Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK


MENULAR
(ANEMIA PADA REMAJA)
Dosen pengampu :, S.KM., M.Kes.

Disusun oleh :

1. Eva Yulianingsih (020118A016)


2. Hesty Ningrum (020118A070)
3. Nabilah Fakhira I (020118A035)
4. Nenny Novita.S (020118A038)
5. Winda Felinda A (020118A056)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2019
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

BAB I PENDENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A.

BAB III

KESIMPULAN ...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masa remaja adalah masa perubahan atau peralihan dari masa kanak kanak ke masa
dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial
(Mansur, 2009). Pada remaja putri, pubertas dimulai pada usia antara 8 sampai 14 tahun
dan biasanya berakhir dalam 3 tahun. Disini remaja putri mengalami peningkatan tinggi
badan, berat badan, perkembangan payudara, dan lingkar panggul dengan perluasan
jaringan uterus (Mary E, 2005). Proses pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior), karena dari pengalaman
dan penilitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan yang kurang tentang manfaat makanan bergizi dapat mempengaruhi
pola konsumsi makan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya informasi sehingga
dapat terjadi kesalahan dalam memahami kebutuhan gizi (Hidayat, 2006). Kurangnya
pengetahuan pada remaja tentang hal tersebut, maka remaja putri sangat rentan terhadap
perilaku makan yang negatif sehingga remaja putri merupakan salah satu kelompok yang
rawan menderita anemia defisiensi besi (Mary E, 2005).
Saat ini anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnnya
anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah terutama pada
remaja (Gunatmaningsih, 2007)

B. RUMUSAN MASALAH
1) Menjelaskan epidemiologi penyakit anemia pada remaja
2) Mencari distribusi, determinan, frekuensi pada data terbaru
3) Determinan yang diperkuat dengan penelitian jurnal
4) Upaya pencegahan yang dilakukan pad a saat ini

C. TUJUAN
1) Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi penyakit anemia pada remaja
2) Mahasiswa mampu mencari distribusi, determinan, frekuensi pada data terbaru
3) Mahasiswa mampu menjelaskan determinan yang diperkuat dengan penelitian jurnal
4) Mahasiswa mampu menjelaskan upaya pencegahan yang dilakukan pada saat ini

BAB 2

PEMBAHASAN

A. EPIDEMIOLOGI ANEMIA PADA REMAJA


Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang dalam ilmu epidemiologi
dikenal dengan istilah segitiga epidemiologi yaitu Host - Agent – Environment (AHE).
Segitiga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para ahli dalam menjelaskan
konsep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah satunya adalah terjadinya
penyakit anemia. Hal ini sangat komprehensif dalam memeprediksi suatu penyakit.
Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari keseimbangan dan interaksi ke tiganya.
Dari ketiga istilah segitiga epidemiologi yaitu Host - Agent – Environment, saya akan
menjelaskan satu persatu tentang faktor – faktor yang mempengaruhi penyakit anemia.
1. Host
Faktor host (penjamu) dalam kasus anemia adalah yang terdiri dari:
a. Umur
Dilihat dari segi umur yang rentan terkena penyakit anemia yaitu pada ibu hamil.
Dimana, Semakin muda umur ibu hamil, semakin berisiko untuk terjadinya anemia.. Hal
ini dapat dikarenakan pada remaja, asupan zat besi dibutuhkan lebih banyak karena pada
masa tersebut remaja membutuhkannya untuk pertumbuhan, ditambah lagi jika hamil
maka kebutuhan akan zat besi lebih besar. Selain itu, faktor usia yang lebih muda
dihubungkan dengan pekerjaan, status sosial ekonomi dan pendidikan yang kurang.
b. Pola Hidup
Anemia juga dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara asupan gizi
dengan aktifitas yang dilakukan oleh seseorang. Dimana, meningkatnya kebutuhan zat
besi pada seseorang disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan dan perkembangan
pada saat itu. Peningkatan kebutuhan tersebut terjadi karena meningkatnya volume darah,
massa otot, dan myoglobin.
Dilihat Pada remaja putri, kebutuhan zatbesi tambahan diperlukan untuk
menyeimbangkan kehilangan zat besi akibat darah haid, dimana terjadi peningkatan
kebutuhan besi untuk ekspansi darah total. Jika kebutuhan besi tak terpenuhi maka akan
berisiko menimbulkan kelelahan, badan lemah, penurunan produktivitas kerja,
penurunan fungsi kognitif, dan bahkan berisiko menderita anemia pada kehamilan
dimasa yang akan datang. Penyebabnya karena banyak remaja yang tidak suka
mengonsumsi makanan sumber zat besi termasuk sayuran dan buah-buahan serta lebih
senang mengonsumsi makanan siap saji yang umumnya mengandung kalori, kadar lemak
dan gula yang tinggi tetapi rendah serat, zat besi, vitamin A, vitamin B12, asam folat dan
kalsium, meskipun mereka tahu bahwa salah satu penyebab anemia adalah karena
kurangnya asupan zat besi dalam tubuh.
c. Jenis kelamin
Remaja putri memiliki risiko sepuluh kali lebih besar untuk menderita anemia
dibandingkan dengan remaja putra. Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami
menstruasi setiap bulannya dan sedang dalam masa pertumbuhan sehingga
membutuhkan asupan zat besi yang lebih banyak. Selain itu, ketidakseimbangan asupan
zat gizi juga menjadi penyebab anemia pada remaja. Remaja putri biasanya sangat
memperhatikan bentuk tubuh, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makanan dan
banyak pantangan terhadap makanan.
Bila asupan makanan kurang maka cadangan besi banyak yang dibongkar. Keadaan
seperti ini dapat mempercepat terjadinya anemia. Remaja putri termasuk golongan rawan
menderita anemia karena remaja putri dalam masa pertumbuhan dan setiap bulan
mengalami menstruasi yang menyebabkan kehilangan zat besi.
d. Pola makanan
Banyak remaja putri yang tidak suka mengonsumsi makanan, salah satunya sumber
makanan zat besi termasuk sayur-sayuran dan buah-buahan. Remaja putri yang
membatasi makanan atau mempunyai kebiasaan diet yang tidak terkontrol dengan tujuan
untuk mendapat bentuk badan yang sempurna (langsing). Akibat dari perilaku yang
kurang tepat ini mengakibatkan kurang gizi pada remaja seperti terlalu kurus, kadar Hb
rendah/anemia, kekurangan kalsium atau defisiensi mikronutrien yang lain.
e. Sosial ekonomis
Faktor sosial ekonomi diantaranya adalah kondisi ekonomi, pekerjaan dan
pendidikan. Ibu hamil dengan keluarga yang memiliki pendapatan yang rendah akan
mempengaruhi kemampuan untuk menyediakan makanan yang adekuat dan pelayanan
kesehatan untuk mencegah dan mengatasi kejadian anemia.
f. Riwayat penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi. Telah
diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan
kejadian anemia, dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan
makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi. Kehilangan darah akibat trauma
dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit
infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap
sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit seperti cacing,
menyebabkan kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut
mengakibatkan defisiensi besi.
g. Genetik
Penyakit karena kelainan genetik yang berkaitan dengan penyakit anemia ini
contohnya adalah Thalasemia. Thalasemia adalah gangguan genetik yang dimana
produksi hemoglobin menjadi sangat rendah.

2. Agent
Agent atau sumber penyakit anemia diantaranya yaitu:
a. Unsur gizi.
Terjadinya anemia pada seseorang juga dapat disebabkan karena kekurangan zat
besi, asam folat dan vitamin B12 dalam makanan. Defisiensi ini dapat terjadi karena
kebutuhan zat besi yang meningkat, kurangnya cadangan zat besi dan berkurangnya zat
besi dalam tubuh seseorang.
b. Kimia dari dalam dan luar
Anemia pada seseorang juga dapat terjadi karena berhubungan racun kimia dan
menggunakan obat yang berpengaruh pada produksi sel darah merah.
c. Faktor faali/ fisiologis
Faktor fisiologis penyakit anemia yaitu karena kekurangan zat besi, pendarahan
usus, pendarahan, genetik, kekurangan vitamin B12, kekurangan asam folat, gangguan
sum –sum tulang. Namun, bukan hanya itu, pola hidup yang tidak sehat juga menjadi
faktor penyebab terjadinya penyakit anemia. Mulai dari perilaku makan makanan yang
tidak mengandung zat besi, kurang memakan asupan vitamin, melakukan kegiatan yang
beresiko mengalami pendarahan, hingga kebiasaan begadang. Yang dimana seseorang
yang menderita “Anemia” akan terlihat seperti 5L, yakni: letih, lesu, lemah, lunglai, dan
lelah.

3. Environment (Lingkungan)
Faktor lingkungan terdiri atas 3 yaitu: fisik, biologis, dan sosial ekonomi. Dari
ketiga faktor lingkungan tersebut yang dapat mempengaruhi penyakit anemia yaitu faktor
sosial ekonomi.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah meliputi pendidikan orang tua dan
penghasilan yang rendah serta keadaan kesehatan lingkungan yang buruk.
1. Penghasilan atau pendapatan yang rendah
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Apabila
pedapatan berubah secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan
keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan
akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli, yang
dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat gizi, salah satunya
tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat besi, sehingga dapat berdampak timbulnya
kejadian anemia.
2. Tingkat pendidikan
Hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian anemia pada remaja putri ,
berkaitan dengan pemilihan bahan makanan sumber zat besi yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya anemia. Tingkat pengetahuan seseorang berhubungan dengan
kejadian anemia. Pendidikan mengenai bahan makanan dan pola hidup sehat
menyebabkan pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan terhadap status anemia
di Indonesia.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu juga sangat berpengaruh terhadap
kualitas zat-zat yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi berkembang secara bermakna dengan
sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makanan. Semakin tinggi pengetahuan
ibu maka makin positif sikap ibu terhadap gizi makanan sehingga makin baik pula
konsumsi energi, protein dan besi keluarganya.
Ada dua kemungkinan hubungan tingkat pendidikan orangtua dengan makanan
dalam keluarga, yaitu:
a. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung maupun tidak langsung
menentukan kondisi ekonomi rumah tangga, yang pada akhirnya sangat
mempengaruhi konsumsi keluarga.
b. Pendidikan istri, di samping merupakan modal utama dalam menunjang
perekonomian keluarga juga berperan dalam penyusunan pola makan keluarga.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya pendidikan
ibu erat kaitannya dengan tingkat perawatan kesehatan, higiene, kesadaran terhadap
anak dan keluarga.

Kondisi sosial berupa dukungan dari keluarga dan komunitas akan mempengaruhi
kejadian anemia pada seseorang . Jika keluarga mendukung terhadap kondisi asupan
nutrisi dan vitamin pada kerabatnya atau anaknya atau orang tuanya dan memotivasi
untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin maka kemungkinan kita dapat
mengetahui apakah terjadi penyakit anemia atau tidak.

B. DISTRIBUSI, DETERMINAN, FREKUENSI, HASIL PENELITIAN PADA DATA


TERBARU

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kejadian Anemia, pola makan, pola menstruasi dan IMT
pada Mahasiswi Kebidranan

variabel f %
Kejadian anemia
Anemia 48 58,5
Tidak anemia 34 41,5
Pola makan
Kurang baik 46 56,1
Baik 36 43,9
Pola menstruasi
Tidak teratur 48 58,8
teratur 34 41,5
IMT
Kurus 48 58,5
normal 34 41,5

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan distribusi frekuensi kejadian anemia, pola makan,


pola menstruasi dan IMT pada mahasiswi kebidanan tingkat II tahun 2017, bahwa mahasiswa
yang mengalami anemia sebanyak 48 responden (58,5%) dan mahasiswa yang tidak
mengalami anemia sebanyak 34 responden (41,5%). Mahasiswa yang mengalami pola makan
kurang baik sebanyak 46 responden (56,1%) dan mahasiswa dengan pola makan baik
sebanyak 36 responden (43,9%). Mahasiswa yang mengalami pola menstruasi tidak teratur
sebanyak 48 responden (58,5%) dan mahasiswa dengan pola menstruasi teratur 34 responden
(41,5%). Mahasiswa yang mengalami IMT kurus sebanyak 48 responden (58,5%) dan
mahasiswa dengan IMT normal sebanyak 34 responden (41,5%). Dengan demikian, bahwa
sebagian besar mahasiswi mengalami anemia, pola makan kurang baik, menstruasi tidak
teratur dan IMT kurus.

Hasil penelitian Deshpande, Karva, Agarkhedkar, & Deshpande (2013), tentang


hubungan faktor demografi dengan kejadian anemia pada remaja putri. Hasil penelitian
menunjukan bahwa 60 % remaja putri mengalami anemia. Demikian juga penelitian yang
dilakukan oleh Tatala, Kihamia, Kyungu, & Svanberg, (2008), tentang faktor risiko anemia
pada anak sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 79,6% anak sekolah mengalami
anemia. Kejadian anemia pada remaja putri, khususnya mahasiswi kebidanan sangat
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh, kosentrasi belajar menurun, sehingga dapat
menurunkan prestasi belajar.

Tabel 2. Hubungan Antara Pola Makan, Pola Menstruasi dan IMT Dengan Kejadian Anemia

variabel Kejadian anemia OR p-value 95%


CI
anemia Tidak anemia
n% n%
Pola makan
Kurang baik 27 58,7 19 41,3 1,01 0,016 1,4 – 2,6
Baik 21 53,3 15 41,7
Pola
menstruasi
Tidak teratur 35 72,3 13 27,7 4,34 0,023 1,6 – 6,4
Teratur 13 40,0 21 60,0
IMT
Kurus 32 66,7 16 33,3 2,57 0,034 1,7 – 4,9
normal 16 47,1 18 52,9

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa variabel pola makan, pola menstruasi dan
IMT memiliki hubungan yang signifikan (p-value < 0,05) dengan kejadian anemia pada
mahasiswi kebidanan tingkat II tahun 2017.
Hasil analisis menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan
kejadian anemia pada mahasiswi kebidanan dengan nilai p= 0,016; OR= 1,01; 95% CI= 1,4-
2,6. Hal ini berarti bahwa mahasiswi kebidanan dengan pola makan yang kurang baik
berpeluang sebesar 1,01 kali mengalami anemia dibandingkan dengan mahasiswi kebidanan
dengan pola makan yang baik.
Pola makan yang kurang baik pada mahasiswi kebidanan dengan anemia sebesar
58,7% dan pola makan yang baik dengan anemia sebesar 58,3%, keadaan ini tentu
memprihatinkan mengingat remaja biasanya memiliki nafsu makan yang tinggi. Pola makan
yang kurang baik dengan jumlah konsumsi yang sedikit maka akan menghambat
pertumbuhan remaja, dikarenakan jumlah konsumsi makanan seperti beras akan berkurang.
Dimana beras itu sendiri mengandung zat besi sebesar 0,5-1,2 mg/100 gr dan di konsumsi
dengan jumlah yang besar, sehingga remaja yang mengkonsumsi energi ≤ 70% yang
dianjurkan maka mengalami risiko anemia (Sayogo, S, 2011). Faktor makanan termasuk
asam askorbat dan faktor sukar dipahami pada makanan protein hewani (daging, ikan dan
unggas) meningkatkan penyerapan zat besi; sedangkan asam fitat; protein kedelai; kalsium
dan polifenol menghambat penyerapan zat besi (Beck, Conlon, Kruger, & Coad, 2014).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2007),
tentang determinan kejadian anemia pada remaja putri di Kecamatan Gebog Kabupaten
Kudus. Hasil penelitian menemukan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi gizi
(energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C) dengan kejadian anemia pada remaja
putri dengan nilai p < 0,05. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Listianai (2016),
tentang analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi besi pada
remaja putri di SMKN 1 Terbanggi Besar Lampung Tengah. Hasil penelitian menemukan
bahwa ada hubungan antara asupan suplemen zat besi dengan kejadian anemia gizi besi pada
remaja putri dengan nilai p = 0.005. Dengan demikian bahwa, pola makan yang kurang baik
dengan jumlah konsumsi di bawah 70% maka berisiko mengalami anemia, sehingga
mempunyai hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kejadian anemia pada
mahasiswi kebidanan.
Hasil analisis menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pola menstruasi
dengan kejadian anemia pada mahasiswi kebidanan dengan nilai p= 0,023; OR= 4,34; 95%
CI= 1,6-6,4. Hal ini berarti bahwa mahasiswi kebidanan dengan pola menstruasi tidak teratur
berpeluang sebesar 4,34 kali mengalami anemia dibandingkan dengan mahasiswi kebidanan
dengan pola menstruasi yang teratur.
Pola menstruasi tidak teratur pada mahasiswi kebidanan dengan anemia sebesar
72,3% dan pola menstruasi yang teratur dengan anemia sebesar 40,0%. Menstruasi adalah
runtuhnya jaringan selendometrium akibat pengaruh perubahan siklik keseimbangan
hormonal reproduksi waita (Winkjosastro, 2008). Serangkaian kejadian menstruasi yang
dialami wanita setiap bulannya akan membentuk pola menstruasi yang meliputi lamanya,
banyaknya dan siklus. Remaja putri membutuhkan zat besi yang lebih tinggi karena
dibutuhkan untuk mengganti zat besi yang hilang pada saat menstruasi. Oleh sebab itu,
remaja putri termasuk salah satu kelompok yang berisiko tinggi menderita anemia (Whitrey E,
dkk. 2008). Pada saat menstruasi wanita akan mengeluarkan darah 27 ml setiap siklus
menstruasi 28 hari (Departemen Gizi Dan Kesehatan Masyarakat FKUI, 2007).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Listianai (2016), tentang analisis faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi besi pada remaja putri di SMKN 1
Terbanggi Besar Lampung Tengah. Hasil penelitian menemukan bahwa ada hubungan antara
menstruasi dengan kejadian anemia gizi besi pada remaja putri dengan nilai p = 0.004.
Demikian juga hasil penelitian oleh Siva, Sobha, & Manjula, (2016), tentang faktor risiko
kejadian anemia pada remaja. Hasil penelitian menemukan bahwa pola menstruasi
berpengaruh terhadap kejadian anemia pada remaja dengan nilai p = 0.004.
Banyaknya darah yang keluar berpengaruh pada kejadian anemia karena wanita tidak
mempunyai persediaan zat besi yang cukup dan absorpsi zat besi yang rendah ke dalam tubuh
sehingga tidak dapat mengantikan zat besi yang hilang selama menstruasi. Kehilangan zat
besi mengakibatkan cadangan besi semakin menurun dan semakin terganggunya kadar
hemoglobin akibatnya akan mengalami anemia. Sehingga, sangat penting adanya program
penanggulagan anemia pada mahasiswi kebidanan dengan pemberian tablet Fe 1x 60 mg
perhari selama menstruasi dan juga memperhatikan asupan nutrisi yang banyak mengandung
zat besi.
Hasil analisis menunjukan ada hubungan yang signifikan antara IMT dengan kejadian
anemia pada mahasiswi kebidanan dengan nilai p= 0,034; OR= 2,57; 95% CI= 1,7-4,9. Hal
ini berarti bahwa mahasiswi kebidanan dengan IMT kurus berpeluang sebesar 2,57 kali
mengalami anemia dibandingkan dengan mahasiswi kebidanan dengan IMT yang normal.
IMT yang kurus pada mahasiswi dengan anemia sebesar 66,7% dan IMT yang
normal pada mahasiswi dengan anemia sebesar 47,1%. IMT merupakan salah satu indiktor
status gizi karena dapat manyatakan baik pengukuran tinggi badan dengan koefisien variasi
sangat kecil antara 1-2% dibandingkan pengukuran antropometri lain. Terdapat tiga jenis
kekurangan gizi, yaitu kekurangan secara kualitatif, kekurangan secaran kuantitatif dan
kekurangan keduanya. Apabila kuantitas nutrient cukup, tetapi kualitasnya kurang maka
orang dapat menderita berbagai kekurangan vitamin, mineral, protein, dan lain-lainnya.
Masalah status gizi pada remaja di Indonesia meliputi kurang zat gizi makro dan kurang zat
gizi mikro. Status gizi merupakan gambaran secara makro akan zat gizi dalam tubuh kita,
termasuk salah satunya adalah zat besi. Bila status gizi tidak normal atau kurang dapat
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya anemia (Supariasa, 2002).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Listianai (2016),
tentang analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi besi pada
remaja putri di SMKN 1 Terbanggi Besar Lampung Tengah. Hasil penelitian menemukan
bahwa ada hubungan antara IMT dengan kejadian anemia gizi besi pada remaja putri dengan
nilai p = 0.002. Demikian juga penelitian yang di lakukan oleh Gedefaw, Tesfaye, Yemane,
Adisu, & Asres (2015), tentang anemia zat besi di kalangan remaja yang sekolah. Hasil
penelitian menemukan bahwa ada hubungan antara IMT dengan anemia zat besi di kalangan
remaja sekolah dengan nilai p = 0.002.
Mahasiswi kebidanan masih banyak mengalami IMT kurus, oleh karena itu pembina
asrama untuk memberikan pendidikan kesehatan terkait pola makan mahasiswa dalam sehari-
hari. Pola makan akan mempengaruhi tinggi badan dan berat badan, pola makan ataupun diet
yang salah akan mengakibatkan pertumbuhan pada mahasiswi kebidanan tidak optimal.

C. UPAYA PENCEGAHAN

1) Konsumsi makanan dengan zat gizi seimbang, terutama yang kaya protein dan zat
besi. Kamu bisa mendapatkan makanan yang kaya akan zat besi dari bahan makanan
hewani seperti ikan, daging, ayam, hati, telur lalu sayur-sayuran berwarna hijau tua
seperti bayam, kangkung, brokoli, daun katuk, serta kacang-kacangan.
2) Konsumsi makanan yang kaya vitamin C, seperti buah jeruk, jambu biji, pepaya, kiwi,
stroberi, dan lain-lain. Makanan yang kaya vitamin C akan mengoptimalkan tubuh
menyerap zat besi.
3) Jaga kebersihan, misalnya dengan selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah makan,
rutin menggunting kuku, dan mengenakan alas kaki saat keluar rumah.
4) Konsumsi suplemen zat besi, vitamin C, atau tablet tambah darah 1xseminggu sebagai
tambahan.
5) Hindari minum teh dan kafein setelah makan karena kandungan di dalamnya akan
mengganggu penyerapan zat besi dalam tubuh. Boleh saja kok konsumsi minuman
manis ini, tapi diberikan jeda 2-3 jam setelah makan, ya.
DAFTAR PUSTAKA

http://nutrioneask.blogspot.co.id/2011/10/epidemiologi-anemia-pada-ibu-hamil.html

https://www.trendilmu.com/2015/09/penyebab.terjadinya.anemia.seo.html#

http://asserianitimah.blogspot.co.id/2015/12/faktor-faktor-penyebab-anemia-pada.html

www.aladokter.com/anemia-defisiensi-besi/penyebab

Arisman, M.B. (2008). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Aeni, T. (2012).Faktor – Faktor Penyebab Kejadian Anemia pada Remaja Putri (Studi Kasus
pada SMK Negeri 1 Kota Tegal). Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.
BKKBN. (2016). Data survei Kesehatan Reproduksi Indonesia. Jakarta.
BPS. (2018). Persentase penduduk miskin Maret 2018 turun menjadi 9,82 persen. Diunduh
pada 15 September 2018 di https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/07/16/1483/ persentase-
pendudukmiskin-maret-2018-turun-menjadi-9-82-persen.html Departemen Kesehatan RI.
(1996). Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia. Jakarta: Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
Fadila,I & Kurniawati, H (2017). Analisis Pengetahuan Gizi Terkait Pedoman Gizi
Seimbang dan Kadar Hb Remaja Puteri.Jurnal Biotika Vol 16. No 1(2018)
Farida, I. (2006). Determinan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri di Kecamatan Gebog
Kabupaten Kudus Tahun 2006. Program Pascasarjanan Universitas Diponegoro.
Fatmah. (2011). Gizi dan Kesehatan Masyarakat:Anemia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Fauzi, C A. (2012) Analisis Pengetahuan dan Perilaku Gizi Seimbang Menurut Pesan ke
6,10,11,12 Dari Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) pada Remaja. Jurnal Kesehatan
Reproduksi Vol 3 No 2 Agustus 2012:91 - 105
Februhartanty, J. (2005). Nutrition Education: It Has Never Been an Easy Case for Indonesia.
Food and Nutrition Bulletin. 26(2): S267-S274

Infodatin (2014). Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. ISSN 322442-7659
Kemenkes RI, 2013-2014. Prevalensi anemia di Indonesia.
Kemenkes RI, (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
Keputusan menkes

Anda mungkin juga menyukai