1. Refica Dewita Tuberkulosis (TB) adalah 2017 Gambaran 1. Pada penelitian ini Jom FK Volume
Sarmen, Surya penyakit infeksi kronis yang pengetahuan dan didapatkanpengetahua 4 No. 1 Februari
Hajar, & masih merupakan sikap pasien tb n pasien TB paru 2017
Suyanto permasalahan serius yang paru Terhadap terhadapupaya
ditemukan pada penduduk upaya pengendalian penyakit
dunia termasuk Indonesia. pengendalian tb TB diPuskesmas
Penyakit paru yang Di puskesmas Sidomulyo Kota
disebabkan oleh sidomulyo kota Pekanbaru, sebagian
Mycobacterium tuberculosis pekanbaru besar masuk dalam
ini ditemukan telah kategori baikyaitu
menginfeksi hampir sepertiga sebanyak 12 orang
penduduk dunia dan telah (38,7 %),
menjadi masalah kesehatan cukupsebanyak 16
utama secara global. orang ( 51,6 %) dan
Berdasarkan World Health sisanyamemiliki
Organization(WHO) TB pengetahuan kurang
merupakan penyebab kedua sebanyak 3orang (9,7
kematian dari penyakit %).
infeksi dunia yang 2. Sikap pasien TB paru
dinyatakan sebagai global terhadapupaya
emergency pada pengendalian penyakit
tahun 1993. TB diPuskesmas
Sidomulyo Kota
Pekanbaru.Penelitian
menunjukan bahwa
sebagianbesar pasien
TB paru memiliki
sikap yangpositif/ baik
yaitu sebanyak 27
orang (87%) dan
pasien TB paru yang
memiliki sikapnegatif/
tidak baik yaitu
sebanyak 4 orang ( 13
%).
2. Isnaniyanti Difteri pada umumnya lebih 2016 Faktor yang Dari hasil perhitungan Fakultas
Fajrin Arifin banyak menyerangusia anak berhubungan besar sampel didapatkan Kesehatan
&Corie Indria 5-7 tahun. Penyakit infeksi dengan kasus bahwa jumlah sampel Masyarakat
Prasasti akut difteri anak di minimal yang harus Universitas
yang disebabkan oleh bakteri Puskesmas diambil Airlangga
Corynebacterium diphtheria bangkalan tahun terbesar sebanyak 40 Surabaya, Jawa
(Kementerian Kesehatan, 2016 orang, dengan Timur, Indonesia
2014). MenurutPurwana perbandingan
(2010) bahwa semua glongan besar sampel antara kasus
umur dapat : kontrol = 1:5, dimana
terinfeksi oleh bakteri sampel terdiri dari 40
Corynebacterium diphtheria, orang sebagai kolompok
namun 80% kasus terjadi kasus. Namun,
diderita pada anak usia berdasarkan data rekam
kurang dari 15 tahun dan medik
yang tidak mendapatkan diketahui bahwa jumlah
imunisasi dasar.Pemahaman penderita difteri anak di
mengenai difteri dan hal apa Puskesmas Kecamatan
saja Bangkalan sejak 1 Januari
yang perlu diperhatikan hingga 30 September
sebagai faktor risiko 2016 yang memenuhi
penyebab difteri anak masih kriteria
sangat terbatas bagi sebanyak 8 orang dan 40
tenaga kesehatan terutama orang sebagai kontrol.
dalam hal mendiagnosis suatu
penyakit diperlukan
pemeriksaan yang tepat.
Apabila terjadi keterlambatan
dalam mendiagnosis maka
akan menyebabkan pula
terlambatnya
penanganan medis akibatnya
akan timbul komplikasi klinik
yang fatal bahkan
menyebabkan kematian.
3. Fajar,Sulistiyani, Pneumonia merupakan 2019 Faktor – faktor Berdasarkan pada hasil STKES Ibnu
&Onny Setiani kondisi peradangan yang yang penelitian dan Sina Batam
berhubungan mempengaruhi pembahasan dapat
denganpernapasan akut yang kejadian diperoleh simpulan
mempengaruhi paruparu, pneumonia sebagai berikut: Ada
disebabkan oleh agent yang Pada balita di hubungan yang bermakna
menular,termasuk virus, wilayah kerja antara kondisi rumah
bakteri dan jamur. Secara puskesmas mijen dengan kejadian
umum paling banyak adalah Kota semarang pneumonia, Ada
Streptococcus pneumoniae, hubungan yang bermakna
penyebab paling banyak pada antara kebiasaan
anak-anak. Haemophilus membuka jendela dengan
influenzae type Bsecara kejadian pneumonia,
umum paling banyak kedua Ada hubungan yang
penyebab pneumonia pada bermakna antara paparan
anak-anak. Pneumonia asap rokok dengan
penyebab kematian utama kejadian pneumonia.
paling besar pada anak-anak
di seluruh Dunia. Pneumonia
membunuh 920.136 anak-
anak dibawah umur
5 tahun pada Tahun 2015,
laporan untuk 16% dari
semua kematian anak-anak
dibawah umur 5 tahun,
prevalen paling banyak di
South Asia dan Sub-Saharan
Afrika
4. Nurmala Sari Menurut WHO tahun 2013 di 2018 Hubungan Berdasarkan hasil Institut
&Diana dunia angka terjadinya sanitasi penelitian yang telah Kesehatan Deli
Rahmadani kematian anak akibat lingkungan dilakukan terhadap 54 Husada
Siregar pneumonia dengan kejadian responden yang ada di
atau infeksi saluran infeksi Desa Marendal I Pasar V
pernafasan akut yang dapat Saluran Kab.Deli Serdang,
mempengaruhi kerusakan pernafasan akut dapat disimpulkan ada
paru paru dinyatakan (ispa) pada balita hubungan yang
1,2 juta anak meninggal di desa signifikan antara Ventilasi
setiap tahunnya. Sehingga Marendal I pasar Rumah dengan
ada 230 orang anak yang v kab. Deli kejadian ISPA
meninggal serdang tahun pada Balita dengan uji
stiap jam di dunia akibat dari 2018 chi- Square (P value
pneumonia.(WHO, 2013 ). =0,001 < 0,05), Ada
Infeksi Saluran Pernafasan hubungan yang signifikan
Akut merupakan penyakit antara Kepadatan Hunian
yang dapat menyebabkan dengan kejadian ISPA
terjadinya Pada Balita (p value 0,030
kematian pada anak, Penyakit < 0,05 ), dan Ada
ISPA ini dapat menyebabkan hubungan yang signifikan
terjadinya penyakit antara PencemaranUdara
Pneumonia, dengan kejadian ISPA
Bronchitis dan lainnya yang Pasa Balita (p value 0,006
merupakan penyebab <0,05).
kematian anak yang ke empat
dan kasus ini terbanyak
terjadi pada anak dibawah
tahun.
5. Faisal Pneumotorak yang luas dapat 2018 Pengaruh durasi Pneumotorak dapat Qanun Medika
Muttaqien, menyebabkan paru tertekan pneumotorak menyebabkan stress Vol. 3 No. 1
Bermansyah, atau kolaps sehingga terjadi terhadap tingkat oksidatif paru bila
Irsan Saleh gangguan pertukaran gas. Stress oksidatif pneumotorak bervolume
Hal berakibat pada turunnya paru tikus wistar luas dan durasi gejala
partialpressure of arterial mencapai 72 jam
oxygen Mekanismenya
(PaO2)atauhipoksemia. diperantarai oleh hipoksia
Proses patofisiologinya atauhipoksemia karena
melibatkan penurunan pneumotorak.
kapasitas vital paru,
terjadinya shunting
intrapulmoner, penurunan
rasio ventilasi perfusi pada
alveoli paru dan hipoventilasi
alveolar
(Choi, 2014).Sebagian besar
pasiendengan pneumotoraks
luas memilikipenurunan
PaO2arteri dan
peningkatanperbedaan
tekanan oksigen alveolar-
arteri.
6. Ratna W. Penyakit paru obstruktif 2018 Pengaruh Hasil kajian dalam artikel Jurnal
Rosyida, Sa’bani kronik (PPOK) merupakan program ini membawa peneliti Kesehatan. ISSN
N.A, Ruly A. S, penyakit yang timbul akibat manajemen pada kesimpulan bahwa 1979-7621
M.G.A Putra, dari adanya respon inflamasi perawatan program managemen (Print). ISSN
Anggi L. kronis yang tinggi pada terhadap PPOK secara 2620-7761
Wicaksana saluran nafas dan paru Penurunan komprehensif dan (Online). Vol.
yangbiasanya bersifat tingkat readmisi terintegrasi dengan 11. No. 2.
progresif dan persisten. pada pasien melibatkan berbagai
Penyakit ini memiliki ciri penyakit paru multidisiplin yang
berupa terbatasnya aliran Obstruktif menjalankan peran sesuai
udara yang masuk dan kronis. keahlian serta
umumnya dapat di cegah dan memberikan keperawatan
di rawat (GOLD, 2015). yang berkelanjutan
PPOK adalah penyakit kronis memberikan manfaat
saluran napas yang ditandai dalam menurunkan
dengan hambatan aliran udara readmisi pada pasien.
khususnya udara ekspirasi
dan bersifat progresif lambat
(semakin lama semakin
memburuk), disebabkan oleh
pajanan faktor risiko seperti
merokok, polusi udara
di dalam maupun di luar
ruangan. Onset (awal
terjadinya penyakit) biasanya
pada usia pertengahan dan
tidak hilang dengan
pengobatan. Didefinisikan
sebagai PPOK jika pernah
mengalami sesak napas yang
bertambah ketika beraktifitas
dan/ataubertambah dengan
meningkatnya usia disertai
batuk berdahak atau pernah
mengalami sesak napas
disertai batuk berdahak dan
nilai Indeks Brinkman ≥200.
7. Arfan Nur Asfiksia pada bayi baru lahir 2017 Gambaran 1. Tidak ada pengaruh AKBID Bina
termasuk risiko tinggi karena kejadian asfiksia faktor risiko bayi Sehat Nusantara
memiliki kemungkinan lebih di uptd dengan kejadian Bone
besar mengalami kematian puskesmas asfiksia
bayi atau menjadi sakit berat Ajangale pada 2. Tidak ada pengaruh
dalam masa neonatal. Oleh tahun 2016/2017 faktor risiko ibu
karena itu asfiksia dengan kejadian
memerlukan intervensi asfiksia
dan tindakan yang tepat untuk 3. Tidak ada pengaruh
meminimalkan terjadinya faktor risiko persalinan
kematian bayi, yaitu dengan dengan kejadian
pelaksanaan manajemen asfiksia
asfiksia pada bayi baru lahir
yang bertujuan untuk
mempertahankan
kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa berupa
kelainan
neurologi yang mungkin
muncul, dengan kegiatan
yang difokuskan pada
persiapan
resusitasi, keputusan
resusitasi bayi baru lahir,
tindakan resusitasi, asuhan
pasca resusitasi, asuhan
tindak lanjut pasca resusitasi
dan pencegahan infeksi
(Depkes. RI, 2008).
8. Pramanindyah TB paru MDR seringkali 2016 Hubungan antara 1. Distribusi dan Departemen
Bekti Anjani, dikaitkan dengan morbiditas Pola Resistensi frekuensi pola resisten Pulmonologi dan
Soedarsono dan mortalitas yang tinggi OAT Lini pada TB paruMDR Ilmu Kedokteran
dan dianggap sebagai Pertama dan didapatkan pola Respirasi,
ancaman Gradasi resisten RH 27 orang Fakultas
yang menakutkan Gambaran Foto (41%), pola resisten Kedokteran
dibandingkan TB paru biasa, Toraks Penderita RHS 5 orang (7,7%), Universitas
namun beberapa peneliti TB Paru MDR pola resisten RHES 13 Airlangga/RSUD
melihat sebagai masalah lokal orang (20%) dan pola Dr. Soetomo
yang dapat dikelola oleh resisten RHE 20 orang
implementasi yang tepat dari (30,8%).
strategi pengobatan yang 2. Tidak terdapat
telah direkomendasikan. Bila hubungan yang
terjadi mutasi yang bermakna antara
menyebabkan resistensi maka polaresistensi OAT
akan menyebabkan lini pertama dan
perubahan pada efektivitas gradasi gambaran foto
reproduksi organisme toraks pada penderita
tersebut, yaitu berkurangnya TB paru MDR di mana
daya penularan dibandingkan nilaip > 0,05.
dengan strain yang masih 3. Tidak didapatkan
sensitif obat. hubungan yang
bermakna
antaragradasi
gambaran foto toraks
dan pola resitensi pada
penderita TB paru
MDR di mana nilai p
> 0,05.
9. Alamsyah Penyakit Paru Obstruksi 2019 Hubungan faktor 1. Umumnya penderita Universitas
Lukito Kronik (PPOK) merupakan resiko dengan PPOK adalahmereka Islam Sumatera
penyakit kronik pada saluran kejadian pada yang berusia 45 tahun Utara, Jl. STM
napas yang ditandai dengan penyakit paru hingga65 tahun No. 77, Medan
terhambatnya Obstruksi kronik dimana 21 dari 30
aliran udara khususnya udara di puskesmas orangtersebut
ekspirasi dan bersifat mandala menderita resiko.
progresif. PPOK termasuk ke 2. Hasil Uji chi-square
dalam jenis penyakit tidak menunjukkanbahwa
menular yang utama menurut terdapat hubungan
WHO (Badan Penelitian dan antarafaktor resiko
Pengembangan Kesehatan, dengan kejadian
2013).Gejala pernapasan PPOK di Wilayah
yang paling umum pada Kerja Puskesmas
penderita PPOK adalah Mandala2018
dispnea (sesak napas), dan Tembung.
batuk dengan atau tanpa
adanya produksisputum
(dahak) (Guide & COPD,
2017).
Sembilan dari sepuluh kasus
PPOK disebabkan oleh
merokok (Choices, 2017).
10. Hermawati, nfeksi Saluran Pernapasan 2018 Hubungan faktor 1. Tidak ada hubungan Fakultas
&Suhadi La Ode Akut (ISPA)adalah infeksi lingkungan antara kepadatan Kesehatan
Ahmad saluran pernapasan dengan kejadian huniandengan kejadian Masyarakat
Saktiansyah yangdisebabkan oleh virus penyakit infeksi penyakit infeksi Universitas Halu
atau bakteri danberlangsung saluran saluran pernapasan Oleo.
selama 14 hari. Penyakit Pernapasan akut akut (ISPA) di
ISPA (ispa)di wilayah Wilayah
merupakan infeksi akut yang kerja puskesmas KerjaPuskesmas Abeli
menyerang saluran abeli kecamatan Kecamatan Abeli
pernapasan bagian atas dan abeli Tahun 2018.
bagian bawah. Gejala yang 2. Tidak ada hubungan
ditimbulkan yaitu gejala antara penggunaan
ringan (batuk dan pilek), antinyamuk bakar
gejala sedang (sesak dengan kejadian
danwheezing) bahkan sampai penyakit infeksisaluran
gejala yang berat (sianosis pernapasan akut
dan pernapasan cuping (ISPA) di
hidung). Komplikasi ISPA WilayahKerja
yang berat mengenai jaringan Puskesmas Abeli
paru dapat menyebabkan Kecamatan Abeli
terjadinya pneumonia. Tahun2018.
Pneumonia merupakan
penyakit infeksi penyebab
kematian nomor satu
pada balita
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PASIEN TB PARU
TERHADAP UPAYA PENGENDALIAN TB
DI PUSKESMAS SIDOMULYO KOTA PEKANBARU
Refica Dewita Sarmen
Surya Hajar FD
Suyanto
reficadewitasarmen@gmail.com
ABSTRACT
ABSTRAK
Kasus difteri meningkat setiap tahunnya di Bangkalan Tahun 2015 sebanyak 19 kasus dengan nilai CFR
15,79% yang tersebar di 13 Kelurahan/Desa. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor risiko
yang berhubungan dengan kasus difteri anak di Puskesmas Bangkalan dengan desain case control dan analisa
data menggunakan komputasi komputer. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2016 dengan
menggunakan panduan kuesioner, wawancara, observasi, dan pengukuran. Jumlah sampel sebanyak 48
responden dengan jumlah kasus sebanyak 8 dan jumlah kontrol sebanyak 40. Variabel yang diteliti adalah
karakteristik (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan), status imunisasi DPT, dan kondisi lingkungan fisik
rumah. Hasil penelitian tentang analisis karakteristik (tingkat pendidikan), status imunisasi DPT berhubungan
dengan tingginya kasus difteri anak. Dan variabel yang paling dominan adalah satus imunisasi DPT dengan
nilai (p value = 0,0037; OR = 4,667). Disarankan petugas kesehatan khususnya bidan desa bekerjasama
dengan kader perlu meningkatkan perannya sebagai educator dan conselor dalam memberikan informasi
kepada masyarakat berupa penyuluhan kepada masyarakat berhubungan risiko penularan difteri serta manfaat
pemberian imunisasi dasar ke seluruh Kelurahan/Desa pada kegiatan Posyandu hingga mencapai target UCI.
Kata Kunci : faktor risiko, kasus difteri, Puskesmas Bangkalan
ABSTRACT
The diptheria cases raised up in Bangkalan District in 2015, as many as 19 case with CFR 15,79% spread in
13 subdistricts/villages. This study was to analyze the risk factors the corelated factors to dipheria cases of
children with case control design and analyses data using computer computing. It condusted in July-December
2016 by using questionnaire, interviews, observation, and measurement. Total sample was 48 respondents
which number of case 8 respondents and number of control 40 respondents. Variabel in this study were
characteristic (age, sex, level of education), the completeness of immunization DPT, and the condition of
the physical environment of the house. Characteristic (level of education), the completeness of immunization
DPT, and the condition of the physical environment of the house had corelated to diptheria cases. The most
influential variable was the completeness of immunization DPT (p value = 0,037; OR = 4,667). Health
workers in particular in collaboration with the village midwife cadres need to increase it’s role as educator and
conselor in providing information in the form of outreach to the community related to the risk of transmission
of diphtheria and immunization basics awarding benefits to the entire Neighborhood/village at Posyandu
activities until it reaches the target UCI.
Keywords: risk factors, diphtheria cases, Bangkalan sub district Health Centers
©2016 FKM_UNAIR All right reserved. Open access under CC BY – SA license doi:10.20473/jbe.v5i1.2017.26-36
Received 29 December 2016, received in revised form 18 January 2017, Accepted 19 January 2017, Published online: 28 April 2017
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 27
imunisasi dasar. Golongan umur yang sering terkena Tanjung Bumi (1 kasus), Kecamatan Sepulu (2
difteri adalah 5-7 tahun. Jarang ditemukan pada kasus), dan Kecamatan Klampis (3 kasus). Jumlah
bayi yang berusia di bawah 6 bulan dikarenakan, kematian sebanyak 3 orang terjadi di wilayah kerja
adanya imunitas pasif melalui plasenta dari ibunya. Puskesmas Bangkalan, Geger, dan Tanjung Bumi.
Bahkan juga jarang pada usia di atas 10 tahun. Dan Tahun 2015 berdasarkan indikator keberhasilan
jenis kelamin yang sering menderita difteri adalah program imunisasi DPT berdasarkan RPJM dan
perempuan dikaitkan dengan daya imunitasnya yang Kementerian Kesehatan bahwa prosentasi desa
rendah. Menurut Setyowati (2011) kasus difteri yang telah mencapai Universal Child Immunization
pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor (UCI) mencapai 183 desa (65,1%). Angka tersebut
risiko seperti status gizi anak, status imunisasi yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya
tidak lengkap, serta adanya riwayat kontak dengan yaitu pada tahun 2014 sebanyak 201 desa UCI
si penderita. (71,5%). Sementara bila dilihat dari pencapaian
Di Indonesia difteri tersebar merupakan masalah imunisasi dasar lengkap tahun 2015 sebanyak
kesehatan berbasis lingkungan yang tersebar di 11,567 (77,57%). Dan capaian ini juga menurun
seluruh dunia. Di Asia Tenggara (South East Asia dibandingkan pada tahun sebelumnya dimana pada
Regional Office) pada Tahun 2011 Indonesia tahun 2014 mencapai 88% (Dinkes Kabupaten
menduduki peringkat kedua dengan 806 kasus Bangkalan, 2015).
difteri setelah India jumlah kasus difteri 3485 dan Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Nepal merupakan negara ketiga 94 kasus difteri. Bangkalan-Madura (2015) diketahui bahwa difteri
Pada tahun 2010 Indonesia negara kedua tertinggi merupakan 10 penyakit berbasis lingkungan
dengan 432 kasus difteri. Sedang kan kasus difteri tertinggi di Kabupaten Bangkalan antara lain: ISPA
tertinggi pertama di dunia tahun 2011 adalah India (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) berjumlah 8.604
dengan 3485 kasus (WHO, 2012). kasus (15,12%), diare dengan berjumlah 6.542
Pada Tahun 2011, jumlah kasus difteri di kasus (11,50%), penyakit otot berjumlah 3.028
Indonesia tersebar 18 provinsi dengan total 811 kasus (5,32%), difteri berjumlah 2.752 (4,84%),
kasus dengan 38 orang meninggal yaitu di Provinsi gastritis berjumlah 2.507 kasus (4,41%), penyakit
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, darah tingi berjumlah 2.389 kasus (4,20%),
Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DKI penyakit gizi berjumlah 2.157 kasus (3,79%), asma
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah berjumlah 2.039 kasus (3,58%), stomatis berjumlah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan 1.900 kasus(3,34%), dan TB.Paru berjumlah 1.680
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, kasus (2,95%). Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Bali. di Kabupaten Bangkalan terjadi pada tahun 2015
Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri sebanyak 296 berdasarkan hukum pernyataan KLB oleh Gubernur
kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 16 Jawa Timur. Distribusi kasus difteri terjadi di 19
orang dengan nilai CFR disteri sebesar 4,0%. Dari Kelurahan/Desa dengan jumlah kematian sebanyak
22 provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, 3 orang dengan jumlah kasus sebanyak 19 kasus
provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur dengan nilai CFR 15,79%.
yaitu sebanyak 295 kasus yang berkonstribusi Pemahaman mengenai difteri dan hal apa saja
sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, sebanyak yang perlu diperhatikan sebagai faktor risiko
37% tidak mendapakan vaksin campak (Kementerian penyebab difteri anak masih sangat terbatas bagi
Kesehatan, 2014). tenaga kesehatan terutama dalam hal mendiagnosis
Kasus difteri meningkat setiap tahunnya di suatu penyakit diperlukan pemeriksaan yang tepat.
Provinsi Jawa Timur yang tersebar di kabupaten/ Apabila terjadi keterlambatan dalam mendiagnosis
kota yang dengan angka kematian yang cukup tinggi. maka akan menyebabkan pula terlambatnya
KLB difteri ditetapkan di Jawa Timur. Tahun 2015 penanganan medis akibatnya akan timbul komplikasi
di Kabupaten/Kota Bangkalan mengalami kenaikan klinik yang fatal bahkan menyebabkan kematian.
pada tahun 2014 sebanyak 11 kasus sedangkan Diperlukan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi
distribusi kasus difteri pada tahun 2015 meningkat dan mendeteksi secara dini mengenai faktor yang
sebanyak 19 dengan nilai CFR 15,79% yang tersebar berhubungan dengan terjadinya difteri anak.
di beberapa kecamatan dan 5 kecamatan dengan Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penelitian
kasus tertinggi antara lain di Kecamatan Geger (2 ini dilaksanakan guna menganalisis terhadap
kasus), Kecamatan Bangkalan (3 kasus), Kecamatan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya
28 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36
kasus difteri pada anak yang diharapkan dapat dalam penelitian ini, antara wawancara dilakukan
membantu dalam memudahkan saat mendiagnosis kepada responden (Ibu/Wali) dengan menggunakan
dan mempercepat penanganan penyakit difteri pada kuesioner guna mendapatkan informasi tentang
anak. karakteristik (umur, jenis kelamin, dan tingkat
pendididikan), panduan observasi guna mendapatkan
informasi mengenai status imunisasi DPT pada
METODE
anak dilihat dengan kepemilikan buku KMS/KIA/
Penelitian ini menggunakan desain studi case buku kesehatan anak lainnya dan pengukuran
control untuk menganalisis hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah yaitu luas ruangan
karakteristik, status imunisasi DPT, dan kondisi dan lua ventilasi dengan menggunakan rollmeter,
lingkungan fisik rumah dengan kasus difteri anak kelembaban menggunakan termohigrometer, dan
di Puskesmas Bangkalan sejak Januari-September pada pencahayaan alami pengukuran menggunakan
2016 dengan membandingkan antara kelompok luxmeter kemudian hasil pengukuran dibandingkan
kasus dan kelompok kontrol. Populasi dalam dengan Permenkes RI No.1077 Tahun 2011 tentang
penelitian ini adalah semua anak umur 1-7 tahun Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah.
yang dinyatakan difteri oleh Dokter dan tercatat Analisis univariat dilakukan guna melihat
dalam data rekam medik di wilayah kerja Puskesmas distribusi frekuensi masing-masing variabel yang
Bangkalan sebagai kasus baru yang terdaftar mulai diteliti. Dan analisis bivariat dilakukan guna
01 Januari sampai 30 September 2016. mengetahui terdapat hubungan yang bermakna
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari kasus antara variabel bebas dan variabel terikat. Uji
dan kontrol. Sampel kasus adalah semua anak umur statistik yang digunakan adalah uji chi-square
1-7 tahun yang dinyatakan difteri oleh Dokter. dengan melihat derajat kemaknaan hubungan
Sedangkan sampel kontrol adalah semua anak umur apabila nilai p < 0,05 (p < α) yang artinya terdapat
1-7 tahun yang bukan penderita difteri di Puskesmas hubungan.
Bangkalan. Adapun besar sampel dalam penelitian Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari
ini sebagai berikut : komisi etik penelitian kesehatan Fakultas Kesehatan
Besar sampel menurut (Lemeshow (1997) Masyarakat Universitas Airlangga pada tanggal 24
Oktober 2016 dengan No : 557-KEPK.
HASIL
Keterangan :
n = besar sampel minimum Dari hasil perhitungan besar sampel didapatkan
α = tingkat kemaknaan (0,05) bahwa jumlah sampel minimal yang harus diambil
β = kekuatan uji (80%) terbesar sebanyak 40 orang, dengan perbandingan
P2 = proporsi pada kelompok kontrol besar sampel antara kasus : kontrol = 1:5, dimana
P1 = proporsi pada kelompok kasus sampel terdiri dari 40 orang sebagai kolompok
kasus. Namun, berdasarkan data rekam medik
Cara penentuan sampling yang digunakan diketahui bahwa jumlah penderita difteri anak di
adalah sampel acak (random) atau probability Puskesmas Kecamatan Bangkalan sejak 1 Januari
sampling, bahwa sampel yang diambil sedemikian hingga 30 September 2016 yang memenuhi kriteria
rupa sehingga tiap unit sampel dari populasi sebanyak 8 orang dan 40 orang sebagai kontrol.
mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih
sebagai sampel. Variabel dalam penelitian ini dibagi Karakteristik
menjadi dua yaitu variabel bebas (independent) Variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi
adalah karakteristik (umur, jenis kelamin, dan karakteristik adalah umur dan jenis kelamin anak,
tingkat penidikan), status imunisasi DPT, kondisi tingkat pendidikan responden, dan status imunisasi
lingkungan fisik rumah (dinding rumah, keberadaan DPT dalam bentuk kuisioner dan panduan observasi
langit-langit rumah, keberadaan lantai rumah, di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Hasil analisis
kelembaban, pencahayaan alami, ventilasi/jendela karakteristik di Puskesmas Bangkalan Tahun
rumah, tingkat kepadatan hunian) dan variabel 2016 disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel
terikat (dependent) adalah kasus difteri anak. 1 diketahui bahwa analisis umur untuk dari dua
Teknik pengumpulan data yang digunakan kelompok baik kelompok kasus maupun kelompok
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 29
kontrol jumlah distribusi umur anak terbanyak Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
adalah 1-4 tahun berjumlah 27 orang (56,2%), Variabel untuk mengidentifikasi kondisi
karena mengingat kasus difteri jarang terjadi pada lingkungan fisik rumah menggunakan panduan
anak usia di atas 10 tahun. observasi penilaian rumah sehat yang telah
Berdasarkan hasil analisis jenis kelamin diketahui dimodifikasi berdasarkan Permenkes 1077 Tahun
bahwa sebagian besar berjenis kelamin laki-laki 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
berjumlah 26 orang (54,2%) karena mayoritas Ruang Rumah dengan 7 variabel .
jumlah penduduk terbanyak berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 46.975 jiwa. Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
Variabel untuk mengidentifikasi kondisi
Tabel 1. Karakteristik di Puskesmas Bangkalan lingkungan fisik rumah menggunakan panduan
Tahun 2016 observasi penilaian rumah sehat yang telah
dimodifikasi berdasarkan Permenkes 1077 Tahun
Kelompok Kelompok 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
Karakteristik Kasus Kontrol Ruang Rumah dengan 7 variabel .
Responden Variabel tersebut sesuai dengan kebutuhan
f % f %
penelitian yaitu dinding rumah, keberadaan langit-
Umur langit rumah, keberadaan lantai rumah, kelembaban,
1-4 tahun 5 62,5 22 55 pencahayaan alami, ventilasi/jendela rumah, dan
5-7 tahun 3 37,5 18 45 tingkat kepadatan hunian. Hasil analisis mengenai
kondisi lingkungan fisik rumah di Puskesmas
Jenis Kelamin
Bangkalan Tahun 2016 disajikan dalam Tabel 2.
Laki-laki 5 62,5 21 52,5 Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari hasil
Perempuan 3 37,5 19 47,5 analisis kondisi lingkungan fisik rumah di Puskesmas
Tingkat Pendidikan Bangkalan Tahun 2016 baik dari kelompok kontrol
maupun kelompok kasus adalah sebagai berikut:
SD 2 25,0 3 7,5
untuk kondisi dinding rumah diketahui bahwa
SMP 2 25,0 4 10,0 semua rumah sebanyak 48 (100%) terbuat dari
SMA 4 50,0 13 32,5 bahan/material dari bata/batako.
PT 0 0 20 50,0 Keberadaan langit-langit rumah sebagian besar
Status Imunisasi DPT terbuat dari bahan/material gipsum berjumlah
29 rumah dengan prosentase sebesar 39,6%.
Lengkap 3 37,5 9 22,5
Keberadaan lantai rumah sebagian besar terbuat
Tidak dari papan/keramik berjumlah 30 rumah (62,5%).
5 62,5 31 77,5
Lengkap Namun, untuk kondisi kelembaban diketahui
bahwa semua rumah sebanyak 48 rumah dengan
nilai prosentase sebesar 100% telah melebihi batas
Berdasarkan hasil analisis tingkat pendidikan
syarat yang ditetapkan berdasarkan Permenkes
diketahui bahwa semua responden pernah
RI No.1077 Tahun 2011 bahwa batas minimal
mengenyam pendidikan formal. Dan sebagian besar
kelembaban sebesar 40-60%.
berpendidikan perguruan tinggi (PT) sebanyak
Kondisi pencahayaan alami di dalam rumah
20 orang (41,7%) karena tingkat pendidikan akan
terbanyak dalam kondisi tidak memenuhi syarat
mempengaruhi tingkat pengetahuan responden.
yaitu ≤ 60 lux berjumlah 35 rumah (72,9%).
Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa
Kondisi ventilasi/jendela rumah untuk kelompok
sebagian besar anak dengan status imunisasi DPTtidak
kontrol diketahui bahwa kondisi ventilasi/jendela
lengkap berjumlah 34 orang (70,8%) dikarenakan
rumah terbanyak adalah kondisi yang memenuhi
kesibukan responden yang lupa membawa anak
syarat yaitu ≥ 20 m2 berjumlah 32 rumah (80,0%).
untuk mendapatkan imunisasi mengingat sebagian
Namun, untuk kelompok kasus diketahui bahwa
besar pernah mengenyam pendidikan formal
kondisi ventilasi/jendela rumah terbanyak adalah
dan dengan alasan ketidakmudahan akses untuk
kondisi yang tidak memenuhi syarat yaitu ≤ 20 m2
mencapai sarana pelayanan kesehatan.
berjumlah 6 rumah (75,0%).
30 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36
Tabel 2. Distribusi Kondisi Lingkungan Fisik Rumah di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016
Kelompok Kelompok
Variabel Kondisi Jumlah
Kontrol Kasus
Lingkungan Fisik Rumah
f % f % f %
Dinding Rumah
Bata/Batako 40 100,0 8 100,0 48 100,0
Papan kayu 0 0 0 0 0 0
Triplek 0 0 0 0 0 0
Keberadaan Langit-langit Rumah
Gipsum 27 67,5 2 25,0 29 39,6
Triplek/Asbes 13 32,5 6 75,0 19 60,4
Anyaman bambu 0 0 0 0 0 0
Keberadaan Lantai Rumah
Papan/keramik 25 62,5 5 62,5 30 62,5
Plester (bersih) 15 37,5 3 37,5 18 37,5
Plester yang retak 0 0 0 0 0 0
Kelembaban
Tidak memenuhi syarat 40 100,0 8 100,0 48 100,0
Memenuhi Syarat 0 0 0 0 0 0
Pencahayaan Alami
Tidak memenuhi syarat 31 77,5 4 50,0 35 72,9
Memenuhi Syarat 9 22,5 4 50,0 13 27,1
Ventilasi/Jendela Rumah
≤ 20 m2 8 20,0 6 75,0 14 29,2
≥ 20 m2 32 80,0 2 25,0 34 70,8
Kepadatan Hunian
Tidak memenuhi syarat 9 22,5 8 100,0 17 35,4
Memenuhi Syarat 31 77,5 0 0 31 64,6
Kepadatan hunian untuk kelompok kontrol jendela rumah, dan kepadatan hunian. Namun, ada
yang terbanyak adalah kondisi yang memenuhi variabel melebihi batas syarat yaitu kelembaban
syarat berjumlah 31 rumah (77,5%). Namun, untuk yang melebihi batas 40%-60% Rh, pencahayaan
kelompok kasus kepadatan hunian terbanyak adalah alami melebihi batas syarat < 60 lux.
tidak memenuhi syarat berjumlah 8 rumah (100%).
Dikatakan tidak memenuhi syarat apabila luas Hubungan Antara Karakteristik Dengan Kasus
ruangan dibandingkan dengan jumlah penghuni Difteri Anak
adalah ≤ 4m2/orang.
Variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi
Tabel 2 menyimpulkan bahwa untuk kondisi
karakteristik adalah umur dan jenis kelamin anak,
lingkungan fisik rumah di Puskesmas Bangkalan
tingkat pendidikan responden, dan status imunisasi
Tahun 2016 diketahui bahwa secara keseluruhan
DPT. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas
untuk 7 variabel rumah sehat yang memenuhi batas
Bangkalan Tahun 2016. Untuk kelompok kasus pada
syarat sesuai Permenkes RI No 1077 Tahun 2011
penelitian ini adalah anak yang berusia 1-7 tahun
tentang Pedoman Penyehatan Udara Ruang Dalam
yang telah didiagnosis oleh dokter dari data rekam
Rumah adalah dinding rumah, keberadaan langit-
medik Puskesmas. Sedangkan untuk kelompok
langit rumah, keberadaan lantai rumah, ventilasi/
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 31
kontrol dalam penelitian ini adalah anak usia 1-7 Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Didapatkan
tahun yang tidak menderita difteri. nilai OR sebesar 1,67 artinya responden dengan
Anak usia sekolah cenderung lebih banyak tingkat pendidikan rendah 1,67 kali lebih berisiko
berinteraksi dengan orang lain. Selain sering menderita difteri dibandingkan responden dengan
berinteraksi dengan keluarga dan tetangga juga sering tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi.
berinteraksi dengan teman sekolah dan guru, yang Pada variabel status imunisasi DPT diketahui
terkadang bukan berasal dari desa/wilayah setempat. bahwa nilai p sebesar 0,037 atau nilai p<0,05
Hal ini menyebabkan peluang lebih banyak untuk (p<α). Yang artinya, terdapat hubungan antara
terpapar bakteri C. Diptheriae. Berdasarkan hasil status imunisasi DPT dengan kasus difteri anak di
analisis hubungan antara karakteristik (umur, jenis Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Didapatkan nilai
kelamin, tingkat pendidikan, dan status imunisasi OR sebesar 4,667 artinya responden dengan status
DPT) dengan kasus difteri anak di Puskesmas imunisasi tidak lengkap 4,667 kali lebih berisiko
Bangkalan disajikan dalam Tabel 3. menderita difteri dibandingkan responden dengan
status imunisasi lengkap.
Tabel 3. Hubungan Karakteristik Dengan Tingginya
Kasus Difteri Anak di Puskesmas Bangkalan Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Fisik
Tahun 2016 Rumah Dengan Kasus Difteri Anak di Puskesmas
Bangkalan Tahun 2016
P
Variabel f % OR Setelah melakukan panduan observasi terhadap
Value
kondisi lingkungan fisik rumah berdasarkan
Umur Permenkes RI No.1077 Tahun 2011 kemudian
1-4 tahun 27 56,2 menguji dengan uji statistik chi-square maka
0,151 0,85
5-7 tahun 21 43,8 diperoleh nilai p untuk masing-masing variabel
Jenis Kelamin kondisi lingkungan fisik rumah (dinding rumah,
keberadaan langit-langit, keberadaan lantai rumah,
Laki-laki 26 54,2
0,710 1,08 kelembaban, pencahayaan alami, ventilasi/jendela
Perempuan 22 45,8 rumah, dan kepadatan hunian) adalah diperoleh
Tingkat Pendidikan p sebesar 0,008 atau nilai p < 0,05 (p < α). Yang
SD 5 10,4 artinya, terdapat hubungan antara kondisi lingkungan
fisik rumah dengan tingginya kasus difteri anak di
SMP 6 12,5
0,016 1,67 Puskesmas Bangkalan Tahun 2016.
SMA 17 35,4 Komponen kondisi lingkungan fisik yang
PT 20 41,7 berhubungan dengan tingginya kasus difteri anak
Status Imunisasi DPT adalah keberadaan lantai rumah, kelembaban,
ventilasi/jendela rumah, dan kepadatan hunian.
Lengkap 14 29,2
0,037 4,667 Didapatkan nilai OR sebesar 4,18 yang artinya
Tidak lengkap 34 70,8 responden dengan kondisi lingkungan fisik rumah
yang tidak memenuhi syarat berisiko 4,18 kali
Hasil analisis hubungan diperoleh bahwa menderita difteri dibandingkan dengan kondisi
nilai p untuk variabel umur sebesar 0,151 atau lingkungan fisik rumah yang memenuhi syarat.
nilai p > 0,05 ( p > α). Yang artinya, tidak ada
hubungan antara karakteristik umur anak dengan Faktor Paling Dominan Yang Berhubungan
kasus difteri anak di Puskesmas Bangkalan Tahun Dengan Kasus Difteri Anak di Puskesmas
2016. Pada variabel jenis kelamin diperoleh nilai Bangkalan Tahun 2016
p sebesar 0,710 atau nilai p > 0,05 ( p > α). Yang
artinya, tidak ada hubungan antara karakteristik Pemilihan faktor paling dominan dilakukan
jenis kelamin anak dengan kasus difteri anak di dengan analisis bivariat untuk mengetahui
Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. hubungan dari masing-masing variabel dependen
Pada variabel tingkat pendidikan diperoleh nilai dengan variabel independen. Dimana, variabel yang
p sebesar 0,016 atau nilai p < 0,05 ( p < α). Yang dapat masuk dalam analisis bivariat yaitu variabel
artinya, terdapat hubungan antara karakteristik yang memiliki nilai p value < 0,05 serta variabel
tingkat pendidikan dengan kasus difteri anak di yang masuk dengan memperhatikan proporsi kasus
32 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36
dan substansi dari hipotesa penelitian. Adapun Tingkat pendidikan merupakan salah satu
selengkapnya disajikan pada Tabel 4. faktor yang mempunyai peranan dalam penularan
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa variabel difteri. Diketahui bahwa tingkat pendidikan akan
yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap mempengaruhi cara berpikir seseorang terutama
tingginya kasus difteri anak dilihat dari nilai OR dalam memahami informasi dari kegiatan penyuluhan
yang tertinggi. Dimana semakin besar nilai OR serta bagaimana cara kegiatan pencegahan yang
suatu variabel independen maka semakin besar tepat guna meningkatkan derajat kesehatan (Utami,
pengaruhnya terhadap variabel tingginya kasus 2010).
difteri anak. Dengan demikian dalam penelitian Secara tidak lain diketahui bahwa tingkat
ini diketahui bahwa faktor paling dominan yang pendidikan tidak lepas dari proses belajar. Dimana
berhubungan dengan tingginya kasus difteri anak proses belajar adalah suatu usaha untuk memahami
di Puskesmas Kecamatan Bangkalan Tahun 2016 pengetahuan yang dapat memberi bermanfaat demi
adalah status imunisasi DPT. kelangsungan hidup. Oleh sebab itu, diharapkan
reponden dapat menerapkan pengetahuan yang
Tabel 4. Faktor Paling Dominan Dengan Kasus dimiliki ke dalam kehidupan sehari-hari terutama
Difteri Anak di Puskesmas Bangkalan yang berkaitan terhadap pencegahan penyakit difteri
Tahun 2016 pada anak terutama dalam pelaksanaan kelengkapan
status imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)
Variabel P Value OR guna mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus
(Notoatmodjo, 2007).
Status Imunisasi DPT 0,037 4,667
Status Imunisasi DPT
Tingkat Pendidikan 0,016 1,67
Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang
Kondisi Lingkungan
0,003 4,18 kesehatan, disebutkan bahwa pemberian imunisasi
Fisik Rumah
merupakan salah satu upaya yang dilakukan guna
mencegah terjadinya penyakit menular yang
PEMBAHASAN merupakan salah satu kegiatan prioritas dari
Kementerian Kesehatan sebagai salah satu bentuk
Karakteristik nyata dan komitmen pemerintah untuk mencapai
Sebagian besar kejadian difteri jarang terjadi Millenium Development Goals (MDGs) khususnya
pada anak umur di bawah 6 bulan dikarenakan untuk menurunkan angka kematian pada anak.
pada umur tersebut terkadang masih memiliki daya Oleh sebab itu imunisasi dianggap sebagai salah
imunitas pasif melalui plasenta yang diperoleh dari satu upaya pencegahan kesehatan masyarakat yang
ibunya. Dan jarang pula terjadi pada anak umur di sangat penting.
atas 10 tahun (Purwana dan Djaja , 2008). Hal ini Program imunisasi dapat menunjukkan
sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh suatu keberhasilan program yang luar biasa dan
Azwar (2009) bahwa pertambahan umur dapat merupakan usaha yang sangat hemat biaya dalam
meningkatkan risiko menderita difteri apabila tidak mencegah penyakit menular. Data dinas kesehatan
mendapatkan vaksin yang dilakukan berulang yaitu Kabupaten Bangkalan (2015) menunjukkan bahwa
sebanyak 3 kali. kelengkapan imunisasi DPT pada kasus difteri tahun
Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko menderita 2014 diketahui bahwa adanya penderita difteri
difteri daripada jenis kelamin perempuan dikarenakan dengan status imunisasi DPT tidak lengkap sebesar
anak laki-laki lebih sering menghabiskan aktivitas di (18%) dan yang tidak mendapatkan imunisasi DPT
luar rumah dibandingkan dengan anak perempuan. sebesar (82%).
Aktivitas di luar rumah memiliki potensi yang lebih Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia
besar sebagai faktor penularan penyakit difteri. yaitu Provinsi Jawa Timur, diketahui bahwa salah
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang satu faktor risiko penularan difteri yaitu dapat dilihat
dikemukakan oleh dua peneliti yaitu (Patel, 2006) dari pencapaian program imunisasi DPT apakah telah
dan (Sudoyo dkk, 2006) bahwa anak dengan jenis memenuhi target atau sebaliknya belum memenuhi
kelamin laki-laki memiliki risiko yang lebih besar target. Dari hasil penelitian oleh (Mustikawati,
menderita difteri dibandingkan anak perempuan. 2012) diketahui bahwa cakupan imunisasi DPT
masih belum mencapai target 100% (Tahun 2012 :
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 33
74,6%, Tahun 2011 : 97,81%, Tahun 2010 : 98,08%, syarat yaitu ≥ 20 m2 namun, sebanyak 14 rumah
Tahun 2009 sebesar 99,09% dan Tahun 2008 : harus perlu untuk diwaspadai sebab kurangnya
92,57%). Daya imunitas individu dipengaruhi oleh pertukaran udara akan menyebabkan kurangnya O2
frekuensi pemberian imunisasi dasar pada usia anak. dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat
Pemberian vaksin dengan frekuensi sebanyak 2 kali racun bagi penghuninya menjadi meningkat.
dengan 3 kali sistem imunitas meningkat lebih besar Disamping itu tidak cukupnya udara yang masuk
dibandingkan dengan pemberian vaksin yang hanya akan menyebabkan kelembaban dalam ruangan naik
dilakukan dengan frekunsi sebanyak 1 kali (Lubov, karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit
2011). dan penyerapan (Permenkes No. 1077, 2011).
Kepatuhan responden untuk tetap melakukan Kepadatan hunian diperoleh dari luas lantai
imunisasi DPT pada anak sesuai jadwal yaitu dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota
sebanyak 3 kali dilakukan oleh 3 orang pada keluarga penghuni di rumah tersebut. Luas ruangan
kelompok kasus, sedangkan kelompok kontrol yang harus cukup untuk penghuni, dimana luas ruangan
melakukan imunisasi DPT sebanyak 3 kali hanya disesuaikan dengan jumlah penghuni. Apabila luas
berjumlah 9 orang. Hal ini disebabkan karena yang tidak sebanding jumlah penghuninya akan
kesibukan bekerja. Ibu yang bekerja cenderung lebih menyebabkan overcrowded (Kusno, 2000).
sibuk sehingga anak terlambat untuk mendapatkan
imunisasi sesuai jadwal Posyandu. Status imunisasi Hubungan Antara Karakteristik Dengan
yang tidak lengkap akan berpengaruh kejadian Tingginya Kasus Difteri Anak di Puskesmas
penularan penyakit difteri pada anak dengan risiko Bangkalan Tahun 2016
yang lebih besar dibandingkan dengan anak dengan Umur merupakan salah satu faktor risiko sebagai
status imunisasi yang lengkap (Utami, 2010). tolak ukur menentukan derajat kesehatan. Tidak ada
hubungan antara umur anak yang kurang dari 6
Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
tahun dengan kejadian difteri di Kabupaten Cianjur
Dari hasil penelitian diketahui bahwa semua (Sitohang, 2006). Dari hasil analisis hubungan
kondisi dinding rumah telah memenuhi syarat. Hasil diketahui bahwa tidak ada hubungan antara
penelitian ini didukung dengan pendapat yang oleh karakteristik jenis kelamin anak dengan tingginya
Purwanto (2011) tentang kondisi dinding rumah kasus difteri anak di Puskesmas Kecamatan
yang tidak memenuhi syarat yaitu dengan kondisi Bangkalan Tahun 2016.
dinding tidak rapat contohnya papan, kayu, dan Sebaran penyakit difteri erat kaitannya dengan
bambu menyebabkan timbulnya penyakit, karena jumlah populasi laki-laki dan perempuan di
kondisi lingkungan yaitu kecepatan dan arah angin suatu daerah. Karena proposi jenis kelamin akan
langsung masuk ke dalam rumah. menentukan lebih tingginya distribusi frekuensi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor penyakit pada laki-laki dibandingkan perempuan,
1077 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyehatan dimana diketahui bahwa laki-laki merupakan
Udara Dalam Ruang Rumah menyatakan bahwa populasi yang paling berisiko.
kadar yang dipersyaratkan untuk parameter suhu Menurut Setyowati (2011) ditekankan bahwa
adalah 18°-30°C dan kelembaban 40-60% Rh. jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian difteri di
Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa Kota Surabaya. Hal ini diperkuat dengan teori yang
kelembaban yang diperoleh sebesar 61-64%, hal menyatakan bahwa pada distribusi berdasarkan jenis
ini menunjukkan bahwa kelembaban udara telah kelamin diketahui bahwa laki-laki memiliki proporsi
melebihi batas syarat. tertinggi rentan menderita difteri dibandingkan
Kelembaban yang melebihi batas syarat dapat perempuan. Dengan alasan jenis kelamin laki-laki
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme merupakan rasio tertinggi pada populasi tersebut
khusunya bakteri Corynebacterium diphtheria (Sitohang, 2006).
(Lubov, 2011). Upaya penyehatan yang dapat Menurut Notoatmodjo (2007) mengatakan
dilakukan apabila kelembaban udara melebihi batas bahwa tingkat pendidikan tidak lepas dari proses
syarat yaitu > 60% adalah memesang genteng kaca, belajar. Dengan kata lain belajar adalah usaha
menggunakan alat untuk menurunkan kelembaban untuk menguasai informasi yang berguna untuk
seperti humidifier (alat pengatur kelembaban kelangsungan hidup. Hal ini didukung penelitian
udara). Meskipun kondisi ventilasi/jendela udara (Arthika, 2012) yaitu terdapat hubungan bermakna
rumah masih dalam kadar normal dan memenuhi antara tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan,
34 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36
pengetahuan dengan kejadian penyakit difteri. tubuh lebih lemah dibandingkan dengan kelompok
Sedangkan menurut Nuruaprilyanti (2009) orang dewasa. Kartono (2007) menyatakan bahwa
menyatakan bahwa tingkat pengetahuan, sikap, ada hubungan bermakna antara kelengkapan status
tingkat pendidikan, sarana prasarana menuju imunisasi DPT dengan kejadian difteri di Kabupaten
pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, dan Garut dan Kabupaten Tasikmalaya.
pemahaman informasi terkait kegiatan penuluhan
memiliki hubungan terhadap kejadian penularan Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Fisik
penyakit difteri. Rumah Dengan Tingginya Kasus Difteri Anak di
Penyakit difteri berkaitan erat dengan dengan Puskesmas Bangkalan Tahun 2016
status imunisasi individu. Mengingat daya tahan Rumah yang sehat memiliki ciri yaitu lantai
tubuh diperoleh dari pemberian vaksin. Penelitian rumah yang sesuai dengan syarat kesehatan yaitu
ini sejalan dengan penelitian oleh (Lia, 2010) terbuat dari bahan yang kedap air, tidak lembab,
didapatkan hasil bahwa pemberian imunisasi tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm
DPT lengkap pada usia anak memiliki hubungan dari badan jalan (Keman, 2005). Hasil penelitian ini
dengan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan sejalan dengan (Fajar, dkk 2010) bahwa tingginya
serta sikap Ibu. Kelengkapan status imunisasi difteri pada anak memiliki hubungan bermakna
DPT pada kasus difteri di Bangkalan Tahun 2014 dengan kondisi jenis lantai. Artinya responden
selalu menunjukkan adanya penderita dengan status yang tinggal di rumah dengan kondisi lantai
imunisasi tidak lengkap sebesar (18%) dan yang rumahnya tidak memenuhi syarat berpeluang lebih
tidak mendapatkan imunisasi sebesar (82%) (Dinas besar dibandingkan responden yang kondisi lantai
Kesehatan Kabupaten Bangkalan, 2014). Hal rumahnya memenuhi syarat. Lantai rumah akan
ini didukung dari beberapa penelitian yang telah mempengaruhi kelembaban ruangan, sebagaimana
dilakukan seperti di India Tahun 2002 didapatkan yang disebutkan oleh Lubis (2004), bahwa kondisi
kasus difteri mencapai > 60% dari 189 kasus tanpa kelembaban dipengaruhi oleh kondisi tanah.
imunisasi. Quick di Georgia melaporkan kasus Kriteria suhu yang memenuhi syarat berkisar 18°C-
difteri dengan jumlah sebanyak 219 kasus tanpa 30°C. Hasil penelitian diperoleh bahwa suhu rumah
imunisasi. Daya tahan tubuh terhadap penyakit sebesar 31°C.
difteri dipengaruhi oleh adanya antioksin di dalam Kestabilan suhu ruangan perlu dijaga karena
darah dan kemampuan seseorang untuk membentuk akan mempengaruhi kondisi lingkungan lainya
antioksin dengan cepat. seperti kelembaban. Tinggal di rumah dalam
Kemampuan ini merupakan akibat dari imunisasi kondisi kelembaban yang tidak memenuhi syarat
aktif. Beberapa penelitian sejalan yang dilakukan di memberikan peluan lebih besar terkena penyakit
Indonesia terutama di Jawa Timur Diketahui bahwa difteri dibandingkan tinggal di rumah dengan kondisi
salah satu faktor risiko terjadinya kasus difteri yaitu kelembaban yang memenuhi syarat. Kelembaban
pencapaian program imunisasi DPT menunjukkan akan mempengaruhi ada/tidaknya ventilasi serta
bahwa cakupan masih belum mencapai 100% kepatuhan untuk membuka ventilasi/jendela rumah
(Tahun 2012 : 74,6%, Tahun 2011: 97,81%, Tahun (Budiman, 2006).
2010 : 98,08%, Tahun 2009 sebesar 99,09% dan
Tahun 2008 : 92,57%) (Mustikawati, 2014). Faktor Paling Dominan Yang Berhubungan
Kadar antibodi diukur dari pemberian vaksin Dengan Tingginya Kasus Difteri Anak di
yang diterima pada saat pemberian imunisasi dasar Puskesmas Bangkalan Tahun 2016
memiliki perbedaan day imunitas pada pemberian
Hasil uji hubungan diketahui bahwa yang
vaksin jumlahnya. Terdapat perbedaan imunitas
mempunyai nilai OR tertinggi adalah variabel yang
pada frekuensi pemberian pada imunisasi 1 kali
mempunyai pengaruh lebih besar dengan tingginya
dengan 3 kali atau lebih daripada pemberian
kasus difteri anak, dimana variabel tersebut adalah
imunisasi 2 kali dengan 3 kali atau lebih. Rendahnya
status imunisasi DPT. Hal tersebut sesuai dengan
imunitas berpengaruh terhadap terjadinya
teori Notoatmojo (2007) mengatakan bahwa
difteri (Lubis,2005). Menurut Kumalaili (2011)
perilaku dibentuk karena adanya ketertarikan dari
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
kondisi kejiwaan, seperti pengetahuan dan sikap.
antara kelengkapan imunisasi DPT dan imunisasi
Dengan kata lain, pengetahuan yang baik akan
Campak dengan terjadinya difteri. Penyakit difteri
mencermikan penerapan sikap yang baik pula.
sering ditemukan pada usia anak karena daya tahan
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 35
Dalam perilaku kesehatan perilaku untuk tingkat pendidikan ada hubungan bermakna dengan
memberikan imunisasi dasar perlu didukung tingginya kasus difteri anak di wilayah kerja
dengan tingkat pengetahuan yang baik tentang Puskesmas Bangkalan Tahun 2016.
penyakit difteri dan program sub PIN difteri. Hal Ada hubungan antara kelengkapan status
tersebut menunjukkan bahwa Ibu dengan tingkat imunisasi DPT dengan tingginya kasus difteri
pengetahuan yang tinggi maka status imunisasi anak di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Ada
DPT pada program sub PIN anaknya akan semakin hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah
baik pula. dengan tingginya kasus difteri anak di Puskesmas
Perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu Bangkalan Tahun 2016. Faktor paling dominan
predisposing, reinforcing, enabling. Faktor yang berhubungan dengan tingginya kasus difteri
predisposing secara tidak langsung akan anak di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016 adalah
mempengaruhi terbentuknya perilaku kesehatan status imunisasi DPT dengan nilai (p value = 0,037,
yang dipengaruhi salah satunya yaitu tingkat OR = 4,667). Yang artinya responden dengan status
pengetahuan. Pengetahuan adalah modal dasar imunisasi DPT tidak lengkap memiliki 5 kali lebih
seseorang untuk menerapkan sikap dan melakukan berisiko menderita difteri dibandingkan dengan
tindakan yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa responden dengan status imunisasi DPT lengkap.
seseorang yang mempunyai pengetahuan baik
akan menunjukkan sikap yang baik pula namun Saran
sebaliknya seseorang yang pengetahuannya kurang Petugas Puskesmas angkalan khususnya bidan
akan menunjukkan sikap yang negatif. Contohnya desa hendaknya meningkatkan bekerjasama dengan
tindakan mengizinkan anak untuk mendapatkan para kader kesehatan untuk meningkatkan perannya
status imunisasi DPT lengkap juga dipengaruhi oleh sebagai educator dan conselor dalam memberikan
tingkat pengetahuan yang baik tentang penyakit informasi berupa peningkatan frekuesnsi
difteri dan bagaimana pelaksanaan program sub penyuluhan kepada masyarakat mengenai risiko
PIN difteri. Pengetahuan yang baik mengenai penularan difteri akibat pemberian imunisasi
bahaya penyakit difteri dan manfaat program sub DPT tidak lengkap serta manfaat pemberian
PIN difteri. Hal tersebut menunjukkan bahwa Ibu imunisasi dasar pada anak ke seluruh Kelurahan/
yang mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi Desa di wilayah kerja Puskesmas Bangkalan pada
maka status imunisasi DPT pada program sub PIN kegiatan Posyandu hingga mencapai target desa
anaknya akan semakin lengkap. UCI dapat terpenuhi. Untuk masyarakat sebagai
subyek yang berisiko disarankan untuk dapat lebih
SIMPULAN DAN SARAN aktif dalam mengikuti kegiatan Posyandu, serta
menyusun jadwal pemberian imunisasi dasar DPT
Simpulan pada kalender rumah sesuai dengan jadwal yang
diinformasikan oleh bidan desa, agar kesadaran
Berdasarkan karakteriktik berdasarkan kelompok
untuk menjaga kesehatan anak meningkat.
umur anak terbanyak adalah 1-4 tahun, berjenis
kelamin laki-laki, dan tingkat pendidikan terbanyak
adalah perguruan tinggi (PT). Untuk kelengkapan REFERENSI
status imunisasi DPT pada anak di Puskesmas
Azwar, A. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan
Bangkalan Tahun 2016 masih dikategorikan tidak
Lingkungan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya
lengkap.
Arthika D. 2012. Assessment Pelayanan Imunisasi
Kondisi lingkungan fisik rumah di Puskesmas
DPT di Unit Pelayanan Swasta Surabaya. Skripsi.
Bangkalan sebagian besar masih belum memenuhi
Surabaya: Universitas Airlangga; 1. http://adln.
persyaratan sesuai Permenkes RI No.1077 Tahun
fkm.unair.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=rea
2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Ruang
d&id=adlnfkm-adlndinastyart-2436 [Sitasi 18
Dalam Rumah. Hasil analisis hubungan antara
Desember 2016]
karakteristik (umur dan jenis kelamin anak, tingkat
Budiman. 2006. Penelitian Kesehatan. Bandung :
pendidikan responden) adalah sebagai berikut :
PT. Refika Adiatama.
tidak ada hubungan antara karakteristik umur dan
Dinkes Kabupaten Bangkalan. 2015. Ringkasan
jenis kelamin anak dengan tingginya kasus difteri
Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan
anak. Namun, untuk karakteristik berdasarkan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan
36 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36
Fajar. N. A, Purba. I. G. 2010. Hubungan Kondisi Mustikawati, D. 2012. Faktor karakteristik individu
Fisik Rumah dan Perilaku Keluarga Terhadap yang mempengaruhi penularan penyakit difteri
Kejadian Difteri Pada Balita Di Kelurahan di kabupaten Situbondo. Jurnal Kesehatan
Cambai Kota Prabumulih tahun 2010. Jurnal Masyarakat. 20(5):pp.34-35
Pembangunan Manusia. Volume. 4, Nomor. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu
12, Universitas Sriwijaya. Mei 2010. Hal. 1-15. Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta
Diakses pada 06 Desember 2016 pukul 21.42 Nuruaprilyanti, I. 2009. Faktor-faktor yang
http꞉balitbangnovdasumsel.com/data/ Berhubungan Dengan Perilaku Ibu dalam
download/2 0140128150303/pdf. Pemberian Imunisasi DPT Pada Bayi di
Kartono, B. 2007. Hubungan Lingkungan Rumah Kecamatan Pancoran Mas Depok Tahun 2009.
Dengan Kejadian Difteri Pada Kejadian Luar Skripsi. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat
Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya Universitas Indonesia
Tahun 2005-2006 dan di Kabupaten Garut Bulan Patel, UV. 2006. A retrospective study of diphtheria
Januari Tahun 2007. Tesis Program Magister cases, Rakjot, Gujarat.Indian Journal of
Program Studi ilmu Kesehatan Masyarakat Community Medicine, Vol. XXIX, no. 4. Oktober-
Universitas Indonesia, Jakarta. Desember 2004. p. 161-163
Keman, S. 2005. Kesehatan perumahan dan Purwana, dan Djaja. 2008. Hubungan Lingkungan
lingkungan pemukiman. Jurnal Kesehatan Rumah dengan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Lingkungan. Vol 2(1):,pp.29-42 difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005–2006)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. dan Garut Januari 2007 Jawa Barat. Jurnal
Perkembangan Kasus Difteri dan Distribusi Kesehatan Lingkungan Indonesia, vol.11 No.1
Kasus Difteri di Kabupaten/Kota Tahun 2010- Hal 82. Diunduh dari http://journal.ui.ac.id/
2014. Kemenkes RI Jakarta upload/artikel/02 pada 28 Desember 2016
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Purwanto, A. 2011. Faktor yang Berhubungan
2011. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor dengan Tindakan Ibu dalam Pemberian Imunisasi
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Dasar pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah Bajeng Bajeng Kabupaten Gowa. Skripsi.
Kumalaili, N. 2011. Gambaran Pengetahuan Ibu Fakutas Kesehatan Masyarakat Universitas
tentang Imunisasi DPT HB Combo Polindes Hasanuddin: 1-8
Labang Sreseh kabupaten Sampang. KTI. Stikes Setyowati N. 2011. Faktor yang mempengaruhi
Yarsi;1. Diunduh dari:http://share.stikesyarsis. Kontak Positif Difteri di Kabupaten Jember.
ac.id/elib/main/dok/00295 pada 08 Desember Tesis. Jember: Universitas Jember. Diunduh
2016 dari: http://digilib.unej.ac.id/gdl42/ gdl.php?mo
Kusno, Y. 2013. Faktor-Faktor Internal yang d=browse&op=read&id=gdlhub-gdlniningsety-
Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi 5058 pada 22 Desember 2016
Dasar Balita Usia 1-5 Tahun di Wilayah Kerja Sitohang, R.V. 2006. Hubungan Kepadatan Serumah
Pukesmas Situ Gintung Ciputat Tahu 2013. Dengan Kejadian Difteri Pada Kejadian Luar
Skripsi. Jakarta; Universitas Islam Negeri Syarif Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Cianjur Jawa
Hidayatullah: 69-87 Barat Tahun 2000-20001. Tesis. Program Magister
Lemeshow, S. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Program Studi Epidemiologi Kekhususan
Kesehatan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Epidemiologi Lapangan Universitan Indonesia,
Press Jakarta
Lia, A. 2010. Faktor Risiko Kejadian Difteri pada Sudoyo, A.W, Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata
KLB Difteri di Sidoarjo Tahun 2010. Skripsi. M., dan Setiati S. 2006. Ilmu Penyakit dalam
Universitas Airlangga: 67–71. jilid II edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Lubis, B. 2005. Penelitian Status Imunisasi Penyakit Dalam Fakultas Kesehatan Universitas
Terhadap Penyakit Difteri Dengan Schick Test Indonesia.
pada Murid Sekolah Taman Kanak-kanak di Utami. 2010. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Kotamadya Medan. e-Journal USU Repository. Penularan Difteri di Kota Blitar Propinsi Jawa
2005. Universitas Sumatera Utara. Diakses pada Timur. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat
05 Desember 2016, pukul 21.52 WIB Universitas Airlangga. Surabaya.
Lubov, S. 2011. Epidemic diptheria in India 1991-
1998. The journal of Infectious Diseases 2001 :
p 589:591
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PNEUMONIA
PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MIJEN
KOTA SEMARANG
Fajar,1 Sulistiyani2, Onny Setiani2
1. Program Studi Kesehatan Lingkungan, STIKes Ibnu Sina Batam, Jln. Teuku Umar Lubu Baja Kota Batam
Email : fajar@stikesibnusinabatam.ac.id
2. Program Studi Magister Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro
ABSTRACT
Title : Factors Affecting Pneumonia Events On Children Under Five Years Old In The Working Center
Of The Mijen Of Semarang City
Background: Pneumonia is still the biggest cause of childhood mortality and also the cause of death in
many elderly people in the world. The incidence of Pneumonia in 2015 in Semarang City was found as many
as 7,759 cases, an increase compared to the previous year which reached 4,295 cases. The problem of
Penumonia disease is most prevalent in the Working Area of Mijen Community Health Center, which is
found 337 cases.
Method : This was a case-control study using the retrospective study method. Case group were 35
respondents and control group 35 respondents. The data analysis used univariate and bivariate analysis with
Chi Square and the magnitude of risk with Odd Ratio and multivariate analysis to know the correlation (p)
of independent variables together with dependent variable with logistic regression.
Result : The results of the research: 1) there is a relationship between the habit of opening the window of the
house with the incidence of pneumonia (p = 0,031, OR = 3,273; 95% CI), 2) Cigarette Smoke Exposure (p =
0,002; OR = 5,537; 95% CI); 3) Healthy house (p = 0,010; OR = 6,303; 95% CI). Multivariate analysis
results: 1). there is a relationship between the habit of opening the window of the house with the incidence of
pneumonia OR = 3,596, 2). Cigarette Smoke Exposure OR = 8,426,3). House Condition OR = 9,240.
Conclusion : the habit of opening the window of the house, exposure to cigarette smoke, and healthy homes
have a relationship with the incidence of pneumonia.
Tabel 2. Analisis hubungan kondisi rumah dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja
puskesmas mijen tahun 2017
Kasus Kontrol
Kondisi rumah p OR (95%) CI
n (35) % n (35) %
Buruk 13 37,1 3 8,6
0,010 6,303 (1,605-24,748)
Baik 22 62,9 32 91,4
Dari hasil penelitian didapatkan hasil pneumonia pada balita. Hal ini dikarenakan
bahwa dari 35 balita penderita Pneumonia rumah yang buruk akan menjadi tempat yang
proporsi balita yang tinggal di kondisi rumah baik untuk perkembangbiakan kuman.
dengan kategori buruk adalah 13 balita Keberadaan kondisi rumah dengan
(37,1%) lebih besar dibandingkan pada kategori buruk yang ditinggali balita
kelompok kontrol sebanyak 3 balita (8,6%). merupakan faktor risiko kejadian pneumonia
Dari hasil uji statistik Chi-Square dengan OR = 6,303 (95% CI 1,605 – 24,748).
menunjukkan ada hubungan yang bermakna Risiko anak yang menghuni kondisi rumah
antara kondisi rumah dengan kejadian dengan kategori buruk adalah 6,303 lebih
pneumonia pada balita (p= 0,010; OR= 6,303; besar daripada anak yang tidak menghuni
95%CI= (1,605 – 24,748). kondisi rumah dengan kategori buruk. Dan
Dengan nilai odds ratio dapat dikatakan dilihat dari nilai CI, variabel kondisi rumah
bahwa balita yang tinggal di kondisi rumah bermakna secara statistik.
dengan kondisi yang buruk memiliki resiko Penelitian ini sejalan dengan penelitian
menderita pneumonia 6,303 kali lebih besar yang dilakukan oleh Siska Renny Elynda dan
dibandingkan dengan balita yang tinggal Lilis Sulistyorini (2007), yang menyatakan
dikondisi rumah dengan kondisi yang baik. bahwa komponen rumah tidak sehat
Berdasarkan Tabel 2, hasil uji Chi-square berhubungan dengan kejadian pneumonia
menunjukkan bahwa nilai p=0,010<0,05 pada anak bawah lima tahun dengan p =
maka Ha diterima. Sehingga dapat diartikan 0,007. Hal ini berarti bahwa komponen rumah
ada hubungan antara kondisi rumah dengan yang tidak sehat dapat menjadikan risiko
kejadian pneumonia pada balita. Hasil terkena pneumonia pada anak balita, salah
penelitian menjelaskan bahwa pada suatu satunya adalah jendela. Menurut Azwar yang
rumah yang balitanya tinggal di rumah yang menyatakan bahwa dengan adanya jendela
buruk akan meningkatkan risiko terkena sebagai lubang angin maka di dalam ruangan
Tabel 4. Analisis hubungan kebiasaan membuka jendela dengan kejadian pneumonia pada balita
di wilayah kerja puskesmas mijen tahun 2017
Kebiasaan membuka jendela Kasus Kontrol
n % n % p OR (95%) CI
(35) (35)
Tidak 24 68,6 14 40 0,031 3,273 (1,224 –
Ya 11 31,4 21 60 8,748)
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pada suatu rumah yang penghuninya
bahwa dari 35 balita penderita Pneumonia jarang membuka jendela rumah akan
proporsi balita yang tinggal di rumah dengan meningkatkan risiko terkena pneumonia pada
tidak ada kebiasaan membuka jendela adalah balita.
24 balita (68,6%) lebih besar dibandingkan Hal tersebut dikarenakan jendela sangat
pada kelompok kontrol sebanyak 14 balita penting untuk suatu rumah tinggal, karena
(40%). Dari hasil uji statistik Chi-Square jendela merupakan ventilasi semi permanen
menunjukkan ada hubungan yang bermakna insidental yang mempunyai fungsi ganda.
antara kebiasaan membuka jendela rumah Fungsi pertama sebagai lubang keluar
balita dengan kejadian pneumonia pada balita masuknya udara sehingga didalam ruangan
(p= 0,031; OR= 3,273; 95%CI= (1,224 – tidak pengap, fungsi yang kedua sebagai
8,748)). lubang masuknya cahaya dari luar (matahari).
Dengan nilai odds ratio dapat dikatakan Cahaya ini akan masuk kedalam ruangan
bahwa balita yang tinggal dirumah dengan rumah melalui jendela, sehingga di dalam
tidak ada kebiasaan membuka jendela rumah rumah tidak gelap dan dapat memberikan
memiliki resiko menderita pneumonia 3,273 konstribusi terciptanya temperatur udara dan
kali lebih besar dibandingkan dengan balita kelembaban pada ruangan. Suatu rumah yang
yang tinggal dirumah dengan kebiasaan memenuhi syarat kesehatan, jendela mutlak
membuka jendela rumah. harus ada dan harus terbuka pada siang hari.17
Berdasarkan tabel 4, hasil uji Chi-Square Penelitian ini sejalan dengan penelitian
menunjukkan bahwa nilai p= 0,031 < 0,05 yang dilakukan oleh Sinaga et al. (2009),18
maka Ha diterima. Sehingga dapat diartikan yang menyatakan bahwa ventilasi udara
ada hubungan antara kebiasaan membuka dalam rumah berhubungan dengan kejadian
jendela rumah dengan kejadian pneumonia pneumonia pada anak bawah lima tahun
pada balita. Hasil penelitian menjelaskan dengan p = 0,017. Kovesi et al. (2007),19
Tabel 5. Distribusi Kejadian Pneumonia menurut Praktek Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas
Mijen Tahun 2017
Kasus Kontrol Total
Karaktersitik
n (35) % n (35) % n (70) %
Paparan asap rokok
Ya 26 74,3 12 34,3 38 54,3
Tidak 9 25,7 23 65,7 32 45,7
Tabel 6. Analisis hubungan paparan asap rokok dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah
kerja puskesmas mijen tahun 2017
Kasus Kontrol
Paparan Asap Rokok p OR (95%) CI
n (35) % n (35) %
Ya 26 74,3 12 34,3 5,537 (1,976 –
0,002
Tidak 9 25,7 23 65,7 15,516)
Dari hasil penelitian didapatkan hasil memenuhi syarat memiliki resiko menderita
bahwa dari 35 balita penderita Pneumonia pneumonia 5,537 kali lebih besar
proporsi balita yang tinggal di rumah dengan dibandingkan dengan balita yang tinggal
paparan asap rokok yang tidak memenuhi dirumah dengan paparan asap rokok rumah
syarat adalah 26 balita (74,3%) lebih besar yang mememuhi syarat.
dibandingkan pada kelompok kontrol Berdasarkan Tabel 6, hasil uji Chi-square
sebanyak 12 balita (34,3%). Dari hasil uji menunjukan bahwa nilai p=0,002<0,05 maka
statistik Chi-Square menunjukkan ada Ha diterima. Ada hubungan antara paparan
hubungan yang bermakna antara paparan asap asap rokok dengan kejadian pneumonia pada
rokok rumah balita dengan kejadian balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pneumonia pada balita (p= 0,002; OR= 5,537; pada suatu rumah yang balitanya terpapar
95%CI= (1,976 – 15,516). asap rokok akan meningkatkan risiko terkena
Dengan nilai odds ratio dapat dikatakan pneumonia pada balita. Hal ini dikarenakan
bahwa balita yang tinggal dirumah dengan asap rokok akan menjadi polusi di udara
paparan asap rokok rumah yang tidak dalam rumah. Asap rokok merupakan faktor
Abstract
Infection of exhalation Acude (ISPA), is one of the main painfulness because for children
under five years old in developing countries. The aims of this research was to know the
relationship between environmental sanitation forincluded houseventilation, air pollution,
andaccupancydensity. The conducted of this research in November 2018 in Marendal I Pasar
V Deli Serdang. Regency theobservational research with cross sectional approach. The
subject were all of the house which have children under five years old with 54 respondents
sample. The technique of sample used cluster random sampling.The statistical test used chi
square test by using Statistical product and service solutions version 20 program. The
resultof this research indicated that there was a relationship between house ventilation,air
pollution and accupancy density with the occurrence of ISPA (Infection of exhalation Acude).
Poor ventilation can cause high humidity and endanger health so that the incidence of
Infection of exhalation Acude will increase. The condition of a dense residence can increase
the air pollution factor in the house. And the floor area of a healthy home building must be
enough for the residents inside. The area of a building that is not proportional to the number
of occupants can cause easy disease. lack of oxygen, dirty air can invite various chemicals so
it is easy to trigger the disease that comes, Every citizen is expected to always pay attention
and try so that his house meets health requirements such as house ventilation, residential
density in the bedroom, and healthy air pollution.
98
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019
penyakit ini paling banyak terjadi di Asia hidung, alveoli termasuk adneksanya (sinus
Selatan dan Afrika sub-Sahara. Sejak tahun rongga telinga tengah pleura). (Depkes, 2013).
1984, WHO telah menerapkan suatu program
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
pemberantasan penyakit ISPA khususnya
merupakan penyakit ketujuh dari 10 pola
pada kasus pneumonia dan pada tahun 1990
penyakit terbanyak dengan jumlah kasus 4,463.
dilaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Selama tahun 2012, ditemukan 41,291 balita
di New York, dari hasil tersebut telah dibuat
menderita infeksi saluran pernafasan akut
kesepakatan untuk menurunkan angka
(ISPA) dengan cakupan penemuan 32,4 %,
kematian anak akibat ISPA ebesar 30%, dalam
sedangkan dalam tahun 2013 cakupan
memberantas penyakit ISPA sudah banyak
penemuan dan penanganan penderita penyakit
strategi yang telah dilakukan oleh banyak
mencapai 100% (Profil Sumatera Utara)
negara termasuk Indonesia, namun hasil yang
dicapai di setiap Negara bervariasi. (Rahajoe, 2. METODE
2010).
Jenis Penelitian ini adalah penelitian
Pembangunan kesehatan dalam menurunkan Observasional yang bertujuan untuk
angka kematian pada anak selalu berupaya mengetahui hubungan antara sanitasi
agar dilaksanakan oleh semua komponen lingkungan dengan kejadian Infeksi Saluran
Bangsa Indonesia sehingga tujuan dalam Pernafasan Akut pada balita di Desa Marendal I
meningkatkan kemampuan hidup, kemauan Pasar V Kab. Deli Serdang Tahun 2018 dengan
dan kesadaran masyarakat serta kemampuan system pendekatan cross sectional, yaitu
hidup sehat bagi setiap orang dapat terwujud, dengan cara observasi atau pengumpulan data
sehingga dapat meningkatkan derajat pada saat yang sama (Notoadmodjo, 2010 ).
kesehatan masyarakat yang maksimal. Bangsa Pada penelitian ini jumlah pertanyaan dalam
Indonesia membuat Program Indonesia Sehat kuesioner sejumlah 20 soal yang terdiri dari
pada tahun 2015 – 2019 dengan sasaran ventilasi rumah, kepadatan hunian,
meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi pencemaran udara, untuk mempermudah
masyarakat melalui upaya kesehatan dan menghitung skor dari jawaban yang masuk
pemberdayaan masyarakat. Salah satu sasaran melalui kuesioner yang digunakan rumus yaitu :
pokok pembangunan kesehatan yaitu
meningkatnya pengendalian penyakit termasuk
penyakit ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
(1)
(Kemenkes RI, 2015).
Menurut Depkes RI (2014), di Indonesia pada Keterangan :
tahun 2014 angka kematian akibat ISPA pada I adalah interval
balita sebesar 8 per 10.000 balita, lebih rendah Range adalah skor maksimum + skor minimum
dibandingkan dengan tahun 2013 yang sebesar
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
119 per 10.000 balita. Pada kelompok bayi usia
Karakteristik Responden
0-12 bulan angka kematian lebih tinggi yaitu
sebesar 11 per 10.000 bayi jika dibandingkan Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan
pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu hanya Pendidikan, Pekerjaan, Umur Balita, Jenis
sebesar 6 per 10.000 balita, Infeksi saluran Kelamin Balita dapat dilihat pada tabel
pernafasan akut adalah penyakit infeksi akut dibawah:
yang dapat menyerang salah satu bagian /
lebih dari saluran pernafasan yaitu mulai dari
99
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019
100
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019
101
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian bagi penghuninya. hal ini disebabkan karena
(Sulistyorini 2015), di Desa Marendal I, yang padatnya jumlah keluarga yang berada dalam
menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di Desa satu kamar yang dapat menyebabkan
Marendal rata-rata tidak di buka pada siang kurangnya konsumsi oksigen, dan mudah
hari, dan jarang membersihkan jendela menularkan penyakit pada keluarga yang
sehingga sering terjadi kelembaban dalam lainnya
ruangan yang tidak sehat. Responden yang
Hubungan antara Pencemaran Udara
memiliki ventilasi baik dan terkena ISPA
dengan Kejadian ISPA
sebanyak 24 rumah (80%) sedangkan
responden yang tidak terkena ISPA mempunyai Hasil analisis statistik dengan uji Chi square
ventilasi rumah yang baik sebanyak 6 rumah untuk hubungan antara Pencemaran udara
(20%) dan ventilasi rumah yang tidak baik dan dengan kejadian ISPA pada balita di Desa
terkena ISPA sebanyak 8 (33,3) dan yang tidak Marendal, didapatkan nilai p (0,006) lebih kecil
memiliki ventilasi tidak baik yang tidak terkena dari nilai a (0,05), dengan demikian terdapat
ISPA sebanyak 16 rumah (66,7%). hubungan yang signifikan antara pencemaran
Hubungan antara Kepadatan Hunian udara dengan kejadian ISPA. Hasil di Desa
dengan Kejadian ISPA Marendal I, yang menyimpulkan bahwa
pencemaran udara di Desa Marendal rata rata.
Hasil analisis statistik dengan uji Chi square
Responden yang mencemari udara terkena
untuk hubungan antara kepadatan hunian
ISPA sebanyak 19 rumah (82,6%) dan yang
dengan kejadian ISPA pada balita di Desa
mencemari udara yang tidak terkena ISPA
Marendal, didapatkan nilai p (0,030) lebih kecil
sebanyak 4 rumah (17,4%), sedangkan
dari nilai a (0,05), dengan demikian terdapat
responden yang tidak mencemari udara terkena
hubungan yang signifikan antara kepadatan
ISPA sebanyak 13 rumah (41,9%) dan yang
hunian dengan kejadian ISPA. Hasil di Desa
tidak mencemari yang tidak terkena ISPA
Marendal I, yang menyimpulkan bahwa
sebanyak 18 rumah (58,1%). Hal ini
kepadatan hunian di Desa Marendal rata-rata
disebabkan karena banyak nya folusi udara
memiliki kamar yang sempit. Responden yang
yang tidak sehat didalam rumah maupun diluar
memiliki kepadatan hunian yang baik yang
rumah, sehinggan mudah merasakan sesak
terkena ISPA sebanyak 18 rumah (78,3%) dan
yang diakibatkan kurangnya oksigen, udara
yang memiliki kepadatan hunian baik yang
yang kotor dapat mengundang berbagai bahan
tidak terkena ISPA sebanyak 5 rumah (21,7%),
kimia sehingga mudah memicu penyakit.
sedangkan responden yang tidak mempunyai
kepadatan hunian yang tidak baik sebanyak 14 4. KESIMPULAN
rumah (45,2%) dan yang tidak mempunyai
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
kepadatan hunian yang tidak baik yang tidak
dilakukan terhadap 54 responden yang ada di
terkena ISPA sebanyak 17 rumah (54,8%).
Desa Marendal I Pasar V Kab.Deli Serdang,
Menurut (Sarwono 2010) tentang persyaratan dapat disimpulkan ada hubungan yang
kesehatan perumahan yang tidak sehat dan signifikan antara Ventilasi Rumah dengan
memenuhi syarat, dimana kepadatan hunian kejadian ISPA
yang melebihi standar dapat menyebabkan pada Balita dengan uji chi- Square (P value
suhu ruangan meningkat akbibat aktifitas =0,001 < 0,05), Ada hubungan yang signifikan
penghuni rumah, pada kondisi luas rumah yang antara Kepadatan Hunian dengan kejadian ISPA
cukup akan memberikan ruang gerak yang Pasa Balita (p value 0,030 < 0,05 ), dan Ada
cukup dan memberikan perasaan yang nyaman hubungan yang signifikan antara Pencemaran
102
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019
Udara dengan kejadian ISPA Pasa Balita (p Infection in Under five Chihdern.
value 0,006 < 0,05). Regional Healt forum volume 9, (1).
Kotari, Murti, B., 1997. Prinsip dan Metode
DAFTAR PUSTAKA
Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gajah
Ambarwati dan Dina, 2007. Hubungan antara Mada Universitas 2006.
Sanitasi Fisik Rumah Susun (Kepadatan Kusnoputranto, 2011. Kesehatan Lingkungan.
Penghuni, Ventilasi, Suhu, Kelembaban, Jakarta : Enjang Indan
dan Penerangan Alami) dengan Kejadian
Penyakit ISPA. Abstrak Penelitian. di Margono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan,
akses 09 Desember 2008 Jakarta : Rineka Cipta
Alex, 2012. Sukses mengolah sampah organik Maryunani, 2010. Persyaratan Rumah Sehat,
menjadi pupuk organik. Pustaka Baru Diakses 27 Maret 2014.
Press. Yogyakatra. Mashuri, 2013. Jamban Cemplung (Pit Latrine),
Atika, 2012, Perilaku Hidup Sehat dan Bersih. Jakarta : Michell
Jakarta : Salemba Medika. Masriadi, 2014. Epidemiologi Penyakit Menular.
Azwar, A., 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Depok : Rajawali Press
Lingkungan. Jakarta: Mutiara Misnadiarly, 2010. Infeksi Saluran Pernapasan
Benih, C., 2013. Penanggulangan dan Akut.
Pengobatan ISPA. Diakses: 09 Desember Miranda, 2016. Memenuhi syarat Rumah.
2008 Jakarta : Salemba Medika
Candra, 2010. Pengantar Kesehatan Mumpuni, 2016. 45 Penyakit menular.
Lingkungan Jakarta: EGC. Yogyakarta : Rapha Publishing
Dainur, 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Muttaqin, 2008. Infeksi Saluran Pernafasan
Jakarta: Widya Akut. Jakarta : Salemba Medika
Depkes RI, 2013. Informasi tentang ISPA pada Notoatmodjo, S., 2010a. Ilmu Kesehatan
Balita. Jakarta: Pusat Penyuluhan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta
kesehatan masyarakat
Rahajoe, 2010. Infeksi Saluran Pernafasan
Dinata, A., 2007. Aspek Teknis dalam Akut. Jakarta : Medika
Penyehatan Rumah. Diakses: 09
Desember 2008 Sarwono, 2013. Kepadatan dan kesesakan
tempat tinggal. Diakses 31Maret 2011
Dinkes Kota Medan, 2016. Profil Kesehatan
Kota Medan Tahun 2016. Kemenkes, RI, Suryono. 2012. Hubungan kondisi fisik rumah
2015. dengan kepadatan hunian.
Diakses 09 April 2014.
Profil kesehatan Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Indonesia RI. Widayono, 2010. Infeksi Saluran Pernafasan.
2016. Jakarta : Rineka Cipta
Kemenkes, RI, 2010, Pedoman tatalaksana World Health Organization. 2015. Pencegahan
Balita Direktoral Jenderal Pengendalian dan Pengendalian ISPA difasilitasi
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. pelayanan kesehatan. Dinkes: 10 mei
Jakarta 2017
103
Qanun Medika
QanunVol. 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun
Submitted:: October
Submitted Oktober 2018 Accepted:
2018 January
Accepted 2019 Published:
: Januari 2019 January 2019
Published : Januari 2019
ABSTRACT
Large pneumothorax with long duration of symptoms can be dangerous. Large pneumothorax can
cause hypoxemia and its duration states the duration of hypoxia. This long duration of hypoxia
can affect changes in tissue conditions of the lungs, which if it reaches 72 hours can increase the
permeability of the alveolar capillaries in the lungs to facilitate pulmonary edema. Large
pneumothorax with long duration of symptoms can be a risk factor for re-expansion pulmonary
edema (REPE). Meanwhile, hypoxia can also cause increased production of free radicals in lung
tissue (pulmonary oxidative stress). This study investigated whether the duration of pneumothorax
also affects the level of pulmonary oxidative stress, with experiments in rats. There were 4 groups
consisting of 6 rats in each group: 24 hours of pneumothorax (A), 48 hours of pneumothorax (B),
72 hours of pneumothorax (C) and control (D). Pneumothorax is made by injecting air into the
right pleural cavity of the chest, then we performed X-ray. All samples were examined for PaO 2
to ensure hypoxia status. After that, the rats were examined for malondialdehyde (MDA) levels
to express the level of oxidative stress. The result showed that all pneumothorax groups were
hypoxemic (PaO2 below 80 mmHg). Mean MDA levels were higher in pneumothorax groups.
However, only group C were significantly higher (p=0,031). MDA levels were 1,601 ± 0,739 in
group A, 1,585 ± 0,714 in group B, 2,256 ± 0,513 in group C, and 1,243 ± 0,162 in group D.
We concluded that pneumothorax can cause pulmonary oxidative stress if the pneumothorax has
a large volume and the duration of symptoms reaches 72 hours.
ABSTRAK
Pneumotorak luas dengan durasi gejala yang lama dapat berbahaya. Pneumotorak luas dapat
menyebabkan hipoksemia dan durasi gejalanya yang lama menyatakan durasi hipoksia parunya.
Durasi hipoksia ini dapat mempengaruhi perubahan kondisi jaringan di paru, yang bila mencapai
72 jam dapat meningkatkan permeabilitas kapiler alveolar di paru sehingga memudahkan
terjadinya edema paru. Pneumotorak luas dengan durasi gejala yang lama dapat menjadi faktor
resiko reexpansion pulmonary edema (REPE). Sementara itu, hipoksia juga dapat menyebabkan
peningkatan produksi radikal bebas di jaringan paru (stress oksidatif paru). Penelitian ini
halaman
45
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.
vol. Januari 2019
|bulan tahun
menginvestigasi apakah durasi pneumotorak juga mempengaruhi tingkat stress oksidatif paru,
dengan eksperimen pada tikus. Terdapat 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 6 tikus:
kelompok pneumotorak 24 jam (A), pneumotorak 48 jam (B), pneumotorak 72 jam (C) dan
kontrol (D). Pneumotorak dibuat dengan cara injeksi udara ke rongga pleura dada kanan, lalu di
X-ray. Semua sampel diperiksa PaO2 untuk memastikan tingkat hipoksianya. Setelah itu, tikus
diperiksa kadar malondialdehid (MDA) parunya untuk mengetahui tingkat stress oksidasi
parunya. Hasil penelitian menunjukkan semua kelompok tikus pneumotorak mengalami
hipoksemia. Rata-rata kadar MDA lebih tinggi pada kelompok pneumotorak, namun secara
statistik hanya bermakna pada kelompok 72 jam (C) dengan p=0,031. Kadar MDA pada masing-
masing kelompok adalah 1,601 ± 0,739 pada kelompok A, 1,585 ± 0,714 pada kelompok B, 2,256
± 0,513 pada kelompok C, dan 1,243 ± 0,162 pada kelompok D. Kesimpulannya pneumotorak
dapat menyebabkan stress oksidatif paru bila pneumotorak bervolume luas dan durasi gejala
mencapai 72 jam.
Kata kunci: Pneumotorak, REPE, Edema Paru, Radikal Bebas, Malondialdehid, Hipoksia
Korespondensi : faisaldanyani@gmail.com
Pneumotorak yang luas dapat Durasi gejala yang lama pada pneumotorak
menyebabkan paru tertekan atau kolaps yang luas menyatakan durasi hipoksia
sehingga terjadi gangguan pertukaran gas. parunya. Durasi lama ini dapat
Hal berakibat pada turunnya partial berpengaruh pada perubahan kondisi
pressure of arterial oxygen (PaO2) atau jaringan di paru. Penelitian eksperimental
halaman
46
Qanun Medika
QanunVol. 3 No.
Medika vol.1no.Januari 2019
|bulan tahun
Pneumotorak yang luas dan durasi lama Pada pneumotorak juga dapat terjadi
dapat menjadi faktor resiko reexpansion hipoksia dan hipoksemia karena kolapsnya
pulmonary edema (REPE). REPE dapat paru akibat penekanan udara. Belum
terjadi pada pneumotorak volume luas diketahui bagaimana stress oksidatif paru
dengan durasi gejala yang mencapai lebih karena hipoksia yang disebabkan
dari 3 hari (Peter et al., 2017). Angka pneumotorak. Durasi pneumotorak juga
kejadian REPE pada pneumotorak spontan berkaitan dengan durasi hipoksianya.
bervariasi, menurut laporan-laporan yang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
ada antara lain 15,6% (Morioka et al., pengaruh durasi pneumotorak terhadap
2013), 16% (Yoon et al., 2013), 29,8% tingkat stress oksidatif paru, dengan
(Kwon et al., 2009) dan 32,5% (Taira et eksperimen pada tikus.
al., 2014). Angka ini relatif kecil namun
mortalitas REPE dapat mencapai 20% METODE PENELITIAN
(Mahfood et al., 1988). Patologi ini Penelitian ini merupakan penelitian
disebabkan oleh reekspansi paru yang eksperimental menggunakan tikus wistar.
cepat dan perubahan kondisi jaringan paru Desain penelitiannya adalah post-test only
karena hipoksia. Reekspansi paru yang control group design. Penelitian dilakukan
cepat menyebabkan perubahan cepat di Laboratorium Animal house dan
tekanan intratorakal sehingga terjadi Bioteknologi Fakultas Kedokteran
peningkatan tekanan kapiler dan Universitas Sriwijaya dari tanggal 23
hidrostatik paru. Kondisi ini diperkuat Agustus sampai 5 September 2018.
dengan kondisi paru yang sudah
mengalami hipoksemia jaringan paru Terdapat 24 tikus pada penelitian ini.
regional yang menyebabkan migrasi sel Semua tikus secara random dibagi dalam 4
dan mediator inflamasi, serta perubahan kelompok yang masing-masing terdiri dari
permeabilitas kapiler alveolar (Peter et al., 6 tikus yaitu kelompok pneumotorak 24
2017). jam (A), pneumotorak 48 jam (B),
pneumotorak 72 jam (C) dan kelompok
Sementara itu, terdapat penelitian yang tanpa pneumotorak atau kontrol (D).
mengatakan hipoksia dapat menyebabkan Pneumotorak dibuat dengan cara injeksi
stress oksidatif di paru. Adanya kondisi udara pada rongga pleura. Setelah itu
halaman
47
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun
semua sampel diperiksa PaO2 untuk dengan manusia. Nilai normal PaO2 tikus
memastikan tingkat hipoksianya. Tikus berkisar dari 80,72-109,56 mmHg
kemudian diperiksa kadar malondialdehid (Subramanian et al., 2013).
(MDA) parunya untuk mengetahui tingkat
stress oksidasi parunya. Teknik pemeriksaan stress oksidasi paru
Setelah memeriksa PaO2, kami langsung
Hewan Penelitian mengambil paru kanan tikus untuk analisa
Hewan penelitian adalah tikus wistar stress oksidasi. Dilakukan insisi midsternal
jantan dengan berat badan 200-250 g, usia sampai paru ekspose(sternotomi),
2-3 bulan, sehat, tidak terdapat kemudian paru kanan dievakuasi. Paru
abnormalitas anatomi serta bukan tikus dicuci dengan larutan PBS 1% sampai
hasil uji coba penelitian lain. Tikus bersih lalu di sentifuse dengan kecepatan
didapatkan dari Animal house Fakultas 3000 rpm selama 20 menit. Hasil sentrifuse
Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tikus berupa presipitat dan supernatant.
dirawat dalam kandang berisi 3 tikus Supernatant kemudian diambil untuk
perkadang dengan suhu ruang 20-24oC, pemeriksaan malondialdehid (MDA)
siklus gelap terang selama 12 jam serta dengan teknik ELISA.
diberi makan dan minum secukupnya.
Semua prosedur eksperimen tikus telah Analisa statistik
disetujui komite etik Fakultas Kedokteran Data ditampilkan dalam bentuk rata-rata
Universitas Sriwijaya. (mean) dan standar deviasinya. Analisa
dilakukan dengan software SPSS versi 25.
Teknik membuat pneumotorak Perbandingan kelompok pneumotorak dan
Tikus dibius dengan menyuntikkan kelompok kontrol dilakukan dengan uji
ketamin 90 mg/kgBB dan xylazine 10 ANOVA dan uji post-hoc Tukey, dengan
mg/kgBB intraperitoneal. Teknik p<0.05 sebagai batas signifikansi.
membuat pneumotorak adalah dengan
menginjeksikan udara pada rongga pleura Kami berhasil membuat tikus
(Elias et al., 2014). Setelah mencukur pneumotorak sebagaimana terlihat pada
dinding dada kanan tikus, dibuat insisi gambar 1. Tidak terdapat cedera seperti
±0,5-1 cm pada regio intercostal ke-empat hemothoraks dan udara diluar rongga torak
lalu insisi diperdalam sampai tampak iga seperti emfisema subcutis atau udara
dan otot intercostalis. Udara sebanyak 6cc intraabdomen karena tepatnya lokasi
diinjeksikan ke rongga pleura kanan injeksi udara.
dengan spuit yang ditusukkan sedalam
±0,5 cm dan diatas iga pada intercostal
space ke-empat. Setelah itu dilakukan X-
ray untuk membuktikan pneumotorak.
halaman
48
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun
1
Kadar malondialdehid sampel
Terdapat peningkatan kadar MDA pada
kelompok pneumotorak sebagaimana 0.5
halaman
49
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun
masuk dan mengalami pertukaran gas pneumotorak durasi 72 jam. Hal ini
menjadi semakin sedikit akibatnya dapat menunjukkan kadar MDA juga semakin
terjadi hipoksemia. Pada tabel 1 terlihat meningkat sejalan dengan durasi
bahwa PaO2 semua kelompok tikus pneumotoraknya. Hal ini berkaitan dengan
pneumotorak berada dibawah 80 mmHg durasi keparahan hipoksia akibat
(hipoksemia). Hipoksemia ini menandakan pneumotoraknya. Pada penelitian
telah terjadinya hipoksia akibat dikatakan tingkat stress oksidatif juga
pneumotorak. bergantung pada derajat keparahan
maupun durasi hipoksianya (Araneda and
Pada penelitian ini terdapat peningkatan Tuesta, 2012).
MDA pada kelompok tikus pneumotorak.
MDA yang meningkat pada pneumotorak Penelitian hipoksia kebanyakan dengan
menunjukkan bahwa hipoksia karena cara memasukkan sampel hewan ke ruang
pneumotorak juga dapat menimbulkan minim oksigen berupa hypoxia chamber
stress oksidasi paru. Hal ini berarti terdapat atau hypobaric chamber. Terdapat
produksi radikal bebas atau ROS penelitian yang melihat tingkat stress
berlebihan oleh sel-sel paru yang oksidasi paru pada kondisi normobarik
menyebabkan cedera sel paru (stress hipoksia (inhalasi kadar O2 10%),
oksidasi). Sebagaimana telah disebutkan didapatkan bahwa MDA meningkat pada
sebelumnya manifestasi stress oksidasi di hari ke-5 (Wilhelm et al., 2003). Terdapat
paru dapat berupa inflamasi dan edema juga penelitian yang meneliti hipoksia
paru. Radikal bebas atau ROS di paru dapat hipobarik (tekanan 338 mmHg) dengan
menstimulasi produksi mediator inflamasi paparan durasi hipoksia yang berbeda-
sehingga terjadi inflamasi pada kapiler. beda (2 jam, 4 jam, 8 jam, 16 jam, 24 jam
Inflamasi ini dapat meningkatkan dan 48 jam), didapatkan bahwa MDA
permeabilitas vaskuler lalu terjadi edema meningkat pada hipoksia kelompok durasi
paru (Araneda and Tuesta, 2012; Sarada et 16 jam, 24 jam dan 48 jam. Bahkan lebih
al., 2008). Peningkatan MDA ini secara jauh dikatakan paparan hipoksia jangka
statisik bermakna pada kelompok pendek (2 - 4 jam) tidak menunjukkan efek
pneumotorak durasi 72 jam. Hal ini dapat signifikan pada arstitektur paru (Smita et
menjelaskan patofisiologi terjadinya REPE al., 2015). Pada penelitian kami, MDA
(re-expansion pulmonary edema). REPE meningkat secara statistik pada 72 jam.
terjadi pada pneumotorak dengan durasi Perbedaan hasil penelitian kami dengan
gejala yang mencapai lebih dari 72 jam penelitian-penelitian tersebut diatas
(Peter et al., 2017). Ekspansi paru yang disebabkan karena perbedaan cara
cepat setelah pemasangan chest tube pada membuat kondisi hipoksianya. Hipoksia
kasus pneumotorak menyebabkan pada penelitian kami dihasilkan karena
peningkatan tekanan tekanan kapiler dan kolapsnya alveoli. Namun dapat diambil
hidrostatik paru, ditambah permeabilitas kesimpulan yang sama yaitu kondisi
membran kapiler alveolar yang meningkat hipoksia dapat meningkatkan stress
karena radikal bebas, menyebabkan REPE. oksidatif dan durasinya memperberat
tingkat stressnya.
Peningkatan MDA pada sampel hanya
bermakna secara statistik pada kelompok
halaman
50
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun
halaman
51
Qanun Medika Vol. 3 No. 1 Januari 2019
Qanun Medika vol. no. |bulan tahun
52halaman
Qanun Medika Vol. 3 No. 1 Januari 2019
Qanun Medika vol. no. |bulan tahun
53halaman
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
Abstrak
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memberikan dampak
signifikan terhadap keberlangsungan hidup pasien. Strategi program
perawatan perlu diaplikasikan untuk mencegah eksaserbasi akut
sehingga dapat menurunkan readmisi pasien. Tujuan dari studi ini
adalah untuk mencari bukti terkait pengaruh program perawatan
terhadap readmisi pada pasien PPOK. Metode yang digunakan adalah
pencarian literatur dengan mencari publikasi artikel 10 tahun terakhir
dari database: Science Direct dan Pubmed dengan kata kunci: Chronic
Obstructive Pulmonary Disease OR COPD AND care programme
AND readmission. Peneliti memilih artikel original dan hasil review
dengan kriteria inklusi: teks artikel utuh dan bahasa inggris. Kriteria
eksklusi: tidak sesuai dengan rumusan masalah (PICOT), program
rehabilitasi, dan seting unit gawat darurat. Peneliti melakukan review
dengan mengecek duplikasi, judul, abstrak kemudian membaca artikel
keseluruhan. Selanjutnya peneliti melakukan ekstrasi data dari artikel
yang dipilih. Pencarian literatur mengikuti panduan PRISMA
flowchart. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 3 artikel yang
memenuhi kriteria. Hasil temuan didapatkan bahwa program
manajemen perawatan PPOK yang komprehensif dan terintegrasi
memberikan manfaat dalam menurunkan tingkat readmisi pasien.
Program manajemen perawatan yang dimaksud berupa perencanaan
kepulangan pasien, kunjungan rumah atau follow-up serta perawatan
pasca hospitalisasi. Program ini membutuhkan kerjasama
multidisipliner dari perawat, fisioterapis, dokter dan apoteker.
Simpulan dari studi ini adalah program manajemen perawatan yang
komprehensif dan terintegrasi perlu dilakukan untuk menurunkan
angka readmisi pasien PPOK.
75
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
ABSTRACT
Chronic obstructive pulmonary disease(COPD) provided a significant
impact on life. It was important to develop strategy to prevent
exacerbation. The study aimed to find outthe best evidence related to
the effect of the care program on the readmission in COPD. The
method used was the literature searched from the last 10 years
publication from two databases: ScienceDirect and Pubmed. Keyword
was Chronic Obstructive Pulmonary Disease OR COPD AND care
programme AND readmission. Inclusion criteria were was full text
articles in English, while the exclusion criteria were articles that not
appropriate with review question,rehabilitation program, and articles
with emergency setting. Four authors reviewed for duplicate articles,
titles, and abstracts. Then, read the whole article. The literature search
followed the PRISMA flowchart guidelines. The results indicated that
there were 3 articles that meet the criteria. The findings showed that
comprehensive and integrated COPD care management programs
provided benefits in significantly reducing patient readmission. The
management program consisted of patient's discharge planning, home
visit or follow-up and rehabilitation care. The program required
multidisciplinary collaboration including nurses, physiotherapists,
doctors, and pharmacists.The conclusion isa comprehensive and
integrated care management program is needed to be implemented to
reduce the readmission rate.
76
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
(266.074). PPOK sebagian besar dialami Original research atau review article,
oleh masyarakat berusia >30 tahun. PPOK menggunakan Bahasa Inggris. Artikel
memberikan dampak yang cukup dieksklusikan jika membahas mengenai
signifikan terhadap keberlangsungan program rehabilitasi dan seting ruang
hidup pasien. Beberapa penelitian gawat darurat. Database pencarian
sebelumnya menunjukkan bahwa fungsi literatur menggunakan Science Direct dan
paru-paru dan kualitas hidup sangat Pubmed dengan kata kunci : Chronic
dipengaruhi oleh frekuensi eksaserbasi Obstructive Pulmonary Disease OR
PPOK dan frekuensi readmisi di rumah COPD AND care programme AND
sakit. Selain itu pada pasien dengan PPOK Readmission. Peneliti membatasi artikel
memerlukan biaya perawatan yang yang sesuai pada 10 tahun terakhir untuk
tergolong cukup tinggi. Berdasarkan hal memastikan bukti terkini. Uji eligibilitas
tersebut, sangat penting untuk menggunakan JBI critical appraisal tools
dikembangkan berbagai macam strategi dilakukan oleh 2 reviewer secara
program perawatan (care programme) independen hingga didapatkan kesimpulan
untuk mencegah eksaserbasi akut PPOK bahwa artikel layak dilakukan proses
yang akan berdampak untuk menurunkan review.
tingkat readmisi pasien (Aimonino dkk.,
2008). HASIL DAN PEMBAHASAN
Care program merupakan suatu
program dalam manajemen PPOK yang Dari hasil pencarian literatur
bermanfaat untuk menurunkan tingkat didapatkan total 677 artikel dan hanya 3
eksaserbasi yang akan berdampak pada artikel yang memenuhi kriteria. Artikel
penurunan tingkat readmisi. Care dieksklusikan karena tidak sesuai dengan
program dilakukan dengan melibatkan tujuan pencarian, setting bukan di rawat
berbagai multidisiplin, baik dari perawat, inap atau komunitas, dan memberikan
fisioterapis, dokter, maupun social worker program rehabilitasi. Tiga artikel dengan
(Sridhardkk., 2008). Pertanyaan penelitian masing-masing desain Randomized
yang diajukan yaitu “bagaimana manfaat Controlled Trial (RCT), Cohort, dan
dari program manajemen perawatan pada Quasy Experiment. Hasil pencarian
pasien dengan PPOK.” Berdasarkan hal terdapat di flow chart PRISMA (gambar
tersebut, artikel ini bertujuan untuk 1). Hasil uji eligibilitas menggunakan JBI
mencari bukti terkait pengaruh dari care menunjukkan eligible dan digunakan
program terhadap penurunan readmisi sebagai literatur. Artikel yang didapat
pada pasien dengan PPOK. membahas mengenai program perawatan
yang komprehensif melibatkan tim
METODE PENELITIAN multidisiplin dan perawatan yang
terintegrasi antara setting klinik dan
Artikel ini merupakan integrative setting komunitas. Hasil sintesis artikel
literature review dengan pencarian terdapat di Tabel 1.
literatur mengikuti flowchart PRISMA
(lihat gambar 1). Kriteria inklusi artikel:
sesuai dengan tujuan penelitian, Full text,
77
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
(n = 12)
78
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
79
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
80
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
Pengukuran : St George‟s
Respiratory
Questionnaire (SGRQ untuk QOL;
modified Medical Research
Council (mMRC) untuk perasaan
subjektif dispneu; data admisi
(jumlah admisi dan LOS) selama
12 bulan;
81
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
82
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
DAFTAR PUSTAKA
Aimonino, R, N., Tibaldi, V., Leff, B., Scarafiotti, C., Marinello, R., Zanocchi, M., &
Molaschi, M. (2008). Substitutive “hospital at home” versus inpatient care for
elderly patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease:
A prospective randomized, controlled trial. Journal of the American Geriatrics
Society, 56(3), 493–500. https://doi.org/10.1111/j.1532-5415.2007.01562.x.
GOLD. (2015). Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Global Initiative for Cronic
Obstruktive Lung Disease. GOLD. USA.
Ko, F. W. S., Cheung, N. K., Rainer, T. H., Lum, C., Wong, I., & Hui, D. S. C. (2017).
Comprehensive care programme for patients with chronic obstructive
pulmonary disease: a randomised controlled trial. Thorax, 72(2), 122–128.
https://doi.org/10.1136/thoraxjnl-2016-208396.
Ko, F. W. S., Ngai, J. C. N., Ng, S. S. S., Chan, K. P., Cheung, R., Leung, M. Y., Pun,
M. C., Hui, D. S. (2014). COPD care programme can reduce readmissions and
in-patient bed days. Respiratory Medicine, 108(12), 1771–1778.
https://doi.org/10.1016/j.rmed.2014.09.019.
Moullec, G., Lavoie, K. L., Rabhi, K., Julien, M., Favreau, H., & Labrecque, M. (2012).
Effect of an integrated care programme on re-hospitalization of patients with
chronic obstructive pulmonary disease. Respirology, 17(4), 707–714.
https://doi.org/10.1111/j.1440-1843.2012.02168.x.
Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional
2013, 1–384. https://doi.org/1 Desember 2013
Sridhar, M., Taylor, R., Dawson, S., Roberts, N. J., & Partridge, M. R. (2008). A nurse
led intermediate care package in patients who have been hospitalised with an
acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. Thorax, 63(3),
194–200. https://doi.org/10.1136/thx.2007.077578.
World Health Association (WHO). (2017). Chronic obstructive pulmonary disease
(COPD). Retrieved February 18, 2018, from
http://www.who.int/entity/mediacentre/factsheets/fs315/en/
83
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018
84
GAMBARAN KEJADIAN ASFIKSIA DI UPTD PUSKESMAS
AJANGALE PADA TAHUN 2016/2017
Arfan nur
ABSTRAK
Asfiksia pada bayi baru lahir termasuk risiko tinggi karena memiliki kemungkinan lebih besar
mengalami kematian bayi atau menjadi sakit berat dalam masa neonatal. Di Indonesia mempunyai
200 juta penduduk dengan angka kelahiran 2,5% tahun sehingga diperkirakan terdapat 5 juta
kelahiran per tahun. Untuk mengetahui gambaran kejadian Asfiksia berdasarkan faktor resiko ibu,
bayi dan faktor persalinan di UPTD Puskesmas Ajangale. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif
dengan menggunakan data sekunder di UPTD Puskesmas Ajangale untuk mengetahui gambaran
umum kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dengan variabel-variabel penelitian yang meliputi faktor
risiko ibu, bayi dan persalinan. Dari 389 responden, bayi baru lahir yang mengalami asfiksia pada
tahun 2016 sebesar 3,08%, sedangkan pada tahun 2017 dari 374 responden sebesar 5,61%.
Berdasarkan faktor risiko bayi tahun 2016 dengan faktor risiko rendah sebesar 83,33%, tahun 2017
dengan faktor risiko rendah sebesar 76,19%. Faktor risiko ibu pada tahun 2016 dengan risiko tinggi
sebesar 41,67%, tahun 2017 dengan risiko tinggi sebesar 52,38%. Faktor persalinan pada tahun
2016 dengan lilitan tali pusat sebesar 16,67%, tahun 2017 dengan lilitan tali pusat sebesar
28,57%.Faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia di UPTD Puskesmas Ajangale di
pengaruhi oleh faktor risiko ibu, bayi dan persalinan.
Kata Kunci : Asfiksia, bayi, persalinan, lilitan tali pusat, Umur, paritas, pendidikan, pekerjaan
109
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2 Tahun 2019 ● eISSN : 2302-2531
kematian ibu hamil 47 orang (30,71%), 2. Kriteria Ekslusi
kematian ibu bersalin 44 orang (27,45%), Data bayi dengan penyakit berbeda Non-
kematian ibu nifas 62 orang (40,52%), adapun Asfiksia).
kematian ibu menurut umur yaitu <20 tahun
sebanyak 7 orang, umur 20-34 tahun Pengumpulan Data
sebanyak 101 orang, dan ≥ 35 tahun 1. Data Sekunder
sebanyak 45 orang (Profil Kesehatan Sulawesi Data penelitian diperoleh dengan cara
Selatan, 2016). mengumpulkan data yang telah memenuhi
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan kriteria pengambilan sampel (variabel-
Kab. Bone Provinsi Sulawesi Selatan angka variabel penelitian yang telah terpenuhi
kematian neonatal tahun 2016 sebanyak 83 atau lengkap) yang diambil dari data rekam
bayi dan tahun 2017 61 bayi, sedangkan yang medik dan dikelompokkan pada lembar
mengalamai asfiksia tahun 2016 sebanyak isian penelitian untuk selanjutnya dilakukan
102 bayi dan mengalami peningkatan tahun analisa variabel penelitian.
2017 sebanyak 131 bayi (Dinas Kesehatan 2. Data Primer
Kabupaten Bone 2016-2017) Data yang dikumpulkan dan diolah sendiri
Depkes RI 2008 menyebutkan bahwa oleh suatu organisasi atau perorangan
kehamilan yang terlalu muda (≤20 tahun) atau langsung dari objeknya.
terlalu tua (≥35 tahun) termasuk dalam kriteria
risiko tinggi kehamilan. Usia muda berisiko Pengolahan Data
karena secara medis organ reproduksi ibu 1. Editing
masih belum matang dan secara mental pun Editing adalah tahapan kegiatan
masih belum siap. Pada usia tua (≥35 tahun) memeriksa validitas data yang masuk
mempunyai predisposisi untuk mengalami seperti memeriksa kelengkapan pengisian
plasenta previa, rupture uteri, solutio plasenta kuesioner, kejelasan jawaban, relevansi
yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia jawaban dan keseragaman suatu
neonatorum (Depkes.RI 2008). pengukuran.
Studi pendahuluan yang peneliti lakukan di 2. Coding
UPTD Puskemas Ajangale Kab. Bone, tahun Coding adalah tahapan kegiatan
2016 kejadian Asfiksia terdapat 12 kasus dari mengklasifikasi data dan jawaban menurut
389 persalinan dan kejadian Asfiksia kategori masing-masing sehingga
mengalami peningkatan pada tahun 2017 memudahkan dalam pengelompokan data.
yaitu 21 kasus dari 374 persalinan. 3. Processing
Berdasarkan studi pendahuluan dan
Processing adalah tahapan kegiatan
permasalahan, dimana banyak faktor yang
memproses data agar dapat dianalisis.
menyebabkan terjadinya asfiksia neonaturum
Pemrosesan data dilakukan dengan cara
dan di UPTD Puskesmas Ajangale mengalami
memasukkan data hasil pengisian
peningkatan kejadian asfiksia dari tahun 2016
kuesioner ke dalam master tabel.
ke tahun 2017 maka penulis tertarik untuk
4. Cleaning
meneliti mengenai gambaran kejadian Asfiksia
di UPTD Puskesmas Ajangale tahun 2016 – Cleaning yaitu tahapan kegiatan
2017 berdasarkan faktor resiko. pengecekan kembali data yang sudah di
masukkandan melakukan koreksi bila
BAHAN DAN METODE terdapat kesalahan. (Lapau, 2013).
Lokasi, populasi dan sampel
Penelitian ini menggunakan metode Analisa Data
deskriptif, Populasi dalam penelitian ini adalah Analisa data univariat Yaitu analisa yang
semua bayi baru lahir di UPTD Puskesmas dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
Ajangale Kab. Bone Tahun 2016 – 2017 yang penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini
berjumlah 763 bayi baru lahir. hanya menghasilkan distribusi dan presentasi
Sampel dalam penelitian ini yaitu semua dari tiap variabel karena penelitian ini ingin
bayi yang mengalami asfiksia di UPTD mengetahui distribusi frekuensi dan presentasi
Puskesmas Ajangale Kab. Bone Tahun 2016 – masing–masing variabel yang diteliti.
2017 sebanyak 33 bayi asfiksia, yaitu 12 bayi
pada tahun 2016 dan 21 bayi pada tahun HASIL PENELITIAN
2017. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
1. Kriteria Inklusi dilakukan di UPTD Puskesamas
Data bayi yang mengalami Asfiksia tahun Ajangale Kabupaten Bone tahun 2018 dengan
2016 dan 2017. data sekunder tahun 2016/2017 tentang bayi
baru lahir dengan asfiksia, dapat disimpulkan
110
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2 Tahun 2019 ● eISSN : 2302-2531
bahwa : Jumlah asfiksia sebanyak 33 kasus tinggi sebesar 41.67% dan resiko rendah
yang dilihat dengan beberapa faktor risiko sebesar 58,33% sedangkan pada tahun
seperti faktor bayi, faktor ibu dan faktor 2017 angka resiko tinggi sebesar 47,62%
persalinan. Berdasarkan faktor risiko bayi, dan angka resiko rendah sebesar 52,38%.
pada tahun 2016 terdapat 2 kasus dengan Tabel 4. Karakteristik Responden
risiko tinggi sebesar 16,67%, dan pada tahun Berdasarkan Faktor Risiko Persalinan.
2017 terdapat 5 kasus dengan risiko tinggi Tahun
sebesar 23,81%. Faktor Risiko
2016 2017
1. Analisa Univariat Persalinan
n % n %
Tabel 1. Karakteristik responden Tidak Lilitan
berdasarkan kejadian asfiksia (n=763) 10 83,33 15 71,43
Tali Pusat
Tahun Lilitan Tali
Asfiksia 2016 2017 2 16,67 6 28,57
Pusat
n % n % Total 12 100 21 100
Ya 12 3,08 21 5,61
Tidak 377 96,92 353 94,39 Berdasrkan tabel 4. Menunjukan
Total 389 100 374 100 faktor resiko persalinan pada tahun 2016
dengan lilitan tali pusat sebesar 16,67%
Berdasarkan tabel 1. menunjukan dan tidak terlilit tali pusat sebesar 83,33%,
karakteristik responden berdasrkan sedangkan pada tahun 2017 faktor resiko
kejadian asfeksi pada tahun 2016 persalinan dengan lilitan tali pusat sebesar
mencapai 3,08% dan yang tidak 28,57% dan tidaak terlilit tali pusat sebesar
mengalami asfeksi sebesar 96,92% 71,42%.
sedangkan angka pada tahun 2017 angka
kejadian yang mengalami asfeksia sebesar PEMBAHASAN
5,61% dan yang tidak mengalami asfeksi Asfiksia adalah suatu keadaan dimana
sebesar 94,39%. bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir atau beberapa
Tabel 2 Karakteristik responden saat setelah lahir. Asfiksia terjadi karena
berdasarkan faktor risiko bayi. terdapat gangguan pertukaran gas atau
Tahun pengangkutan oksigen dari ibu ke janin.
Faktor Gangguan ini dapat timbul pada masa
2016 2017
Risiko Bayi kehamilan, persalinan atau segera setelah
n % n %
Risiko rendah 10 83,33 16 76,19 lahir. Asfiksia dapat mempengaruhi organ vital
Risiko Tinggi 2 16,67 5 23,81 lainnya dan dapat mendorong terjadinya
Total 12 100 21 100 infeksi, kerusakan otak atau kematian.
Faktor Resiko Bayi: Hasil penelitian
Berdasrkan tabel 2. menunjukan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian
karakteristik responden berdarkan faktor besar sampel penelitian termasuk ke dalam
resiko bayi resiko tinggi pada tahun 2016 kategori berat badan bayi berisiko rendah
sebesar 16,67% dan resiko rendah sebesar yaitu pada tahun 2016 sebanyak 10 kasus
83,33%, sedangkan pada tahun 2017 (83,33%) dan pada tahun 2017 sebanyak 16
angka karakteristik responden kasus (76,19%).
berdasrarkan faktor resiko bayi dengan Faktor Resiko Ibu: Hasil analisa
angka faktor resiko tinggi sebesar 23,81% penelitian (tabel 3) dapat dilihat bahwa pada
dan faktor resiko rendah 76,19%. tahun 2016 dari 12 bayi baru lahir yang
menderita asfiksia, sebanyak 5 kasus
Tabel 3. Karakteristik responden (41,67%) berdasarkan faktor ibu dengan risiko
berdasarkan faktor risiko ibu. tinggi merupakan penyebab asfiksia, dan 7
Tahun kasus (58,33%) merupakan risiko rendah.
Faktor Risiko Ibu 2016 2017 Sedangkan pada tahun 2017, dari 21 bayi
baru lahir yang menderita asfiksia, sebanyak
n % n %
10 kasus (47,62%) berdasarkan faktor ibu
Risiko render 7 58,33 11 52,38
dengan risiko tinggi merupakan penyebab
Risiko Tinggi 5 41,67 10 47,62
asfiksia, dan 11 kasus (52,38%) merupakan
Total 12 100 21 100
risiko rendah.
Faktor Resiko Persalinan : Hasil
Berdasarkan tabel 3. menunjukan penelitian table 4 menunjukan bahwa pada
karaktersitik responden berdasrkan faktor tahun 2016 dari 12 bayi baru lahir yang
resiko ibu pafa tahun 2016 dengan resiko menderita asfiksia, sebanyak 2 kasus
111
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2 Tahun 2019 ● eISSN : 2302-2531
(16,67%) berdasarkan faktor risiko persalinan SARAN
dengan lilitan tali pusat sebagai penyebab 1. Bagi Tenaga Kesehatan/Puskesmas
asfiksia, dan 10 kasus (83,33%) merupakan Diharapkan tenaga kesehatan dapat
faktor risiko persalinan tanpa lilitan tali pusat. menerapkan ilmu pengetahuan dalam
Sedangkan pada tahun 2017, dari 21 bayi tatanan praktik kebidanan yang
baru lahir yang menderita asfiksia, sebanyak 6 berkembang seiring waktu, meningkatkan
kasus (28,57%) berdasarkan faktor risiko keterampilan khususnya dalam
persalinan dengan lilitan tali pusat sebagai penanganan bayi dengan indikasi asfiksia
penyebab asfiksia, dan 15 kasus (71,43%) dengan berbagai faktor yang mendasari.
merupakan faktor risiko persalinan tanpa lilitan 2. Bagi Pendidikan
tali pusat. Dapat meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pendidikan bagi para
KESIMPULAN mahasiswa dengan penyediaan prasarana
1. Tidak ada pengaruh faktor risiko bayi dan sarana laboratorium yang mendukung
dengan kejadian asfiksia peningkatan kemampuan mahasiswa
2. Tidak ada pengaruh faktor risiko ibu dalam penanganan bayi dengan asfiksia.
dengan kejadian asfiksia 3. Bagi Penulis Peneliti
3. Tidak ada pengaruh faktor risiko persalinan Dapat melanjutkan penelitian lebih lanjut
dengan kejadian asfiksia tentang kejadian asfiksia pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dengan
melihat aspek / variable lain dan dengan uji
statistik yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Ai Yeyeh dkk, 2013. Asuhan Kebidanan Kehamilan, Cet. I. Jakarta: CV. Trans Info Media
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pencegahan dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Jakarta
Desfauza, Evi. 2008. “Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asfiksia neonatorum pada bayi abru lahir
yang dirawat di RSU Pirngadi Medan”. Stikes Mitra Husada Medan
Ghai dkk, 2010. Pencegahan dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Helath Technology Assessment
Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Gilang dkk, 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSUD Tugurejo
Semarang. Skripsi. Tidak Dipublikasikan
Jannah, 2013. Buku Asuhan Kebidanan Kehamilan. Yokyakarta; C.V Andi Offset.
Lee, et. Al. 2008. “ Risk factors for Neonatal mortality Due to the birth Asphyxiain southern Nepal: A Prospective,
Community-based Cohor Study”.Amerika: american academiof pediatric.
Manuaba. 2008. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Kelauraga Berencana. Jakarta: EGC
Manuaba, 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Manuaba I.B.G, dkk, 2013. Ilmu Kebidanan,Penyakit Kandungan, dan KB Untuk Pendidikan Bidan . Edisi 2.
Jakarta : EGC.
Nasrawati. 2016. Hubungan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di Rumah
Sakit Umum Dewi Sartika Provinsi Sulawesi Tenggara. Akbid Konawe.
112
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2 Tahun 2019 ● eISSN : 2302-2531
1
JURNAL RESPIRASI
JR
Vol. 2 No. 1 Januari 2016
ABSTRACT
Background, Tuberculosis (TB) is a disease which has long been known and is still a cause of death in the world. The emergece of the
drug resistance in TB treatment, particularly Multi drug-Resistance Tuberculosis (MDR TB) become a significant public health problem
in many countries. The diagnosis of MDR TB based on culture results. In some cases radiographic feature with severe abnormalities
consideres as MDR TB. From this phenomenon, there is no research that connects the resistance pattern of first line ATD with chest
x-ray feature in patients with MDR TB. Methods, The research design are analytical observational with cross-sectional study conducted
in outpatient clinic of MDR TB in Dr. Soetomo hospital. Subjects were patients who are following a theraphy program in outpatient
clinic of MDR TB in Dr. Soetomo hospital from 2012 to 2014 who meet the inclusion and exclusion criteria. A total of 65 patients.
Result, the result of this study showed that of all patterns of resistance, most of the MDR TB patients were classified as having severe
chest radiograph. 27 patients with RH resistance patterns, there were 14(51.9%) who had a chest radiograph are classified as severe.
5 patients with RHS resistance patterns, 2(60%) vwho had a chest radiograph are classified as severe. 13 patients RHES resistance
patterns, 8(61.5%) who had a chest radiograph are classified as severe. 20 patients with RHE resistance patterns, 14(70%) who had
a chest radiograph are classified as severe. Conclusion, There were no significant association between resistance pattern of first line
ATD and chest x-ray feature in patient with MDR TB.
Correspondence: Pramanindyah Bekti Anjani, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo. Jl. Mayjen. Prof Dr. Moestopo 6–8 Surabaya 60286. E-mail: anindyahanjani@gmail.com
Diagnosis tuberkulosis paru seringkali sulit dikarenakan penderita TB paru MDR yang sedang mengikuti program
adanya variasi keluhan mulai asimtomatik, ringan maupun terapi pengobatan di poli MDR RSUD Dr. Soetomo
berat. Pada pemeriksaan dahak untuk menemukan bakteri Surabaya, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
tahan asam sering negatif, sehingga pemeriksaan radiologi kemudian bersedia mengikuti penelitian ini. Kriteria inklusi
digunakan untuk mendiagnosis tuberkulosis paru. Adanya adalah Penderita TB paru MDR yang menjalani terapi di
kelainan pada foto toraks yang dicurigai sebagai lesi poli MDR RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan penderita
tuberkulosis aktif antara lain adanya bayangan berawan/ tidak keberatan data rekam medik diambil melalui tanda
nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru tangan informed concent, sedangkan kriteria ekslusi adalah
dan segmen superior lobus bawah paru, adanya kavitas Penderita TB paru MDR dengan HIV, diabetes melitus.
terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan berawan Instrumen yang digunakan pada penelitian adalah
atau nodular, adanya bayangan bercak milier dan kadang lembar pengumpul data, dokumen medik rawat jalan,
terdapat efusi pleura.6 dan foto torak. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
TB paru MDR seringkali dikaitkan dengan morbiditas langsung ke Poli TB paru MDR RSUD Dr. Soetomo. Data
dan mortalitas yang tinggi dan dianggap sebagai ancaman primer diperoleh dengan pemeriksaan foto toraks sekaligus
yang menakutkan dibandingkan TB paru biasa, namun menilai derajat lesinya. Data sekunder diperoleh dari rekam
beberapa peneliti melihat sebagai masalah lokal yang medik penderita dan data yang diperoleh dientr dan diolah,
dapat dikelola oleh implementasi yang tepat dari dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat lunak
strategi pengobatan yang telah direkomendasikan. Bila statistik komputer dan hasilnya disajikan dalam bentuk
terjadi mutasi yang menyebabkan resistensi maka akan tabel dan grafik.
menyebabkan perubahan pada efektivitas reproduksi Analisis data menggunakan SPSS 15,0. Data penelitian
organisme tersebut, yaitu berkurangnya daya penularan dilakukan uji normolitas dengan One-Sample Kolmogorov-
dibandingkan dengan strain yang masih sensitif obat.7 Smearnov Test. Analisa statistik dengan menggunakan
Adanya suatu “medical dogma”, yang menyatakan tabulasi silang Chi-Square Test. Di mana hasil dikatakan
bahwa apabila suatu organisme terjadi resistensi obat, maka hubungan bermakna bila p ≤ 0,05.
akan mengalami kelemahan atau penurunan “fitness” pada
bakteri mutan, sehingga membuat bakteri tersebut kurang
mampu bertahan dibandingkan dengan yang tidak mengalami HASIL
mutasi.8 Berdasar pada studi laboratorium menunjukkan
bahwa pada strain Mycobacterium tuberculosis yang Subjek pada penelitian ini adalah penderita TB paru
resisten obat cenderung mati ketika dipaksa untuk bersaing MDR yang sedang mengikuti program terapi pengobatan
untuk makanan dengan bakteri yang masih sensitif dengan di poli MDR RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan memenuhi
obat.8 Pada studi dengan menggunakan model guine pig, kriteria inklusi dan eksklusi, serta bersedia mengikuti
strain yang resisten terhadap INH menunjukkan kerusakan penelitian ini, dengan jumlah sampel sebanyak 65 penderita.
yang kurang dibandingkan dengan strain H37Rv.30 Dari 65 penderita TB paru MDR terdapat 31 penderita
Diagnosis TB paru MDR berdasarkan pada hasil (47,7%) adalah laki-laki dan 34 penderita (52,3%) adalah
kultur DST yang dilaksanakan oleh laboratorium yang perempuan.
terstandarisasi. Pada beberapa kasus seringkali gambaran Rerata umur Subjek penderita TB paru MDR adalah
foto toraks dengan kelainan yang berat dianggap sebagai 39,3 (39 tahun), dengan umur termuda 17 tahun dan umur
TB paru MDR. Pada poliklinik TB paru MDR RSU Dr. tertua 64 tahun. Berdasarkan pengelompokan umur adalah
Soetomo, sering mendapatkan rujukan dari beberapa fasilitas Kelompok umur terbanyak terdapat pada sekitar umur
pelayanan kesehatan tentang adanya suatu kecurigaan TB 31–40 tahun yaitu 21 penderita (32,3%), selanjutnya
paru MDR hanya berdasarkan gambaran foto toraks dengan adalah kelompok umur 41–50 orang sebanyak 19 penderita
kelainan berat, sedangkan pada observasi 30 penderita di (29,2%). Kelompok umur 17–20 tahun sebanyak 6 penderita
poli TB paru MDR RSU Dr. Soetomo 60% menunjukkan (9,2%), umur 21–30 sebanyak 8 penderita (12,3%), umur
kelainan foto toraks berat, 30% dengan kelainan sedang 51–60 tahun sebanyak 8 penderita (12,3%), dan hanya
dan 10% dengan kelainan ringan. 3 penderita (4,6%) yang berada pada kelompok umur
Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian 60 ke atas.
ini, yang bertujuan untuk menganalisis tentang hubungan Rerata IMT penderita TB paru MDR Subjek penelitian
antara pola resistensi OAT lini pertama pada penderita TB adalah 17,5, dengan IMT terendah 14,1 dan IMT tertinggi
paru MDR dengan gradasi gambaran foto toraks. 26,4. Sebagian besar penderita TB paru MDR Subjek
penelitian tergolong kurus sekali yaitu 28 penderita
(43,1%), sebanyak 16 penderita (24,6%) tergolong
METODE kurus dan 20 penderita (30,8%) tergolong normal, hanya
1 penderita (1,5%) yang tergolong gemuk.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik Dari 65 penderita TB paru MDR Subjek penelitian,
observasional dengan desain studi Cross Sectional yang sebanyak 22 penderita (33,8%) memiliki riwayat terapi
dilakukan di RSUD Dr. Soetomo. Subjek penelitian adalah gagal kat. 1. Terdapat 19 penderita (29,2%) yang memiliki
Anjani dan Soedarsono: Hubungan antara Pola Resistensi Oat Lini Pertama 3
riwayat terapi kambuh dan 11 penderita (16,9%) yang Berdasarkan data terdapat 27 penderita dengan pola
memiliki riwayat terapi kronik. Sebanyak 5 penderita resistensi RH, terdapat 14 penderita (51,9%) yang memiliki
(7,7%) memiliki riwayat terapi non DOTS, 4 penderita foto toraks tergolong berat. Dari 5 penderita dengan pola
(6,2%) memiliki riwayat terapi BTA + bln3 kat.2, 2 resistensi RHS, terdapat 3 penderita (60%) yang memiliki
penderita (3,1%) memiliki riwayat terapi DO, dan masing- foto toraks tergolong berat. Dari 13 penderita dengan
masing 1 penderita (1,5%) memiliki riwayat terapi BTA+ pola resistensi RHES, terdapat 8 penderita (61,5%) yang
post sisip kat.1 dan tinggal dg MDR konfirm. memiliki foto toraks tergolong berat. Dari 20 penderita
Dari 65 penderita TB paru MDR Subjek penelitian, dengan pola resistensi RHE, terdapat 14 penderita (70%)
terdapat 27 penderita (41,5%) yang memiliki pola resistensi yang memiliki foto toraks tergolong berat.
RH, 20 penderita (30,8%) memiliki pola resistensi RHE, Chi-square test antara foto toraks dengan pola resistensi
dan 13 penderita (20%) memiliki pola resistensi RHES, penderita TB paru MDR Subjek penelitian menghasilkan
sedangkan yang memiliki pola resistensi RHS hanya nilai p > 0,05. Hasil ini menyimpulkan bahwa tidak
5 penderita (7,7%). terdapat hubungan bermakna antara foto toraks dengan pola
Hasil pembacaan foto toraks dikelompokkan menjadi resistensi penderita TB paru MDR Subjek penelitian.
3 katagori berdasarkan American Thoracic Society dan Berdasarkan data, dapat dilihat bahwa dari 4 penderita
National Tuberculosis Association: (1) Lesi minimal yang yang memiliki foto toraks tergolong ringan, terdapat
berarti bercak dapat mengenai satu atau kedua paru, tetapi 2 penderita (50%) yang memiliki pola resistensi RH. Dari
luas bercak tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis 22 penderita yang memiliki foto toraks tergolong sedang,
tengah, apeks dan iga kedua depan atau di atas second terdapat 11 penderita (50%) yang memiliki pola resistensi
chondrosternal junction dan vertebra torakal keempat atau RH. Dari 39 penderita yang memiliki foto toraks tergolong
kelima. Tidak ditemukan adanya kavitas, (2) Lesi sedang berat, terdapat 14 penderita (35,9%) yang memiliki pola
yang berarti bercak dapat mengenai satu atau kedua paru, resistensi RH dan 14 penderita (35,9%) yang memiliki
tetapi tidak melebihi luas satu paru. Bila ditemukan kavitas, pola resistensi RHE.
diameter tidak melebihi 4 cm. Kalau terdapat konsolidasi
yang homogen, luasnya tidak melebihi luas satu lobus paru
atau sepertiga volume satu paru, (3) Lesi luas yang berarti PEMBAHASAN
luas bercak lebih dari luas bercak kesi sedang atau bila ada
kavitas yang berdiameter lebih dari 4 cm. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
Berdasarkan data, dari 65 penderita TB paru MDR dengan desain cross sectional, dengan jumlah sampel yang
Subjek penelitian, terdapat 39 penderita (60%) memiliki memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 65 orang.
foto toraks yang tergolong berat dan 22 penderita (33,8%) Analisis penelitian ini untuk menganalisis hubungan
memiliki foto toraks yang tergolong sedang, hanya antara pola resistensi OAT lini pertama dan gambaran foto
4 penderita (6,2%) yang memiliki foto toraks tergolong toraks pada penderita TB paru MDR. Pengambilan sampel
ringan. dilakukan dengan memeriksa data rekam medis penderita
Berdasarkan data, dari 4 penderita yang memiliki yang berobat di poli MDR dilakukan pengambilan data
foto toraks tergolong ringan, terdapat 2 penderita (50%) sekunder dan penilaian derajat foto toraks sesuai dengan
memiliki pola resistensi RH, 1 penderita (25%) memiliki American Thoracic Society dan National Tuberculosis
pola resistensi RHES, dan 1 penderita (25%) memiliki pola Association.36
resistensi RHE. Karakteristik Subjek pada penelitian ini didapatkan
Berdasarkan data, dari 22 penderita yang memiliki penderita laki-laki sebanyak 31 orang (47,7%) dan penderita
foto toraks tergolong sedang, terdapat 11 penderita (50%) perempuan 34 orang (52%). Berdasarkan kelompok umur
memiliki pola resistensi RH, 2 penderita (9,1%) memiliki pasien TB MDR terbanyak terdapat pada umur 31–40 tahun
pola resistensi RHS, 4 penderita (18,2%) memiliki pola sebanyak 21 orang (32,3%).
resistensi RHES, dan 5 penderita (22,7%) memiliki pola Berat badan penderita diukur saat penderita terdiagnosis
resistensi RHE. TB MDR di mana menunjukkan indeks masa tubuh
Berdasarkan data, dari 39 penderita yang memiliki (IMT) dengan katagori kurus sekali sebanyak 28 orang
foto toraks tergolong berat, terdapat 14 penderita (35,9%) (43%). Infeksi tuberkulosis mengakibatkan penurunan
memiliki pola resistensi RH, 3 penderita (7,7%) memiliki asupan makanan dan malabsorpsi nutrien serta perubahan
pola resistensi RHS, 8 penderita (20,5%) memiliki pola metabolisme tubuh sehingga terjadi proses penurunan
resistensi RHES, dan 14 penderita (35,9%) memiliki pola massa otot dan lemak (wasting) sebagai manifestasi
resistensi RHE. malnutrisi energi protein. Malnutrisi pada infeksi
Chi-square test antara pola resistensi dengan foto toraks tuberkulosis memperberat perjalanan penyakit dan
penderita TB paru MDR Subjek penelitian menghasilkan mempengaruhi prognosis pengobatan dan kematian.37
nilai p > 0,05. Hasil ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat Karyadi dkk 2000 menunjukkan bahwa penderita dengan
hubungan bermakna antara pola resistensi dengan foto infeksi tuberkulosis mempunyai BMI yang rendah dan
toraks penderita TB paru MDR Subjek penelitian. ketebalan kulit yang rendah.38 Malnutrisi pada penderita
TB paru MDR berkaitan dengan tingkat kematian hingga
4 Jurnal Respirasi (JR), Vol. 2. No. 1 Januari 2016: 1−5
1,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita TB aru menunjukkan gambaran radiologi yang menetap di mana
MDR tanpa malnutrisi.39 saat menderita TB paru dan saat terdiagnosa sebagai TB
Riwayat pengobatan tuberkulosis paru sebelumnya paru MDR.41
pada penderita TB paru MDR paling banyak adalah kasus Pada penelitian ini analisa hubungan berdasarkan
gagal katagori 1 sebanyak 22 orang (33,8%). Resistensi tabulasi silang chi-square test antara foto toraks dengan
obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. pola resistensi penderita TB paru MDR Subjek penelitian
Kemungkinan terjadi resisten pada penderita dengan menghasilkan nilai p > 0,05. Hasil ini menyimpulkan bahwa
riwayat pengobatan sebelumnya sebesar 4 kali lipat, tidak terdapat hubungan bermakna antara gradasi gambaran
sedangkan untuk terjadinya TB paru MDR sebesar 10 kali foto toraks dengan pola resistensi penderita TB paru MDR
lipat atau lebih dibandingkan dengan penderita yang belum Subjek penelitian.
pernah diobati.40 WHO membuat klasifikasi kelompok yang Dapat dilihat bahwa dari 4 penderita yang memiliki
mempunyai risiko berkembangnya resistensi obat sebagai foto toraks tergolong ringan, terdapat 2 penderita (50%)
kelompok dalam case finding kasus TB paru MDR yaitu: yang memiliki pola resistensi RH. Dari 22 penderita
kelompok risiko sangat tinggi, kelompok resiko tinggi dan yang memiliki foto toraks tergolong sedang, terdapat 11
kelompok risiko sedang.40 Pada penelitian ini tingginya penderita (50%) yang memiliki pola resistensi RH. Dari
angka kejadian TB paru MDR yang diakibatkan oleh gagal 39 penderita yang memiliki foto toraks tergolong berat,
terapi katagori 1 sesuai dengan kriteria WHO yang masuk terdapat 14 penderita (35,9%) yang memiliki pola resistensi
dalam kriteria resiko tinggi. RH dan 14 penderita (35,9%) yang memiliki pola resistensi
Gambaran foto toraks pada 65 penderita TB paru MDR RHE. Hasil ini menunjukkan bahwa dari semua katagori
Subjek penelitian, terdapat 39 penderita (60%) memiliki gradasi gambaran foto toraks baik ringan, sedang maupun
foto toraks yang tergolong berat dan 22 penderita (33,8%) berat, sebagian besar penderita TB paru MDR memiliki
memiliki foto toraks yang tergolong sedang, hanya 4 pola resistensi RH, dan pada gradasi gambaran foto toraks
penderita (6,2%) yang memiliki foto toraks tergolong berat yang sebagian besar lainnya memiliki pola resistensi
ringan. Pada studi di Argentina, dilaporkan gambaran RHE.
radiologi pada penderita TB paru MDR menunjukkan Keterbatasan pada penelitian ini terjadi karena
gambaran lesi luas sebesar 75%.35 sampel penelitian yang berobat di poli MDR RSUD DR
Pada penelitian ini analisa hubungan berdasarkan Soetomo adalah kasus TB paru MDR dengan riwayat
tabulasi silang Chi-square test antara pola resistensi dengan terapi sebelumnya, sehingga gambaran pada foto toraks
foto toraks penderita TB paru MDR Subjek penelitian kemungkinan merupakan sisa (sequele) dari gambaran
menghasilkan nilai p > 0,05. Hasil ini menyimpulkan sebelumnya sehingga saat terdiagnosa dengan TB paru
bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara pola MDR gradasi gambaran foto toraks sebagian besar
resistensi dengan foto toraks penderita TB paru MDR menunjukkan lesi yang berat.
Subjek penelitian. Keterbatasan lain dari penelitian ini juga terjadi karena
Dapat dilihat bahwa dari 27 penderita dengan pola penderita yang datang sebagai suspek TB paru MDR
resistensi RH, terdapat 14 penderita (51,9%) yang memiliki merupakan rujukan dari fasilitas kesehatan dengan sarana
foto toraks tergolong berat. Dari 5 penderita dengan pola yang minim dan tidak mempunyai foto toraks sebelumnya
resistensi RHS, terdapat 3 penderita (60%) yang memiliki saat terdiagnosa sebagai TB paru, sehingga perubahan
foto toraks tergolong berat. Dari 13 penderita dengan pola gradasi gambaran foto toraks pada saat terdiagnosa
resistensi RHES, terdapat 8 penderita (61,5%) yang memiliki sebagai TB paru dan saat terdiagnosa sebagai TB paru
foto toraks tergolong berat. Dari 20 penderita dengan pola MDR tidak dapat didokumentasikan apakah gambaran
resistensi RHE, terdapat 14 penderita (70%) yang memiliki foto toraks penderita tersebut merupakan stabil, membaik
foto toraks tergolong berat. Hasil ini menunjukkan bahwa atau memburuk.
dari semua pola resistensi, baik mengenai 2 obat utama saja
(RH) maupun yang mengenai 3 bahkan 4 obat (RHE, RHS,
RHES) tidak menunjukkan perbedaan pada gambaran foto KESIMPULAN
toraks di mana frekuensi terbesar pada foto toraks dengan
lesi berat. Walaupun secara in vitro dengan model guina 1. Distribusi dan frekuensi pola resisten pada TB paru
pig, strain yang resisten menunjukkan kerusakan yang MDR didapatkan pola resisten RH 27 orang (41%), pola
kurang dibandingkan dengan strain yang masih sensitif.30 resisten RHS 5 orang (7,7%), pola resisten RHES 13
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan jaringan orang (20%) dan pola resisten RHE 20 orang (30,8%)
yang dideteksi melalui foto toraks tidak berbeda antara yang 2. Gambaran foto toraks berdasarkan kriteria American
mengenai 2 obat utama saja dengan 2 obat utama ditambah Thoracic Society dan National Tuberculosis Association
obat lainnya dalam lini pertama. terdapat 39 orang (60%) dengan kriteria berat, 22 orang
Dari penelitian Subhan, 2014 yang membandingkan (33,8%) dengan kriteria sedang dan 4 orang (6,2%)
perubahan foto toraks waktu pengobatan TB paru dan dengan kriteria ringan.
saat terdiagnosis TB paru MDR didapatkan hasil yang 3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pola
tidak signifikan, dimana dari 21 penderita 17 orang (81%) resistensi OAT lini pertama dan gradasi gambaran
Anjani dan Soedarsono: Hubungan antara Pola Resistensi Oat Lini Pertama 5
foto toraks pada penderita TB paru MDR di mana nilai 21. Forrellad MA, Kleepp LI, Giofre A, et al. Virulence factors of the
p > 0,05. mycobacterium tuberculosis complex. Virulence 2013; 4(1): 1–64.
22. Dachlan YP. Imunologi tuberkulosis: sistem imun, pembentukan
4. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara granuloma, dormanasi, reaktivasi infeksi laten MDR tuberkulosis.
gradasi gambaran foto toraks dan pola resitensi pada Dalam: Soedarsono, Widodo ADW, Hidayat B, ed. The problems of
penderita TB paru MDR di mana nilai p > 0,05. TB PARU MDRfrom basic to clinic and community. Rumah Sakit
Penyakit Tropik Infeksi Universitas Airlangga. Surabaya. 2013:
h. 1–16.
23. World Health Organization: Guidlines for the programmatic
DAFTAR PUSTAKA management of drug resistant tuberculosis. WHO library. 2008.
24. Camiero JA. Guidlines for clinical and operational management
1. WHO Report 2011: Global Tuberculosis Control. Geneva: of drug resistant tuberculosis 2013. International Union Against
WHO 17.12.2012 Avaliable at http://whqlibdoc.who.int/ Tuberculosis and Lung Disease.
puplication/2011/9789241564380 eng.pdf 25. Kemenkes RI. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia.
2. DITJEN PP & PL KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Laporan 2011.
situasi terkini perkembangan tuberkulosis di Indonesia Januari– 26. Zhang Y, Yew WW. Mechanisms of drug resistance in Mycobacterium
Desember 2012. tuberculosis. The International Journal of Tuberculosis and Lung
3. World Health Organization: The Global TB-MDR and XDR Response Disease 2009; 13: 1320–1330.
Plan 2007–2008. WHO Library2006, pp. 2–3. 27. Petrini B, Hoffner S. Drug resistant and multidrugs resistant tubercle
4. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. WHO bacilli. International Journal Antimicrobial Agents 1999; 13: 93–7.
reports 2012. 28. Chan EWC, Chan RCY, Au. MTK, Lai RWM. Physiological fitness
5. Smith I. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular of drug resistant mycobacterium tuberculosis isolates in Hongkong.
determinant of virulence. Clinical Microbiology Reviews, Juli 2003. Hongkong Med. J. 2013; 19(5): S4–7.
Vol. 16, No. 3. p. 463–496. 29. Borrel S, Gagneux S. infectiousness, reproductive fitness and
6. PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di evolution of drug resistant mycobacterium tuberculosis. Int. J. Tuberc
Indonesia. 2011. Lung Dis. 2009. 13 (12): 1456–1466.
7. Cohen T, Sommers. B, Murray. M. The effect of drug resistance on 30. Gillespie SH. Evolution of drug resistance in mycobacterium
the fitness of mycobacterium tuberculosis. The Lancet Infectious tuberculosis: Clinical and molecular perspective. Antimicrob. Agents.
Disease. Vol. 3 January 2003. Chemother. 2002, 46(2): 267–274.
8. Shwartz M. Drug resistant strain of tuberculosis are more virulent than 31. Billington OJ, Mc Hugh TD and Gillespie SH. Physiological cost of
experts assumed. Avaliable at www.news.stanford.edu/news/2006/ rifampin resistance induced in vitro in mycobacterial tuberculosis.
august9/tbstudy. 080906.html. Antimicrob. Agent. Chemother. 1999, 43: 1866–1869.
9. Edward Khan A, Michael E. Chemoterapy of tuberculosis In 32. Hopewill PC. Overview of clinical tuberculosis. In Bloom BR (ed),
Tuberculosis and nontuberculosis infections, edited David 5th, Tuberculosis: Pathogenesis, Protections and control. ASM press.
McGraw-Hill. USA 2006; 77–90. Washington DC.USA 1994.
10. Hasan H. Tuberkulosis Paru Dalam: Wibisono MJ, Winariani, Hariadi 33. Jeong YJ, Lee KS. Pulmonary tuberculosis: up to date imaging and
S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke-2. Departwmen management. AJR 2008, 191: 834–844.
Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo. Surabaya 2010: 34. Saeed W. Cavitating pulmonary tuberculosis: a global challenge.
h. 9–30. Clinical Medicine 2012. Vol. 12 No1: 40–41.
11. Roitt. Immunology. 6th ed. Mosby. New York. 2001: 1–36. 35. Zahirifard S, Amiri VM, Bakhshayesh KM, et all. The radiological
12. Abbas AK, Litchtman AH, Puber JS. Immunity to microbes. In: spectrum of pulmonary multidrug-resistant tuberculosis in HIV-
cellular and molecular immunology. 2nd ed. WE Saunders Company negative patients. Iran J. Radiol. December 2003.
Philadelphia. 1994: p. 320–33. 36. National Tuberculosis Association of USA. Diagnostic standarts and
13. Barnes PF, Wizel B. Type 1 cytokines and the pathogenesis of classification of tuberculosis. 1961. New York:National Tuberculosis
tuberculosis. A, J Respir Crit care Med. 2000; 161: 1773–4. Association.
14. Baratawidjaja KG. Sitokin. Dalam: Imunologi dasar. Edisi 4. Balai 37. Papathaks P, Piwoz E, Editors. Nutrition and tuberculosis: a review
penerbit FKUI. Jakarta. 2000: h. 93–105. of the literature and consideration for tuberculosis control programs.
15. Iseman MD. Immunity and pathogenesis. In: Iseman MD, editor. A Chapter 3, Malnutrition, immunity and tuberculosis. Washington:
clinician’s Guide to Tuberculosis. Lippincott Williams and Wilkins. United status for international development. 2008. p. 11–7.
Philadelphia. 2000: p. 63–96. 38. Karyadi E, Schultink W, Nelwan RH, et al. Poor miconutrient status
16. Schluger NW, Rom WN. The host immune response to tuberculosis of active pulmonary tuberculosis patients in indonesia. The Journal
– state of the art. Am J Respir Crit Care Med. 1998; 157: 679–91. of Nutrient 2000.
17. Tomasheki JF, Dannenberg AM. Pathogenesis of pulmonary 39. Podewils LJ, Holtz T, Riekstore V, et al. Impact of malnutrition
tuberculosis. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al., editors. on clinical presentation, clinical course and mortality in multidrug
Fishman Pulmonary disease and disorders. 3rd ed. McGraw-Hill. New resistent tuberculosis patient. Epidemiol Infect. 2011; 139(1):
York. 1998: p. 2447–71. 113–20.
18. Mattheas L, Steinmuller C, Ulliman GF. Pulmonary macrophage. 40. Caminero JA. Multidrug resistant tuberculosis: epidemiology, risk
Eur Respir J. 1994; 7: 1683–4. factors and case findings. Int. J tuberc lung disease 2010; 14(4): p.
19. Toews GB. Cytokines and the lung. Eur Respir J. 2001; 34: 3–175. 382–90.
20. Brodin P. Virulence mechanism in tuberculosis. Avaliable at www. 41. Subhan M, Soedarsono. Perubahan gambaran foto toraks waktu
moleculartb.org/gb/pdf/transcriptions/12_P Brodin.pdf pengobatan TB paru dan saat terdiagnosa TB paru MDR. 2014.
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019
Alamsyah Lukito
Universitas Islam Sumatera Utara, Jl. STM No. 77, Medan
Email: alamsyah.lukito@yahoo.com
Abstract
The main cause of Chronic Obstructive Pulmonary Disease is smoking or exposure to
secondhand smoke from active smokers or smoke inhalation in passive smokers. Other
causes are air pollution, workplace exposure, and genetic factors. This type of research is
analytical research with a cross sectional approach which aims to study the existence of a
variable relationship dynamics. In this study, the sample was 30 patients from the Mandala
Health Center. Generally, COPD sufferers are those aged 45 years to 65 years where 21 of
the 30 people suffer from risk. The chi-square test results show that there is a relationship
between risk factors and the incidence of COPD in the Tembung Mandala 2018 Health
Center Working Area.
Keyword: obstructive pulmonary, COPD, smoker, inhalation.
43
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019
dapat menyebabkan perubahan struktur dan Penelitian ini untuk melihat adalah hubungan
fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru. faktor resiko dengan kejadian PPOK.
Pada akhirnya merokok menjadi salah satu
Gambaran karakteristik responden pada
faktor penyebab risiko terjadinya PPOK
peneltian ini yang diamati adalah usia, jenis
(Saminan, 2014).
kelamin, faktor Resiko, dan frekuensi
2. METODE terjadinya PPOK. Adapun gambaran
karakteristik sampel penelitian tersebut dapat
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dilihat pada tabel berikut :
dengan pendekatan cross sectional. Cross
sectional adalah suatu penelitian yang Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan usia
dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari Usia Frequensi Persen
adanya suatu dinamika korelasi. Dilakukan (%)
dengan menggunakan pendekatan observasi 45 2 6.7
dan pengumpulan data sekaligus yang 49 1 3.3
dilakukan dalam waktu yang bersamaan 50 1 3.3
(Notoatmojo, 2010). 51 2 6.7
Penelitian dilakukan di puskesmas mandala 55 1 3.3
kecamatan medan tembung. Penelitian ini 60 7 23.3
dilakukan di bulan November 2018. 61 4 13.3
Populasinya adalah semua pasien PPOK yang 62 3 10
datang memeriksakan kesehatannya dan 63 2 6.7
penunggu pasien yang bukan penderita PPOK 64 2 6.7
di puskesmas Mandala, dengan sampel diambil 65 3 10
dengan metode Quota sampling yaitu 67 1 3.3
Pengambilan sampel hanya berdasarkan 69 1 3.3
pertimbangan peneliti saja, hanya disini besar Jumlah 30 100
dan criteria sampel telah ditentukan lebih
Tabel 1 menunjukan bahwa responden
dahulu. Pada penelitian ini akan di ambil
dengan usia 45 adalah 2 orang (6,7%), usia
sampel sebanyak 30 orang.
49 adalah 1 orang (3,3%). Usia 40 adalah 1
Metode pengumpulan data yang dilakukan orang ( 3,3%). Usia 51 adalah 2 orang (
dalam penelitan ini adalah dengan 6,7%). Usia 55 adalah 1 orang (3,3%). Usia
menggunakan data primer dan sekunder. Data 60 adalah 7 orang ( 23,3%). Usia 61 adalah 4
primer adalah rekam medik dari puskemas orang (13,3%). Uisa 62 adalah 3 orang
Mandala. Data sekunder adalah data yang (10%). Uisa 63 adalah 2 orang (6,7%). Usia
diambil dari sumber kedua. Pada penelitian ini 64 adalah 2 orang (6,7%). Usia 65 adalah 3
data sekunder berupa data dari pasien PPOK orang (10%). Usia 67 adalah 1 orang (3,3%).
di Puskemas Mandala (Imron, 2014). Usia 69 adalah 1 orang (3,3%).
Analisa data yang digunakan dalam penelitian Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan jenis
ini adalah Analisa univariat yang bertujuan kelamin
untuk menjelaskan atau mendiskripsikan Jenis Frekuensi Persen
karekteristik dari setiap variabel penelitian. Kelamin (%)
Pada umumnya dalam analisis ini hanya Laki-Laki 19 63.3
menghasilkan distribusi frekuensi dan Perempuan 11 36.7
persentase dari setiap variabel dan Analisis Jumlah 30 100
bivariat bertujuan untuk mencari hubungan
diantara dua variabel. Dalam penelitian ini Dari tabel 2 didapatkan Jenis kelamin laki-laki
digunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square. berjumlah 19 orang (63,3%) dan jenis
kelamain perempuan 11 orang (36,7%).
3. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja
puskesmas Mandala kecamatan Medan
Tembung. Penelitian ini adalah penelitian
analitik dengan pendekatan cross sectional.
44
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019
45
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019
46
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019
47
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN
PERNAPASAN AKUT (ISPA) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ABELI KECAMATAN ABELI
TAHUN 2018
Hermawati Suhadi La Ode Ahmad Saktiansyah3
1
123Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo
1Ermhawati001@gmail.com 2Suhaditsel77@yahoo.com 3Saktiansyah89@gmail.com
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernafasan
bagian atas dan bagian bawah. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dapat menimbulkan gejala ringan (batuk,
pilek), gejala sedang (sesak) bahkan sampai gejala yang berat. Komplikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
yang berat mengenai jaringan paru dapat menyebabkan terjadinya pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit
infeksi penyebab kematian nomor satu pada balita. Jumlah kematian pada balita Indonesia sebanyak 151.000
kejadian, dimana 14% dari kejadian tersebut disebabkan oleh pneumonia. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui adakah hubungan faktor lingkungan dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018. Penelitian ini merupakan penelitian
analitik observasional dengan rancangan penelitian cross sectional study. Penentuan sampel dalam penelitian
ini menggunakan pendekatan Random Sampling. Dengan sampel 73 responden yang menderita penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kecamatan Abeli. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu tidak ada hubungan
yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
dengan nilai p-Value = 0,691. Tidak ada hubungan antara penggunaan anti nyamuk bakar dengan kejadian
penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan nilai p-Value = 0,605. Ttidak ada hubungan yang
bermakna antara penggunaan bahan bakar untuk memasak dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) dengan nilai p-Value =0,254. Tidak ada hubungan yang bermakna antara keberadaan
perokok dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan nilai p-Value = 0,285.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara kepadatan hunian, penggunaan anti nyamuk
bakar, penggunaan bahan bakar untuk memasak dan keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian
penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Kata Kunci : Kepadatan Hunian, Penggunaan Anti Nyamuk Bakar, Bahan Bakar Untuk Memasak, Keberadaan
Perokok, ISPA
1
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
THE RELATIONSHIP OF ENVIRONMENTAL FACTORS WITH ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) IN
WORKING AREA OF ABELI PUBLIC HEALTHCENTER OF ABELI DISTRICTIN 2018
ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) is an acute infection that attacks the upper and lower respiratory tract. Acute
Respiratory Infection (ARI) may cause mild symptoms (cough, cold), moderate symptoms (congested) and even
severe symptoms. The complications of severe Acute Respiratory Infectionconcerning lung tissue that can cause
pneumonia. Pneumonia is infectious disease that the leading cause of death in under-fives. The number of
deaths among under-fives in Indonesia is 151,000 incidents, of which 14% are caused by pneumonia. The
purpose of this study was to know therelationship of environmental factors with Acute Respiratory Infection
(ARI) in working area of Abeli public healthcenter of Abeli district in 2018. This study was an observational
analytic study with cross sectional study design. Determination of sample using Random Sampling approach.
The sampleswere 73 respondents that suffering ARI disease in Abeli District. The result of studyshowed that
there was no significant relationship between the density of residence and the incidence of ARI with p value =
0,691. There was no relationship between the use of mosquito repellent and incidence of ARI with p value =
0,605. There was no significant relationship between the use of fuel for cooking and the incidence of ARI with p
value = 0.254. There was no significant relationship between the presence of smokers and the incidence of ARI
with p value = 0.285. The conclusion in this study show that there is no relationship between the density of
occupancy, the use of mosquito repellent, the use of fuel for cooking and the presence of smokers in the home
with the incidence of Acute Respiratory Infection (ARI).
Keywords: Residential Density, Use of mosquito repellent, Fuel for Cooking, presence of smokers, ARI
2
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
PENDAHULUAN kimia seperti nikotin, gas carbon monoksida,
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia,
adalah infeksi saluran pernapasan yang acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane,
disebabkan oleh virus atau bakteri dan methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor
berlangsung selama 14 hari. Penyakit ISPA peryline dan lainnya.5
merupakan infeksi akut yang menyerang saluran World Health Organization (WHO)
pernapasan bagian atas dan bagian bawah. Gejala memperkirakan insidens infeksi saluran
yang ditimbulkan yaitu gejala ringan (batuk dan pernapasan akut (ISPA) di negara berkembang
pilek), gejala sedang (sesak danwheezing) bahkan dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000
sampai gejala yang berat (sianosis dan pernapasan kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada
cuping hidung). Komplikasi ISPA yang berat golongan usia balita. Pada tahun 2010, jumlah
mengenai jaringan paru dapat menyebabkan kematian pada balita Indonesia sebanyak 151.000
terjadinya pneumonia. Pneumonia merupakan kejadian, dimana 14% dari kejadian tersebut
penyakit infeksi penyebab kematian nomor satu disebabkan oleh pneumonia.6
pada balita.1 Berdasarkan hasil presentasi angka
Beberapa faktor risiko terjadinya ISPA adalah kesakitan jumlah kasus infeksi saluran pernapasan
faktor lingkungan, ventilasi, kepadatan rumah, akut (ISPA) di Indonesia tahun 2014 sebanyak
umur, berat badan lahir, imunisasi, dan faktor 29,47%, dari enam provinsi dengan kejadian
perilaku, (Naning et al., 2012). Kepadatan hunian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
berdasarkan KepMenkes RI No. 829 tahun 1999 tertinggi adalah Jawa Barat (43,22%), Jawa Timur
tentang kesehatan perumahan menetapkan (35,36%), Jawa Tengah (29,89%), DKI Jakarta
bahwa luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak (39,33%), Banten (30,48%), Sulawesi Tenggara
dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, (38,73%) (Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, 2015).
kecuali anak dibawah 5 tahun. Bangunan yang Laporan hasil presentasi angka kesakitan jumlah
sempit dan tidak sesuai dengan jumlah kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA di
penghuninya akan mempunyai dampak Indonesia tahun 2015 sebanyak 63,45%, dari enam
kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga provinsi dengan kejadian Penyakit Infeksi Saluran
daya tahan penghuninya menurun, kemudian Pernapasan Akut (ISPA) tertinggi adalah Jawa
cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan Barat (109,74%), Jawa Timur (70,24%), DKI Jakarta
seperti ISPA.2 (110,03%), Jawa Tengah (30,71%), Nusa Tenggara
Penggunaan Anti nyamuk bakar sebagai alat Barat (147,82%), Sulawesi Tenggara (30,84%).7
untuk menghindari gigitan nyamuk dapat Sepanjang tahun 2012 hingga 2015 dimana
menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena pada tahun 2012 jumlah kasus ISPA berkategori
menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya ISPA bukan Pneumonia sebanyak 137.123,
pencemaran udara di lingkungan rumah akan kemudian pada tahun 2013 menjadi 157.578 kasus
merusak mekanisme pertahanan paru-paru infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bukan
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pneumonia, pada tahun 2014 menjadi 157.578
pernafasan.3 kasus ISPA bukan pneumonia, dan pada tahun
Bahan bakar yang digunakan untuk 2015 menjadi 55.521 kasus ISPA bukan
memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas pneumonia.8
udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% Presentase balita yang ditemukan dan
wilayah pedesaan di China tidak memenuhi ditangani menurut Kabupaten/ Kota Provinsi
standar nasional pada tahun 2002, hal ini Sulawesi Tenggara Tahun 2015 yaitu tertinggi
menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit didapat oleh Kabupaten Kolaka (53,49%), dan
paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 Konawe (24,51%), terendah diperoleh Kolaka Timur
juta kematian.4 (3,16%). Sementara itu ada tiga kabupaten yang
Keberadaan perokok dalam rumah diamana tidak menampilkan cakupan balita pneumonia yang
paparan asap rokok merupakan penyebab ditangani yaitu Konawe Selatan, Wakatobi, dan
signifikan masalah kesehatan seperti pernafasan Konawe Kepulauan. Tidak adanya catatan khusus
akut infeksi (ISPA). Satu batang rokok dibakar pneumonia yang ditemukan dan ditangani, tetapi
maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan lebih tidak adanya laporan dari
Dinas Kesehatan dari Kabupaten yang tahun 2015 sebanyak 2.732 kasus, dan pada tahun
bersangkutan.9 2016 sebanyak 30.87 kasus, sedangkan pada tahun
Berdasarkan Laporan puskesmas abeli Kota 2017 sebanyak 2.013 kasus fenomena.10
Kendari pada tahun 2014 hingga 2017, pada tahun
2014 sebanyak 3.452 kasus ispa, sedangkan pada
3
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
Berdasarkan latar belakang yang telah penelitian ini adalah masyarakat yang menderita
dibahas, maka permasalahan yang dapat di penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di
simpulkan adalah Bagaimana Hubungan Faktor Wilayah Kerja Puskemas Abeli Kecamatan Abeli
Lingkungan Dengan Kejadian Penyakit Infeksi sebanyak 2.013 kasus. Adapun teknik pengambilan
Saluran Pernapasan (ISPA) di Wilayah Kerja sampel yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli? random sampling dalam pengambilan sampel
penelitian yang populasinya berbeda-beda
METODE sehingga semua populasi di anggap sama.
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis
dengan pendekatan cross sectional study, yaitu Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas
penelitian dilakukan dalam waktu bersamaan tetapi Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
dengan subjek yang berbeda-beda. Populasi dalam
No Jumlah Presentase
HASIL Pekerjaan (n) (%)
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur 1. PNS/Honorer 5 6,8
di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli 2. Wiraswasta 9 12,3
Kecamatan Abeli Tahun 2018 3. Swasta 7 9,6
No Umur 4. Buruh/Bangunan 13 17,8
Responden Jumlah Presentase
5.. Supir/Helper 20 27,4
(Tahun) (n) (%)
6. Petani/Nelayan 16 21,9
1. 21-30 27 37,0
7. Lainnya 3 4,2
2. 31-40 31 42,5
Total 73 100
3. 41-50 12 16,4
Sumber: Data Primer, Maret 2018
4. 51-60 1 1,37
5. 61-70 2 2,73 Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa
Total 73 100 dari 73 responden, terdapat kelompok pekerjaan
Sumber : Data Primer, Maret 2018 PNS/Honorer sebanyak 5 orang (6,8%) responden,
kelompok pekerjaan Wiraswasta sebanyak 9 orang
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa (12,3%) responden, kelompok pekerjaan Swasta
dari 73 responden, terdapat kelompok umur 21-30 sebanyak 7 orang (9,6%) responden, kelompok
tahun berjumlah 27 orang (37,0%) responden, pekerjaan Buruh/bangunan sebanyak 13 orang
kelompok umur 31-40 tahun berjumlah 31 orang (17,8%) responden, kelompok pekerjaan
(42,5%) responden, kelompok umur 41-50 tahun Sopir/Helper sebanyak 20 orang (27,4%)
berjumlah 12 orang (16,4%) responden, kelompok responden, kelompok pekerjaan Petani/Nelayan
umur 51-60 tahun berjumlah 1 orang (1,37%) sebanyak 16 orang (21,9%) responden, dan
responden, kelompok umur 61-70 tahun berjumlah kelompok pekerjaan Lainnya sebanyak 3 orang
2 orang (2,73%) responden. (4,2%) responden.
Tabel 3 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
No. Kepadatan Hunian ISPA
Jumlah ρValue
Menderita Tidak Menderita
n % n % n %
1. Memenuhi syarat 25 34,4 5 6,8 30 41,2
2. Tidak memenuhi syarat 6 8,2 37 50,6 43 58,8 0,691
4
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
Tabel 4. Hubungan Anti Nyamuk Bakar dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
No Penggunaan Anti Nyamuk Bakar ISPA
Jumlah ρValue
Menderita Tidak menderita
n % n % n %
1 Menggunakan 22 30,1 5 6,8 27 36,9
2 Tidak menggunakan 9 12,4 37 50,7 46 63,1
0,605
Total 31 42,5 42 57,5 73 100
Tabel 5. Hubungan Penggunaan Bahan Bakar Untuk Memasak dengan Kejadian Penyakit ISPA di Wilayah Kerja
Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
No Bahan Bakar Untuk Memasak ISPA
Tabel 6. Hubungan Keberadaan Perokok dalam Rumah dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akur (ISPA) Di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
No
Keberadaan Perokok Dalam Rumah ISPA
Tidak Jumlah ρValue
Menderita
Menderita
n % n % n %
1 Ada 20 27,4 15 20,6 35 48,0
5
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
tertentu, dimana luas lantai bangunan rumah sehat Obat nyamuk bakar akan mengeluarkan asap
harus cukup untukpenghuni didalamnya, artinya yang mengandung beberapa gas seperti CO2, CO,
bahwa luas lantai tersebut harus disesuaikan nitrogen oksida, amoniak, metana, dan partikel
dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Liu
tidak sebanding dengan penghuninya akan et al., 2003). Nitrogen dioksida yang masuk ke
menyebabkan penjubelan (Overcrowded).12 dalam saluran napas akan bereaksi dengan air yang
Kepadatan hunian rumah dapat terdapat di saluran napas atas dan bawah
menyebabkan penularan penyakit khususnya membentuk HNO3. Asam sulfatdan asam nitrat
melalui udara semakin cepat. Rumah yang padat yang terjadi merupakan iritan yang sangat kuat.
penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara tidak Efek kerusakan terhadap saluran napas dapat
baik, pertukaran oksigen kurang sempurna dan bersifat akut dan kronik. Besar dan luasnya
diperburuk apabila ventilasi rumah tidak kerusakan tergantung pada jenis zat, konsentrasi
memenuhi syarat. Hal ini sangat berbahaya apabila zat, lama paparan dan ada atau tidaknya kelainan
ada anggota keluarga yang menderita gangguan saluran napas sebelumnya.16
pernapasan yang disebabkan oleh virus dan debu, banyak. Senyawa yang dihasilkan dari kayu
akan cepat menyerang anggota keluarga yang lain bakar ini sama seperti membakar seribu rokok
akibat menghirup udara yang samadan sudah setiap jamnya.17
tercemar. Semakin padat penghuni dalam rumah Penggunaan bahan bakar memasak akan
maka akan semakin mudah penularan penyakit mempengaruhi terhadap kualitas udara di dalam
yang disebabkan oleh pencemaran udara seperti rumah. Menurut Permenkes RI nomor
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).13 1077/Menkes/Per/V/2011 kualitas udara di dalam
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan tidak ruangan dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah
ada hubungan yang bermakna antara kepadatan seperti dalam hal penggunaan energi tidak ramah
hunian rumah dengan kejadian penyakit infeksi lingkungan, penggunaan sumber energy yang
saluran pernapasan akut (ISPA) dimana relatif murah seperti batubara dan biomassa (kayu,
berdasarkan hasil penelitian kepadatan hunian kotoran kering dari hewan ternak, residu
rumah responden diketahui bahwa dari 30 pertanian).18
responden yang memiliki kondisi fisik rumah yang Berdasarkan hasil penelitian dilapanagan tidak
memenuhi syarat terdapat lebih banyak responden ada hubungan bermakna antara penggunaan anti
yang menderita penyakit infeksi saluran nyamuk bakar dengan kejadian penyakit infeksi
pernapasan akut (ISPA) sebanyak 25 responden saluran pernapasan akut (ISPA) dimana
(34,4%), dari pada responden yang tidak menderita berdasarkan hasil penelitian penggunaan anti
penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) nyamuk bakar responden diketahui bahwa dari 27
sebanyak 5 responden (6,8%). responden yang menggunakan obat nyamuk bakar
Hubungan Penggunaan Anti Nyamuk Bakar terdapat lebih banyak responden yang menderita
Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
Pernapasan Akut (ISPA) di Wilayah Kerja sebanyak 22 responden (30,1%), dari pada yang
Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018 tidak menderita penyakit infeksi saluran
Kandungan berbahaya pada obat nyamuk pernapasan akut (ISPA) sebanyak 5 responden
tergantung pada konsentrasi racun dan jumlah (6,8%).
pemakaiannya, resiko terbesar yaitu jenis obat anti Hubungan Penggunaan Bahan Bakar Untuk
nyamuk bakar akibat asap yang dihasilkan jika Memasak dengan Kejadian Penyakit Infeksi
terhirup, berbeda dengan anti nyamuk cair karena Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Wilayah Kerja
cairan yang dikeluarkan akan berubah menjadi gas, Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
sedangkan anti nyamuk listrik dan elektrik Asap pembakaran kayu mempunyai efek yang
resikonya lebih kecil lagi karena bekerja dengan merugikan bagi kesehatan seperti kanker paru-
cara mengeluarkan asap dengan daya elektrik. 14 paru, asma, tuberkulosis, katarak, jantung, bayi
Obat anti nyamuk bakar dapat merupakan lahir dengan berat badan rendah, kebutaan,
salah satu penyebab pencemaran udara dalam bahkan berpengaruh terhadap kemampuan otak
rumah. Walaupun konsentrasinya kecil, zat yang anak. Menurut Smith 12, bahwa bukan kayu
terdapat dalam obat anti nyamuk bakar ini dapat sebagai penyebab utama masalah kesehatan,
menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan melainkan pembakarannya yang tidak sempurna.
bengkak dan pendarahan. Zat berbahaya yang Biasanya ibu juga mengajak anaknya kedapur, asap
terkandung dalam obat anti nyamuk bakar S2 atau pembakaran tidak sempurna ini mempunyai
octaclorophyl eter.15 dampak yang sama seperti rokok bahkan lebih
berbahaya lagi karena asap ini jumlahnya sangat
6
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
banyak. Senyawa yang dihasilkan dari kayu bakar ini responden yang menderita penyakit ISPA sebanyak
sama seperti membakar seribu rokok setiap 20 responden (24,4%), dari pada yang tidak
jamnya.19 menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut
Penggunaan bahan bakar memasak akan (ISPA) sebanyak 15 responden (20,6%).
mempengaruhi terhadap kualitas udara di dalam
rumah. Menurut Permenkes RI nomor SIMPULAN
1077/Menkes/Per/V/2011 kualitas udara di dalam 1. Tidak ada hubungan antara kepadatan hunian
ruangan dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah dengan kejadian penyakit infeksi saluran
seperti dalam hal penggunaan energi tidak ramah pernapasan akut (ISPA) di Wilayah Kerja
lingkungan, penggunaan sumber energy yang Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018.
relatif murah seperti batubara dan biomassa (kayu, 2. Tidak ada hubungan antara penggunaan anti
kotoran kering dari hewan ternak, residu nyamuk bakar dengan kejadian penyakit infeksi
pertanian).20 saluran pernapasan akut (ISPA) di Wilayah
Berdasarkan hasil penelitian dilapanagan Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun
tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan 2018.
bahan bakar untuk memasak dengan kejadian 3. Tidak ada hubungan antara bahan bakar untuk
penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) memasak dengan kejadian penyakit infeksi
dimana berdasarkan hasil penelitian penggunaan saluran pernapasan akut (ISPA) di Wilayah
bahan bakar untuk memasak responden diketahui Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun
bahwa dari 57 responden yang menggunakan 2018.
bahan bakar untuk memasak terdapat lebih sedikit 4. Tidak ada hubungan antara keberadaan
responden yang menderita penyakit infeksi saluran perokok dengan kejadian penyakit infeksi
pernapasan akut (ISPA) sebanyak 28 responden saluran pernapasan akut (ISPA) di Wilayah
(38,4%), dari pada yang tidak menderita penyakit Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebanyak 29 2018.
responden (39,7%).
Hubungan Keberadaan Perokok dengan Kejadian SARAN
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di 1. Bagi masyarakat yang berada di daerah
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan
Tahun 2018 Abeli lebih memperhatikan jumlah hunian
Asap rokok tersebut akan meningkatkan risiko dalam rumah, karena semakin padat jumlah
untuk mendapat serangan penyakit infeksi saluran 2. hunian dalam rumah maka kemungkinan
pernapasan akut (ISPA). Asap rokok bukan hanya penularan atau perpindahan penyakit akan
menjadi penyebab langsung kejadian penyakit semakin cepat dan mudah apa lagi jika terkena
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tetapi penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dan penyakit menular lainnya,
dapat melemahkan daya tahan tubuh. Asap rokok 3. Bagi masyarakat yang berada di Wilayah Kerja
dapat menurunkan kemampuan makrofag Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli lebih
membunuh bakteri. Asap rokok juga diketahui memperhatikan penggunaan anti nyamuk
dapat merusak ketahanan lokal paru, seperti bakar sebaiknya gunakan kelambu atau
kemampuan pembersihan mukosiliaris. Maka gunakan anti nyamuk elektrik agar bisa
adanya anggota keluarga yang merokok terbukti meminimalisir dampak dan gejala penyakit
merupakan faktor risiko yang dapat menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
gangguan pernapasan.21 4. Bagi masyarakat yang berada di Wilayah Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dilapanagan tidak Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli agar tetap
ada hubungan yang bermakna antara keberadaan mengurangi penggunaan bahan bakar kayu
perokok dalam rumah dengan kejadian penyakit untuk memasak
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dimana 5. Untuk pengguna rokok, apabila ingin berhenti
berdasarkan hasil penelitian keberadaan perokok merokok sebaiknya ganti rokok dengan
dalam rumah responden diketahui bahwa dari 35 permen apabila timbul rasa ingin untuk
responden yang merokok terdapat lebih banyak merokok.
7
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
4. Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2015. Profil 8. Achmadi. 2002. ISPA Pembunuh Utama.
Dinas Kesehatan Kota Kendari. Kendari. Available online at
5. Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2016. Profil http://www.ppmplp.depkes.go.id, diakses
Dinas Kesehatan Kota Kendari. Kendari. tanggal 12 April 2010
6. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian 9. Kemenkes.2011.ProfilKesehatan Indonesia.Kemenkes RI,
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Jakarta..
7. Sugyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif & RND. Bandunng : Alfabeta