Anda di halaman 1dari 11

PENELITIAN DAN KEBIJAKAN

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

1.3.2 Tujuan Khusus

1.4 Manfaat Penulisan


Bab 2 Pembahasan

2.1 Pengertian Penelitian Kebijakan


Penelitian dan kebijakan pada prinsipnya berbeda, baik tujuannya, terminologi yang
umum dipakai, kriteria keberhasilan dan proses kerjanya. Penelitian berkembang dengan
mensyaratkan sumber daya manusia, alat dan bahan, situasi dan proses kerjanya yang khas.
Kegiatan penelitian berkembang pesat di kelembagaan penelitian yang dinaungi oleh
Perguruan Tinggi, departemen, organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dengan menggunakan setting laboratorium, kelas, alam terbuka atau lapangan.
Pekerja penelitian (researcher) umumnya terdiri dari kaum akademisi atau pakar yang
piawai dalam bidang metodologi penelitian. Kebijakan dengan segala tatanan perilakunya,
disebut kebijaksanaan sebagai padanan kata policy dalam bahasa Inggris, ada di dunia
birokrasi pemerintahan yang pelakunya umumnya adalah para birokrat atau politisi sebagai
pembuat kebijakan sekaligus sebagai pelaksana kebijakan itu. Penelitian dipersepsikan
sebagai milik peneliti, sedangkan membuat kebijakan merupakan garapan para birokrat atau
politisi.
Perkembangan kehidupan modern (modern life order) memungkinkan konsep
penelitian dan kebijakan itu berakomodasi dalam suasana serasi. Kini, penelitian dan
kebijakan telah menjelma sebagai field of study yang disebut dengan ‘Penelitian Kebijakan’.
Proses kerja penelitian kebijakan me-refer pada proses kerja penelitian pada umumnya,
namun dilihat dari hasil akhir yang diinginkan penelitian kebijakan dapat dikatakan berbeda
dengan penelitian tradisional (ilmiah).
Ann Majchrzak seperti dikutip Danim (2005) mendefinisikan penelitian kebijakan
sebagai proses penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau analisis terhadap
masalah sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk membantu pengambil
kebijakan memecahkan masalah dengan jalan menyediakan rekomendasi yang berorientasi
pada tindakan atau tingkah laku pragmatik. Rekomendasi yang berorientasi pada tindakan
atau tingkah laku pragmatik merujuk pada hasil penelitian, dimana yang perlu dihasilkan
dalam penelitian kebijakan bukan terletak pada sampai mana bobot ilmiah sebuah hasil
penelitian, namun sampai mana hasil penelitian memiliki aplikabilitas dalam rangka
memecahkan masalah sosial.
2.2 Penelitian Tradisional (Ilmiah) dan Penelitian Kebijakan
Istilah ‘penelitian tradisional’ merupakan terjemahan dari traditional research dalam
bahasa Inggris, namun tidak dimaksudkan sebagai lawan penelitian modern. Istilah
"penelitian tradisional" dipakai hanya untuk membedakan dengan penelitian kebijakan
(policy research), tanpa adanya pretensi untuk menyatakan bahwa policy research adalah
modern research. Penelitian tradisional (penelitian ilmiah pada umumnya) dibedakan dengan
penelitian kebijakan hanya karena sifat khasnya.
Penelitian merupakan proses kerja sistematis yang dilakukan oleh peneliti, dimulai dari
identifikasi dan perumusan masalah, telaah teoritis, penyusunan rancangan penelitian,
pengumpulan dan analisis data untuk menghasilkan kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sementara penelitian menurut Ardhana (1987) mempunyai sejumlah arti dan karena
itu dapat diterapkan dalam berbagai konteks. Penelitian dapat dibedah dengan membuat
klasifikasi atas dasar jenis, latar atau fokus kajian dan metode. Masing-masing jenis, fokus
kajian dan metode tersebut melahirkan perilaku yang berbeda, demikian juga hasil akhir
yang diharapkan.
Dilihat dari jenisnya, penelitian dibedakan atas penelitian murni (basic/pure research)
dan penelitian terapan (applied/ practical research). Penelitian murni adalah penelitian yang
semata-mata dimaksudkan untuk keperluan penelitian tanpa ada misi praktis yang diinginkan.
Fokus kajiannya adalah masalah kealaman dan hukum-hukumnya. Penelitian terapan adalah
penyelidikan yang hati-hati, sistematis dan terus-menerus terhadap suatu masalah dengan
tujuan untuk digunakan dengan segera untuk keperluan tertentu (Nazir, 1985). Penelitian
kebijakan (policy research), merupakan kelompok penelitian terapan dengan tujuan untuk
mendapatkan hasil segera, yaitu tersusunnya rekomendasi yang diperlukan oleh pengambil
kebijakan.
Proses kerja penelitian kebijakan, pola kerjanya relatif sama dengan penelitian
lainnya, namun dalam hal tertentu khas sifatnya. Kekhasan penelitian kebijakan antara lain
adalah rendahnya ketertiban ilmiah akibat kuatnya pengaruh lingkungan sosio-politik
(sociopolitical environtment) dan kemauan pembuat kebijakan (user) hasil penelitian, serta
lebih menekankan kepada sintesis terfokus dan data sekunder. Arah penelitian kebijakan,
diwarnai oleh political will pembuat kebijakan. Sehingga pengaruh lingkungan sosio-politik
mewarnai proses perumusan hasil penelitian kebijakan sangat ditentukan oleh budaya politik
suatu negara.
2.3 Peneliti Kebijakan dan Perumusan Kebijakan
Kebijakan (policy) dalam latar penelitian kebijakan diartikan sebagai tindakan-tindakan
yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah publik. Pemecahan masalah publik oleh
policymaker dilakukan atas dasar rekomendasi yang dibuat oleh policy researcher
berdasarkan hasil penelitiannya. Kebijakan dalam hal ini tidak dipersepsi dari sudut pandang
politik pemerintahan, melainkan kebijakan sebagai objek studi.
Anderson (1979) merumuskan batasan kebijakan sebagai objek study studi atau field of
study sebagai berikut : "A purpose course of action followed by an actor or set of factor in
dealing with problem or matter of concern. This concept of policy focusses attention in what
actually done againts what is purposed or intended, and it differentieates a policy from
decision."
Kerr (1976) merumuskan batasan kebijakan sebagai objek studi atau field of study
sebagai berikut : "To this poin in our analysis, we can say that a policy exist when following
is statisfied : some agent or agency (a) must be obligated to act in accord with some
conditional imperative i.e.: do something in particular, (b) whenever specified conditions, (c)
occur, in order to achieve some purpose."
Kebijakan sebagai field of study lebih menekankan pada ‘apa yang dikerjakan’ dari
pada ‘apa yang diusulkan atau dikehendaki’, dengan mengedepankan kedudukan aktor di
dalamnya. Aktor dalam hal ini bisa berupa orang atau badan hukum yang bekerja untuk
mencapai tujuan dengan tindakan tertentu. Kata aktor (actor) bisa berupa orang atau badan
hukum, dengan derajat keterlibatan intensif atau tidak, langsung atau tidak. Peneliti kebijakan
merupakan salah satu subjek yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pihak lain yang
terlibat dalam pembuat kebijakan, dalam terminology penelitian kebijakan, sebagian
diantaranya adalah stakeholder.
Secara lebih luas perumus kebijakan adalah pembuat kebijakan (administrator,
eksekutif, legislator dan sejenisnya), peserta non-struktural, kelompok peneliti dan kelompok
lain yang berkepentingan, dan pribadi perseorang-an. Keterlibatan mereka ada dalam proses
identifikasi masalah, formulasi kebijakan, pelak sanaan, evaluasi, pengawasan dan
pengendalian kebijakan, dengan kadar yang berbeda.

1. Pembuat Kebijakan
Pembuat kebijakan, apakah dia disebut administrator, eksekutif dan sejenisnya adalah
peserta utama perumusan kebijakan. Mereka dusuk sebagai aktor kebijakan karena status
formalnya, dan sering disebut pembuat keputusan formal. Termasuk disini ketua lembaga,
administrator departemen, hakim, jaksa, rektor perguruan tinggi, gubernur , bupati dan lain-
lain serta pembuat undang-undang seperti DPR.
Pembuat keputusan formal ini bekerja atas dasar prioritas yang mendesak, mereka
bertanggungjawab atas proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan dan pertanggungjawabanya
Keluasan dan kekompleksan tugas yang diemban membuat mereka tidak mungkin lagi
“penguasa tunggal”. Untuk membuat keputusan formal memerlukan bantuan partisipan atau
aktor lain seperti peneliti kebijakan.

2. Peneliti Kebijakan dan Peserta Lain


Peneliti kebijakan adalah orang yang memiliki pemikiran cemerlang dan idealis.
Lindblom (1980) mengemukakan bahwa orang yang memiliki pikiran cemerlang dan
mempunyai idealisme merupakan kelompok yang paling besar perannya dalam perumusan
kebijakan pemerintah. Bahwa pembuat keputusan dapat bekerja atas dasar pengalaman yang
dimilikinya. Tetapi, khusus untuk Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan berbhinneka,
setiap keputusan yang akan dibuat oleh pejabat tidak hanya dilakukan atas dasar gejala yang
muncul dipermukaan. Kondisi ini memberi peluang banyak bagi masuknya pengaruh
kelompok peneliti dalam perumusan kebijakan. Hasil akhir tentu saja dapat dirumuskan
kebijakan yang benar secara ilmiah dan dapat diterima secara politis.

2.4 Mengilmiahkan Kebijakan

Dunia kebijakan dalam terminologi politik adalah milik birokrat, dan dunia ilmiah
dalam terminologi penelitian adalah ilmuwan. Pembuat kebijakan formal terutama eksekutif
pemerintahan adalah birokrat dan peneliti yang bernaung dikelembagaan penelitian atau
peneliti independen adalah ilmuwan tulen. Keduanya tentu saja tidak mungkin lagi bekerja
sendiri-sendiri.
Peneliti cenderung tampil sebagai tenaga profesional, syarat dengan metodologi dan
perpikir analisis. Profesional dipersepsi sebagai kemampuan akademik yang diperoleh di
bangku kullah, bukan dalam konsep Arturo Israel (1992) memperluas konsep ini pada banyak
keahlian, bahkan pada tingkatan yang rendah. Penggabungan dua perilaku itu oleh Hoy dan
Miskel (1978) disebut dengan proses akomodasi -mengakomodasikan konsep birokrasi
dengan konsep profesional- yang pada gilirannya akan melahirkan kebijakan yang lebih
banyak berwarna ilmiah ketimbang warna politik. Inilah yang dimaksud dengan
mengilmiahkan kebijakan.
Penggabungan ini seyogianya merupakan menjadi budaya umum di negara kita.
Dikatakan oleh Israel (1992) bahwa setiap negara harus mencari jalannya sendiri untuk
mengembangkan norma tingkah laku yang kuat, ditentukan secara jelas untuk berbagai
keahlian dan menanamkan seperangkat nilai baru serta perangsang non-uang.
Layaknya kebijakan yang selalu mengacu ke masa depan dan tidak jarang memerlukan
waktu yang panjang, maka sifat ketidakpastian.dari sebuah kebijakan akan selalu ada. Oleh
karena itu, kedudukan ilmuwan berperan, karena mereka punya kapasitas menyusun proyeksi
kuantitatif, mulai dari perhitungan yang sederhana, seperti t-test, analisis korelasi sederhana
sampai dengan analisis multivariat. Tanpa perhitungan yang saksama, maka ketidakpastian
itu akan makin menjadi-jadi sejalan dengan kompleksnya permasalahan yang dihadapi.
Penelitian kebijakan hadir untuk mengilmiahkan kebijakan atau menghasil-kan
kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dalam batas-batas yang tidak
berbenturan keras dengan political will di suatu negara. Ada sekelompok pendukung yang
penuh keyakinan bahwa kalaupun otak manusia punya keterbatasan, namun ada saatnya akan
dapat mengimbangi kepelikan dunia sosial melalui suatu sistem rekayasa yang disebut
dengan rekayasa sosial. Karena itu, seperti dikemukakan oleh Lindblom (1980) ada
kemungkinan kelompok ini untuk meningkatkan peran komponen analisis (akademik-ilmiah)
dan menurunkan bobot politis dalam perumusan kebijakan.
Dalam wawasan atau idealisme ini, proses perumusan kebijakan berkaitan erat dengan
proses kerja ilmiah apa pun, yang meliputi:
1.Identifikasi dan formulasi masalah kebijakan.
2.Penentuan alternatif kebijakan untuk pemecahan masalah.
3.Pengkajian atau analisis kelayakan masing-masing alternatif kebijakan.
4.Pelaksanaan kebijakan dan menentukan standar kinerja minimal.
5. Evaluasi keberhasilan, dengan ukuran-ukuran kuantitatif seperti cost-benefit
analysis, cost-effectiveness analysis dan lain
Bab 3 Penutup

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai