Anda di halaman 1dari 95

NO PENELITI LATAR BELAKANG TAHUN JUDUL HASIL KET.

1. Refica Dewita Tuberkulosis (TB) adalah 2017 Gambaran 1. Pada penelitian ini Jom FK Volume
Sarmen, Surya penyakit infeksi kronis yang pengetahuan dan didapatkanpengetahua 4 No. 1 Februari
Hajar, & masih merupakan sikap pasien tb n pasien TB paru 2017
Suyanto permasalahan serius yang paru Terhadap terhadapupaya
ditemukan pada penduduk upaya pengendalian penyakit
dunia termasuk Indonesia. pengendalian tb TB diPuskesmas
Penyakit paru yang Di puskesmas Sidomulyo Kota
disebabkan oleh sidomulyo kota Pekanbaru, sebagian
Mycobacterium tuberculosis pekanbaru besar masuk dalam
ini ditemukan telah kategori baikyaitu
menginfeksi hampir sepertiga sebanyak 12 orang
penduduk dunia dan telah (38,7 %),
menjadi masalah kesehatan cukupsebanyak 16
utama secara global. orang ( 51,6 %) dan
Berdasarkan World Health sisanyamemiliki
Organization(WHO) TB pengetahuan kurang
merupakan penyebab kedua sebanyak 3orang (9,7
kematian dari penyakit %).
infeksi dunia yang 2. Sikap pasien TB paru
dinyatakan sebagai global terhadapupaya
emergency pada pengendalian penyakit
tahun 1993. TB diPuskesmas
Sidomulyo Kota
Pekanbaru.Penelitian
menunjukan bahwa
sebagianbesar pasien
TB paru memiliki
sikap yangpositif/ baik
yaitu sebanyak 27
orang (87%) dan
pasien TB paru yang
memiliki sikapnegatif/
tidak baik yaitu
sebanyak 4 orang ( 13
%).
2. Isnaniyanti Difteri pada umumnya lebih 2016 Faktor yang Dari hasil perhitungan Fakultas
Fajrin Arifin banyak menyerangusia anak berhubungan besar sampel didapatkan Kesehatan
&Corie Indria 5-7 tahun. Penyakit infeksi dengan kasus bahwa jumlah sampel Masyarakat
Prasasti akut difteri anak di minimal yang harus Universitas
yang disebabkan oleh bakteri Puskesmas diambil Airlangga
Corynebacterium diphtheria bangkalan tahun terbesar sebanyak 40 Surabaya, Jawa
(Kementerian Kesehatan, 2016 orang, dengan Timur, Indonesia
2014). MenurutPurwana perbandingan
(2010) bahwa semua glongan besar sampel antara kasus
umur dapat : kontrol = 1:5, dimana
terinfeksi oleh bakteri sampel terdiri dari 40
Corynebacterium diphtheria, orang sebagai kolompok
namun 80% kasus terjadi kasus. Namun,
diderita pada anak usia berdasarkan data rekam
kurang dari 15 tahun dan medik
yang tidak mendapatkan diketahui bahwa jumlah
imunisasi dasar.Pemahaman penderita difteri anak di
mengenai difteri dan hal apa Puskesmas Kecamatan
saja Bangkalan sejak 1 Januari
yang perlu diperhatikan hingga 30 September
sebagai faktor risiko 2016 yang memenuhi
penyebab difteri anak masih kriteria
sangat terbatas bagi sebanyak 8 orang dan 40
tenaga kesehatan terutama orang sebagai kontrol.
dalam hal mendiagnosis suatu
penyakit diperlukan
pemeriksaan yang tepat.
Apabila terjadi keterlambatan
dalam mendiagnosis maka
akan menyebabkan pula
terlambatnya
penanganan medis akibatnya
akan timbul komplikasi klinik
yang fatal bahkan
menyebabkan kematian.
3. Fajar,Sulistiyani, Pneumonia merupakan 2019 Faktor – faktor Berdasarkan pada hasil STKES Ibnu
&Onny Setiani kondisi peradangan yang yang penelitian dan Sina Batam
berhubungan mempengaruhi pembahasan dapat
denganpernapasan akut yang kejadian diperoleh simpulan
mempengaruhi paruparu, pneumonia sebagai berikut: Ada
disebabkan oleh agent yang Pada balita di hubungan yang bermakna
menular,termasuk virus, wilayah kerja antara kondisi rumah
bakteri dan jamur. Secara puskesmas mijen dengan kejadian
umum paling banyak adalah Kota semarang pneumonia, Ada
Streptococcus pneumoniae, hubungan yang bermakna
penyebab paling banyak pada antara kebiasaan
anak-anak. Haemophilus membuka jendela dengan
influenzae type Bsecara kejadian pneumonia,
umum paling banyak kedua Ada hubungan yang
penyebab pneumonia pada bermakna antara paparan
anak-anak. Pneumonia asap rokok dengan
penyebab kematian utama kejadian pneumonia.
paling besar pada anak-anak
di seluruh Dunia. Pneumonia
membunuh 920.136 anak-
anak dibawah umur
5 tahun pada Tahun 2015,
laporan untuk 16% dari
semua kematian anak-anak
dibawah umur 5 tahun,
prevalen paling banyak di
South Asia dan Sub-Saharan
Afrika
4. Nurmala Sari Menurut WHO tahun 2013 di 2018 Hubungan Berdasarkan hasil Institut
&Diana dunia angka terjadinya sanitasi penelitian yang telah Kesehatan Deli
Rahmadani kematian anak akibat lingkungan dilakukan terhadap 54 Husada
Siregar pneumonia dengan kejadian responden yang ada di
atau infeksi saluran infeksi Desa Marendal I Pasar V
pernafasan akut yang dapat Saluran Kab.Deli Serdang,
mempengaruhi kerusakan pernafasan akut dapat disimpulkan ada
paru paru dinyatakan (ispa) pada balita hubungan yang
1,2 juta anak meninggal di desa signifikan antara Ventilasi
setiap tahunnya. Sehingga Marendal I pasar Rumah dengan
ada 230 orang anak yang v kab. Deli kejadian ISPA
meninggal serdang tahun pada Balita dengan uji
stiap jam di dunia akibat dari 2018 chi- Square (P value
pneumonia.(WHO, 2013 ). =0,001 < 0,05), Ada
Infeksi Saluran Pernafasan hubungan yang signifikan
Akut merupakan penyakit antara Kepadatan Hunian
yang dapat menyebabkan dengan kejadian ISPA
terjadinya Pada Balita (p value 0,030
kematian pada anak, Penyakit < 0,05 ), dan Ada
ISPA ini dapat menyebabkan hubungan yang signifikan
terjadinya penyakit antara PencemaranUdara
Pneumonia, dengan kejadian ISPA
Bronchitis dan lainnya yang Pasa Balita (p value 0,006
merupakan penyebab <0,05).
kematian anak yang ke empat
dan kasus ini terbanyak
terjadi pada anak dibawah
tahun.
5. Faisal Pneumotorak yang luas dapat 2018 Pengaruh durasi Pneumotorak dapat Qanun Medika
Muttaqien, menyebabkan paru tertekan pneumotorak menyebabkan stress Vol. 3 No. 1
Bermansyah, atau kolaps sehingga terjadi terhadap tingkat oksidatif paru bila
Irsan Saleh gangguan pertukaran gas. Stress oksidatif pneumotorak bervolume
Hal berakibat pada turunnya paru tikus wistar luas dan durasi gejala
partialpressure of arterial mencapai 72 jam
oxygen Mekanismenya
(PaO2)atauhipoksemia. diperantarai oleh hipoksia
Proses patofisiologinya atauhipoksemia karena
melibatkan penurunan pneumotorak.
kapasitas vital paru,
terjadinya shunting
intrapulmoner, penurunan
rasio ventilasi perfusi pada
alveoli paru dan hipoventilasi
alveolar
(Choi, 2014).Sebagian besar
pasiendengan pneumotoraks
luas memilikipenurunan
PaO2arteri dan
peningkatanperbedaan
tekanan oksigen alveolar-
arteri.

6. Ratna W. Penyakit paru obstruktif 2018 Pengaruh Hasil kajian dalam artikel Jurnal
Rosyida, Sa’bani kronik (PPOK) merupakan program ini membawa peneliti Kesehatan. ISSN
N.A, Ruly A. S, penyakit yang timbul akibat manajemen pada kesimpulan bahwa 1979-7621
M.G.A Putra, dari adanya respon inflamasi perawatan program managemen (Print). ISSN
Anggi L. kronis yang tinggi pada terhadap PPOK secara 2620-7761
Wicaksana saluran nafas dan paru Penurunan komprehensif dan (Online). Vol.
yangbiasanya bersifat tingkat readmisi terintegrasi dengan 11. No. 2.
progresif dan persisten. pada pasien melibatkan berbagai
Penyakit ini memiliki ciri penyakit paru multidisiplin yang
berupa terbatasnya aliran Obstruktif menjalankan peran sesuai
udara yang masuk dan kronis. keahlian serta
umumnya dapat di cegah dan memberikan keperawatan
di rawat (GOLD, 2015). yang berkelanjutan
PPOK adalah penyakit kronis memberikan manfaat
saluran napas yang ditandai dalam menurunkan
dengan hambatan aliran udara readmisi pada pasien.
khususnya udara ekspirasi
dan bersifat progresif lambat
(semakin lama semakin
memburuk), disebabkan oleh
pajanan faktor risiko seperti
merokok, polusi udara
di dalam maupun di luar
ruangan. Onset (awal
terjadinya penyakit) biasanya
pada usia pertengahan dan
tidak hilang dengan
pengobatan. Didefinisikan
sebagai PPOK jika pernah
mengalami sesak napas yang
bertambah ketika beraktifitas
dan/ataubertambah dengan
meningkatnya usia disertai
batuk berdahak atau pernah
mengalami sesak napas
disertai batuk berdahak dan
nilai Indeks Brinkman ≥200.

7. Arfan Nur Asfiksia pada bayi baru lahir 2017 Gambaran 1. Tidak ada pengaruh AKBID Bina
termasuk risiko tinggi karena kejadian asfiksia faktor risiko bayi Sehat Nusantara
memiliki kemungkinan lebih di uptd dengan kejadian Bone
besar mengalami kematian puskesmas asfiksia
bayi atau menjadi sakit berat Ajangale pada 2. Tidak ada pengaruh
dalam masa neonatal. Oleh tahun 2016/2017 faktor risiko ibu
karena itu asfiksia dengan kejadian
memerlukan intervensi asfiksia
dan tindakan yang tepat untuk 3. Tidak ada pengaruh
meminimalkan terjadinya faktor risiko persalinan
kematian bayi, yaitu dengan dengan kejadian
pelaksanaan manajemen asfiksia
asfiksia pada bayi baru lahir
yang bertujuan untuk
mempertahankan
kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa berupa
kelainan
neurologi yang mungkin
muncul, dengan kegiatan
yang difokuskan pada
persiapan
resusitasi, keputusan
resusitasi bayi baru lahir,
tindakan resusitasi, asuhan
pasca resusitasi, asuhan
tindak lanjut pasca resusitasi
dan pencegahan infeksi
(Depkes. RI, 2008).
8. Pramanindyah TB paru MDR seringkali 2016 Hubungan antara 1. Distribusi dan Departemen
Bekti Anjani, dikaitkan dengan morbiditas Pola Resistensi frekuensi pola resisten Pulmonologi dan
Soedarsono dan mortalitas yang tinggi OAT Lini pada TB paruMDR Ilmu Kedokteran
dan dianggap sebagai Pertama dan didapatkan pola Respirasi,
ancaman Gradasi resisten RH 27 orang Fakultas
yang menakutkan Gambaran Foto (41%), pola resisten Kedokteran
dibandingkan TB paru biasa, Toraks Penderita RHS 5 orang (7,7%), Universitas
namun beberapa peneliti TB Paru MDR pola resisten RHES 13 Airlangga/RSUD
melihat sebagai masalah lokal orang (20%) dan pola Dr. Soetomo
yang dapat dikelola oleh resisten RHE 20 orang
implementasi yang tepat dari (30,8%).
strategi pengobatan yang 2. Tidak terdapat
telah direkomendasikan. Bila hubungan yang
terjadi mutasi yang bermakna antara
menyebabkan resistensi maka polaresistensi OAT
akan menyebabkan lini pertama dan
perubahan pada efektivitas gradasi gambaran foto
reproduksi organisme toraks pada penderita
tersebut, yaitu berkurangnya TB paru MDR di mana
daya penularan dibandingkan nilaip > 0,05.
dengan strain yang masih 3. Tidak didapatkan
sensitif obat. hubungan yang
bermakna
antaragradasi
gambaran foto toraks
dan pola resitensi pada
penderita TB paru
MDR di mana nilai p
> 0,05.
9. Alamsyah Penyakit Paru Obstruksi 2019 Hubungan faktor 1. Umumnya penderita Universitas
Lukito Kronik (PPOK) merupakan resiko dengan PPOK adalahmereka Islam Sumatera
penyakit kronik pada saluran kejadian pada yang berusia 45 tahun Utara, Jl. STM
napas yang ditandai dengan penyakit paru hingga65 tahun No. 77, Medan
terhambatnya Obstruksi kronik dimana 21 dari 30
aliran udara khususnya udara di puskesmas orangtersebut
ekspirasi dan bersifat mandala menderita resiko.
progresif. PPOK termasuk ke 2. Hasil Uji chi-square
dalam jenis penyakit tidak menunjukkanbahwa
menular yang utama menurut terdapat hubungan
WHO (Badan Penelitian dan antarafaktor resiko
Pengembangan Kesehatan, dengan kejadian
2013).Gejala pernapasan PPOK di Wilayah
yang paling umum pada Kerja Puskesmas
penderita PPOK adalah Mandala2018
dispnea (sesak napas), dan Tembung.
batuk dengan atau tanpa
adanya produksisputum
(dahak) (Guide & COPD,
2017).
Sembilan dari sepuluh kasus
PPOK disebabkan oleh
merokok (Choices, 2017).
10. Hermawati, nfeksi Saluran Pernapasan 2018 Hubungan faktor 1. Tidak ada hubungan Fakultas
&Suhadi La Ode Akut (ISPA)adalah infeksi lingkungan antara kepadatan Kesehatan
Ahmad saluran pernapasan dengan kejadian huniandengan kejadian Masyarakat
Saktiansyah yangdisebabkan oleh virus penyakit infeksi penyakit infeksi Universitas Halu
atau bakteri danberlangsung saluran saluran pernapasan Oleo.
selama 14 hari. Penyakit Pernapasan akut akut (ISPA) di
ISPA (ispa)di wilayah Wilayah
merupakan infeksi akut yang kerja puskesmas KerjaPuskesmas Abeli
menyerang saluran abeli kecamatan Kecamatan Abeli
pernapasan bagian atas dan abeli Tahun 2018.
bagian bawah. Gejala yang 2. Tidak ada hubungan
ditimbulkan yaitu gejala antara penggunaan
ringan (batuk dan pilek), antinyamuk bakar
gejala sedang (sesak dengan kejadian
danwheezing) bahkan sampai penyakit infeksisaluran
gejala yang berat (sianosis pernapasan akut
dan pernapasan cuping (ISPA) di
hidung). Komplikasi ISPA WilayahKerja
yang berat mengenai jaringan Puskesmas Abeli
paru dapat menyebabkan Kecamatan Abeli
terjadinya pneumonia. Tahun2018.
Pneumonia merupakan
penyakit infeksi penyebab
kematian nomor satu
pada balita
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PASIEN TB PARU
TERHADAP UPAYA PENGENDALIAN TB
DI PUSKESMAS SIDOMULYO KOTA PEKANBARU
Refica Dewita Sarmen
Surya Hajar FD
Suyanto
reficadewitasarmen@gmail.com

ABSTRACT

Tuberculosis is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis, which remains


a global health threat. In Indonesia pulmonary TB is still a serious health problem with
incidence rates are quite high. Pulmonary TB can be contained and prevented if people have
knowledge and a good attitude so as to produce the appropriate control measures. The
purpose of this study is to describe the knowledge and attitudes of TB patients in order to
control efforts of TB in Puskesmas Sidomulyo Pekanbaru.The study was conducted in June
2016. This is a descriptive obeservational study with crosecctional approach. The instrument
used was a questionnaire about knowledge, attitudes, and actions. The number of
respondents is 31 patients of TB who were registered on the form of TB 06 in Puskesmas
Sidomulyo Kota Pekanbaru and it has meet inclusion criteria of study. Results showed that
sex characteristic of patients were predominantly male as many as 23 people (74,2%) and the
most productive among patients aged 18-40 years as many as 20 people (64,5%).
Characteristics by education level showed as many as 19 patients (61,3 %) was high school
graduates and 90,3% had undergone treatment > 2 months. The result showed that
respondents who have a quite good level of knowledge about tuberculosis as many as 12
people (38,7 %). Based on the attitudes showed that a positive attitude as many as 27 people
(87%) and quite good level of actions as many as 4 people (13%).

Keyword: Attitude,Action, Knowledge,Tuberculosis

(WHO) TB merupakan penyebab kedua


PENDAHULUAN
kematian dari penyakit infeksi dunia yang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit dinyatakan sebagai global emergency pada
infeksi kronis yang masih merupakan tahun 1993.1 WHO memperkirakan terdapat
permasalahan serius yang ditemukan pada 9,6 juta insiden kasus TB pada tahun 2014
penduduk dunia termasuk Indonesia. meningkat dari 9 juta insiden kasus TB
Penyakit paru yang disebabkan oleh dengan angka kematian berkisaran 1,5 juta
Mycobacterium tuberculosis ini ditemukan orang.2,4 Centers for disease Control and
telah menginfeksi hampir sepertiga Prevention (CDC) melaporkan terdapat
penduduk dunia dan telah menjadi masalah total 9.563 kasus TB di Amerika Serikat
kesehatan utama secara global . pada tahun 2015 dengan rata-rata 3 kasus
Berdasarkan World Health Organization baru per 100.000 populasi.3
Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017
Data WHO menunjukkan Indonesia melalui saluran (bronchus) atau penyebaran
adalah penyumbang kasus TB terbesar langsung ke bagian tubuh lainnya. Penyakit
ketiga dunia setelah China dan India dan ini umumnya menimbulkan tanda-tanda
berada pada peringkat kelima negara dan gejala yang sangat bervariasi pada
dengan kasus TB tertinggi di Dunia pada masing-masing penderita, mulai dari tanpa
tahun 2014. Berdasarkan laporan WHO gejala hingga gejala yang sangat akut.7
Global Tuberculosis Report 2015 Indonesia Menurut penelitian yang dilakukan
termasuk dalam 22 negara dengan beban oleh Paul et all (2015) menyatakan 99 %
TB tertinggi di dunia dengan jumlah responden pernah mendengar tentang TB
keseluruhan kasus yang tercatat tahun 2014 dan tahu bahwa TB merupakan salah satu
sebanyak 324.539 kasus dan jumlah kasus penyakit yang menular. Mayoritas
baru mencapai 322.806. Jumlah kasus responden tahu bahwa TB dapat ditularkan
pengobatan ulang di luar relaps sebanyak selama pengobatan dan sebagian
sebanyak 1.733 kasus TB.4 menyatakan bahwa malnutrisi, lingkungan
Prevalensi kasus TB di Indonesia yang tidak sehat, dan ketidaksadaran
berdasarkan Riskedas (2013) terdapat menjadi faktor resiko untuk terjadinya TB.8
sekitar 0,4 % dari jumlah penduduk Penelitian di Somalia oleh Tollosa et all
Indonesia. Dengan kata lain, setiap 100.000 (2014) menyatakan bahwa 72,4 %
penduduk Indonesia terdapat 400 orang responden berpendapat batuk yang lama
yang terdiagnosis menderita TB paru ( lebih dari dua minggu) menjadi salah satu
positif. Hasil Riskesdas tersebut tidak gejala dari TB dan gejala lainnya seperti
mengalami perubahan seperti hasil batuk berdarah (52,2 %) serta nyeri dada
Riskesdas (2007) yang menghasilkan angka ( 29 %). 9
prevalensi yang sama yaitu 0,4 %.5,6 Program penanggulangan penyakit
Tuberkulosis (TB) adalah suatu TB paru salah satunya melalui pendidikan
penyakit menular yang sebagian besar kesehatan. Hal ini diperlukan karena
disebabkan kuman mycobacterium masalah TB paru banyak berkaitan dengan
tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masalah pengetahuan dan perilaku.10
masuk ke dalam tubuh manusia melalui Pendidikan kesehatan kepada masyarakat
udara pernafasan ke dalam paru, kemudian mengenai penyakit TB adalah salah satu
kuman tersebut dapat menyebar dari paru faktor pencegahan penularan penyakit TB.
ke bagian tubuh lain melalui sistem Pendidikan kesehatan mengenai penyakit
peredaran darah, sistem saluran limfa, TB dapat berupa pengetahuan dan sikap

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


pasien terhadap penyakit TB. Pengetahuan sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan
dan perilaku yang kurang mengenai eksklusi penelitian. Data primer penelitian
penyakit TB akan menjadikan pasien diperoleh dari jawaban responden
berpotensi sebagai sumber penularan yang penelitian yaitu pasien TB paru dan data
berbahaya bagi lingkungan.11 Oleh karena sekunder diperoleh dari rekam medik di
itu pentingnya seorang dengan TB untuk Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru.
memiliki pengetahuan dalam pencegahan HASIL PENELITIAN
agar tidak menularkan kepada orang lain. Berdasarkan tabel 4.1 terdapat
Berdasarkan data yang diperoleh dari kelompok umur terbanyak adalah
Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru diketahui kelompok umur 18-40 tahun yaitu
terdapat 1370 total kasus di Pekanbaru pada sebanyak 20 orang (64,5%) sementara
tahun 2015. Puskesmas Sidomulyo kelompok umur 41-60 tahun yaitu
merupakan salah satu puskesmas dengan sebanyak 10 orang (32,3%) dan kelompok
jumlah kasus TB tertinggi dan memiliki umur >60 tahun sebanyak 1 orang (3,2 %).
angka kesembuhan TB yang cukup rendah. Responden dengan jenis kelamin laki-laki
Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik lebih banyak dari perempuan yaitu
untuk melakukan penelitian mengenai sebanyak 23 orang (74,2%) dan perempuan
gambaran pengetahuan dan sikap pasien sebanyak 8 orang (25,8%). Berdasarkan
TB terhadap upaya pengendalian TB di tingkat pendidikan terbanyak dari
Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru. responden yang diteliti yaitu tamat SD
sebanyak 4 orang (12,9 %) , tamat SMP
METODE PENELITIAN
sebanyak 5 orang (16,1%), diikuti dengan
Desain penelitian ini bersifat deskriptif tamat SMA sebanyak 19 orang (61,3%) dan
secara cross sectional dengan tamat sarjana sebanyak 3 orang (9,7%).
mengumpulkan dan mengolah data untuk Kategori pekerjaan dengan jumlah
mengetahui gambaran pengetahuan dan terbanyak antara lain terdapat 25 orang
sikap pasien TB paru terhadap upaya (80,6 %) berkerja sebagai pegawai swasta/
pengendalian TB di Puskesmas Sidomulyo wiraswasta, sebanyak 2 orang (6,4 %) yang
Kota Pekanbaru bekerja sebagai PNS, sebanyak 4 orang
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas (13%) belum bekerja. Anggota keluarga
Sidomulyo Kota Pekanbaru. Waktu responden yang pernah atau terkena TB
penelitian di mulai Juni 2016. Sampel paru adalah sebanyak 1 orang (3,2%) yaitu
penelitian ini ditentukan secara total pada anak perempuan, sebanyak 1 orang

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


(3,2 %) yaitu pada ayah dan yang terbanyak Tamat 3 9.7
adalah 29 orang (93,6%) menyebutkan Akademi/
tidak pernah anggota keluarganya terkena sarjana
TB paru. Lama pengobatan yang dijalani Jumlah 31 100
responden adalah selama 6 bulan pada 4 Lama
orang (19,05%), 5 bulan pada 2 orang Pengobatan
(9,55%), 4 bulan pada 4 orang (19,05%), 3 1 bulan 3 9.7
bulan pada 6 orang (28,5 %), dan diikuti 2 bulan 5 16
selama 2 bulan pada 4 orang (19,05 %) 3 bulan 9 29
serta 1 bulan sebanyak 1 orang (4,8 %). 4 bulan 6 19.4
Tabel 4.1 Distribusi karakteristik sosio- 5 bulan 2 6.5
demografi pasien TB pari pada form TB
6 bulan 6 19.4
06 (BTA +) di Puskesmas Sidomulyo
Kota Pekanbaru. (n=31 orang) Jumlah 31 100
Karakteristik Jumlah
Anggota
sosio- Frekuensi Persentase keluarga yang
demografi (%) pernah
Umur menderita TB
18-40 tahun 20 64.5 Paru
41-60 tahun 10 32.3 Kakek/nenek - -
>60 tahun 1 3.2 Ayah/ibu 1 3.2
Jumlah 31 100 Suami/Istri/ - -
Jenis Kelamin Saudara 1 3.2
Laki-laki 23 74.2 Anak/cucu - -
Perempuan 8 25.8 Tidak ada 29 93.6
Jumlah 31 100 Jumlah 31 100
Tingkat 4.2 Gambaran pengetahuan pasien TB
Pendidikan paru terhadap upaya pengendalian
penyakit TB di Puskesmas Sidomulyo
Tidak sekolah - - Kota Pekanbaru.
Tamat SD 4 12.9 Hasil pengukuran pengukuran
Tamat SMP 5 16.1 pengetahuan pasien TB paru terhadap
Tamat 19 61.3 upaya pengedalian penyakit TB di
SMA/SMK Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru
menunjukan sebagian besar pasien TB
memiliki tingkat pengetahuan yang baik
Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017
sebanyak 12 orang (38,7 %), cukup Tabel 4.3 Distribusi frekuensi sikap
sebanyak 16 orang (51,6 %) dan sisanya pasien TB paru terhadap upaya
memiliki pengetahuan kurang sebanyak 3 pengendalian TB di Puskesmas
orang (9,7 %). Hal ini dapat dilihat pada Sidomulyo Kota Pekanbaru.
tabel 4.2 dibawah ini. Sikap Jumlah
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi N %
pengetahuan pasien TB paru terhadap
upaya pengendalian TB di Puskesmas Positif/ baik 27 87
Sidomulyo Kota Pekanbaru. Negatif/ 4 13
Pengetahuan Jumlah tidak baik
N %
Jumlah 31 100
Baik 12 38,7
Cukup 16 51,6
4.4 Gambaran tindakan pasien TB paru
Kurang 3 9,7 terhadap upaya pengendalian penyakit
TB di Puskesmas Sidomulyo Kota
Jumlah 31 100
Pekanbaru
4.3 Gambaran sikap pasien TB paru Hasil pengukuran tindakan pasien
terhadap upaya pengendalian penyakit
TB paru terhadap upaya pengendalian
TB di Puskesmas Sidomulyo Kota
Pekanbaru penyakit TB di Puskesmas Sidomulyo Kota
Hasil pengukuran sikap pasien TB
Pekanbaru menunjukan bahwa sebagian
paru terhadap upaya pengendalian penyakit
besar pasien TB paru memiliki tindakan
TB di Puskesmas Sidomulyo Kota
yang baik yaitu sebanyak 10 orang
Pekanbaru. Menunjukan bahwa sebagian
(32,3%), diikuti dengan tindakan yang
besar pasien TB paru memiliki sikap yang
cukup sebanyak 12 orang (38,7%) dan
positif/ baik yaitu sebanyak 27 orang (87
kurang sebanyak 9 orang ( 29 %). Hal ini
%) dan pasien TB paru yang memiliki
dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.
sikap negatif/ tidak baik yaitu sebanyak 4
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi tindakan
orang ( 13 %). Hal ini dapat dilihat pada pasien TB paru terhadap upaya
pengendalian TB di Puskesmas Sidmulyo
tabel 4.3 dibawah ini.
Kota Pekanbaru.
Tindakan Jumlah
N %
Baik 10 32,3
Cukup 12 38,7
Kurang 9 29
Jumlah 31 100

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


tahun sedikitnya 1 juta orang, hal ini dapat

PEMBAHASAN terjadi karenakan laki-laki lebih mudah


terpapar penyakit akibat penurunan sistem
Penelitian ini bersifat deskriptif
imun seperti TB paru akibat kebiasan laki-
dengan menggunakan pendekatan
laki yang suka mengkonsumsi alkohol dan
crossectional yang telah dilaksanakan pada
rokok. Riestina menjelaskan penelitian
bulan Juni 2016. Penelitian ini bertujuan
dinegara maju menunjukan bahwa laki-laki
untuk mengetahui gambaran pengetahuan
memiliki resiko tertular akibat kontak dan
dan sikap pasien TB paru terhadap upaya
beraktifitas diluar lebih besar dari pada
pengendalian penyakit TB di Puskesmas
perempuan, sehingga lebih memudahkan
Sidomulyo Kota Pekanbaru. Responden
penularan penyakit TB paru dari orang
yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak
lain.24
31 orang sesuai dengan kriteria inklusi
Berdasarkan hasil penelitian yang
penelitian dan instrumen yang digunakan
telah dilakukan didapatkan bahwa
adalah kuesioner yang meliputi
responden yang berusia terbanyak adalah
pengetahuan, sikap, dan tindakan pasien
usia 18-40 tahun yaitu sebanyak 20 orang
TB terhadap upaya pengendalian penyakit
(64,5 %), usia 41-60 tahun sebanyak 10
TB di Puskesmas Sidomulyo Kota
orang (32,3 %) dan usia >61 tahun
Pekanbaru yang dirujuk dari Riestina
sebanyak 1 orang (3,2 %). Menurut
(2015).
pendapat peneliti usia sangat berperan
Berdasakan hasil penelitian yang
dalam angka kejadian penyakit TB. Hal ini
dilakukan pada bulan Juni 2016 didapatkan
sesuai dengan penelitian Manallu (2010)
hasil bahwa karakterstik jenis kelamin
yang menyatakan bahwa 75 % karakteristik
responden terbanyak adalah pada laki-laki
usia pasien TB paru di Indonesia adalah
yaitu sebanyak 23 orang (74,2 %) dari total
kelompok dengan rentang antara usia 15-49
31 orang responden. Hasil ini sejalan
tahun yang merupakan kategori usia
dengan penelitian yang dilakukan oleh
17
produktif. Hal ini menurut peneliti
Riestina didapatkan hasil bahwa jenis
dikarenakan pada usia produktif terdapat
kelamin yang paling banyak adalah laki-
kecendrungan untuk banyak melakukan
laki yaitu sebanyak 38 orang (56.8 %).24
interaksi dan memiliki mobilitas yang
Pada penelitian Tasnim laki-laki lebih
tinggi di luar rumah sehingga lebih rentan
banyak yaitu sebanyak 872 responden
untuk tertular penyakit tuberkulosis. Pada
(55.6%).26 Menurut WHO jumlah laki-laki
penelitian Asiah k karakteristik responden
yang meninggal akibat TB paru dalam satu

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


terbanyak berada pada usia 31-40 tahun yang berjumlah 25 orang (57,1 %).
yaitu sebanyak 27.8%. 27 Karakteristik lain pada penelitian ini adalah
Hasil penelitian menunjukan bahwa PNS/ TNI Polri dan tidak bekerja. Menurut
karakteristik tingkat pendidikan responden peneliti hasil penelitian ini memiliki
terbanyak adalah SMA/SMK yaitu hubungan dengan tingkat aktivitas yang
sebanyak 19 orang (61,3 %). Hal ini sejalan memungkinkan penularan kuman TB yang
dengan penelitian Asiah didapatkan lebih mudah dari penderita TB paru. Pada
karakteristik tingkat pendidikan pasien TB dasarnya bekerja sebagai wiraswasta seperti
paru Poli Paru di RSUD Arifin Achmad berdagang, memiliki resiko lebih rentan
adalah SMA/SMK yaitu sebanyak 59 orang tertular dengan penderita TB paru
(51,3%).27 Tingkat pendidikan merupakan dikarenakan pekerja melakukan kontak
salah satu faktor pengendalian penularan dengan banyak orang.
penyakit TB paru. Pendidikan merupakan Hasil pengukuran tingkat
usaha dasar untuk mengembangkan pengetahuan pasien TB paru terhadap
kemampuan dan kepribadian yang penyakit pada pasien TB paru diwilayah
berlangsung seumur hidup. Semakin tinggi Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru
pendidikan seseorang, semakin banyak menunjukkan tingkat pengetahuan pasien
pengetahuannya dan tinggi kesadarannya sebagian besar berada pada kategori baik
tentang hak yang dimilikinya untuk yaitu sebanyak 12 orang (38,7 %) dan
memperoleh informasi tentang upaya cukup yaitu sebanyak 16 orang (51,6 %).
pengendalian penularan penyakit TB paru Hasil penelitian ini sejalan dengan
sehingga menuntut dirinya agar penelitian yang dilakukan di Medan oleh
memperoleh keselamatan jiwanya. Simanulang didapatkan hasil dari 25
Rendahnya tingkat pendidikan akan responden (52%) memiliki tingkat
berpengaruh pada pemahaman mengenai pengetahuan yang baik dan penelitian yang
upaya pengendalian penularan penyakit TB dilakukan oleh Djannah di Yogyakarta
paru. Sedangkan pasien dengan tingkat mengatakan bahwa sebagian besar
pendidikan yang lebih tinggi akan responden berada pada kategori baik
mempengaruhi perilakunya dalam upaya dengan jumlah respon 20 dari 37 responden
pengendalian penularan penyakit TB paru. (54.1%).28,29 Penelitian ini juga sejalan
Berdasarkan hasil penelitian dengan penelitian yang dilakukan oleh
menunjukan bahwa karakteristik pekerjaan Sembiring di Tapanuli Tengah yang
responden umumnya adalah wiraswasta menyatakan bahwa pengetahuan pasien TB

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


paru berada pada kategori baik sebanyak 36 pengetahuan yang baik akan menghasilkan
dari 58 responden (62.1%).30 sikap yang baik dari responden dengan TB
Pengetahuan adalah hasil terhadap paru dan membantu dalam upaya
suatu objek setelah melakukan pengendalian TB paru. Djannah melakukan
penginderaan.7 Pengetahuan dapat penelitian di Yogyakarta tentang sikap
dipengaruhi oleh faktor internal dan pasien terhadap pasien TB paru dan
eksternal, dimana faktor eksternal terdiri diidaptkan hasil berada pada kategori
dari pendidikan, pekerjaan dan umur. baik.29
Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi Sikap merupakan suatu predisposisi
oleh lingkungan dan sosial budaya. Pada yang digunakan untuk merespon suatu
pengetahuan responden juga dapat objek baik secara positif atau negatif pada
dipengaruhi oleh umur, daya tangkap dan situasi, maupun konsep dan orang. Sikap
pola fikir seseorang sehingga pengetahuan yang berorientasi pada respon adalah
yang diperoleh akan semakin baik. 31 perasaan mendukung atau tidak mendukung
Pengetahuan yang baik sangat serta kesiapan dalam bereaksi terhadap
diharapkan dalam mencegah dan suatu objek.33 Sikap yang terbentuk
menanggulangi penyakit TB paru. Tingkat bergantung pada persepsi seseorang dalam
pengetahuan yang rendah dalam upaya mengintrepretasikan sesuatu dan bertindak
mencegah dan menanggulangi penyakit TB atas dasar hasil intrepretasi yang
paru dapat menjadi faktor resiko terjadinya diciptakannya.32 Salah satu faktor yang
penularan TB paru.33 Pengetahuan yang mempengaruhi dalam pembentukan sikap
kurang dapat terjadi karena minimnya adalah pengetahuan yang dimiliki
informasi serta tidak adekuatnya informasi seseorang. Semakin tinggi tingkat
yang didapatkan dan diterima oleh pengetahuan yang dimiliki seseorang akan
responden. 31 memberi kontribusi pada terbentuknya
32
Hasil pengukuran terhadap sikap sikap yang baik. Berdasarkan penelitian
responden dengan TB paru diwilayah kerja yang telah dilakukan peneliti didapatkan
Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru, bahwa masih ada pasien yang memperoleh
didapatkan hasil bahwa pasien umumnya informasi yang negatif terhadap
memiliki sikap yang berada pada kategori penyakitnya sehingga pasien merasa malu
positif/baik sebanyak 27 orang (87 %) dan untuk membicarakan penyakitnya. Sikap
sikap yang negatif/tidak baik dan diikuti pasien tersebut berubah setelah
sebanyak 4 orang (13%). Menurut peneliti diperolehnya tambahan informasi tertentu

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


melalui persuasif serta tekanan dari dan tindakan masyarakat, faktor pemungkin
kelompok sosialnya. Sehingga dapat yaitu mencakup keterjangkauan fasilitas
disimpulkan bahwa seseorang dapat pelayanan kesehatan masyarakat dan faktor
memperoleh sikap yang baik terhadap penguat yaitu bentuk dukungan tokoh
upaya pengendalian penyakit TB jika masyarakat maupun petugas-petugas
pengetahuan yang diperolehnya juga baik kesehatan.35
dan memadai. Perilaku yang terwujud dalam
Hasil pengukuran tindakan pada bentuk tindakan sangat dipengaruhi oleh
pasien TB paru dalam upaya pengendalian tingkat pengetahuan dan sikap dari pasien
penyakit TB di Puskesmas Sidomulyo Kota TB paru. Tindakan pasien seperti
Pekanbaru menunjukan bahwa pasien TB melakukan pemeriksaan dahak, menutup
paru memiliki tindakan baik sebanyak 10 mulut ketika batuk, meningkatkan daya
orang (32,3 %), cukup sebanyak 12 orang tahan tubuh, tidak membuang dahak
( 38,7 %), dan kurang sebanyak 9 orang (29 disembarang tempat, meminum obat TB
%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang secara rutin, dan sebagainya merupakan
dilakukan Riestina, sebagian besar pasien tindakan yang baik dilakukan oleh pasien.
memiliki tindakan yang baik sebanyak 9 Berdasarkan hasil penelitian yang telah
orang (13,5 %) dan cukup sebanyak 39 dilakukan peneliti didapati bahwa
orang (58,2%).24 Hasil penelitian gambaran tindakan untuk pengendalian
Sembiring menunjukan sebaliknya yaitu penularan penyakit TB dalam kategori yang
sebagian besar pasien memiliki tindakan baik.
kurang sebanyak (96,6%) sehingga dapat SIMPULAN DAN SARAN
disimpulkan bahwa sikap yang baik tidak 6.1 SIMPULAN
selamanya menghasilkan tindakan yang Berdasarkan penelitian yang telah
24,29
baik. dilakukan untuk mengetahui gambaran
Suatu sikap belum tentu otomatis pengetahuan dan sikap pasien TB paru
terwujud dalam suatu perilaku yang terlihat terhadap upaya pengendalian TB di
7
melalui tindakan. Ada beberapa faktor Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru
yang mempengaruhi perilaku di tingkat dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
kesehatan. Menurut Green terdapat tiga 1. Pada penelitian ini didapatkan
faktor utama yang mempengaruhi perilaku pengetahuan pasien TB paru terhadap
antara lain faktor predisposisi yaitu upaya pengendalian penyakit TB di
mencakup lingkungan,pengetahuan, sikap, Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru,

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


sebagian besar masuk dalam kategori baik 2. Pasien TB paru
yaitu sebanyak 12 orang (38,7 %), cukup a. Meningkatkan kesadaran pasien
sebanyak 16 orang ( 51,6 %) dan sisanya dalam menambah informasi
memiliki pengetahuan kurang sebanyak 3 mengenai penyakit TB paru dalam
orang (9,7 %). upaya pengendalian penyakit TB
2. Sikap pasien TB paru terhadap serta mempraktikan edukasi yang
upaya pengendalian penyakit TB di diberikan dalam kehidupan sehari-
Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru. hari.
Penelitian menunjukan bahwa sebagian 3. Peneliti lain
besar pasien TB paru memiliki sikap yang a. Menggunakan penelitian ini
positif/ baik yaitu sebanyak 27 orang (87%) sebagai suatu acuan dalam
dan pasien TB paru yang memiliki sikap penelitian selanjutnya terhadap
negatif/ tidak baik yaitu sebanyak 4 orang upaya pengendalian penyakit TB
( 13 %). paru.
3. Tindakan pasien TB paru
DAFTAR PUSTAKA
terhadap upaya pengendalian penyakit TB
di Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru 1. Widoyono. 2008. Penyakit tropis :
menunjukan bahwa sebagian besar pasien epidemiologi,penularan,pencegaha,
TB paru memiliki tindakan yang baik yaitu &pemberantasannya.Jakarta:
sebanyak 10 orang (32,3 %) diikuti dengan Erlangga
tindakan yang cukup sebanyak 12 orang 2. World Health Organization. Global
(38,7%) dan kurang sebanyak 9 orang tuberculosis report 2014. Geneva;
( 29 %). 2014
6.2 SARAN 3. CDC. Leveling of Tuberculosis
Berdasarkan hasil penelitian yang Incidence-United States, 2013-
telah dilakukan, maka peneliti memberikan 2015. Atlanta, GA: US Department
saran sebagai berikut: of health and human services,
CDC;2016.
1. Kepala puskesmas
http://cdc.gov/tb/statistics/.
a. Meningkatkan pemberian edukasi
4. World Health Organization. Global
mengenai penyakit TB paru melalui
tuberculosis report 2015. Geneva;
sosialisasi kepada pasien TB paru
2015
dalam upaya pengendalian penyakit
TB di Puskesmas Sidomulyo.
Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017
5. [RISKESDAS] Riset Kesehatan 11. Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan
Dasar 2013. Jakarta . Badan Masyarakat. Jakarta; PT. Citra
Penelitian dan Pengembangan Aditya Bakti; hal. 53-55
Kesehatan, Departemen Kesehatan, 12. Price SA, Wilson LM. 2005.
Republik Indonesia. Patofisilogi konsep klinis proses-
6. [RISKESDAS] Riset Kesehatan proses penyakit. Alih bahasa Pendit
Dasar 2007. Jakarta . Badan BU,et.all., editor edisi bahasa
Penelitian dan Pengembangan Indonesia, Hartanto H. Ed 6 Vol 2.
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta. EGC; hal 852.
Republik Indonesia 13. Kementrian Kesehatan Republik
7. Notoadmojo S. 2011. Ilmu Indonesia. Profil Kesehatan
Kesehatan Masyarakat: Ilmu & Indonesia 2014. Jakarta.
Seni. Jakarta: Rineka Cipta Kementrian Kesehatan RI; 2015.
8. Paul,et all., Knowledge and attitude 14. Kementrian Kesehatan Republik
of key community members Indonesia. Pedoman nasional
towards tuberculosis : mixed pengendalian tuberkulosis. Edisi 2.
method study from BRAC TB Jakarta; 2014
control areas in Bangladesh. BMC 15. Sudoyo AW, et.all.,2006. Buku ajar
Public Health. 2015; p. 5 Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
9. Tollosa et all., Community Fakultas Kedokteran Universitas
knowledge, attitude, practices Indonesia
towards tuberculosis in Shinile 16. Tanto, Chris, et.all., 2014. Kapita
town, Somali regional state, eastern selekta kedokteran: essentials
ethiopia: a cross-sectional study. medicine. Edisi IV. Jakarta: Media
BMC Public Health. 2014. p.3 Aesculapius Fakultas Kedokteran
10. Infanti, Titi. Pengaruh pendidikan Universitas Indonesia
kesehatan terhadap pengetahuan, 17. Manalu HSP. Faktor-faktor yang
sikap, dan tindakan pencegahan mempengaruhi kejadian
penularan Tuberkulosis paru pada tuberkulosis paru dan upaya
keluarga di kecamatan Sitiung penanggulangannya. Jurnal Ekologi
kabupaten Dhramasraya tahun Kesehatan;2010;ha1 340-346
2010. [skripsi] Padang: Universitas 18. Bani, Said Fatqol. 2015. Hubungan
Andalas. antara tingkat pengetahuan dan

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


sikap masyarakat terhadap upaya Puskesmas BagansiapiApi
pencegahan tuberkulosis di wilayah Kecamatan Bangko Kabupaten
keluruhan Dayu. [skripsi] Solo; Rokan Hilir Provinsi Riau. [skripsi]
Universitas Muhamadiyah Pekanbaru;Universitas Riau.
Surakarta. 25. Davey, Patrick. 2005. At Glance
19. Kementrian Kesehatan Republik Medicine. Jakarta: Erlangga
Indonesia Direktorat Jenderal 26. Tasnim S, Rahman A, Hoque FMA.
pengendalian penyakit dan penyehat Patients Knowledge and attitude
lingkungan. Buku saku kader towards tuberculosis in an urban
program penanggulangan TB. setting. Bangladesh; Hindawi
Jakarta. 2009; hal 31-33. Publishing Corporation; 2012.
20. Darmanto, Djojodibroto. 27. Asiah I. 2013 Gambaran perilaku
Respirologi (respiratory medicine). pasien TB paru terhadap upaya
Jakarta: EGC pencegahan penyebaran penyakit
21. Isselbacher, Kurt. 2009. Harrison: TB paru pada pasien yang berobat
Prinsio-prinsip ilmu penyakit dalam di poli paru RSUD Arifin Achmad
(Harrison’s princples of internal Provinsi Riau [skripsi]. Pekanbaru;
medicine). Jakarta; EGC Universitas Riau
22. Peraturan Menteri Kesehatan RI no 28. Simanullang P. Gambaran
5 tahun 2014 tentang Panduan pengetahuan penderita TB paru
Praktik Klinis Bagi Dokter di tentang regimen terapeutik TB paru
Fasilitas Pelayanan Kesehatan di rumah sakit umum herna. Jurnal
Primer. Diakses dari Darma Agung; 2012.
http://peraturan.bkpm.go.id pada 20 29. Djannah SN, Suryani D, Purwati
Maret 2016 DA. Hubungan tingkat pengetahuan
23. Riyanto,A. 2011. Aplikasi dan sikap dengan perilaku
metodologi penelitian kesehatan. pencegahan penularan TBC pada
Cetakan 1. Yogyakarta: Nuha mahasiswa di asrama manokwari
Medika. hl.83 Sleman, Yogyakarta. Jurnal
24. Riestina, Sri Endah. Kesehatan Masyarakat; 2009; III:
2015.Gambaran Perilaku Penderita hl.214-221
TB Paru dalam Mencegah 30. Sembiring SM. Perilaku penderita
Penularan Kontak Serumah di TB paru positif dalam upaya

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


pencegahan penularan tuberkulosis
pada keluarga di Kecamatan Pandan
Kabupaten Tapanuli Tengah.
[skripsi] Medan; 2012
31. Nurfadillah, Yovi I, Restuastuti T.
Hubungan pengetahuan dan
tindakan pencegahan penularan
pada keluarga penderita
tuberkulosis paru di ruang rawat
inap paru di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau. JOM FK;1(2);2014
32. Astuti S. 2013. Hubungan tingkat
pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap upaya pencegahan
penyakit tuberkulosis di RW 04
keluragahan Lagoa Utara tahun
2013. [skripsi]. Jakarta; Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah;
2013
33. Budiman, A. R. 2013. Pengetahuan
dan sikap dalam penelitian
kesehatan. Jakarta; Salemba Medika
34. Manullang S. 2011. Hubungan
pengetahuan, sikap, dan tindakan
masyarakat tentang faktor
lingkungan fisik rumah terhadap
kejadian tuberkulosis paru di
wilayah kerja puskesmas sukarame
Kecamatan Kualu Hulu Kabupaten
Labuhan Baru Utara. [skripsi].
Medan; Universitas Riau

Jom FK Volume 4 No. 1 Februari 2017


FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KASUS DIFTERI ANAK DI
PUSKESMAS BANGKALAN TAHUN 2016
Factors That Related With Diptheria Cases of Children in Bangkalan Health Centers in 2016

Isnaniyanti Fajrin Arifin1, Corie Indria Prasasti2


1
FKM UA, nan.arifin02@gmail.com
2
Departemen Kesehatan Lingkungan, corie_prasasti_fkmua@yahoo.co.id
Alamat Korespondensi: Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK
Kasus difteri meningkat setiap tahunnya di Bangkalan Tahun 2015 sebanyak 19 kasus dengan nilai CFR
15,79% yang tersebar di 13 Kelurahan/Desa. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor risiko
yang berhubungan dengan kasus difteri anak di Puskesmas Bangkalan dengan desain case control dan analisa
data menggunakan komputasi komputer. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2016 dengan
menggunakan panduan kuesioner, wawancara, observasi, dan pengukuran. Jumlah sampel sebanyak 48
responden dengan jumlah kasus sebanyak 8 dan jumlah kontrol sebanyak 40. Variabel yang diteliti adalah
karakteristik (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan), status imunisasi DPT, dan kondisi lingkungan fisik
rumah. Hasil penelitian tentang analisis karakteristik (tingkat pendidikan), status imunisasi DPT berhubungan
dengan tingginya kasus difteri anak. Dan variabel yang paling dominan adalah satus imunisasi DPT dengan
nilai (p value = 0,0037; OR = 4,667). Disarankan petugas kesehatan khususnya bidan desa bekerjasama
dengan kader perlu meningkatkan perannya sebagai educator dan conselor dalam memberikan informasi
kepada masyarakat berupa penyuluhan kepada masyarakat berhubungan risiko penularan difteri serta manfaat
pemberian imunisasi dasar ke seluruh Kelurahan/Desa pada kegiatan Posyandu hingga mencapai target UCI.
Kata Kunci : faktor risiko, kasus difteri, Puskesmas Bangkalan

ABSTRACT
The diptheria cases raised up in Bangkalan District in 2015, as many as 19 case with CFR 15,79% spread in
13 subdistricts/villages. This study was to analyze the risk factors the corelated factors to dipheria cases of
children with case control design and analyses data using computer computing. It condusted in July-December
2016 by using questionnaire, interviews, observation, and measurement. Total sample was 48 respondents
which number of case 8 respondents and number of control 40 respondents. Variabel in this study were
characteristic (age, sex, level of education), the completeness of immunization DPT, and the condition of
the physical environment of the house. Characteristic (level of education), the completeness of immunization
DPT, and the condition of the physical environment of the house had corelated to diptheria cases. The most
influential variable was the completeness of immunization DPT (p value = 0,037; OR = 4,667). Health
workers in particular in collaboration with the village midwife cadres need to increase it’s role as educator and
conselor in providing information in the form of outreach to the community related to the risk of transmission
of diphtheria and immunization basics awarding benefits to the entire Neighborhood/village at Posyandu
activities until it reaches the target UCI.
Keywords: risk factors, diphtheria cases, Bangkalan sub district Health Centers

PENDAHULUAN diphtheria (Kementerian Kesehatan, 2014). Menurut


Purwana (2010) bahwa semua glongan umur dapat
Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheria,
pada usia anak 5-7 tahun. Penyakit infeksi akut namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia
yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium kurang dari 15 tahun dan yang tidak mendapatkan

©2016 FKM_UNAIR All right reserved. Open access under CC BY – SA license doi:10.20473/jbe.v5i1.2017.26-36
Received 29 December 2016, received in revised form 18 January 2017, Accepted 19 January 2017, Published online: 28 April 2017
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 27

imunisasi dasar. Golongan umur yang sering terkena Tanjung Bumi (1 kasus), Kecamatan Sepulu (2
difteri adalah 5-7 tahun. Jarang ditemukan pada kasus), dan Kecamatan Klampis (3 kasus). Jumlah
bayi yang berusia di bawah 6 bulan dikarenakan, kematian sebanyak 3 orang terjadi di wilayah kerja
adanya imunitas pasif melalui plasenta dari ibunya. Puskesmas Bangkalan, Geger, dan Tanjung Bumi.
Bahkan juga jarang pada usia di atas 10 tahun. Dan Tahun 2015 berdasarkan indikator keberhasilan
jenis kelamin yang sering menderita difteri adalah program imunisasi DPT berdasarkan RPJM dan
perempuan dikaitkan dengan daya imunitasnya yang Kementerian Kesehatan bahwa prosentasi desa
rendah. Menurut Setyowati (2011) kasus difteri yang telah mencapai Universal Child Immunization
pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor (UCI) mencapai 183 desa (65,1%). Angka tersebut
risiko seperti status gizi anak, status imunisasi yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya
tidak lengkap, serta adanya riwayat kontak dengan yaitu pada tahun 2014 sebanyak 201 desa UCI
si penderita. (71,5%). Sementara bila dilihat dari pencapaian
Di Indonesia difteri tersebar merupakan masalah imunisasi dasar lengkap tahun 2015 sebanyak
kesehatan berbasis lingkungan yang tersebar di 11,567 (77,57%). Dan capaian ini juga menurun
seluruh dunia. Di Asia Tenggara (South East Asia dibandingkan pada tahun sebelumnya dimana pada
Regional Office) pada Tahun 2011 Indonesia tahun 2014 mencapai 88% (Dinkes Kabupaten
menduduki peringkat kedua dengan 806 kasus Bangkalan, 2015).
difteri setelah India jumlah kasus difteri 3485 dan Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Nepal merupakan negara ketiga 94 kasus difteri. Bangkalan-Madura (2015) diketahui bahwa difteri
Pada tahun 2010 Indonesia negara kedua tertinggi merupakan 10 penyakit berbasis lingkungan
dengan 432 kasus difteri. Sedang kan kasus difteri tertinggi di Kabupaten Bangkalan antara lain: ISPA
tertinggi pertama di dunia tahun 2011 adalah India (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) berjumlah 8.604
dengan 3485 kasus (WHO, 2012). kasus (15,12%), diare dengan berjumlah 6.542
Pada Tahun 2011, jumlah kasus difteri di kasus (11,50%), penyakit otot berjumlah 3.028
Indonesia tersebar 18 provinsi dengan total 811 kasus (5,32%), difteri berjumlah 2.752 (4,84%),
kasus dengan 38 orang meninggal yaitu di Provinsi gastritis berjumlah 2.507 kasus (4,41%), penyakit
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, darah tingi berjumlah 2.389 kasus (4,20%),
Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DKI penyakit gizi berjumlah 2.157 kasus (3,79%), asma
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah berjumlah 2.039 kasus (3,58%), stomatis berjumlah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan 1.900 kasus(3,34%), dan TB.Paru berjumlah 1.680
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, kasus (2,95%). Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Bali. di Kabupaten Bangkalan terjadi pada tahun 2015
Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri sebanyak 296 berdasarkan hukum pernyataan KLB oleh Gubernur
kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 16 Jawa Timur. Distribusi kasus difteri terjadi di 19
orang dengan nilai CFR disteri sebesar 4,0%. Dari Kelurahan/Desa dengan jumlah kematian sebanyak
22 provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, 3 orang dengan jumlah kasus sebanyak 19 kasus
provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur dengan nilai CFR 15,79%.
yaitu sebanyak 295 kasus yang berkonstribusi Pemahaman mengenai difteri dan hal apa saja
sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, sebanyak yang perlu diperhatikan sebagai faktor risiko
37% tidak mendapakan vaksin campak (Kementerian penyebab difteri anak masih sangat terbatas bagi
Kesehatan, 2014). tenaga kesehatan terutama dalam hal mendiagnosis
Kasus difteri meningkat setiap tahunnya di suatu penyakit diperlukan pemeriksaan yang tepat.
Provinsi Jawa Timur yang tersebar di kabupaten/ Apabila terjadi keterlambatan dalam mendiagnosis
kota yang dengan angka kematian yang cukup tinggi. maka akan menyebabkan pula terlambatnya
KLB difteri ditetapkan di Jawa Timur. Tahun 2015 penanganan medis akibatnya akan timbul komplikasi
di Kabupaten/Kota Bangkalan mengalami kenaikan klinik yang fatal bahkan menyebabkan kematian.
pada tahun 2014 sebanyak 11 kasus sedangkan Diperlukan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi
distribusi kasus difteri pada tahun 2015 meningkat dan mendeteksi secara dini mengenai faktor yang
sebanyak 19 dengan nilai CFR 15,79% yang tersebar berhubungan dengan terjadinya difteri anak.
di beberapa kecamatan dan 5 kecamatan dengan Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penelitian
kasus tertinggi antara lain di Kecamatan Geger (2 ini dilaksanakan guna menganalisis terhadap
kasus), Kecamatan Bangkalan (3 kasus), Kecamatan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya
28 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36

kasus difteri pada anak yang diharapkan dapat dalam penelitian ini, antara wawancara dilakukan
membantu dalam memudahkan saat mendiagnosis kepada responden (Ibu/Wali) dengan menggunakan
dan mempercepat penanganan penyakit difteri pada kuesioner guna mendapatkan informasi tentang
anak. karakteristik (umur, jenis kelamin, dan tingkat
pendididikan), panduan observasi guna mendapatkan
informasi mengenai status imunisasi DPT pada
METODE
anak dilihat dengan kepemilikan buku KMS/KIA/
Penelitian ini menggunakan desain studi case buku kesehatan anak lainnya dan pengukuran
control untuk menganalisis hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah yaitu luas ruangan
karakteristik, status imunisasi DPT, dan kondisi dan lua ventilasi dengan menggunakan rollmeter,
lingkungan fisik rumah dengan kasus difteri anak kelembaban menggunakan termohigrometer, dan
di Puskesmas Bangkalan sejak Januari-September pada pencahayaan alami pengukuran menggunakan
2016 dengan membandingkan antara kelompok luxmeter kemudian hasil pengukuran dibandingkan
kasus dan kelompok kontrol. Populasi dalam dengan Permenkes RI No.1077 Tahun 2011 tentang
penelitian ini adalah semua anak umur 1-7 tahun Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah.
yang dinyatakan difteri oleh Dokter dan tercatat Analisis univariat dilakukan guna melihat
dalam data rekam medik di wilayah kerja Puskesmas distribusi frekuensi masing-masing variabel yang
Bangkalan sebagai kasus baru yang terdaftar mulai diteliti. Dan analisis bivariat dilakukan guna
01 Januari sampai 30 September 2016. mengetahui terdapat hubungan yang bermakna
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari kasus antara variabel bebas dan variabel terikat. Uji
dan kontrol. Sampel kasus adalah semua anak umur statistik yang digunakan adalah uji chi-square
1-7 tahun yang dinyatakan difteri oleh Dokter. dengan melihat derajat kemaknaan hubungan
Sedangkan sampel kontrol adalah semua anak umur apabila nilai p < 0,05 (p < α) yang artinya terdapat
1-7 tahun yang bukan penderita difteri di Puskesmas hubungan.
Bangkalan. Adapun besar sampel dalam penelitian Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari
ini sebagai berikut : komisi etik penelitian kesehatan Fakultas Kesehatan
Besar sampel menurut (Lemeshow (1997) Masyarakat Universitas Airlangga pada tanggal 24
Oktober 2016 dengan No : 557-KEPK.

HASIL
Keterangan :
n = besar sampel minimum Dari hasil perhitungan besar sampel didapatkan
α = tingkat kemaknaan (0,05) bahwa jumlah sampel minimal yang harus diambil
β = kekuatan uji (80%) terbesar sebanyak 40 orang, dengan perbandingan
P2 = proporsi pada kelompok kontrol besar sampel antara kasus : kontrol = 1:5, dimana
P1 = proporsi pada kelompok kasus sampel terdiri dari 40 orang sebagai kolompok
kasus. Namun, berdasarkan data rekam medik
Cara penentuan sampling yang digunakan diketahui bahwa jumlah penderita difteri anak di
adalah sampel acak (random) atau probability Puskesmas Kecamatan Bangkalan sejak 1 Januari
sampling, bahwa sampel yang diambil sedemikian hingga 30 September 2016 yang memenuhi kriteria
rupa sehingga tiap unit sampel dari populasi sebanyak 8 orang dan 40 orang sebagai kontrol.
mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih
sebagai sampel. Variabel dalam penelitian ini dibagi Karakteristik
menjadi dua yaitu variabel bebas (independent) Variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi
adalah karakteristik (umur, jenis kelamin, dan karakteristik adalah umur dan jenis kelamin anak,
tingkat penidikan), status imunisasi DPT, kondisi tingkat pendidikan responden, dan status imunisasi
lingkungan fisik rumah (dinding rumah, keberadaan DPT dalam bentuk kuisioner dan panduan observasi
langit-langit rumah, keberadaan lantai rumah, di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Hasil analisis
kelembaban, pencahayaan alami, ventilasi/jendela karakteristik di Puskesmas Bangkalan Tahun
rumah, tingkat kepadatan hunian) dan variabel 2016 disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel
terikat (dependent) adalah kasus difteri anak. 1 diketahui bahwa analisis umur untuk dari dua
Teknik pengumpulan data yang digunakan kelompok baik kelompok kasus maupun kelompok
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 29

kontrol jumlah distribusi umur anak terbanyak Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
adalah 1-4 tahun berjumlah 27 orang (56,2%), Variabel untuk mengidentifikasi kondisi
karena mengingat kasus difteri jarang terjadi pada lingkungan fisik rumah menggunakan panduan
anak usia di atas 10 tahun. observasi penilaian rumah sehat yang telah
Berdasarkan hasil analisis jenis kelamin diketahui dimodifikasi berdasarkan Permenkes 1077 Tahun
bahwa sebagian besar berjenis kelamin laki-laki 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
berjumlah 26 orang (54,2%) karena mayoritas Ruang Rumah dengan 7 variabel .
jumlah penduduk terbanyak berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 46.975 jiwa. Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
Variabel untuk mengidentifikasi kondisi
Tabel 1. Karakteristik di Puskesmas Bangkalan lingkungan fisik rumah menggunakan panduan
Tahun 2016 observasi penilaian rumah sehat yang telah
dimodifikasi berdasarkan Permenkes 1077 Tahun
Kelompok Kelompok 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
Karakteristik Kasus Kontrol Ruang Rumah dengan 7 variabel .
Responden Variabel tersebut sesuai dengan kebutuhan
f % f %
penelitian yaitu dinding rumah, keberadaan langit-
Umur langit rumah, keberadaan lantai rumah, kelembaban,
1-4 tahun 5 62,5 22 55 pencahayaan alami, ventilasi/jendela rumah, dan
5-7 tahun 3 37,5 18 45 tingkat kepadatan hunian. Hasil analisis mengenai
kondisi lingkungan fisik rumah di Puskesmas
Jenis Kelamin
Bangkalan Tahun 2016 disajikan dalam Tabel 2.
Laki-laki 5 62,5 21 52,5 Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari hasil
Perempuan 3 37,5 19 47,5 analisis kondisi lingkungan fisik rumah di Puskesmas
Tingkat Pendidikan Bangkalan Tahun 2016 baik dari kelompok kontrol
maupun kelompok kasus adalah sebagai berikut:
SD 2 25,0 3 7,5
untuk kondisi dinding rumah diketahui bahwa
SMP 2 25,0 4 10,0 semua rumah sebanyak 48 (100%) terbuat dari
SMA 4 50,0 13 32,5 bahan/material dari bata/batako.
PT 0 0 20 50,0 Keberadaan langit-langit rumah sebagian besar
Status Imunisasi DPT terbuat dari bahan/material gipsum berjumlah
29 rumah dengan prosentase sebesar 39,6%.
Lengkap 3 37,5 9 22,5
Keberadaan lantai rumah sebagian besar terbuat
Tidak dari papan/keramik berjumlah 30 rumah (62,5%).
5 62,5 31 77,5
Lengkap Namun, untuk kondisi kelembaban diketahui
bahwa semua rumah sebanyak 48 rumah dengan
nilai prosentase sebesar 100% telah melebihi batas
Berdasarkan hasil analisis tingkat pendidikan
syarat yang ditetapkan berdasarkan Permenkes
diketahui bahwa semua responden pernah
RI No.1077 Tahun 2011 bahwa batas minimal
mengenyam pendidikan formal. Dan sebagian besar
kelembaban sebesar 40-60%.
berpendidikan perguruan tinggi (PT) sebanyak
Kondisi pencahayaan alami di dalam rumah
20 orang (41,7%) karena tingkat pendidikan akan
terbanyak dalam kondisi tidak memenuhi syarat
mempengaruhi tingkat pengetahuan responden.
yaitu ≤ 60 lux berjumlah 35 rumah (72,9%).
Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa
Kondisi ventilasi/jendela rumah untuk kelompok
sebagian besar anak dengan status imunisasi DPTtidak
kontrol diketahui bahwa kondisi ventilasi/jendela
lengkap berjumlah 34 orang (70,8%) dikarenakan
rumah terbanyak adalah kondisi yang memenuhi
kesibukan responden yang lupa membawa anak
syarat yaitu ≥ 20 m2 berjumlah 32 rumah (80,0%).
untuk mendapatkan imunisasi mengingat sebagian
Namun, untuk kelompok kasus diketahui bahwa
besar pernah mengenyam pendidikan formal
kondisi ventilasi/jendela rumah terbanyak adalah
dan dengan alasan ketidakmudahan akses untuk
kondisi yang tidak memenuhi syarat yaitu ≤ 20 m2
mencapai sarana pelayanan kesehatan.
berjumlah 6 rumah (75,0%).
30 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36

Tabel 2. Distribusi Kondisi Lingkungan Fisik Rumah di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016

Kelompok Kelompok
Variabel Kondisi Jumlah
Kontrol Kasus
Lingkungan Fisik Rumah
f % f % f %
Dinding Rumah
Bata/Batako 40 100,0 8 100,0 48 100,0
Papan kayu 0 0 0 0 0 0
Triplek 0 0 0 0 0 0
Keberadaan Langit-langit Rumah
Gipsum 27 67,5 2 25,0 29 39,6
Triplek/Asbes 13 32,5 6 75,0 19 60,4
Anyaman bambu 0 0 0 0 0 0
Keberadaan Lantai Rumah
Papan/keramik 25 62,5 5 62,5 30 62,5
Plester (bersih) 15 37,5 3 37,5 18 37,5
Plester yang retak 0 0 0 0 0 0
Kelembaban
Tidak memenuhi syarat 40 100,0 8 100,0 48 100,0
Memenuhi Syarat 0 0 0 0 0 0
Pencahayaan Alami
Tidak memenuhi syarat 31 77,5 4 50,0 35 72,9
Memenuhi Syarat 9 22,5 4 50,0 13 27,1
Ventilasi/Jendela Rumah
≤ 20 m2 8 20,0 6 75,0 14 29,2
≥ 20 m2 32 80,0 2 25,0 34 70,8
Kepadatan Hunian
Tidak memenuhi syarat 9 22,5 8 100,0 17 35,4
Memenuhi Syarat 31 77,5 0 0 31 64,6

Kepadatan hunian untuk kelompok kontrol jendela rumah, dan kepadatan hunian. Namun, ada
yang terbanyak adalah kondisi yang memenuhi variabel melebihi batas syarat yaitu kelembaban
syarat berjumlah 31 rumah (77,5%). Namun, untuk yang melebihi batas 40%-60% Rh, pencahayaan
kelompok kasus kepadatan hunian terbanyak adalah alami melebihi batas syarat < 60 lux.
tidak memenuhi syarat berjumlah 8 rumah (100%).
Dikatakan tidak memenuhi syarat apabila luas Hubungan Antara Karakteristik Dengan Kasus
ruangan dibandingkan dengan jumlah penghuni Difteri Anak
adalah ≤ 4m2/orang.
Variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi
Tabel 2 menyimpulkan bahwa untuk kondisi
karakteristik adalah umur dan jenis kelamin anak,
lingkungan fisik rumah di Puskesmas Bangkalan
tingkat pendidikan responden, dan status imunisasi
Tahun 2016 diketahui bahwa secara keseluruhan
DPT. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas
untuk 7 variabel rumah sehat yang memenuhi batas
Bangkalan Tahun 2016. Untuk kelompok kasus pada
syarat sesuai Permenkes RI No 1077 Tahun 2011
penelitian ini adalah anak yang berusia 1-7 tahun
tentang Pedoman Penyehatan Udara Ruang Dalam
yang telah didiagnosis oleh dokter dari data rekam
Rumah adalah dinding rumah, keberadaan langit-
medik Puskesmas. Sedangkan untuk kelompok
langit rumah, keberadaan lantai rumah, ventilasi/
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 31

kontrol dalam penelitian ini adalah anak usia 1-7 Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Didapatkan
tahun yang tidak menderita difteri. nilai OR sebesar 1,67 artinya responden dengan
Anak usia sekolah cenderung lebih banyak tingkat pendidikan rendah 1,67 kali lebih berisiko
berinteraksi dengan orang lain. Selain sering menderita difteri dibandingkan responden dengan
berinteraksi dengan keluarga dan tetangga juga sering tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi.
berinteraksi dengan teman sekolah dan guru, yang Pada variabel status imunisasi DPT diketahui
terkadang bukan berasal dari desa/wilayah setempat. bahwa nilai p sebesar 0,037 atau nilai p<0,05
Hal ini menyebabkan peluang lebih banyak untuk (p<α). Yang artinya, terdapat hubungan antara
terpapar bakteri C. Diptheriae. Berdasarkan hasil status imunisasi DPT dengan kasus difteri anak di
analisis hubungan antara karakteristik (umur, jenis Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Didapatkan nilai
kelamin, tingkat pendidikan, dan status imunisasi OR sebesar 4,667 artinya responden dengan status
DPT) dengan kasus difteri anak di Puskesmas imunisasi tidak lengkap 4,667 kali lebih berisiko
Bangkalan disajikan dalam Tabel 3. menderita difteri dibandingkan responden dengan
status imunisasi lengkap.
Tabel 3. Hubungan Karakteristik Dengan Tingginya
Kasus Difteri Anak di Puskesmas Bangkalan Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Fisik
Tahun 2016 Rumah Dengan Kasus Difteri Anak di Puskesmas
Bangkalan Tahun 2016
P
Variabel f % OR Setelah melakukan panduan observasi terhadap
Value
kondisi lingkungan fisik rumah berdasarkan
Umur Permenkes RI No.1077 Tahun 2011 kemudian
1-4 tahun 27 56,2 menguji dengan uji statistik chi-square maka
0,151 0,85
5-7 tahun 21 43,8 diperoleh nilai p untuk masing-masing variabel
Jenis Kelamin kondisi lingkungan fisik rumah (dinding rumah,
keberadaan langit-langit, keberadaan lantai rumah,
Laki-laki 26 54,2
0,710 1,08 kelembaban, pencahayaan alami, ventilasi/jendela
Perempuan 22 45,8 rumah, dan kepadatan hunian) adalah diperoleh
Tingkat Pendidikan p sebesar 0,008 atau nilai p < 0,05 (p < α). Yang
SD 5 10,4 artinya, terdapat hubungan antara kondisi lingkungan
fisik rumah dengan tingginya kasus difteri anak di
SMP 6 12,5
0,016 1,67 Puskesmas Bangkalan Tahun 2016.
SMA 17 35,4 Komponen kondisi lingkungan fisik yang
PT 20 41,7 berhubungan dengan tingginya kasus difteri anak
Status Imunisasi DPT adalah keberadaan lantai rumah, kelembaban,
ventilasi/jendela rumah, dan kepadatan hunian.
Lengkap 14 29,2
0,037 4,667 Didapatkan nilai OR sebesar 4,18 yang artinya
Tidak lengkap 34 70,8 responden dengan kondisi lingkungan fisik rumah
yang tidak memenuhi syarat berisiko 4,18 kali
Hasil analisis hubungan diperoleh bahwa menderita difteri dibandingkan dengan kondisi
nilai p untuk variabel umur sebesar 0,151 atau lingkungan fisik rumah yang memenuhi syarat.
nilai p > 0,05 ( p > α). Yang artinya, tidak ada
hubungan antara karakteristik umur anak dengan Faktor Paling Dominan Yang Berhubungan
kasus difteri anak di Puskesmas Bangkalan Tahun Dengan Kasus Difteri Anak di Puskesmas
2016. Pada variabel jenis kelamin diperoleh nilai Bangkalan Tahun 2016
p sebesar 0,710 atau nilai p > 0,05 ( p > α). Yang
artinya, tidak ada hubungan antara karakteristik Pemilihan faktor paling dominan dilakukan
jenis kelamin anak dengan kasus difteri anak di dengan analisis bivariat untuk mengetahui
Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. hubungan dari masing-masing variabel dependen
Pada variabel tingkat pendidikan diperoleh nilai dengan variabel independen. Dimana, variabel yang
p sebesar 0,016 atau nilai p < 0,05 ( p < α). Yang dapat masuk dalam analisis bivariat yaitu variabel
artinya, terdapat hubungan antara karakteristik yang memiliki nilai p value < 0,05 serta variabel
tingkat pendidikan dengan kasus difteri anak di yang masuk dengan memperhatikan proporsi kasus
32 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36

dan substansi dari hipotesa penelitian. Adapun Tingkat pendidikan merupakan salah satu
selengkapnya disajikan pada Tabel 4. faktor yang mempunyai peranan dalam penularan
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa variabel difteri. Diketahui bahwa tingkat pendidikan akan
yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap mempengaruhi cara berpikir seseorang terutama
tingginya kasus difteri anak dilihat dari nilai OR dalam memahami informasi dari kegiatan penyuluhan
yang tertinggi. Dimana semakin besar nilai OR serta bagaimana cara kegiatan pencegahan yang
suatu variabel independen maka semakin besar tepat guna meningkatkan derajat kesehatan (Utami,
pengaruhnya terhadap variabel tingginya kasus 2010).
difteri anak. Dengan demikian dalam penelitian Secara tidak lain diketahui bahwa tingkat
ini diketahui bahwa faktor paling dominan yang pendidikan tidak lepas dari proses belajar. Dimana
berhubungan dengan tingginya kasus difteri anak proses belajar adalah suatu usaha untuk memahami
di Puskesmas Kecamatan Bangkalan Tahun 2016 pengetahuan yang dapat memberi bermanfaat demi
adalah status imunisasi DPT. kelangsungan hidup. Oleh sebab itu, diharapkan
reponden dapat menerapkan pengetahuan yang
Tabel 4. Faktor Paling Dominan Dengan Kasus dimiliki ke dalam kehidupan sehari-hari terutama
Difteri Anak di Puskesmas Bangkalan yang berkaitan terhadap pencegahan penyakit difteri
Tahun 2016 pada anak terutama dalam pelaksanaan kelengkapan
status imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)
Variabel P Value OR guna mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus
(Notoatmodjo, 2007).
Status Imunisasi DPT 0,037 4,667
Status Imunisasi DPT
Tingkat Pendidikan 0,016 1,67
Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang
Kondisi Lingkungan
0,003 4,18 kesehatan, disebutkan bahwa pemberian imunisasi
Fisik Rumah
merupakan salah satu upaya yang dilakukan guna
mencegah terjadinya penyakit menular yang
PEMBAHASAN merupakan salah satu kegiatan prioritas dari
Kementerian Kesehatan sebagai salah satu bentuk
Karakteristik nyata dan komitmen pemerintah untuk mencapai
Sebagian besar kejadian difteri jarang terjadi Millenium Development Goals (MDGs) khususnya
pada anak umur di bawah 6 bulan dikarenakan untuk menurunkan angka kematian pada anak.
pada umur tersebut terkadang masih memiliki daya Oleh sebab itu imunisasi dianggap sebagai salah
imunitas pasif melalui plasenta yang diperoleh dari satu upaya pencegahan kesehatan masyarakat yang
ibunya. Dan jarang pula terjadi pada anak umur di sangat penting.
atas 10 tahun (Purwana dan Djaja , 2008). Hal ini Program imunisasi dapat menunjukkan
sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh suatu keberhasilan program yang luar biasa dan
Azwar (2009) bahwa pertambahan umur dapat merupakan usaha yang sangat hemat biaya dalam
meningkatkan risiko menderita difteri apabila tidak mencegah penyakit menular. Data dinas kesehatan
mendapatkan vaksin yang dilakukan berulang yaitu Kabupaten Bangkalan (2015) menunjukkan bahwa
sebanyak 3 kali. kelengkapan imunisasi DPT pada kasus difteri tahun
Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko menderita 2014 diketahui bahwa adanya penderita difteri
difteri daripada jenis kelamin perempuan dikarenakan dengan status imunisasi DPT tidak lengkap sebesar
anak laki-laki lebih sering menghabiskan aktivitas di (18%) dan yang tidak mendapatkan imunisasi DPT
luar rumah dibandingkan dengan anak perempuan. sebesar (82%).
Aktivitas di luar rumah memiliki potensi yang lebih Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia
besar sebagai faktor penularan penyakit difteri. yaitu Provinsi Jawa Timur, diketahui bahwa salah
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang satu faktor risiko penularan difteri yaitu dapat dilihat
dikemukakan oleh dua peneliti yaitu (Patel, 2006) dari pencapaian program imunisasi DPT apakah telah
dan (Sudoyo dkk, 2006) bahwa anak dengan jenis memenuhi target atau sebaliknya belum memenuhi
kelamin laki-laki memiliki risiko yang lebih besar target. Dari hasil penelitian oleh (Mustikawati,
menderita difteri dibandingkan anak perempuan. 2012) diketahui bahwa cakupan imunisasi DPT
masih belum mencapai target 100% (Tahun 2012 :
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 33

74,6%, Tahun 2011 : 97,81%, Tahun 2010 : 98,08%, syarat yaitu ≥ 20 m2 namun, sebanyak 14 rumah
Tahun 2009 sebesar 99,09% dan Tahun 2008 : harus perlu untuk diwaspadai sebab kurangnya
92,57%). Daya imunitas individu dipengaruhi oleh pertukaran udara akan menyebabkan kurangnya O2
frekuensi pemberian imunisasi dasar pada usia anak. dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat
Pemberian vaksin dengan frekuensi sebanyak 2 kali racun bagi penghuninya menjadi meningkat.
dengan 3 kali sistem imunitas meningkat lebih besar Disamping itu tidak cukupnya udara yang masuk
dibandingkan dengan pemberian vaksin yang hanya akan menyebabkan kelembaban dalam ruangan naik
dilakukan dengan frekunsi sebanyak 1 kali (Lubov, karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit
2011). dan penyerapan (Permenkes No. 1077, 2011).
Kepatuhan responden untuk tetap melakukan Kepadatan hunian diperoleh dari luas lantai
imunisasi DPT pada anak sesuai jadwal yaitu dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota
sebanyak 3 kali dilakukan oleh 3 orang pada keluarga penghuni di rumah tersebut. Luas ruangan
kelompok kasus, sedangkan kelompok kontrol yang harus cukup untuk penghuni, dimana luas ruangan
melakukan imunisasi DPT sebanyak 3 kali hanya disesuaikan dengan jumlah penghuni. Apabila luas
berjumlah 9 orang. Hal ini disebabkan karena yang tidak sebanding jumlah penghuninya akan
kesibukan bekerja. Ibu yang bekerja cenderung lebih menyebabkan overcrowded (Kusno, 2000).
sibuk sehingga anak terlambat untuk mendapatkan
imunisasi sesuai jadwal Posyandu. Status imunisasi Hubungan Antara Karakteristik Dengan
yang tidak lengkap akan berpengaruh kejadian Tingginya Kasus Difteri Anak di Puskesmas
penularan penyakit difteri pada anak dengan risiko Bangkalan Tahun 2016
yang lebih besar dibandingkan dengan anak dengan Umur merupakan salah satu faktor risiko sebagai
status imunisasi yang lengkap (Utami, 2010). tolak ukur menentukan derajat kesehatan. Tidak ada
hubungan antara umur anak yang kurang dari 6
Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
tahun dengan kejadian difteri di Kabupaten Cianjur
Dari hasil penelitian diketahui bahwa semua (Sitohang, 2006). Dari hasil analisis hubungan
kondisi dinding rumah telah memenuhi syarat. Hasil diketahui bahwa tidak ada hubungan antara
penelitian ini didukung dengan pendapat yang oleh karakteristik jenis kelamin anak dengan tingginya
Purwanto (2011) tentang kondisi dinding rumah kasus difteri anak di Puskesmas Kecamatan
yang tidak memenuhi syarat yaitu dengan kondisi Bangkalan Tahun 2016.
dinding tidak rapat contohnya papan, kayu, dan Sebaran penyakit difteri erat kaitannya dengan
bambu menyebabkan timbulnya penyakit, karena jumlah populasi laki-laki dan perempuan di
kondisi lingkungan yaitu kecepatan dan arah angin suatu daerah. Karena proposi jenis kelamin akan
langsung masuk ke dalam rumah. menentukan lebih tingginya distribusi frekuensi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor penyakit pada laki-laki dibandingkan perempuan,
1077 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyehatan dimana diketahui bahwa laki-laki merupakan
Udara Dalam Ruang Rumah menyatakan bahwa populasi yang paling berisiko.
kadar yang dipersyaratkan untuk parameter suhu Menurut Setyowati (2011) ditekankan bahwa
adalah 18°-30°C dan kelembaban 40-60% Rh. jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian difteri di
Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa Kota Surabaya. Hal ini diperkuat dengan teori yang
kelembaban yang diperoleh sebesar 61-64%, hal menyatakan bahwa pada distribusi berdasarkan jenis
ini menunjukkan bahwa kelembaban udara telah kelamin diketahui bahwa laki-laki memiliki proporsi
melebihi batas syarat. tertinggi rentan menderita difteri dibandingkan
Kelembaban yang melebihi batas syarat dapat perempuan. Dengan alasan jenis kelamin laki-laki
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme merupakan rasio tertinggi pada populasi tersebut
khusunya bakteri Corynebacterium diphtheria (Sitohang, 2006).
(Lubov, 2011). Upaya penyehatan yang dapat Menurut Notoatmodjo (2007) mengatakan
dilakukan apabila kelembaban udara melebihi batas bahwa tingkat pendidikan tidak lepas dari proses
syarat yaitu > 60% adalah memesang genteng kaca, belajar. Dengan kata lain belajar adalah usaha
menggunakan alat untuk menurunkan kelembaban untuk menguasai informasi yang berguna untuk
seperti humidifier (alat pengatur kelembaban kelangsungan hidup. Hal ini didukung penelitian
udara). Meskipun kondisi ventilasi/jendela udara (Arthika, 2012) yaitu terdapat hubungan bermakna
rumah masih dalam kadar normal dan memenuhi antara tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan,
34 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36

pengetahuan dengan kejadian penyakit difteri. tubuh lebih lemah dibandingkan dengan kelompok
Sedangkan menurut Nuruaprilyanti (2009) orang dewasa. Kartono (2007) menyatakan bahwa
menyatakan bahwa tingkat pengetahuan, sikap, ada hubungan bermakna antara kelengkapan status
tingkat pendidikan, sarana prasarana menuju imunisasi DPT dengan kejadian difteri di Kabupaten
pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, dan Garut dan Kabupaten Tasikmalaya.
pemahaman informasi terkait kegiatan penuluhan
memiliki hubungan terhadap kejadian penularan Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Fisik
penyakit difteri. Rumah Dengan Tingginya Kasus Difteri Anak di
Penyakit difteri berkaitan erat dengan dengan Puskesmas Bangkalan Tahun 2016
status imunisasi individu. Mengingat daya tahan Rumah yang sehat memiliki ciri yaitu lantai
tubuh diperoleh dari pemberian vaksin. Penelitian rumah yang sesuai dengan syarat kesehatan yaitu
ini sejalan dengan penelitian oleh (Lia, 2010) terbuat dari bahan yang kedap air, tidak lembab,
didapatkan hasil bahwa pemberian imunisasi tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm
DPT lengkap pada usia anak memiliki hubungan dari badan jalan (Keman, 2005). Hasil penelitian ini
dengan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan sejalan dengan (Fajar, dkk 2010) bahwa tingginya
serta sikap Ibu. Kelengkapan status imunisasi difteri pada anak memiliki hubungan bermakna
DPT pada kasus difteri di Bangkalan Tahun 2014 dengan kondisi jenis lantai. Artinya responden
selalu menunjukkan adanya penderita dengan status yang tinggal di rumah dengan kondisi lantai
imunisasi tidak lengkap sebesar (18%) dan yang rumahnya tidak memenuhi syarat berpeluang lebih
tidak mendapatkan imunisasi sebesar (82%) (Dinas besar dibandingkan responden yang kondisi lantai
Kesehatan Kabupaten Bangkalan, 2014). Hal rumahnya memenuhi syarat. Lantai rumah akan
ini didukung dari beberapa penelitian yang telah mempengaruhi kelembaban ruangan, sebagaimana
dilakukan seperti di India Tahun 2002 didapatkan yang disebutkan oleh Lubis (2004), bahwa kondisi
kasus difteri mencapai > 60% dari 189 kasus tanpa kelembaban dipengaruhi oleh kondisi tanah.
imunisasi. Quick di Georgia melaporkan kasus Kriteria suhu yang memenuhi syarat berkisar 18°C-
difteri dengan jumlah sebanyak 219 kasus tanpa 30°C. Hasil penelitian diperoleh bahwa suhu rumah
imunisasi. Daya tahan tubuh terhadap penyakit sebesar 31°C.
difteri dipengaruhi oleh adanya antioksin di dalam Kestabilan suhu ruangan perlu dijaga karena
darah dan kemampuan seseorang untuk membentuk akan mempengaruhi kondisi lingkungan lainya
antioksin dengan cepat. seperti kelembaban. Tinggal di rumah dalam
Kemampuan ini merupakan akibat dari imunisasi kondisi kelembaban yang tidak memenuhi syarat
aktif. Beberapa penelitian sejalan yang dilakukan di memberikan peluan lebih besar terkena penyakit
Indonesia terutama di Jawa Timur Diketahui bahwa difteri dibandingkan tinggal di rumah dengan kondisi
salah satu faktor risiko terjadinya kasus difteri yaitu kelembaban yang memenuhi syarat. Kelembaban
pencapaian program imunisasi DPT menunjukkan akan mempengaruhi ada/tidaknya ventilasi serta
bahwa cakupan masih belum mencapai 100% kepatuhan untuk membuka ventilasi/jendela rumah
(Tahun 2012 : 74,6%, Tahun 2011: 97,81%, Tahun (Budiman, 2006).
2010 : 98,08%, Tahun 2009 sebesar 99,09% dan
Tahun 2008 : 92,57%) (Mustikawati, 2014). Faktor Paling Dominan Yang Berhubungan
Kadar antibodi diukur dari pemberian vaksin Dengan Tingginya Kasus Difteri Anak di
yang diterima pada saat pemberian imunisasi dasar Puskesmas Bangkalan Tahun 2016
memiliki perbedaan day imunitas pada pemberian
Hasil uji hubungan diketahui bahwa yang
vaksin jumlahnya. Terdapat perbedaan imunitas
mempunyai nilai OR tertinggi adalah variabel yang
pada frekuensi pemberian pada imunisasi 1 kali
mempunyai pengaruh lebih besar dengan tingginya
dengan 3 kali atau lebih daripada pemberian
kasus difteri anak, dimana variabel tersebut adalah
imunisasi 2 kali dengan 3 kali atau lebih. Rendahnya
status imunisasi DPT. Hal tersebut sesuai dengan
imunitas berpengaruh terhadap terjadinya
teori Notoatmojo (2007) mengatakan bahwa
difteri (Lubis,2005). Menurut Kumalaili (2011)
perilaku dibentuk karena adanya ketertarikan dari
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
kondisi kejiwaan, seperti pengetahuan dan sikap.
antara kelengkapan imunisasi DPT dan imunisasi
Dengan kata lain, pengetahuan yang baik akan
Campak dengan terjadinya difteri. Penyakit difteri
mencermikan penerapan sikap yang baik pula.
sering ditemukan pada usia anak karena daya tahan
Isnaniyanti Fajrin A., dan Corrie Indria P., Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri ... 35

Dalam perilaku kesehatan perilaku untuk tingkat pendidikan ada hubungan bermakna dengan
memberikan imunisasi dasar perlu didukung tingginya kasus difteri anak di wilayah kerja
dengan tingkat pengetahuan yang baik tentang Puskesmas Bangkalan Tahun 2016.
penyakit difteri dan program sub PIN difteri. Hal Ada hubungan antara kelengkapan status
tersebut menunjukkan bahwa Ibu dengan tingkat imunisasi DPT dengan tingginya kasus difteri
pengetahuan yang tinggi maka status imunisasi anak di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Ada
DPT pada program sub PIN anaknya akan semakin hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah
baik pula. dengan tingginya kasus difteri anak di Puskesmas
Perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu Bangkalan Tahun 2016. Faktor paling dominan
predisposing, reinforcing, enabling. Faktor yang berhubungan dengan tingginya kasus difteri
predisposing secara tidak langsung akan anak di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016 adalah
mempengaruhi terbentuknya perilaku kesehatan status imunisasi DPT dengan nilai (p value = 0,037,
yang dipengaruhi salah satunya yaitu tingkat OR = 4,667). Yang artinya responden dengan status
pengetahuan. Pengetahuan adalah modal dasar imunisasi DPT tidak lengkap memiliki 5 kali lebih
seseorang untuk menerapkan sikap dan melakukan berisiko menderita difteri dibandingkan dengan
tindakan yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa responden dengan status imunisasi DPT lengkap.
seseorang yang mempunyai pengetahuan baik
akan menunjukkan sikap yang baik pula namun Saran
sebaliknya seseorang yang pengetahuannya kurang Petugas Puskesmas angkalan khususnya bidan
akan menunjukkan sikap yang negatif. Contohnya desa hendaknya meningkatkan bekerjasama dengan
tindakan mengizinkan anak untuk mendapatkan para kader kesehatan untuk meningkatkan perannya
status imunisasi DPT lengkap juga dipengaruhi oleh sebagai educator dan conselor dalam memberikan
tingkat pengetahuan yang baik tentang penyakit informasi berupa peningkatan frekuesnsi
difteri dan bagaimana pelaksanaan program sub penyuluhan kepada masyarakat mengenai risiko
PIN difteri. Pengetahuan yang baik mengenai penularan difteri akibat pemberian imunisasi
bahaya penyakit difteri dan manfaat program sub DPT tidak lengkap serta manfaat pemberian
PIN difteri. Hal tersebut menunjukkan bahwa Ibu imunisasi dasar pada anak ke seluruh Kelurahan/
yang mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi Desa di wilayah kerja Puskesmas Bangkalan pada
maka status imunisasi DPT pada program sub PIN kegiatan Posyandu hingga mencapai target desa
anaknya akan semakin lengkap. UCI dapat terpenuhi. Untuk masyarakat sebagai
subyek yang berisiko disarankan untuk dapat lebih
SIMPULAN DAN SARAN aktif dalam mengikuti kegiatan Posyandu, serta
menyusun jadwal pemberian imunisasi dasar DPT
Simpulan pada kalender rumah sesuai dengan jadwal yang
diinformasikan oleh bidan desa, agar kesadaran
Berdasarkan karakteriktik berdasarkan kelompok
untuk menjaga kesehatan anak meningkat.
umur anak terbanyak adalah 1-4 tahun, berjenis
kelamin laki-laki, dan tingkat pendidikan terbanyak
adalah perguruan tinggi (PT). Untuk kelengkapan REFERENSI
status imunisasi DPT pada anak di Puskesmas
Azwar, A. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan
Bangkalan Tahun 2016 masih dikategorikan tidak
Lingkungan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya
lengkap.
Arthika D. 2012. Assessment Pelayanan Imunisasi
Kondisi lingkungan fisik rumah di Puskesmas
DPT di Unit Pelayanan Swasta Surabaya. Skripsi.
Bangkalan sebagian besar masih belum memenuhi
Surabaya: Universitas Airlangga; 1. http://adln.
persyaratan sesuai Permenkes RI No.1077 Tahun
fkm.unair.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=rea
2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Ruang
d&id=adlnfkm-adlndinastyart-2436 [Sitasi 18
Dalam Rumah. Hasil analisis hubungan antara
Desember 2016]
karakteristik (umur dan jenis kelamin anak, tingkat
Budiman. 2006. Penelitian Kesehatan. Bandung :
pendidikan responden) adalah sebagai berikut :
PT. Refika Adiatama.
tidak ada hubungan antara karakteristik umur dan
Dinkes Kabupaten Bangkalan. 2015. Ringkasan
jenis kelamin anak dengan tingginya kasus difteri
Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan
anak. Namun, untuk karakteristik berdasarkan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan
36 Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, hlm. 26-36

Fajar. N. A, Purba. I. G. 2010. Hubungan Kondisi Mustikawati, D. 2012. Faktor karakteristik individu
Fisik Rumah dan Perilaku Keluarga Terhadap yang mempengaruhi penularan penyakit difteri
Kejadian Difteri Pada Balita Di Kelurahan di kabupaten Situbondo. Jurnal Kesehatan
Cambai Kota Prabumulih tahun 2010. Jurnal Masyarakat. 20(5):pp.34-35
Pembangunan Manusia. Volume. 4, Nomor. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu
12, Universitas Sriwijaya. Mei 2010. Hal. 1-15. Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta
Diakses pada 06 Desember 2016 pukul 21.42 Nuruaprilyanti, I. 2009. Faktor-faktor yang
http꞉balitbangnovdasumsel.com/data/ Berhubungan Dengan Perilaku Ibu dalam
download/2 0140128150303/pdf. Pemberian Imunisasi DPT Pada Bayi di
Kartono, B. 2007. Hubungan Lingkungan Rumah Kecamatan Pancoran Mas Depok Tahun 2009.
Dengan Kejadian Difteri Pada Kejadian Luar Skripsi. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat
Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya Universitas Indonesia
Tahun 2005-2006 dan di Kabupaten Garut Bulan Patel, UV. 2006. A retrospective study of diphtheria
Januari Tahun 2007. Tesis Program Magister cases, Rakjot, Gujarat.Indian Journal of
Program Studi ilmu Kesehatan Masyarakat Community Medicine, Vol. XXIX, no. 4. Oktober-
Universitas Indonesia, Jakarta. Desember 2004. p. 161-163
Keman, S. 2005. Kesehatan perumahan dan Purwana, dan Djaja. 2008. Hubungan Lingkungan
lingkungan pemukiman. Jurnal Kesehatan Rumah dengan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Lingkungan. Vol 2(1):,pp.29-42 difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005–2006)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. dan Garut Januari 2007 Jawa Barat. Jurnal
Perkembangan Kasus Difteri dan Distribusi Kesehatan Lingkungan Indonesia, vol.11 No.1
Kasus Difteri di Kabupaten/Kota Tahun 2010- Hal 82. Diunduh dari http://journal.ui.ac.id/
2014. Kemenkes RI Jakarta upload/artikel/02 pada 28 Desember 2016
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Purwanto, A. 2011. Faktor yang Berhubungan
2011. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor dengan Tindakan Ibu dalam Pemberian Imunisasi
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Dasar pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah Bajeng Bajeng Kabupaten Gowa. Skripsi.
Kumalaili, N. 2011. Gambaran Pengetahuan Ibu Fakutas Kesehatan Masyarakat Universitas
tentang Imunisasi DPT HB Combo Polindes Hasanuddin: 1-8
Labang Sreseh kabupaten Sampang. KTI. Stikes Setyowati N. 2011. Faktor yang mempengaruhi
Yarsi;1. Diunduh dari:http://share.stikesyarsis. Kontak Positif Difteri di Kabupaten Jember.
ac.id/elib/main/dok/00295 pada 08 Desember Tesis. Jember: Universitas Jember. Diunduh
2016 dari: http://digilib.unej.ac.id/gdl42/ gdl.php?mo
Kusno, Y. 2013. Faktor-Faktor Internal yang d=browse&op=read&id=gdlhub-gdlniningsety-
Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi 5058 pada 22 Desember 2016
Dasar Balita Usia 1-5 Tahun di Wilayah Kerja Sitohang, R.V. 2006. Hubungan Kepadatan Serumah
Pukesmas Situ Gintung Ciputat Tahu 2013. Dengan Kejadian Difteri Pada Kejadian Luar
Skripsi. Jakarta; Universitas Islam Negeri Syarif Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Cianjur Jawa
Hidayatullah: 69-87 Barat Tahun 2000-20001. Tesis. Program Magister
Lemeshow, S. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Program Studi Epidemiologi Kekhususan
Kesehatan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Epidemiologi Lapangan Universitan Indonesia,
Press Jakarta
Lia, A. 2010. Faktor Risiko Kejadian Difteri pada Sudoyo, A.W, Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata
KLB Difteri di Sidoarjo Tahun 2010. Skripsi. M., dan Setiati S. 2006. Ilmu Penyakit dalam
Universitas Airlangga: 67–71. jilid II edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Lubis, B. 2005. Penelitian Status Imunisasi Penyakit Dalam Fakultas Kesehatan Universitas
Terhadap Penyakit Difteri Dengan Schick Test Indonesia.
pada Murid Sekolah Taman Kanak-kanak di Utami. 2010. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Kotamadya Medan. e-Journal USU Repository. Penularan Difteri di Kota Blitar Propinsi Jawa
2005. Universitas Sumatera Utara. Diakses pada Timur. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat
05 Desember 2016, pukul 21.52 WIB Universitas Airlangga. Surabaya.
Lubov, S. 2011. Epidemic diptheria in India 1991-
1998. The journal of Infectious Diseases 2001 :
p 589:591
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PNEUMONIA
PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MIJEN
KOTA SEMARANG
Fajar,1 Sulistiyani2, Onny Setiani2
1. Program Studi Kesehatan Lingkungan, STIKes Ibnu Sina Batam, Jln. Teuku Umar Lubu Baja Kota Batam
Email : fajar@stikesibnusinabatam.ac.id
2. Program Studi Magister Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

ABSTRACT
Title : Factors Affecting Pneumonia Events On Children Under Five Years Old In The Working Center
Of The Mijen Of Semarang City
Background: Pneumonia is still the biggest cause of childhood mortality and also the cause of death in
many elderly people in the world. The incidence of Pneumonia in 2015 in Semarang City was found as many
as 7,759 cases, an increase compared to the previous year which reached 4,295 cases. The problem of
Penumonia disease is most prevalent in the Working Area of Mijen Community Health Center, which is
found 337 cases.
Method : This was a case-control study using the retrospective study method. Case group were 35
respondents and control group 35 respondents. The data analysis used univariate and bivariate analysis with
Chi Square and the magnitude of risk with Odd Ratio and multivariate analysis to know the correlation (p)
of independent variables together with dependent variable with logistic regression.
Result : The results of the research: 1) there is a relationship between the habit of opening the window of the
house with the incidence of pneumonia (p = 0,031, OR = 3,273; 95% CI), 2) Cigarette Smoke Exposure (p =
0,002; OR = 5,537; 95% CI); 3) Healthy house (p = 0,010; OR = 6,303; 95% CI). Multivariate analysis
results: 1). there is a relationship between the habit of opening the window of the house with the incidence of
pneumonia OR = 3,596, 2). Cigarette Smoke Exposure OR = 8,426,3). House Condition OR = 9,240.
Conclusion : the habit of opening the window of the house, exposure to cigarette smoke, and healthy homes
have a relationship with the incidence of pneumonia.

Keywords: Pneumonia, Toddler, Physical Environment of House, Behavior of Family, Semarang

PENDAHULUAN umur 5 tahun, prevalen paling banyak di


Pneumonia merupakan kondisi South Asia dan Sub-Saharan Africa.1
peradangan yang berhubungan dengan Pneumonia adalah infeksi paling
pernapasan akut yang mempengaruhi paru- mematikan, yang bertanggungjawab atas
paru, disebabkan oleh agent yang menular, kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun
termasuk virus, bakteri dan jamur. Secara lebih banyak dari pada penyakit infeksi
umum paling banyak adalah Streptococcus lainnya. Data World Health Organization
pneumoniae, penyebab paling banyak pada (WHO) tahun 2015 menyatakan bahwa
anak-anak. Haemophilus influenzae type B proporsi kematian balita karena pneumonia di
secara umum paling banyak kedua penyebab dunia sebesar 16%. Kematian anak-anak
pneumonia pada anak-anak. Pneumonia disebabkan oleh pneumonia pada tahun 2015
penyebab kematian utama paling besar pada sebesar 922.000 per tahun, 2.500 per hari, dan
anak-anak di seluruh Dunia. Pneumonia 100 per hari. Estimasi proporsi kematian anak
membunuh 920.136 anak-anak dibawah umur akibat pneumonia di bawah umur 5 tahun di
5 tahun pada Tahun 2015, laporan untuk 16% Sub Sahara Afrika, Eastern dan Southern
dari semua kematian anak-anak dibawah Africa, West and Central Africa, sebanyak
16,6%. Sementara di South Asia sebesar

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 17


15,1%, East Asia and Pacific sebesar 15%, merupakan penyebab kematian nomor 3 pada
Latin America and the Caribbean sebesar balita, yaitu sebesar 9,4 % dari jumlah
11,8%, CEE/CIS sebesar 11,4%.2 kematian balita. Diperkirakan 2-3 orang balita
Anak-anak bisa dilindungi dari setiap jam meninggal karena Pneumonia.
pneumonia, bisa dicegah dengan intervensi Jumlah kasus Pneumonia balita yang
sederhana, dan pengobatan dengan biaya dilaporkan pada tahun 2014 adalah 600.682
murah, teknik dasar pengobatan dan kasus dan 32.025 di antaranya adalah
perawaatan. Diantara anak-anak usia di bawah Pneumonia Berat (5,3%). Dari 100 balita
5 tahun, pencemaran udara dalam rumah Pneumonia diperkirakan 3 diantaranya
diduga menjadi penyebab setengah dari meninggal, sementara jika menderita
kematian pneumonia.3 Biaya dunia selama Pneumonia berat maka risiko kematian lebih
invervensi Global Action Plan For Prevention besar bisa mencapai 60% terutama pada bayi.8
and Control of Pneumonia di 68 Negara pada Populasi yang rentan terserang
periode tahun 2010 - 2015, meliputi pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari
persediaan vaksin dan obat injeksi sebesar 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan
9.661 juta Dollar, bahan pokok dan diagnosa orang yang memiliki masalah kesehatan
untuk pengelolaan Pneumonia sebesar 141 (malnutrisi, gangguan imunologi). Salah satu
juta Dollar, biaya untuk mengirimkan upaya yang dilakukan untuk mengendalikan
pelayanan sebesar 22.635,6 juta Dollar, biaya penyakit ini yaitu dengan meningkatkan
program dan sistem sebesar 6.507,6 juta penemuan pneumonia pada balita. Perkiraan
Dollar.4 Malawi sudah membuat progres yang kasus pneumonia secara nasional sebesar
secara signifikan menghasilkan kematian pada 3.55% namun angka perkiraan kasus di
anak-anak di bawah 5 tahun. Pneumonia masing-masing provinsi menggunakan angka
merupakan pembunuh tunggal paling besar, yang berbeda-beda sesuai angka yang telah
dengan estimasi 1000 bayi dan anak-anak ditetapkan.
muda pada tahun 2010.5 Sampai dengan tahun 2014, angka
Pada penelitian tahun 2016 yang cakupan penemuan pneumonia balita tidak
dilakukan oleh George PrayGod, Crispin mengalami perkembangan berarti yaitu
Mukerebe, Ruth Magawa, Kidola Jeremiah, berkisar antara 20%-30%. Pada tahun 2015
M. Estee Torok di Mwanza – Tanzania terjadi peningkatan menjadi 63,45%. Salah
menyimpulkan faktor risiko penyebab satu penyebab peningkatan penemuan yaitu
pneumonia yaitu memasak dalam ruang menurunnya sasaran penemuan pneumonia,
rumah dengan nilai OR 5,5; menunda vaksin yang sebelumnya sama untuk semua provinsi
campak dengan nilai OR 3,9.6 Penelitian lain (10%), pada tahun 2015 menggunakan hasil
yang dilakukan oleh Eduardo Jorge da Riskesdas 2013 yang berbeda-beda untuk
Fonseca Lima dkk di Brasil menyimpulkan setiap provinsi dan secara nasional sebesar
faktor risiko penyebab pneumonia yaitu 3,55%. Sejak tahun 2015 indikator Renstra
kepadatan rumah dengan nilai OR 2,15; tidak yang digunakan yaitu persentase
harus divaksinasi lagi virus influenza dengan kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya
nilai OR 3,59.7 melakukan pemeriksaan dan tatalaksana
Berdasarkan data yang dirilis oleh pneumonia melalui program MTBS.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Pencapaian untuk tahun 2015 baru tercapai
dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) 14,64% sedangkan target sebesar 20% dari
Kemenkes RI, tahun 2015 ini di dunia seluruh kab/kota yang ada.
diperkirakan 5,9 juta balita meninggal dan Angka kematian akibat pneumonia pada
16% (944.000) di antaranya karena balita sebesar 0,16%, lebih tinggi
Pneumonia. Sementara di Indonesia, dibandingkan dengan tahun 2014 yang
hasil Sample Registration System (SRS) tahun sebesar 0,08%. Pada kelompok bayi angka
2014 dinyatakan bahwa Pneumonia kematian sedikit lebih tinggi yaitu sebesar

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 18


0,17% dibandingkan pada kelompok umur 1- ditangani.13 Sedangkan di kecamatan Mijen
4 tahun yang sebesar 0,15%. Cakupan pada februari 2016 – mei 2017 terdapat 337
penemuan pneumonia dan kematiannya kasus pneumonia yang ditangani. Beberapa
menurut provinsi dan kelompok umur.9 faktor risiko pneumonia meliputi keadaan
Jumlah balita di Provinsi Jawa Tengah memasak dalam ruang rumah, menunda
tahun 2015 sebanyak 2.745.813 dengan pemberian vaksin campak, kepadatan
perkiraan kasus Pneumonia Balita sebesar penghuni rumah, kondisi cahaya dalam
99.124 balita, ditemukan balita dengan rumah, riwayat pemberian ASI, jenis lantai
pneumonia sebesar 52.842 balita sekitar dan perilaku merokok dalam rumah.
53,31% ditemukan dan ditangani. Penemuan Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu
dan penanganan penderita pneumonia pada dilakukan penelitian mengenai faktor
balita di Jawa Tengah tahun 2015 sebesar lingkungan fisik rumah dan perilaku keluarga
53,31 persen, meningkat cukup signifikan yang berhubungan dengan kejadian
dibandingkan capaian tahun 2014 yaitu 26,11 pneumonia pada balita di wilayah kerja
persen. Peningkatan yang cukup besar ini Puskesmas Mijen Kota Semarang.
disebabkan sasaran atau perkiraan penderita
pada tahun 2014 adalah 10 persen dari jumlah METODE PENELITIAN
balita, sedangkan pada tahun 2015 hanya Pada penelitian ini digunakan jenis
sebesar 3,61 persen dari jumlah balita. penelitian observasional dengan metode
Meskipun mengalami peningkatan, capaian retrospective study melalui pendekatan case
tersebut masih jauh dari target SPM yaitu 100 control.14 Populasi dalam penelitian ini adalah
persen.10 seluruh pasien di wilayah kerja Puskesmas
Pada Penelitian tahun 2012 yang Mijen yang dinyatakan positif menderita
dilakukan oleh Lina Yulianti, Onny Setiani pneumonia pada bulan januari – desember
dan Yusniar Hanani D menyimpulkan faktor 2016 yaitu sejumlah 245 kasus dengan sampel
risiko penyebab pneumonia yaitu kondisi sebanyak 70 anak balita ± 10% penderita
cahaya dalam rumah dengan nilai OR pneumonia di wilayah kerja Puskesmas
21,875.11 Penelitian lain yang dilakukan oleh Mijen. Dari jumlah sampel sebanyak 70,
Sugiharto, Nurjazuli di Kota Pagar Alam dapat ditentukan untuk sampel kasus sebesar
menyimpulkan faktor risiko penyebab 35 balita dan sampel kontrol sebesar 35
pneumonia yaitu riwayat pemberian ASI balita..15 Data dikumpulkan dengan
dengan nilai OR 8,958; Jenis lantai rumah wawancara menggunakan instrumen
dengan nilai OR 10,528; merokok dalam kuesioner, obervasi lapangan dan penggunaan
rumah OR 8,888.12 plate count agar untuk pemeriksaan kuman
Kota Semarang merupakan salah satu udara serta penggunaan alat ukur lingkungan
kota yang ada di wilayah Provinsi Jawa fisik seperti thermohygrometer, luxmeter dan
Tengah. Secara geografis Kota Semarang meteran. Analisis data menggunakan uji
terletak diantara 6 50’ – 7 10’ Lintang Selatan statistik Chi-Square dan Regresi Logistik.
dan garis 109 35’ – 110 50’ Bujur Timur,
dengan batas-batas sebelah Utara dengan Laut
Jawa, sebelah Timur dengan Kabupaten HASIL DAN PEMBAHASAN
Demak, sebelah Barat dengan Kabupaten a. Kondisi Rumah
Kendal, dan sebelah Selatan dengan Berdasarkan Kondisi Rumah balita hasil
Kabupaten Semarang. Berdasarkan profil pengamatan didapatkan suatu kondisi rumah
dinas kesehatan Kota Semarang terdapat pada kelompok dengan kategori buruk
130.536 balita dengan perkiraan kasus sebanyak 13 sampel dengan 37,1% sedangkan
Pneumonia Balita sebesar 4.713 balita, pada kelompok kontrol sebanyak 3 sampel
ditemukan balita dengan pneumonia sebesar dengan 8,6%.
5.542 balita sekitar 117,6% ditemukan dan

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 19


Tabel 1. Distribusi Kejadian Pneumonia menurut Lingkungan Fisik Rumah di Wilayah Kerja
Puskesmas Mijen Tahun 2017
Kasus Kontrol Total
Karaktersitik n (35) % n % n (70) %
(35)
Kondisi Rumah
Buruk 13 37,1 3 8,6 16 22,9
Baik 22 62,9 32 91,4 54 77,1
Mean : 70,2599
Median : 72,7300
Standar Deviasi : 15,47598
Minimun : 36,36
Maximum : 97,73

Tabel 2. Analisis hubungan kondisi rumah dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja
puskesmas mijen tahun 2017
Kasus Kontrol
Kondisi rumah p OR (95%) CI
n (35) % n (35) %
Buruk 13 37,1 3 8,6
0,010 6,303 (1,605-24,748)
Baik 22 62,9 32 91,4

Dari hasil penelitian didapatkan hasil pneumonia pada balita. Hal ini dikarenakan
bahwa dari 35 balita penderita Pneumonia rumah yang buruk akan menjadi tempat yang
proporsi balita yang tinggal di kondisi rumah baik untuk perkembangbiakan kuman.
dengan kategori buruk adalah 13 balita Keberadaan kondisi rumah dengan
(37,1%) lebih besar dibandingkan pada kategori buruk yang ditinggali balita
kelompok kontrol sebanyak 3 balita (8,6%). merupakan faktor risiko kejadian pneumonia
Dari hasil uji statistik Chi-Square dengan OR = 6,303 (95% CI 1,605 – 24,748).
menunjukkan ada hubungan yang bermakna Risiko anak yang menghuni kondisi rumah
antara kondisi rumah dengan kejadian dengan kategori buruk adalah 6,303 lebih
pneumonia pada balita (p= 0,010; OR= 6,303; besar daripada anak yang tidak menghuni
95%CI= (1,605 – 24,748). kondisi rumah dengan kategori buruk. Dan
Dengan nilai odds ratio dapat dikatakan dilihat dari nilai CI, variabel kondisi rumah
bahwa balita yang tinggal di kondisi rumah bermakna secara statistik.
dengan kondisi yang buruk memiliki resiko Penelitian ini sejalan dengan penelitian
menderita pneumonia 6,303 kali lebih besar yang dilakukan oleh Siska Renny Elynda dan
dibandingkan dengan balita yang tinggal Lilis Sulistyorini (2007), yang menyatakan
dikondisi rumah dengan kondisi yang baik. bahwa komponen rumah tidak sehat
Berdasarkan Tabel 2, hasil uji Chi-square berhubungan dengan kejadian pneumonia
menunjukkan bahwa nilai p=0,010<0,05 pada anak bawah lima tahun dengan p =
maka Ha diterima. Sehingga dapat diartikan 0,007. Hal ini berarti bahwa komponen rumah
ada hubungan antara kondisi rumah dengan yang tidak sehat dapat menjadikan risiko
kejadian pneumonia pada balita. Hasil terkena pneumonia pada anak balita, salah
penelitian menjelaskan bahwa pada suatu satunya adalah jendela. Menurut Azwar yang
rumah yang balitanya tinggal di rumah yang menyatakan bahwa dengan adanya jendela
buruk akan meningkatkan risiko terkena sebagai lubang angin maka di dalam ruangan

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 20


tidak pengap dan dapat terhindar dari membuka jendela yang tidak membuka
penularan ISPA yang disebabkan oleh virus jendela di pagi hari pada kelompok kasus
dan bakteri.16 sebanyak 24 sampel atau 68,6% dan pada
kelompok kontrol sebanyak 14 sampel atau
b. Kebiasaan Membuka Jendela 40%.
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui
proporsi sampel berdasarkan kebiasan
Tabel 3. Distribusi Kejadian Pneumonia menurut Praktek Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas
Mijen Tahun 2017
Karaktersitik Kasus Kontrol Total
n (35) % n (35) % n (70) %
Kebiasaan membuka jendela
Tidak 24 68,6 14 40 38 54,3
Ya 11 31,4 21 60 32 45,7

Tabel 4. Analisis hubungan kebiasaan membuka jendela dengan kejadian pneumonia pada balita
di wilayah kerja puskesmas mijen tahun 2017
Kebiasaan membuka jendela Kasus Kontrol
n % n % p OR (95%) CI
(35) (35)
Tidak 24 68,6 14 40 0,031 3,273 (1,224 –
Ya 11 31,4 21 60 8,748)

Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pada suatu rumah yang penghuninya
bahwa dari 35 balita penderita Pneumonia jarang membuka jendela rumah akan
proporsi balita yang tinggal di rumah dengan meningkatkan risiko terkena pneumonia pada
tidak ada kebiasaan membuka jendela adalah balita.
24 balita (68,6%) lebih besar dibandingkan Hal tersebut dikarenakan jendela sangat
pada kelompok kontrol sebanyak 14 balita penting untuk suatu rumah tinggal, karena
(40%). Dari hasil uji statistik Chi-Square jendela merupakan ventilasi semi permanen
menunjukkan ada hubungan yang bermakna insidental yang mempunyai fungsi ganda.
antara kebiasaan membuka jendela rumah Fungsi pertama sebagai lubang keluar
balita dengan kejadian pneumonia pada balita masuknya udara sehingga didalam ruangan
(p= 0,031; OR= 3,273; 95%CI= (1,224 – tidak pengap, fungsi yang kedua sebagai
8,748)). lubang masuknya cahaya dari luar (matahari).
Dengan nilai odds ratio dapat dikatakan Cahaya ini akan masuk kedalam ruangan
bahwa balita yang tinggal dirumah dengan rumah melalui jendela, sehingga di dalam
tidak ada kebiasaan membuka jendela rumah rumah tidak gelap dan dapat memberikan
memiliki resiko menderita pneumonia 3,273 konstribusi terciptanya temperatur udara dan
kali lebih besar dibandingkan dengan balita kelembaban pada ruangan. Suatu rumah yang
yang tinggal dirumah dengan kebiasaan memenuhi syarat kesehatan, jendela mutlak
membuka jendela rumah. harus ada dan harus terbuka pada siang hari.17
Berdasarkan tabel 4, hasil uji Chi-Square Penelitian ini sejalan dengan penelitian
menunjukkan bahwa nilai p= 0,031 < 0,05 yang dilakukan oleh Sinaga et al. (2009),18
maka Ha diterima. Sehingga dapat diartikan yang menyatakan bahwa ventilasi udara
ada hubungan antara kebiasaan membuka dalam rumah berhubungan dengan kejadian
jendela rumah dengan kejadian pneumonia pneumonia pada anak bawah lima tahun
pada balita. Hasil penelitian menjelaskan dengan p = 0,017. Kovesi et al. (2007),19

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 21


menjelaskan bahwa rumah yang tidak yang tidak baik dapat bertukar dengan udara
memiliki ventilasi dapat meningkatkan segar dan sinar matahari yang masuk ke
konsentrasi mikroorganisme. Keberadaan dalam rumah dapat mematikan
ventilasi yang cukup dapat menurunkan angka mikroorganisme. Pencahayaan alami
kematian dan kesakitan akibat pneumonia diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke
pada anak bawah lima tahun.20 dalam ruangan melalui jendela, celah-celah
Ventilasi merupakan salah satu metode dan bagian-bagian bangunan yang terbuka.22
untuk mengatur kelembaban suhu, hal ini
sama dengan cara mengatur suhu udara ruang.
Faktor yang menyebabkan mikroorganisme
berkembang biak adalah temperatur,
kelembaban, sinar matahari, serta keberadaan c. Paparan Asap Rokok
material organik disekitar tempat hidup. 21 Berdasarkan paparan asap rokok pada
Membuka jendela merupakan tindakan yang balita yang terpapar asap rokok pada
harus dilakukan untuk mencegah adanya kelompok kasus sebanyak 26 sampel dengan
mikroorganisme. Membuka jendela yang baik proporsi 74,3% dan pada kelompok kontrol
adalah pada pagi hari agar udara dalam ruang sebanyak 12 sampel dengan proporsi 34,3%.

Tabel 5. Distribusi Kejadian Pneumonia menurut Praktek Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas
Mijen Tahun 2017
Kasus Kontrol Total
Karaktersitik
n (35) % n (35) % n (70) %
Paparan asap rokok
Ya 26 74,3 12 34,3 38 54,3
Tidak 9 25,7 23 65,7 32 45,7

Tabel 6. Analisis hubungan paparan asap rokok dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah
kerja puskesmas mijen tahun 2017
Kasus Kontrol
Paparan Asap Rokok p OR (95%) CI
n (35) % n (35) %
Ya 26 74,3 12 34,3 5,537 (1,976 –
0,002
Tidak 9 25,7 23 65,7 15,516)

Dari hasil penelitian didapatkan hasil memenuhi syarat memiliki resiko menderita
bahwa dari 35 balita penderita Pneumonia pneumonia 5,537 kali lebih besar
proporsi balita yang tinggal di rumah dengan dibandingkan dengan balita yang tinggal
paparan asap rokok yang tidak memenuhi dirumah dengan paparan asap rokok rumah
syarat adalah 26 balita (74,3%) lebih besar yang mememuhi syarat.
dibandingkan pada kelompok kontrol Berdasarkan Tabel 6, hasil uji Chi-square
sebanyak 12 balita (34,3%). Dari hasil uji menunjukan bahwa nilai p=0,002<0,05 maka
statistik Chi-Square menunjukkan ada Ha diterima. Ada hubungan antara paparan
hubungan yang bermakna antara paparan asap asap rokok dengan kejadian pneumonia pada
rokok rumah balita dengan kejadian balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pneumonia pada balita (p= 0,002; OR= 5,537; pada suatu rumah yang balitanya terpapar
95%CI= (1,976 – 15,516). asap rokok akan meningkatkan risiko terkena
Dengan nilai odds ratio dapat dikatakan pneumonia pada balita. Hal ini dikarenakan
bahwa balita yang tinggal dirumah dengan asap rokok akan menjadi polusi di udara
paparan asap rokok rumah yang tidak dalam rumah. Asap rokok merupakan faktor

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 22


tidak langsung yang kedepannya dapat dan berasal dari hasil pembakaran yang tidak
menimbulkan penyakit paru-paru yang akan sempurna. Debu adalah suatu partikel yang
melemahkan daya tahan tubuh balita. Balita tidak hanya dapat dihasilkan oleh manusia,
yang daya tahan tubuhnya menurun rentan namun juga dapat dihasilkan oleh alam dan
terserang penyakit infeksi seperti berasal dari pemecahan suatu bahan tertentu.
pneumonia.23 Uap merupakan partikel padat yang
Keberadaan anggota keluarga yang merupakan hasil dari proses distilasi,
merokok dalam rumah atau sekitar anak sublimasi, atau reaksi kimia. Kabut adalah
merupakan faktor risiko kejadian pneumonia partikel cair dari kondensasi uap air atau
dengan OR = 5,537 (95% CI 1,976 – 15,516). reaksi kimia. Sedangkan ditinjau dari
Risiko anak yang memiliki anggota keluarga ukurannya, secara garis besar partikel
yang merokok dalam rumah atau sekitar anak digolongkan dalam tiga kelompok. Partikel
adalah 5,537 lebih besar daripada anak yang debu kasar, apabila diameternya > 10 mikron.
tidak memiliki anggota keluarga yang Partikel debu, asap, uap, bila diameternya
merokok. Dan dilihat dari nilai CI, variabel antara 1-10 mikron. Disebut aerosol, apabila
kebiasaan anggota keluarga merokok diameternya < 1 mikron.24
bermakna secara statistik. Asap rokok menjadi salah satu parameter
Hasil penelitian ini sejalan dengan kualitas kimia pada udara dalam rumah.
penelitian yang dilakukan Suzuki (2009) yang Sebab asap rokok dapat menghasilkan gas dan
meneliti tentang pengaruh rokok terhadap debu yang dapat bertahan dalam rumah dalam
balita yang pernah di rawat di rumah sakit di jangka waktu yang cukup lama. Karena alasan
Indonesia dengan hasil yang menyatakan tersebut, rokok menjadi salah satu parameter
bahwa anak balita yang memiliki anggota kualitas kimia udara dalam rumah.25
keluarga yang merokok dalam rumah tangga
memiliki OR = 1,43 (95% CI 1,08 – 1,89). d. Analisis Multivariat
Hasil penelitian yang dilakukan Sugihartono Setelah dilakukan analisis univariat dan
(2012) juga menyebutkan bahwa asap rokok bivariat, selanjutnya dilakukan analisis
dari orang yang merokok dalam rumah multivariat, untuk mengetahui variabel
merupakan risiko yang bermakna terhadap apakah yang paling dominan sebagai faktor
terjadinya penyakit pneumonia dengan risiko risiko kejadian penumonia pada balita.
8,88 kali. Variabel yang akan dianalisis dalam analisis
Asap atau smoke merupakan campuran regresi logistik adalah variabel yang analisis
dari bahan partikulat, uap, gas, dan kabut. bivariat mempunyai p < 0,25, variabel
Sedangkan pengertian dari asap adalah tersebut antara lain sebagai berikut;
merupakan partikel karbon yang sangat halus

Tabel 7. Hasil uji statistik yang termasuk dalam uji multivariat


No Faktor faktor yang berhubungan dengan p OR (95%) CI
kejadian pneumonia
1 Jenis lantai 0,216 2,105 (0,782 – 5,666)
2 Jenis dinding 0,208 2,167 (0,788 – 5,957)
3 Luas ventilasi 0,141 2,361 (0,879 – 6,345)
4 Kondisi rumah 0,010 6,303 (1,605 – 24,748)
5 Kebiasaan membuka jendela 0,031 3,273 (1,224 – 8,748)
6 Paparan asap rokok 0,002 5,537 (1,976 – 15,516)
7 Kayu bakar memasak 0,172 2,522 (0,821 – 7,748)
8 Kebiasaan menggunakan anti nyamuk 0,244 2,400 (0,725 – 7,949)
bakar

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 23


Tabel 8. Analisis multivariat faktor risiko pneumonia pada balita di wilayah kerja puskesmas
mijen tahun 2017.
Faktor Risiko P OR CI 95% B
Kebiasaan membuka jendela 1,280
0,037 3,596 ( 1,082 – 11,955 )
Paparan asap rokok 2,131
0,001 8,426 ( 2,357 – 30,123 )
Kondisi rumah 2,224
0,010 9,240 ( 1,715 – 49,779 )
Constant -3,971

Dari hasil analisis regresi logistik didapatkan


hasil bahwa faktor risiko dominan yang
berpengaruh terhadap kejadian Pneumonia pada
balita dapat dilihat pada tabel 8. Hasil analisis
statistik multivariat menujukkan bahwa dari 8
Faktor risiko yang dianalisa, 3 Faktor risiko
yaitu kebiasaan membuka jendela, paparan asap Paparan asap rokok yang memajan balita :
rokok dan kondisi rumah menunjukkan adanya
pengaruh yang bermakna, sedangkan 5 faktor
risiko lainnya yaitu jenis lantai, jenis dinding,
luas ventilasi, kayu bakar memasak, dan
kebiasaan menggunakan anti nyamuk bakar
tidak terbukti berpengaruh terhadap kejadian
Pneumonia pada balita. Kondisi rumah dengan kategori buruk yang
Faktor risiko paparan asap rokok memiliki ditinggali balita :
kekuatan pengaruh lebih besar p= 0,001 (OR=
8,426); CI95% = 2,357 – 30,123) dibandingkan
dengan kondisi rumah p= 0,010 (OR= 9,240);
CI95% = 1,715 – 49,779) dan kebiasaan
membuka jendela p= 0,037 (OR= 3,596);
CI95% = 1,082 – 11,955) dengan konstanta (- Dengan demikian balita yang tinggal di
3,971) dapat diperkirakan seberapa besar rumah yang tidak melakukan kebiasaan
kemungkinan balita dapat menderita Pneumonia membuka jendela, terjadi paparan asap rokok
dengan menghitung probabilitas (risiko) dan kondisi rumah dengan kategori buruk
berdasarkan nilai-nilai variabel yang mempunyai kemungkinan untuk menderita
berpengaruh dengan rumus : Pneumonia sebesar 83,9%. Sedangkan balita
yang tinggal dirumah yang tidak melakukan
kebiasaan membuka mempunyai kemungkinan
untuk menderita pneumonia 6,4%. Balita yang
tinggal di rumah dengan paparan asap rokok
kemungkinan dapat menderita pneumonia
adalah sebesar 14,5%. Serta balita yang tinggal
di kondisi rumah dengan kategori buruk
kemungkinan dapat menderita pneumonia
Masing masing faktor risiko dapat dihitung adalah sebesar 14,9%.
probabilitasnya sebagai berikut: Pada tahap berikutnya adalah analisis
multivariat, semua variabel yang telah dianalisis
Kebiasaan membuka jendela yang tidak secara bivariat sebagaimana hasil rekapitulasi
dilakukan : pada tabel 8 dilihat nilai p masing-masing

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 24


variabel. Variabel yang memiliki nilai p < 0,25 perubahan perilaku mengenai kebiasaan
diadakan analisis multivariat lebih lanjut. masyarakat membuka jendela di pagi dan siang
Dari 9 variabel yang ada hanya 8 variabel hari. Perlu dilakukan kerjasama yang lebih baik
yang memiliki nilai p < 0,25, maka selanjutnya dengan kader-kader kesehatan tingkat kelurahan
variabel-variabel tersebut dianalisis secara untuk mendampingi masyarakat dan
multivariat dengan menggunakan regresi meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam
logistik guna memperoleh gambaran faktor penyehatan lingkungan permukiman yang
risiko apa yang mempunyai kontribusi dominan terdapat balita. Kepada masyarakata agar
terhadap kejadian pneumonia pada balita. dibiasakan menjaga kebersihan, dibiasakan
Penelitian ini menggunakan desain case control membuka jendela terutama untuk kamar tidur
dan metode regresi yang digunakan adalah dan menjaga perilaku merokok terutama ketika
Backward Stepwise (Conditional) dengan ± = berinteraksi dengan balita. Penelitian ini perlu
0,05 sebagai acuan dalam pengambilan dikembangkan dengan meneliti atau mengukur
keputusan hasil uji. Hasil uji dengan regresi kualitas lingkungan dengan parameter yang lain
logistik menunjukkan ada 3 variabel yang termasuk jenis kuman patogen serta cemaran
mempunyai pengaruh dominan terhadap partikel-partikel diudara
kejadian pneumonia pada balita yaitu kebiasaan
membuka jendela, paparan asap rokok, dan DAFTAR PUSTAKA
kondisi rumah seperti terlihat pada tabel 8.
Dengan demikian disimpulkan bahwa 1 WHO. Pneumonia. media centre; 2016.
kebiasaan membuka jendela, paparan asap http://www.who.int/mediacentre/factsheet
rokok dan kondisi rumah merupakan faktor s/fs331/en/. Diakses 13 maret 2017
risiko yang dominan terhadap kejadian 2 UNICEF. Global databases 2015.
pneumonia pada balita ditunjukkan oleh http://data.unicef.org/child-
besarnya slope (²) dari masing-masing faktor health/pneumonia.html. Diakses 13 maret
resiko, yaitu 52 = 1,280 (variabel kebiasaan 2017
membuka jendela), 53 = 2,131 (variabel paparan 3 WHO. World health statistics 2016 :
asap rokok), 54 = 2,224 (variabel kondisi monitoring health for the SDGs,
rumah). Nilai constant didapat -3,971 sustainable development goals. France;
WHO Library Cataloguing: 2016. p.70.
KESIMPULAN 4 WHO and UNICEF : Global Action Plan
Berdasarkan pada hasil penelitian dan for Prevention of Pneumonia (GAPP). p.
pembahasan dapat diperoleh simpulan sebagai 08.
berikut: Ada hubungan yang bermakna antara 5 WHO. Pneumonia. media centre; 2016.
kondisi rumah dengan kejadian pneumonia, Ada http://www.who.int/features/2013/malawi
hubungan yang bermakna antara kebiasaan _pneumonia_diarrhoea/en/s. Diakses 15
membuka jendela dengan kejadian pneumonia, maret 2017
Ada hubungan yang bermakna antara paparan 6 George PG, Crispin M, Ruth M, Kidola J,
asap rokok dengan kejadian pneumonia. M. Estee T. Indoor air pollution and
Berdasarkan simpukan penelitian beberapa delayed measles vaccination increase the
saran yang dapat diberikan adalah : Perbaikan risk of severe pneumonia in children:
kondisi fisik rumah yang belum memenuhi result from a case-control study in
syarat hendaknya menjadi program yang Mawanza, Tanzania. Plos One. 2016
mendapat perhatian disamping perubahan August 10; 11(8).
perilaku masyarakat dengan penyuluhan dan 7 Eduardo JFL, Maria JGM, Maria FPMA,
pendampingan intensif oleh pemerintah kota Maria ILL, George HCS, Debora EPL et
semarang dalam rangka pengendalian al. Risk factors for comunity-acquired
pneumonia. Kepada pengelola program agar pneumonia in children under five years of
dilakukan penyuluhan intensif terutama untuk age in the post-pneumococcal conjugate

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 25


vaccine era in Brazil: a case control study. tract infections in young canadian inuit
BMC Prediatrics. 2016; 16:157. children. CMAJ. 2007;177(2):155-160
8 Direktorat jenderal pengendalian penyakit 20 Dherani M, Pope D, Mascarenhas M,
dan penyehatan lingkungan. Laporan Smith KR, Weber M, Bruce N. Indoor Air
tahunan Ditjen P2PL Tahun 2015 Pollution from Unproccessed Solid Fuel
9 Kementerian Kesehatan Indonesia. Profil Use and Pneumonia Risk in Children
kesehatan indonesia Tahun 2015. p. 174. Under Five Years: A Systematic Review
10 Dinkes Provinsi Jawa Tengah. Profil and Meta-analysis. Bull World Health
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Organ. 2008;86(5):390-398
Laporan Tahunan Dinas Kesehatan 21 Tang JW. The effect of environmental
Provinsi Jawa Tengah. 2015. p. 22. parameters on the survival of airborne
11 Lina Y, Onny S, Yusnia HD. Faktor- infections agents. J Royal Soc Interface,
faktor lingkungan fisik rumah yang 2012;6(6):S737-S746
berhubungan dengan kejadian pneumonia 22 Muchsin R. Penyehatan Pemukiman.
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Yogyakarta: Gosyen Publishing; 2011
Pangandaran Kabupaten Ciamis. 23 Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z,
Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012 Mulholland K, Camphel H. Epidemiology
Oktober; 11(2):187. and etiologi of childhood pneumonia. Bull
12 Sugihartono, Nurjazuli. Analisis faktor World Health Organ. 2008;86(5):408-416
risiko kejadian pneumonia pada balita di 24 Mukono, H.J. Pencemaran Udara dan
wilayah kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran
Pagar Alam. Kesehatan Lingkungan Pernafasan. Cetakan Ketiga. Surabaya:
Indonesia. 2012 April; 11(1):82 Airlangga University Press; 2008
13 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 25 Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian
2015. Tabel 10 dan pengembangan Kesehatan . Jakarta:
14 Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Kementrian Kesehatan RI; 2013
Metode Penelitian Klinis. 5th ed. Jakarta:
Sagung Seto; 2014.
15 Sastroasmoro S, Sofyan I. Dasar-dasar
metodologi penelitian klinis. Jakarta: CV.
Agung Seto; 2011.
16 Azwar A. Menjaga Mutu Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan; 1996
17 Sanropie. Pengawasan penyehatan
pemukiiman untuk institusi pendidikan
sanitasi lingkungan. Jakarta: Pusdiknakers
Depkes; 1989
18 Lenni AFS. Analisis Perilaku Keluarga
dan Kondisi Rumah Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Pneumonia Pada Anak
bawah lima tahun di Kota Medan Tahun
2008 [Masters thesis]. Indonesia:
Universitas Diponegoro; 2009
19 Kovesi T, Gilert NL, Stocco C, Fugler D,
Dales RE, Guay M, et al. Indoor air
quality and the risk of lower respiratory

DK – Vol.1 No.1 2019 ǀ e-issn: ǀ p-issn: 2089-2284 Page 26


JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI


SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI DESA
MARENDAL I PASAR V KAB. DELI SERDANG TAHUN 2018

Nurmala Sari, Diana Rahmadani Siregar


Institut Kesehatan Deli Husada, Jl.Besar No. 77 Deli Serdang
e-mail : nurmala71@gmail.com

Abstract
Infection of exhalation Acude (ISPA), is one of the main painfulness because for children
under five years old in developing countries. The aims of this research was to know the
relationship between environmental sanitation forincluded houseventilation, air pollution,
andaccupancydensity. The conducted of this research in November 2018 in Marendal I Pasar
V Deli Serdang. Regency theobservational research with cross sectional approach. The
subject were all of the house which have children under five years old with 54 respondents
sample. The technique of sample used cluster random sampling.The statistical test used chi
square test by using Statistical product and service solutions version 20 program. The
resultof this research indicated that there was a relationship between house ventilation,air
pollution and accupancy density with the occurrence of ISPA (Infection of exhalation Acude).
Poor ventilation can cause high humidity and endanger health so that the incidence of
Infection of exhalation Acude will increase. The condition of a dense residence can increase
the air pollution factor in the house. And the floor area of a healthy home building must be
enough for the residents inside. The area of a building that is not proportional to the number
of occupants can cause easy disease. lack of oxygen, dirty air can invite various chemicals so
it is easy to trigger the disease that comes, Every citizen is expected to always pay attention
and try so that his house meets health requirements such as house ventilation, residential
density in the bedroom, and healthy air pollution.

Keywords : Infection, Exhalation Acute, environmental sanitation.

1. PENDAHULUAN Bronchitis dan lainnya yang merupakan


penyebab kematian anak yang ke empat dan
Menurut WHO tahun 2013 di dunia angka kasus ini terbanyak terjadi pada anak dibawah
terjadinya kematian anak akibat pneumonia
tahun. Pada tahun 2013 data dari Riskesdas
atau infeksi saluran pernafasan akut yang dapat
bahwa penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas
mempengaruhi kerusakan paru paru dinyatakan
dapat diakibatkan oleh virus / bakteri yang
1,2 juta anak meninggal setiap tahunnya. yang ditandai dengan penderita panas dan
Sehingga ada 230 orang anak yang meninggal disertai salah satu atau lebih gejala (Batuk
stiap jam di dunia akibat dari pneumonia.
Berdahak, Nyeri saat menelan, Batuk Kering,
(WHO, 2013 ). dan Nyeri tenggorokan. (Kemenkes RI , 2013) .
Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan
Pada tahun 2015 menurut WHO, Infeksi
penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
Saluran Pernafasan Atas merupakan penyebab
kematian pada anak, Penyakit ISPA ini dapat
dari 15% kematian balita. Penyakit Pneumonia
menyebabkan terjadinya penyakit Pneumonia,
dapat terjadi pada berbagai wilayah, namun

98
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019

penyakit ini paling banyak terjadi di Asia hidung, alveoli termasuk adneksanya (sinus
Selatan dan Afrika sub-Sahara. Sejak tahun rongga telinga tengah pleura). (Depkes, 2013).
1984, WHO telah menerapkan suatu program
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
pemberantasan penyakit ISPA khususnya
merupakan penyakit ketujuh dari 10 pola
pada kasus pneumonia dan pada tahun 1990
penyakit terbanyak dengan jumlah kasus 4,463.
dilaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Selama tahun 2012, ditemukan 41,291 balita
di New York, dari hasil tersebut telah dibuat
menderita infeksi saluran pernafasan akut
kesepakatan untuk menurunkan angka
(ISPA) dengan cakupan penemuan 32,4 %,
kematian anak akibat ISPA ebesar 30%, dalam
sedangkan dalam tahun 2013 cakupan
memberantas penyakit ISPA sudah banyak
penemuan dan penanganan penderita penyakit
strategi yang telah dilakukan oleh banyak
mencapai 100% (Profil Sumatera Utara)
negara termasuk Indonesia, namun hasil yang
dicapai di setiap Negara bervariasi. (Rahajoe, 2. METODE
2010).
Jenis Penelitian ini adalah penelitian
Pembangunan kesehatan dalam menurunkan Observasional yang bertujuan untuk
angka kematian pada anak selalu berupaya mengetahui hubungan antara sanitasi
agar dilaksanakan oleh semua komponen lingkungan dengan kejadian Infeksi Saluran
Bangsa Indonesia sehingga tujuan dalam Pernafasan Akut pada balita di Desa Marendal I
meningkatkan kemampuan hidup, kemauan Pasar V Kab. Deli Serdang Tahun 2018 dengan
dan kesadaran masyarakat serta kemampuan system pendekatan cross sectional, yaitu
hidup sehat bagi setiap orang dapat terwujud, dengan cara observasi atau pengumpulan data
sehingga dapat meningkatkan derajat pada saat yang sama (Notoadmodjo, 2010 ).
kesehatan masyarakat yang maksimal. Bangsa Pada penelitian ini jumlah pertanyaan dalam
Indonesia membuat Program Indonesia Sehat kuesioner sejumlah 20 soal yang terdiri dari
pada tahun 2015 – 2019 dengan sasaran ventilasi rumah, kepadatan hunian,
meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi pencemaran udara, untuk mempermudah
masyarakat melalui upaya kesehatan dan menghitung skor dari jawaban yang masuk
pemberdayaan masyarakat. Salah satu sasaran melalui kuesioner yang digunakan rumus yaitu :
pokok pembangunan kesehatan yaitu
meningkatnya pengendalian penyakit termasuk
penyakit ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
(1)
(Kemenkes RI, 2015).
Menurut Depkes RI (2014), di Indonesia pada Keterangan :
tahun 2014 angka kematian akibat ISPA pada I adalah interval
balita sebesar 8 per 10.000 balita, lebih rendah Range adalah skor maksimum + skor minimum
dibandingkan dengan tahun 2013 yang sebesar
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
119 per 10.000 balita. Pada kelompok bayi usia
Karakteristik Responden
0-12 bulan angka kematian lebih tinggi yaitu
sebesar 11 per 10.000 bayi jika dibandingkan Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan
pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu hanya Pendidikan, Pekerjaan, Umur Balita, Jenis
sebesar 6 per 10.000 balita, Infeksi saluran Kelamin Balita dapat dilihat pada tabel
pernafasan akut adalah penyakit infeksi akut dibawah:
yang dapat menyerang salah satu bagian /
lebih dari saluran pernafasan yaitu mulai dari

99
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019

Tabel 1. Karakteristik Responden Analisis Univariat

Pendidikan Jumlah Persentase Analisis Univariat dalam penelitian ini


(%) berdasarkan variabel kejadian ISPA Ventilasi
Tamat SD 15 27,8 rumah, Kepadatan Hunian, Pencemaran udara
Tamat SMP 25 46,3 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tamat SMA 8 14,8 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Ventilasi Rumah,
Tamat PT 6 11,1 Kepadatan Hunian dan Pencemaran Udara
Pekerjaan
Petani 21 38,9 Ventilasi Jumlah Persentase
Buruh 14 25,9 Rumah (%)
Wiraswasta 10 18,5 Tidak Ada 24 44,4
PNS 9 16,7 Ventilasi 30 55,6
Umur Balita Ada
2 tahun 16 29,6 Ventilasi
3 tahun 14 25,9 Kepadatan
4 tahun 10 18,6 Hunian
5 tahun 14 25,9 Tidak baik 31 57,4
Jenis Kelamin Balita Baik 23 42,6
Laki-laki 29 53,7 Pencemaran
Perempuan 25 46,3 Udara
Total 54 100,0 Tidak Terjadi 31 57,4
Terjadi 23 42,6
Berdasarkan tabel 1 Distribusi Frekuensi ISPA
Pendidikan Terakhir SMP yaitu sebanyak 25 Tidak ISPA 22 40,7
orang dengan persentase (46,3 % ), dan ISPA 32 59,3
minoritas responden berpendidikan Perguruan Total 54 100,0
Tinggi (PT) yaitu sebanyak 6 orang dengan
persentase (11,1 %). Distribusi frekuensi
Berdasarkan table 2 Menunjukkan bahwa
Pekerjaan terbanyak yaitu Petani sebanyak 21
mayoritas responden dengan yang memiliki
orang dengan persentase (38,9 %), dan
ventilasi rumah yaitu sebanyak 30 orang
minoritas responden PNS yaitu sebanyak 9
dengan persentase (55,6%), dan minoritas
orang dengan persentase (16,7 %). Distribusi
responden yang tidak memiliki ventilasi rumah
frekuensi Umur Balita terbanyak yaitu umur 2
yaitu sebanyak 24 orang dengan persentase
tahun sebanyak 16 orang dengan persentase
(44,4 %). Distribusi frekuensi kepadatan hunian
(29,6 %), dan minoritas responden pada balita
menunjukkan bahwa mayoritas responden
umur 4 tahun yaitu sebanyak 10 orang dengan
dengan padat hunian sebanyak 31 orang (57,4
persentase (18,6 %).Distribusi frekuensi Jenis
%), dan yang padat hunian sebanyak 23 orang
Kelamin Balita laki-laki sebanyak 29 orang
(42,6%). Distribusi frekuensi pencemaran
dengan persentase (53,7 % ), dan minoritas
udara Menunjukkan bahwa mayoritas tidak
Jenis Kelamin balita Perempuan yaitu sebanyak
terjadi pencemaran udara yaitu sebanyak 31
25 orang dengan persentase (46,3 %).
orang dengan persentase (57,4 %), dan terjadi
pencemaran udara yaitu sebanyak 23 orang
dengan persentase (42, 6 %). Distribusi

100
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019

frekuensi Menunjukkan bahwa mayoritas Berdasarkan table 4 menunjukkan bahwa dari


responden yang menderita ISPA yaitu 31 yang padat hunian terjadi ISPA sebanyak 14
sebanyak 32 orang ( 59,3 %), dan minoritas orang (45,2% dan tidak ISPA sebanyak 17
responden yang Tidak terjadi ISPA yaitu orang (54,8%) sedangkan dari 23 yang tidak
sebanyak 22 orang (40, 7%). padat hunian yang terjadi ISPA sejumlah 18
orang (78,3%) dan tidak ISPA sejumlah 5
Analisis Bivariat
orang (21,7%), Hasil analisis statistik dengan
Analisis Bivariat berdasarkan variabel Ventilasi uji Chi square didapatkan nilai p (0,03) lebih
Rumah dengan kejadian ISPA dapat dilihat di kecil dari nilai a (0,05), dengan demikian
tabel 3. berikut: terdapat hubungan antara Kepadatan Hunian
Tabel 3. Ventilasi Rumah dan ISPA dengan Terjadinya ISPA di di Desa Marendal I
Pasar V Kab. Deli Serdang tahun 2018
Ventilasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut
rumah (ISPA) Tabel 5. Pencemaran Udara dan ISPA
Ya Tidak Total Pence- Infeksi Saluran Pernapsan Akut
F (%) F (%) F (%) maran (ISPA)
Baik 8 33,3 16 66,7 24 100 Udara ISPA Tidak Total
Tidak 24 80,8 6 20,0 30 100
ISPA
baik
F (%) F ( %) F (%)
Total 32 59,3 22 40,7 54 100
Terjadi 13 41,9 18 58,1 31 100
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa dari 24 Tidak 19 82,6 4 17,4 23 100
Total 32 59,3 22 40,7 54 100
responden yang memiliki ventilasi baik yang
menderita ISPA sebanyak 8 orang (33,3%) dan
yang tidak menderita ISPA sejumlah 16 orang Berdasarkan table 5 diatas menunjukkan bahwa
(66,7 %). Dari 30 responden yang memiliki dari 31 yang terjadi pencemaran udara
ventilasi rumah tidak baik yang menderita ISPA menderita ISPA sejumlah 13 orang (41,9%)
sejumlah 24 orang (80,8%) dan yang tidak dan yang tidak ISPA sejumlah 18 orang (58,1
menderita ISPA sejumlah 6 orang ( 20%). Hasil %) dan dari 23 yang tidak terjadi pencemaran
uji statistic dengan menggunakan uji chi- udara menderita ISPA sejumlah 19 orang (82,6
square (p-value) diperoleh P Value sebesar %) dan yang tidak menderita ISPA sejumlah 4
0,001 < 0,05 yang menunjukkan bahwa ada orang (17,4%) berdasarkan hasil uji statistic
hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan menggunakan chi-square (p-value)
rumah dengan kejadian ISPA di Desa Marendal sebesar 0,006< 0,05 yang menunjukkan bahwa
I Pasar V Kab. Deli Serdang tahun 2018 ada hubungan yang signifikan antara
pencemaran udara dengan kejadian ISPA di
Tabel 4. Padatan Hunian dan ISPA
Desa Marendal I Pasar V Kab. Deli Serdang
Padatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut tahun 2018.
Hunian (ISPA)
Ya Tidak Total Hubungan antara Ventilasi Rumah
F (%) F (%) F (%) dengan Kejadian ISPA
Padat 14 45.2 17 54.8 31 100
Hasil analisis statistik dengan uji Chi square
Tidak 18 78.3 5 21.7 23 100
untuk hubungan antara ventilasi rumah dengan
Total 32 59,3 22 40,7 54 100
kejadian ISPA pada balita di Desa Marendal,
didapatkan nilai p (0,001) lebih kecil dari nilai a
(0,05), dengan demikian terdapat hubungan

101
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019

Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian bagi penghuninya. hal ini disebabkan karena
(Sulistyorini 2015), di Desa Marendal I, yang padatnya jumlah keluarga yang berada dalam
menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di Desa satu kamar yang dapat menyebabkan
Marendal rata-rata tidak di buka pada siang kurangnya konsumsi oksigen, dan mudah
hari, dan jarang membersihkan jendela menularkan penyakit pada keluarga yang
sehingga sering terjadi kelembaban dalam lainnya
ruangan yang tidak sehat. Responden yang
Hubungan antara Pencemaran Udara
memiliki ventilasi baik dan terkena ISPA
dengan Kejadian ISPA
sebanyak 24 rumah (80%) sedangkan
responden yang tidak terkena ISPA mempunyai Hasil analisis statistik dengan uji Chi square
ventilasi rumah yang baik sebanyak 6 rumah untuk hubungan antara Pencemaran udara
(20%) dan ventilasi rumah yang tidak baik dan dengan kejadian ISPA pada balita di Desa
terkena ISPA sebanyak 8 (33,3) dan yang tidak Marendal, didapatkan nilai p (0,006) lebih kecil
memiliki ventilasi tidak baik yang tidak terkena dari nilai a (0,05), dengan demikian terdapat
ISPA sebanyak 16 rumah (66,7%). hubungan yang signifikan antara pencemaran
Hubungan antara Kepadatan Hunian udara dengan kejadian ISPA. Hasil di Desa
dengan Kejadian ISPA Marendal I, yang menyimpulkan bahwa
pencemaran udara di Desa Marendal rata rata.
Hasil analisis statistik dengan uji Chi square
Responden yang mencemari udara terkena
untuk hubungan antara kepadatan hunian
ISPA sebanyak 19 rumah (82,6%) dan yang
dengan kejadian ISPA pada balita di Desa
mencemari udara yang tidak terkena ISPA
Marendal, didapatkan nilai p (0,030) lebih kecil
sebanyak 4 rumah (17,4%), sedangkan
dari nilai a (0,05), dengan demikian terdapat
responden yang tidak mencemari udara terkena
hubungan yang signifikan antara kepadatan
ISPA sebanyak 13 rumah (41,9%) dan yang
hunian dengan kejadian ISPA. Hasil di Desa
tidak mencemari yang tidak terkena ISPA
Marendal I, yang menyimpulkan bahwa
sebanyak 18 rumah (58,1%). Hal ini
kepadatan hunian di Desa Marendal rata-rata
disebabkan karena banyak nya folusi udara
memiliki kamar yang sempit. Responden yang
yang tidak sehat didalam rumah maupun diluar
memiliki kepadatan hunian yang baik yang
rumah, sehinggan mudah merasakan sesak
terkena ISPA sebanyak 18 rumah (78,3%) dan
yang diakibatkan kurangnya oksigen, udara
yang memiliki kepadatan hunian baik yang
yang kotor dapat mengundang berbagai bahan
tidak terkena ISPA sebanyak 5 rumah (21,7%),
kimia sehingga mudah memicu penyakit.
sedangkan responden yang tidak mempunyai
kepadatan hunian yang tidak baik sebanyak 14 4. KESIMPULAN
rumah (45,2%) dan yang tidak mempunyai
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
kepadatan hunian yang tidak baik yang tidak
dilakukan terhadap 54 responden yang ada di
terkena ISPA sebanyak 17 rumah (54,8%).
Desa Marendal I Pasar V Kab.Deli Serdang,
Menurut (Sarwono 2010) tentang persyaratan dapat disimpulkan ada hubungan yang
kesehatan perumahan yang tidak sehat dan signifikan antara Ventilasi Rumah dengan
memenuhi syarat, dimana kepadatan hunian kejadian ISPA
yang melebihi standar dapat menyebabkan pada Balita dengan uji chi- Square (P value
suhu ruangan meningkat akbibat aktifitas =0,001 < 0,05), Ada hubungan yang signifikan
penghuni rumah, pada kondisi luas rumah yang antara Kepadatan Hunian dengan kejadian ISPA
cukup akan memberikan ruang gerak yang Pasa Balita (p value 0,030 < 0,05 ), dan Ada
cukup dan memberikan perasaan yang nyaman hubungan yang signifikan antara Pencemaran

102
JURNAL PENELITIAN KESMASY VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKSY
RECEIVED: 17 FEBRUARI 2019 REVISED: 18 MARET 2019 ACCEPTED: 28 APRIL 2019

Udara dengan kejadian ISPA Pasa Balita (p Infection in Under five Chihdern.
value 0,006 < 0,05). Regional Healt forum volume 9, (1).
Kotari, Murti, B., 1997. Prinsip dan Metode
DAFTAR PUSTAKA
Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gajah
Ambarwati dan Dina, 2007. Hubungan antara Mada Universitas 2006.
Sanitasi Fisik Rumah Susun (Kepadatan Kusnoputranto, 2011. Kesehatan Lingkungan.
Penghuni, Ventilasi, Suhu, Kelembaban, Jakarta : Enjang Indan
dan Penerangan Alami) dengan Kejadian
Penyakit ISPA. Abstrak Penelitian. di Margono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan,
akses 09 Desember 2008 Jakarta : Rineka Cipta

Alex, 2012. Sukses mengolah sampah organik Maryunani, 2010. Persyaratan Rumah Sehat,
menjadi pupuk organik. Pustaka Baru Diakses 27 Maret 2014.
Press. Yogyakatra. Mashuri, 2013. Jamban Cemplung (Pit Latrine),
Atika, 2012, Perilaku Hidup Sehat dan Bersih. Jakarta : Michell
Jakarta : Salemba Medika. Masriadi, 2014. Epidemiologi Penyakit Menular.
Azwar, A., 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Depok : Rajawali Press
Lingkungan. Jakarta: Mutiara Misnadiarly, 2010. Infeksi Saluran Pernapasan
Benih, C., 2013. Penanggulangan dan Akut.
Pengobatan ISPA. Diakses: 09 Desember Miranda, 2016. Memenuhi syarat Rumah.
2008 Jakarta : Salemba Medika
Candra, 2010. Pengantar Kesehatan Mumpuni, 2016. 45 Penyakit menular.
Lingkungan Jakarta: EGC. Yogyakarta : Rapha Publishing
Dainur, 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Muttaqin, 2008. Infeksi Saluran Pernafasan
Jakarta: Widya Akut. Jakarta : Salemba Medika
Depkes RI, 2013. Informasi tentang ISPA pada Notoatmodjo, S., 2010a. Ilmu Kesehatan
Balita. Jakarta: Pusat Penyuluhan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta
kesehatan masyarakat
Rahajoe, 2010. Infeksi Saluran Pernafasan
Dinata, A., 2007. Aspek Teknis dalam Akut. Jakarta : Medika
Penyehatan Rumah. Diakses: 09
Desember 2008 Sarwono, 2013. Kepadatan dan kesesakan
tempat tinggal. Diakses 31Maret 2011
Dinkes Kota Medan, 2016. Profil Kesehatan
Kota Medan Tahun 2016. Kemenkes, RI, Suryono. 2012. Hubungan kondisi fisik rumah
2015. dengan kepadatan hunian.
Diakses 09 April 2014.
Profil kesehatan Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Indonesia RI. Widayono, 2010. Infeksi Saluran Pernafasan.
2016. Jakarta : Rineka Cipta

Kemenkes, RI, 2010, Pedoman tatalaksana World Health Organization. 2015. Pencegahan
Balita Direktoral Jenderal Pengendalian dan Pengendalian ISPA difasilitasi
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. pelayanan kesehatan. Dinkes: 10 mei
Jakarta 2017

Kisna, 2016. Tempat Pengolahan Sampah.


Jakarta : EGC
Khin, M, T, 2005. Indoor Air Polution : Inpact
of intervention onAcute. Respirotory

103
Qanun Medika
QanunVol. 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun

Laporan Hasil Penelitian

PENGARUH DURASI PNEUMOTORAK TERHADAP TINGKAT


STRESS OKSIDATIF PARU TIKUS WISTAR

Faisal Muttaqien1, Bermansyah2, Irsan Saleh3


1)
Departemen Bedah, Rumah Sakit Umum dr.Mohammad Hoesin Palembang/Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
2)
Departemen Bedah Bagian Bedah Toraks, Kardio dan Vaskular Rumah Sakit Umum dr.Mohammad
Hoesin Palembang
3)
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Submitted:: October
Submitted Oktober 2018 Accepted:
2018 January
Accepted 2019 Published:
: Januari 2019 January 2019
Published : Januari 2019

ABSTRACT

Large pneumothorax with long duration of symptoms can be dangerous. Large pneumothorax can
cause hypoxemia and its duration states the duration of hypoxia. This long duration of hypoxia
can affect changes in tissue conditions of the lungs, which if it reaches 72 hours can increase the
permeability of the alveolar capillaries in the lungs to facilitate pulmonary edema. Large
pneumothorax with long duration of symptoms can be a risk factor for re-expansion pulmonary
edema (REPE). Meanwhile, hypoxia can also cause increased production of free radicals in lung
tissue (pulmonary oxidative stress). This study investigated whether the duration of pneumothorax
also affects the level of pulmonary oxidative stress, with experiments in rats. There were 4 groups
consisting of 6 rats in each group: 24 hours of pneumothorax (A), 48 hours of pneumothorax (B),
72 hours of pneumothorax (C) and control (D). Pneumothorax is made by injecting air into the
right pleural cavity of the chest, then we performed X-ray. All samples were examined for PaO 2
to ensure hypoxia status. After that, the rats were examined for malondialdehyde (MDA) levels
to express the level of oxidative stress. The result showed that all pneumothorax groups were
hypoxemic (PaO2 below 80 mmHg). Mean MDA levels were higher in pneumothorax groups.
However, only group C were significantly higher (p=0,031). MDA levels were 1,601 ± 0,739 in
group A, 1,585 ± 0,714 in group B, 2,256 ± 0,513 in group C, and 1,243 ± 0,162 in group D.
We concluded that pneumothorax can cause pulmonary oxidative stress if the pneumothorax has
a large volume and the duration of symptoms reaches 72 hours.

Keywords : Pneumothorax, REPE, Lung Edema, Free Radicals, Malondialdehyde, Hypoxia.


Correspondance to : faisaldanyani@gmail.com

ABSTRAK

Pneumotorak luas dengan durasi gejala yang lama dapat berbahaya. Pneumotorak luas dapat
menyebabkan hipoksemia dan durasi gejalanya yang lama menyatakan durasi hipoksia parunya.
Durasi hipoksia ini dapat mempengaruhi perubahan kondisi jaringan di paru, yang bila mencapai
72 jam dapat meningkatkan permeabilitas kapiler alveolar di paru sehingga memudahkan
terjadinya edema paru. Pneumotorak luas dengan durasi gejala yang lama dapat menjadi faktor
resiko reexpansion pulmonary edema (REPE). Sementara itu, hipoksia juga dapat menyebabkan
peningkatan produksi radikal bebas di jaringan paru (stress oksidatif paru). Penelitian ini

halaman
45
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.
vol. Januari 2019
|bulan tahun

menginvestigasi apakah durasi pneumotorak juga mempengaruhi tingkat stress oksidatif paru,
dengan eksperimen pada tikus. Terdapat 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 6 tikus:
kelompok pneumotorak 24 jam (A), pneumotorak 48 jam (B), pneumotorak 72 jam (C) dan
kontrol (D). Pneumotorak dibuat dengan cara injeksi udara ke rongga pleura dada kanan, lalu di
X-ray. Semua sampel diperiksa PaO2 untuk memastikan tingkat hipoksianya. Setelah itu, tikus
diperiksa kadar malondialdehid (MDA) parunya untuk mengetahui tingkat stress oksidasi
parunya. Hasil penelitian menunjukkan semua kelompok tikus pneumotorak mengalami
hipoksemia. Rata-rata kadar MDA lebih tinggi pada kelompok pneumotorak, namun secara
statistik hanya bermakna pada kelompok 72 jam (C) dengan p=0,031. Kadar MDA pada masing-
masing kelompok adalah 1,601 ± 0,739 pada kelompok A, 1,585 ± 0,714 pada kelompok B, 2,256
± 0,513 pada kelompok C, dan 1,243 ± 0,162 pada kelompok D. Kesimpulannya pneumotorak
dapat menyebabkan stress oksidatif paru bila pneumotorak bervolume luas dan durasi gejala
mencapai 72 jam.

Kata kunci: Pneumotorak, REPE, Edema Paru, Radikal Bebas, Malondialdehid, Hipoksia
Korespondensi : faisaldanyani@gmail.com

PENDAHULUAN hipoksemia. Proses patofisiologinya


Di negara maju, pneumotorak masih terjadi melibatkan penurunan kapasitas vital paru,
walaupun angkanya relatif kecil. Insidensi terjadinya shunting intrapulmoner,
pneumotorak spontannya adalah 14,3 per penurunan rasio ventilasi perfusi pada
100.000 penduduk per tahun (Schnell et alveoli paru dan hipoventilasi alveolar
al., 2017). Pneumotorak traumatik terjadi (Choi, 2014). Sebagian besar pasien
pada 10-30% dari kasus trauma tumpul dengan pneumotoraks luas memiliki
torak (Veysi et al., 2009) dan 95% dari penurunan PaO2 arteri dan peningkatan
kasus trauma tajam torak (Reade, 2016). Di perbedaan tekanan oksigen alveolar-arteri.
Indonesia, angka kejadian pneumotorak Terdapat sebuah penelitian pada 12 pasien
cukup banyak dan memiliki angka dengan pneumotoraks spontan, didapatkan
mortalitas yang tinggi. Di RS Cipto PaO2 arteri berada di bawah 80 mmHg
Mangunkusumo pada tahun 2000-2011 pada 9 pasien (75%) dan di bawah 55
didapatkan pasien dengan pneumotorak mmHg pada 2 pasien (Norris et al., 1968).
spontan primer 25%, pneumotorak spontan Hipoksemia dapat terjadi pada
sekunder 47,1%, pneumotorak traumatik pneumotorak bila luas nya lebih dari 25%.
13,5% dan pneumotorak tension 14,4%. Pada pneumotorak spontan sekunder
Angka mortalitas pneumotoraknya pun hipoksemia lebih mudah lagi terjadi
tinggi yaitu sebanyak 33,7% dengan walaupun luas pneumotorak kurang dari
penyebab kematian terbanyak gagal napas 25% karena adanya penyakit paru yang
(45,8%) (PWidjaya et al., 2014). mendasarinya (Choi, 2014).

Pneumotorak yang luas dapat Durasi gejala yang lama pada pneumotorak
menyebabkan paru tertekan atau kolaps yang luas menyatakan durasi hipoksia
sehingga terjadi gangguan pertukaran gas. parunya. Durasi lama ini dapat
Hal berakibat pada turunnya partial berpengaruh pada perubahan kondisi
pressure of arterial oxygen (PaO2) atau jaringan di paru. Penelitian eksperimental

halaman
46
Qanun Medika
QanunVol. 3 No.
Medika vol.1no.Januari 2019
|bulan tahun

hewan menyatakan bahwa terjadi hipoksia dapat memicu produksi endogen


perubahan membran kapiler alveolar yang berlebihan radikal bebas / ROS (reactive
meningkatkan permeabilitasnya pada oxygen species) oleh sel-sel paru. Radikal
pneumotorak dengan paru kolaps 72 jam, bebas atau ROS ini dapat menyebabkan
memudahkan terjadinya perpindahan cedera sel paru (stress oksidatif paru).
cairan ke ruang alveolar (edema paru) Manifestasi yang timbul akibat stress
(Sewell et al., 1978). Mekanisme ini oksidasi paru dapat berupa inflamasi dan
disebabkan hipoksia paru. Penelitian edema paru (Araneda and Tuesta, 2012;
ekperimental hewan yang lain juga Sarada et al., 2008). Stress oksidatif dapat
mengatakan durasi pneumotorak yang diukur dengan biomarkernya yaitu
lama beresiko menyebabkan edema paru malondialdehyde (MDA) (Ayala et al.,
dan inflamasi (Elias et al., 2014). 2014).

Pneumotorak yang luas dan durasi lama Pada pneumotorak juga dapat terjadi
dapat menjadi faktor resiko reexpansion hipoksia dan hipoksemia karena kolapsnya
pulmonary edema (REPE). REPE dapat paru akibat penekanan udara. Belum
terjadi pada pneumotorak volume luas diketahui bagaimana stress oksidatif paru
dengan durasi gejala yang mencapai lebih karena hipoksia yang disebabkan
dari 3 hari (Peter et al., 2017). Angka pneumotorak. Durasi pneumotorak juga
kejadian REPE pada pneumotorak spontan berkaitan dengan durasi hipoksianya.
bervariasi, menurut laporan-laporan yang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
ada antara lain 15,6% (Morioka et al., pengaruh durasi pneumotorak terhadap
2013), 16% (Yoon et al., 2013), 29,8% tingkat stress oksidatif paru, dengan
(Kwon et al., 2009) dan 32,5% (Taira et eksperimen pada tikus.
al., 2014). Angka ini relatif kecil namun
mortalitas REPE dapat mencapai 20% METODE PENELITIAN
(Mahfood et al., 1988). Patologi ini Penelitian ini merupakan penelitian
disebabkan oleh reekspansi paru yang eksperimental menggunakan tikus wistar.
cepat dan perubahan kondisi jaringan paru Desain penelitiannya adalah post-test only
karena hipoksia. Reekspansi paru yang control group design. Penelitian dilakukan
cepat menyebabkan perubahan cepat di Laboratorium Animal house dan
tekanan intratorakal sehingga terjadi Bioteknologi Fakultas Kedokteran
peningkatan tekanan kapiler dan Universitas Sriwijaya dari tanggal 23
hidrostatik paru. Kondisi ini diperkuat Agustus sampai 5 September 2018.
dengan kondisi paru yang sudah
mengalami hipoksemia jaringan paru Terdapat 24 tikus pada penelitian ini.
regional yang menyebabkan migrasi sel Semua tikus secara random dibagi dalam 4
dan mediator inflamasi, serta perubahan kelompok yang masing-masing terdiri dari
permeabilitas kapiler alveolar (Peter et al., 6 tikus yaitu kelompok pneumotorak 24
2017). jam (A), pneumotorak 48 jam (B),
pneumotorak 72 jam (C) dan kelompok
Sementara itu, terdapat penelitian yang tanpa pneumotorak atau kontrol (D).
mengatakan hipoksia dapat menyebabkan Pneumotorak dibuat dengan cara injeksi
stress oksidatif di paru. Adanya kondisi udara pada rongga pleura. Setelah itu

halaman
47
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun

semua sampel diperiksa PaO2 untuk dengan manusia. Nilai normal PaO2 tikus
memastikan tingkat hipoksianya. Tikus berkisar dari 80,72-109,56 mmHg
kemudian diperiksa kadar malondialdehid (Subramanian et al., 2013).
(MDA) parunya untuk mengetahui tingkat
stress oksidasi parunya. Teknik pemeriksaan stress oksidasi paru
Setelah memeriksa PaO2, kami langsung
Hewan Penelitian mengambil paru kanan tikus untuk analisa
Hewan penelitian adalah tikus wistar stress oksidasi. Dilakukan insisi midsternal
jantan dengan berat badan 200-250 g, usia sampai paru ekspose(sternotomi),
2-3 bulan, sehat, tidak terdapat kemudian paru kanan dievakuasi. Paru
abnormalitas anatomi serta bukan tikus dicuci dengan larutan PBS 1% sampai
hasil uji coba penelitian lain. Tikus bersih lalu di sentifuse dengan kecepatan
didapatkan dari Animal house Fakultas 3000 rpm selama 20 menit. Hasil sentrifuse
Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tikus berupa presipitat dan supernatant.
dirawat dalam kandang berisi 3 tikus Supernatant kemudian diambil untuk
perkadang dengan suhu ruang 20-24oC, pemeriksaan malondialdehid (MDA)
siklus gelap terang selama 12 jam serta dengan teknik ELISA.
diberi makan dan minum secukupnya.
Semua prosedur eksperimen tikus telah Analisa statistik
disetujui komite etik Fakultas Kedokteran Data ditampilkan dalam bentuk rata-rata
Universitas Sriwijaya. (mean) dan standar deviasinya. Analisa
dilakukan dengan software SPSS versi 25.
Teknik membuat pneumotorak Perbandingan kelompok pneumotorak dan
Tikus dibius dengan menyuntikkan kelompok kontrol dilakukan dengan uji
ketamin 90 mg/kgBB dan xylazine 10 ANOVA dan uji post-hoc Tukey, dengan
mg/kgBB intraperitoneal. Teknik p<0.05 sebagai batas signifikansi.
membuat pneumotorak adalah dengan
menginjeksikan udara pada rongga pleura Kami berhasil membuat tikus
(Elias et al., 2014). Setelah mencukur pneumotorak sebagaimana terlihat pada
dinding dada kanan tikus, dibuat insisi gambar 1. Tidak terdapat cedera seperti
±0,5-1 cm pada regio intercostal ke-empat hemothoraks dan udara diluar rongga torak
lalu insisi diperdalam sampai tampak iga seperti emfisema subcutis atau udara
dan otot intercostalis. Udara sebanyak 6cc intraabdomen karena tepatnya lokasi
diinjeksikan ke rongga pleura kanan injeksi udara.
dengan spuit yang ditusukkan sedalam
±0,5 cm dan diatas iga pada intercostal
space ke-empat. Setelah itu dilakukan X-
ray untuk membuktikan pneumotorak.

Teknik pemeriksaan PaO2


Darah diambil langsung dari jantung tikus
dengan spuit. Darah dianalisis dengan alat
pemeriksaan gas darah portabel (i-STAT). (a) (b)
Nilai normal PaO2 tikus tidak jauh berbeda Gambar 1. Sampel penelitian. (a) Tikus normal,
(b) Tikus pneumotorak

halaman
48
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun

Hasil pemeriksaan PaO2 didapatkan perbedaan kadar MDA antar


Hasil PaO2 gas darah tikus ditampilkan kelompok penelitian. Untuk mencari
dalam tabel 1. Pada tabel ini terlihat bahwa kelompok mana yang memiliki perbedaan
kelompok kontrol memiliki nilai rata-rata signifikan dilakukan uji post-hoc Tukey.
88,16 mmHg (normal) dan kelompok Pada uji post-hoc didapatkan bahwa
pneumotorak memiliki nilai PaO2 yang kelompok C (pneumotorak durasi 72 jam)
rendah (hipoksemia). Tikus pneumotorak memiliki perbedaan bermaksa
kelompok A rata-rata PaO2 adalah 47,16 dibandingkan kelompok kontrol dengan
mmHg, tikus pneumotorak kelompok B nilai p=0.031. Kelompok A (pneumotorak
rata-rata 56,16 mmHg dan tikus 24 jam) dan B (pneumotorak 48 jam)
pneumotorak kelompok C rata-rata 50,5 walaupun rata-ratanya lebih tinggi dari
mmHg. kelompok kontrol, ternyata tidak memilki
perbedaan bermakna secara statistik.
TABEL 1. Nilai PaO2 kelompok tikus Grafiknya dapat dilihat pada grafik 1.
Kelompok PaO2
(mmHg)
A 47,16 ± 2.5
1,01 2.256 (*)
B 56,16 ±
1,47 2
C 50,5 ±
Kadar MDA (nmol/g)

8,16 1.601 1.585


D 88,16 ± 1.5
2,92 1.243

1
Kadar malondialdehid sampel
Terdapat peningkatan kadar MDA pada
kelompok pneumotorak sebagaimana 0.5

terlihat pada tabel 2. Kelompok


pneumotorak A memiliki rata-rata 1,601 0
24 48 72
nmol/g, kelompok pneumotorak B 1,505
nmol/g, kelompok pneumotorak C 2,256 Durasi (jam)
nmol/g, sedangkan kelompok D (kontrol) Kontrol Kelompok Pneumotorak
rata-rata 1,243 nmol/g.
Grafik 1. Perbandingan nilai MDA antara kelompok
pneumotorak dengan kontrol
TABEL 2. Nilai MDA kelompok tikus
Keterangan : * kelompok yang berbeda bermakna
Kelompok MDA secara statistik dengan kelompok kontrol
(nmol/g)
A 1,601 ±
0,739 PEMBAHASAN
B 1,585 ± Tikus yang dibuat pnemotorak
0,714
C 2,256 ±
menyebabkan kondisi hipoksia paru.
0,513 Semakin banyak udara pada rongga pleura
D 1,243 ± maka paru semakin tertekan dan kolaps.
0,162
Keterangan : Kolapsnya paru ini menyebabkan
Uji one-way ANOVA, p=0,046 penurunan kapasitas vital paru, shunting
intrapulmoner, ketidakseimbangan
Pada uji statistik dengan one-way ANOVA
ventilasi perfusi dan hipoventilasi alveolar
didapatkan nilai p=0,046, yang berarti
(Choi, 2014). Kurangnya oksigen yang

halaman
49
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun

masuk dan mengalami pertukaran gas pneumotorak durasi 72 jam. Hal ini
menjadi semakin sedikit akibatnya dapat menunjukkan kadar MDA juga semakin
terjadi hipoksemia. Pada tabel 1 terlihat meningkat sejalan dengan durasi
bahwa PaO2 semua kelompok tikus pneumotoraknya. Hal ini berkaitan dengan
pneumotorak berada dibawah 80 mmHg durasi keparahan hipoksia akibat
(hipoksemia). Hipoksemia ini menandakan pneumotoraknya. Pada penelitian
telah terjadinya hipoksia akibat dikatakan tingkat stress oksidatif juga
pneumotorak. bergantung pada derajat keparahan
maupun durasi hipoksianya (Araneda and
Pada penelitian ini terdapat peningkatan Tuesta, 2012).
MDA pada kelompok tikus pneumotorak.
MDA yang meningkat pada pneumotorak Penelitian hipoksia kebanyakan dengan
menunjukkan bahwa hipoksia karena cara memasukkan sampel hewan ke ruang
pneumotorak juga dapat menimbulkan minim oksigen berupa hypoxia chamber
stress oksidasi paru. Hal ini berarti terdapat atau hypobaric chamber. Terdapat
produksi radikal bebas atau ROS penelitian yang melihat tingkat stress
berlebihan oleh sel-sel paru yang oksidasi paru pada kondisi normobarik
menyebabkan cedera sel paru (stress hipoksia (inhalasi kadar O2 10%),
oksidasi). Sebagaimana telah disebutkan didapatkan bahwa MDA meningkat pada
sebelumnya manifestasi stress oksidasi di hari ke-5 (Wilhelm et al., 2003). Terdapat
paru dapat berupa inflamasi dan edema juga penelitian yang meneliti hipoksia
paru. Radikal bebas atau ROS di paru dapat hipobarik (tekanan 338 mmHg) dengan
menstimulasi produksi mediator inflamasi paparan durasi hipoksia yang berbeda-
sehingga terjadi inflamasi pada kapiler. beda (2 jam, 4 jam, 8 jam, 16 jam, 24 jam
Inflamasi ini dapat meningkatkan dan 48 jam), didapatkan bahwa MDA
permeabilitas vaskuler lalu terjadi edema meningkat pada hipoksia kelompok durasi
paru (Araneda and Tuesta, 2012; Sarada et 16 jam, 24 jam dan 48 jam. Bahkan lebih
al., 2008). Peningkatan MDA ini secara jauh dikatakan paparan hipoksia jangka
statisik bermakna pada kelompok pendek (2 - 4 jam) tidak menunjukkan efek
pneumotorak durasi 72 jam. Hal ini dapat signifikan pada arstitektur paru (Smita et
menjelaskan patofisiologi terjadinya REPE al., 2015). Pada penelitian kami, MDA
(re-expansion pulmonary edema). REPE meningkat secara statistik pada 72 jam.
terjadi pada pneumotorak dengan durasi Perbedaan hasil penelitian kami dengan
gejala yang mencapai lebih dari 72 jam penelitian-penelitian tersebut diatas
(Peter et al., 2017). Ekspansi paru yang disebabkan karena perbedaan cara
cepat setelah pemasangan chest tube pada membuat kondisi hipoksianya. Hipoksia
kasus pneumotorak menyebabkan pada penelitian kami dihasilkan karena
peningkatan tekanan tekanan kapiler dan kolapsnya alveoli. Namun dapat diambil
hidrostatik paru, ditambah permeabilitas kesimpulan yang sama yaitu kondisi
membran kapiler alveolar yang meningkat hipoksia dapat meningkatkan stress
karena radikal bebas, menyebabkan REPE. oksidatif dan durasinya memperberat
tingkat stressnya.
Peningkatan MDA pada sampel hanya
bermakna secara statistik pada kelompok

halaman
50
Qanun Medika Vol.
Qanun 3 No.
Medika 1 no.Januari
vol. 2019
|bulan tahun

Penelitian ini memberikan wacana akan menggunakan tikus kontrol sebagai


pentingnya penilaian status hipoksia patokan nilai normalnya. Penelitian-
dengan pemeriksaan gas darah pada penelitian lain yang meneliti kadar MDA
pneumotorak yang luas dan gejala sudah pada tikus juga menggunakan kadar MDA
hampir mencapai 72 jam. Anamnesis kelompok kontrolnya sendiri sebagai
sudah berapa lama gejala sesak yang pembandingnya. Pada manusia referensi
timbul tiba-tiba diperlukan untuk nilai normal MDA pernah diteliti oleh
memperkirakan sudah berapa lama durasi Nielsen et al (Nielsen et al., 1997).
pneumotoraknya. Durasi pneumotorak
dapat dihitung dari saat penderita memiliki KESIMPULAN
keluhan sesak tiba-tiba sampai pasien Pneumotorak dapat menyebabkan stress
dirawat atau dilakukannya pemeriksaan oksidatif paru bila pneumotorak
radiologis sebagai bukti pneumotoraknya bervolume luas dan durasi gejala mencapai
(Morioka et al., 2013). Pada penelitian 72 jam Mekanismenya diperantarai oleh
didapatkan durasi gejala pneumotorak hipoksia atau hipoksemia karena
spontan sebelum terdiagnosa radiologis pneumotorak.
atau dirawat tercatat rata-rata 3,8 hari
(Kwon et al., 2009). Pada penelitian lain DAFTAR PUSTAKA
tercatat rata-rata 5,3 hari (Morioka et al., Araneda, O. F. and Tuesta, M. (2012)
‘Lung Oxidative Damage by
2013).
Hypoxia’, Hindawi Publishing
Corporation Oxidative Medicine
Kecurigaan perlu dilakukan pada and Cellular Longevity, pp. 1–18.
pneumotorak spontan karena pada doi: 10.1155/2012/856918.
pnemotorak spontan keluhan sesaknya
yang tiba-tiba sering dianggap penyakit Ayala, A., Muñoz, M. F. and Argüelles, S.
lain dan diagnosa menjadi salah, sehingga (2014) ‘Lipid peroxidation:
Production, metabolism, and
durasinya bisa mencapai lebih dari satu
signaling mechanisms of
hari. Pneumotorak spontan yang luas malondialdehyde and 4-hydroxy-2-
(mengalami hipoksia) dan anamnesis nonenal’, Oxidative Medicine and
gejalanya sudah hampir mencapai 72 jam, Cellular Longevity, 2014. doi:
patut diwaspadai akan kemungkinan 10.1155/2014/360438.
terjadinya REPE saat pemasangan chest
Choi, W.-I. (2014) ‘Pneumothorax’,
tube. Hasil pemeriksaan MDA yang
Tuberculosis and Respiratory
menunjukkan hasil tinggi mungkin Diseases, 76(3), p. 99. doi:
berguna untuk menambah kecurigaan akan 10.4046/trd.2014.76.3.99.
munculnya REPE. Hal ini karena MDA
yang tinggi menyatakan telah terjadi Dada, L. A. and Sznajder, J. I. (2007)
perubahan jaringan paru akibat hipoksia ‘Hypoxic inhibition of alveolar fluid
reabsorption’, Adv Exp Med Biol,
yang akan memudahkan terjadinya REPE.
pp. 159–168.

Kekurangan pada penelitian ini adalah Elias, A. S. N. T. et al. (2014) ‘Effects of


belum adanya standarisasi berapa nilai early and late pneumothorax
normal kadar MDA pada tikus sehingga drainage on the development of
nilai normal MDA pada penelitian ini pulmonary oedema’, Respiratory

halaman
51
Qanun Medika Vol. 3 No. 1 Januari 2019
Qanun Medika vol. no. |bulan tahun

Physiology and Neurobiology. Journal of Academic Medicine, 3(1),


Elsevier B.V., 195(1), pp. 27–36. pp. 1–4. doi: 10.4103/IJAM.IJAM.
doi: 10.1016/j.resp.2014.02.004.
PWidjaya, D. et al. (2014) ‘Karakteristik
Kwon, Y. et al. (2009) ‘New classification dan Faktor-Faktor yang
and clinical characteristics of Mempengaruhi Kesintasan Pasien
reexpansion pulmonary edema after Pneumotoraks di Rumah Sakit Cipto
treatment of spontaneous Mangunkusumo, Jakarta’, Ina J
pneumothorax’, American Journal Chest Crit and Emerg Med, 1(3).
of Emergency Medicine. Elsevier
Inc., 27(8), pp. 961–967. doi: Reade, M. C. (2016) ‘Thoracic Trauma and
10.1016/j.ajem.2008.07.036. Management of Ventilation in the
Critically Injured Patient’, in Sam D.
Lorente, L. et al. (2013) ‘Sustained high Hutchings (ed.) Trauma and
serum malondialdehyde levels are Combat Critical Care in Clinical
associated with severity and Practice. Springer, p. 192.
mortality in septic patients’, critical
care, pp. 1–11. Sarada, S. et al. (2008) ‘Role of Oxidative
Stress and NFkB in Hypoxia-
Mahfood, S. et al. (1988) ‘Reexpansion Induced Pulmonary Edema’,
Pulmonary Edema’, The Annals of Experimental Biology and
Thoracic Surgery. The Society of Medicine, 233(9), pp. 1088–1098.
Thoracic Surgeons, 45(3), pp. 340–
345. doi: 10.1016/S0003- Schnell, J. et al. (2017) ‘Spontaneous
4975(10)62480-0. Pneumothorax’, Deutsches
Ärzteblatt International, 114, pp.
Morioka, H. et al. (2013) ‘Re-expansion 739–44. doi:
pulmonary edema : Evaluation of 10.3238/arztebl.2017.0739.
risk factors in 173 episodes of
spontaneous pneumothorax’, Sewell, R. W., Fewel, J. G. and Grover, F.
Respiratory Investigation. Elsevier, L. (1978) ‘Experimental Evaluation
51(1), pp. 35–39. doi: of Reexpansion Pulmonary Edema’,
10.1016/j.resinv.2012.09.003. The Annals of Thoracic Surgery.
The Society of Thoracic Surgeons,
Nielsen, F. et al. (1997) ‘Plasma 26(2), pp. 126–132. doi:
malondialdehyde as biomarker for 10.1016/S0003-4975(10)63654-5.
oxidative stress : reference interval
and effects of life-style factors’, Smita, K., Pasha, M. Q. and Jain, S. (2015)
Clinical Chemistry, 43(7), pp. ‘Oxidative Stress and
1209–1214. Histopathological Evaluation of Rat
Lung Tissue during Hypobaric
Norris, R. M., Jones, J. G. and Bishop, J. Hypoxia’, Journal of Proteomics &
M. (1968) ‘Respiratory gas Bioinformatics, 8(6), pp. 108–115.
exchange in patients with Subramanian, R. K. et al. (2013)
spontaneous pneumothorax’, ‘Normative data for arterial blood
Thorax, 23, pp. 427–433. gas and electrolytes in anesthetized
rats’, Indian Journal of
Peter Stawicki, S., Sarani, B. and Pharmacology, 45(1), pp. 103–105.
M.Braslow, B. (2017) doi: 10.4103/0253-7613.106451.
‘Republication : Reexpansion Taira, N. et al. (2014) ‘An analysis of and
pulmonary edema’, International new risk factors for reexpansion

52halaman
Qanun Medika Vol. 3 No. 1 Januari 2019
Qanun Medika vol. no. |bulan tahun

pulmonary edema following


spontaneous pneumothorax’,
Journal of Thoracic Disease, 6(9),
pp. 1187–1192. doi:
10.3978/j.issn.2072-
1439.2014.07.35.
Veysi, V. T. et al. (2009) ‘Prevalence of
chest trauma, associated injuries and
mortality: A level i trauma centre
experience’, International
Orthopaedics, 33(5), pp. 1425–
1433. doi: 10.1007/s00264-009-
0746-9.
Wilhelm, J. et al. (2003) ‘Hydrogen
Peroxide Production by Alveolar
Macrophages Is Increased and Its
Concentration Is Elevated in the
Breath of Rats Exposed to Hypoxia :
Relationship to Lung Lipid
Peroxidation’, Journal of
Physiological Research, 52, pp.
327–332.
Yoon, J. et al. (2013) ‘Risk factors for the
development of reexpansion
pulmonary edema in patients with
spontaneous pneumothorax’,
Journal of Cardiothoracic Surgery,
8(1), pp. 1–6.

53halaman
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

PENGARUH PROGRAM MANAJEMEN PERAWATAN TERHADAP


PENURUNAN TINGKAT READMISI PADA PASIEN PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIS

Ratna W. Rosyida1*, Sa’bani N.A 2, Ruly A. S 3, M.G.A Putra 4, Anggi L.


Wicaksana5
1,2,3,4
Mahasiswa Magister Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat,
dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Email: 1*ratna.w.r@mail.ugm.ac.id, 2sabani.nur.a@mail.ugm.ac.id,
3
ruly_anita@yahoo.com, 4muhammadputraga1805@gmail.com.
5
Program Studi Keperawatan Medikal Bedah, Fakultas Kedokteran, Kesehatan
Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Email: 5anggi.l.wicaksana@ugm.ac.id

Abstrak
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memberikan dampak
signifikan terhadap keberlangsungan hidup pasien. Strategi program
perawatan perlu diaplikasikan untuk mencegah eksaserbasi akut
sehingga dapat menurunkan readmisi pasien. Tujuan dari studi ini
adalah untuk mencari bukti terkait pengaruh program perawatan
terhadap readmisi pada pasien PPOK. Metode yang digunakan adalah
pencarian literatur dengan mencari publikasi artikel 10 tahun terakhir
dari database: Science Direct dan Pubmed dengan kata kunci: Chronic
Obstructive Pulmonary Disease OR COPD AND care programme
AND readmission. Peneliti memilih artikel original dan hasil review
dengan kriteria inklusi: teks artikel utuh dan bahasa inggris. Kriteria
eksklusi: tidak sesuai dengan rumusan masalah (PICOT), program
rehabilitasi, dan seting unit gawat darurat. Peneliti melakukan review
dengan mengecek duplikasi, judul, abstrak kemudian membaca artikel
keseluruhan. Selanjutnya peneliti melakukan ekstrasi data dari artikel
yang dipilih. Pencarian literatur mengikuti panduan PRISMA
flowchart. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 3 artikel yang
memenuhi kriteria. Hasil temuan didapatkan bahwa program
manajemen perawatan PPOK yang komprehensif dan terintegrasi
memberikan manfaat dalam menurunkan tingkat readmisi pasien.
Program manajemen perawatan yang dimaksud berupa perencanaan
kepulangan pasien, kunjungan rumah atau follow-up serta perawatan
pasca hospitalisasi. Program ini membutuhkan kerjasama
multidisipliner dari perawat, fisioterapis, dokter dan apoteker.
Simpulan dari studi ini adalah program manajemen perawatan yang
komprehensif dan terintegrasi perlu dilakukan untuk menurunkan
angka readmisi pasien PPOK.

Kata kunci : perawatan, PPOK, program, readmisi

75
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

ABSTRACT
Chronic obstructive pulmonary disease(COPD) provided a significant
impact on life. It was important to develop strategy to prevent
exacerbation. The study aimed to find outthe best evidence related to
the effect of the care program on the readmission in COPD. The
method used was the literature searched from the last 10 years
publication from two databases: ScienceDirect and Pubmed. Keyword
was Chronic Obstructive Pulmonary Disease OR COPD AND care
programme AND readmission. Inclusion criteria were was full text
articles in English, while the exclusion criteria were articles that not
appropriate with review question,rehabilitation program, and articles
with emergency setting. Four authors reviewed for duplicate articles,
titles, and abstracts. Then, read the whole article. The literature search
followed the PRISMA flowchart guidelines. The results indicated that
there were 3 articles that meet the criteria. The findings showed that
comprehensive and integrated COPD care management programs
provided benefits in significantly reducing patient readmission. The
management program consisted of patient's discharge planning, home
visit or follow-up and rehabilitation care. The program required
multidisciplinary collaboration including nurses, physiotherapists,
doctors, and pharmacists.The conclusion isa comprehensive and
integrated care management program is needed to be implemented to
reduce the readmission rate.

Keywords : care, COPD, program, readmission

PENDAHULUAN bertambah ketika beraktifitas dan/atau


bertambah dengan meningkatnya usia
Penyakit paru obstruktif kronik disertai batuk berdahak atau pernah
(PPOK) merupakan penyakit yang timbul mengalami sesak napas disertai batuk
akibat dari adanya respon inflamasi kronis berdahak dan nilai Indeks Brinkman ≥200.
yang tinggi pada saluran nafas dan paru Indeks Brinkman adalah jumlah batang
yang biasanya bersifat progresif dan rokok yang diisap, dihitung sebagai lama
persisten. Penyakit ini memiliki ciri merokok (dalam tahun) dikalikan dengan
berupa terbatasnya aliran udara yang jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil
masuk dan umumnya dapat di cegah dan yang didapat melalui kuesioner akan lebih
di rawat (GOLD, 2015). PPOK adalah rendah dibanding pemeriksaan spirometri
penyakit kronis saluran napas yang karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi
ditandai dengan hambatan aliran udara paru sudah menurun banyak (Riskesdas,
khususnya udara ekspirasi dan bersifat 2013).
progresif lambat (semakin lama semakin Berdasarkan data World Health
memburuk), disebabkan oleh pajanan Organization (2017), prevalensi PPOK di
faktor risiko seperti merokok, polusi udara dunia sebesar 251 juta kasus. Sementara
di dalam maupun di luar ruangan. Onset prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak
(awal terjadinya penyakit) biasanya pada 3,7 persen. Prevalensi PPOK tertinggi
usia pertengahan dan tidak hilang dengan terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%).
pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK PPOK lebih tinggi pada laki-laki
jika pernah mengalami sesak napas yang (242.256) dibanding perempuan

76
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

(266.074). PPOK sebagian besar dialami Original research atau review article,
oleh masyarakat berusia >30 tahun. PPOK menggunakan Bahasa Inggris. Artikel
memberikan dampak yang cukup dieksklusikan jika membahas mengenai
signifikan terhadap keberlangsungan program rehabilitasi dan seting ruang
hidup pasien. Beberapa penelitian gawat darurat. Database pencarian
sebelumnya menunjukkan bahwa fungsi literatur menggunakan Science Direct dan
paru-paru dan kualitas hidup sangat Pubmed dengan kata kunci : Chronic
dipengaruhi oleh frekuensi eksaserbasi Obstructive Pulmonary Disease OR
PPOK dan frekuensi readmisi di rumah COPD AND care programme AND
sakit. Selain itu pada pasien dengan PPOK Readmission. Peneliti membatasi artikel
memerlukan biaya perawatan yang yang sesuai pada 10 tahun terakhir untuk
tergolong cukup tinggi. Berdasarkan hal memastikan bukti terkini. Uji eligibilitas
tersebut, sangat penting untuk menggunakan JBI critical appraisal tools
dikembangkan berbagai macam strategi dilakukan oleh 2 reviewer secara
program perawatan (care programme) independen hingga didapatkan kesimpulan
untuk mencegah eksaserbasi akut PPOK bahwa artikel layak dilakukan proses
yang akan berdampak untuk menurunkan review.
tingkat readmisi pasien (Aimonino dkk.,
2008). HASIL DAN PEMBAHASAN
Care program merupakan suatu
program dalam manajemen PPOK yang Dari hasil pencarian literatur
bermanfaat untuk menurunkan tingkat didapatkan total 677 artikel dan hanya 3
eksaserbasi yang akan berdampak pada artikel yang memenuhi kriteria. Artikel
penurunan tingkat readmisi. Care dieksklusikan karena tidak sesuai dengan
program dilakukan dengan melibatkan tujuan pencarian, setting bukan di rawat
berbagai multidisiplin, baik dari perawat, inap atau komunitas, dan memberikan
fisioterapis, dokter, maupun social worker program rehabilitasi. Tiga artikel dengan
(Sridhardkk., 2008). Pertanyaan penelitian masing-masing desain Randomized
yang diajukan yaitu “bagaimana manfaat Controlled Trial (RCT), Cohort, dan
dari program manajemen perawatan pada Quasy Experiment. Hasil pencarian
pasien dengan PPOK.” Berdasarkan hal terdapat di flow chart PRISMA (gambar
tersebut, artikel ini bertujuan untuk 1). Hasil uji eligibilitas menggunakan JBI
mencari bukti terkait pengaruh dari care menunjukkan eligible dan digunakan
program terhadap penurunan readmisi sebagai literatur. Artikel yang didapat
pada pasien dengan PPOK. membahas mengenai program perawatan
yang komprehensif melibatkan tim
METODE PENELITIAN multidisiplin dan perawatan yang
terintegrasi antara setting klinik dan
Artikel ini merupakan integrative setting komunitas. Hasil sintesis artikel
literature review dengan pencarian terdapat di Tabel 1.
literatur mengikuti flowchart PRISMA
(lihat gambar 1). Kriteria inklusi artikel:
sesuai dengan tujuan penelitian, Full text,

77
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

Artikel diidentifikasi melalui


Identifikasi pencarian database : (N=677)
 Science Direct (n=662)
 Pubmed (n=15)
Artikel duplikat
dihilangkan (n=2)
Artikel setelah duplikat
dihilangkan
(n = 675) Eksklusi setelah
Skrinning

skrinning judul dan


abstrak
Artikel setelah skrinning (n=665)
judul dan abstrak

(n = 12)

Artikel full-text articles


dieksklusi (n=10)
Eligibilitas

Artikel full-text dikaji  Tidak sesuai dengan tujuan


eligibilitas penelitian (n=7)
(n = 4)  Program rehabilitasi (n=1)
 Setting di unit gawat darurat
(n=1)
Included

Artikel sesuai keriteria


inklusi (n=3)

Gambar 1. Flow chart PRISMA

78
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

Tabel 1. Hasil ekstraksi artikel

Autor Judul Tujuan Populasi dan Intervensi Hasil Keterbatasan


Sampel
Ko dkk. Comprehensi Mengkaji Populasi : Pasien Kelompok IG: Pasien Setelah 12 bulan, kelompok IG Pada penelitian ini
(2017) ve Care apakah yang pulang dari diwawancarai oleh perawat memiliki tingkat readmisi lebih mengikutsertakan pasien
Programme program rumah sakit setelah respirasi dan diberi edukasi 2x1 rendah dibanding UG (Incident PPOK parah yang hanya
for Patients perawatan episode eksaserbasi jam secara individu meliputi Rate= 1,24 & 1,85). RR readmisi memiliki 1 episode
with Chronic komprehensi akut. pengetahuan seputar penyakit sebesar 0,668 (95%CI= 0,449 – eksaserbasi akut,
Obstructive f dapat Sampel : Besar PPOK dan perawatannya. Setiap 0,995; p=0,047), sehingga sehingga ada
Pulmonary menurunkan sampel 180 pasien pasien juga mendapatkan latihan perbedaanya bermakna ketidakyakinan apakah
Disease: A readmisi dan yang dibagi dalam 2 dari fisioterapis tentang konservasi signifikan. program komprehensif
Randomize lama hari kelompok yaitu energi, nafas dan pengeluaran Lama hari rawat lebih pendek akan efektif di
Control Trial rawat PPOK intervention group sputum. Mereka juga mendapatkan pada kelompok intervensi pelayanan kesehatan
(IG) 90 orang dan pengobatan dari dokter respirasi daripada kelompok perawatan yang lain atau tidak.
usual care group dan diberi nomor telepon yang biasa (4,59±7,16 & 8,86±10,24) Sulit mengkaji
(UG) 90 orang. dapat dihubungi. Pasien menerima komponen-komponen
telepon dari perawat respirasi dan mana yang menurunkan
dievaluasi setiap 3 bulan dalam 1 readmisi.
tahun. Partisipan didominasi
Kelompok UG : Pasien diberikan pria (90%).
perawatan standar, yaitu Penelitian ini tidak
pengobatan oleh dokter respirasi mengkaji keefektifan
dan dievaluasi dalam 12 bulan. biaya dari program yang
diuji.
Moullec Effect of An Mengkaji Population : Pasien Kelompok IC dirawat Terdapat perbedaaan yang Pengambilan sampel
dkk. Integrated pengaruh dengan disgnosis menggunakan integrated care di signifikan pada penurunan berdasarkan pasien
(2012) Care dari program primer PPOK dan RS Sacre-Coeur yang terdiri dari 2 insiden rehospitalisasi pasien masuk, bukan pasien
Programme perawatan memiliki riwayat komponen (1) Intervensi berpusat PPOK selama 12 bulan antara IC PPOK secara umum
on Re- terintegrasi rehospitalisasi pada pasien yang terdiri dari 3x1 dan UC. Insiden hospitalisasi di sehingga
hospitalizatio pada minimal 48 jam. jam sesi kelompok edukasi IC grup 0,6 kali dibanding UC generalisasinya kurang.
n of Patients penurunan Sample : Pasien manajemen diri, (2) organisasi (OR 0,44;95%CI 0,23-0,85). Bias dalam pemilihan
with Chronic kekambuhan dipilih secara berbasis intervensi. manajemen Waktu rata-rata readmisi pada mungkin terjadi karena
Obstructive pasien random dari pasien- kasus. Edukasi manajemen diri UC 217 hari sedangkan IC 281 sampel diambil di RS
Pulmonary PPOK pasien yang dilakukan oleh perawat spesialis hari. yang berbeda. Penelitian
Disease memenuhi syarat berpengalaman minimal 15 tahun ini tidak mengkaji

79
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

dan dibagi menjadi selama 2 hari persiapan pulang. kepatuhan pasien


dua kelompok. Sesi tersebut dilakukan melalui mengikuti prosedur
Kelompok modul program „Living well with intervensi.
Integrated Care (IC) COPD‟. Pasien juga menerima
96 orang dan wawancara tentang gaya hidup
kelompok Usual yang diadopsi dan diiminta
Care (UC) 93 orang. menulis rencana tindakan jika
terjadi kekambuhan.
Organisasi manajemen kasus,
perwat menginformasikan dokter,
apoteker dan ahli paru tentang
rencana tindakan. Kemudian
menyediakan nomor untuk
dihubungi oleh pasien.
Kelompok UC dirawat dengan
perawatan standar di RS St-
Eustache, yang terdiri dari
tindakan kunjungan dokter.
Ko dkk., COPD care Untuk Pasien yang dirawat Tidak terdapat kelompok control. Berdasarkan intervensi yang Keterbatasan penelitian
(2014) programme menginvesti di rumah sakit Kelompok intervensi diperikan diberikan, didapatkan hasil ini tidak menggunakan
can reduce gasi efek karena eksaserbasi program comprehemsive untuk jumlah admisi 1 tahun sebelum kelompok control
readmissions program akut COPD dengan PPOK yang dilakukan selama 16 program sebanyak 2,15 ± 1,91 , sebagai pembanding,
and in-patient comprehensi minimal 2 gejala minggu dengan intervensi: dan satu tahun setelah program namun hanya
bed days f COPD mayor atau 1 gejala a. Edukasi PPOK dan nurse sebanyak 1,54 ± 2,11 dengan menggunakan desain
management mayor dan 1 gejala clinic oleh perawat respirasi perbedaan rata-rata sebanyak pre-post. Selain itu,
dalam minor  dilakukan di nurse clinic 0,61 ± 1,97 (penurunan penelitian ini tidak
menurunkan selama 2 sesi (30- 1 jam) sebanyak 28,4%). P-value membandingkan
readmisi 1 dengan materi dasar PPOK <0,001. Berdasarkan hasil karakteristik dasar dari
tahun dan mengecek serta analisa statistic tersebut, dapat subjek yang join dengan
sebelum dan membenarkan cara pasien disimpulkan bahwa jumlah program maupun yang
sesudah menggunakan inhaler hospitalisasi menurun signifikan tidak mengikuti
program b. telephone hotline oleh perawat sebelum dan sesudah diberikan program. Adanya
respirasi pada minggu ke program comprehensive PPOK. musim influenza dan
4,8,12,14 untuk berdiskusi kondisi hunian pasien
dengan managemen COPD juga tidak dijadikan
dan memberikan saran2 sebagai karakteristik

80
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

c. program rehabilitasi oleh dasar untuk pasien.


fisioterapis (3x 1 minggu
selama 3 bulan , 1 jam tiap
sesi)
d. fast track doctor‟s clinic pada
minggu 6 dan 16 post
discharge diberikan terapi
medis sesuai guideline dan
manegemen komorbiditas
penyakit oleh dokter respirasi.
e. Doctor‟s visit : berat dan
tinggi diukur, dilakukan
spirometry pre-post
bronkodilator dan 6 menit tes
berjalan

Pengukuran : St George‟s
Respiratory
Questionnaire (SGRQ untuk QOL;
modified Medical Research
Council (mMRC) untuk perasaan
subjektif dispneu; data admisi
(jumlah admisi dan LOS) selama
12 bulan;

81
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

Ko dkk. (2017), meneliti tentang dilakukan di rumah sakit St-Eustache.


program perencanaan yang komprehensif Edukasi manajemen diri adalah program
pada pasien PPOK untuk mengurangi yang dilakukan oleh perawat spesialis
readmisi dan lama hari rawat pasien yang memiliki pengalaman minimal 15
PPOK. Penelitian berjenis randomized tahun. Edukasi yang dilakukan berkaitan
controlled trials (RCT) ini melibatkan dengan cara hidup yang baik untuk pasien
kerjasama multidisipliner antara perawat PPOK. Sedangkan intervensi manajemen
respirasi, fisioterapis, dan dokter respirasi kasus diberikan oleh perawat case
dalam memberikan intervensi. Perawat manager yang berperan mendukung
respirasi bertugas memberikan edukasi program perawatan paska PPOK,
tentang sistem respirasi, patofisiologi menginformasikan kepada dokter, ahli
PPOK, efek merokok, teknik paru-paru dan apoteker tentang rencana
mengonsumsi obat, manajemen sesak perawatan pasien, serta menyediakan call
napas, nutrisi, manajemen diri, center untuk menambah informasi pasien
keterampilan mengurangi eksaserbasi, tentang penyakitnya. Hasil dari penelitian
penenganan distress psikososial, support ini, pasien yang menerima program
sistem dan pengetahuan tentang perawatan terintegrasi yang terdiri dari
oksigenasi jangka panjang. Fisioterapis edukasi manajemen diri dan manajemen
bertugas memberikan edukasi dan latihan kasus selama 1 tahun mengalami
fisik di rumah, serta memberi pengetahuan penurunan angka rehospitalisasi terutama
tentang pentingnya teknik pernapasan, pada pasien berjenis kelamin wanita.
mengeluarkan dahak dan konservasi Ko dkk. (2014), meneliti tentang
energi. Dokter berperan menyesuaikan program perawatan yang dilakukan untuk
jenis-jenis obat dan memberikan mengurangi readmisi pasien PPOK.
manajemen PPOK sesuai dengan Program perawatan yang dilakukan
pedoman internasional. Pasien juga berupa perawatan yang komprehensif
diberikan nomor telepon yang dapat meliputi edukasi PPOK dan perawatan
dihubungi, sehingga mereka dapat klinik oleh perawat respirasi, telephone
bertanya tentang penyakitnya. Setelah 1 hotline oleh perawat respirasi untuk
tahun pemberian intervensi, pasien berdiskusi dengan manajemen PPOK dan
dievaluasi dan didapatkan hasil bahwa memberikan saran-saran, program
rencana perawatan secara komprehensif rehabilitasi oleh fisioterapis, fast track
dapat mengurangi readmisi dan lama hari doctor’s clinic pada minggu 6 dan 16 post
rawat pasien dengan PPOK yang discharge diberikan terapi medis sesuai
mengalami eksaserbasi akut. panduan dan manajemen komorbiditas
Moullec dkk. (2012), meneliti penyakit oleh dokter respirasi serta
pengaruh program perawatan terintegrasi kunjungan dokter. Melalui program
untuk mengurangi rehospitalisasi pasien tersebut, angka rehospitalisasi dan
PPOK dengan rancangan studi kohort. readmisi menurun antara sebelum dan
Penelitian ini dilakukan selama 1 tahun. sesudah diberikan program perawatan
Intervensi atau paparan dalam penelitian komprehensif.
ini adalah program edukasi manajemen Dari hasil studi literature dapat
diri dan manajemen kasus berbasis dinyatakan bahwa pemberian intervensi
organisasi. Program tersebut telah melalui care programme baik secara
dilakukan di rumah sakit Sacre-Coeur komprehensif maupun integrative
sebagai upaya mengurangi rehospitalisasi. memberikan dampak terhadap penurunan
Sebagai pembanding, peneliti tingkat readmisi atau rehospitalisasi pada
menggunakan perawatan standar yang pasien. Namun, penelitian ini memiliki

82
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

beberapa keterbatasan, yaitu artikel yang KESIMPULAN


digunakan sebagai sumber literature
sangat sedikit karena keterbatasan sumber Hasil kajian dalam artikel ini
dana kses database, artikel yang dibahas membawa peneliti pada kesimpulan
memiliki berbagai macam desain bahwa program managemen PPOK secara
penelitian dan tidak semua artikel komprehensif dan terintegrasi dengan
memiliki desain RCT, terdapat potensi melibatkan berbagai multidisiplin yang
bias terkait desain penelitian, sehingga menjalankan peran sesuai keahlian serta
peneliti merekomendasikan penelitian memberikan keperawatan yang
selanjutnya terkait care programme pada berkelanjutan memberikan manfaat dalam
PPOK dengan desain penelitian RCT yang menurunkan readmisi pada pasien.
lebih terstruktur dan memperhatikan poin-
poin penting dalam penelitian RCT.

DAFTAR PUSTAKA

Aimonino, R, N., Tibaldi, V., Leff, B., Scarafiotti, C., Marinello, R., Zanocchi, M., &
Molaschi, M. (2008). Substitutive “hospital at home” versus inpatient care for
elderly patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease:
A prospective randomized, controlled trial. Journal of the American Geriatrics
Society, 56(3), 493–500. https://doi.org/10.1111/j.1532-5415.2007.01562.x.
GOLD. (2015). Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Global Initiative for Cronic
Obstruktive Lung Disease. GOLD. USA.
Ko, F. W. S., Cheung, N. K., Rainer, T. H., Lum, C., Wong, I., & Hui, D. S. C. (2017).
Comprehensive care programme for patients with chronic obstructive
pulmonary disease: a randomised controlled trial. Thorax, 72(2), 122–128.
https://doi.org/10.1136/thoraxjnl-2016-208396.
Ko, F. W. S., Ngai, J. C. N., Ng, S. S. S., Chan, K. P., Cheung, R., Leung, M. Y., Pun,
M. C., Hui, D. S. (2014). COPD care programme can reduce readmissions and
in-patient bed days. Respiratory Medicine, 108(12), 1771–1778.
https://doi.org/10.1016/j.rmed.2014.09.019.
Moullec, G., Lavoie, K. L., Rabhi, K., Julien, M., Favreau, H., & Labrecque, M. (2012).
Effect of an integrated care programme on re-hospitalization of patients with
chronic obstructive pulmonary disease. Respirology, 17(4), 707–714.
https://doi.org/10.1111/j.1440-1843.2012.02168.x.
Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional
2013, 1–384. https://doi.org/1 Desember 2013
Sridhar, M., Taylor, R., Dawson, S., Roberts, N. J., & Partridge, M. R. (2008). A nurse
led intermediate care package in patients who have been hospitalised with an
acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. Thorax, 63(3),
194–200. https://doi.org/10.1136/thx.2007.077578.
World Health Association (WHO). (2017). Chronic obstructive pulmonary disease
(COPD). Retrieved February 18, 2018, from
http://www.who.int/entity/mediacentre/factsheets/fs315/en/

83
Jurnal Kesehatan. ISSN 1979-7621 (Print). ISSN 2620-7761 (Online). Vol. 11. No. 2. Desember 2018

84
GAMBARAN KEJADIAN ASFIKSIA DI UPTD PUSKESMAS
AJANGALE PADA TAHUN 2016/2017

Arfan nur

AKBID Bina Sehat Nusantara Bone

Alamat korespondensi : (arfan.nur2309@gmail.com/085399355143)

ABSTRAK

Asfiksia pada bayi baru lahir termasuk risiko tinggi karena memiliki kemungkinan lebih besar
mengalami kematian bayi atau menjadi sakit berat dalam masa neonatal. Di Indonesia mempunyai
200 juta penduduk dengan angka kelahiran 2,5% tahun sehingga diperkirakan terdapat 5 juta
kelahiran per tahun. Untuk mengetahui gambaran kejadian Asfiksia berdasarkan faktor resiko ibu,
bayi dan faktor persalinan di UPTD Puskesmas Ajangale. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif
dengan menggunakan data sekunder di UPTD Puskesmas Ajangale untuk mengetahui gambaran
umum kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dengan variabel-variabel penelitian yang meliputi faktor
risiko ibu, bayi dan persalinan. Dari 389 responden, bayi baru lahir yang mengalami asfiksia pada
tahun 2016 sebesar 3,08%, sedangkan pada tahun 2017 dari 374 responden sebesar 5,61%.
Berdasarkan faktor risiko bayi tahun 2016 dengan faktor risiko rendah sebesar 83,33%, tahun 2017
dengan faktor risiko rendah sebesar 76,19%. Faktor risiko ibu pada tahun 2016 dengan risiko tinggi
sebesar 41,67%, tahun 2017 dengan risiko tinggi sebesar 52,38%. Faktor persalinan pada tahun
2016 dengan lilitan tali pusat sebesar 16,67%, tahun 2017 dengan lilitan tali pusat sebesar
28,57%.Faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia di UPTD Puskesmas Ajangale di
pengaruhi oleh faktor risiko ibu, bayi dan persalinan.

Kata Kunci : Asfiksia, bayi, persalinan, lilitan tali pusat, Umur, paritas, pendidikan, pekerjaan

PENDAHULUAN menurunkan angka kematian ibu dan neonatal


Asfiksia pada bayi baru lahir termasuk sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di
risiko tinggi karena memiliki kemungkinan provinsi dan kabupaten dengan jumlah
lebih besar mengalami kematian bayi atau kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu
menjadi sakit berat dalam masa neonatal. Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa
Oleh karena itu asfiksia memerlukan intervensi Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
dan tindakan yang tepat untuk meminimalkan Dasar pemilihan provinsi tersebut disebabkan
terjadinya kematian bayi, yaitu dengan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu
pelaksanaan manajemen asfiksia pada bayi di Indonesia berasal dari enam provinsi
baru lahir yang bertujuan untuk tersebut. Sehingga dengan menurunkan
mempertahankan kelangsungan hidup bayi angka kematian ibu di enam provinsi tersebut
dan membatasi gejala sisa berupa kelainan diharapkan akan dapat menurunkan angka
neurologi yang mungkin muncul, dengan kematian ibu di Indonesia secara signifikan.
kegiatan yang difokuskan pada persiapan Angka kematian neonatal (AKN) usia 0-28
resusitasi, keputusan resusitasi bayi baru lahir, hari menjadi penting karena kematian
tindakan resusitasi, asuhan pasca resusitasi, neonatal memberi kontribusi terhadap 59%
asuhan tindak lanjut pasca resusitasi dan kematian bayi. Tingginya angka kematian di
pencegahan infeksi (Depkes. RI, 2008). Indonesia yang merupakan masalah besar
World Health Organisation (WHO) dan memerlukan perhatian, Angka Kematian
menyatakan bahwa pada tahun 2013 Angka Ibu menujukkan penurunan menjadi 305
Kematian Bayi (AKB) di dunia 34 per 1000 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup
kelahiran hidup dan mengalami peningkatan berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar
pada tahun 2015 dengan Angka Kematian Sensus (SUPAS) (Profil Kesehatan Indonesia,
Bayi (AKB) 43 per 1000 kelahiran hidup. Di 2016).
kawasan Asia Teggara, AKB 24 per 1000 Di Sulawesi Selatan, AKN menunjukkan
kelahiran hidup (WHO.2016). sebesar 838 atau sebesar 5,64 per 1.000
Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan kelahiran hidup. Jumlah kematian ibu tahun
meluncurkan program Expanding Maternal 2016 yang dilaporkan menjadi 153 orang atau
and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka 103,00 per 100.000 kelahiran hidup, terdiri dari

109
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2 Tahun 2019 ● eISSN : 2302-2531
kematian ibu hamil 47 orang (30,71%), 2. Kriteria Ekslusi
kematian ibu bersalin 44 orang (27,45%), Data bayi dengan penyakit berbeda Non-
kematian ibu nifas 62 orang (40,52%), adapun Asfiksia).
kematian ibu menurut umur yaitu <20 tahun
sebanyak 7 orang, umur 20-34 tahun Pengumpulan Data
sebanyak 101 orang, dan ≥ 35 tahun 1. Data Sekunder
sebanyak 45 orang (Profil Kesehatan Sulawesi Data penelitian diperoleh dengan cara
Selatan, 2016). mengumpulkan data yang telah memenuhi
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan kriteria pengambilan sampel (variabel-
Kab. Bone Provinsi Sulawesi Selatan angka variabel penelitian yang telah terpenuhi
kematian neonatal tahun 2016 sebanyak 83 atau lengkap) yang diambil dari data rekam
bayi dan tahun 2017 61 bayi, sedangkan yang medik dan dikelompokkan pada lembar
mengalamai asfiksia tahun 2016 sebanyak isian penelitian untuk selanjutnya dilakukan
102 bayi dan mengalami peningkatan tahun analisa variabel penelitian.
2017 sebanyak 131 bayi (Dinas Kesehatan 2. Data Primer
Kabupaten Bone 2016-2017) Data yang dikumpulkan dan diolah sendiri
Depkes RI 2008 menyebutkan bahwa oleh suatu organisasi atau perorangan
kehamilan yang terlalu muda (≤20 tahun) atau langsung dari objeknya.
terlalu tua (≥35 tahun) termasuk dalam kriteria
risiko tinggi kehamilan. Usia muda berisiko Pengolahan Data
karena secara medis organ reproduksi ibu 1. Editing
masih belum matang dan secara mental pun Editing adalah tahapan kegiatan
masih belum siap. Pada usia tua (≥35 tahun) memeriksa validitas data yang masuk
mempunyai predisposisi untuk mengalami seperti memeriksa kelengkapan pengisian
plasenta previa, rupture uteri, solutio plasenta kuesioner, kejelasan jawaban, relevansi
yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia jawaban dan keseragaman suatu
neonatorum (Depkes.RI 2008). pengukuran.
Studi pendahuluan yang peneliti lakukan di 2. Coding
UPTD Puskemas Ajangale Kab. Bone, tahun Coding adalah tahapan kegiatan
2016 kejadian Asfiksia terdapat 12 kasus dari mengklasifikasi data dan jawaban menurut
389 persalinan dan kejadian Asfiksia kategori masing-masing sehingga
mengalami peningkatan pada tahun 2017 memudahkan dalam pengelompokan data.
yaitu 21 kasus dari 374 persalinan. 3. Processing
Berdasarkan studi pendahuluan dan
Processing adalah tahapan kegiatan
permasalahan, dimana banyak faktor yang
memproses data agar dapat dianalisis.
menyebabkan terjadinya asfiksia neonaturum
Pemrosesan data dilakukan dengan cara
dan di UPTD Puskesmas Ajangale mengalami
memasukkan data hasil pengisian
peningkatan kejadian asfiksia dari tahun 2016
kuesioner ke dalam master tabel.
ke tahun 2017 maka penulis tertarik untuk
4. Cleaning
meneliti mengenai gambaran kejadian Asfiksia
di UPTD Puskesmas Ajangale tahun 2016 – Cleaning yaitu tahapan kegiatan
2017 berdasarkan faktor resiko. pengecekan kembali data yang sudah di
masukkandan melakukan koreksi bila
BAHAN DAN METODE terdapat kesalahan. (Lapau, 2013).
Lokasi, populasi dan sampel
Penelitian ini menggunakan metode Analisa Data
deskriptif, Populasi dalam penelitian ini adalah Analisa data univariat Yaitu analisa yang
semua bayi baru lahir di UPTD Puskesmas dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
Ajangale Kab. Bone Tahun 2016 – 2017 yang penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini
berjumlah 763 bayi baru lahir. hanya menghasilkan distribusi dan presentasi
Sampel dalam penelitian ini yaitu semua dari tiap variabel karena penelitian ini ingin
bayi yang mengalami asfiksia di UPTD mengetahui distribusi frekuensi dan presentasi
Puskesmas Ajangale Kab. Bone Tahun 2016 – masing–masing variabel yang diteliti.
2017 sebanyak 33 bayi asfiksia, yaitu 12 bayi
pada tahun 2016 dan 21 bayi pada tahun HASIL PENELITIAN
2017. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
1. Kriteria Inklusi dilakukan di UPTD Puskesamas
Data bayi yang mengalami Asfiksia tahun Ajangale Kabupaten Bone tahun 2018 dengan
2016 dan 2017. data sekunder tahun 2016/2017 tentang bayi
baru lahir dengan asfiksia, dapat disimpulkan

110
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2 Tahun 2019 ● eISSN : 2302-2531
bahwa : Jumlah asfiksia sebanyak 33 kasus tinggi sebesar 41.67% dan resiko rendah
yang dilihat dengan beberapa faktor risiko sebesar 58,33% sedangkan pada tahun
seperti faktor bayi, faktor ibu dan faktor 2017 angka resiko tinggi sebesar 47,62%
persalinan. Berdasarkan faktor risiko bayi, dan angka resiko rendah sebesar 52,38%.
pada tahun 2016 terdapat 2 kasus dengan Tabel 4. Karakteristik Responden
risiko tinggi sebesar 16,67%, dan pada tahun Berdasarkan Faktor Risiko Persalinan.
2017 terdapat 5 kasus dengan risiko tinggi Tahun
sebesar 23,81%. Faktor Risiko
2016 2017
1. Analisa Univariat Persalinan
n % n %
Tabel 1. Karakteristik responden Tidak Lilitan
berdasarkan kejadian asfiksia (n=763) 10 83,33 15 71,43
Tali Pusat
Tahun Lilitan Tali
Asfiksia 2016 2017 2 16,67 6 28,57
Pusat
n % n % Total 12 100 21 100
Ya 12 3,08 21 5,61
Tidak 377 96,92 353 94,39 Berdasrkan tabel 4. Menunjukan
Total 389 100 374 100 faktor resiko persalinan pada tahun 2016
dengan lilitan tali pusat sebesar 16,67%
Berdasarkan tabel 1. menunjukan dan tidak terlilit tali pusat sebesar 83,33%,
karakteristik responden berdasrkan sedangkan pada tahun 2017 faktor resiko
kejadian asfeksi pada tahun 2016 persalinan dengan lilitan tali pusat sebesar
mencapai 3,08% dan yang tidak 28,57% dan tidaak terlilit tali pusat sebesar
mengalami asfeksi sebesar 96,92% 71,42%.
sedangkan angka pada tahun 2017 angka
kejadian yang mengalami asfeksia sebesar PEMBAHASAN
5,61% dan yang tidak mengalami asfeksi Asfiksia adalah suatu keadaan dimana
sebesar 94,39%. bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir atau beberapa
Tabel 2 Karakteristik responden saat setelah lahir. Asfiksia terjadi karena
berdasarkan faktor risiko bayi. terdapat gangguan pertukaran gas atau
Tahun pengangkutan oksigen dari ibu ke janin.
Faktor Gangguan ini dapat timbul pada masa
2016 2017
Risiko Bayi kehamilan, persalinan atau segera setelah
n % n %
Risiko rendah 10 83,33 16 76,19 lahir. Asfiksia dapat mempengaruhi organ vital
Risiko Tinggi 2 16,67 5 23,81 lainnya dan dapat mendorong terjadinya
Total 12 100 21 100 infeksi, kerusakan otak atau kematian.
Faktor Resiko Bayi: Hasil penelitian
Berdasrkan tabel 2. menunjukan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian
karakteristik responden berdarkan faktor besar sampel penelitian termasuk ke dalam
resiko bayi resiko tinggi pada tahun 2016 kategori berat badan bayi berisiko rendah
sebesar 16,67% dan resiko rendah sebesar yaitu pada tahun 2016 sebanyak 10 kasus
83,33%, sedangkan pada tahun 2017 (83,33%) dan pada tahun 2017 sebanyak 16
angka karakteristik responden kasus (76,19%).
berdasrarkan faktor resiko bayi dengan Faktor Resiko Ibu: Hasil analisa
angka faktor resiko tinggi sebesar 23,81% penelitian (tabel 3) dapat dilihat bahwa pada
dan faktor resiko rendah 76,19%. tahun 2016 dari 12 bayi baru lahir yang
menderita asfiksia, sebanyak 5 kasus
Tabel 3. Karakteristik responden (41,67%) berdasarkan faktor ibu dengan risiko
berdasarkan faktor risiko ibu. tinggi merupakan penyebab asfiksia, dan 7
Tahun kasus (58,33%) merupakan risiko rendah.
Faktor Risiko Ibu 2016 2017 Sedangkan pada tahun 2017, dari 21 bayi
baru lahir yang menderita asfiksia, sebanyak
n % n %
10 kasus (47,62%) berdasarkan faktor ibu
Risiko render 7 58,33 11 52,38
dengan risiko tinggi merupakan penyebab
Risiko Tinggi 5 41,67 10 47,62
asfiksia, dan 11 kasus (52,38%) merupakan
Total 12 100 21 100
risiko rendah.
Faktor Resiko Persalinan : Hasil
Berdasarkan tabel 3. menunjukan penelitian table 4 menunjukan bahwa pada
karaktersitik responden berdasrkan faktor tahun 2016 dari 12 bayi baru lahir yang
resiko ibu pafa tahun 2016 dengan resiko menderita asfiksia, sebanyak 2 kasus

111
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2 Tahun 2019 ● eISSN : 2302-2531
(16,67%) berdasarkan faktor risiko persalinan SARAN
dengan lilitan tali pusat sebagai penyebab 1. Bagi Tenaga Kesehatan/Puskesmas
asfiksia, dan 10 kasus (83,33%) merupakan Diharapkan tenaga kesehatan dapat
faktor risiko persalinan tanpa lilitan tali pusat. menerapkan ilmu pengetahuan dalam
Sedangkan pada tahun 2017, dari 21 bayi tatanan praktik kebidanan yang
baru lahir yang menderita asfiksia, sebanyak 6 berkembang seiring waktu, meningkatkan
kasus (28,57%) berdasarkan faktor risiko keterampilan khususnya dalam
persalinan dengan lilitan tali pusat sebagai penanganan bayi dengan indikasi asfiksia
penyebab asfiksia, dan 15 kasus (71,43%) dengan berbagai faktor yang mendasari.
merupakan faktor risiko persalinan tanpa lilitan 2. Bagi Pendidikan
tali pusat. Dapat meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pendidikan bagi para
KESIMPULAN mahasiswa dengan penyediaan prasarana
1. Tidak ada pengaruh faktor risiko bayi dan sarana laboratorium yang mendukung
dengan kejadian asfiksia peningkatan kemampuan mahasiswa
2. Tidak ada pengaruh faktor risiko ibu dalam penanganan bayi dengan asfiksia.
dengan kejadian asfiksia 3. Bagi Penulis Peneliti
3. Tidak ada pengaruh faktor risiko persalinan Dapat melanjutkan penelitian lebih lanjut
dengan kejadian asfiksia tentang kejadian asfiksia pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dengan
melihat aspek / variable lain dan dengan uji
statistik yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

Ai Yeyeh dkk, 2013. Asuhan Kebidanan Kehamilan, Cet. I. Jakarta: CV. Trans Info Media

Bagus, I,G,M. 2008. Asuhan Kebidanan Persalinan. Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 2008. Pencegahan dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Jakarta

Depaartemen Kesehatan RI. 2015. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta

Desfauza, Evi. 2008. “Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asfiksia neonatorum pada bayi abru lahir
yang dirawat di RSU Pirngadi Medan”. Stikes Mitra Husada Medan

Ghai dkk, 2010. Pencegahan dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Helath Technology Assessment
Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Gilang dkk, 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSUD Tugurejo
Semarang. Skripsi. Tidak Dipublikasikan

Jannah, 2013. Buku Asuhan Kebidanan Kehamilan. Yokyakarta; C.V Andi Offset.

JNPK-KR. 2012. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta

Lee, et. Al. 2008. “ Risk factors for Neonatal mortality Due to the birth Asphyxiain southern Nepal: A Prospective,
Community-based Cohor Study”.Amerika: american academiof pediatric.

Manuaba. 2008. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Kelauraga Berencana. Jakarta: EGC

Manuaba, 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Manuaba I.B.G, dkk, 2013. Ilmu Kebidanan,Penyakit Kandungan, dan KB Untuk Pendidikan Bidan . Edisi 2.
Jakarta : EGC.

Mochtar R. 2008. ”Sinopsis Obstetri”, Jilid I, Edisi II. Jakarta: EGC.

Nasrawati. 2016. Hubungan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di Rumah
Sakit Umum Dewi Sartika Provinsi Sulawesi Tenggara. Akbid Konawe.

112
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2 Tahun 2019 ● eISSN : 2302-2531
1

JURNAL RESPIRASI

JR
Vol. 2 No. 1 Januari 2016

Hubungan antara Pola Resistensi OAT Lini Pertama dan Gradasi


Gambaran Foto Toraks Penderita TB Paru MDR

Pramanindyah Bekti Anjani, Soedarsono


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo

ABSTRACT
Background, Tuberculosis (TB) is a disease which has long been known and is still a cause of death in the world. The emergece of the
drug resistance in TB treatment, particularly Multi drug-Resistance Tuberculosis (MDR TB) become a significant public health problem
in many countries. The diagnosis of MDR TB based on culture results. In some cases radiographic feature with severe abnormalities
consideres as MDR TB. From this phenomenon, there is no research that connects the resistance pattern of first line ATD with chest
x-ray feature in patients with MDR TB. Methods, The research design are analytical observational with cross-sectional study conducted
in outpatient clinic of MDR TB in Dr. Soetomo hospital. Subjects were patients who are following a theraphy program in outpatient
clinic of MDR TB in Dr. Soetomo hospital from 2012 to 2014 who meet the inclusion and exclusion criteria. A total of 65 patients.
Result, the result of this study showed that of all patterns of resistance, most of the MDR TB patients were classified as having severe
chest radiograph. 27 patients with RH resistance patterns, there were 14(51.9%) who had a chest radiograph are classified as severe.
5 patients with RHS resistance patterns, 2(60%) vwho had a chest radiograph are classified as severe. 13 patients RHES resistance
patterns, 8(61.5%) who had a chest radiograph are classified as severe. 20 patients with RHE resistance patterns, 14(70%) who had
a chest radiograph are classified as severe. Conclusion, There were no significant association between resistance pattern of first line
ATD and chest x-ray feature in patient with MDR TB.

Key words: MDR TB, resistance pattern, chest X-ray feature

Correspondence: Pramanindyah Bekti Anjani, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo. Jl. Mayjen. Prof Dr. Moestopo 6–8 Surabaya 60286. E-mail: anindyahanjani@gmail.com

PENDAHULUAN (XDR) atau TB-XDR menjadi masalah kesehatan


masyarakat yang bermakna di sejumlah negara. Secara
Tuberkulosis (TB) telah menjadi salah satu masalah global, hal ini menjadi hambatan terhadap laju program
kesehatan global yang utama. TB menyebabkan kondisi pengendalian TB.3 Menurut Global Report WHO 2012,
kesehatan yang buruk di antara jutaan manusia per di tingkat dunia diperkirakan terdapat 310.000 (antara
tahun dan menempati urutan kedua penyebab kematian 220.000–400.000) kasus TB MDR di antara kasus TB paru
akibat infeksi, setelah HIV. Dalam laporan World Health pada tahun 2011.4
Organization (WHO) terbaru tahun 2011 diperkirakan Gejala klinis dari infeksi tuberkulosis seringkali
terjadi hampir 9 juta kasus baru dan 1,4 juta kematian akibat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
TB paru.1 Berdasarkan Global Report TB WHO tahun 2011 diantaranya adalah adanya sitokin proinflamasi, di mana
angka prevalensi semua tipe TB di Indonesia sebesar 289 salah satu sisi merupakan mekanisme protektif dan penting
per 100.000 penduduk, sedangkan kematian TB sebesar 27 untuk kontrol infeksi, tetapi di sisi lain memberikan
per 100.000 penduduk.2 efek imunopatologi berupa kerusakan jaringan dan
Munculnya kekebalan terhadap obat dalam pengobatan menimbulkan gejala klinis yang seringkali dikeluhkan oleh
TB, khususnya Multidrug-Resistant Tuberculosis (TB yang terinfeksi.5
MDR) dan TB yang mengalami Extensive Drug-Resistant
2 Jurnal Respirasi (JR), Vol. 2. No. 1 Januari 2016: 1−5

Diagnosis tuberkulosis paru seringkali sulit dikarenakan penderita TB paru MDR yang sedang mengikuti program
adanya variasi keluhan mulai asimtomatik, ringan maupun terapi pengobatan di poli MDR RSUD Dr. Soetomo
berat. Pada pemeriksaan dahak untuk menemukan bakteri Surabaya, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
tahan asam sering negatif, sehingga pemeriksaan radiologi kemudian bersedia mengikuti penelitian ini. Kriteria inklusi
digunakan untuk mendiagnosis tuberkulosis paru. Adanya adalah Penderita TB paru MDR yang menjalani terapi di
kelainan pada foto toraks yang dicurigai sebagai lesi poli MDR RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan penderita
tuberkulosis aktif antara lain adanya bayangan berawan/ tidak keberatan data rekam medik diambil melalui tanda
nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru tangan informed concent, sedangkan kriteria ekslusi adalah
dan segmen superior lobus bawah paru, adanya kavitas Penderita TB paru MDR dengan HIV, diabetes melitus.
terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan berawan Instrumen yang digunakan pada penelitian adalah
atau nodular, adanya bayangan bercak milier dan kadang lembar pengumpul data, dokumen medik rawat jalan,
terdapat efusi pleura.6 dan foto torak. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
TB paru MDR seringkali dikaitkan dengan morbiditas langsung ke Poli TB paru MDR RSUD Dr. Soetomo. Data
dan mortalitas yang tinggi dan dianggap sebagai ancaman primer diperoleh dengan pemeriksaan foto toraks sekaligus
yang menakutkan dibandingkan TB paru biasa, namun menilai derajat lesinya. Data sekunder diperoleh dari rekam
beberapa peneliti melihat sebagai masalah lokal yang medik penderita dan data yang diperoleh dientr dan diolah,
dapat dikelola oleh implementasi yang tepat dari dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat lunak
strategi pengobatan yang telah direkomendasikan. Bila statistik komputer dan hasilnya disajikan dalam bentuk
terjadi mutasi yang menyebabkan resistensi maka akan tabel dan grafik.
menyebabkan perubahan pada efektivitas reproduksi Analisis data menggunakan SPSS 15,0. Data penelitian
organisme tersebut, yaitu berkurangnya daya penularan dilakukan uji normolitas dengan One-Sample Kolmogorov-
dibandingkan dengan strain yang masih sensitif obat.7 Smearnov Test. Analisa statistik dengan menggunakan
Adanya suatu “medical dogma”, yang menyatakan tabulasi silang Chi-Square Test. Di mana hasil dikatakan
bahwa apabila suatu organisme terjadi resistensi obat, maka hubungan bermakna bila p ≤ 0,05.
akan mengalami kelemahan atau penurunan “fitness” pada
bakteri mutan, sehingga membuat bakteri tersebut kurang
mampu bertahan dibandingkan dengan yang tidak mengalami HASIL
mutasi.8 Berdasar pada studi laboratorium menunjukkan
bahwa pada strain Mycobacterium tuberculosis yang Subjek pada penelitian ini adalah penderita TB paru
resisten obat cenderung mati ketika dipaksa untuk bersaing MDR yang sedang mengikuti program terapi pengobatan
untuk makanan dengan bakteri yang masih sensitif dengan di poli MDR RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan memenuhi
obat.8 Pada studi dengan menggunakan model guine pig, kriteria inklusi dan eksklusi, serta bersedia mengikuti
strain yang resisten terhadap INH menunjukkan kerusakan penelitian ini, dengan jumlah sampel sebanyak 65 penderita.
yang kurang dibandingkan dengan strain H37Rv.30 Dari 65 penderita TB paru MDR terdapat 31 penderita
Diagnosis TB paru MDR berdasarkan pada hasil (47,7%) adalah laki-laki dan 34 penderita (52,3%) adalah
kultur DST yang dilaksanakan oleh laboratorium yang perempuan.
terstandarisasi. Pada beberapa kasus seringkali gambaran Rerata umur Subjek penderita TB paru MDR adalah
foto toraks dengan kelainan yang berat dianggap sebagai 39,3 (39 tahun), dengan umur termuda 17 tahun dan umur
TB paru MDR. Pada poliklinik TB paru MDR RSU Dr. tertua 64 tahun. Berdasarkan pengelompokan umur adalah
Soetomo, sering mendapatkan rujukan dari beberapa fasilitas Kelompok umur terbanyak terdapat pada sekitar umur
pelayanan kesehatan tentang adanya suatu kecurigaan TB 31–40 tahun yaitu 21 penderita (32,3%), selanjutnya
paru MDR hanya berdasarkan gambaran foto toraks dengan adalah kelompok umur 41–50 orang sebanyak 19 penderita
kelainan berat, sedangkan pada observasi 30 penderita di (29,2%). Kelompok umur 17–20 tahun sebanyak 6 penderita
poli TB paru MDR RSU Dr. Soetomo 60% menunjukkan (9,2%), umur 21–30 sebanyak 8 penderita (12,3%), umur
kelainan foto toraks berat, 30% dengan kelainan sedang 51–60 tahun sebanyak 8 penderita (12,3%), dan hanya
dan 10% dengan kelainan ringan. 3 penderita (4,6%) yang berada pada kelompok umur
Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian 60 ke atas.
ini, yang bertujuan untuk menganalisis tentang hubungan Rerata IMT penderita TB paru MDR Subjek penelitian
antara pola resistensi OAT lini pertama pada penderita TB adalah 17,5, dengan IMT terendah 14,1 dan IMT tertinggi
paru MDR dengan gradasi gambaran foto toraks. 26,4. Sebagian besar penderita TB paru MDR Subjek
penelitian tergolong kurus sekali yaitu 28 penderita
(43,1%), sebanyak 16 penderita (24,6%) tergolong
METODE kurus dan 20 penderita (30,8%) tergolong normal, hanya
1 penderita (1,5%) yang tergolong gemuk.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik Dari 65 penderita TB paru MDR Subjek penelitian,
observasional dengan desain studi Cross Sectional yang sebanyak 22 penderita (33,8%) memiliki riwayat terapi
dilakukan di RSUD Dr. Soetomo. Subjek penelitian adalah gagal kat. 1. Terdapat 19 penderita (29,2%) yang memiliki
Anjani dan Soedarsono: Hubungan antara Pola Resistensi Oat Lini Pertama 3

riwayat terapi kambuh dan 11 penderita (16,9%) yang Berdasarkan data terdapat 27 penderita dengan pola
memiliki riwayat terapi kronik. Sebanyak 5 penderita resistensi RH, terdapat 14 penderita (51,9%) yang memiliki
(7,7%) memiliki riwayat terapi non DOTS, 4 penderita foto toraks tergolong berat. Dari 5 penderita dengan pola
(6,2%) memiliki riwayat terapi BTA + bln3 kat.2, 2 resistensi RHS, terdapat 3 penderita (60%) yang memiliki
penderita (3,1%) memiliki riwayat terapi DO, dan masing- foto toraks tergolong berat. Dari 13 penderita dengan
masing 1 penderita (1,5%) memiliki riwayat terapi BTA+ pola resistensi RHES, terdapat 8 penderita (61,5%) yang
post sisip kat.1 dan tinggal dg MDR konfirm. memiliki foto toraks tergolong berat. Dari 20 penderita
Dari 65 penderita TB paru MDR Subjek penelitian, dengan pola resistensi RHE, terdapat 14 penderita (70%)
terdapat 27 penderita (41,5%) yang memiliki pola resistensi yang memiliki foto toraks tergolong berat.
RH, 20 penderita (30,8%) memiliki pola resistensi RHE, Chi-square test antara foto toraks dengan pola resistensi
dan 13 penderita (20%) memiliki pola resistensi RHES, penderita TB paru MDR Subjek penelitian menghasilkan
sedangkan yang memiliki pola resistensi RHS hanya nilai p > 0,05. Hasil ini menyimpulkan bahwa tidak
5 penderita (7,7%). terdapat hubungan bermakna antara foto toraks dengan pola
Hasil pembacaan foto toraks dikelompokkan menjadi resistensi penderita TB paru MDR Subjek penelitian.
3 katagori berdasarkan American Thoracic Society dan Berdasarkan data, dapat dilihat bahwa dari 4 penderita
National Tuberculosis Association: (1) Lesi minimal yang yang memiliki foto toraks tergolong ringan, terdapat
berarti bercak dapat mengenai satu atau kedua paru, tetapi 2 penderita (50%) yang memiliki pola resistensi RH. Dari
luas bercak tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis 22 penderita yang memiliki foto toraks tergolong sedang,
tengah, apeks dan iga kedua depan atau di atas second terdapat 11 penderita (50%) yang memiliki pola resistensi
chondrosternal junction dan vertebra torakal keempat atau RH. Dari 39 penderita yang memiliki foto toraks tergolong
kelima. Tidak ditemukan adanya kavitas, (2) Lesi sedang berat, terdapat 14 penderita (35,9%) yang memiliki pola
yang berarti bercak dapat mengenai satu atau kedua paru, resistensi RH dan 14 penderita (35,9%) yang memiliki
tetapi tidak melebihi luas satu paru. Bila ditemukan kavitas, pola resistensi RHE.
diameter tidak melebihi 4 cm. Kalau terdapat konsolidasi
yang homogen, luasnya tidak melebihi luas satu lobus paru
atau sepertiga volume satu paru, (3) Lesi luas yang berarti PEMBAHASAN
luas bercak lebih dari luas bercak kesi sedang atau bila ada
kavitas yang berdiameter lebih dari 4 cm. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
Berdasarkan data, dari 65 penderita TB paru MDR dengan desain cross sectional, dengan jumlah sampel yang
Subjek penelitian, terdapat 39 penderita (60%) memiliki memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 65 orang.
foto toraks yang tergolong berat dan 22 penderita (33,8%) Analisis penelitian ini untuk menganalisis hubungan
memiliki foto toraks yang tergolong sedang, hanya antara pola resistensi OAT lini pertama dan gambaran foto
4 penderita (6,2%) yang memiliki foto toraks tergolong toraks pada penderita TB paru MDR. Pengambilan sampel
ringan. dilakukan dengan memeriksa data rekam medis penderita
Berdasarkan data, dari 4 penderita yang memiliki yang berobat di poli MDR dilakukan pengambilan data
foto toraks tergolong ringan, terdapat 2 penderita (50%) sekunder dan penilaian derajat foto toraks sesuai dengan
memiliki pola resistensi RH, 1 penderita (25%) memiliki American Thoracic Society dan National Tuberculosis
pola resistensi RHES, dan 1 penderita (25%) memiliki pola Association.36
resistensi RHE. Karakteristik Subjek pada penelitian ini didapatkan
Berdasarkan data, dari 22 penderita yang memiliki penderita laki-laki sebanyak 31 orang (47,7%) dan penderita
foto toraks tergolong sedang, terdapat 11 penderita (50%) perempuan 34 orang (52%). Berdasarkan kelompok umur
memiliki pola resistensi RH, 2 penderita (9,1%) memiliki pasien TB MDR terbanyak terdapat pada umur 31–40 tahun
pola resistensi RHS, 4 penderita (18,2%) memiliki pola sebanyak 21 orang (32,3%).
resistensi RHES, dan 5 penderita (22,7%) memiliki pola Berat badan penderita diukur saat penderita terdiagnosis
resistensi RHE. TB MDR di mana menunjukkan indeks masa tubuh
Berdasarkan data, dari 39 penderita yang memiliki (IMT) dengan katagori kurus sekali sebanyak 28 orang
foto toraks tergolong berat, terdapat 14 penderita (35,9%) (43%). Infeksi tuberkulosis mengakibatkan penurunan
memiliki pola resistensi RH, 3 penderita (7,7%) memiliki asupan makanan dan malabsorpsi nutrien serta perubahan
pola resistensi RHS, 8 penderita (20,5%) memiliki pola metabolisme tubuh sehingga terjadi proses penurunan
resistensi RHES, dan 14 penderita (35,9%) memiliki pola massa otot dan lemak (wasting) sebagai manifestasi
resistensi RHE. malnutrisi energi protein. Malnutrisi pada infeksi
Chi-square test antara pola resistensi dengan foto toraks tuberkulosis memperberat perjalanan penyakit dan
penderita TB paru MDR Subjek penelitian menghasilkan mempengaruhi prognosis pengobatan dan kematian.37
nilai p > 0,05. Hasil ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat Karyadi dkk 2000 menunjukkan bahwa penderita dengan
hubungan bermakna antara pola resistensi dengan foto infeksi tuberkulosis mempunyai BMI yang rendah dan
toraks penderita TB paru MDR Subjek penelitian. ketebalan kulit yang rendah.38 Malnutrisi pada penderita
TB paru MDR berkaitan dengan tingkat kematian hingga
4 Jurnal Respirasi (JR), Vol. 2. No. 1 Januari 2016: 1−5

1,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita TB aru menunjukkan gambaran radiologi yang menetap di mana
MDR tanpa malnutrisi.39 saat menderita TB paru dan saat terdiagnosa sebagai TB
Riwayat pengobatan tuberkulosis paru sebelumnya paru MDR.41
pada penderita TB paru MDR paling banyak adalah kasus Pada penelitian ini analisa hubungan berdasarkan
gagal katagori 1 sebanyak 22 orang (33,8%). Resistensi tabulasi silang chi-square test antara foto toraks dengan
obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. pola resistensi penderita TB paru MDR Subjek penelitian
Kemungkinan terjadi resisten pada penderita dengan menghasilkan nilai p > 0,05. Hasil ini menyimpulkan bahwa
riwayat pengobatan sebelumnya sebesar 4 kali lipat, tidak terdapat hubungan bermakna antara gradasi gambaran
sedangkan untuk terjadinya TB paru MDR sebesar 10 kali foto toraks dengan pola resistensi penderita TB paru MDR
lipat atau lebih dibandingkan dengan penderita yang belum Subjek penelitian.
pernah diobati.40 WHO membuat klasifikasi kelompok yang Dapat dilihat bahwa dari 4 penderita yang memiliki
mempunyai risiko berkembangnya resistensi obat sebagai foto toraks tergolong ringan, terdapat 2 penderita (50%)
kelompok dalam case finding kasus TB paru MDR yaitu: yang memiliki pola resistensi RH. Dari 22 penderita
kelompok risiko sangat tinggi, kelompok resiko tinggi dan yang memiliki foto toraks tergolong sedang, terdapat 11
kelompok risiko sedang.40 Pada penelitian ini tingginya penderita (50%) yang memiliki pola resistensi RH. Dari
angka kejadian TB paru MDR yang diakibatkan oleh gagal 39 penderita yang memiliki foto toraks tergolong berat,
terapi katagori 1 sesuai dengan kriteria WHO yang masuk terdapat 14 penderita (35,9%) yang memiliki pola resistensi
dalam kriteria resiko tinggi. RH dan 14 penderita (35,9%) yang memiliki pola resistensi
Gambaran foto toraks pada 65 penderita TB paru MDR RHE. Hasil ini menunjukkan bahwa dari semua katagori
Subjek penelitian, terdapat 39 penderita (60%) memiliki gradasi gambaran foto toraks baik ringan, sedang maupun
foto toraks yang tergolong berat dan 22 penderita (33,8%) berat, sebagian besar penderita TB paru MDR memiliki
memiliki foto toraks yang tergolong sedang, hanya 4 pola resistensi RH, dan pada gradasi gambaran foto toraks
penderita (6,2%) yang memiliki foto toraks tergolong berat yang sebagian besar lainnya memiliki pola resistensi
ringan. Pada studi di Argentina, dilaporkan gambaran RHE.
radiologi pada penderita TB paru MDR menunjukkan Keterbatasan pada penelitian ini terjadi karena
gambaran lesi luas sebesar 75%.35 sampel penelitian yang berobat di poli MDR RSUD DR
Pada penelitian ini analisa hubungan berdasarkan Soetomo adalah kasus TB paru MDR dengan riwayat
tabulasi silang Chi-square test antara pola resistensi dengan terapi sebelumnya, sehingga gambaran pada foto toraks
foto toraks penderita TB paru MDR Subjek penelitian kemungkinan merupakan sisa (sequele) dari gambaran
menghasilkan nilai p > 0,05. Hasil ini menyimpulkan sebelumnya sehingga saat terdiagnosa dengan TB paru
bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara pola MDR gradasi gambaran foto toraks sebagian besar
resistensi dengan foto toraks penderita TB paru MDR menunjukkan lesi yang berat.
Subjek penelitian. Keterbatasan lain dari penelitian ini juga terjadi karena
Dapat dilihat bahwa dari 27 penderita dengan pola penderita yang datang sebagai suspek TB paru MDR
resistensi RH, terdapat 14 penderita (51,9%) yang memiliki merupakan rujukan dari fasilitas kesehatan dengan sarana
foto toraks tergolong berat. Dari 5 penderita dengan pola yang minim dan tidak mempunyai foto toraks sebelumnya
resistensi RHS, terdapat 3 penderita (60%) yang memiliki saat terdiagnosa sebagai TB paru, sehingga perubahan
foto toraks tergolong berat. Dari 13 penderita dengan pola gradasi gambaran foto toraks pada saat terdiagnosa
resistensi RHES, terdapat 8 penderita (61,5%) yang memiliki sebagai TB paru dan saat terdiagnosa sebagai TB paru
foto toraks tergolong berat. Dari 20 penderita dengan pola MDR tidak dapat didokumentasikan apakah gambaran
resistensi RHE, terdapat 14 penderita (70%) yang memiliki foto toraks penderita tersebut merupakan stabil, membaik
foto toraks tergolong berat. Hasil ini menunjukkan bahwa atau memburuk.
dari semua pola resistensi, baik mengenai 2 obat utama saja
(RH) maupun yang mengenai 3 bahkan 4 obat (RHE, RHS,
RHES) tidak menunjukkan perbedaan pada gambaran foto KESIMPULAN
toraks di mana frekuensi terbesar pada foto toraks dengan
lesi berat. Walaupun secara in vitro dengan model guina 1. Distribusi dan frekuensi pola resisten pada TB paru
pig, strain yang resisten menunjukkan kerusakan yang MDR didapatkan pola resisten RH 27 orang (41%), pola
kurang dibandingkan dengan strain yang masih sensitif.30 resisten RHS 5 orang (7,7%), pola resisten RHES 13
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan jaringan orang (20%) dan pola resisten RHE 20 orang (30,8%)
yang dideteksi melalui foto toraks tidak berbeda antara yang 2. Gambaran foto toraks berdasarkan kriteria American
mengenai 2 obat utama saja dengan 2 obat utama ditambah Thoracic Society dan National Tuberculosis Association
obat lainnya dalam lini pertama. terdapat 39 orang (60%) dengan kriteria berat, 22 orang
Dari penelitian Subhan, 2014 yang membandingkan (33,8%) dengan kriteria sedang dan 4 orang (6,2%)
perubahan foto toraks waktu pengobatan TB paru dan dengan kriteria ringan.
saat terdiagnosis TB paru MDR didapatkan hasil yang 3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pola
tidak signifikan, dimana dari 21 penderita 17 orang (81%) resistensi OAT lini pertama dan gradasi gambaran
Anjani dan Soedarsono: Hubungan antara Pola Resistensi Oat Lini Pertama 5

foto toraks pada penderita TB paru MDR di mana nilai 21. Forrellad MA, Kleepp LI, Giofre A, et al. Virulence factors of the
p > 0,05. mycobacterium tuberculosis complex. Virulence 2013; 4(1): 1–64.
22. Dachlan YP. Imunologi tuberkulosis: sistem imun, pembentukan
4. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara granuloma, dormanasi, reaktivasi infeksi laten MDR tuberkulosis.
gradasi gambaran foto toraks dan pola resitensi pada Dalam: Soedarsono, Widodo ADW, Hidayat B, ed. The problems of
penderita TB paru MDR di mana nilai p > 0,05. TB PARU MDRfrom basic to clinic and community. Rumah Sakit
Penyakit Tropik Infeksi Universitas Airlangga. Surabaya. 2013:
h. 1–16.
23. World Health Organization: Guidlines for the programmatic
DAFTAR PUSTAKA management of drug resistant tuberculosis. WHO library. 2008.
24. Camiero JA. Guidlines for clinical and operational management
1. WHO Report 2011: Global Tuberculosis Control. Geneva: of drug resistant tuberculosis 2013. International Union Against
WHO 17.12.2012 Avaliable at http://whqlibdoc.who.int/ Tuberculosis and Lung Disease.
puplication/2011/9789241564380 eng.pdf 25. Kemenkes RI. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia.
2. DITJEN PP & PL KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Laporan 2011.
situasi terkini perkembangan tuberkulosis di Indonesia Januari– 26. Zhang Y, Yew WW. Mechanisms of drug resistance in Mycobacterium
Desember 2012. tuberculosis. The International Journal of Tuberculosis and Lung
3. World Health Organization: The Global TB-MDR and XDR Response Disease 2009; 13: 1320–1330.
Plan 2007–2008. WHO Library2006, pp. 2–3. 27. Petrini B, Hoffner S. Drug resistant and multidrugs resistant tubercle
4. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. WHO bacilli. International Journal Antimicrobial Agents 1999; 13: 93–7.
reports 2012. 28. Chan EWC, Chan RCY, Au. MTK, Lai RWM. Physiological fitness
5. Smith I. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular of drug resistant mycobacterium tuberculosis isolates in Hongkong.
determinant of virulence. Clinical Microbiology Reviews, Juli 2003. Hongkong Med. J. 2013; 19(5): S4–7.
Vol. 16, No. 3. p. 463–496. 29. Borrel S, Gagneux S. infectiousness, reproductive fitness and
6. PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di evolution of drug resistant mycobacterium tuberculosis. Int. J. Tuberc
Indonesia. 2011. Lung Dis. 2009. 13 (12): 1456–1466.
7. Cohen T, Sommers. B, Murray. M. The effect of drug resistance on 30. Gillespie SH. Evolution of drug resistance in mycobacterium
the fitness of mycobacterium tuberculosis. The Lancet Infectious tuberculosis: Clinical and molecular perspective. Antimicrob. Agents.
Disease. Vol. 3 January 2003. Chemother. 2002, 46(2): 267–274.
8. Shwartz M. Drug resistant strain of tuberculosis are more virulent than 31. Billington OJ, Mc Hugh TD and Gillespie SH. Physiological cost of
experts assumed. Avaliable at www.news.stanford.edu/news/2006/ rifampin resistance induced in vitro in mycobacterial tuberculosis.
august9/tbstudy. 080906.html. Antimicrob. Agent. Chemother. 1999, 43: 1866–1869.
9. Edward Khan A, Michael E. Chemoterapy of tuberculosis In 32. Hopewill PC. Overview of clinical tuberculosis. In Bloom BR (ed),
Tuberculosis and nontuberculosis infections, edited David 5th, Tuberculosis: Pathogenesis, Protections and control. ASM press.
McGraw-Hill. USA 2006; 77–90. Washington DC.USA 1994.
10. Hasan H. Tuberkulosis Paru Dalam: Wibisono MJ, Winariani, Hariadi 33. Jeong YJ, Lee KS. Pulmonary tuberculosis: up to date imaging and
S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke-2. Departwmen management. AJR 2008, 191: 834–844.
Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo. Surabaya 2010: 34. Saeed W. Cavitating pulmonary tuberculosis: a global challenge.
h. 9–30. Clinical Medicine 2012. Vol. 12 No1: 40–41.
11. Roitt. Immunology. 6th ed. Mosby. New York. 2001: 1–36. 35. Zahirifard S, Amiri VM, Bakhshayesh KM, et all. The radiological
12. Abbas AK, Litchtman AH, Puber JS. Immunity to microbes. In: spectrum of pulmonary multidrug-resistant tuberculosis in HIV-
cellular and molecular immunology. 2nd ed. WE Saunders Company negative patients. Iran J. Radiol. December 2003.
Philadelphia. 1994: p. 320–33. 36. National Tuberculosis Association of USA. Diagnostic standarts and
13. Barnes PF, Wizel B. Type 1 cytokines and the pathogenesis of classification of tuberculosis. 1961. New York:National Tuberculosis
tuberculosis. A, J Respir Crit care Med. 2000; 161: 1773–4. Association.
14. Baratawidjaja KG. Sitokin. Dalam: Imunologi dasar. Edisi 4. Balai 37. Papathaks P, Piwoz E, Editors. Nutrition and tuberculosis: a review
penerbit FKUI. Jakarta. 2000: h. 93–105. of the literature and consideration for tuberculosis control programs.
15. Iseman MD. Immunity and pathogenesis. In: Iseman MD, editor. A Chapter 3, Malnutrition, immunity and tuberculosis. Washington:
clinician’s Guide to Tuberculosis. Lippincott Williams and Wilkins. United status for international development. 2008. p. 11–7.
Philadelphia. 2000: p. 63–96. 38. Karyadi E, Schultink W, Nelwan RH, et al. Poor miconutrient status
16. Schluger NW, Rom WN. The host immune response to tuberculosis of active pulmonary tuberculosis patients in indonesia. The Journal
– state of the art. Am J Respir Crit Care Med. 1998; 157: 679–91. of Nutrient 2000.
17. Tomasheki JF, Dannenberg AM. Pathogenesis of pulmonary 39. Podewils LJ, Holtz T, Riekstore V, et al. Impact of malnutrition
tuberculosis. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al., editors. on clinical presentation, clinical course and mortality in multidrug
Fishman Pulmonary disease and disorders. 3rd ed. McGraw-Hill. New resistent tuberculosis patient. Epidemiol Infect. 2011; 139(1):
York. 1998: p. 2447–71. 113–20.
18. Mattheas L, Steinmuller C, Ulliman GF. Pulmonary macrophage. 40. Caminero JA. Multidrug resistant tuberculosis: epidemiology, risk
Eur Respir J. 1994; 7: 1683–4. factors and case findings. Int. J tuberc lung disease 2010; 14(4): p.
19. Toews GB. Cytokines and the lung. Eur Respir J. 2001; 34: 3–175. 382–90.
20. Brodin P. Virulence mechanism in tuberculosis. Avaliable at www. 41. Subhan M, Soedarsono. Perubahan gambaran foto toraks waktu
moleculartb.org/gb/pdf/transcriptions/12_P Brodin.pdf pengobatan TB paru dan saat terdiagnosa TB paru MDR. 2014.
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019

HUBUNGAN FAKTOR RESIKO DENGAN KEJADIAN PADA PENYAKIT PARU


OBSTRUKSI KRONIK DI PUSKESMAS MANDALA

Alamsyah Lukito
Universitas Islam Sumatera Utara, Jl. STM No. 77, Medan
Email: alamsyah.lukito@yahoo.com

Abstract
The main cause of Chronic Obstructive Pulmonary Disease is smoking or exposure to
secondhand smoke from active smokers or smoke inhalation in passive smokers. Other
causes are air pollution, workplace exposure, and genetic factors. This type of research is
analytical research with a cross sectional approach which aims to study the existence of a
variable relationship dynamics. In this study, the sample was 30 patients from the Mandala
Health Center. Generally, COPD sufferers are those aged 45 years to 65 years where 21 of
the 30 people suffer from risk. The chi-square test results show that there is a relationship
between risk factors and the incidence of COPD in the Tembung Mandala 2018 Health
Center Working Area.
Keyword: obstructive pulmonary, COPD, smoker, inhalation.

kelamin perempuan meningkatkan risiko


1. PENDAHULUAN terjadinya PPOK (Guide and Copd, 2017).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) The Global Burden of Disease Study
merupakan penyakit kronik pada saluran melaporkan prevalensi 251 juta kasus COPD
napas yang ditandai dengan terhambatnya secara global pada tahun 2016. Secara global,
aliran udara khususnya udara ekspirasi dan diperkirakan bahwa 3,17 juta kematian
bersifat progresif. PPOK termasuk ke dalam disebabkan oleh penyakit pada tahun 2015,
jenis penyakit tidak menular yang utama yaitu 5% dari semua kematian secara global
menurut WHO (Badan Penelitian dan pada tahun itu. Lebih dari 90% kematian
Pengembangan Kesehatan, 2013). PPOK terjadi di negara-negara yang rendah
Gejala pernapasan yang paling umum pada dan menengah ke bawah. Penyebab utama
penderita PPOK adalah dispnea (sesak napas), COPD adalah paparan asap tembakau, baik
dan batuk dengan atau tanpa adanya produksi perokok aktif atau perokok pasif (WHO,2018)
sputum (dahak) (Guide & COPD, 2017). Berdasarkan data Riskesdas 2013, PPOK
Sembilan dari sepuluh kasus PPOK disebabkan termasuk penyakit yang tidak menular.
oleh merokok (Choices, 2017). Seiring waktu, Prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%.
paparan zat berbahaya akan mengiritasi dan PPOK lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)
merusak paru-paru dan saluran pernapasan dibanding perempuan (3,3%) (Badan
sehingga dapat menyebabkan PPOK yang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema. 2013).
Penyebab utama dari PPOK adalah merokok
(American Lung Association, 2017), yaitu Indonesia memiliki 65 juta perokok atau 28 %
paparan asap rokok dari perokok aktif ataupun per penduduk (~225 miliar batang per tahun).
inhalasi asap pada perokok pasif (WHO, Indonesia merupakan Negara ketiga tertinggi
2016), meskipun ada juga penderita PPOK yang mengkonsumsi rokok (Kementrian
yang tidak merokok (American Lung Kesehatan, 2018). Berdasarkan data Riskesdas
Assosciation, 2017). tahun 2013, prevalensi PPOK Di Sumatera
Utara yang didasarkan pada gejala dengan
Faktor risiko yang lain yang dapat usia penderita lebih dari 30 tahun adalah
menyebabkan PPOK adalah polusi udara, sebesar 3,6% (Badan Penelitian dan
paparan di tempat kerja, faktor genetik yaitu Pengembangan Kesehatan, 2013).
defisiensi herediter yang berat pada alfa-1
antitripsin, dan usia yang lebih tua serta jenis Merokok dapat menghambat aliran udara pada
saluran pernafasan secara progresif hingga

43
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019

dapat menyebabkan perubahan struktur dan Penelitian ini untuk melihat adalah hubungan
fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru. faktor resiko dengan kejadian PPOK.
Pada akhirnya merokok menjadi salah satu
Gambaran karakteristik responden pada
faktor penyebab risiko terjadinya PPOK
peneltian ini yang diamati adalah usia, jenis
(Saminan, 2014).
kelamin, faktor Resiko, dan frekuensi
2. METODE terjadinya PPOK. Adapun gambaran
karakteristik sampel penelitian tersebut dapat
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dilihat pada tabel berikut :
dengan pendekatan cross sectional. Cross
sectional adalah suatu penelitian yang Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan usia
dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari Usia Frequensi Persen
adanya suatu dinamika korelasi. Dilakukan (%)
dengan menggunakan pendekatan observasi 45 2 6.7
dan pengumpulan data sekaligus yang 49 1 3.3
dilakukan dalam waktu yang bersamaan 50 1 3.3
(Notoatmojo, 2010). 51 2 6.7
Penelitian dilakukan di puskesmas mandala 55 1 3.3
kecamatan medan tembung. Penelitian ini 60 7 23.3
dilakukan di bulan November 2018. 61 4 13.3
Populasinya adalah semua pasien PPOK yang 62 3 10
datang memeriksakan kesehatannya dan 63 2 6.7
penunggu pasien yang bukan penderita PPOK 64 2 6.7
di puskesmas Mandala, dengan sampel diambil 65 3 10
dengan metode Quota sampling yaitu 67 1 3.3
Pengambilan sampel hanya berdasarkan 69 1 3.3
pertimbangan peneliti saja, hanya disini besar Jumlah 30 100
dan criteria sampel telah ditentukan lebih
Tabel 1 menunjukan bahwa responden
dahulu. Pada penelitian ini akan di ambil
dengan usia 45 adalah 2 orang (6,7%), usia
sampel sebanyak 30 orang.
49 adalah 1 orang (3,3%). Usia 40 adalah 1
Metode pengumpulan data yang dilakukan orang ( 3,3%). Usia 51 adalah 2 orang (
dalam penelitan ini adalah dengan 6,7%). Usia 55 adalah 1 orang (3,3%). Usia
menggunakan data primer dan sekunder. Data 60 adalah 7 orang ( 23,3%). Usia 61 adalah 4
primer adalah rekam medik dari puskemas orang (13,3%). Uisa 62 adalah 3 orang
Mandala. Data sekunder adalah data yang (10%). Uisa 63 adalah 2 orang (6,7%). Usia
diambil dari sumber kedua. Pada penelitian ini 64 adalah 2 orang (6,7%). Usia 65 adalah 3
data sekunder berupa data dari pasien PPOK orang (10%). Usia 67 adalah 1 orang (3,3%).
di Puskemas Mandala (Imron, 2014). Usia 69 adalah 1 orang (3,3%).
Analisa data yang digunakan dalam penelitian Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan jenis
ini adalah Analisa univariat yang bertujuan kelamin
untuk menjelaskan atau mendiskripsikan Jenis Frekuensi Persen
karekteristik dari setiap variabel penelitian. Kelamin (%)
Pada umumnya dalam analisis ini hanya Laki-Laki 19 63.3
menghasilkan distribusi frekuensi dan Perempuan 11 36.7
persentase dari setiap variabel dan Analisis Jumlah 30 100
bivariat bertujuan untuk mencari hubungan
diantara dua variabel. Dalam penelitian ini Dari tabel 2 didapatkan Jenis kelamin laki-laki
digunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square. berjumlah 19 orang (63,3%) dan jenis
kelamain perempuan 11 orang (36,7%).
3. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja
puskesmas Mandala kecamatan Medan
Tembung. Penelitian ini adalah penelitian
analitik dengan pendekatan cross sectional.

44
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019

Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan berdasarkan umur, didapatkan pasien PPOK


faktor resiko stabil yang berobat ke Klinik Paru RSIJ
Sukapura selama periode Maret 2013-
Faktor Resiko Frekuensi Persen
September 2014 terbanyak pada kelompok
(%)
usia 60-69 tahun sebanyak 16 pasien (37,2%)
Merokok 19 63.3
sedangkan kelompok usia terendah adalah
ISPA 3 10.0
usia 40-49 sebanyak 5 pasien (11,6%) (Fachri,
Terpapar Polusi 8 26.7
2014).
Jumlah 30 100
Penderita PPOK pada penelitian ini lebih
Pada tabel 3 menunjukan bahwa responden banyak pada laki-laki sebanyak (63,3%) dan
dengan faktor resiko merokok adalah 19 orang jenis kelamain perempuan 11 orang (36,7%).
(63,3%). faktor resiko ispa adalah 3 orang Dalam Penelitian Sakti, 2014 di temukan juga
(10,0%). dan faktor resiko terpapar polusi bahwa subjek penelitian laki-laki memiliki
adalah 8 orang (26,7%). prevalensi lebih tinggi dibandingkan
Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan perempuan, yaitu 37 pasien (86%) subjek
terjadinya PPOK penelitian laki-laki dan 6 pasien (14%) subjek
penelitian perempuan. (Sakti, 2014)
Terjadinya Frekuensi Persen
PPOK (%) Hasil yang didapat menunjukan bahwa yang
Iya 21 70 beresiko terjadinya PPOK dengan frekuensi 21
Tidak 9 30 orang (70%) dan tidak terjadinya PPOK 9
Jumlah 30 100 orang (30%). Hasil ini sama dengan penelitian
Fachri, 2014 distribusi berdasarkan status
Pada tabel 4 menunjukan bahwa yang perokok, pasien yang termasuk kriteria
beresiko terjadinya PPOK dengan frekuensi 21 perokok memiliki presentasi yang tinggi
orang (70%) dan tidak terjadinya PPOK 9 sebanyak 38 pasien (88,4%) sedangkan
orang (30%). kriteria bukan perokok memiliki presentasi
Data yang ada kemudian diuji dengan yang paling rendah sebanyak pasien (11,6%)
menggunakan uji bivariat dengan metode chi- (Fachri, 2014).
square sebagai berikut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
Tabel 5 Hubungan Faktor Resiko dengan ditemukan bahwa responden dengan faktor
Kejadian PPOK resiko merokok adalah 19 orang (63,3%).
Faktor resiko ispa adalah 3 orang (10,0%) dan
Faktor PPOK Jumlah P Sig. faktor resiko terpapar polusi adalah 8 orang
Resiko Iya Tidak (26,7%). Hal ini sama dengan penelitian
Merokok 14 5 19 fachri, 2014 pasien PPOK dalam penelitian ini
ISPA 7 1 8 adalah perokok berat dengan PPOK derajat
0.01
Terpapar 0 3 3 sedang sebanyak 16 pasien (37,2%), pasien
Polusi PPOK derajat sedang dengan infeksi saluran
napas bawah sebanyak 15 pasien (34,8%)
Didapatkan hasil pada uji chi-square p=0.01 serta yang disebabkan disebabkan oleh polusi
(p<0.05) pada pengamatan melihat hubungan luar ruangan dengan PPOK derajat sedang
faktor resiko terhadap kejadian PPOK. Pada sebanyak 17 pasien (39,5%) (Fachri, 2014).
hasil yang didapat p<0.05 sehingga terdapat
Pada hakekatnya keluhan-keluhan PPOK
hubungan antara faktor resiko dengan
disebabkan oleh adanya hipersekresi mucus
kejadian PPOK di Wilayah Kerja Puskesmas
dan sesak, yang menyebabkan penderita
Mandala 2018 Tembung.
mengeluh batuk dan dahak serta sesak napas.
4. PEMBAHASAN Ciri-ciri jika terjadi infeksi sekunder adalah
dahak yang berwarna keputih-putihan yang
Pada penelitian ini menunjukan bahwa cenderung berwarna kelabu (karena partikel-
responden dengan usia 60 adalah usia partikel debu bila ada polusi udara). Pada
tertinggi yang mengalami PPOK sebanyak 7 stadium dini, keluhan sesak napas dirasakan
orang ( 23,3%). Hasil ini sejalan dengan jika sedang melakukan pekerjaan fisik ekstra
penelitian Fachri, 2014 dimana distribusi (dyspnoe d’effort) yang masih dapat

45
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019

ditoleransi penderita dengan mudah, namun DAFTAR PUSTAKA


lama kelamaan sesak itu semakin progresif.
Pada stadium berikutnya penderita secara fisik Amin M. Patogenesis dan Pengobatan Pada
tak mampu melakukan aktivitas apapun tanpa Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Solo:
bantuan oksigen, karena sambil duduk pun Kongres Nasional X PDPI;2005.
pasien akan tetap merasakan sesak napas Arumugam Hareesh Raj. Tingkat Pengetahuan
(Gan, 2005). Mahasiswa FK USU 09 tentang Merokok
Pada penelitian ini terdapat hubungan faktor sebagai Faktor Resiko Utama PPOK.
resiko dengan kejadian PPOK, dimana faktor Medan, 2012.
resiko tersebut yaitu merokok, polusi udara, Badan Penelitian dan Pengembangan
dan riwayat ISPA terdapat lebih banyak pada Kesehatan, 2013
pasien PPOK dari pada non PPOK. Hasil http://www.depkes.go.id/resources/dow
penelitian ini sesuai dengan penelitian Ika nload/general/Hasil%20Riskesdas%202
Nugraha, bahwa perokok dengan indeks 013.pdf?opwvc=1 Acc esed 2018
brinkman berat mengalami PPOK derajat
sedang 8 kali lebih besar dibandingkan dengan Barnes PJ. Chronic obstructive pulmonary N
indeks brinkman berat yang mengalami PPOK Eng J Med 343. 2000. 269-80
ringan (Ika, 2013). Charoenratanakul S. Impact of COPD in
the Asia-Pacific region. Presented at the
Untuk faktor resiko ISPA, penelitian ini sejalan 7th APSR Congress. Taipei. October
dengan penelitian Amin, bahwa beberapa 2002
kasus PPOK termasuk derajat sedang yang
ditemukan juga dapat terjadi karena infeksi Fachri Muhammad, Hubungan Faktor Risiko
saluran nafas bawah berulang (Amin, 2005). Merokok, Infeksi Saluran Napas Bawah,
Selain itu, untuk hasil faktor resiko polusi Polusi Udara dan Sosial Ekonomi
udara hal ini sejalan dengan hasil penelitian dengan Berbagai Derajat PPOK Stabil di
Jati pada pekerja tambang batu kapur di Desa Klinik Paru Rumah Sakit Islam Jakarta
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Sukapur.
Kabupaten Banyumas Tahun 2005 faktor- file:///D:/therelationbetweensmokingrisk
faktor ekstrinsik yang terbukti berhubungan factorlowerrespiratorytractinfectionairpol
dengan PPOK adalah debu (Wanda,2013). lutionandsocioeconomicwithvariousdegr
eesofcopdstableatjakartaislamichospitalr
Terapi farmakologis dilakukan untuk sijsukapura.pdf Acc esed 2018
mengurangi gejala, mengurangi keparahan
eksaserbasi dan meningkatkan status Gan WQ, Paul Man SF, Sin DD. 2005. The
kesehatan. Setiap pengobatan harus spesifik Interaction Between Cigarrette Smoking
terhadap setiap pasien, karena gejala dan And Reduced Lung Function On
keparahan dari keterbatasan aliran udara Systemic Inflammation. Chest; 127:
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti 558-564.
frekuensi keparahan eksaserbasi, adanya GOLD (Global Initiative Obstructive Lung
gagal nafas dan status kesehatan secara Disease), 2009. Klasifikasi PPOK.
umum (GOLD, 2011). http://www.who.int/respiratory/copd/G
OLD_WR_06.pdf Acc esed 2018
5. KESIMPULAN
GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis,
1. Umumnya penderita PPOK adalah
Management, and Prevention. [diakses
mereka yang berusia 45 tahun hingga
4 November 2011]. Di unduh dari URL:
65 tahun dimana 21 dari 30 orang
http://www.goldcopd.com/Guidelineite
tersebut menderita resiko.
m.asp?l1=2&l2=1&intId=989
2. Hasil Uji chi-square menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara Guide and Copd, 2017
faktor resiko dengan kejadian PPOK di https://goldcopd.org/wp-
Wilayah Kerja Puskesmas Mandala content/uploads/2016/12/wms-GOLD-
2018 Tembung. 2017-Pocket-Guide.pdf Acc esed 2018
Ika Nugraha. Hubungan Derajat Berat
Merokok Berdasarkan Indeks Brinkman

46
JURNALPENELITIAN KEPERAWATAN VOL. 1 NO. 2 EDITION: NOVEMBER 2018 –
MEDIK APRIL 2019
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 6 FEBRUARI 2019 REVISED: 2 MARET 2019 ACCEPTED: 15 APRIL 2019

Dengan Derajat Berat PPOK. Skripsi


Akper Patria Husada.
https://ejournal.stikespku.ac.id/index.ph
p/mpp/article/viewFile/15/13 Acc esed
2018.
Imron Moch dan Amrul Munif . 2010. Metode
Penelitian Bidang Kesehatan. Jakarta:
Sagung Seto. Hal:149-154.
Kementrian Kesehatan, 2018. Perilaku
merokok masyarakat
Indonesia.file:///D:/infodatin-hari-
tanpa-tembakau-sedunia%20(1).pdf Acc
esed 2018
NHLBI/WHO Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease ( GOLD ). Global strategy
for the diagnosis, management and
prevention of chronic obstructive
pulmonary disease Am J Respir Crit Med
163 .2001.
Notoadmojo S. 2012. Penelitian kesehatan.
Metodologi penelitian kesehatan. Edisi.
5. Jakarta: Rineka cipta. Hal: 101-113.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
https://www.klikpdpi.com/konsensus/ko
nsensus-ppok/ppok.pdf [Acc esed 2018
Sakti Ali, Proporsi dan Sebaran Faktor Risiko
Eksaserbasi Akut Penyakit Paru
Obstruksi Kronik pada Jemaah Haji
Embarkasi Jakarta Tahun 2011-2012.
file:///D:/26-20-PB%20(1).pdf [Acc
esed 2018
Saminan. 2014. Efek Paparan Partikel
Terhadap Kejadian Penyakit Paru
Obstruktif Kronik. Idea Nursing Journal,
Vol. 5 (1).
Wanda Gautami. Hubungan Kondisi
Lingkungan Rumah Susun dengan
Prevalensi Penyakit Respirasi Kronis di
Jakarta. Skripsi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta
https://media.neliti.com/media/publicati
ons/59443-ID-hubungan-kondisi-
lingkungan-rumah-susun.pdf Accesed
2018
World Health Organization 2018. Chronic
obstructive pulmonary disease (COPD)
http://www.who.int/respiratory/copd/en
/

47
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN
PERNAPASAN AKUT (ISPA) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ABELI KECAMATAN ABELI
TAHUN 2018
Hermawati Suhadi La Ode Ahmad Saktiansyah3
1
123Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo
1Ermhawati001@gmail.com 2Suhaditsel77@yahoo.com 3Saktiansyah89@gmail.com

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernafasan
bagian atas dan bagian bawah. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dapat menimbulkan gejala ringan (batuk,
pilek), gejala sedang (sesak) bahkan sampai gejala yang berat. Komplikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
yang berat mengenai jaringan paru dapat menyebabkan terjadinya pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit
infeksi penyebab kematian nomor satu pada balita. Jumlah kematian pada balita Indonesia sebanyak 151.000
kejadian, dimana 14% dari kejadian tersebut disebabkan oleh pneumonia. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui adakah hubungan faktor lingkungan dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018. Penelitian ini merupakan penelitian
analitik observasional dengan rancangan penelitian cross sectional study. Penentuan sampel dalam penelitian
ini menggunakan pendekatan Random Sampling. Dengan sampel 73 responden yang menderita penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kecamatan Abeli. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu tidak ada hubungan
yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
dengan nilai p-Value = 0,691. Tidak ada hubungan antara penggunaan anti nyamuk bakar dengan kejadian
penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan nilai p-Value = 0,605. Ttidak ada hubungan yang
bermakna antara penggunaan bahan bakar untuk memasak dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) dengan nilai p-Value =0,254. Tidak ada hubungan yang bermakna antara keberadaan
perokok dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan nilai p-Value = 0,285.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara kepadatan hunian, penggunaan anti nyamuk
bakar, penggunaan bahan bakar untuk memasak dan keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian
penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Kata Kunci : Kepadatan Hunian, Penggunaan Anti Nyamuk Bakar, Bahan Bakar Untuk Memasak, Keberadaan
Perokok, ISPA

1
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
THE RELATIONSHIP OF ENVIRONMENTAL FACTORS WITH ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) IN
WORKING AREA OF ABELI PUBLIC HEALTHCENTER OF ABELI DISTRICTIN 2018

Hermawati1 Suhadi2 La Ode Ahmad Saktiansyah3


123Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo
1Ermhawati001@gmail.com 2Suhaditsel77@yahoo.com 3Saktiansyah89@gmail.com

ABSTRACT

Acute Respiratory Infection (ARI) is an acute infection that attacks the upper and lower respiratory tract. Acute
Respiratory Infection (ARI) may cause mild symptoms (cough, cold), moderate symptoms (congested) and even
severe symptoms. The complications of severe Acute Respiratory Infectionconcerning lung tissue that can cause
pneumonia. Pneumonia is infectious disease that the leading cause of death in under-fives. The number of
deaths among under-fives in Indonesia is 151,000 incidents, of which 14% are caused by pneumonia. The
purpose of this study was to know therelationship of environmental factors with Acute Respiratory Infection
(ARI) in working area of Abeli public healthcenter of Abeli district in 2018. This study was an observational
analytic study with cross sectional study design. Determination of sample using Random Sampling approach.
The sampleswere 73 respondents that suffering ARI disease in Abeli District. The result of studyshowed that
there was no significant relationship between the density of residence and the incidence of ARI with p value =
0,691. There was no relationship between the use of mosquito repellent and incidence of ARI with p value =
0,605. There was no significant relationship between the use of fuel for cooking and the incidence of ARI with p
value = 0.254. There was no significant relationship between the presence of smokers and the incidence of ARI
with p value = 0.285. The conclusion in this study show that there is no relationship between the density of
occupancy, the use of mosquito repellent, the use of fuel for cooking and the presence of smokers in the home
with the incidence of Acute Respiratory Infection (ARI).

Keywords: Residential Density, Use of mosquito repellent, Fuel for Cooking, presence of smokers, ARI

2
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
PENDAHULUAN kimia seperti nikotin, gas carbon monoksida,
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia,
adalah infeksi saluran pernapasan yang acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane,
disebabkan oleh virus atau bakteri dan methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor
berlangsung selama 14 hari. Penyakit ISPA peryline dan lainnya.5
merupakan infeksi akut yang menyerang saluran World Health Organization (WHO)
pernapasan bagian atas dan bagian bawah. Gejala memperkirakan insidens infeksi saluran
yang ditimbulkan yaitu gejala ringan (batuk dan pernapasan akut (ISPA) di negara berkembang
pilek), gejala sedang (sesak danwheezing) bahkan dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000
sampai gejala yang berat (sianosis dan pernapasan kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada
cuping hidung). Komplikasi ISPA yang berat golongan usia balita. Pada tahun 2010, jumlah
mengenai jaringan paru dapat menyebabkan kematian pada balita Indonesia sebanyak 151.000
terjadinya pneumonia. Pneumonia merupakan kejadian, dimana 14% dari kejadian tersebut
penyakit infeksi penyebab kematian nomor satu disebabkan oleh pneumonia.6
pada balita.1 Berdasarkan hasil presentasi angka
Beberapa faktor risiko terjadinya ISPA adalah kesakitan jumlah kasus infeksi saluran pernapasan
faktor lingkungan, ventilasi, kepadatan rumah, akut (ISPA) di Indonesia tahun 2014 sebanyak
umur, berat badan lahir, imunisasi, dan faktor 29,47%, dari enam provinsi dengan kejadian
perilaku, (Naning et al., 2012). Kepadatan hunian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
berdasarkan KepMenkes RI No. 829 tahun 1999 tertinggi adalah Jawa Barat (43,22%), Jawa Timur
tentang kesehatan perumahan menetapkan (35,36%), Jawa Tengah (29,89%), DKI Jakarta
bahwa luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak (39,33%), Banten (30,48%), Sulawesi Tenggara
dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, (38,73%) (Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, 2015).
kecuali anak dibawah 5 tahun. Bangunan yang Laporan hasil presentasi angka kesakitan jumlah
sempit dan tidak sesuai dengan jumlah kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA di
penghuninya akan mempunyai dampak Indonesia tahun 2015 sebanyak 63,45%, dari enam
kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga provinsi dengan kejadian Penyakit Infeksi Saluran
daya tahan penghuninya menurun, kemudian Pernapasan Akut (ISPA) tertinggi adalah Jawa
cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan Barat (109,74%), Jawa Timur (70,24%), DKI Jakarta
seperti ISPA.2 (110,03%), Jawa Tengah (30,71%), Nusa Tenggara
Penggunaan Anti nyamuk bakar sebagai alat Barat (147,82%), Sulawesi Tenggara (30,84%).7
untuk menghindari gigitan nyamuk dapat Sepanjang tahun 2012 hingga 2015 dimana
menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena pada tahun 2012 jumlah kasus ISPA berkategori
menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya ISPA bukan Pneumonia sebanyak 137.123,
pencemaran udara di lingkungan rumah akan kemudian pada tahun 2013 menjadi 157.578 kasus
merusak mekanisme pertahanan paru-paru infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bukan
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pneumonia, pada tahun 2014 menjadi 157.578
pernafasan.3 kasus ISPA bukan pneumonia, dan pada tahun
Bahan bakar yang digunakan untuk 2015 menjadi 55.521 kasus ISPA bukan
memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas pneumonia.8
udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% Presentase balita yang ditemukan dan
wilayah pedesaan di China tidak memenuhi ditangani menurut Kabupaten/ Kota Provinsi
standar nasional pada tahun 2002, hal ini Sulawesi Tenggara Tahun 2015 yaitu tertinggi
menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit didapat oleh Kabupaten Kolaka (53,49%), dan
paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 Konawe (24,51%), terendah diperoleh Kolaka Timur
juta kematian.4 (3,16%). Sementara itu ada tiga kabupaten yang
Keberadaan perokok dalam rumah diamana tidak menampilkan cakupan balita pneumonia yang
paparan asap rokok merupakan penyebab ditangani yaitu Konawe Selatan, Wakatobi, dan
signifikan masalah kesehatan seperti pernafasan Konawe Kepulauan. Tidak adanya catatan khusus
akut infeksi (ISPA). Satu batang rokok dibakar pneumonia yang ditemukan dan ditangani, tetapi
maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan lebih tidak adanya laporan dari
Dinas Kesehatan dari Kabupaten yang tahun 2015 sebanyak 2.732 kasus, dan pada tahun
bersangkutan.9 2016 sebanyak 30.87 kasus, sedangkan pada tahun
Berdasarkan Laporan puskesmas abeli Kota 2017 sebanyak 2.013 kasus fenomena.10
Kendari pada tahun 2014 hingga 2017, pada tahun
2014 sebanyak 3.452 kasus ispa, sedangkan pada

3
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
Berdasarkan latar belakang yang telah penelitian ini adalah masyarakat yang menderita
dibahas, maka permasalahan yang dapat di penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di
simpulkan adalah Bagaimana Hubungan Faktor Wilayah Kerja Puskemas Abeli Kecamatan Abeli
Lingkungan Dengan Kejadian Penyakit Infeksi sebanyak 2.013 kasus. Adapun teknik pengambilan
Saluran Pernapasan (ISPA) di Wilayah Kerja sampel yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli? random sampling dalam pengambilan sampel
penelitian yang populasinya berbeda-beda
METODE sehingga semua populasi di anggap sama.
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis
dengan pendekatan cross sectional study, yaitu Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas
penelitian dilakukan dalam waktu bersamaan tetapi Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
dengan subjek yang berbeda-beda. Populasi dalam
No Jumlah Presentase
HASIL Pekerjaan (n) (%)
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur 1. PNS/Honorer 5 6,8
di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli 2. Wiraswasta 9 12,3
Kecamatan Abeli Tahun 2018 3. Swasta 7 9,6
No Umur 4. Buruh/Bangunan 13 17,8
Responden Jumlah Presentase
5.. Supir/Helper 20 27,4
(Tahun) (n) (%)
6. Petani/Nelayan 16 21,9
1. 21-30 27 37,0
7. Lainnya 3 4,2
2. 31-40 31 42,5
Total 73 100
3. 41-50 12 16,4
Sumber: Data Primer, Maret 2018
4. 51-60 1 1,37
5. 61-70 2 2,73 Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa
Total 73 100 dari 73 responden, terdapat kelompok pekerjaan
Sumber : Data Primer, Maret 2018 PNS/Honorer sebanyak 5 orang (6,8%) responden,
kelompok pekerjaan Wiraswasta sebanyak 9 orang
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa (12,3%) responden, kelompok pekerjaan Swasta
dari 73 responden, terdapat kelompok umur 21-30 sebanyak 7 orang (9,6%) responden, kelompok
tahun berjumlah 27 orang (37,0%) responden, pekerjaan Buruh/bangunan sebanyak 13 orang
kelompok umur 31-40 tahun berjumlah 31 orang (17,8%) responden, kelompok pekerjaan
(42,5%) responden, kelompok umur 41-50 tahun Sopir/Helper sebanyak 20 orang (27,4%)
berjumlah 12 orang (16,4%) responden, kelompok responden, kelompok pekerjaan Petani/Nelayan
umur 51-60 tahun berjumlah 1 orang (1,37%) sebanyak 16 orang (21,9%) responden, dan
responden, kelompok umur 61-70 tahun berjumlah kelompok pekerjaan Lainnya sebanyak 3 orang
2 orang (2,73%) responden. (4,2%) responden.

Tabel 3 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
No. Kepadatan Hunian ISPA
Jumlah ρValue
Menderita Tidak Menderita
n % n % n %
1. Memenuhi syarat 25 34,4 5 6,8 30 41,2
2. Tidak memenuhi syarat 6 8,2 37 50,6 43 58,8 0,691

Total 31 42,6 42 57,4 73 100


Sumber : Data Primer, Maret 2018

4
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
Tabel 4. Hubungan Anti Nyamuk Bakar dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
No Penggunaan Anti Nyamuk Bakar ISPA

Jumlah ρValue
Menderita Tidak menderita
n % n % n %
1 Menggunakan 22 30,1 5 6,8 27 36,9
2 Tidak menggunakan 9 12,4 37 50,7 46 63,1
0,605
Total 31 42,5 42 57,5 73 100

Sumber : Data Primer, Maret 2018

Tabel 5. Hubungan Penggunaan Bahan Bakar Untuk Memasak dengan Kejadian Penyakit ISPA di Wilayah Kerja
Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
No Bahan Bakar Untuk Memasak ISPA

Tidak Jumlah ρValue


Menderita
Menderita
n % N % n %
1 Menggunakan 28 38,4 29 39,7 57 78,1
2 Tidak Menggunakan 3 4,10 13 17,8 16 21,9
Total 31 42,5 42 57,5 73 100 0,254

Sumber : Data Primer, Maret 2018

Tabel 6. Hubungan Keberadaan Perokok dalam Rumah dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akur (ISPA) Di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
No
Keberadaan Perokok Dalam Rumah ISPA
Tidak Jumlah ρValue
Menderita
Menderita
n % n % n %
1 Ada 20 27,4 15 20,6 35 48,0

2 Tidak ada 11 15,1 27 36,9 38 52,0 0,285

Total 31 42.5 42 57.5 73 100

Sumber : Data Primer, Maret 2018

DISKUSI peraturan tentang rumah sehat tentang


Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian persyaratan rumah tinggal, karena kepadatan
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di merupakan Pre-requisite untuk terjadinya proses
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli penularan penyakit karena semakin padat, maka
Tahun 2018 perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui
Kepadatan hunian perlu diperhitungkan udara akan semakin mudah dan cepat
karena mempunyai peranan dalam penyebaran penyebarannya.11
mikroorganisme didalam lingkungan rumah. Untuk Kepadatan hunian adalah banyaknya
itu, Departemen Kesehatan telah membuat jumlah keluarga yang menempati luas lantai

5
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
tertentu, dimana luas lantai bangunan rumah sehat Obat nyamuk bakar akan mengeluarkan asap
harus cukup untukpenghuni didalamnya, artinya yang mengandung beberapa gas seperti CO2, CO,
bahwa luas lantai tersebut harus disesuaikan nitrogen oksida, amoniak, metana, dan partikel
dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Liu
tidak sebanding dengan penghuninya akan et al., 2003). Nitrogen dioksida yang masuk ke
menyebabkan penjubelan (Overcrowded).12 dalam saluran napas akan bereaksi dengan air yang
Kepadatan hunian rumah dapat terdapat di saluran napas atas dan bawah
menyebabkan penularan penyakit khususnya membentuk HNO3. Asam sulfatdan asam nitrat
melalui udara semakin cepat. Rumah yang padat yang terjadi merupakan iritan yang sangat kuat.
penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara tidak Efek kerusakan terhadap saluran napas dapat
baik, pertukaran oksigen kurang sempurna dan bersifat akut dan kronik. Besar dan luasnya
diperburuk apabila ventilasi rumah tidak kerusakan tergantung pada jenis zat, konsentrasi
memenuhi syarat. Hal ini sangat berbahaya apabila zat, lama paparan dan ada atau tidaknya kelainan
ada anggota keluarga yang menderita gangguan saluran napas sebelumnya.16
pernapasan yang disebabkan oleh virus dan debu, banyak. Senyawa yang dihasilkan dari kayu
akan cepat menyerang anggota keluarga yang lain bakar ini sama seperti membakar seribu rokok
akibat menghirup udara yang samadan sudah setiap jamnya.17
tercemar. Semakin padat penghuni dalam rumah Penggunaan bahan bakar memasak akan
maka akan semakin mudah penularan penyakit mempengaruhi terhadap kualitas udara di dalam
yang disebabkan oleh pencemaran udara seperti rumah. Menurut Permenkes RI nomor
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).13 1077/Menkes/Per/V/2011 kualitas udara di dalam
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan tidak ruangan dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah
ada hubungan yang bermakna antara kepadatan seperti dalam hal penggunaan energi tidak ramah
hunian rumah dengan kejadian penyakit infeksi lingkungan, penggunaan sumber energy yang
saluran pernapasan akut (ISPA) dimana relatif murah seperti batubara dan biomassa (kayu,
berdasarkan hasil penelitian kepadatan hunian kotoran kering dari hewan ternak, residu
rumah responden diketahui bahwa dari 30 pertanian).18
responden yang memiliki kondisi fisik rumah yang Berdasarkan hasil penelitian dilapanagan tidak
memenuhi syarat terdapat lebih banyak responden ada hubungan bermakna antara penggunaan anti
yang menderita penyakit infeksi saluran nyamuk bakar dengan kejadian penyakit infeksi
pernapasan akut (ISPA) sebanyak 25 responden saluran pernapasan akut (ISPA) dimana
(34,4%), dari pada responden yang tidak menderita berdasarkan hasil penelitian penggunaan anti
penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) nyamuk bakar responden diketahui bahwa dari 27
sebanyak 5 responden (6,8%). responden yang menggunakan obat nyamuk bakar
Hubungan Penggunaan Anti Nyamuk Bakar terdapat lebih banyak responden yang menderita
Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
Pernapasan Akut (ISPA) di Wilayah Kerja sebanyak 22 responden (30,1%), dari pada yang
Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018 tidak menderita penyakit infeksi saluran
Kandungan berbahaya pada obat nyamuk pernapasan akut (ISPA) sebanyak 5 responden
tergantung pada konsentrasi racun dan jumlah (6,8%).
pemakaiannya, resiko terbesar yaitu jenis obat anti Hubungan Penggunaan Bahan Bakar Untuk
nyamuk bakar akibat asap yang dihasilkan jika Memasak dengan Kejadian Penyakit Infeksi
terhirup, berbeda dengan anti nyamuk cair karena Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Wilayah Kerja
cairan yang dikeluarkan akan berubah menjadi gas, Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018
sedangkan anti nyamuk listrik dan elektrik Asap pembakaran kayu mempunyai efek yang
resikonya lebih kecil lagi karena bekerja dengan merugikan bagi kesehatan seperti kanker paru-
cara mengeluarkan asap dengan daya elektrik. 14 paru, asma, tuberkulosis, katarak, jantung, bayi
Obat anti nyamuk bakar dapat merupakan lahir dengan berat badan rendah, kebutaan,
salah satu penyebab pencemaran udara dalam bahkan berpengaruh terhadap kemampuan otak
rumah. Walaupun konsentrasinya kecil, zat yang anak. Menurut Smith 12, bahwa bukan kayu
terdapat dalam obat anti nyamuk bakar ini dapat sebagai penyebab utama masalah kesehatan,
menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan melainkan pembakarannya yang tidak sempurna.
bengkak dan pendarahan. Zat berbahaya yang Biasanya ibu juga mengajak anaknya kedapur, asap
terkandung dalam obat anti nyamuk bakar S2 atau pembakaran tidak sempurna ini mempunyai
octaclorophyl eter.15 dampak yang sama seperti rokok bahkan lebih
berbahaya lagi karena asap ini jumlahnya sangat

6
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
banyak. Senyawa yang dihasilkan dari kayu bakar ini responden yang menderita penyakit ISPA sebanyak
sama seperti membakar seribu rokok setiap 20 responden (24,4%), dari pada yang tidak
jamnya.19 menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut
Penggunaan bahan bakar memasak akan (ISPA) sebanyak 15 responden (20,6%).
mempengaruhi terhadap kualitas udara di dalam
rumah. Menurut Permenkes RI nomor SIMPULAN
1077/Menkes/Per/V/2011 kualitas udara di dalam 1. Tidak ada hubungan antara kepadatan hunian
ruangan dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah dengan kejadian penyakit infeksi saluran
seperti dalam hal penggunaan energi tidak ramah pernapasan akut (ISPA) di Wilayah Kerja
lingkungan, penggunaan sumber energy yang Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun 2018.
relatif murah seperti batubara dan biomassa (kayu, 2. Tidak ada hubungan antara penggunaan anti
kotoran kering dari hewan ternak, residu nyamuk bakar dengan kejadian penyakit infeksi
pertanian).20 saluran pernapasan akut (ISPA) di Wilayah
Berdasarkan hasil penelitian dilapanagan Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun
tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan 2018.
bahan bakar untuk memasak dengan kejadian 3. Tidak ada hubungan antara bahan bakar untuk
penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) memasak dengan kejadian penyakit infeksi
dimana berdasarkan hasil penelitian penggunaan saluran pernapasan akut (ISPA) di Wilayah
bahan bakar untuk memasak responden diketahui Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun
bahwa dari 57 responden yang menggunakan 2018.
bahan bakar untuk memasak terdapat lebih sedikit 4. Tidak ada hubungan antara keberadaan
responden yang menderita penyakit infeksi saluran perokok dengan kejadian penyakit infeksi
pernapasan akut (ISPA) sebanyak 28 responden saluran pernapasan akut (ISPA) di Wilayah
(38,4%), dari pada yang tidak menderita penyakit Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Tahun
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebanyak 29 2018.
responden (39,7%).
Hubungan Keberadaan Perokok dengan Kejadian SARAN
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di 1. Bagi masyarakat yang berada di daerah
Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kecamatan
Tahun 2018 Abeli lebih memperhatikan jumlah hunian
Asap rokok tersebut akan meningkatkan risiko dalam rumah, karena semakin padat jumlah
untuk mendapat serangan penyakit infeksi saluran 2. hunian dalam rumah maka kemungkinan
pernapasan akut (ISPA). Asap rokok bukan hanya penularan atau perpindahan penyakit akan
menjadi penyebab langsung kejadian penyakit semakin cepat dan mudah apa lagi jika terkena
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tetapi penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dan penyakit menular lainnya,
dapat melemahkan daya tahan tubuh. Asap rokok 3. Bagi masyarakat yang berada di Wilayah Kerja
dapat menurunkan kemampuan makrofag Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli lebih
membunuh bakteri. Asap rokok juga diketahui memperhatikan penggunaan anti nyamuk
dapat merusak ketahanan lokal paru, seperti bakar sebaiknya gunakan kelambu atau
kemampuan pembersihan mukosiliaris. Maka gunakan anti nyamuk elektrik agar bisa
adanya anggota keluarga yang merokok terbukti meminimalisir dampak dan gejala penyakit
merupakan faktor risiko yang dapat menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
gangguan pernapasan.21 4. Bagi masyarakat yang berada di Wilayah Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dilapanagan tidak Puskesmas Abeli Kecamatan Abeli agar tetap
ada hubungan yang bermakna antara keberadaan mengurangi penggunaan bahan bakar kayu
perokok dalam rumah dengan kejadian penyakit untuk memasak
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dimana 5. Untuk pengguna rokok, apabila ingin berhenti
berdasarkan hasil penelitian keberadaan perokok merokok sebaiknya ganti rokok dengan
dalam rumah responden diketahui bahwa dari 35 permen apabila timbul rasa ingin untuk
responden yang merokok terdapat lebih banyak merokok.

2. Ditjen PP dan PL,. Kemenkes RI,. 2015. Profil


DAFTAR PUSTAKA kesehatan Indonesia kementrian RI. Jakarta
1. WHO. 2002. Penanganan ISPA Pada Anak di 3. Ditjen P2P Kemenkes RI, 2016. Profil Kesehatan
Rumah Sakit kecil negara berkembang Indonesia kementrian RI. Jakarta

7
JIMKESMAS
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT
VOL. 3/NO. 3/ AGUSTUS 2018; ISSN2502-731X
4. Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2015. Profil 8. Achmadi. 2002. ISPA Pembunuh Utama.
Dinas Kesehatan Kota Kendari. Kendari. Available online at
5. Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2016. Profil http://www.ppmplp.depkes.go.id, diakses
Dinas Kesehatan Kota Kendari. Kendari. tanggal 12 April 2010
6. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian 9. Kemenkes.2011.ProfilKesehatan Indonesia.Kemenkes RI,
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Jakarta..
7. Sugyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif & RND. Bandunng : Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai