Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Atresia biliaris adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan dari sistem
bilier ekstra hepatik. Karakteristik dari atresia biliarias adalah tidak terdapatnya
sebagian sistem bilier antara duodenum dan hati sehingga terjadi hambatan
aliran empedu dan menyebabkan gangguan fungsi hati tapi tidak menyebabkan
Kern icterus karena hati masih tetap membentuk konyugasi bilirubin dan tidak
dapat menembus blood brain barrier. Atresia bilier terjadi selama periode fetus
atau neonatal kemungkinan trigernya adalah salah satu atau kombinasi faktor
infeksi dengan virus atau bakteri, masalah system imun, komponen empedu
yang abnormal, gangguan dari liver dan duktus biliaris (Roberts EA, 2004).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier
pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Dari 904 kasus atresia bilier
yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier di dapatkan pada ras Kaukasia
(62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika
(1,5%).
Umumnya bayi dengan atresia bilier lahir dengan berat badan normal.
Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa
air kemih bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin dalam darah dengan
konsentrasi tinggi masuk ke dalam urin), tinja berwarna pucat / acholic (karena
kurangnya bilirubin yang diserap), kulit berwarna kuning, berat badan tidak
bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat, hati membesar.
Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier.Bila tindakan
bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannyaadalah 86%, tetapi
bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu makaangka keberhasilannya
hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia bilierharus ditegakkan sedini
mungkin, sebelum usia 8 minggu (Dr.Parlin.1991.Atresia Bilier . Jakarta: Ilmu
Kesehatan Anak FK UI).
Menurut kepustakaan hanya kira-kira 16% yang teoritis dapat ditolong dengan
operasi dan hanya 6,3% yang dapat disembuhkan. Prognosis yang tidak dapat

1
dikoreksi tentunya buruk, penderita akan meninggal akibat sirosis bilier dan
komplikasinya (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985). Dengan
mengetahui bahaya tersebut, penting bagi perawat untuk mempelajari konsep
atresia bilier dan asuhan keperawatannya.

1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Dapat menganalisa asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia bilier
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi dari Atresia bilier
2. Menjelaskan etiologi dari Atresia bilier
3. Menjelaskan klasifikasi dari Atresia bilier
4. Menjelaskan patofisiologi dari Atresia bilier
5. Menjelaskan manifestasi klinis dari Atresia bilier
6. Menjelaskan komplikasi dari Atresia bilier
7. Menjelaskan penatalaksanaan medis dari Atresia bilier
8. Menjelaskan asuhan keperawatan klien anak dengan Atresia bilier

1.3 MANFAAT

1.3.1 Bagi Mahasiswa


Mahasiswa dapat lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan Atresia
bilier
1.3.2 Bagi Perawat
Perawat atau tenaga kesehatan memiliki pengetahuan yang lebih luas
tentang Atresia bilier sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan
secara profesional.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fungsi Sistem Bilier


Kandung empedu atau gallbladder merupakan organ tubuh yang
berbentuk seperti buah terong, memiliki ukuran 30-60 cc, terletak tepat di
bawah hati bagian kanan. fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan
cairan empedu yang berasal dari hati. Fungsi empedu dikendalikan oleh
enzim cholecystokinin pancreozymin (CCK-PZ) yang dilepaskan dari
mukosa usus halus karena adanya rangsangan makanan yang masuk
kedalam usus. CCK akan merangsang kandung empedu untuk berkontraksi
dan mengeluarkan cairan empedu yang selanjutnya akan digunakan untuk
membantu melarutkan lemak di dalam usus. (J.B Suhardjo, 2009)

Sumber : dr. J. B Suhardjo B. Cahyono, Sp. PD. 2009. Batu Empedu.


Yogyakarta : Kanisius.

Kandung empedu terbagi dalam sebuah fundus, badan, dan leher,


dan terdiri atas tiga pembungkus:

 Di sebelah luar pembungkus serosa peritoneal.


