Anda di halaman 1dari 7

Polip Nasal

Abstrak :

Polip nasal merupakan penyakit yang umum terjadi, yang mempengaruhi hingga empat
persen populasi. Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, tetapi berhubungan dengan adanya
alergi, asma, infeksi, kista fibrosis, dan sensitivitas terhadap aspirin. Ditandai dengan adanya
obstruksi nasal, anosmia, rinorea, post nasal drip, dan nyeri pada wajah (jarang). Pada
pemeriksaan klinis menunjukkan adanya massa kista abu-abu tunggal atau multipel pada
rongga hidung. Pemeriksaan CT dapat mengevaluasi perluasan penyakit dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang sangat penting jika ada pertimbangan untuk dilakukannya
tindakan bedah. Penatalaksanaan pada polip meliputi terapi kombinasi antara terapi
medikamentosa dan pembedahan. Pada penelitian yang dilakukan penggunaan kortikosteoid
terbukti baik dalam penatalaksaan polip nasal, baik sistemik maupun topikal, keduanya
merupakan terapi utama dan juga sebagai terapi post operasi untuk pencegahan kekambuhan
penyakit. Terapi bedah telah berkembang secara signifikan selama 20 tahun terakhir dengan
penggunaan endoskopi pada operasi sinus dan secara umum diindikasikan untuk kasus yang
tidak mendapatkan remisi setelah terapi medikamentosa. Kekambuhan dari poliposis sering
terjadi menjadi penyakit yang lebih berat pada sepuluh persen dari pasien.

Katakunci : polip nasal, penatalaksanaan penyakit, prosedur pembedahan

Pendahuluan

Polip nasal merupakan pertumbuhan lesi jinak dari mukosa sinus nasal (paling sering pada
muara dari salah satu atau beberapa sinus) atau dari mukosa rongga hidung. Penyebab dari
penyakit ini tidak pasti dan merupakan tantangan bagi para dokter untuk menangani kasus ini.
Penatalaksaan dari polip nasal merupakan beban kerja untuk para ahli otolaringologi,
terutama bagi mereka pada bidang rhinologi.

Selain itu, penting bagi dokter spesialis paru untuk memahami tentang aspek pengobatan
nasal polip karena dapat berdampak signifikan pada penyakit paru obstruktif kronis,
khususnya asma. Makalah ini bertujuan untuk merangkum kemajuan dari semua aspek dalam
penanganan polip nasal.

Strategi dan referensi penelitian

Sumber referensi dari makalah ini diperoleh dari MEDLINE dengan katakunci “polip nasal’,
“diagnosa’, dan “penanganan”. Penulis juga menggunakan database Cochrane sebagai
tinjauan sistematis dengan menggunakan kata kunci ‘poliposis nasal’ dan ‘polip’. Selain itu,
referensi juga berdasarkan pengalaman klinis.

Etiologi nasal popiposis

Penyebab NP tidak diketahui. Beberapa teori menganggap polip merupakan suatu keadaan
yang disebabkan oleh adanya inflamasi kronis di dalam hidung dan sinus nasal yang
dikarakteristikan dengan edema stroma dan infiltrasi seluler yang bervariasi. (Bateman dkk,

1
2003). Walaupun banyak aspek telah didokumentasikan untuk mendukung teori ini, penyebab
awal NP tetap tidak diketahui dan mungkin berbeda pada setiap kasus. Secara historis, telah
diasumsikan bahwa alergi merupakan faktor predisposisi pada NP, karena gejala rinorea dan
pembengkakan mukosa dijumpai pada kedua penyakit (alergi dan NP) yang disertai dengan
dijumpai banyaknya eosinofil dalam sekret nasal. Namun, studi epidemiologi hanya
memberikan sedikit bukti untuk mendukung hubungan ini karena hanya ditemukan 1-2%
pasien NP dengan hasil tes tusukan kulit positif (Settipane dkk 1977). Selain itu, penelitian
lain telah menunjukkan bahwa polip nasal tidak lebih sering terjadi pada individu yang
atopik. Namun, penelitian menunjukkan bahwa IgE total dan IgE spesifik serta hasil histologi
pada polip tidak berhubungan dengan dengan tes tusuk kulit yang positif namun memiliki
hubungan dengan kadar eosinofil (Bachert dkk 2001). Oleh karena itu, tetap memungkinkan
bahwa adanya mekanisme alergi lokal berperan dalam terjadinya polip. Banyak penetilian
berfokus pada mediator eosinofil pada jaringan NP dan menunjukkan bahwa jenis sel yang
berbeda juga dapat menghasilkan mediator ini. Interleukin 5-IL5 ditemukan meningkat secara
signifikan pada NP dibandingkan dengan kontrol yang sehat dan konsentrasi IL-5 tidak
tergantung pada status atopik pasien (Bachert et al 2001). Peran kunci IL-5 didukung oleh
penemuan bahwa penanganan infiltrasi eosinofil jaringan polip dengan antiodi monoklonal
anti-IL-5 dapat menetralisir kadar IL-5 dengan menyebabkan apoptosis eosinofil (Simon dkk
1997). Regulasi reseptor IL-5 juga telah diselidiki dengan turunnya regulasi yang terjadi pada
NP, terutama yang berhubungan dengan asma (Gevert dkk 2003).

