Anda di halaman 1dari 29

Clinical Report Session (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A218064/ Agustus 2019


**Pembimbing dr. Makruf Effendy, Sp.P

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun Oleh:
Fatimah Cheisya Lolyta
G1A218064

Pembimbing:
dr. Makruf Effendy, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Oleh:
Fatimah Cheisya Lolyta, S.Ked
G1A218064

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

Jambi, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Makruf Efendy, Sp.P


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
sebab karena rahmaNya, laporan kasus atau Clinical Report Session yang berjudul
“Penyakit Paru Obstruktif Kronik” sebagai kelengkapan persyaratan dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Makruf Efendy, Sp.P selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing
dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam laporan
kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih kedepannya. Akhir kata, semoga
laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.

Jambi, Agustus 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif non
reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya. Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering
ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan
tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan
definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan
emfisema merupakan diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu
gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan
bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan
anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus
alveolaris serta destruksi dinding alveolar.
Adapun faktor risiko terjangkitnya PPOK adalah kebiasaan merokok yang
masih tinggi (laki-laki diatas 15 tahun 60-70%), pertambahan penduduk, dan
peningkatan usia rata-rata penduduk dari 54 tahun, pada tahun 1960-an menjadi
63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi, dan polusi udara terutama di kota
besar, di lokasi industri, dan pertambangan.4,6
Di Indonesia angka kejadian dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di
daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta
3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6% (Kemenkes, 2013). Angka dari penderita
PPOK ini diperkirakan akan terus bertambah dikarenakan semakin tingginya
perokok di Indonesia dan udara yang tidak bersih akibat dari penggunaan
kendaraan bermotor serta asap yang ditimbulkan industri.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. N
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 74 tahun
Alamat : RT. 12 Aurduri
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Petani
MRS : 21 Agustus 2019

2.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS DAN ALLOANAMNESIS)


 Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak 1 minggu SMRS

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu SMRS. Sesak
napas dirasakan memberat ketika pasien sedang berbaring. Pasien hanya mampu
berbaring selama 5 menit lalu setelah itu pasien duduk untuk menghilangkan
sesak napasnya. Sesak napas dirasakan memberat pada malam hari sehingga
pasien sulit untuk tidur. Pasien mengalami batuk berdahak tidak ada darah yang
hilang timbul ± 3 bulan SMRS. Nyeri dada (-). Keluarga pasien mengaku saat
pasien tidur pada malam hari ada suara tambahan pada napas pasien. Pasien
bekerja sebagai petani namun 1 tahun terakhir pasien tidak bekerja lagi karena
setiap bekerja pasien mengalami sesak.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut sebelah kanan atas yang dirasakan 3
hari SMRS, nyeri dirasakan ketika pasien terlambat makan dan jika makan
kebanyakan. Nyeri hilang sementara setelah pasien makan.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa (+) 3 tahun yang lalu dan pasien dirawat di RSUD
Raden Mattaher

 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa (-)

 Riwayat Sosial Ekonomi


‐ Pasien bekerja sebagai petani, berhenti lalu bekerja sebagai tukang urut di
rumah
‐ Pasien seorang duda, tinggal bersama seorang anak, menantu dan cucu
‐ Riwayat merokok (+) sejak ±60 tahun, sehari pasien merokok sebanyak 2
bungkus
‐ Pasien menggunakan obat nyamuk bakar dan diletakkan di samping
tubuhnya sejak ± 5 tahun

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
 Kesadaran umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital sign : TD: 130/80 mmHg HR: 78x/menit RR:
30x/menit Suhu: 36,10C SpO2: 98%
 Status Gizi: BB: 55 kg TB: 165 cm IMT: 20,22 (normoweight)
Kulit
 Warna : sawo matang
 Efloresensi : (-)
 Jaringan parut : (-)
 Pertumbuhan rambut : normal
 Pertumbuhan darah : (-)
 Suhu : 36,10C
 Turgor : Normal
 Lainnya : (-)
Mata
 Bentuk : Simetris
 Sekret : (-/-)
 Septum : Deviasi septum (-/-)
 Selaput lendir : (-)
 Sumbatan : (-)
 Pendarahan : (-)

Mulut
 Bibir : kering (-) sianosis (-)
 Lidah : Atrofi papila lidah (-)
 Gusi : anemis (-)
Telinga
 Bentuk : simetris
 Sekret : (-)
 Pendengaran : normal
Leher
 JVP : 5+2 cmH2O
 Kelenjar tiroid : tidak teraba
 Kelenjar limfe : tidak teraba
Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicular sinistra
 Perkusi : batas jantung
Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kiri : ICS VI linea midclavicula sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
 Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
 Inspeksi : simetris, pursed lips (-), dinding dada tertinggal (-), pink
puffer (-), blue bloater (-)
 Palpasi : fremitus taktil kanan = kiri
 Perkusi : sonor kanan dan kiri
 Auskultasi : rhonki (-/-), wheezing (+/+)
Abdomen
 Inspeksi : datar
 Palpasi : soepel, nyeri tekan kuadran kiri atas (+)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
 Perkusi : timpani di 4 kuadran
 Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas
 Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
 Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Darah Rutin (21 Agustus 2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Harga Normal
WBC 12,42 () (4-10 103/mm3)
RBC 4,12 (3,5-5,5 106/mm3)
HGB 12,4 (11-16 g/dl)
HCT 39,4 (35-55 %)
PLT 204 (100-300 103/mm3)
MCV 95,6 (80-100 fl)
MCH 30,1 (27-34 pg)
MCHC 315 (320-360 g/L)
PCT 0,226 (0,1-0,28%)
LED 26 (0-20 mm/jam)
Pemeriksaan Elektrolit (21 Agustus 2019)
Parameter Hasil Harga Normal
Natrium (Na) 142,54 (135-148) mmol/L
Kalium (K) 3,98 (3,5-5,3) mmol/L
Chlorida (Cl) 104,13 (98-110) mmol/L
Calcium (Ca) 1,21 (1,19-1,23) mmol/L

Pemeriksaan Kimia Darah (21 Agustus 2019)


Paramater Hasil Harga Normal
FAAL GINJAL
Ureum 21 15-39 mg/dl
Kreatinin 1,2 0,9 – 1,3 mg/dl
GULA DARAH
GDS 178 < 200 mg/ dl

Rontgen Thorak

Kesan:
Infiltrat di seluruh lapang paru
Kardiomegali
2.5 Diagnosis Kerja
Diagnosis Kerja: Dispnea ec PPOK
Diagnosis banding:
 Asma
 Bronkiektasis
 SOPT (Sindroma Obstruktif Pasca Tuberkulosis)

2.7 Pemeriksaan Anjuran


Spirometri

2.8 Tatalaksana
1. Farmakoterapi
 Oksigen menggunakan nasal kanul 2-4L/menit
 Salbutamol tablet 3 x 2 mg
 Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
 Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)
2. Non Farmakoterapi
 Tirah baring
 Observasi tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, respirasi)

2.9 Edukasi
1. Berhenti merokok
2. Mengganti obat nyamuk bakar dengan obat nyamuk listrik
2.10 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
2.11 Follow Up Pasien
Tanggal 22 Agustus 2019
S : Sesak napas (+), susah tidur, nyeri perut kanan atas
O : GCS E4V5M6
TD: 110/80 mmHg, N: 90x/i, T: 36C, RR: 32x/i, SpO2 : 99%
A : Dispnea ec PPOK
P:
 Salbutamol tablet 3 x 2 mg
 Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
 Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)
Tanggal 23 Agustus 2019
S : Sesak nafas, susah tidur, nyeri perut kanan atas
O : GCS E4V5M6
TD: 130/70 mmHg, N: 88x/i, T: 36,2C, RR: 30x/i, SpO2 : 99%
A : Dispnea ec PPOK
P:
 Salbutamol tablet 3 x 2 mg
 Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
 Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)
Tanggal 24 Agustus 2019
S : Sesak nafas, susah tidur
O : GCS E4V5M6
TD: 120/80 mmHg, N: 84x/i, T: 36,2C, RR: 32x/i, SpO2 : 99%
A : Dispnea ec PPOK
P:
 Salbutamol tablet 3 x 2 mg
 Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
 Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)

Tanggal 25 Agustus 2019


S : Sesak nafas berkurang, susah tidur
O : GCS E4V5M6
TD: 110/70 mmHg, N: 88x/i, T: 36,5C, RR: 28x/i, SpO2 : 99%
A : Dispnea ec PPOK
P:
 Salbutamol tablet 3 x 2 mg
 Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
 Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)

Tanggal 26 Agustus 2019


S : Sesak nafas berkurang, susah tidur
O : GCS E4V5M6
TD: 120/70 mmHg, N: 90x/i, T: 36,2C, RR: 26x/i, SpO2 : 99%
A : Dispnea ec PPOK
P:
 Salbutamol tablet 3 x 2 mg
 Injeksi Ranitidin 2 x 25mg
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 1g
 Nebu Combivent 2,5ml (setiap 12 jam)
 BLPL

Kesimpulan:
Dari perawatan selama 5 hari di rumah sakit, pasien telah mengalami
peningkatan kondisi. Dari yang awalnya pasien mengalami sesak saat berbaring,
pada hari ke-4, pasien telah bisa berbaring dan tidur, lalu pasien tidak sesak ketika
ke kamar mandi. Lalu pada hari pertama perawatan, pasien mengeluhkan nyeri
perut kanan atas, pada hari ke-4 pasien tidak mengeluhkan nyeri perutnya lagi.
Pada hari pertama perawatan, ditemukan wheezing dikedua lapang paru, namun
pada hari ke-4 perawatan. Wheezing sudah tidak terdengar lagi. Pasien pulang
hari ke-5 perawatan. Pasien dipulangkan jika tanda-tanda vital telah stabil, sesak
telah berkurang, aktivitas tidak disertai dengan sesak. Karena pada pasien ini
terdapat leukositosis dan peningkatan LED, hrus di observasi darah rutinnya, lalu
bisa dipulangkan jika hasilnya telah normal.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Paru


3.1.1 Anatomi Paru

Anatomi Paru

Paru-paru adalah dua organ yang berbentuk seperti bunga karang besar
yang terletak di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah besar.
Paruparu memanjang mulai dari dari akar leher menuju diagfragma dan secara
kasar berbentuk kerucut dengan puncak di sebelah atas dan alas di sebelah bawah.
Diantara paru-paru mediastinum, yang dengan sempurna memisahkan satu sisi
rongga torasik sternum di sebelah depan. Di dalam mediastinum terdapat jantung,
dan pembuluh darah besar, trakea dan esofagus, duktus torakik dan kelenjar timus.
Paru-paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru-paru sebelah kiri mempunyai dua
lobus, yang dipisahkan oleh belahan yang miring. Lobus superior terletak di atas
dan di depan lobus inferior yang berbentuk kerucut. Paru-paru sebelah kanan
mempunyai tiga lobus. Lobus bagian bawah dipisahkan oleh fisura oblik dengan
posisi yang sama terhadap lobus inferior kiri. Sisa paru lainnya dipisahkan oleh
suatu fisura horizontal menjadi lobus atas dan lobus tengah. Setiap lobus
selanjutnya dibagi menjadi segmen-segmen yang disebut bronko-pulmoner,
mereka dipisahkan satu sama lain oleh sebuah dinding jaringan koneknif , masing-
masing satu arteri dan satu vena. Masing-masing segmen juga dibagi menjadi
unit-unit yang disebut lobulus.1

3.1.2 Fisiologi Paru


Fungsi utama paru adalah sebagai alat pernapasan yaitu melakukan
pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari
atmosfer kedalam paru-paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara dari alveolar ke
luar tubuh (ekspirasi).1
Secara anatomi, fungsi pernapasan ini dimulai dari hidung sampai ke
parenkim paru. Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang
berfungsi sebagai konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai
respirasi (pertukaran gas). Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen (O2) ke
sel dan pengangkutan CO2 dari sel kembali ke atmosfer. Proses ini terdiri dari 4
tahap yaitu:
a. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari
alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh,
karena masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat
dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa
ini disebut volume residu. Volume ini penting karena menyediakan O2
dalam alveoli untuk mengaerasikan darah.
b. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.
c. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan
dari sel-sel.
d. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Dari aspek fisiologis, ada dua macam pernapasan, yaitu:


a. Pernapasan luar (eksternal respiration) yaitu penyerapan O2 dan
pengeluaran CO2 dalam paru-paru.
b. Pernapasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah
pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel.
Untuk melakukan tugas pertukaran udara, organ pernapasan disusun oleh
beberapa komponen penting antara lain :
a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot dan saraf perifer
b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran nafas, alveoli dan pembuluh darah.
c. Pleura viseralis dan pleura parietalis.
Beberapa reseptor yang berada di pembuluh arteri utama. Sebagai organ
pernapasan dalam melakukan tugasnya dibantu oleh sistem kardiovaskuler dan
sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain mensuplai darah bagi paru
(perfusi), juga dipakai sebagai media transportasi O2 dan CO2 sistem saraf pusat
berperan sebagai pengendali irama dan pola pernapasan. Dalam mekanika
pernapasan terdapat tiga tekanan yang berperan penting dalam ventilasi:
1. Tekanan atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh
berat udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Tekanan atmosfer
berkurang seiring dengan penambahan ketinggian diatas permukaan laut
karna lapisan-laisan dipermukaan bumi juga semakin menipis.
2. Tekanan intra-alveolus/ intrapulmonal (760 mmHg) adalah tekanan
didalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui
saluran napas penghantar, udara cepat mengalir menuruni gradien
tekanannya setiap etekanan intra-alveolus berbeda d 10 atmosfer;udara
terus mengalir sampai kedua tekanan seimbang (ekuilibrium).
3. Tekanan intrapleura (756 mmHg) adalah tekanan didalam kantung pleura.
Ditimbulkan dari luar paru didalam rongga thoraks. Sebelum inspirasi
terlihat otot-otot pernapasan relaks dan besar tekanan intra-alveolus sama
dengan tekanan atmosfer. Pusat irama dasar pernapasan (dorsal respiratory
group/DRG group/DRG di formasio retikularis medula oblongata)
mengirimkan impuls dari I neuron I-DRG melalui n.phrenicus ke otot- otot
inspirasi dan ke neuron E-VRG (ventral respiratory group).
Diafragma dan m.external intercostal berkontraksi → rongga thorak
membesar → tekanan transmural (intra-pleura & intra-alveolar) meningkat →
jaringan paru → tekanan intra-alveolar↓ → udara masuk ke alveolus. Napas
dalam melibatkan otot inspirasi tambahan : m. sternocleidomastoideus dan m.
scalenus. Pada akhir inspirasi otot-otot inspirasi relaks → tekanan transmural
(intrapleura intrapleura dan atmosfer) menurun → dinding dada menekan jaringan
paru → tekanan intra-alveolar meningkat → udara keluar. Impuls dari neuron E-
VRG menghambat neuron I-DRG sehingga menghentikan aktivitasnya dengan
penglepasan rangsangan inhibisi. Ekspirasi tenang tidak melibatkan otot-otot
ekspirasi. Ekspirasi aktif melibatkan otot-otot ekspirasi: m.internal intercostal dan
m.ab dominalis.1

3.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis


3.2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/ berbahaya.2,3

3.2.2 Epidemiologi
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, dan tahun
2002 menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO
2002).3
The Asia Pasific COPD Round Table Group memperkirakan, jumlah
penderita PPOK sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik tahun 2006
mencapai 56,6 juta penderita dengan prevalensi 6,3%. Angka prevalensi berkisar
3,5-6,7%, seperti: China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang
(5,014 juta jiwa) dan Vietnam (2,068 juta jiwa) sementara di Indoneia
diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90% penderita PPOK
adalah perokok atau mantan perokok.3
Di Indonesia angka kejadian dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di
daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta
3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6% (Kemenkes, 2013). Angka dari penderita
PPOK ini diperkirakan akan terus bertambah dikarenakan semakin tingginya
perokok di Indonesia dan udara yang tidak bersih akibat dari penggunaan
kendaraan bermotor serta asap yang ditimbulkan industri.3

3.2.3 Faktor Risiko


1. Asap rokok
a. Perokok aktif’
b. Perokok pasif
2. Polusi udara
a. Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
b. Polusi di luar ruangan
- Gas buangan kendaraan bermotor
- Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
3. Infeksi saluran napas bawah berulang
4. Sosio ekonomi3,4

3.2.4 Patofisiologi
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan
fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara
anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru
dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal, radikal bebas dan
antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila
terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan
di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor
pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan
memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga terakumulasi. Partikel
tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga
menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa
berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang
kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet
sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan
infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu
siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang
terjadi adalah batuk kronis yang produktif.

Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya


dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang
kemudian mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk
abnormal large-airspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease
pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk menghambat neutrofil,
menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring terus
berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta
pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia skuamosa dan
penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan obstruksi ireversibel
dari saluran nafas. Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga
dapat terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan
gangguan sirkulasi udara.6

3.2.5 Tanda dan Gejala9


Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe:
1. Mempunyai gambaran klinik dominan kearah bronchitis kronis (blue
bloater).
2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).
Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
‐ Kelemahan badan
‐ Batuk
‐ Sesak nafas
‐ Mengi atau wheezing
‐ Ekspirasi yang memanjang
‐ Batuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
‐ Penggunaan obat bantu pernafasan
‐ Suara nafas melemah
‐ Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
‐ Edema kaki, asietas dan jari tabuh.

3.2.6 Klasifikasi
Spirometri secara khusus digunakan untuk menentukan klasifikasi
keterbatasan aliran udara berdasarkan cut off poin. Derajat keterbatasan aliran
udara dikaitkan dengan peningkatan prevalensi eksaserbasi dan risiko kematian.
Tabel di bawah ini menunjukkan klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara
pada PPOK.
Penilaian Dari Keterbatasan Aliran Udara Pada PPOK. (Berdasarkan Post
Bronkodilator FEV1 )

Ada beberapa kuesioner yang divalidasi untuk menilai gejala pada pasien
PPOK yang digunakan untuk membedakan pasien dengan gejala yang lebih
ringan dan pasien dengan gejala yang lebih berat. Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) telah merekomendasikan penggunaan
modifikasi British Medical Research Council (mMRC) suatu kuesioner pada
sesak napas atau COPD Assessment Test (CAT), yang keduanya memiliki
cakupan yang lebih luas terhadap dampak PPOK pada kehidupan sehari-hari dan
kesejahteraan pasien. Skala gejala lain dapat juga digunakan, misalnya kuesioner
klinis PPOK.

Modifikasi British Medical Research Council (mMRC)

COPD Asessment Test (CAT). (Skor CAT <10 gejala ringan, skor CAT>10 gejala
berat)
3.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis4
PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda
dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan
penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat
menegakkan diagnosis. Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK
adalah sebagai berikut:
 Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi
sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.

21
 Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang
pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun
tidur.
 Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan.
Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat
pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat.
Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian
pada penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki
resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk
perokok aktif sekitar 25%. Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam
peningkatan kasus PPOK.

Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif,
paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika
masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1- antitripsin.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis

22
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan
berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.

b. Pemeriksaan Fisik4
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan
yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat
berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi
toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
 Inspeksi4
Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
 Palpasi4
Sela iga melebar
 Perkusi4
Hipersonor
 Auskultasi4
Fremitus melemah
Suara nafas vesikuler melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung menjauh
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa

c. Pemeriksaan Penunjang4
Pemeriksaan Spirometri Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan
diagnosisnya menggunakan spirometri. The National Heart, Lung and Blood

23
Institute merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih
tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak
persisten. Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur
sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh
praktisi kesehatan. Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced
Expiratory Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah
volume udara yang pasien dapat keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama
setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis
kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien
dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh. Berdasarkan Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011, PPOK
diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:7
1. Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis: Memiliki satu atau lebih gejala batuk
kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal 14
2. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan
atau tanpa produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat
sesak 1. Spirometri: FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
3. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan
atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul
pada saat aktivitas). Spirometri: FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis: Sesak napas derajat sesak 3 dan
4.Eksaserbasi lebih sering terjadi. Spirometri: FEV1/FVC < 70%; 30% <
FEV1 < 50%.
5. Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis: Pasien derajat III dengan
gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung
kanan. Spirometri: FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.

d. Pemeriksaan Penunjang lain4,5


Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa
tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada

24
harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis.
Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor
kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan
anemia atau polisitemia. Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan
ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi
tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga,
dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan
oksigen tambahan.

3.2.7 Penatalaksanaan PPOK


Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah
mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi
ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien,
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian. Terapi non
farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok,
meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta
memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan
panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK
adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan
penyakit. Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain, seperti
kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi
tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting). Macam-macam bronkodilator :
 Golongan antikolinergik.

25
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
 Golongan β– 2 agonis.
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnyaeksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
 Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
 Golongan xantin.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

26
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. N (74 tahun), masuk RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu
SMRS. Sesak napas dirasakan memberat ketika pasien sedang berbaring. Pasien
hanya mampu berbaring selama 5 menit lalu setelah itu pasien duduk untuk
menghilangkan sesak napasnya. Sesak napas dirasakan memberat pada malam
hari sehingga pasien sulit untuk tidur. Pasien mengalami batuk berdahak tidak ada
darah yang hilang timbul ± 3 bulan SMRS. Nyeri dada (-). Keluarga pasien
mengaku saat pasien tidur pada malam hari ada suara tambahan pada napas
pasien. Pasien bekerja sebagai petani namun 1 tahun terakhir pasien tidak bekerja
lagi karena setiap bekerja pasien mengalami sesak. Pasien merupakan seorang
perokok sejak ±60 tahun yang lalu dan sehari bisa menghabiskan 2 bungkus
rokok. Di rumah pasien menggunakan obat nyamuk bakar dan diletakkan di
samping pasien ketika tidur. Pasien sudah menggunakan obat nyamuk bakar
tersebut selama 5 tahun. Pasien pernah dirawat di RSUD Raden Mattaher 3 tahun
yang lalu dengan keluhan yang sama yaitu sesak nafas.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut sebelah kanan atas yang dirasakan 3
hari SMRS, nyeri dirasakan ketika pasien terlambat makan dan jika makan
kebanyakan. Nyeri hilang sementara setelah pasien makan. ± 3 bulan SMRS
pasien pernah mengalami keadaan yang sama dan sempat berobat ke puskesmas
dan dokter bilang bahwa pasien mengalami maag.
Sesak yang dirasakan semakin memberat sejak 1 minggu SMRS. Batuk
ada namun jarang dan berdahak. Keluhan ini terus dirasakan dan semakin
memberat hingga akhirnya anak pasien membawa pasien ke RSUD. Pada kasus
ini, diawali dengan rokok sebagai faktor penyebabnya berdasarkan anamnesis,
pasien mengakui bahwa dirinya adalah perokok berat ± 60 tahun yang lalu.
Menurut indeks Brinkman, derajat perokok dapat dihitung dengan rumus rata-rata
rokok yang dihisap perhari dikali dengan berapa lama merokok dalam tahun. Pada
pasien ini, pasien merokok sehari 2 bungkus sejak 40 tahun yang lalu. 40 batang x
40 tahun= 1600. Dimana menurut indeks Brinkman jika hasilnya >600 maka

27
dikategorikan sebagai perokok berat. Hal ini sesuai dengan faktor resiko
terjadinya PPOK yaitu perokok, baik perokok ringan, sedang maupun berat yang
dapat dihitung menggunakan Indeks Brinkman.
Dari anamnesis pasien mengaku menggunakan obat nyamuk bakar sejak 5
tahun yang lalu, keadaan tersebut merupakan salah satu dari faktor resiko
terjadinya PPOK yaitu riwayat terpajan polusi udara atau zat iritan.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital TD: 130/80, nadi
78x/menit, RR: 30x/ menit, suhu 36,10C. Dan pada pemeriksaan paru didapatkan
suara napas ronkhi (-/-) dan wheezing (+/+). Dari hasil pemeriksaan paru tersebut
didapatkan wheezing di kedua lapang paru menandandakan adanya obstruksi pada
saluran nafas. Pemeriksaan lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah
(LED) yang merupakan tanda adanya terjadi infeksi. Pada pemeriksaan rontgen
thorak ditemukan infiltrat diseluruh lapang paru dan ditemukan kardiomegali.
Untuk penatanalaksanaan pada pasien ini dilakukan tatalaksana
farmakologis dan non farmakologis. Untuk tatalaksana secara farmakologis yang
utama diberikan injeksi salbutamol 3 x 2 mg sebagai pereda sesak napas, injeksi
ranitidin 2 x 25 mg untuk meredakan penyakit lambung, injeksi ceftriaxone 2x1 gr
sebagai profilaksis jika adanya infeksi dan dilakukan nebu dengan combivent
setiap 12 jam.
Untuk penatalaksanaan non farmakologis, pasien diharapkan bed rest total.
Pemberian O2 melalui hidung tetap dijalankan dan observasi tanda-tanda vital
pasien.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Hall, John E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Amsterdam:
Elsevier
2. Ahmad Rasyid. 2002. Etiopatogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronis dalam
Workshop Pulmonology. Palembang: Subbagian Pulmonologi Bagian Ilmu
Penyakit Dalam.
3. Wilson, Loraine M. 2006. Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Patofisiologi.
Vol.2. Edisi Keenam. EGC: Jakarta
4. Kemenkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi
Kronis. Diakses dari:
http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk10222008.pdf
5. PDPI. 2011. PPOK Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta
6. Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease.
In: Longo D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's
principles of internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. pp.
2151–2159.
7. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A
Guide for Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease Inc.; 2017.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
9. Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth.
Edisi 12. Jakarta: Kedokteran EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai