Anda di halaman 1dari 13

HIPERPIREKSIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam (pireksi) yaitu peninggian suhu tubuh di atas 38,3o C, sejak dahulu sudah dikenal sebagai tanda
penyakit. Penderita atau orang tua biasanya menyamakan tingginya demam dengan beratnya penyakit.
30 – 35,8% alasan kunjungan ke dokter ialah demam. Walaupun sebagian penderita dapat menahan
suhu tubuh antara 39,4oC – 40oC, demam dapat menimbulkan efek yang merusak. Pada 3% anak yang
berumur kurang daripada 5 tahun terdapat kejang demam, yang merupakan separuh daripada seluruh
kejang pada kelompok umur ini. Orang tua biasanya cemas bila anaknya demam karena beranggapan
bahwa tingginya suhu sejajar dengan gawatnya penyakit yang diderita dan berusaha meminta
pertolongan untuk pengobatan demamnya.1

Keadaan demam yang lebih berat, yaitu hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih daripada 41,1oC atau
106oF, terdapat pada 0,476/ 1000 kasus demam. Kenaikan suhu di atas 41,1oC sebenarnya jarang
terjadi, oleh karena adanya set point pengatur suhu yang diatur oleh hipotalamus di otak. Kenaikan suhu
di atas 41,1oC ini umumnya masih dapat ditoleransi oleh anak, kecuali anak yang memang peka
terhadap timbulnya kejang. Dalam keadaan kejang, hiperpireksia menyebabkan kebutuhan untuk
metabolisme yang lebih tinggi dan memperburuk keadaan. 1

Dari penderita yang datang ke ruang darurat terdapat 0,048% yang menderita hiperpireksia, sedang dari
1761 penderita dengan infeksi berat, misalnya tifus abdominalis dan pneumonia lobaris ternyata 5% di
antaranya menderita hiperpireksia. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa meningkatnya suhu disertai
dengan meningkatnya kasus bakterimia. Hal ini dibuktikan bahwa pada kasus dengan hiperpireksia
terdapat 26% bakterimia (kultur positif dibanding dengan hanya 13% penderita dengan demam di bawah
40oC.2

Baik hipertermia dan hipotermia dapat menyebabkan MOD (Multiorgan system Dysfunction). Terapi
untuk hipertermia meliputi mencari agen penyebab dan mendiagnosa serta penanganan penyakit yang
mendasari dengan perawatan keseluruhan secara simultan. Pasien dengan hipertermia dapat mengalami
myoglobinuria dan gagal ginjal.5

Hiperpireksi meningkatkan metabolisme tubuh dan kerja system kardiopulmoner dan menyebabkan
kerusakan jaringan sehingga harus ditanggulangi sebagai kasus emergensi. Malignant hyperthermia pada
anestesi dapat menyebabkan kematian pada 60 – 80% kasus. 1

Angka kematian penderita hiperpireksia cukup tinggi tetapi lebih daripada separuhnya bukan disebabkan
oleh tingginya suhu, melainkan disebabkan oleh penyebab hiperpireksia. Pada percobaan penggunaan
hipertermia sebagai pengobatan penderita keganasan yang lanjut, meninggikan suhu tubuh sampai
42oC, tidak menyebabkan terjadinya disfungsi otak. Kenaikan suhu di atas 41oC pada anak disertai
frekuensi yang tinggi daripada infeksi berat atau bakterimia, misalnya meningitis purulen, pneumonia
lobaris, tifus abdominalis dan lain-lain.2

Penyelidikan tentang demam telah banyak dilakukan, sungguhpun begitu belum dapat ditentukan
peranan demam terhadap penyakit. Buku teks pediatric yang terpenting hampir tidak membicarakan
sama sekali gejala demam dan pengobatannya. Selain merupakan alat diagnostic yang penting, demam
mungkin merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat dipakai pada pengobatan. 1

Pengobatan hiperpireksi tidak selalu menyenangkan, efektif dan berguna, malahan mungkin berbahaya.
Pengobatan yang rasionil memerlukan pengertian yang baik tentang mekanisme pengaturan suhu tubuh,
patogenesis dan patofisiologi demam serta pengetahuan tentang mekanisme pengobatan yang dapat
menurunkan suhu tubuh. Pengobatan yang ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi
tentu saja tetap merupakan hal yang utama. 1

B. Tujuan Penulisan

Mengetahui tentang definisi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, penatalaksanaan dan prognosis
hiperpireksia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Demam adalah salah satu gejala yang dapat membedakan apakah seorang itu sehat atau sakit. Demam
adalah kenaikan suhu badan di atas 38oC. Hiperpireksia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih
dari 41,1oC atau 106oF (suhu rectal).2

Etiologi

29-59% demam berhubungan dengan infeksi, 11-20% dengan penyakit kolagen, 6-8% dengan
neoplasma, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-12% dengan penyakit lain. 1

Penyebab hiperpireksi ialah : infeksi 39%, infeksi dengan kerusakan pusat pengatur suhu 32%, kerusakan
pusat pengatur suhu saja 18%, dan pada 11% kasus disebabkan oleh Juvenille Rheumatoid Arthritis,
infeksi virus dan reaksi obat. Dari 28 penderita hiperpireksia terdapat 11 penderita (39%) disebabkan
oleh infeksi diantaranya 7 penderita disebabkan oleh kuman gram negatif yang mengenai traktus urinaria
4 penderita, intraabdominal 2 penderita dan 1 penderita pada paru. Sedang 9 penderita (32%)
disebabkan oleh gabungan antara infeksi dan kerusakan pusat pengatur suhu. Selain itu 5 penderita
(18%) disebabkan oleh kerusakan pusat pengatur suhu. Tiga penderita (11%) tidak diketahui
penyebabnya. 1,2

Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan hiperpireksia dapat dibagi
sebagai berikut:

1. Set point hipotalamus meningkat

a. Pirogen endogen

- infeksi

- keganasan

- alergi

- panas karena steroid


- penyakit kolagen

b. Penyakit atau zat

- kerusakan susunan saraf pusat

- keracunan DDT

- racun kalajengking

- penyinaran

- keracunan epinefrin

2. Set point hipotalamus normal

a. Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas

- hipertermia malignan

- hipertiroidisme

- hipernatremia

- keracunan aspirin

b. Lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas

- mandi sauna berlebihan

- panas di pabrik

- pakaian berlebihan

c. Pengeluaran panas tidak baik (rusak)

- displasia ektoderm

- kombusio (terbakar)

- keracunan phenothiazine

- heat stroke

3. Rusaknya pusat pengatur suhu

a. Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus:

- ensefalitis/ meningitis

- trauma kepala

- perdarahan di kepala yang hebat

- penyinaran2

Patofisiologi Pengaturan Suhu Tubuh


Manusia ialah makhluk yang homeotermal, artinya makhluk yang dapat mempertahankan suhu
tubuhnya walaupun suhu di sekitarnya berubah. Yang dimaksud dengan suhu tubuh ialah suhu bagian
dalam tubuh seperti viscera, hati, otak. Suhu rectal merupakan penunjuk suhu yang baik. Suhu rectal
diukur dengan meletakkan thermometer sedalam 3 – 4 cm dalam anus selama 3 menit sebelum dibaca.
Suhu mulut hampir sama dengan suhu rectal. Suhu ketiak biasanya lebih rendah daripada suhu rectal.
Pengukuran suhu aural pada telinga bayi baru lahir lebih susah dilakukan dan tidak praktis. Suhu tubuh
manusia dalam keadaan istirahat berkisar antara 36oC – 37oC, yang dapat dipertahankan karena tubuh
mampu mengatur keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas. 1

Panas dapat berasal dari luar tubuh seperti iklim atau suhu udara di sekitarnya yang panas. Panas dapat
berasal dari tubuh sendiri. Pembentukan panas oleh tubuh (termogenesis) merupakan hasil metabolisme
tubuh. Dalam keadaan basal tubuh membentuk panas 1 kkal/ kg BB/ jam. Jumlah panas yang dibentuk
alat tubuh, seperti hati dan jantung relative tetap, sedangkan panas yang dibentuk otot rangka berubah-
ubah sesuai dengan aktifitas. Bila tidak ada mekanisme pengeluaran panas, dalam keadaan basal suhu
tubuh akan naik 1oC/ jam, sedang dalam aktivitas normal suhu tubuh akan naik 2oC/ jam. 1

Pengeluaran panas terutama melalui paru dan kulit. Udara ekspirasi yang dikeluarkan paru jenuh dengan
uap air yang berasal dari selaput lendir jalan nafas. Untuk menguapkan 1 ml air diperlukan panas
sebanyak 0,58 kkal. Pengeluaran panas melalui kulit dapat dengan dua cara yaitu:

a. Konduksi – konveksi : pengeluaran panas melalui cara ini bergantung kepada perbedaan suhu kulit dan
suhu udara sekitarnya.

b. Penguapan air : air keluar dari kulit terutama melalui kelenjar keringat. Dapat juga melalui perspirasi
insensibilitas, difusi air melalui epidermis. 1

Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit. Hipotalamus karena
berhubungan dengan talamus akan menerima seluruh impuls eferen. Saraf eferen hipotalamus terdiri
atas saraf somatik dan saraf otonom. Karena itu hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar
keringat, peredaran darah dan ventilasi paru. Keterangan tentang suhu bagian dalam tubuh diterima
oleh reseptor di hipotalamus dari suhu darah yang memasuki otak. Keterangan tentang suhu dari bagian
luar tubuh diterima reseptor panas di kulit yang diteruskan melalui sistem aferen ke hipotalamus.
Keadaan suhu tubuh ini diolah oleh thermostat hipotalamus yang akan mengatur set point hipotalamus
untuk membentuk panas atau untuk mengeluarkan panas. 1

Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur suhu yang bekerja bila terdapat kenaikan suhu tubuh.
Hipotalamus anterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga akan terjadi vasodilatasi di kulit dan
keringat akan dikeluarkan, selanjutnya panas lebih banyak dapat dikeluarkan dari tubuh. Hipotalamus
posterior merupakan pusat pengatur suhu tubuh yang bekerja pada keadaan dimana terdapat
penurunan suhu tubuh. Hipotalamus posterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga pembentukan
panas ditingkatkan dengan meningkatnya metabolisme dan aktifitas otot rangka dengan menggigil
(shivering), serta pengeluaran panas akan dikurangi dengan cara vasokonstriksi di kulit dan pengurangan
keringat. 1

KLASIFIKASI DEMAM

Berdasarkan keadaan hipotalamus, demam dapat dibagi sebagai berikut:

I. Set point hipotalamus meningkat


Pembentukan panas meningkat, pengeluaran panas berkurang.

1. Endogenous pyrogen (E.P):

a. Leukosit polimorfonuklear (PMN)

Pada demam oleh karena infeksi, kuman sebagai penyebab melepaskan suatu polisakarida yang tahan
panas, disebut sebagai pirogen eksogen yang beredar dalam darah. Infeksi menimbulkan demam karena
endotoksin bakteri merangsang sel PMN untuk membuat EP. Pada penyakit infeksi terdapat peningkatan
sel PMN. Pada percobaan binatang telah dibuktikan bahwa pirogen eksogen tidak langsung
mempengaruhi pusat pengatur suhu, tetapi lewat banyak sel dalam tubuh seperti sel leukosit, sel Kupfer
hati, sel makrofag dalam paru, limpa dan kelenjar limfe bereaksi terhadap pirogen eksogen dan
membentuk protein yang tak tahan panas, disebut pirogen endogen (endogenous pyrogen). Pirogen
endogen masuk ke susunan saraf pusat melalui darah dan menyebabkan pelepasan prostaglandin E di
dalam jaringan otak dengan akibat rangsangan terhadap hipotalamus yang peka terhadap zat tersebut
sehingga menimbulkan panas seperti yang diperlihatkan pada bagan sebagai berikut:2

(Gambar patogenesis demam 6)

Hipotalamus mengandung kadar yang tinggi dari norepinephrin (NE). 5-hydroxytryptamin (5HT),
acetylcholine, dopamine dan histamin, yang semuanya disebut neurotransmitter dari hipotalamus, yang
turut meregulasi suhu tubuh. Pada percobaan binatang dibuktikan bahwa apabila NE disuntikkan ke
dalam hipotalamus menyebabkan penurunan suhu tubuh, 5HT menyebabkan kenaikan suhu dan
acetylcholine juga menyebabkan kenaikan suhu.2

Mekanisme yang dapat mengaktifkan EP belum diketahui. Juga belum diketahui bagaimana EP
mempengaruhi pusat pengatur suhu dalam menimbulkan demam, mungkin dengan mengubah
lingkungan kimia neuron set point hipotalamus. 1

b. Non-PMN

Pirogen endogen dapat terbentuk tanpa mengaktivasi sel leukosit dan hal ini kemungkinan terjadi
dengan mengubah lingkungan kimia neuron set-point hipotalamus. Metabolisme pirogen endogen disini
belum diketahui dan zat ini dikeluarkan melalui sel retikuloendotelial. Keadaan ini terjadi pada penyakit
alergik, penyakit kolagen, tumor, infark, infeksi virus, penyakit darah, demam steroid, penyakit metabolik
dan lain-lain. 1

2. Non-endogenous pyrogen (non-EP): obat-obatan atau bahan lain

Demam pada keadaan set point hipotalamus meningkat dapat terjadi bukan karena pelepasan pirogen
endogen tetapi karena obat-obatan (phenotiazine, amphetamine, metamphetamine, preparat tiroid),
penyakit tertentu di susunan saraf pusat, keracunan epinefrin, norepinefrin, DDT dan lain-lain. 1,3

II. Set point hipotalamus normal


Kenaikan suhu tubuh dapat terjadi pada keadaan set point hipotalamus yang normal, yakni bila
pembentukan panas melebihi pengeluaran panas yang normal atau pada pembentukan panas normal
tetapi mekanisme pengeluaran panas tidak baik. Mekanisme terjadinya kenaikan suhu seperti berikut:

1. Pembentukan panas meningkat, pengeluaran panas normal

Keadaan ini ditemukan pada malignant hyperthermia, hypertiroidisme, hipernatremi, keracunan aspirin,
feokromositoma. Keadaan ini juga dijumpai bila suhu udara di luar tubuh sangat tinggi atau bila memakai
baju terlampau tebal.

2. Pembentukan panas normal, pengeluaran panas berkurang

Keadaan in terjadi pada keadaan keracunan obat antikolinergik seperti atropin, ektodermal displasi, luka
bakar. 1

III. Kerusakan pusat pengatur suhu (central fever)

Pada keadaan ini demam terjadi disebabkan oleh karena penyakit tertentu yang menyerang dan
mengakibatkan rusaknya pusatnya pengatur suhu tubuh, misalnya penyakit yang langsung menyerang
set point hipotalamus, seperti ensefalitis, trauma kapitis, perdarahan hebat intrakranial, meningtis
bakterial, radiasi, tetraparesis atau paraparesis, dimana susunan saraf otonom tidak berfungsi. 2

Gambaran Klinis

Pada demam yang disebabkan oleh peningkatan set point hipothalamus, baik yang berhubungan dengan
endogenous pyrogen maupun non-EP, terdapat peninggian pembentukan panas dan pengurangan
pengeluaran panas. Penderita merasa dingin, terdapat piloerection, menggigil (shivering), ekstremitas
dingin, keringat tidak ada atau sedikit sekali dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk mengurangi
luas permukaan tubuh. 1

Pada demam dimana set-point hipothalamus normal, pembentukan panas meningkat melebihi
pengeluaran panas dan mekanisme pengeluaran panas normal, penderita merasa panas, tidak ada
piloerection, ekstremitas panas, keringat banyak atau berkurang dan posisi tubuh penderita dalam posisi
untuk memperluas permukaan tubuh. Pada feokromositoma, hiperpireksi timbul secara tiba-tiba disertai
nyeri kepala dan keringat banyak. Bila pembentukan panas normal, tapi mekanisme pengeluaran panas
tidak baik, penderita merasa panas, ekstremitas panas, keringat sedikit. 1

Pada penyakit tertentu misalnya dehidrasi dengan hipernatremia yang disebabkan oleh diare terdapat
gabungan mekanisme set point normal dan meningkat yaitu demam disebabkan oleh infeksinya karena
diare, yang mengakibatkan terjadinya set point meningkat sedang oleh hipernatremia set point tetap
normal.2

Pada demam disebabkan oleh displasia ektodermal, terbakar, kelebihan/ keracunan phenotiazine dan
heat stroke terdapat pembentukan panas normal tetapi mekanisme pengeluaran panas terganggu/
berkurang. Dalam hal ini penderita merasa panas, gelisah, lemah, ekstremitas panas dan keringat
berkurang sampai tidak ada.2

Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak, penderita ini seperti mahkluk poikilothermal, tidak
dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Suhu tubuh akan
menetap, tidak dapat naik turun. Resisten terhadap antipiretik. Bila kerusakan hebat, keringat tidak ada.
Sesudah tindakan penurunan suhu secara fisik, misalnya surface colling, suhu tubuh akan tetap rendah.
Terdapat juga gangguan neurologik dan endokrin lainnya. 1

Pada rusaknya pusat pengatur suhu yang disebabkan oleh penyakit yang langsung menyerang
hipotalamus, misalnya ensefalitis dan perdarahan otak, pada tingkat permulaan terdapat gejala klinis
yang sama dengan set point hipotalamus yang meningkat tetapi apabila kerusakan berlanjut terjadi
keadaan dimana penderita tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di
sekitarnya. Penderita sangat bergantung pada suhu luar dan resisten terhadap antipiretik. Bila kerusakan
hebat terdapat gangguan neurologik dan endokrin seperti diabetes insipidus.2

Hubungan demam dengan infeksi, banyak diselidiki. Pada anak berobat jalan dengan suhu tubuh 38,3 C,
ditemukan bakterimia pada 3,2-4,4% kasus. Pada anak berumur 7 bulan sampai dengan 1 tahun dengan
suhu tubuh lebih dari 39,4 C dan jumlah sel leukosit lebih dari 20.000/ml besar kemungkinan menderita
infeksi. Pada anak berumur kurang dari 2 tahun, dengan suhu tubuh 40 C atau lebih dengan leukositosis
dan laju endap darah lebih dari 30 mm/jam, risiko bakterimi tiga kali lebih besar bila tidak ada
leukositosis atau peningkatan laju enap darah. Pada anak berumur kurang dari 3 bulan dengan suhu
tubuh lebih dari 40 C, infeksi berat ditemukan pada 31,4% kasus, meningtis bakterial pada 13,63% kasus.
Sedangkan bila suhu tubuh antara 37,7 – 39,9 C infeksi berat hanya ditemukan pada 9,5% kasus, tidak
dijumpai kasus meningitis bakterial. 1

Pada anak dengan hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih dari 41,1 C, ditemukan bakterimia pada 26%
kasus, meningitis bakterial pada 18% kasus dan kejang pada 18% kasus. Bila suhu tubuh antara 40,5-41,0
C, bakterimi hanya ditemukan pada 13% kasus, meningitis bakterial pada 9% kasus dan kejang pada pada
7,2% kasus. 1

Hipertermia pada pasien dengan penyakit yang mendasari di jantung dapat menyebabkan terjadinya
iskemia, aritmia hingga penyakit jantung kongestif. Kebutuhan oksigen meningkat dan pengeluaran
karbondioksida bertambah yang mengakibatkan peningkatan metabolisme dan heart rate. Hipertermia
dapat memperberat brain injury. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis, trombositosis,
hemokonsentrasi dan DIC. Azotemia dan peningkatan serum levels of muscle enzymes serta tanda-tanda
gagal ginjal dan rhabdomiolisis dan peningkatan enzim-enzim hati dengan gejala-gejala gagal hepar bisa
terjadi.5

Bila suhu badan meningkat terus dan pada pengukuran suhu rektal mencapai 41,1oC atau lebih
terjadilah apa yang dinamakan hiperpireksia dan manifestasi klinis akan bertambah dan bergantung pada
keadaan. Gejala klinis yang penting dan harus dikenal secepatnya supaya dapat ditanggulangi segera,
yaitu:

- gejala serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi, ataksia, fotofobi, kejang, koma dan deserebrasi

- kulit : merah, panas dan kering

- tekanan darah : mula-mula naik, normal dan kemudian turun

- jantung : takikardia dan aritmia

- pernafasan : tak teratur atau tipe Cheyne Stokes

- oliguria, dehidrasi, asidosis metabolik dan renjatan (shock)


- ekimosis, petekiae, perdarahan dan DIC (disseminated intravascular coagulation).2

Hiperpireksi menyebabkan perubahan metabolisme, termasuk di dalamnya peningkatan konsumsi


oksigen dan metabolisme jaringan. Setiap kenaikan suhu tubuh 1oC, basal metabolik rate meningkat 10
-14%, kebutuhan oksigen meningkat 20% dan basal tidal volume meningkat 9%. Sebagai akibatnya sistem
kardiovaskuler bekerja lebih berat. Hiperpireksia secara langsung dapat menyebabkan kerusakan
jaringan. 1

Hiperpireksia dan gangguan sirkulasi berupa shock sering ditemukan pada anak berumur kurang dari 1
tahun. Hiperpireksia menyebabkan vasokonstriksi umum dan gangguan perfusi jaringan. Pengeluaran
panas berkurang, sehingga suhu tubuh meningkat lagi dan keadaan hipoksi lebih diperberat. 1

Sebagai kesimpulan, gambaran klinik yang dapat ditemukan pada hiperpireksia ialah dehidrasi, gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit, aritmia, decompensatio cordis, hipotensi, shock, gangguan
fungsi ginjal, respiratory failure, kejang, penurunan kesadaran sampai koma. 1

Penatalaksaan Hiperpireksia

Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu (1) menurunkan suhu
tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang dan (3) mencari dan mengobati penyebab.2

1. Menurunkan suhu tubuh secara simptomatis

Dalam menurunkan suhu tubuh secara simptomatik ada 2 hal tindakan yang perlu dipisahkan, yaitu: a)
mengeluarkan panas tubuh secara fisik dan b) menggunakan obat-obat.

a) mengeluarkan panas tubuh secara fisik, ialah:

- Menempatkan penderita dalam ruangan yang dingin dengan aliran udara yang baik, misalnya dengan
kipas angin agar sirkulasi udara bertambah

- Membuka baju penderita

- Surface cooling yaitu kompres secara intensif pada seluruh bagian tubuh dengan es, air es atau dengan
selimut hipotermik

- Menggunakan alkohol untuk mendinginkan tubuh harus hati-hati karena gas yang turut terisap dapat
menyebabkan hipoglikemia dan koma.

- Memakai air es untuk membilas lambung atau enema atau infus sukar dilakukan dan terdapat gejala
sampingan yang tidak baik untuk penderita.2

Cara mengeluarkan panas tubuh secara fisik ini dapat digunakan untuk golongan demam yang
disebabkan oleh set point hipotalamus yang meningkat, set point hipotalamus yang normal dan pada
kerusakan pusat pengatur suhu. Tetapi bila hanya cara ini saja yang dipergunakan untuk set point
hipotalamus yang meningkat, terjadi perangsangan pembentukan panas lebih banyak lagi dan akan
mempertinggi metabolisme, suhu hanya sebentar saja turun dan timbul gejala menggigil. Oleh sebab itu
pada keadaan set point hipotalamus yang meningkat dibutuhkan tambahan obat yang dapat
menurunkan set point di hipotalamus.2

Pengeluaran panas secara fisik dapat dilakukan dengan cara external cooling dan internal cooling :
a. External Colling (Surface Cooling)

Dilakukan dengan mengompres seluruh tubuh dengan air, air es atau dengan memakai hypothermic
matress, yaitu suatu alat berupa selimut yang suhunya dapat diatur dengan mesin. Bila memakai es,
jangan meletakkan es pada satu tempat lebih lama dari satu menit.

Pemakaian alkohol untuk mendinginkan kulit, harus dilakukan dengan hati-hati, karena dapat
menimbulkan koma, hipoglikemi dan hipothermi karena inhalasi alkohol yang menguap, lebih-lebih bila
ruangan perawatan sempit dengan ventilasi tidak baik.

b. Internal cooling

Dilakukan dengan membilas lambung dan rektum dengan larutan garam fisiologik yang dingin. Dapat
juga dengan memakai cairan infus yang sedingin es. Internal cooling sukar melakukannya dan masih
merupakan cara yang kontroversal. 1

b) menggunakan obat-obatan

Obat-obatan yang dipakai adalah antipretik yang tujuannya untuk menurunkan set point hipotalamus.
Obat ini bekerja melalui inhibisi biosintesis prostaglandin E, sehingga mencegah atau menghambat
pengaruh pirogen endogen. Bila set point diturunkan, pembentukan panas dikurangi dan pengeluaran
panas tubuh akan meningkat, sehingga suhu tubuh akan menurun dan bahkan pada panas yang tak
terlalu tinggi kompres es/ selimut hipotermik tidak diperlukan. Untuk mencegah menggigil karena
vasodilatasi di kulit dan pengeluaran keringat, penderita dapat diselimuti. Obat antipiretik yang dipakai
misalnya aspirin. Dosis aspirin adalah 60 mg/ tahun/ kali, sehari diberikan 3 kali atau untuk bayi di bawah
6 bulan diberikan 10 mg/ bulan/ kali, sehari diberikan 3 kali. Kadar maksimal dalam darah tercapai dalam
2 jam pemberian oral, tetapi half life meningkat dengan menaikkan dosis sehingga ada bahaya akumulasi
sebagai akibat pemberian yang sering unutk memberantas demam. Gejala sampingan aspirin yang perlu
diketahui adalah perdarahan saluran pencernaan, memberatkan asma dan mengganggu fungsi sel-sel
trombosit.2

Bila set point normal, pemberian aspirin untuk mengubah set point adalah tindakan salah dan dapat
menyebabkan keracunan.2

Kadang-kadang mekanisme patogenesis demam pada seorang penderita lebih dari pada satu atau
merupakan kombinasi, misalnya pada penyakit diare dan hipernatremia. Diare mungkin disebabkan oleh
infeksi, demam oleh karena pirogen dapat diturunkan dengan antipiretik sedang hipernatremia yang
menyebabkan metabolisme panas yang meningkat, dapat dihilangkan dengan mengeluarkan panas
secara fisik.2

Penderita hiperpireksi sebaiknya dirawat di bangsal khusus dimana dapat dilakukan pengawasan klinik
dan laboratorik terus-menerus. Aliran udara diatur, sehingga pertukaran udara menjadi lebih baik. Kalau
dapat, suhu ruangan perawatan diturunkan. Di bangsal emergensi, keadaan respirasi, sirkulasi dan
metabolik yang pertama sekali harus distabilkan. Ventilasi harus terjamin. Saluran pernafasan harus
terbuka. Bila banyak lendir harus dibersihkan dengan menghisapnya dari hidung dan tenggorok. Untuk
mencegah lidah terdorong ke belakang, yang akan menyempitkan jalur nafas dipasang oropharyngeal
airway. Bila perlu dilakukan intubasi endotrakheal. Kadar oksigen udara pernafasan diatur sehingga
mencukupi kebutuhan. Oksigen dapat diberikan melalui kateter nasofaring, oropharyngeal airway atau
dengan masker. Bila terdapat kegagalan pernafasan, dipergunakan respirator. 1
Pada setiap penderita hiperpireksi dilakukan intra-venous fluid drips untuk memberikan cairan dan kalori
serta untuk mengkoreksi setiap gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila terdapat asidosis
diberikan natrium bikarbonat atau cairan yang mengandung base-corrector seperti cairan Ringer Laktat.
1

Bila penderita hiperpireksi merasa dingin, terdapat piloerection dan menggigil sedangkan ekstremitas
dingin dan keringat sedikit atau tidak ada sama sekali, berarti hiperpireksi disebabkan oleh peninggian
set point hipothalamus, pembentukan panas meningkat, pengeluaran panas berkurang. Kepada
penderita ini diberikan obat yang dapat merendahkan set-point hipothalamus seperti aspirin atau
acetaminophen, yang bersifat antagonik terhadap endogenous pyrogen di hipothalamus. Pembentukan
panas akan dikurangi, pengeluaran panas akan ditingkatkan dengan vasodilatasi di kulit dan pengeluaran
keringat. Untuk mencegah menggigil, penderita diselimuti. Largaktil dapat diberikan untuk vasodilatasi di
kulit dan untuk mencegah menggigil. Pengeluaran panas secara fisik tanpa menurunkan set-point
hipothalamus, akan merangsang pembentukan panas lebih banyak lagi. Bila penderita gelisah dapat
diberikan sedative. Aktivitas penderita yang gelisah dapat menambah pembentukan panas. 1

Hiperpireksi dengan set-point hipothalamus normal, berarti pengeluaran panas baik, penderita merasa
ekstremitas panas tidak ada menggigil dan piloerection serta keringat ada, diobati dengan pengeluaran
panas secara fisik. Pemberian antipiretik dalam hal ini tidak berguna, malah mungkin berbahaya. 1

Bila pada operasi timbul Malignant Hyperthermia, hentikan pemakaian halothese. Anestesi dilanjutkan
dengan N2O – O2 50-50%, tiopental dan d-tubokurarin. Berikan prokain-amid 1 mg/kg BB. Bila suhu
tubuh lebih dari 40 C dan operasi dilakukan pada rongga dada atau perut lakukan irigasi pada rongga
dada atau perut dengan larutan garam fisiologik yang steril dan dingin. Bila rongga badan tidak dioperasi,
sedangkan suhu tubuh lebih dari 42,2 C, buka rongga perut dan lakukan irigasi seperti di atas. 1

Penanganan Heat Stroke:

1. Dinginkan pasien secepatnya dengan air es atau dingin, kipas angin atau agen pendingin lainnya

2. Berikan oksigen 100%. Jika pasien unresponsive, awasi jalan nafasnya

3. Berikan infuse cairan isotonic cristaloid untuk hipotensi, dextrose 5% untuk tekanan darah yang
normal dan untuk maintenance. Monitor CVP (Central Venous Pressure)

4. Tempatkan monitor, dan cek temperature per rectal berkelanjutan dan pasang kateter Folley serta
NGT

5. Pemeriksaan laboratorium meliputi: pemeriksaan darah rutin, elektrolit meliputi: glukosa, kreatinin,
protrombin time dan partial tromboplastin time (PT dan PTT), keratin kinase, fungsi hati, AGD, urinalisis
dan serum kalsium, magnesium dan fosfat.

6. Rawat di ICU khusus untuk anak. 4

2. Pengobatan Penunjang

Pengobatan penunjang harus segra dan bersamaan dengan menurunkan suhu tubuh secara
simptomatis. Hal ini bergantung pada gejala yang timbul, tetapi meskipun demikian kita harus waspada
sebab sewaktu-waktu gejala yang memberatkan penderita akan timbul. Penatalaksanaan terdiri atas:
- Mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau
trakeotomi

- Pasanglah dan pertahankan infus untuk menjamin pemasukan cairan secara teratur dan
mempertahankan keseimbangan elektrolit.

- Bila penderita gelisah dapat diberikan sedativa karena kegelisahan dapat menambah pembentukan
panas

- Bila terjadi keadaan menggigil dapat diberikan klorpromazin dengan dosis 2 – 4 mg/ kg BB dibagi dalam
3 dosis. Pada heat stroke kecuali pengobatan penurunan suhu secara fisik, dapat diberikan klorpromazin
untuk mencegah vasokonstriksi pembuluh darah kulit akibat bendungan yang terlalu cepat karena
tindakan secara fisik tersebut.

- Bila terdapat kejang segera hentikan kejangnya

- Bila timbul DIC (disseminated intravascular coagulation) tanggulangi secepatnya. Sebenarnya DIC tidak
memerlukan pengobatan bila penyebabnya diobati dengan tepat, tetapi pada anak bila terjadi
perdarahan hebat dapat diberikan heparin dengan dosis 25 unit per kg BB dalam 1 jam di dalam infuse
secara kontinu atau 100 unit per kg BB tiap 4 – 6 jam sekali secara intravena.

- Bila terjadi hipoksia yang dapat mengakibatkan edema otak dapat diberikan kortison dengan dosis 20
-30 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya dexamethasone ½ - 1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik. 2

4. Mencari dan mengobati penyebab

Untuk hal ini diperlukan pemeriksaan lengkap baik secara umum maupun neurologik. Factor infeksi
sangat penting dan perlu dikerjakan pemeriksaan darah lengkap termasuk biakan dan pungsi lumbal.

Dengan penatalaksanaan yang baik mengeani hiperpireksia dan ditemukan penyebabnya umumya
penderita dapat sembuh. Misalnya pada hipertermia malignan akibat anestesia bila tidak waspada dan
tidak diketahui akan berakibat fatal. 2

Prognosis

Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan hiperpireksi itu. Bila
penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh daripada hiperpireksinya dan fungsi basal
kembali normal. Kematian karena hiperpireksi saja 3-7%, sedangkan kematian karena penyakit utamanya
20%. Jadi pengobatan yang ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tetap
merupakan hal yang utama.1 Pada keadaan heat stroke yang mengalami komplikasi dan hipertermia
malignan prognosisnya buruk.1,2

BAB III

KESIMPULAN

Hiperpireksia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu rectal).2
Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan hiperpireksia disebabkan oleh
set point hipotalamus meningkat (adanya EP dan non EP), set point hipotalamus normal (pembentukan
panas melebihi pengeluaran panas, lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas, pengeluaran
panas tidak baik) dan rusaknya pusat pengatur suhu (ensefalitis/ meningitis, trauma kepala, perdarahan
intrakranial).

Gejala klinis yang penting dan harus dikenal secepatnya supaya dapat ditanggulangi segera, yaitu: gejala
serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi, ataksia, fotofobi, kejang, koma dan deserebrasi ; kulit :
merah, panas dan kering ; tekanan darah : mula-mula naik, normal dan kemudian turun ; jantung :
takikardia dan aritmia ; pernafasan : tak teratur atau tipe Cheyne Stokes ; oliguria, dehidrasi, asidosis
metabolik dan renjatan (shock) ; ekimosis, petekiae, perdarahan dan DIC (disseminated intravascular
coagulation).2

Gambaran klinis hiperpireksia berbeda-beda, pada demam yang disebabkan oleh peningkatan set point
hipothalamus, Penderita merasa dingin, terdapat piloerection, menggigil (shivering), ekstremitas dingin,
keringat tidak ada atau sedikit sekali dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk mengurangi luas
permukaan tubuh. 1 Pada demam dimana set-point hipothalamus normal, penderita merasa panas,
tidak ada piloerection, ekstremitas panas, keringat banyak atau berkurang dan posisi tubuh penderita
dalam posisi untuk memperluas permukaan tubuh. Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak,
penderita ini seperti mahkluk poikilothermal, tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap
perubahan suhu di sekitarnya. Suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun. Resisten terhadap
antipiretik. Bila kerusakan hebat, keringat tidak ada. Terdapat juga gangguan neurologik dan endokrin
lainnya. 1 Pada rusaknya pusat pengatur suhu yang disebabkan oleh penyakit yang langsung menyerang
hipotalamus, misalnya ensefalitis dan perdarahan otak, pada tingkat permulaan terdapat gejala klinis
yang sama dengan set point hipotalamus yang meningkat tetapi apabila kerusakan berlanjut terjadi
keadaan dimana penderita tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di
sekitarnya. Penderita sangat bergantung pada suhu luar dan resisten terhadap antipiretik. 2

Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu (1) menurunkan suhu
tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang dan (3) mencari dan mengobati penyebab.2
Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan hiperpireksi itu. Bila
penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh daripada hiperpireksinya dan fungsi basal
kembali normal. Pada keadaan heat stroke yang mengalami komplikasi dan hipertermia malignan
prognosisnya buruk.1,2

DAFTAR PUSTAKA

1. Darlan Darwis. (1981). Penatalaksanaan Kegawatan Pediatrik, Beberapa Masalah dan Penanggulangan,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2. H. Sofyan Ismail. (1981). Hiperpireksia. Kedaruratan dan Kegawatan Medik, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.

3. Richard C. Dart, MD, PhD. (2007). Chapter 12: Poisoning. Current Pediatric Diagnosis & Treatment,
Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by Appleton & Lange.

4. F. Keith Battan, MD, FAAP, Glenn Faries, MD. (2007). Chapter 11: Emergencies & Injuries. Current
Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by Appleton & Lange.

5. Todd J. Kilbaugh Jimmy W. Huh Mark A. Helfaer. (2006). Chapter 34: Disorders of Temperature Control.
Current Pediatric Therapy, 18th ed.Saunders, An Imprint of Elsevier.
6. Rudolph, Colin D.; Rudolph, Abraham M.; Hostetter, Margaret K.; Lister, George; Siegel, Norman J.
(2003). Chapter 4: The Acutely Ill Infant and Child. Rudolph's Pediatrics, 21st Edition, McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai