Disusun Oleh:
Fatimah Cheisya Lolyta
G1A218064
Pembimbing:
dr. Makruf Effendy, Sp.P
Oleh:
Fatimah Cheisya Lolyta, S.Ked
G1A218064
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
sebab karena rahmaNya, laporan kasus atau Clinical Report Session yang berjudul
“Penyakit Paru Obstruktif Kronik” sebagai kelengkapan persyaratan dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Makruf Efendy, Sp.P selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing
dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam laporan
kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih kedepannya. Akhir kata, semoga
laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif non
reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya. Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering
ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan
tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan
definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan
emfisema merupakan diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu
gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan
bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan
anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus
alveolaris serta destruksi dinding alveolar.
Adapun faktor risiko terjangkitnya PPOK adalah kebiasaan merokok yang
masih tinggi (laki-laki diatas 15 tahun 60-70%), pertambahan penduduk, dan
peningkatan usia rata-rata penduduk dari 54 tahun, pada tahun 1960-an menjadi
63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi, dan polusi udara terutama di kota
besar, di lokasi industri, dan pertambangan.4,6
Di Indonesia angka kejadian dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di
daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta
3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6% (Kemenkes, 2013). Angka dari penderita
PPOK ini diperkirakan akan terus bertambah dikarenakan semakin tingginya
perokok di Indonesia dan udara yang tidak bersih akibat dari penggunaan
kendaraan bermotor serta asap yang ditimbulkan industri.
BAB II
LAPORAN KASUS
Mulut
Bibir : kering (-) sianosis (-)
Lidah : Atrofi papila lidah (-)
Gusi : anemis (-)
Telinga
Bentuk : simetris
Sekret : (-)
Pendengaran : normal
Leher
JVP : 5+2 cmH2O
Kelenjar tiroid : tidak teraba
Kelenjar limfe : tidak teraba
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicular sinistra
Perkusi : batas jantung
Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kiri : ICS VI linea midclavicula sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : simetris, pursed lips (-), dinding dada tertinggal (-), pink
puffer (-), blue bloater (-)
Palpasi : fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan dan kiri
Auskultasi : rhonki (-/-), wheezing (+/+)
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : soepel, nyeri tekan kuadran kiri atas (+)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Perkusi : timpani di 4 kuadran
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Rontgen Thorak
Kesan:
Infiltrat di seluruh lapang paru
Kardiomegali
2.5 Diagnosis Kerja
Diagnosis Kerja: Dispnea ec PPOK
Diagnosis banding:
Asma
Bronkiektasis
SOPT (Sindroma Obstruktif Pasca Tuberkulosis)
2.8 Tatalaksana
1. Farmakoterapi
Oksigen menggunakan nasal kanul 2-4L/menit
Salbutamol tablet 3 x 2 mg
Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)
2. Non Farmakoterapi
Tirah baring
Observasi tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, respirasi)
2.9 Edukasi
1. Berhenti merokok
2. Mengganti obat nyamuk bakar dengan obat nyamuk listrik
2.10 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
2.11 Follow Up Pasien
Tanggal 22 Agustus 2019
S : Sesak napas (+), susah tidur, nyeri perut kanan atas
O : GCS E4V5M6
TD: 110/80 mmHg, N: 90x/i, T: 36C, RR: 32x/i, SpO2 : 99%
A : Dispnea ec PPOK
P:
Salbutamol tablet 3 x 2 mg
Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)
Tanggal 23 Agustus 2019
S : Sesak nafas, susah tidur, nyeri perut kanan atas
O : GCS E4V5M6
TD: 130/70 mmHg, N: 88x/i, T: 36,2C, RR: 30x/i, SpO2 : 99%
A : Dispnea ec PPOK
P:
Salbutamol tablet 3 x 2 mg
Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)
Tanggal 24 Agustus 2019
S : Sesak nafas, susah tidur
O : GCS E4V5M6
TD: 120/80 mmHg, N: 84x/i, T: 36,2C, RR: 32x/i, SpO2 : 99%
A : Dispnea ec PPOK
P:
Salbutamol tablet 3 x 2 mg
Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)
Kesimpulan:
Dari perawatan selama 5 hari di rumah sakit, pasien telah mengalami
peningkatan kondisi. Dari yang awalnya pasien mengalami sesak saat berbaring,
pada hari ke-4, pasien telah bisa berbaring dan tidur, lalu pasien tidak sesak ketika
ke kamar mandi. Lalu pada hari pertama perawatan, pasien mengeluhkan nyeri
perut kanan atas, pada hari ke-4 pasien tidak mengeluhkan nyeri perutnya lagi.
Pada hari pertama perawatan, ditemukan wheezing dikedua lapang paru, namun
pada hari ke-4 perawatan. Wheezing sudah tidak terdengar lagi. Pasien pulang
hari ke-5 perawatan. Pasien dipulangkan jika tanda-tanda vital telah stabil, sesak
telah berkurang, aktivitas tidak disertai dengan sesak. Karena pada pasien ini
terdapat leukositosis dan peningkatan LED, hrus di observasi darah rutinnya, lalu
bisa dipulangkan jika hasilnya telah normal.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Paru
Paru-paru adalah dua organ yang berbentuk seperti bunga karang besar
yang terletak di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah besar.
Paruparu memanjang mulai dari dari akar leher menuju diagfragma dan secara
kasar berbentuk kerucut dengan puncak di sebelah atas dan alas di sebelah bawah.
Diantara paru-paru mediastinum, yang dengan sempurna memisahkan satu sisi
rongga torasik sternum di sebelah depan. Di dalam mediastinum terdapat jantung,
dan pembuluh darah besar, trakea dan esofagus, duktus torakik dan kelenjar timus.
Paru-paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru-paru sebelah kiri mempunyai dua
lobus, yang dipisahkan oleh belahan yang miring. Lobus superior terletak di atas
dan di depan lobus inferior yang berbentuk kerucut. Paru-paru sebelah kanan
mempunyai tiga lobus. Lobus bagian bawah dipisahkan oleh fisura oblik dengan
posisi yang sama terhadap lobus inferior kiri. Sisa paru lainnya dipisahkan oleh
suatu fisura horizontal menjadi lobus atas dan lobus tengah. Setiap lobus
selanjutnya dibagi menjadi segmen-segmen yang disebut bronko-pulmoner,
mereka dipisahkan satu sama lain oleh sebuah dinding jaringan koneknif , masing-
masing satu arteri dan satu vena. Masing-masing segmen juga dibagi menjadi
unit-unit yang disebut lobulus.1
3.2.2 Epidemiologi
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, dan tahun
2002 menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO
2002).3
The Asia Pasific COPD Round Table Group memperkirakan, jumlah
penderita PPOK sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik tahun 2006
mencapai 56,6 juta penderita dengan prevalensi 6,3%. Angka prevalensi berkisar
3,5-6,7%, seperti: China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang
(5,014 juta jiwa) dan Vietnam (2,068 juta jiwa) sementara di Indoneia
diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90% penderita PPOK
adalah perokok atau mantan perokok.3
Di Indonesia angka kejadian dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di
daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta
3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6% (Kemenkes, 2013). Angka dari penderita
PPOK ini diperkirakan akan terus bertambah dikarenakan semakin tingginya
perokok di Indonesia dan udara yang tidak bersih akibat dari penggunaan
kendaraan bermotor serta asap yang ditimbulkan industri.3
3.2.4 Patofisiologi
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan
fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara
anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru
dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal, radikal bebas dan
antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila
terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan
di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor
pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan
memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga terakumulasi. Partikel
tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga
menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa
berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang
kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet
sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan
infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu
siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang
terjadi adalah batuk kronis yang produktif.
3.2.6 Klasifikasi
Spirometri secara khusus digunakan untuk menentukan klasifikasi
keterbatasan aliran udara berdasarkan cut off poin. Derajat keterbatasan aliran
udara dikaitkan dengan peningkatan prevalensi eksaserbasi dan risiko kematian.
Tabel di bawah ini menunjukkan klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara
pada PPOK.
Penilaian Dari Keterbatasan Aliran Udara Pada PPOK. (Berdasarkan Post
Bronkodilator FEV1 )
Ada beberapa kuesioner yang divalidasi untuk menilai gejala pada pasien
PPOK yang digunakan untuk membedakan pasien dengan gejala yang lebih
ringan dan pasien dengan gejala yang lebih berat. Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) telah merekomendasikan penggunaan
modifikasi British Medical Research Council (mMRC) suatu kuesioner pada
sesak napas atau COPD Assessment Test (CAT), yang keduanya memiliki
cakupan yang lebih luas terhadap dampak PPOK pada kehidupan sehari-hari dan
kesejahteraan pasien. Skala gejala lain dapat juga digunakan, misalnya kuesioner
klinis PPOK.
COPD Asessment Test (CAT). (Skor CAT <10 gejala ringan, skor CAT>10 gejala
berat)
3.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis4
PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda
dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan
penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat
menegakkan diagnosis. Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK
adalah sebagai berikut:
Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi
sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
21
Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang
pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun
tidur.
Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan.
Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat
pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat.
Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian
pada penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki
resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk
perokok aktif sekitar 25%. Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam
peningkatan kasus PPOK.
Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif,
paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika
masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1- antitripsin.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
22
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan
berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
b. Pemeriksaan Fisik4
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan
yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat
berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi
toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
Inspeksi4
Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Palpasi4
Sela iga melebar
Perkusi4
Hipersonor
Auskultasi4
Fremitus melemah
Suara nafas vesikuler melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung menjauh
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
c. Pemeriksaan Penunjang4
Pemeriksaan Spirometri Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan
diagnosisnya menggunakan spirometri. The National Heart, Lung and Blood
23
Institute merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih
tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak
persisten. Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur
sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh
praktisi kesehatan. Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced
Expiratory Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah
volume udara yang pasien dapat keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama
setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis
kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien
dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh. Berdasarkan Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011, PPOK
diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:7
1. Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis: Memiliki satu atau lebih gejala batuk
kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal 14
2. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan
atau tanpa produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat
sesak 1. Spirometri: FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
3. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan
atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul
pada saat aktivitas). Spirometri: FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis: Sesak napas derajat sesak 3 dan
4.Eksaserbasi lebih sering terjadi. Spirometri: FEV1/FVC < 70%; 30% <
FEV1 < 50%.
5. Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis: Pasien derajat III dengan
gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung
kanan. Spirometri: FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.
24
harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis.
Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor
kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan
anemia atau polisitemia. Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan
ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi
tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga,
dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan
oksigen tambahan.
25
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
Golongan β– 2 agonis.
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnyaeksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
Golongan xantin.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
26
BAB IV
ANALISIS KASUS
Tn. N (74 tahun), masuk RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu
SMRS. Sesak napas dirasakan memberat ketika pasien sedang berbaring. Pasien
hanya mampu berbaring selama 5 menit lalu setelah itu pasien duduk untuk
menghilangkan sesak napasnya. Sesak napas dirasakan memberat pada malam
hari sehingga pasien sulit untuk tidur. Pasien mengalami batuk berdahak tidak ada
darah yang hilang timbul ± 3 bulan SMRS. Nyeri dada (-). Keluarga pasien
mengaku saat pasien tidur pada malam hari ada suara tambahan pada napas
pasien. Pasien bekerja sebagai petani namun 1 tahun terakhir pasien tidak bekerja
lagi karena setiap bekerja pasien mengalami sesak. Pasien merupakan seorang
perokok sejak ±60 tahun yang lalu dan sehari bisa menghabiskan 2 bungkus
rokok. Di rumah pasien menggunakan obat nyamuk bakar dan diletakkan di
samping pasien ketika tidur. Pasien sudah menggunakan obat nyamuk bakar
tersebut selama 5 tahun. Pasien pernah dirawat di RSUD Raden Mattaher 3 tahun
yang lalu dengan keluhan yang sama yaitu sesak nafas.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut sebelah kanan atas yang dirasakan 3
hari SMRS, nyeri dirasakan ketika pasien terlambat makan dan jika makan
kebanyakan. Nyeri hilang sementara setelah pasien makan. ± 3 bulan SMRS
pasien pernah mengalami keadaan yang sama dan sempat berobat ke puskesmas
dan dokter bilang bahwa pasien mengalami maag.
Sesak yang dirasakan semakin memberat sejak 1 minggu SMRS. Batuk
ada namun jarang dan berdahak. Keluhan ini terus dirasakan dan semakin
memberat hingga akhirnya anak pasien membawa pasien ke RSUD. Pada kasus
ini, diawali dengan rokok sebagai faktor penyebabnya berdasarkan anamnesis,
pasien mengakui bahwa dirinya adalah perokok berat ± 60 tahun yang lalu.
Menurut indeks Brinkman, derajat perokok dapat dihitung dengan rumus rata-rata
rokok yang dihisap perhari dikali dengan berapa lama merokok dalam tahun. Pada
pasien ini, pasien merokok sehari 2 bungkus sejak 40 tahun yang lalu. 40 batang x
40 tahun= 1600. Dimana menurut indeks Brinkman jika hasilnya >600 maka
27
dikategorikan sebagai perokok berat. Hal ini sesuai dengan faktor resiko
terjadinya PPOK yaitu perokok, baik perokok ringan, sedang maupun berat yang
dapat dihitung menggunakan Indeks Brinkman.
Dari anamnesis pasien mengaku menggunakan obat nyamuk bakar sejak 5
tahun yang lalu, keadaan tersebut merupakan salah satu dari faktor resiko
terjadinya PPOK yaitu riwayat terpajan polusi udara atau zat iritan.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital TD: 130/80, nadi
78x/menit, RR: 30x/ menit, suhu 36,10C. Dan pada pemeriksaan paru didapatkan
suara napas ronkhi (-/-) dan wheezing (+/+). Dari hasil pemeriksaan paru tersebut
didapatkan wheezing di kedua lapang paru menandandakan adanya obstruksi pada
saluran nafas. Pemeriksaan lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah
(LED) yang merupakan tanda adanya terjadi infeksi. Pada pemeriksaan rontgen
thorak ditemukan infiltrat diseluruh lapang paru dan ditemukan kardiomegali.
Untuk penatanalaksanaan pada pasien ini dilakukan tatalaksana
farmakologis dan non farmakologis. Untuk tatalaksana secara farmakologis yang
utama diberikan injeksi salbutamol 3 x 2 mg sebagai pereda sesak napas, injeksi
ranitidin 2 x 25 mg untuk meredakan penyakit lambung, injeksi ceftriaxone 2x1 gr
sebagai profilaksis jika adanya infeksi dan dilakukan nebu dengan combivent
setiap 12 jam.
Untuk penatalaksanaan non farmakologis, pasien diharapkan bed rest total.
Pemberian O2 melalui hidung tetap dijalankan dan observasi tanda-tanda vital
pasien.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Hall, John E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Amsterdam:
Elsevier
2. Ahmad Rasyid. 2002. Etiopatogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronis dalam
Workshop Pulmonology. Palembang: Subbagian Pulmonologi Bagian Ilmu
Penyakit Dalam.
3. Wilson, Loraine M. 2006. Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Patofisiologi.
Vol.2. Edisi Keenam. EGC: Jakarta
4. Kemenkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi
Kronis. Diakses dari:
http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk10222008.pdf
5. PDPI. 2011. PPOK Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta
6. Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease.
In: Longo D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's
principles of internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. pp.
2151–2159.
7. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A
Guide for Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease Inc.; 2017.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
9. Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth.
Edisi 12. Jakarta: Kedokteran EGC.
29