Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan
1. Pembuat Kebijakan
Pembuat kebijakan, apakah dia disebut administrator, eksekutif dan sejenisnya adalah
peserta utama perumusan kebijakan. Mereka dusuk sebagai aktor kebijakan karena status
formalnya, dan sering disebut pembuat keputusan formal. Termasuk disini ketua lembaga,
administrator departemen, hakim, jaksa, rektor perguruan tinggi, gubernur , bupati dan lain-
lain serta pembuat undang-undang seperti DPR.
Pembuat keputusan formal ini bekerja atas dasar prioritas yang mendesak, mereka
bertanggungjawab atas proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan dan pertanggungjawabanya
Keluasan dan kekompleksan tugas yang diemban membuat mereka tidak mungkin lagi
“penguasa tunggal”. Untuk membuat keputusan formal memerlukan bantuan partisipan atau
aktor lain seperti peneliti kebijakan.
Dunia kebijakan dalam terminologi politik adalah milik birokrat, dan dunia ilmiah
dalam terminologi penelitian adalah ilmuwan. Pembuat kebijakan formal terutama eksekutif
pemerintahan adalah birokrat dan peneliti yang bernaung dikelembagaan penelitian atau
peneliti independen adalah ilmuwan tulen. Keduanya tentu saja tidak mungkin lagi bekerja
sendiri-sendiri.
Peneliti cenderung tampil sebagai tenaga profesional, syarat dengan metodologi dan
perpikir analisis. Profesional dipersepsi sebagai kemampuan akademik yang diperoleh di
bangku kullah, bukan dalam konsep Arturo Israel (1992) memperluas konsep ini pada banyak
keahlian, bahkan pada tingkatan yang rendah. Penggabungan dua perilaku itu oleh Hoy dan
Miskel (1978) disebut dengan proses akomodasi -mengakomodasikan konsep birokrasi
dengan konsep profesional- yang pada gilirannya akan melahirkan kebijakan yang lebih
banyak berwarna ilmiah ketimbang warna politik. Inilah yang dimaksud dengan
mengilmiahkan kebijakan.
Penggabungan ini seyogianya merupakan menjadi budaya umum di negara kita.
Dikatakan oleh Israel (1992) bahwa setiap negara harus mencari jalannya sendiri untuk
mengembangkan norma tingkah laku yang kuat, ditentukan secara jelas untuk berbagai
keahlian dan menanamkan seperangkat nilai baru serta perangsang non-uang.
Layaknya kebijakan yang selalu mengacu ke masa depan dan tidak jarang memerlukan
waktu yang panjang, maka sifat ketidakpastian.dari sebuah kebijakan akan selalu ada. Oleh
karena itu, kedudukan ilmuwan berperan, karena mereka punya kapasitas menyusun proyeksi
kuantitatif, mulai dari perhitungan yang sederhana, seperti t-test, analisis korelasi sederhana
sampai dengan analisis multivariat. Tanpa perhitungan yang saksama, maka ketidakpastian
itu akan makin menjadi-jadi sejalan dengan kompleksnya permasalahan yang dihadapi.
Penelitian kebijakan hadir untuk mengilmiahkan kebijakan atau menghasil-kan
kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dalam batas-batas yang tidak
berbenturan keras dengan political will di suatu negara. Ada sekelompok pendukung yang
penuh keyakinan bahwa kalaupun otak manusia punya keterbatasan, namun ada saatnya akan
dapat mengimbangi kepelikan dunia sosial melalui suatu sistem rekayasa yang disebut
dengan rekayasa sosial. Karena itu, seperti dikemukakan oleh Lindblom (1980) ada
kemungkinan kelompok ini untuk meningkatkan peran komponen analisis (akademik-ilmiah)
dan menurunkan bobot politis dalam perumusan kebijakan.
Dalam wawasan atau idealisme ini, proses perumusan kebijakan berkaitan erat dengan
proses kerja ilmiah apa pun, yang meliputi:
1.Identifikasi dan formulasi masalah kebijakan.
2.Penentuan alternatif kebijakan untuk pemecahan masalah.
3.Pengkajian atau analisis kelayakan masing-masing alternatif kebijakan.
4.Pelaksanaan kebijakan dan menentukan standar kinerja minimal.
5. Evaluasi keberhasilan, dengan ukuran-ukuran kuantitatif seperti cost-benefit
analysis, cost-effectiveness analysis dan lain
Bab 3 Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA