Anda di halaman 1dari 36

PEMANTAUAN KESEJAHTERAAN JANIN

DAN EVALUASICAIRAN AMNION


11

3
Setelah mempelajari kegiatan belajar 11 , anda diharapkan dapat memahami
tentang pemantauan kesejahteraan janin dan evaluasicairan amnion.

Setelah menyelesaikan kegiatan belajar 11 anda akan mencapai kemampuan


mahasiswa menganalisa tentang pemantauan kesejahteraan janin dan evaluasicairan
amnion.

a. Pemantauan Kesejahteraan Janin dan Evaluasicairan Amnion

5
PEMANTAUAN KESEJAHTERAAN JANIN
DAN EVALUASICAIRAN AMNION

A. Pemantauan Kesejahteraan Janin


1. Trimester Pertama
Pada pemeriksaan yang pertama, keadaan umum akan diperiksa secara
keseluruhan, meliputi payudara, jantung dan paru-paru. Pemeriksaan dalam dapat pula
dilakukan untuk mengetahui keadaan serviks/mulut rahim dan rongga panggul untuk
melihat apakah cukup memadai untuk persalinan normal. Metode pengkajiannya
diarahkan untuk menentukan formasi kehamilan dan usia kehamilan itu sendiri.
Informasi meliputi riwayat kesehatan dan pengkajian fisik ibu di samping pengkajian
khusus terhadap janin. Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah (Cunningham, F. Gary
dkk. 2015) :
a. Tes darah dilakukan untuk menentukan jenis golongan darah, gula darah, kadar
hemoglobin darah normal, kekebalan terhadap penyakit rubella, memilki kelainan
genetic spesifik serta factor rhesus. Factor rhesus merupakan suatu jenis zat yang
terdapat dalam sel darah merah. Sebanyak 85% manusia memilki substansi ini
dalam sel darah merahnya dan golongan ini disebut rhesus positif. Sebagian kecil
yang tidak memilki substansi tersebut disebut golongan rhesus negative. Keadaan
rhesus negative ini sangat penting diperhatikan, terlebih lagi pada pada ibu hamil
dan bayi justru rhesus positif.
b. Pengukuran Kadar Serum B-hCG ( Beta Human Chorionic Gonadotropin).
Penggunan serum B-hCG kuantitatif, dianjurkan untuk kehamilan yang diragukan
apakah keadaan janinnya normal. Kadar awal serum B-hCG dijadikan dasar untuk
melakukan pengkajian embrio lebih lanjut. Serum ini di deteksi dalalm 8-11 hari
setelah konsepsi. Dan akan meningkat menjadi 2x lipat setiap 2 hari selama
seminggu dengan puncaknya pada usia sekitar 10 minggu kehamilan. Kadar
serum B-hCG yang menurun drastics menunjukkan keguguran pada kehamilan
awal atau kehamilan berusia lebih dari 12 minggu.
c. Auskultasi. Untuk mendengar denyut jantung janin pada kehamilan. Trimester 1,
dapat digunakan alat ultrasound Stetoscope atau doppler. DJJ dapat mulai terdengar
dengan alat ini antara usia kehamilan 10-12 minggu. Normal frekuensni DJJ adalah
120-160 denyut per menit (dpm) dan harus dibedakan dengan denyut nadi

6
ibu. Agar denyut jantung bayi dapat didengar, tekan sedikit alat tersebut di atas
simphisis pubis. Kemudian putar perlahan sejauh 360 derajat sampai denyut
terdengar. Jika tidak terdengar apa-apa, gerakan alat tersebut 1 cm ke atas
mendekati umbilicus. Jika masih belum terdengar juga, gerakan 1 cm ke sisi garis
pertengahan dan dorong ke bawah mendekati simfisis. Jika DJJ masih belum
terdengar lakukan hal yang sama pada sisi yang berlawanan. Pastikan alat tersebut
diputar keposisi yang baru, mengikuti katup jantung bayi.
d. USG dapat dilakukan setidaknya pada minggu ke 9 kehamilan, walaupun hal ini
bervariasi pada setiap orang. Didalam ruang USG, calon ibu akan diminta untuk
berbaring telentang disamping mesin USG dan membuka pakaian agar perut
kelihatan. Selanjutnya pemeriksa akan mengoleskan cairan minyak atau gel di atas
perut yang berfungsi sebagai penghantar gelombang suara. Kemudian ia akan
mengerak-gerakkan transduser yang berbentuk seperti mikrofon di sekeliling perut
calon ibu. Gelombang suara akan bergerak dari dan ke arah rahim sambil melewati
suatu tampilan yang jelas tapi kabur. Proses ini biasanya akan berlangsung selama
30 menit. USG tidak berbahaya bagi wanita hamil. USG berbeda dengan sinar
rontgen karena USG tidak menggunakan radiasi apa pun. Meskipun demikian,
USG hanya dilakukan bila diperlukan saja dan bukan hanya untuk melihat bayi.
e. Pengambilan sample vili korionik (chorionic villi sampling [cvs]). CVS adalah
metode untuk mengevaluasi kesejahteraan janin. CVS adalah pengambilan dan
analisis vili korioniks untuk dilakukan analisis kromosom. Pengambilan ini
dilakukan diawal minggu ke-5 kehamilan ; biasanya dilakukan diantara minggu ke-
8 dan ke-10. Dengan menggunakan teknik ini, lokasi sel korion dapat ditentukan
melalui ultrasonografi. Kateter tipis dimasukkan ke dalam vagina atau jarum biopsi
dimasukkan ke abdomen atau vagina, kemudian sejumlah sel korionik diambil
untuk dianalisis. Sel yang diambil kemudian menjalani kariotipe atau diambil
untuk analisis DNA guna mengetahui apakah janin memiliki masalah genetik.
Karena sel vili korionik membelah dengan sangat cepat, maka hasil analisis juga
dapat segera diketahui, kadang-kadang keesokan harinya.

2. Trimester Kedua
Tes yang biasa dilakukan pada trimester ini adalah (Cunningham, F. Gary dkk. 2015) :
a. Tes Alfa fetoprotein

7
Alfa-fetoprotein (AFP) protein yang awalnya disintesisasi oleh kantung
kuning telur dan kemudian secara primer oleh hati janin. Kadar AFP janin
meningkat sampai sekitar minggu ke-20 dan kemudian menurun hingga menjelang
usia cukup bulan. Kadar AFP normal pada serum maternal terus meningkat hingga
sekitar minggu ke-32. perubahan kadar AFP, baik pada cairan amnion maupun
serum maternal, memiliki banyak kemungkinan etiologi . Kadar MSAFP(AFP pada
ibu) normal bergantung banyak faktor,seperti usia kehamilan, usia ibu, ras, berat
badan, dan diabetes. Tes-tes ini mampu mengidentifikasi 80-90% janin dengan
anensefali, spina bifida, dan omfalokel,
Plasenta juga berperan meningkatkan kadar MSAFP. Apabila ukuran plasenta
besar atau mengalami malposisi, maka akan lebih banyak AFP yang menembus
masuk kedalam sirkulasi ibu. Kelainan plasenta juga dapat mengakibatkan jumlah
AFP janin yang abnormal keluar dari peredaran darah janin dan masuk kedalam
serum maternal. Seringkali saat kadar MSAFP meningkat, struktur janin ternyata
normal, begitu juga cairan amnion AFP. Plasenta yang abnormal atau lokasi
implantasi kemungkinan merupakan penjelasan yang tepat untuk peningkatan
risiko hasil akhir kehamilan yang buruk dan peningkatan MSAFP ketika tidak ada
etilogi yang jelas. Meski penapisan MSAFP ditujukan untuk mengidentifikasikan
kelainan struktur janin, ternyata ada hubungan antara kadar MSAFP yang sangat
rendah dengan anak-anak yang mengalami Sindrom Down. MSAFP sendiri mampu
mengidentifikasi 25% kasus Sindrom Down yang terjadi pada wanita berusia
kurang dari 35 tahun.

b. Pengukuran Tinggi Fundus Uteri


Dengan menggunakan meteran, cara ini akurat bila kehamilan memasuki usia
20 minggu, yaitu tinggi fundus uterus setinggi pusat. Hukum Mc Donald
merupakan metode yang dahulu digunakan untuk mengukur tinggi fundus : jarak
fundus-simfisis dalam centimeter sama dengan minggu gestasi Cara mengukurnya,
garis nol pada pita meteran, diletakkan pada tepi atas simpisis pubis. Kemudian di
rentang keatas melalui perut hingga mencapai fundus uteri. Tinggi fundus uteri
dinyatakan dengan centimeter. Pada waktu fundus uteri setinggi pusat, hasil
pengukuran berkisar 20 cm. Dan terjadi kenaikan tinggi fundus uteri sebanyak
kurang lebih 1 cm. Dengan demikkian apabila didapatkan hasil pengukuran
setinggi 33 cm maka usia kehamilannya diperkirakan sekitar 33 minggu. Cara

8
pengukuran fundus ini juga dapat dilakukan untuk pekiraan berat janin dengan
rumus dari Jhonsonn Tausak : (tinggi fundus uterus dalam cm – 12) x 155 =
taksiran berat janin.

c. Penatalaksanaan Penapisan Abnormal


Sebagai suatu aturan,nilai AFP yang abnormal harus diuji lagi setelah tanggal
di konfirmasi. Dengan demikian, penting untuk sedapat mungkin menawarkan tes
ulang ini menjelang usia kehamilan lima belas minggu. Penapisan tripel yang
abnormal secara umum tidak perlu diulangi, tetapi dapat dihitung kembali
berdasarkan pengkajian usia kehamilan yang baru. Apabila penapisan tripel
menunjukan hasil abnormal, penyebab yang paling umum adalah penghitungan
usia kehamilan yang keliru. Oleh karena itu, pemeriksaan ultrasonografi
diindikasikan untuk mengonfirmasi penghitungan usia kehamilan sekaligus
menyingkirkan kemungkinan kelainan struktur. Tindak lanjut terhadap temuan
abnormal harus dilakukan pada waktu terencana untuk memberi waktu bagi
keluarga membuat keputusan tentang konseling genetika dan kemungkinan
dilakukan pengujian lain yang sifatnya lebih invasif.
Tes-tes genetika, evaluasi biokimia dan ultrasonografi, digunakan untuk
menegakkan diagnosis setalah dilakukan penapisan abnormal. Para wanita yang
mengalami risiko tinggi kelainan pembuluh saraf terbuka dapat dianjurkan
menjalani amniosentesis untuk mengambil cairan amnion guna mengetahui AFP,
tes asetilkolinesterase, selain pemeriksaan ultrasonografi yang komprehensif. Pada
pusat perawatan tersier, pemeriksaan ultrasonografi yang komprehensif merupakan
metode yang disukai untuk mengevaluasi kelainan pembuluh saraf atau kelainan
dinding ventral.
d. Pengkajian janin secara invasif selama kehamilan
Pada trimester awal kehamilan, pengambilan virus korionik (chorionic virus
sampling, CVS) digunakan untuk mengidentifikasi penyakit yang mempengaruhi
janin. Uji ini menawarkan keuntungan untuk diagnosis dini, memberi kesempatan
untuk mengakhiri kehamilan yang terganggu selama trimester pertama. Dijelaskan
bahwa CVS juga memfasilitasi ikatan prenatal dengan cara memberi kepastian
kesejahteraan janin sejak awal.
Wanita yang menjalani CVS harus diberi tahu bahwa uji MSAFP untuk defek
tuba saraf terbuka masih disarankan. Namun penting dicatat, karena

9
CVS memungkinkan terjadinya pertukaran darah maternal-janin, ada
kemungkinan CVS dapat menyebabkan peningkatan MSAFP semu.
e. Kardosintesis
Kardosentesis yang juga dikenal sebagai pengambilan sampel darah
umbilikus perkutan (percutanus umbilical cord blood sampling, PUBS) merupakan
metode terkini pengambilan sampel darah secara langsung. Proses ini
menggunakan ultrasonografi visualisasi pada jann dan plasenta sehingga penusukan
jarum pada plasenta dapat dilakukan untuk pengambilan sampel darah janin.
Metode ini juga dapat digunakan untuk melakukan transfusi atau memberi obat
pada janin.
Risiko prosedur ini antara lain aborsi spontan,ruptur membran, persalinan
dini, infeksi, perdarahan, trauma janin, dan isoimunisasi.
f. Palpasi
Yaitu menentukan tinggi fundus uteri dengan merabanya secara abdominal.
Kemudian di tentukan perkiraan usia kehamilannya dengan menggunakan patokan
yang telah di uraikan. Pada pengukuran tinggi fundus uteri, kadang ditemukan
ketidaksesuaian antara tinggi fundus uteri dengan usia kehamilan, dapat lebih besar
atau lebih kecil. Beberapa penyebab tinggi fundus uteri lebih besar dari usia
kehamilan : Kehamilan ganda, Polihydramnion, Makrosomia janin dan Mola
hydatidosa. Bila tinggi uterus lebih kecil dari usia kehamilan dapat di sebabkan
oleh : Gangguan pertumbuhan janin, Kelainan bawaan dan Oligohydromnion.

Leopold I :
1. Kedua telapak tangan pemeriksa diletakkan pada puncak fundus uteri.
2. Tentukan tinggi fundus uteri untuk menentukan usia kehamilan.
3. Menentukan bagian janin yang berada pada bagian fundus ( bokong atau kepala
atau kosong ).
4. Jika kepala janin yang nerada di fundus, maka palpasi akan teraba bagian bulat,
keras dan dapat digerakkan (balotemen). Jika bokong yang terletak di fundus,maka
akan teraba suatu bentuk yang tidak spesifik, lebih besar dan lebih lunak dari
kepala, tidak dapat digerakkan, serta fundus terasa penuh. Pada letak lintang
palpasi didaerah fundus akan terasa kosong.

10
Leopold II :

1. Kedua telapak tangan pemeriksa bergeser turun kebawah sampai disamping kiri
dan kanan umbilikus.
2. Tentukan bagian punggung janin untuk menentukan lokasi auskultasi denyut
jantung janin nantinya.
3. Tentukan bagian-bagian kecil janin.
4. Bagian bokong janin akan teraba sebagai suatu benda yang keras pada beberapa
bagian lunak dengan bentuk teratur,sedangkan bila teraba adanya bagian – bagian
kecil yang tidak teratur mempunyai banyak tonjolan serta dapat bergerak dan
menendang, maka bagian tersebut adalah kaki, lengan atau lutut. Bila punggung
janin tidak teraba di kedua sisi mungkin punggung janin berada pada sisi yang
sama dengan punggung ibu (posisi posterior) atau janin dapat pula berada pada
posisi dengan punggung teraba disalah satu sisi.

Leopold III :
1. Pemeriksaan ini dilakukan dengan hati-hati oleh karena dapat menyebabkan
perasaan tak nyaman bagi pasien.
2. Bagian terendah janin dicekap diantara ibu jari dan telunjuk tangan kanan.
3. Ditentukan apa yang menjadi bagian terendah janin dan ditentukan apakah sudah
mengalami engagemen atau belum.
4. Bila bagian janin dapat digerakkan kearah cranial ibu, maka bagian terbawah dari
janin belum melewati pintu atas panggul. Bila kepala yang berada dibagian
terbawah, maka dicoba untuk menggerakkan kepala. Bila kepala tidak dapat
digerakkan lagi, maka kepala sudah “engaged” bila tidak dapat diraba adanya
kepala atau bokong, maka letak janin adalah melintang.

Leopold IV :
1. Pemeriksa merubah posisinya sehingga menghadap ke arah kaki pasien.
2. Kedua telapak tangan ditempatkan disisi kiri dan kanan bagian terendah janin.
3. Digunakan untuk menentukan sampai berapa jauh derajat desensus janin.
4. Pada dasarnya sama dengan pemeriksaan Leopold III, menilai bagian janin
terbawah yang berada didalam panggul dan menilai seberapa jauh bagian tersebut
masuk melalui pintu atas panggul (Rayburn, William F dkk. 2012).

11
g. Auskultasi.
Selama kehamilan trimester II pengkajian DJJ terus dilakukan dengan
menggunakan stetoscope monocular atau stetoscope leanec. Teknik
pemeriksaannya sebagai berikut.
1. Tentukan letak atau posisi janin dengan menggunakan tekknik palpasi menurut
leopold II dan III.
2. Tempelkan stetoscope pada lokasi dimana diperkirakan terletak punggung atau
dada janin.
3. Bedakan DJJ dengan denyut nadi ibu dengan cara meraba nadi di pergelangan
tangan ibu.
4. Hitung selama 5 detik, berhenti 5 detik, dan pada primigravidda pergerakan janin
dapat dirasakan pertama kali oleh ibu pada usia kehamilan 18-20 minggu,
sedangkan pada multigravida dapat dirasakan pada 16 minggu.
5. Pada prima gravida, bising usus kadang-kadang dirasakan sebagai gerakan janin.

Sementara dopller dapat digunakan untuk menentukal lokasi DJJ setiap saat
selama masa hamil, keterampilan lain yang pelu diketahui ialah mengetahui cara
menggunanakan fetoskop. DJJ dapat didengarkan melalui fetoskop oleh kebanyakan
individu antara minggu ke 17 dan ke 20 gestasi. DJJ dapat didengar dengan jelas jika
panjang fetoskop tidak lebih dari 10 inchi. Fetoskop memilki piringan logam yang
harus ditempatkan pada jari tengah yang memeriksa (logam yang menyentuh tulang
membantu penghantaran suara). Beberapa praktisi menggunakan fetoskop tanpa
menempatkan piringan logam dijari tengah. Hal ini mungkin efektif bila uterus mulai
menipis tetapi bila kehamilan berada dipertengahan trimester, DJJ tidak akan terdengar
kecuali piringan logam digunakan sesuai petunjuk. Saat mendengarkan DJJ untuk
pertama kali menggunakan fetoskop, pastikan ruangan cukup sepi dan tenang, dan akan
sangat membantu bila kandung kemih ibu hamil dikosongkan. Mendengarkan DJJ
untuk pertama kali melalui fetoskop dapat membantu menentukan taksiran partus bila
DJJ terdengar antara minggu ke 18 dan ke 20 gestasi.

Denyut jantung janin dibawah 100 dpm (denyut per menit) sangat jarang terjadi.
Kondisi ini biasanya mengindikasi blok jantung konginetal dan situasi ini perlu
mendapat konsultasi medis. Denyut jantung di atas 180 dpm secara terus menerus dapat
terjadi pada janin yang mengalami hidrops, suatu kondisi serius yang perlu mendapat
konsultasi medis. Denyut janutng janin yang tidak regular hamper selalu tidak

12
berbahaya, tetapi perlu dikonsultasikan. Ekokardiogram pada janin biasanya dilakukan
pada kunjungan saat ini.

DJJ mudah ditemukan setelah minggu ke 26 gestasi. Dengarkan denyut ini di


tengah kuadran bawah pada kedua sisi abdomen. Jika DJJ tidak terdengar di tempat ini,
dengarkan dengan meletakkan fetoskop di atas umbilicus, atau dengarkan denyut ini
dipertengahan kuadran abdomen bagian atas. Apabila DJJ ditemukan disalah satu
kuadran abdomen bagian atas, maka bayi muingkin berada di presentasi bokong.

Beberapa klinisi menentukan posisi janin sebelum mendengarkan DJJ karena DJJ
akan lebih mudah didengar di daerah punggung janin. Cara ini bagus, tetapi tidak akan
berhasil jika bayi in utero sering mengambil posisi posterior sehingga punggung janin
sulit ditemukan. Klinisi akan salah total jika mengidentifikasi janin melalui palpasi
abdomen dan menggerakan kepala janin ke depan dan ke belakang untuk mencoba
menentukan lokasi punggung dapat menyebabkan jantung janin berdenyut semakin
cepat sampai lebih dari 160 dpm. Apabila hal ini terjadi, bayi akan dianggap takikardia
sehingga klinisi akan memprogramkan pemeriksaan kesejahteraan janin, yang
sebenarnya tidak perlu (Rayburn, William F dkk. 2012).

h. USG
Digunakan selama kehamilan trimester II untuk : mengkaji usia
kehamilan, mendiagnosa kehamilan ganda, mengkaji pertumbuhan janin,
mengidentifikasi abnormal janin, membantu prosedur amniosintesis dan fetoskopi dan
mengkaji lokasi plasenta (Rayburn, William F dkk. 2012).

3. Trimester Ketiga
Tujuan utamanya adalah untuk mencegah kematian janin. Selama kehamilan
trimester III (28-40 minggu) pengawasan pertumbuhan janin, DJJ, dan pergerakan janin
terus dilakukan. Diharapkan tinggi fundus uterus bertambah sekitar 1 cm setiap minggu
hingga minggu ke-36. Pada primagravida, kepala janin akan turun kepintu atas panggul
pada minggu ke-38. dan umumnya tinggi fundus uteri akan turun sekitar 2-4 cm. Pada
keadaan ini, ibu dapat mengeluh bertambahnya tekanan dalam panggul namun akan
merasa lebih lega bernafas karena tekanan pada diafragma berkurang (Rayburn,
William F dkk. 2012.

Pengamatan pergerakan janin :

13
Ibu di minta mengamati pergerakan janinnya setiap hari pada usia kehamilan 28
minggu caranya setiap hari, ibu diminta berbaring miring dan meraba perutnya untuk
merasakan ggerkan janin. Dan hitung berapa kali gerakan tersebut terjadi. Pada
umumnya 10 gerakan terjadi dalam jangka waktu 20 menit hingga 2 jam, jika melebihi
jangka waktu 3 jam, maka harus di catat dan dilakukan pengawasan pada DJJ.

a. Penghitungan Gerakan Janin Menurut Varney


Metode penghitungan gerakan menghitung sampai 10 :
1. Jadwalkan satu waktu penghitungan perhari
2. Jadwalkan sesi pada waktu yang sama setiap hari, mis, pada pukul 9 pagi, atau pilih
waktu ketika IBU memiliki waktu luang untuk melakukan penghitungan dan pada
saat janin biasanya aktif.
3. Catat berapa lama biasanya dibutuhkan untuk merasakan 10 kali gerakan.
4. Setidaknya harus terdapat 10 kali gerakan teridentifikasi dalam 10 jam.
5. Apabila gerakan kurang dari 10 kali dalam 10 jam, jka dibutuhkan waktu lebih
lama untuk mencapai 10 kali gerakan atau jika tidak terasa gerakan dalam 10 jam,
ibu harus segera menghubungi bidan.

b. USG
Pemeriksaan sonografi untuk mengevaluasi pertumbuhan janin harus dilakukan bila
terdapat ketidaksesuaian sebesar 4 cm antara tinggi fundus dan usia gestasi, terutama
pada minggu ke 36 gestasi. Beberapa klinisi merasa pemeriksaan sonogram diperlukan
bila terdapat ketidaksesuaian sebesar 3 cm. kadang-kadang ketidaksesuaian sebesar 2
cm perlu ditindaklanjuti, misalnya pada kasus dimana pengukuran tinggi fundus
sebelumnya 2 cm lebih besar dibanding usia gestasi, tetapi sekarang menjadi 1 cm lebih
rendah, atau pada kasus pertumbuhan lebih lambat diserta peningkatan berat badan
maternal yang buruk atau penurunan berat badan (Rayburn, William F dkk. 2012).

c. Tes Nonstress (NST)


NST mengevaluasi frekuensi jantung janin tanpa “membuat bayi stress” akibat
kontraksi uterus. (kontraksi menurunkan perfusi plasenta dan menimbulkan tanda
distress pada bayi). Sementara wanita hamil bersandar dikursi atau berbaring ditempat
tidur dalam posisi semifowler, dua kabel yang menghubungkan transduser dan alat
ultrasonografi ke pemantau janin diletakkan diatas abdomen. Kertas pencatat (tracing)

14
akan mencatat frekuensi jantung janin dan kontraksi yang terjadi karena kontraksi tidak
diperlukan dalam tes ini, munculnya kontraksi merupakan informasi tambahan tentang
kesejahteraan janin.
Tes ini secara tak langsung mengkaji fungsi pernafasan plasenta dengan
mengamati respon detak jantung janin, terhadap pergerakan janin. Janin yang sehat
akan merespon pergerakan janin dengan akselerasi peningkatan dari detak jantungnya.
Tes ini paling sering digunakan pada trimester ketiga. Tes ini di indikasikan bagi para
wanita yang kehamilannya bermasalah karena insufisiensi utero plasenta atau
mengalami peningkatan resiko insifiensi utero plasenta (UPI).
Hasil tes ini dinyatakan dengan masalah istilah reaktif atau negatif yang
menunjukan fungsi pernafasan plasenta yang sehat, yang ditandai dengan adanya 2x
akselerasi teerdapat peningkatan minimal 15kali/menit dan bertahan minimal selama 15
detik. Apabila kriteria reactif itu tidak dapat ditemukan, maka hasilnya dinyatakan non
reaktif atau positif, yang dapat menunjukan adanya gangguan fungsi pernafasan
plasenta(Rayburn, William F dkk. 2012).

d. Tes Stres Kontraksi (Rayburn, William F dkk. 2012)


Prosedur memicu kontraksi pada tes stres kontraksi (CST)
1. Stimulasi payudara
2. Stimulaasi satu puting, melalui permukaan pakaian
3. Stimulasi 2 menit
4. Istirahat 5 menit
5. Jangan menstimulasi saat kontraksi sedang berlangsung, jika tidak berhasil, dalam
waktu 45 menit, lakukan OCT

Tes toleransi oksitosin (OCT)

1. Melalui infus intra vena, d5/0, 2NS pertahankan tetesan vena terbuka
2. Larutan oksitosin : 10 unit pitocin dalam 500cc D5/0,2, NS per pompa infus
3. Teteskan oksitosin dari 1mlU/menit
4. Tingkatkan 1mlU/ menit setiap 15 menit1
5. Lanjutkan hingga pola kontraksi adekuat atau pola DJJ abnormal terjadi.

CST merupakan terapi pilihan jika diduga terjadi insufisiensi uteroplasenta, seperti pada
pre eklampsia atau penyakit maternal kronis.

15
e. Indeksi Cairan Amnion
Asal cairan amnion pada awal kehamilan belum diketahui. Seiring kemajuan
kehamilan, air kemih dan air yang ditelan janin turut membentuk cairan amnion. Jumlah
cairan amnion berkisar dari sekitar 30 mL pada minggu ke 10 gestasi sampai kurang
lebih 900 mLpada minggu ke 32 hingga ke 35 gestasi. Meskipun banyak variasi dari
satu wanita ke wanita lain, volume maksimum dicapai pada sekitar minggu ke 34 dan
mulai menurun pada sekitar minggku ke 36.
Cairan amnion melindungi janin jika terjadi trauma pada abdomen maternal.
Cairan ini juga mempertahankan suhu lingkungan intrauterine konsisten dan normal
serta mencegah konstriksi tali pusat. Jumlah cairan amnion di rongga uterus
mencerminkan kesejaheraan janin. Apabila jumlah cairan diabaikan, tali pusat dapat
mengalami obstruksi mekanis yang terjadi akibat gerakan bayi atau kontraksi uterus.
Jumlah cairan uterus ditentukan menggunakan ultrasonografiunutk mengukur
“kantong” cairan amnion vertical terbesar di keempat kuadran uterus. Keempat hasil
pengukuran (dalam cm) kemudian dijumlahkan dan hasil totalnya disebut AFI(Rayburn,
William F dkk. 2012).

f. Profil Biofisik (BPP)


Tes ini menggunakan ultrasonografi untuk mengkaji tonus otot, gerakan, dan
pernapasan bayi. Jumlah cairan amnion juga dievaluasi dengan menggunakan suatu
kriteria setidaknya satu kantong cairan berukuran 2 cm dikedua bidang tegak lurus.
Temuan positif pada setiap kategori diberi nilai 2. Temuan negative diberi nilai 0.
Keempat pengukuran (digabungkan dengan hasil NST, 2 poin yang dihasilkan dari NST
menunjukkan akselerasi yang diharapakan ialah 10/10 (Cunningham, F. Gary dkk.
2015).

g. Kardiotografi (KTG) (Cunningham, F. Gary dkk. 2015)


Pemantauan ini dilakukan dengan alat KTG. Dasar kerja KTG adalah gelombang
ultrasound untuk mendeteksi frekuensi denyut jantung janin dan tokodynamometer
untuk mendeteksi kontraksi uterus. Kemudian keduanya direkam pada kertas yang
sama, sehingga terlihat gambaran keadaan denyut jantung janin dan kontraksi uterus
dalam saaat yang sama.
Pemeriksaan ini dilakukan pada usia kehamilan 34 minggu atau lebih, dengan
lama pemeriksaan 20-30 menit.

16
Tujuan perekaman ialah unntuk mendapatkan beberapa tanda :
1. Frekkuensi dasar DJJ (normal 120-160x/menit)
2. Variabilitas atau perubahan frekuensi DJJ (nilai normalnya ialah 5-15x/menit) bila
terdapat perubahan yang jauh lebih rendah, merupakan gejala hipoksis.
3. Pola deserelasi adalah gambaran penurunan DJJ.

Beberapa tes tersebut diatas adalah tes yang sering dilakukan namun ada juga tes
lain untuk memantau kesejahteraan janin, yaitu (Cunningham, F. Gary dkk. 2015) :

a. Pengukuran LILA
Status gizi ibu hamil bisa diketahui dengan cara mengukur LILA (Lingkar Lengan
Atas). Pengukuran LILA bertujuan untuk mengetahui resiko KEK(Kurang Energi
Kalori) pada ibu hamil. Ibu hamil yang mempunyai resiko KEK diperkirakan akan
melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR). Adanya asumsi bahwa pada
trimester I dan II terjadi penimbunan cadangan lemak antara lain lemak bahwa kulit
sedang pada trimester III terjadi pemakaian cadangan lemak yang maksimal maka
dengan demikian ada perubahan ukuran lingkar lengan atas sesuai dengan perubahan
lemak bawah kulit dan ada hubungannya dengan berat badan lahir. LILA di ukur pada
titik pertengahan antara siku dan bahu atas dengan posisi lengan dibiarkan tergantung
bebas tidak meregang di samping tubuh dengan pengukuran pada titik terdekat 1 mm.
Ambang batas LILA dengan resiko KEK adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang
dari 23,5 cm atau di bagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko
KEK dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lebih rendah (BBLR). BBLR
mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan
perkembangan anak.

b. Amnioskopi
Yaitu pemeriksaan yang menggunakan alat teropong yang di sebut
amnioskopi. Untuk melihat keadaan air ketuban depan. Air ketuban yang normal akan
tampak jernih atau keputihan. Apabila terdapat pewarnaan mekonium dalam air
ketuban, kemungkinan janin mengalami hipoksia. Namun ketepatannya hanya 30-40%
saja, sehingga perlu dipertimbangkan keadaan patologis lainnya.

17
c. Amniosintesa
Amniosintesa adalah penghisapan cairan dari rahim melalui tusukan/fungsi
abdomen dengan tujuan menganalisa cairan tersebut. Tes ini boleh dilakukan kapan
saja selama kehamilan. Bila dilakukan pada pertengahan awal kehamilan (14-20
minggu) biasanya untuk melihat kelainan perkembangan janin. Amniosintesis yang
dibuat pada kematangan paru-paru janin, mengetahui golongan darah, menilai adanya
penyakit rhesus atau mendeteksi adanya amniositis.

d. Assay Serum Maternal


Serum maternal dapat digunakan untuk menentukan kadar berbagai hormone
untuk mengevaluasi kesehatan janin. Substansi yang dapat dikaji meliputi diamine
oksidase, oksitosinase, progestron, alkalin fosfatase, dan laktogen plasenta manusia.
Substansi ini meningkat pada darah maternal jika janin tumbuh dengan baik. Namun
substansi ini jarang dikaji karena informasi tentang janin secara langsung lebih banyak
berasal dari pemeriksaan tunggal seprti alfa-fetoprotein atau pemeriksaan tripel (serum
maternal untuk alfa-fetoptrotein, estriol, hCG).

Skala Masa Perkembangan Janin

a. 0-4 minggu setelah konsepsi


1. Pertumbuhan cepat
2. Formasi plata embrionic
3. Pembentukan sistem syaraf pusat primitif
4. Pembentukan jantung dan mulai berdenyut
5. Pembentukan pucuk (tonjolan) ekstreminitas
b. 4-8 minggu
1. Pembelahan sel sangat cepat
2. Pembentukan kepala dan roman muka
3. Semua organ utama terbentuk dalam bentuk primitiv
4. Genetelia eksterna telah ada tapi organ sex belum dapt dibedakan.
5. Pergerakan awal
6. Nampak dalam ultrasonografi dari 6 minggu
7. Seks mulai tampak bergerak secara bebas (tidak dirasakan ibu)
8. Terdapat beberapa refleks primitiv
9. 12-16 minggu

18
10. Perkembangan skeletal cepat nampak pada sinar-X
11. Nampak mekonium pada usus
12. Tampak lanugo
13. Fusi septum nasal dan palatum
c. 16-10 minggu
1. Quickening (gerakan fetal pertama) ibu merasakn fetal pertama
2. Jantung fetal terdengar pada auskultasi
3. Nampak verniks kaseosa
4. Kuku jari dapat terlihat
5. Sel kulit mulai diperbaharui
6. 20-24 minggu
7. Sebagian besar organ mulai berfungsi
8. Periode tidur dan aktifitas
9. Berespon terhadap suara
10. Kulit berwarna merah dan berkerut
d. 24-28 minggu
1. Mulai menyimpan minyak dan zat besi
2. Testis menurun dalam skrotum (bagi laki-laki)
3. Lanugo hilang dari wajah
4. Kulit menjadi lebih pucat dan berkurang kerutannya
e. 32-36 minggu
1. Lemak meningkat membuat tuubuh lebih bulat
2. Lanugo menghilang dari tubuh
3. Rambut kepala memanjang

Persalinan
Ada dua monitoring yang bisa dilakukan untuk memantau kesejahteraan janin selama
masa persalinan yaitu :
Monitoring Eksternal : Pada tahap persalinan awal, pada pinggang akan
dililitkan 2 tali pinggang yang tebal. Satu tali pinggang untuk tempat meletakkan
peralatan USG yang akan mendeteksi bunyi jantung janin dan ikat pinggang yang
lainnya untuk tempat peralatan sensor tekanan untuk mendeteksi kekuatan serta lama
kontraksi. Kedua ikat pinggang ini disambungkan oleh kabel ke mesin yang akan
merekam dan mencetak data bunyi jantung janin serta kontraksi ibu hamil. Ikat

19
pinggang ini mungkin dapat menimbulkan perasaan yang kurang nyaman namun
tekhnologi baru (telemetri) saat ini telah mampu mendeteksinya dengan memakai
remote control, sehingga ibu hamil dapat berjalan-jalan dan tidak perlu berbaring terus
menerus.

Monitoring Internal : monitoring semacam ini juga disebut foetal scalp monitoring dan
hasilnya lebih akurat dibanding dengan monitoring eksternal. Monitoring ini dapat
dilakukan selama persalinan berlangsung terutama pada ibu hamil beresiko tinggi. Bila
ketuban belum pecah, maka ketuban ibu hamil akan dibuat pecah dan sebuah kawat
berisi elektroda kecil akan dimasukkan melalui vagina dan mulut rahim untuk
diletakkan pada kepala bayi. Kawat ini akan dihubungkan ke monitor dan ditempelkan
pada paha ibu hamil. Elektroda akan menangkap bunyi jantung janin yang kemudian
kan dicetak oleh computer. Setelah persalinan selesai, mungkin akan terdapat semacam
memar atau guratan kecil pada kepala bayi di bekas tempat elektroda tersebut
diletakkan. Bekas luka ini akan membaik dengan sendirinya.

B. Cairan Amnion
Rongga yang diliputi selaput janin disebut sebagai rongga amnion. Di dalam
ruangan ini terdapat cairan amnion (likuor amnii). Asal cairan amnion : diperkirakan
terutama disekresi oleh dinding selaput amnion / plasenta, kemudian setelah sistem
urinarius janin terbentuk, urine janin yang diproduksi juga dikeluarkan ke dalam
rongga amnion (Cunningham, F. Gary dkk. 2015)

1. Fungsi Cairan Amnion :


a. Proteksi : melindungi janin terhadap trauma dari luar
b. Mobilisasi : memungkinkan ruang gerak bagi janin
c. Homeostasis : menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam-basa (pH)
dalam rongga amnion, untuk suasana lingkungan yang optimal bagi janin.
d. Mekanik : menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruangan intrauterin
(terutama pada persalinan).
e. Pada persalinan : membersihkan / melicinkan jalan lahir, dengan cairan yang
steril, sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir.

2. Keadaan Normal Cairan Amnion :


a. Pada usia kehamilan cukup bulan, volume 1000-1500 cc.

20
b. Keadaan jernih agak keruh
c. Steril
d. Bau khas, agak manis dan amis
e. Terdiri dari 98-99% air, 1-2% garam-garam anorganik dan bahan organik
(protein terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, vernix caseosa dan sel-sel
epitel.
f. Sirkulasi sekitar 500 cc/jam

3. Kelainan Jumlah Cairan Amnion (Suyono, Y. Joko. 2010)


a. Hidramnion (polihidramnion)
Air ketuban berlebihan, di atas 2000 cc. Dapat mengarahkan kecurigaan adanya
kelainan kongenital susunan saraf pusat atau sistem pencernaan, atau gangguan
sirkulasi, atau hiperaktifitas sitem urinarius janin.
b. Oligohidramnion
Air ketuban sedikit, di bawah 500 cc. Umumnya kental, keruh, berwarna kuning
kehijauan.

4. Fisiologi Cairan Amnion


Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8
perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang
menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah. Karena
semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah yang sedang tumbuh,
yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion (Suyono, Y. Joko. 2010).

Gambar 1.
Kantung amnion pada hari ke-10 ditampakkan pada gambar sebelah kiri dan di
sebelah kanan merupakan kantung amnion pada hari ke-12 yang selanjutnya
akan tumbuh menekan mudigah dikutip dari Cunningham1

21
Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya
campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel
epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar
800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu
rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml.
Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan
janin sendiri.
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran
tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian
besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion.
Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh
kulit janin dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin
mulai kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam
memproduksi cairan amnion.
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan dari
urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan menggunakan
radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan
amnion.
Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis ginjal,
akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan pada janin,
seperti atresia esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan polihidramnion3.

5. Fungsi Cairan Amnion


Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion merupakan
perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua arah antara janin
dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin
mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan. Eksresi dari urin,
sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan plasenta menjadi sumber
dari cairan amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong
pelindung di sekitar janin yang memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh
meratakan tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma
termal.

22
Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki peptid
antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion
adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada
beberapa penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi
sebagai biomarker potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan.
Beberapa tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui
sebagai faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai
dengan usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam
pengembangan medikasi stem cell. (Suyono, Y. Joko. 2010)

6. Volume Cairan Amnion


Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara
umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia kehamilan dan
meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian
akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap setelah usia kehamilan 33
minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan
12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat
aterm. Pada kehamilan postterm jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau
kurang.
Brace dan Wolf menganalisa semua pengukuran yang dipublikasikan pada 12
penelitian dengan 705 pengukuran cairan amnion secara individual. Variasi terbesar
terdapat pada usia kehamilan 32-33 minggu. Pada saat ini, batas normalnya adalah
400 – 2100 ml (Suyono, Y. Joko. 2010)

Gambar 2. Grafik yang menunjukkan perubahan volume cairan amnion


sesuai dengan penambahan usia gestasi
dikutip dari Gilbert 5

23
7. Pengukuran Cairan Amnion
Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan amnion,
dengan teknik single pocket ,dengan memakai Indeks Cairan Amnion (ICA), dan
secara subjektif pemeriksa.
Pemeriksaan dengan metode single pocket pertama kali diperkenalkan oleh
Manning dan Platt pada tahun 1981 sebagai bagian dari pemeriksaan biofisik, dimana
2ccm dianggap sebagai batas minimal dan 8 cm dianggap sebagai polihidramnion.
Metode single pocket telah dibandingkan dengan AFI menggunakan
amniosintesis sebagai gold standar. Tiga penelitian telah menunjukkan bahwa metode
pengukuran cairan ketuban dengan teknik Indeks Cairan Amnion (ICA) memiliki
korelasi yang lemah dengan volume amnion sebenarnya (R2 dari 0.55, 0.30 dan 0.24)
dan dua dari tiga penelitian ini menunjukkan bahwa teknik single pocketmemiliki
kemampuan yang lebih baik.
Kelebihan cairan amnion seperti polihidramnion, tidak mempengaruhi fetus
secara langsung, namun dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Secara garis besar,
kekurangan cairan amnion dapat berefek negatif terhadap perkembangan paru-paru dan
tungkai janin, dimana keduanya memerlukan cairan amnion untuk berkembang
(Varney, Helen. 2013)

Gambar 3. Pengukuran cairan amnion berdasarkan empat kuadran


dikutip dari Gilbert5

8. Distribusi Cairan Amnion (Varney, Helen. 2013)


a. Urin Janin
Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi
urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan aterm.

24
Wladimirof dan Campbell mengukur volume produksi urin janin secara 3 dimensi
setiap 15 menit sekali, dan melaporkan bahwa produksi urin janin adalah sekitar 230 ml
/ hari sampai usia kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat sampai 655 ml/hari pada
kehamilan aterm.
Rabinowitz dan kawan-kawan, dengan menggunakan teknik yang sama dengan
yang dilakukan Wladimirof dan Campbell, namun dengan cara setiap 2 sampai 5 menit,
dan menemukan volume produksi urin janin sebesar 1224 ml/hari. Pada tabel
menunjukkan rata-rata volume produksi urin per hari yang didapatkan dari beberapa
penelitian. Jadi, produksi urin janin rata-rata adalah sekitar 1000-1200 ml/ hari pada
kehamilan aterm.1,2,3,5,7,8
b. Cairan Paru
Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan
amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-paru
janin memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari produksi
tersebut ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut. Meskipun
pengukuran secara langsung ke manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini
memiliki nilai yang representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin bernafas
dengan gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan masuk dan keluar melalui trakea,
paru-paru dan mulut. Jadi jelas bahwa paru-paru janin juga berperan dalam
pembentukan cairan amnion.
c. Gerakan menelan
Pada manusia, janin menelan pada awal usia kehamilan. Pada janin domba,
proses menelan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan.
Sherman dan teman-teman melaporkan bahwa janin domba menelan secara bertahap
dengan volume sekitar 100-300 ml/kg/hari.
Banyak teknik berbeda yang dicoba untuk mengukurrata-rata volume cairan
amnion yang ditelan dengan menggunakan hewan, namun pada manusia,
pengukuranyang tepat sangat sulit untuk dilakukan. Pritchard meneliti proses menelan
pada janin dengan menginjeksi kromium aktif pada kompartemen amniotik, dan
menemukan rata-rata menelan janin adalah 72 sampai 262 ml/kg/hari.
Abramovich menginjeksi emas koloidal pada kompartemen amniotik dan
menemukan bahwa volume menelan janin meningkat seiring dengan bertambahnya usia
kehamilan. Penelitian seperti ini tidak dapat lagi dilakukan pada masa sekarang ini
karena faktor etik, namun dari penelitian di atas jelas bahwa kemampuan janin menelan

25
tidak menghilangkan seluruh volume cairan amnion dari produksi urin dan paru-paru
janin, karena itu, harus ada mekanisme serupa dalam mengurangi volume cairan
amnion.

Gambar 4. Distribusi cairan amnion pada kehamilan


Dikutip dari Gilbert5

d. Absorpsi Intramembran
Satu penghalang utama dalam memahami regulasi cairan amnion adalah
ketidaksesuaian antara produksi cairan amnion oleh ginjal dan paru janin, dengan
konsumsinya oleh proses menelan. Jika dihitung selisih antara produksi dan konsumsi
cairan amnion, didapatkan selisih sekitar 500-750 ml/hari, yang tentu saja ini akan
menyebabkan polihidramnion. Namun setelah dilakukan beberapa penelitian, akhirnya
terjawab, bahwa sekitar 200-500 ml cairan amnion diabsorpsi melalui intramembran.
Gambar menunjukkan distribusi cairan amnion pada fetus. Dengan ditemukan adanya
absorbsi intramembran ini, tampak jelas bahwa terdapat keseimbangan yang nyata
antara produksi dan konsumsi cairan amnion pada kehamilan normal. 5

9. Kandungan Cairan Amnion (Varney, Helen. 2013)


Pada awal kehamilan, cairan amnion adalah suatu ultrafiltrat plasma ibu. Pada
awal trimester kedua, cairan ini terdiri dari cairan ekstrasel yang berdifusi melalui kulit
janin sehingga mencerminkan komposisi plasma janin. Namun setelah 20 minggu,
kornifikasi kulit janin menghambat difusi ini dan cairan amnion terutama terdiri dari
urin janin.
Urin janin mengandung lebih banyak urea, kreatinin, dan asam urat dibandingkan
plasma. Selain itu juga mengandung sel janin yang mengalami deskuamasi, verniks,

26
lanugo dan berbagai sekresi. Karena zat-zat ini bersifat hipotonik, maka seiring
bertambahnya usia gestasi, osmolalitas cairan amnion berkurang. Cairan paru memberi
kontribusi kecil terhadap volume amnion secara keseluruhandan cairan yang tersaring
melalui plasenta berperan membentuk sisanya. 98% cairan amnion adalah air dan
sisanya adalah elektrolit, protein, peptid, karbohidrat, lipid, dan hormon.3,7,8
Terdapat sekitar 38 komponen biokimia dalam cairan amnion, di antaranya adalah
protein total, albumin, globulin, alkalin aminotransferase, aspartat aminotransferase,
alkalinfosfatase, γ-transpeptidase, kolinesterase, kreatinin kinase, isoenzim keratin
kinase, dehidrogenase laktat, dehidrogenase hidroksibutirat, amilase, glukosa,
kolesterol, trigliserida, High Density Lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein
(LDL), very-low-density lipoprotein (VLDL), apoprotein A1 dan B, lipoprotein,
bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, sodium, potassium, klorid, kalsium,
fosfat, magnesium, bikarbonat, urea, kreatinin, anion gap , urea, dan osmolalitas.
Faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor, EGF) dan factor
pertumbuhan mirip EGF, misalnyatransforming growth factor-α, terdapat di cairan
amnion. Ingesti cairan amnion ke dalam paru dan saluran cerna mungkin meningkatkan
pertumbuhan dan diferensiasi jaringan-jaringan ini melalui gerakan inspirasi dan
menelan cairan amnion.
Beberapa penanda (tumor marker) juga terdapat di cairan amnion termasuk α-
fetoprotein (AFP), antigen karsinoembrionik (CEA), feritin, antigen kanker 125 (CA-
125), dan 199 (CA-199).

10. Patologi Cairan Amnion (Varney, Helen. 2013)


Pada keadaan normal, volume cairan amnion meningkat menjadi 1 liter atau
lebih sedikit pada gestasi 36 minggu, tapi kemudian berkurang. Secara kasar, cairan
amnion yang lebih dari 2000 ml dianggap berlebihan dan disebut hidramnion, dan
kadang-kadang disebut polihidramnion. Pada kasus yang jarang, uterus mungkin
mengandung cairan dalam jumlah yang sangat besar. Pada sebagian besar kasus, yang
terjadi adalah hidramnion kronik, yaitu peningkatan cairan berlebihan secara bertahap.
Pada hidramnion akut, uterus mungkin mengalami peregangan mencolok dalam
beberapa hari. Volume cairan amnion yang kurang dari 200 ml disebut
oligohidramnion.
a. Hidramnion

27
Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 persen dari semua kehamilan. Sebagian besar
penelitian klinis mendefinisikan hidramnion sebagai cairan amnion yang lebih besar
dari 25 cm. Dengan menggunakan indeks 25 cm atau lebih, Biggio dan kawan kawan di
University of Alabama melaporkan insidensi 1 persen dari hampir 36.450 kehamilan.
Dalam suatu penelitian terdahulu oleh Hill dan kawan kawan dari Mayo
Clinic,lebih dari 9000 pasien prenatal menjalani evaluasi ultrasonografi rutin menjelang
awal trimester ketiga. Insidensi hidramnion adalah 0,9 persen. Hidramnion ringan
(didefinisikan sebagai kantung yang berukuran vertikal 8-11 cm) terdapat pada 80
persen kasus dengan cairan berlebihan. Hidramnion sedang (didefinisikan sebagai
kantung yang hanya mengandung bagian bagian kecil dan berukuran kedalaman 12-15
cm) dijumpai pada 15 persen.
Hanya 5 persen yang mengalami hidramnion berat (yang didefinisikan sebagai
adanya janin mengambang bebas dalam kantung cairan yang berukuran 16 cm atau
lebih). Walaupun dua pertiga dari semua kasus bersifat idiopatik, sepertiga lainnya
terjadi pada anomali janin, diabetes ibu atau gestasi multi janin.

b. Etiologi Hidramnion
Derajat hidramnion serta prognosisnya berkaitan dengan penyebabnya. Banyak
laporan yang mengalami bias signifikan karena berasal dari dari pengamatan terhadap
wanita yang yang dirujuk untuk menjalani pemeriksaan ultrasonografi terarah.
Penelitian-penelitian lainnya berbasis populasi, tetapi mungkin masih belum
mencerminkan insidensi yang sebenarnya kecuali apabila dilakukan penapisan
ultrasonografi secara universal. Bagaimanapun, hidramnion yang jelas patologis sering
berkaitan dengan malformasi janin, terutama susunan saraf pusat atau saluran cerna.
Sebagai contoh, hidramnion terdapat pada sekitar separuh kasus anensefalus dan atresia
esophagus. Dalam penelitian oleh Hill dan kawan-kawan (1987) terhadap pasien-pasien
prenatal nonrujukan di Mayo Clinic, kausa hidramnion ringan teridentifikasi hanya
pada sekitar 15 persen kasus. Sebaliknya pada peningkatan volume cairan amnion
derajat sedang atau berat, kausa teridentifikasi pada lebih dari 90 persen kasus.
Secara spesifik, pada hampir separuh kasus hidramnion sedang dan berat,
ditemukan adanya anomali janin. Namun , hal yang sebaliknya tidak berlaku, dan
dalamSpanish Collaborative Study of Congenital Malformations (ECEMC) terhadap
lebih dari 27000 janin dengan anomali, hanya 3,7 persen yang mengalami hidramnion.
Tiga persen lainnya mengalami oligohidramnion.

28
Tabel 1. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hidramnion.
Faktor janin Faktor ibu
Anomali kongenital Diabetes tak
- Obstruksi gastrointestinal terkontrol
- Abnormalitas sistem saraf pusat Idiopatik
- Higroma kistik
- Hidrops non imun
- Aneuploidi

Damato dan kawan-kawan melaporkan hasil pemeriksaan lebih dari 105 wanita
yang dirujuk untuk evaluasi kelebihan cairan amnion. Dengan menggunakan definisi-
definis serupa yang dijelaskan oleh Hill dan kawan-kawan, para peneliti ini mengamati
bahwa hampir 65 persen dari 105 kehamilan ternyata abnormal. Terdapat 47 janin
tunggal dengan satu anomali atau lebih: saluran cerna (15), hidrops non imun(12),
susunan saraf pusat (12), toraks (9), tulang rangka (8), kromosom (7), dan jantung (4).
Dari 19 kehamilan kembar, hanya dua yang normal. Dua belas dari 17 sisanya
memperlihatkan transfusi antar kembar. 4,5
Dengan menggunakan indeks cairan amnion yang lebih dari 25 cm sebagai
patokan hidramnion, sebagian besar studi menunjukkan bahwa mortalitas perinatal
meningkat secara bermakna. Dalam suatu laporan oleh Carlson dan kawan-kawan,
mengenai 49 wanita dengan indeks 24 cm atau lebih, 22 (44 persen) mengalami
malformasi janin dan enam dari mereka juga mengalami aneuploidi. Terjadi 14
kematian perinatal di antara ke-49 wanita tersebut. Brady dan kawan-kawan
menggunakan indeks 25 cm atau lebih pada 5000 wanita non rujukan dan menemukan
hidramnion tanpa kausa atau idiopatik pada 125 kasus. Mereka menemukan dua janin
dengan trisomi 18 dan dua dengan trisomi 21. Panting-Kemp dan kawan-kawan
mendapatkan bahwa hidramnion idiopatik tidak disertai dengan peningkatan hasil yang
merugikan selain seksio seksaria.

c. Patogenesis Hidramnion

29
Pada awal kehamilan, rongga amnion terisi oleh cairan yang komposisinya sangat
mirip dengan cairan ektrasel. Selama paruhpertama kehamilan, pemindahan air dan
molekul kecil lainnya berlangsung tidak saja melalui amnion, tapi juga menembus kulit
janin. Selama trimester kedua, janin mulai berkemih, menelan dan menghirup cairan
amnion. Hampir pasti proses ini secara bermakna mengatur pengendalian volume cairan
amnion.
Karena dalam keadaan normal janin menelan cairan amnion, diperkirakan bahwa
mekanisme ini adalah salah satu cara pengaturan volume cairan amnion. Teori ini
dibenarkan dengan kenyataan bahwa hidramnion hampir selalu terjadi bila janin tidak
dapat menelan, seperti pada kasus atresia esofagus. Proses menelan ini jelas bukan satu-
satunya mekanisme untuk mencegah hidramnion. Pritchard dan Abramovich mengukur
hal ini dan menemukan bahwa pada beberapa kasus hidramnion berat, janin menelan air
ketuban dalam jumlah yang cukup banyak. 1,5,6,9
Pada kasus anesefalus dan spina bifida, faktor etiologinya mungkin adalah
meningkatnya transudasi cairan dari meningen yang terpajan ke dalam rongga amnion.
Penjelasan lain yang mungkin pasca anensefalus, apabila tidak terjadi gangguan
menelanc, adalah peningkatan berkemih akibat stimulasi pusat-pusat di serebrospinal
yang tidak terlindung atau berkurangnya efek antidiuretik akibat gangguan sekresi
arginin vasopressin. Hal sebaliknya telah jelas dibuktikan bahwa kelainan janin yang
menyebabkan anuria hampir selalu menyebabkan oligohidramnion.5,6,9
Pada hidramnion yang terjadi pada kehamilan kembar monozigot, diajukan
hipotesis bahwa salah satu janin merampas sebagian besar sirkulasi bersama dan
mengalami hipertropi jantung, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan luaran
urin pada masa neonates dini, yang mengisyaratkan bahwa hidramnion disebabkan oleh
meningkatnya produksi urin janin.
Hidramnion yang sering terjadi pada diabetes ibu selama trimester ketiga masih
belum dapat diterangkan. Salah satu penjelasannya adalah bahwa hiperglikemia janin
yang menimbulkan diuresis osmotik. Bar Hava dan kawan kawan (1994) membuktikan
bahwa volume air ketuban trimester ketiga pada 399 diabetes gestasional
mencerminkan status glikemik terakhir. Yasuhi dan kawan kawan (1994) melaporkan
peningkatan produksi urin janin pada wanita diabetik yang puasa dibandingkan
dengan kontrol nondiabetik. Yang menarik, produksi urin janin meningkat pada wanita
nondiabetik setelah makan, tetapi hal ini tidak dijumpai pada wanita diabetes.

30
11. Gejala Klinis (Varney, Helen. 2013)
Gejala utama yang meyertai hidramnion terjadi semata-mata karena faktor
mekanis dan terutama disebabkan oleh tekanan di dalam sekitar uterus yang mengalami
overdistensi terhadap organ-organ di dekatnya. Apabila peregangannya berlebihan, ibu
dapat mengalami dispnea dan pada kasus ekstrim, mungkin hanya dapat bernafas bila
dalam posisi tegak. Sering terjadi edema akibat penekanan sistem vena besar oleh
uterus yang sangat besar, terutama di ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen.
Walaupun jarang, dapat terjadi oligouria berat akibat obstruksi ureter oleh uterus yang
sangat besar.
Pada hidramnion kronik, penimbunan cairan berlangsung secara bertahap dan
wanita yang bersangkutan mungkin mentoleransi distensi abdomen yang berlebihan
tanpa banyak mengalami rasa tidak nyaman. Namun pada hidramnion akut, distensi
abdomen dapat menyebabkan gangguan yang cukup serius dan mengancam.
Hidramnion akut cenderung muncul pada kehamilan dini dibandingkan dengan bentuk
kronik dan dapat dengan cepat memperbesar uterus. Hidramnion akut biasanya akan
menyebabkan persalinan sebelum usia gestasi 28 minggu, atau gejala dapat menjadi
demikian parah sehingga harus dilakukan intervensi. Pada sebagian besar kasus
hidramnion kronik, tekanan cairan amnion tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan
pada kehamilan normal.
Gejala klinis utama pada hidramnion adalah pembesaran uterus disertai kesulitan
dalam meraba bagian-bagian kecil janin dan mendengar denyut jantung janin. Pada
kasus berat, dinding uterus sangat tegang.Membedakan antara hidramnion, asites, atau
kista ovarium yang besar biasanya mudah dilakukan dengan evaluasi ultrasonografi.
Cairan amnion dalam jumlah besar hampir selalu mudah diketahui sebagai ruang bebas-
echo yang sangat besar di antara janin dan dinding uterus atau plasenta. Kadang
mungkin ditemui kelainan janin misalnya anensefalus atau defek tabung syaraf lain,
atau anomali saluran cerna.
Penyulit tersering pada ibu yang disebabkan oleh hidramnion adalah solusio
plasenta, disfungsi uterus dan perdarahan pasca persalinan. Pemisahan dini plasenta
yang luas kadang-kadang terjadi setelah air ketuban keluar dalam jumlah yang
besarkarena berkurangnya luas permukaan uterus di bawah plasenta. Disfungsi uterus
dan perdarahan pasca persalinan terjadi akibat atonia uteri karena overdistensi.

31
a. Oligohidramnion
Pada kasus-kasus yang jarang, volume air ketuban dapat turun di bawah batas
normal dan kadang-kadang menyusut hingga hanya beberapa ml cairan kental.
Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara umum, oligohidramnion
yang timbul pada awal kehamilan jarang dijumpai dan sering memiliki prognosis buruk.
Marks dan Divon (1992) menemukan oligohidramnion pada 12% dari 511 kehamilan
usia 41 minggu atau lebih pada 121 wanita yang diteliti secara longitudinal terjadi
penurunan rata-rata ICA sebesar 25% perminggu setelah 41 minggu. Akibat
berkurangnya cairan, risiko kompresi tali pusat, dan pada gilirannya gawat janin,
meningkat pada semua persalinan, terutama pada persalinan post term.
Kebocoran kronik suatu defek di selaput ketuban dapat mengurangi volume
cairan dalam jumlah bermakna, tetapi seringkali kemudian segera terjadi persalinan.
Pajanan ke inhibitor enzim pengubah-angiotensin (ACE I) dilaporkan berkaitan dengan
oligohidramnion Sebanyak 15 sampai 25 % kasus berkaitan dengan anomali janin.
Pryde dan kawan-kawan (2000) mampu memvisualisasikan struktur-struktur janin pada
hanya separuh dari wanita yang dirujuk untuk evaluasi ultrasonografi terhadap
oligohidramnion mid trimester. Mereka melakukan amnioinfusi dan kemudian mampu
melihat 77 % dari struktur-struktur yang dicitrakan secara rutin. Identifikasi anomali
terkait meningkat dari 12 menjadi 31 %.
Tabel 2. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan oligohidramnion
Faktor Janin Faktor Ibu
- Agenesis ginjal - Penyakit hipertensi
- Uropati obstruksi - Insufisiensi utero-plasenta
- Pecah selaput ketuban - Sindrom antifosfolipid
- Kehamilan lewat waktu - Dehidrasi-hipovolemi

dikutip dari Gilbert5


Hasil luaran janin pada oligohidramnion di kehamilan usia dini adalah buruk.
Shenker dan kawan-kawan (1991) melaporkan 80 kehamilan semacam itu dan hanya
separuh dari janin-janin ini yang selamat. Mercer dan Brown (1986) melaporkan 34
kehamilan mid trimester yang mengalami penyulit oligohidramnion dan didiagnosis
secara ultrasonografis berdasarkan tidak adanya kantung cairan amnion yang besamya
lebih dari 1 cm di semua bidang vertikal. Sembilan (26 persen) dari janin-janin ini

32
mengalami anomali, dan 10 dari 25 yang secara fenotipe normal mengalami abortus
spontan atau lahir mati karena hipertensi ibu yang parah, hambatan pertumbuhan janin,
atau solusio plasenta. Dari 14 bayi lahir hidup, delapan lahir preterm dan tujuh
meninggal. Enam bayi yang lahir aterm tumbuh normal.
Garmel dan kawan-kawan (1997) mengamati bahwa oligohidramnion sebelum
minggu ke-37 pada janin yang tumbuh sesuai masa kehamilannya memperlihatkan
peningkatan angka kelahiran preterm sebesar tiga kali lipat, tetapi tidak untuk hambatan
pertumbuhan atau kematian janin. Newbould dan kawan-kawan(1994) melaporkan
temuan otopsi pada 89 bayi dengan sekuensi oligohidramnion. Hanya 3% yang
memiliki saluran ginjal normal; 34 % menderita agenesis ginjal bilateral; 34 % displasia
kistik bilateral; 9 % agenesis unilateral dengan displasia; dan 10 % kelainan saluran
kemih minor.
Bayi yang tadinya normal dapat mengalami akibat dari oligohidramnion awitan
dini yang parah. Perlekatan antara amnion dan bagian-bagian janin dapat menyebabkan
kecacatan serius termasuk amputasi. Selain,itu, akibat tekanan dari semua sisi,
penampakan janin menjadi aneh, dan kelainan otot-rangka, misalnya kaki gada
(clubfoot) sering terjadi.
Insidensi hipoplasia paru saat lahir tidak banyak berubah dan berkisar dari 1,1
sampai 1,4 per 1000 bayi. Apabila cairan amnion sedikit, sering terjadi hipoplasia paru.
Winn dan kawan-kawan (2000) melakukan suatu studi kohort prospektif pada 163
kasus oligohidramnion yang terjadi pada selaput ketuban pecah dini pada gestasi 15
sampai 28 minggu. Hampir 13 % janin mengalami hipoplasia paru. Penyulit ini lebih
sering terjadi seiring dengan berkurangnya usia gestasi. Kilbride dan kawan-kawan
(1996) mempelajari 115 wanita dengan ketuban pecah dini sebelum minggu ke-29.
Terjadi tujuh kelahiran mati dan 40 kematian neonatus sehingga mortalitas perinatal
menjadi 409 per 1000.
Risiko hipoplasia paru letal adalah 20 %. Hasil yang merugikan lebih besar
kemungkinannya apabila pecah ketuban terjadi lebih dini serta durasinya melebihi 14
hari. Menurut Fox dan Badalian (1994) serta Lauria dan kawan-kwan (1995), terdapat
tiga kemungkinan yang menjadi penyebab hipoplasia paru. Pertama, tertekannya toraks
mungkin menghambat pergerakan dinding dada dan ekspansi paru. Kedua, kurangnya
gerakan napas janin mengurangi aliran masuk ke paru. Ketiga dan model yang paling
luas diterima adalah kegagalan mempertahankan cairan amnion atau meningkatnya
aliran keluar pada paru yang tumbuh-kembangnya terhambat.

33
Cukup banyaknya cairan amnion yang dihirup olehjanin normal, seperti
dibuktikan oleh Duenhoelter dan Pritchard (1976), mengisyaratkan bahwa cairan yang
terhirup tersebut berperan dalam ekspansi, dan pada gilirannya, pertumbuhan paru.
Namun, Fisk dan kawan-kawan (1992) menyimpulkan bahwa gangguan pernapasan
janin tidak menyebabkan hipoplasia paru pada oligohidramnion.
Dalam suatu eksperimen unik, McNamara dan kawan-kawan (1995) melaporkan
temuan-temuan dari dua set kembar monoamnionik dengan anomali ginjal yang
berlawanan. Mereka menyajikan bukti bahwa volume cairan amnion yang normal
memungkinkan perkembangan paru normal walaupun terdapat obstruksi ginjal janin
Secara normal, volume cairan amnion secara normal berkurang setelah usia
gestasi 35 minggu. Dengan menggunakan indeks cairan amnion kurang dari 5 cm,
Casey dan kawan–kawan (2000) mendapatkan insidensi oligohidramnion pada 2,3 %
dari 6400 kehamilan lebih yang menjalani sonografi setelah minggu ke-34 di Parkland
Hospital. Mereka memastikan pengamatan-pengamatan sebelumnya bahwa hal ini ber-
kaitan dengan peningkatan risiko hasil perinatal yang merugikan.
Pada kehamilan yang terpilih karena "risiko tinggi", Magann dan kawan-kawan
(1999) tidak mendapatkan bahwa oligohidramnion (indeks cairan amnion kurang dari 5
cm) meningkatkan risiko penyulit intrapartum seperti mekonium kental, deselerasi
variabel frekuensi denyut jantung, seksio sesarea atas indikasi gawat janin, atau
asidemia neonatus.
Chauhan dkk. (1999) melakukan metaanalisis terhadap 18 penelitian yang
meliputi lebih dari 10.500 kehamilan yang indeks cairan amnion intrapartumnya kurang
dari 5 cm. Dibandingkan dengan kontrol yang indeksnya lebih dari 5 cm, wanita dengan
oligohidramnion memperlihatkan peningkatan risiko bermakna untuk seksio sesarea
atas indikasi gawat janin. Kompresi tali pusat selama persalinan sering terjadi pada
oligohidramnion. Sarno dan kawan-kawan (1989, 1990) melaporkan bahwa indeks 5 cm
atau kurang menyebabkan peningkatan angka seksio sesarea sebesar lima kali lipat.
Divon dan kawan-kawan (1995) meneliti 638 kehamilan postterm in partu dan
mengamati bahwa hanya wanita yang indeks cairan amnionnya 5 cm atau kurang yang
mengalami deselerasi frekuensi denyut jantung janin dan mekonium.

Amnioinfusi
Infus kristaloid untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang secara
patologis paling sering digunakan selama persalinan untuk mencegah kompresi tali

34
pusat. Hasil amnioinfusi intrapartum untuk mencegah morbiditas janin akibat air
ketuban tercemar mekonium sering berkaitan dengan oligohidramnion masih belum
jelas.
Pierce dan kawan-kawan melakukan meta-analisis terhadap 13 penelitian dengan
1924 wanita yang dibagi secara acak untuk mendapat amnioinfus atau tanpa terapi.
Mereka mendapatkan penuruan bermakna hasil yang merugikan: mekonium di bawah
tali pusat (odds ratio, OR 0,18), sindrom aspirasi mekonium (OR 0,30), asidemia
neonatus (OR 0,42), dan angka seksio sesarea (0,74). Wenstrom dan kawan-kawan
(1995) mensurvei departemen-departemen obstetri di fakultas kedokteran dan
melaporkan bahwa amnioinfusi digunakan secara luas dengan penyulit yang relatif
sedikit.

35
Pemantauan kesejahteraan janin memegang peranan penting di dalam
pengawasan kehamilan dan persalinan. Pemantauan ini seharusnya sudah dilakukan
sejak kehamilan trimester pertama hingga trimemester ketiga dan saat persalinan. cairan
amnion sering digunakan untuk keperluan diagnosis, misalnya untuk mengetahui
kematangan paru janin, mendeteksi gawat nafas pada janin dan mendiagnosis ketuban
pecah sebelum waktunya

36
1. Pemeriksaan kesejahteraan janin dilakukan pada trimester ?
a. Trimester I
b. Trimester II.
c. Trimester III
d. Semua jawaban benar
2. Untuk mendengar denyut jantung janin pada kehamilan, adalah tindakan?
a. Auskultasi.
b. Perkusi.
c. Palpasi.
d. Semua jawaban benar.
3. Normal frekuensni DJJ ?
a. 100-150 denyut per menit (dpm)
b. 120-160 denyut per menit (dpm)
c. Semua jawaban salah
d. Semua jawaban benar
4. Tindakan membuka pakaian agar perut kelihatan. Selanjutnya pemeriksa akan
mengoleskan cairan minyak atau gel di atas perut yang berfungsi sebagai
penghantar gelombang suara. Kemudian ia akan mengerak-
gerakkan transduser yang berbentuk seperti mikrofon di sekeliling perut calon ibu.
Gelombang suara akan bergerak dari dan ke arah rahim sambil melewati suatu
tampilan yang jelas tapi kabur. Proses ini biasanya akan berlangsung selama 30
menit, disebut pemeriksaan ?
a. Auskultasi.
b. Perkusi.
c. Palpasi
d. USG
5. Rongga yang diliputi selaput janin disebut sebagai?
a. Uri-uri
b. fundus
c. endometrium

37
d. Rongga Amnion
6. Melindungi janin terhadap trauma dari luar, ialah fungsi cairan amnion dari?
a. Proteksi.
b. Mobilisasi.
c. Homeostasis.
d. Mekanik
7. menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam-basa (pH) dalam rongga
amnion, untuk suasana lingkungan yang optimal bagi janin, ialah fungsi cairan
amnion dari?
a. Proteksi.
b. Mobilisasi.
c. Homeostasis.
d. Mekanik
8. Keadaan Normal Cairan Amnion, ialah?
a. Pada usia kehamilan cukup bulan, volume 1000-1500 cc.
b. Keadaan jernih agak keruh
a. Bau khas, agak manis dan amis
b. Semua jawaban benar
9. Air ketuban berlebihan, di atas 2000 cc. Dapat mengarahkan kecurigaan adanya
kelainan kongenital susunan saraf pusat atau sistem pencernaan, atau gangguan
sirkulasi, atau hiperaktifitas sitem urinarius janin, disebut?
a. Llgohidramnion
b. Oligohidramnion
c. Hidramnion (polihidramnion).
d. semua jawaban salah.
10. Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8
perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion,
berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal
mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah
yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion, ialah?
a. Fisiologi Cairan Amnion
b. Patologi Cairan Amnion
c. Pengertian Cairan Amnion
d. Fungsi Cairan Amnion

38
KUNCI JAWABAN

1. D
2. A
3. B
4. D
5. D
6. A
7. C
8. D
9. C
10. A

39
Cunningham, F. Gary dkk. 2015. Obstetri Williams. Jakarta: EGC

Rayburn, William F dkk. 2012. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika

Suyono, Y. Joko. 2010. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Hipokrates

Varney, Helen. 2013. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC

40

Anda mungkin juga menyukai