Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FARMASI

INFARK MIOKARD AKUT

Disusun oleh:
Dinar Dewi Miftah Tyas Arum G99172058
Kho Chah G99182011

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung
adalah keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga sel
otot jantung mengalami kematian (Robbins, 2007). Di seluruh dunia, penyakit
jantung iskemik adalah salah satu penyebab kematian paling umum dan frekuensinya
meningkat. Satu juta orang di Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard
akut tiap tahunnya dan 300.000 orang meninggal karena infark miokard akut sebelum
sampai ke rumah sakit. Di Eropa, penyakit infark miokard akut sekarang
menyumbang hamper 1,8 juta kematian per tahun, atau 20% dari semua kematian
(Christofferson, 2009; Ibanez et al, 2017). Penyakit jantung cenderung meningkat
sebagai penyebab kematian di Indonesia. Laporan Profil Kesehatan Kota Semarang
tahun 2010 menunjukkan bahwa kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah
sebanyak 96.957 kasus dan sebanyak 1.847 (2%) kasus merupakan kasus infark
miokard akut. Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyakit tidak
menular yang menjadi penyebab utama kematian dan selama periode tahun 2005
sampai dengan tahun 2010 telah terjadi kematian sebanyak 2.941 kasus dan sebanyak
414 kasus (14%) diantaranya disebabkan oleh infark miokard akut (Dinas Kesehatan
Kota Semarang, 2010).
Infark miokard akut dapat menimbulkan berbagai komplikasi antara lain
gangguan irama dan konduksi jantung, syok kardiogenik, gagal jantung, ruptur
jantung, regurgutasi mitral, trombus mural, emboli paru, dan kematian. Angka
mortalitas dan morbiditas serta komplikasi IMA masih tinggi. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keterlambatan mencari pengobatan,
kecepatan serta ketepatan diagnosis dan penanganan dokter yang menangani . (Tidy,
2016; Sudoyo, 2010)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah
terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran
kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama
sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak
dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.
Penyebab terjadinya IMA adalah proses aterosklerosis, yaitu suatu keadaan pada
arteri besar dan kecil yang ditandi oleh penimbunan lemak, trombosit, makrofag
dan sel-sel darah putih lainnya diseluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel
endotel) dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling
sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan arteri-arteri serebrun. IMA
merupakan manifestasi klinik dari penyakit jantung koroner (Guyton, 2007;
Sugiani, 2004).
Terdapat beberapa klasifikasi tipe IMA, menyebabkan evolusi definisi
IMA. IMA terdiri dari lima tipe. Tipe I yaitu infark miokard spontan, tipe II,
infark akibat proses iskemia, tipe III, infark yang menyebabkan kematian tanpa
adanya nilai biomarker, tipe IV berkaitan dengan tindakan intervensi perkutan,
dan tipe V yang berhubungan dengan Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
(Thygesen et al, 2012).
Dari anamnesis didapatkan nyeri dada khas angina berupa nyeri dada rasa
berat/ ditindih/ dihimpit di daerah retrosternal menjalar kelengan kiri, leher rasa
tercekik atau rasa ngilu rahang bawah yang timbul saat aktivitas dan berkurang
saat istirahat. Untuk nyeri dada angina lamanya <20 menit. Untuk nyeri dada
infark nyeri >20 menit dan tidak berkurang walau dengan pemberian nitrat.
Adanya nyeri tipikal ini 24% kemungkinan IMA akut, dan kemungkinan
menurun 1% jika nyeri bersifat posisional atau pleuritik pada pasien tanpa
riwayat PJK. Nyeri yang muncul dapat berupa sensasi tajam, tertusuk, atau
terbakar. Nyeri tipe ini memiliki probabilitas 23 % terjadinya IMA. Nyeri
epigastrium dan nyeri dada tidak khas, tidak disertai penjalaran, atau kadang-
kadang hanya keringat dingin dan lemas saat aktivitas biasanya terjadi pada
orang tua atau pada penderita diabetes melitus (Christofferson, 2009; Burke dan
Virmani, 2007; Rhee et al,2011).
Gejala sistemik yang muncul berupa mual, muntah dan keringat dingin dan
kadang-kadang bisa sampai pingsan. Nyeri dada angina ekivalen yaitu presentasi
klinis tidak berupa nyeri dada tetapi sesak napas. Dapat disertai pingsan terutama
pada orang tua (Christofferson, 2009; Burke dan Virmani, 2007; Daubert et al,
2010).
Pemeriksaan EKG memegang peranan penting dalam mendiagnosa IMA,
dan harus dilakukan dalam 10 menit setelah berada pada pusat kesehatan. Pada
NSTEMI, perubahan berupa adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang
T. Pada STEMI didapat adanya elevasi segmen ST. Pada jam awal masih berupa
hiperakut T (gelombang T tinggi ) dan kemudian berubah menjadi ST elevasi.
Adanya LBBB baru juga merupakan tanda perubahan EKG pada infark
gelombang Q. Jika EKG awal meunjukkan hasil normal atau inkonklusif, maka
perlu dilakukan serial EKG, dan dibandingkan hasilnya. EKG saat istirahat tidak
secara adekuat merefleksikan dinamika trombosis koroner dan iskemia miokard.
Pembedaan STEMI dan NSTEMI secara klinis penting oleh karena terapi
rekanalisasi akut penting untuk memperbaiki luaran pada STEMI (Hamm et al,
2011; Anderson et al, 2011).
Marker yang biasa dipakai sebagai petunjuk adanya kerusakan miokard
ialah enzim CKMB, Troponin I dan T. Troponin merupakan marker yang sangat
sensitif dan spesifik untuk terjadinya nekrosis miokard. Peningkatan awal berasal
dari sitosolik sel, dan pelepasan selanjutnya akibat keluarnya enzim dari
komponen struktural. Troponin dapat dideteksi paling cepat 2-4 jam setelah onset
keluhan, namun peningkatannya bisa juga terlambat 8-12 jam. Waktu terjadinya
peningkatan CKMB juga sama. Troponin menetap dalam waktu yang lebih lama
yaitu 5-14 hari dibandingkan dengan CKMB (Anderson et al,2011).
B. Etiologi Infark Miokard Akut
Terdapat berbagai mekanisme patofisiologi penyebab terjadinya IMA,
antara lain aterosklerosis, sindrom vaskulitis, emboli koroner (contoh dari
endokarditis, katup buatan), anomali kongenital arteri koroner, trauma koroner
atau aneurisma, spasme pembuluh darah koroner, peningkatan viskositas darah
(contoh polisitemia vera, trombositosis), dan peningkatan kebutuhan oksigen
miokard (contoh aorta stenosis). Berbagai penyebab ini menyebabkan kondisi
meliputi kerusakan endotel melalui disrupsi plak, lesi luminal ireguler, shear
injury, agregasi platelet, pembentukan trombus yang menyebabkan oklusi lumen
parsial atau total, vasospasme arteri, dan cedera reperfusi akibat radikal oksigen
bebas, kalsium, dan neutrofil (Rhee et al, 2011).
C. Patofisiologi Infark Miokard Akut
Iskemia miokard terjadi bila terjadi penurunan aliran darah koroner sangat
berat sehingga ketersediaan oksigen untuk miokard tidak cukup untuk kebutuhan
oksigen jaringan. Konsep biologi berdasar prinsip biologi umum dari sel hati dan
otak, menunjukkan adanya dua fase adaptasi, yang disebut pertahanan jangka
pendek dan penyelamatan jangka panjang. Tujuan mekanisme pertahanan jangka
pendek adalah membentuk keseimbangan baru antara ketersediaan dan
kebutuhan oksigen, dengan kombinasi down regulation kontraksi dan
upregulation produksi energi anaerobik melalui glikolisis. Penyelamatan jangka
panjang sampai saat ini belum diketahui jelas, tetapi bahwa tampaknya iskemia
melalui hipoksia mampu menginduksi serangkaian sinyal seluler yang
menyebabkan mekanisme protektif genetik reprogramming. Bila dua fase
adaptasi ini gagal, karena iskemi yang terjadi sangat berat maka akan terjadi
nekrosis sel. Adaptasi jangka panjang merupakan reaksi protektif terhadap
terjadinya iskemi, seperti hibernasi dan stunning (Rhee et al, 2011).
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan
kerusakan sel yang ireversibel serta nekrosis atau kematian otot, sehingga akan
berhenti kontraksi secara permanen (Antman et al, 2008).
Proses patofisiologi yang terjadi setellah infard mmiokard akut adalah
kompleks. Terdiri dari gangguan sistolik dan diastolik, gangguan sirkulasi,
perluasan daerah infark, dan dilatasi ventrikel. Banyak episode dari iskemia
miokard umumnya dipercaya berasal dari penurunan mutlak dalam aliran darah
miokard regional dibawah level-level paling dasar, dengan subendokardium
membawa sebuah beban terbesar dari defisit aliran dari epikardium, apakah
dipicu oleh sebuah penurunan besar dalam aliran darah koroner atau sebuah
peningkatan dalam kebutuhan oksigen. Beragam sindroma koroner akut
membagikan sebuah substrat patologi yanng lebih atau kurang umum.
Perbedaan-perbedaan presentasi klinis dihasilkan secara besar dari perbedaan-
perbedaan dalam besaran oklusi koroner, durasi oklusinya, pengaruh berubahnya
aliran darah lokal dan sistemik, dan kecukupan kolateral-kolateral koroner
(Antman et al, 2008).
Pada pasien dengan angina tak stabil, banyak episode iskemia saat
beristirahat yang muncul tanpa perubahan-perubahan diatas pada kebutuhan
oksigen miokardium namun dipicu oleh penurunan primer dan episodik dalam
aliran darah koroner. Perburukan gejala-gejala iskemik pada pasien dengan
penyakit arteri koroner stabil bisa dipicu oleh faktor-faktor ekstrinsik seperti
anemia parah, tirotoksikosis, takiaritmia akut, hipotensi, dan obat-obat yang
mampu meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium; bagaimanapun dalam
banyak kasus, tidak ada pemicu eksternal yang jelas yang dapat diidentifikasi.
Pada pasien-pasien ini yang merupakan mayoritas evolusi dari angina yang tak
stabil dan komplikasi-komplikasi klinisnya adalah hasil dari sebuah kompleks
yang saling mempengaruhi yang melibatkan plak aterosklerosis koroner dan
stenosis, pembentukan trombus trombosis fibrin, dan bunyi vaskular abnormal.
Beberapa studi menunjukkan bahwa plak ateroskelosis menyebabkan sindroma
koroner akut tak stabil dengan ciri memiliki sebuah fisura atau ruptur dalam topi
fibrosa-nya, sangat sering dibagian bahu (persimpangan bagian dinding arteri
yang normal dan segmen bantalan-plak). Plak-plak ini cenderung memiliki topi-
topi fibrosa aselular yang diinfiltrasikan dengan sel-sel busa atau makrofag dan
kolam eksentrik inti lipid yang lembut dan nekrotik. Studi-studi klinis dan
angiografi menunjukkan bahwa plak fisura mengakibatkan angina tak stabil atau
infark miokard akut yang tidak hanya muncul pada area stenosis aterosklerosis
parah, namun juga lebih umum pada stenosis koroner minimal. Rentetan
observasi angiografi telah menunjukkan bahwa perkembangan dari angina stabil
ke tak stabil berkaitan dengan perkembangan penyakit aterosklerosis pada 60-
75% pasien. Hal ini mencerminkan episode-episode yang berlanjut dari mural
trombosis dan penggabungan dalam 6 plak-plak yang mendasar. Studi-studi ini
dan studi-studi lainnya telah menunjukkan bahwa awalnya lesi-lesi koroner
menutupi area arteri koroner kurang dari 75% dan mengakibatkan angina yang
tak stabil atau infark miokard; lesi-lesi menutupi lebih dari 75% yang
kemungkinan mengakibatkan oklusi total, namun kurang mungkin
mengakibatkan infark miokard, mungkin karena kemungkinan perkembangan
darah vesel kolateral dalam arteri-arteri stenotik yang parah. Lebih lanjut lagi,
pemodelan positif kembali keluar (efek glagov) dari segmen-segmen arteri
koroner yang mengandung plak-plak aterosklerosis besar dapat meminimalkan
kompromi luminal dan menaikkan kerentanan terhadap gangguan plak (Antman
et al, 2008).
D. Tatalaksana IMA
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada (Fauci et al, 2010; Sudoyo, 2010)
1. Tatalaksana awal
a. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama
onset gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga
elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI
antara lain :
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh
lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk
meminta pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi
kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai
pentingnya tatalaksana dini. Pemberian fibrinolitik pre hospital
hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik di ambulans yang sudah
terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI serta
ada kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada
pemberian terapi (Antman et al, 2008; Fauci et al, 2010; Sudoyo,
2010).
b. Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri
dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI
(Antman et al, 2008; Fauci et al, 2010; Sudoyo, 2010).
2. Tatalaksana umum
a. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama (Libby, 2008).
b. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit.
i. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
ii. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
iii. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam (Antman,
2008; Sudoyo, 2010).
3. Tatalaksana di rumah sakit
a. Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
b. Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12
jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
c. Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg,
oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
d. Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi komod
di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan pencahar ringan
secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari) (Antman,
2008; Sudoyo, 2010).
BAB III
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. M
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Boyolali
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status Perkawinan : Menikah
No. Rekam Medis : 01456XXX

2. Keluhan Utama
Nyeri dada

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSDM dengan keuhan nyeri dada sejak 4 jam
SMRS. Nyeri dada dirasakan pasien saat hendak tidur. Nyeri dada sebelah kiri
menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dada terasa seperti ditimpa beban
berat. Nyeru dada seperti ini sering hilang timbul sejak 1 tahun SMRS dan
mereda bila istirahat. Nyeri saat ini dirasakan memberat sejak 4 jam SMRS.
Pasien juga merasa sesak napas dan berkeringat dingin. Dada terasa berdebar
dan disertai mual.
Pasien tidak merasa sesak bila berbaring, dapat tidur dengan 1 bantal.
Pasien tidak pernah terbangun pada malam hari karena sesak. Pasien semakin
membatasi aktivitas fisik karena bila banyak bergerak pasien merasa sesak
dan sakit dada yang hilang jika beristirahat. Nyeri dada juga muncul bila
banyak pikiran. Pasien juga merasa keluhan muncul bila berjalan jauh. Pasien
tidak merasa cepat haus/lapar ataupun terbangun untuk BAK dimalam hari.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat sakit jantung : disangkal
c. Riwayat hipertensi : (+) sejak ±2 tahun yang lalu, tidak
kontrol
rutin di Puskesmas
d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
e. Riwayat sakit jantung : disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
c. Riwayat sakit jantung : (+) ayah kandung pasien, meninggal 5
tahun yang lalu
d. Riwayat sakit ginjal : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : satu bungkus/hari sejak usia 25
tahun
b. Riwayat olah raga : jarang
c. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang VAS 6, GCS E4V5M6 (compos
mentis), gizi kesan cukup
2. Tanda vital
Tensi : 120/80 mmHg
Respirasi : 32 x/menit
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 36,7°C
Berat badan : 63 kg
Tinggi badan : 165 cm
IMT : 23,14
3. Keadaan Sistemik
Kulit : warna coklat, kering (-), turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)
Kepala : bentuk normocephal, rambut mudah rontok (-), luka (-), atrofi
m. temporalis (-).
Mata : mata cekung (-/-), oedem palpebra (-/-), konjungtiva pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), edema palpebra (-/-), strabismus
(-/-)
Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi(-), gusi berdarah
(-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-)
Leher : JVP R + 2 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-), leher kaku (-)
Axilla : rambut axilla rontok (-)
Thorax : bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri,
venektasi (-), retraksi intercostal (-), spidernevi (-), pernafasan
thorakoabdominal, sela iga melebar(-), pembesaran KGB axilla
(-/-), atrofi m. Pectoralis (-).
Jantung
 Inspeksi : ictus kordis tak tampak
 Palpasi : ictus kordis tidak kuat angkat
 Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea parasternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea parasternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC V dua jari lateral linea midklavicularis
sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung I-II normal, reguler, bising (-), gallop (-).
Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak
mendatar
- Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
 Perkusi
- Kanan : sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC VI linea
midclavicularis dextra, pekak pada batas absolut paru hepar
- Kiri : sonor, sesuai batas jantung pada SIC V linea
midclavicularis sinistra
 Auskultasi
- Kanan : suara dasar vesikuler di SIC II-V, suara tambahan
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus
(+) 1/3 basal paru, krepitasi (-)
- Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+) 1/3 basal
paru, krepitasi (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : normochest, simetris.
- Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor, mulai redup pada batas paru bawah V. Th X
- Kiri : Sonor, mulai redup pada batas paru bawah V. Th XI
- Peranjakan diafragma 4 cm kanan = kiri
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+) 1/3 basal
paru, krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+) 1/3 basal
paru, krepitasi (-)
Abdomen
 Inspeksi : dinding perut sejajar dinding thorak,ascites (-), venektasi (-
), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit hepar (-), bising epigastrium
(-)
 Perkusi : area troube timpani, hepar dan lien dalam batas normal,
pekak, pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi (-)
 Palpasi : supel, nyeri tekan(-), hepar dan lien teraba dalam batas
normal.
Ekstremitas : clubbing finger (-/-), atrofi otot (-/-), sianosis (-/-), tugor
baik.
Oedem - - Akral Dingin - -
- - - -
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Elektrokardiografi (13/5/2019)

Interpretasi:
Sinus rhythm, laju 110x/menit, normo aksis, durasi p-wave 0.10 s, durasi
QRS-complex 0.08 s, Elevasi ST segmen di lead V1-V6.
Kesimpulan:
Sinus rhythm, normo aksis, ST elevasi miokard infarl whole anterior

2. Pemeriksaan Laboratoorium (13/5/2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hemoglobin 17 g/dL 13.5 – 17.5

Hematokrit 43 % 33 – 45

Leukosit 10.0 ribu/µl 4.5 – 11.0

Trombosit 248 ribu/µl 150 – 450

GDS 140 mg/dl 60 – 140

HbA1C 6.0 % 4.0-6.0


GD2PP 200 mg/dl 200

SGOT 34 u/l <35

SGPT 43 u/l <45

Creatinine 1.3 mg/dl 0.9 – 1.3

Ureum 49 mg/dl < 50

Natrium darah 136 mmol/L 136 –145

Kalium darah 3.8 mmol/L 3.3 –5.1

Kalsium ion 1.23 mmol/L 1.17 – 1.29

Klorida ion 107 mmol/L 97-111

Troponin T 1.1↑ µg/L 0-0.1

CK-MB 58↑ U/L 7-25

PT 14.1 detik 10.0-15.0

APTT 26.9 detik 20.0-40.0

INR 1.110

Kolesterol total 108 mg/dl 200

HDL 18 mg/dl >65

LDL 69 mg/dl <130

Trigliserida 158 mg/dl <200

Asam urat 6.8 mg/dl 2.4-5.7

D. Assesment
Diagnosis : ST Elevasi Miokard Infark Whole Anterior Killip II

E. Penatalaksanaan
1. Nonmedikamentosa
a. Hospitalisasi di ICVCU
b. Tirah baring serta monitoring keluhan, tanda vital, dan EKG serial
c. Diet = rendah natrium, rendah lemak, tinggi kalium, tinggi serat
d. Edukasi pasien untuk tidak mengejan

2. Medikamentosa
a. O2 nasal kanul 4 lpm
b. IVFD Ringer Laktat 0.9% 12 tetes/menit
c. ISDN 3x5 mg sublingual
d. Aspilet 160 mg (loading dose) → lanjut 1x80 mg per oral
e. Clopidogrel 600 mg (loading dose) → lanjut 1x75 mg per oral
f. Atorvastatin 1x40 mg per oral

R/ Oksigen no. I
Canul oksigen no. I
S i.m.m §

R/ Infus RL cc 500 flb no. I


Cum infus set no. I
Abbocath no.22 no. I
Threeway no. I
IV3000 no. I
S i.m.m §

R/ Isosorbid Dinitrate tab sublingual mg 5 no. III


S p.r.n (1-3) dd tab I sublingual §

R/ Aspilet tab mg 80 no. II


S 1dd tab II §

R/ Clopidogrel tab mg 300 no. II


S 1 dd tab II §
R/ Atorvastatin tab mg 40 no. I
S 1 dd tab I §
Pro: Ny. M (60 tahun)

F. Pembahasan Obat
1. Oksigen
Suplemen oksigen terutama diberikan segera bagi mereka dengan
saturasi O2 arteri < 95% atau yang mengalami distres respirasi. Selain itu,
oksigen juga dapat diberikan pada semua pasien infark miokard akut
dalam 6 jampertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
Oksigen diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan suply oksigen di
tubuh.
2. Infus RL
RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan
pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan
sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare,
trauma, dan luka bakar.
Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh
hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti
asidosis metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk
pemeliharaan sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium.
Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan
dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna
untuk mencegah terjadinya ketosis.
Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran memiliki
komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L),
dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya
adalah 500 ml dan 1.000 ml.
Cara kerja:
a. Ringer laktat merupakan larutan isotoni natrium klorida, kalium
klorida, kalsium klorida, dan natrium laktat yang komposisinya mirip
dengan cairan ekstraseluler.
b. Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan cairan
ekstraseluler.
c. Merupakan larutan non koloid, mengandung ion-ion yang
terdistribusi ke dalam cairan intravaskuler dan interstisiel.
Indikasi:
Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
Kontra indikasi :
Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosi laktat.
Efek samping:
Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara
pemberiannya termasuk timbulnya panas, infeksi pada tempat
penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat
penyuntikan.
Bila terjadi reaksi dariefek samping, pemakaian harus dihentikan dan
lakukan evaluasi terhadap penderita.
3. Injeksi streptokinase
Obat golongan fibrinolitik merupakan obat yang dapat mempercepat
hancurnya oklusi trombus intrakoroner sehingga akan mengembalikan
aliran darah dan mengurangi kerusakan miokardial. Fibrinolisis
merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat
yang tidak dapat melakukan intervensi koroner per kutan (IKP) pada
pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada
pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak
awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah,
fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis
pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus
dimulai pada ruang gawat darurat. Salah satu contoh obat yang dapat
digunakan adalah Streptokinase. Streptokinase dapat menstimulasi sistem
fibrinolitik, mentransformasi precursor plasminogen inaktif menjadi
plasmin protease aktif, yang dapat menghancurkan bekuan fibrin.
Meskipun targetnya adalah trombus intrakoroner, plasmin merupakan
substrat dengan spesifitas rendah dan dapat mendegradasi protein lainnya,
termasuk prekursor fibrinogen. Hal ini mengakibatkan efek samping
perdarahan pada penggunaan obat ini.
4. Isosorbid dinitrate
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal
maupun yang mengalami aterosklerosis. Nitrat oral atau intravena efektif
menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina. Nitrat tidak
diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30
mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan. Nitrat
tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu
yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat
ditentukan. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten,
gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.
Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta
atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I).
5. Aspilet
Aspilet digunakan untuk mengatasi trombosis atau sebagai anti
trombotik. Aspilet memiliki kandungan asam asetilsalisilat yang akan
bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklo-oksigenase melalui
proses asetilasi yang bersifat ireversibel. Hal ini dapat mencegah proses
pembentukan tromboksan A2 sehingga terjadi pencegahan terhadap
penimbunan platelet dan pencegahan terhadap proses pembekuan darah.
Aspilet diindikasikan terutama sebagai obat anti trombotik dalam
mencegah keadaan trombosis atau agregasi platelet pada tubuh terutama
saat mengalami serangan jantung.
6. Clopidogrel
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk
pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien
dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Clopidogrel bekerja dengan memblok aktivasi reseptor P2Y12 ADP
receptor pada platelet. Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS)
registry investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di samping
aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau tanpa
terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan
pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non
fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien
tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun
tertinggi (18%).
Indikasi: Clopidogrel dapat mengurangi kejadian atherosclerotic pada
pasien dengan atherosklerosis dibuktikan oleh myocardial infarction (MI)
yang belum lama berselang terjadi, stroke yang belum lama berselang
terjadi, atau penyakit arterial peripheral yang sudah terbukti; sindrom
koroner akut yang terkontrol secara medis atau melalui percutaneous
coronary intervention/PCI.
Kontra indikasi: hipersensitivitas terhadap clopidogrel atau komponen
lain dari formulasinya, perdarahan patologis aktif, gangguan koagulasi,
dan tukak lambung aktif.
Dosis yang diberikan pada orang dewasa dengan infark miokard
adalah 75 mg, satu kali sehari.
Efek samping: perdarahan gastrointestinal, purpura, haematoma,
epistaksis, haematuria, ocular haemorrhage, perdarahan intrakranial, nyeri
abdominal, gastritis, konstipasi, rash, pruritus.
7. Atorvastatin
Atorvastatin merupakan golongan statin sebagai menghambat secara
kompetitif koenzim 3-hidroksi-3-metilglutaril (HMG-CoA), yakni enzim
yang berperan pada sintesis kolesterol, terutama dalam hati. Obat ini
efektif disbanding obat hipolipidemia lainnya dalam menurunkan
kolesterol-LDL tetapi kurang efektif disbanding fibrat dalam menurunkan
trigliserida pada kasus SKA dapat sebagai antioksidan dan menstabilkan
plak. Statin mampu mengurangi kejadian kardiovaskular dan mortalitas
kardiovaskular pada pasien dengan kadar kolesterol dalam darah tanpa
penyakit arteri koroner. Statin juga menunjukan efikasi pada pasien
dengan berbagai tingkat kadar kolesterol tanpa penyait arteri koroner dan
pada pasien dengan tingkat kolesterol rata-rata dan penyakit arteri
koroner.
Kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hati yang aktif dan pada
kehamilan dan menyusui. Efek samping dapat berupa myositis, sakit
kepala, perubahan fungsi ginjal, saluran cerna, perubahan uji fungsi hati,
paresthesia, ruam kulit, dan reaksi hipersensitivitas.
Hiperkolesterolemia primer dan hiperlipidemia campuran, biasanya 10
mg sekali sehari, bila perlu dapat ditingkatkan dengan interval 4 minggu
hingga maksimal 80 mg sekali sehari. Anak 10-17 tahun: dosis awal 10
mg sekali sehari (pengalaman terbatas dengan dosis diatas 80 mg sehari).
Hiperkolesterolemia turunan, dosis awalnya 10 mg sehari, tingkatkan
dengan interval 4 minggu sampai 40 mg sekali sehari; bila perlu,
tingkatkan lebih lanjut sampai maksimal 80 mg sekali sehari (atau
dikombinasi dengan resin penukar anion pada hiperkolesterolemia
turunan heterozigot). Anak 10-17 tahun hingga 20 mg sekali sehari
(pengalaman terbatas dengan dosis lebih besar). Pada kasus akut miokard
infark untuk maintenance dapat diberikan 1x20-40 mg. Dan 1x40 mg
untuk dosis awal kasus STEMI.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mati. Terdapat berbagai mekanisme
patofisiologi penyebab terjadinya IMA, antara lain aterosklerosis, sindrom
vaskulitis, emboli koroner (contoh dari endokarditis, katup buatan), anomali
kongenital arteri koroner, trauma koroner atau aneurisma, spasme pembuluh
darah koroner, peningkatan viskositas darah (contoh polisitemia vera,
trombositosis), dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard (contoh aorta
stenosis). Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet,
memberi obat penunjang.

B. SARAN
1. Penegakan segera diagnosis infark miokard akut sehingga pasien dapat
segera mendapat penatalaksanaan yang tepat dan mencegah terjadinya
komplikasi penyakit pada pasien.
2. Memberi edukasi kepada pasien mengenai penyakit, pengobatan, dan
komplikasi yang dapat muncul dari penyakit yang diderita.
3. Memotivasi pasien agar rutin mengonsumsi obat yang diberikan oleh
dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et al.
Focused update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of
patients with ST-elevation myocardial infarction: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines: developed in collaboration with the Canadian Cardiovascular
Society. The American Academy of Family Physicians: 2007 Writing Group to
Review New Evidence and Update the ACC/AHA 2004 Guidelines for the
Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction, writing on
behalf of the 2004 Writing Committee. J Am Coll Cardiol. 2008;51:210–247.

Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology,


Pathophysiology, and Clinical Features. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL,
Zipes DP, editors : Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular
Medikine; volume 1; 8th edition. USA : SAUNDERS ELSEVIER. 2007.
p.1216-8

Burke AP, Virmani R. 2007. Pathophysiology of Acute Myocardial Infarction. Med


Clin North Am, 91, 553-572; ix.

Christofferson RD. Acute Myocardial Infarction. In : Griffin BP, Topol EJ, eds.
Manual of cardiovascular medicine. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins. 2009. p.1-28.

Daubert MA, Jeremias A., et al. 2010. Diagnosis of Acute Myocardial Infarction. In:
Jeremias, A. danBrown, D. L. (eds.) Cardiac Intensive Care 2nd Ed. 2 ed.
United States of America: Saunders Elsevier.

Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010.
Available from: http://dinkes-kotasemarang.go.id/

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 17th Edition


Harrison’s Principles of Internal Medicine. New South Wales : McGraw Hill;
2010.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.
Hamm, C. W., Bassand, J. P., et al. 2011. ESC Guidelines for the management of
acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation: The Task Force for the management of acute coronary syndromes
(ACS) in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J, 32, 2999-3054.

Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes M, Ducci CB, Bueno H, Caforio et al (2017).


2017 ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. The task force for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation of the European society of cardiology (ESC). European
Heart Journal. 2007. P. 1-66.

Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald’s Heart Disease : A textbook
of Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier; 2008.

Rhee, J. W., Sabatine, M. S., et al. 2011. Acute Coronary Syndrome. In: S.Lilly, L.
(ed.) Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC; 2007.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi
V. Jakarta: Interna Publishing; 2010.

Sugiani PPS, Hadi H, Pramantara IDP (2004). Asupan dizi faktor resiko penyakit
infark miokard akut di rumah sakit Sanglah Denpasar. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia. 2004 (4). P. 67- 76.

Thygesen, K., S.Alpert, J., et al. 2012. Third Universal Definition of Myocardial
Infarction. European Heart Journal, 1-17.

Tidy C (2016). Complikcations of Acute Myocardial Infarction.


https://patient.info/doctor/complications-of-acute-myocardial-infarction diakses
pada tanggal 13 Mei 2019.

Anda mungkin juga menyukai