pemasangan jalan nafas aktual atau
potensial
Rasional : Jalan nafas buatan diperlukan pada kondisi dimana secret
menutup jalan nafas, terjadinya fatigue maupun penurunan kesadaran yang
beresiko besar terjadinya henti nafas
h. Auskultasi suara nafas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan
adanya bunyi tambahan
Rasional : Hilangnya suara nafas maupun munculnya suara nafas
tambahan menunjukan adanya hambatan complain dan recoil paru
i. Pantau status pernapasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan
Rasional : Pemberian oksigen yang baik, cukup akan sejalan dengan
perbaikan status pernapasan yang tampak secara klinis
j. Auskultasi bunyi jantung, catat jika terdapat bunyi S3 dan S4
Rasional : Adanya suara tambahan jantung menunjukan terjadinya
kompensasi jantung terkait perburukan keadaan maupun bentuk
kompensasi akan terjadinya hipoksi
k. Konsultasikan dengan dokter tentang pentingnya pemeriksaan analisa gas
darah
Rasional : Analisa gas darah menggambarkan kemajuan maupun
kemunduran proses pernapasan
l. Manajemen jalan nafas, berikan udara yang dilembabkan, berikan
bronkhodilator (jika perlu), berikan terapi aerosol (bila perlu), berikan
terapi nebulisasi (jika perlu).
Rasional : bronkhodilator diberikan pada pasien dengan spasme jalan nafas
untuk membuka jalan nafas yag spasme.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan tubuh primer
(kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia (over mucus), cairan
tubuh statis, perubahan sekresi PH, perubahan peristaltik)
NOC : Status kekebalan pasien meningkat dengan indilaktor, tidak didapatkan
infeksi berulang, tidak didapatkan tumor, status respirasi sesuai yang
diharapkan, temperatur badan sesuai yang diharapkan, integritas kulit baik,
integritas mukosa baik, tidak didapatkan fatigue kronis, WBC absolut dalam
batas normal.

Intervensi :

a. Dorong keseimbangan aktivitas fisik dan istirahat


Rasional : Menurunkan konsumsi/kebutuhan keseimbangan oksigen dan
memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan
penyembuhan
b. Awasi suhu
Rasional :Demam dapat terjadi karena adanya infeksi dan atau dehidrasi
c. Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan
masukkan cairan adekuat
Rasional : Aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret
untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi paru
d. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum
Rasional : Mencegah penularan patogen melalui cairan
e. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat
Rasional : Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan
menurunkan tahanan terhadap infeksi
f. Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius
g. Kolaborasi pengambilan specimen sputum dengan batuk atau penghisapan
untuk pewarnaan kuman Gram, kultur/sensitivitas
Rasional : Dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan
kerentanan terhadap antimikrobal
h. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi
dengan kultur dan sensitivitas atau diberikan secara profilaktif karena
resiko tinggi

4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial


NOC : Klien mampu memperbaiki atau mempertahankan pola pernapasan
normal dan mencapai fungsi paru-paru yang maksimal.

Intervensi :
a. Pertahankan jalan udara pasien dengan mengekstensikan leher
Rasional : Mencegah adanya obstruksi jalan nafas
b. Auskultasi suara nafas, dengarkan adanya kumur-kumur, mengi
Rasional : Kurangnya suara nafas adalah indikasi adanya obstruksi oleh
mukus, lidah dan dapat diatasi dengan mengubah posisi maupun
penghisapan
c. Berikan posisi fowler atau semifowler
Rasional : Posisi fowler/semi fowler memungkinkan ekspansi paru dan
memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulasi meningkatkan
pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas
d. Ajarkan teknik napas dalam dan atau pernapasan bibir atau pernapasan
diafragma abdomen bila diindikasi serta latiahan batuk efektif.
Rasional : Membantu pengeluaran sputum
e. Observasi TTV (RR atau frekuensi permenit)
Rasional : Takikardi, disritmia, dan perubahan TD dapat menunjukkan
efek hipoksemia sistemik pad fungsi jantung

Anda mungkin juga menyukai