Adanya hubungan antara poliposis dan kultur jamur telah disebutkan pada penelitian
beberapa tahun yang lalu (Safi rstein dkk 1976). Laporan lebih lanjut terkait temuan ini
adalah mengenai aspergillosis bronkopulmoner alergi (Millar dkk, 1981). Pengenalan ini
menyebabkan munculnya istilah ‘sinusitis jamur alergi’ yang didiagnosa dengan adanya tes
RAS yang positif terhadap jamur, NP, Computerized tomography (CT) menunjukkan lesi
hyperdense di rongga sinus, sekret alergi dengan bukti histologis ditemukannya kelebihan
eosinofilik dan identifikasi jamur pada lendir sinus (Bent et al 1994; Ponikau dkk 1999). Hal
ini terjadi karena reaksi hipersensitivitas tipe 3 yang mengarah ke edema mukosa berulang,
representasi antigen dan resultan NP (Marple dkk 2001). Peranan jamur yang pasti dalam
patogenesis NP tetap tidak diketahui pasti namun penelitian selanjutnya akan membantu
mengklarifikasi temuan ini.

Terdapat beberapa bukti unsur genetik terhadap NP. Sebuah penelitian menunjukkan
hubungan antara HLA-A74 dan NP (Luxenburger dkk 2000), namun pengetahuan terkini di
bidang ini tetap sangat terbatas. Kondisi medis yang umumnya terkait dengan polip meliputi
asma, bronkiektasis dan sistik fibrosis (Settipane dkk 1996). Terdapat sekelompok pasien
yang dikenali sebagai Samnter’s Triad yang terdiri dari polip, asma dan hipersensitifitas
aspirin yang membentuk hampir 10% kasus NP.

Prevalensi

Pada populasi umum, prevalensi dari NP adalah sekitar 4% (Hedman dkk 1999). Pada
penelitian terhadap cadaver, prevalensi ini terbukti sebanyak 40% (Laren dkk 1994).
Terutama terjadi pada orang dewasa dan biasanya pada pasien berusia lebih dari 20 tahun.

2
Jarang terjadi pada pasien dibawah usia 10 tahun dan mungkin didiagnosa sebagai kista
fibrotik. Setidaknya terdapat perbandingan 2:1 antara laki-laki dan perempuan. Sebanyak
sepertiga pasien NP memiliki penyakit asma, sedangkan polip ditemukan pada 7% penderita
asma (Settipane dkk 1996).

Temuan Klinis

Gejala utama NP adalah sumbatan hidung yang menetap namun dapat bervariasi tergantung
pada lokasi dan ukuran polip. Penderita juga sering mengeluhkan rinorea dan post nasal drip.
Anosmia atau hyposmia juga merupakan gejala khas NP (Drake-Lee dkk 1997). Pemeriksaan
rinoskopi anterior dan posterior menunjukkan massa polip berwarna pucat baik tunggal atau
multipel yang seing muncul dari meatus media dan berkembang didalam rongga hidung
(Gambar 1). Terdiri dari jaringan ikat longgar, edema, sel inflamasi dan beberapa kapiler dan
kelenjar. Permukaannya tertutup dengan jenis epitel yang berbeda, yang paling sering adalah
epitel pseudostratified dengan sel goblet dan sel bersilia. Penelitian menunjukkan bahwa
eosinofil merupakan sel inflamasi yang sering ditemukan pada NP. NP hampir selalu bersifat
bilateral dan bila unilateral memerlukan pemeriksaan histologis untuk menyingkirkan adanya
keganasan atau keadan patologi lainnya seperti papiloma (Drake-Lee dkk 2004). Pada palpasi
tidak dijumpai nyeri tekan dan tidak mudah berdarah. Secara histologi NP ditandai dengan
epitel kolumnar bersilia, penebalan membran basal, edema stroma dan peningkatan sel
plasma dan eosinofil. Eosinofil ditemukan pada 85% kasus NP dan sisanya didominasi
neutrofil (Bachert dkk 2003).

Pemeriksaan Penunjang

Foto polos radiologi tidak senstif dan tidak bernilai dalam diagnosis NP namun dapat
menunjukkan lesi yang opak dari sinus yng terkena (Linuma dkk 1994). CT-Scan akan
menunjukkan tingkat variasi NP dan variasi anatomi yang penting untuk terapi pembedahan
jika diperlukan (Gambar 2). Pemeriksaan ini tidak boleh digunakan sebagai langkah utama
dalam mendiagnosa kasus ini, kecuali jika ditemukan adanya tanda dan gejala unilateral atau
adanya gejala lain yang menunjukkan keganasan, tetapi dapat dilakukan setelah tindakan
endoskopi dan setelah adanya kegagalan terapi medikamentosa. Berbagai sistem pementasan
untuk pemindaian CT telah dijelaskan, yang paling umum digunakan adalah sistem Lund-
Mackay (Lund dkk 1993). Sistem ini bergantung pada skor 0-2 tergantung dari ada tidaknya,
parsial, atau komplit tiap sistem sinus dan kompleks osteomeatal yang menghasilkan skor
maksimal 12 persisi. Skor ini telah divalidasi namun korelasi antara skor dan gejala CT
terbukti buruk dan bukan merupakan indikator yang baik (Browne dkk 2006). Gambar 2 CT
menunjukkan sinus yang opak. Dalam kasus NP unilateral, pemindaian dengan MRI dapat
membantu diagnosis, terutama untuk penyelidikan mengenai kondisi yang lebih serius seperti
neoplasia.

3
Penatalaksanaan

Terapi untuk NP melibatkan kombinasi dari observasi, medikamentosa, dan penanganan


bedah tergantung penilaian kasus secara individu. Secara umum, pasien diterapi secara
medikamentosa di tempat perawatan primer sebelum dipertimbangkan untuk prosedur
pembedahan oleh ahli otolaringologi. Tujuan pengobatan adalah untuk menghilangkan atau
secara signifikan mengurangi ukuran NP sehingga menghilangkan sumbatan hidung,
perbaikan drainase sinus, restorasi penciuman dan rasa. Pengobatan dari gejala rhinitatif
apapun yang menyertainya juga mungkin diperlukan (Mygind et al, 1999). Dengan kedua
terapi tersebut, kekambuhan tetap dapat terjadi, terutama pada penderita asma cenderung dua
kali lebih sering mengalami kekambuhan dibandingkan dengan nonasmatik (Dinis et al
1997).

Terapi Medikamentosa

Tersedianya kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk mengobati penyakit saluran napas
atas (NP dan rhinitis) dan bawah (asma, penyakit saluran pernafasan kronis) (Fokkens et al
2007). Efisiensi kortikosteroid diperoleh dari kemampuan kortikosteroid dalam menurunkan
infiltrasi eosinofil dengan mencegah peningkatan viabilitas dan aktivasi eosinofil. (Burgel et
al2004). Baik glukokortikoid topikal maupun sistemik dapat mempengaruhi fungsi eosinofil
secara langsung yaitu menurunkan viabilitas dan fungsi eosinofil atau secara tidak langsung
dengan cara mengurangi sekresi sitokin dari mukosa hidung dan sel epitel polip sel (Roca-
Ferrer et al 1997). Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pada NP baik sebagai
pengobatan primer maupun untuk mencegah kekambuhan. Jika tidak dijumpai adanya tanda
dan gejala lain seperti nyeri, perdarahan, atau polip unilateral, terapi dapat dilakukan di
tempat perawatan primer. Kortikosteroid harus digunakan dengan hati-hati pada 'kelompok
beresiko' khususnya penderita diabetes, hipertensi tidak terkontrol, dan penyakit ulkus peptik.

Terapi sebaiknya dimulai dengan steroid nasal topikal (Badia et al 2001) bersamaan dengan
pengobatan agresif terhadap penyebab alergi atau komorbid yang mendasarinya. Steroid
nasal topikal dapat diberikan dengan tetes atau semprotan. Tetes hidung memberi dosis
pengobatan yang lebih tinggi ke meatus medial, pemberian dilakukan dengan posisi berbaring
dan cara ini terbukti nyaman dan efektif (Kayarker et al, 2002). Steroid topikal telah diteliti
secara ekstensif.

Stjarne dan rekan (2006) membandingkan 298 subjek dengan menggunakan semprotan nasal
furoat NP moderat (MFNS) dengan plasebo selama 16 minggu. Mereka menemukan
penurunan yang signifikan pada gejala hidung tersumbat, ukuran polip, dan peningkatan
kualitas hidup. Lund dan rekannya (1998) membandingkan propistat propomotor (plasenta)
dengan plasebo pada 46 pasien selama 12 minggu dalam uji coba terkontrol secara acak. Skor
polip dan rhinometri akustik meningkat secara signifikan pada kelompok NP. Steroid telah

4
terbukti memperbaiki sistem pernafasan hidung, gejala rinitis, dan mengurangi ukuran NP
bersamaan dengan tingkat kekambuhan (Patiar et al 2007). Meskipun kortikosteroid telah
terbukti memiliki manfaat, tetap ada perdebatan mengenai efisiensi steroid dalam mengurangi
proporsi pasien yang memerlukan pembedahan (Browning et al 2007). Terdapat sebuah
penelitian yang menunjukkan berkurangnya terapi pembedahan setelah pemberian
kortikosteroid, namun penelitian lanjutan masih tetap diperlukan (Albertien et al 2005).

Steroid sistemik digunakan untuk kasus lanjut atau refrakter terutama bila terdapat alergi.
Bentuk pengobatan ini digunakan untuk perbaikan jangka pendek yang relatif cepat karena
risiko efek samping (Mygind et al 1996). Perawatan ini sangat efektif. Van Camp dan rekan
(1993) melakukan penelitian terbuka yang memberi prednisolon 60 mg kepada 25 pasien
dengan poliposis berat selama empat hari, dua belas hari berikutnya dosis dikurangi 5 mg
setiap hari; terdapat perbaikan gejala terutama penyumbatan dan anosmia serta temuan CT
tidak didapati kelainan pada 52% kasus.

Hissaria dan rekan (2006) membandingkan prednisolon 50 mg setiap hari selama 14 hari
dengan plasebo. Perbedaan signifikan ditemukan pada gejala hidung dan temuan endoskopi.
Peningkatan dramatis dalam tampilan anatomi dan berkurangnya gejala ini disebut 'medical
polypectomy'. Namun , terdapat kekurangan bukti yang membandingkan steroid sistemik dan
topikal. Tidak ada uji coba terkontrol secara acak dalam literatur yang membandingkan hasil
steroid dan operasi sistemik (Bateman et al 2003). Efek samping penggunaan steroid jangka
pendek meliputi intoleransi glukosa, hipertensi, penekanan adrenal, perdarahan
gastrointestinal, dan perubahan keadaan mental. Begitu gejala dapat teratasi, penting untuk
mempertahankan perbaikan kondisi pasien dengan steroid intranasal jangka panjang dalam
bentuk aqueous nasal spray.

Pada semua pasien penambahan saline nasal simpel topikal untuk membantu membersihkan
hidung sebelum obat topikal terbukti bermanfaat (Fokkens et al 2007). Tindakan ini telah
terbukti dapat memperbaiki pembersihan mucocilliary hidung yang diukur dengan tes sakarin
pada relawan NP yang sehat dalam penelitian di Amerika (Talbot et al 1997). Obat ini
biasanya tersedia di kebanyakan apotek.

Antibiotik sering digunakan pada rhinsinusitis kronis (Fokkens et al 2007) dan juga pada
sinusitis akut namun tidak efektif dalam pengelolaan medis NP tanpa komplikasi (Bateman et
al 2003; Fokkens et al 2007). Mucolytics dapat digunakan sebagai tambahan bersama
antibiotik pada sinusitis akut untuk mengurangi viskositas sekresi sinus namun tidak ada uji
klinis yang menguji efeknya pada NP. Antihistamin dapat menurunkan gejala yang signifikan
pada NP sederhana. Satu studi menunjukkan berkurangnya gejala bersin, rhinorrhea, dan
obstruksi dibandingkan dengan penggunaan plasebo, namun tidak terjadi penurunan ukuran
polip pada 3 bulan (Haye et al, 1998).

5
Terapi medis lainnya telah digunakan untuk pengobatan NP adalah Antagonis reseptor
leukotrien yang baru-baru ini terbukti efektif (Kieff et al 2005), namun percobaan pada skala
yang lebih besar diperlukan untuk membuktikan efisiensinya. Capsaicin topikal juga terbukti
efektif, namun efek sampingnya dapat mengiritasi mukosa hidung sehingga banyak pasien
yang memberhentikan pengobatan (Baudoin et al, 2000).

Rinosinusitis jamur alergi ditangani oleh antimikotik topikal dan sistemik sebagai tambahan
operasi sinus. Pembedahan dianggap sebagai terapi lini pertama terutama untuk rhinosinusitis
jamur invasif (Schubert et al, 2000). Manajemen ini berdasarkan pada serangkaian kecil
pasien dan laporan kasus dan harus dipertimbangkan sebagai bukti tingkat 4

Terapi Pembedahan

Terapi bedah merupakan tindakan yang dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan
terapi medikamentosa. Tidak ada teknik bedah tunggal yang sepenuhnya terbukti efektif dan
pasien sering menjalani prosedur berulang meskipun telah mendapatkan terapi medis jangka
panjang.

Kekambuhan umumnya terjadi pada sekitar 5% -10% pasien (Fokkens et al 2007).

Teknik bedah telah secara signifikan disempurnakan selama 20 tahun terakhir dengan
munculnya operasi sinus endoskopik (ESS) (Kennedy et al, 2001).

Dengan adanya pemahaman yang lebih baik tentang anatomi kompleks osteomeatal (Gambar
3) dan jalur clearance mucocilliary, ESS sekarang menjadi andalan pengobatan untuk NP.
Dalam Evaluasi Program Penilaian Teknologi Penilaian Penelitian Kesehatan Nasional,
kekambuhan polip adalah sebesar 28% setelah operasi sinus endoskopik dibandingkan
dengan polipektomi intranasal yaitu sebesar 35% (Dalziel et al, 2003).

Hopkins dan rekannya menganalisis 1848 pasien dengan diagnosa polip hidung yang
berpartisipasi dalam Audit Perbandingan Bedah poliposis nasal dan Rhinosinusitis untuk
membandingkan antara ESS dan polipektomi intranasal. Hasilnya gejala yang timbul setelah
operasi baik antara ESS maupun polipektomi intranasal tidak berbeda secara signifikan
setelah 12 dan 36 bulan pasca operasi, namun operasi perbaikan sering dilakukan pada
kelompok polipektomi intranasal dalam dua belas bulan pertama setelah operasi (Hopkins et
al 2006).

6
Meskipun demikian, banyak ahli bedah terus melakukan polipektomi avulsion sederhana
dengan hasil yang baik (Larsen et al 1997). ESS dapat memperbaiki drainase sinus dengan
cara pengangkatan NP secara hati-hati atau jaringan lunak lainnya yang menghalangi ostia
sinus alami (Messerklinger et al 1987). Hal ini dapat dilakukan dengan polipektomi
tradisional, instrumen baja dingin, atau teknik debridemen mikro yang semakin umum,
dengan menggunakan pisau bedah yang dikombinasikan dengan teknik suction dan irigasi.
Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa prosedur sinus endoskopi radikal yang
melibatkan sputoidektomi fronto lengkap memiliki manfaat yang lebih besar (Jacobsen et al
2000). Operasi yang lebih luas dapat menyebabkan peningkatan risiko komplikasi operasi
namun sampai saat ini tidak ada studi perbandingan antara operasi radikal dan terbatas.

Ada sedikit keraguan bahwa ESS menawarkan visualisasi dan ruang lingkup yang lebih baik
untuk operasi presisi. Pada micro-debrider (Gambar 4) pengangkatan NP dapat dilakukan
secara akurat dengan tetap mempertahankan struktur anatomis normal seperti turbinat.
Komplikasi serius dari ESS jarang terjadi, tetapi pasien harus diberi konseling sebelum
operasi mengenai risiko potensial yang mungkin terjadi pasca operasi seperti kehilangan
penglihatan, kerusakan pada arteri karotis interna, dan kebocoran cairan cerebrospinal setelah
trauma yang tidak disengaja ke dasar tengkorak (Stammberger et al, 1999).

Hal yang penting dilkakukan secara teratur adalah pembersihan rongga hidung dengan
menggunakan larutan garam yang bertujuan untuk mencegah sekret dan adhesi pada mukosa
hidung. Penggunaan steroid intranasal topikal juga merupakan bagian rutin dari perawatan
setelah pembedahan untuk mencegah kekambuhan penyakit. Rowe Jones dkk (2005)
melakukan penelitian terhadap 109 pasien secara prospektif selama 5 tahun pasca operasi.
Tujuh puluh dua pasien menghadiri kunjungan follow up 5 tahun. Hasilnya menunjukkan
bahwa secara signifikan kelompok yang rutin melakukan pembersihan rongga hidung lebih
baik daripada kelompok yang tidak mendapat perlakuan selama pada 5 tahun (Rowe Jones et
al 2005).

Anda mungkin juga menyukai