 Di sebelah tengah jaringan berotot tak bergaris, dan

3
 Di sebelah dalam membrane mukosa, yang bersambung
dengan lapisan saluran empedu. Membran mukosanya memuat sel epitel
silinder yang mengeluarkan sekret musin dan cepat mengabsorpsi air dan
elektrolit, tetapi tidak garam empedu atau pigmen, maka karena itu
empedunya menjadi pekat.
Ekskresi bilirubin. Sel darah merah atau eritrosit merupakan bagian
dari alat transportasi tubuh. Eritrosit memiliki fungsi khusus membawa
oksigen untuk dikirim ke setiap sel tubuh. Oksigen ini digunakan sebagai
bahan pembakar pembentuk energi tubuh.sel darah merah di dalam tubuh
berumur 120 hari. Setelah masa tugasnya habis, sel darah merah akan
dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin ini akan dikirim ke hati untuk diubah
dari bilirubin yang tidak larut dalam air (bilirubin tidak terkonjugasi)
menjadi bilirubin yang dapat larut dalam air (bilirubin terkonjugasi). Proses
pengubahan ini bertujuan agar bilirubin dapat dibuang dengan mudah ke
dalam usus (bilirubin memberi warna tinja menjadi kuning kecoklatan) dan
sebagian lagi dibuang melalui ginjal setelah diubah bentuknya menjadi
urobilin.
Ekskresi cairan empedu. Cairan empedu dibentuk dan dialirkan dari
hati melalui saluran empedu di dalam hati (kanakuli empedu) menuju duktus
koleduktus dan kandung empedu. Cairan empedu dapat disimpan di dalam
empedu atau langsung dialirkan ke dalam usus dua belas jari. Hal ini sangat
tergantung pada apakah seseorang dalam keadaan puasa atau tidak. Apabila
seseorang dalam keadaan puasa maka cairan empedu akan disimpan di
dalam kandung empedu karena sfingter Oddi berada dalam keadaan
tertutup. Namun, apabila seseorang makan maka sfingter Oddi akan
membuka dan cairan empedu akan dialirkan ke dalam duodenum.
Sistem ekskresi bilirubin dan cairan empedu dari hati ke usus dapat
dijabarkan sebagai berikut. Bilirubin dan cairan empedu yang diproduksi
dari hati lobus kanan (hati terdiri atas dua belahan/lobus, yaitu lobus kanan
dan kiri) akan dialirkan ke dalam saluran empedu di dalam hati –yang
disebut duktus hepatikus kanan (right hepatic duct). Sementara, bilirubin
dan cairan empedu yang diproduksi dari hati lobus kiri dialirkan ke dalam

4
saluran empedu di dalam hati lobus kiri – yang disebut duktus hepatikus kiri
(left hepatic duct).
Kedua duktus hepatikus tresebut kemudian akan bersatu membentuk
common hepatic ductus. Setelah keluar dari hati, common hepatic ductus
bersama duktus sistikus (saluran untuk mengeluarkan cairan empedu dari
kandung empedu) bersatu membentuk common bile duct atau sering disebut
duktus koledokus (untuk selanjutnya akan disebut sebagai duktus
koledokus).
Selanjutnya, aliran bilirubin dan cairan empedu di duktus koledokus
bersatu dengan duktus pankreatikus utama (main pancreatic duc – untuk
mengalirkan enzim-enzim yang diproduksi oleh pankreas). Keduanya
bersama -sama bermuara di papila Vateri, yang berperan sebagai pintu
keluar menuju duodenum (usus du belas jari), diatur oleh suatu klep yang
disebut sfingter Oddi.

Dalam waktu setengah jam setelah makanan masuk, segera setelah


sfinkter Oddi (sfinkter yang menghubungkan duktus sistikus dengan
duodenum) mengendor untuk mengizinkan getah empedu masuk

5
duodenum, kandung empedu berkontraksi: Demikianlah maka aliran getah
empedu tidak kontinyu, tetapi sesuai dengan selang pencernaan bila
makanan masuk duodenum.
Empedu adalah cairan berwarna kuning kehijauan yang diproduksi
oleh hati secara teratur dan dikeluarkan melalui saluran empedu. Dalam
sehari hari memproduksi 600-1000 ml cairan empedu. Sekitar 30-60 ml
empedu disimpan di kandung empedu dan selebihnya dikeluarkan ke
duodenum.
Komposisi cairan empedu sendiri terutama terdiri atas air. Zat-zat
lainnya yaitu garam empedu 70% (terutama asam kolat dan asam
kenodeksikolat), fosfolipid 22% (terutama lesitin), kolesterol 4%, protein
3% dan bilirubin 0,3%. Garam empedu sendiri terdiri atas empat macam
asam empedu, yaitu asam kolat, asam kenodeoksikolat, asam deoksikolat,
dan asam litikolik. Asam-asam empedu ini dibedakan menjadi dua menurut
tempat embentukannya. Asam empedu primer dibentuk di hati, terdiri atas
asam kolat dan asam kenodeoksikolat. Sementara, asam empedu sekunder
dibentuk di usus besar, meliputi asam deoksikolat dan asam litokolat. Cairan
empedu berfungsi membantu pencernaan lemak di dalam duodenum.
Seperti kita ketahui, air dan lemak tidak dapat bersatu. Di dalam tubuh kita
lemak sangat diperlukan tubuh. Tubuh memiliki berbagai jenis lemak,
seperti kolesterol, trigliserida, asam lemak, lesitin, dan sebagainya.
Kolesterol akan digunakan sebagai bahan baku pembentuk hormon tubuh
(hormon estrogen, testosteron, steroid, dan sebagainya). Sementara,
trigliserida dimanfaatkan sebagai cadangan bagi tubuh. Agar lemak dapat
diserap di dalam usus, lemak tersebut harus dapat dibawa dan diolah terlebih
dulu. Agar lemak dapat diolah maka lemak tersebut harus disatukan dengan
air. Dalam hal inilah empedu berperan, yaitu menyatukan air dan lemak
yang dinamakan sebagai misel (micelles). Jadi, misel sebenarnya adalah
campuran garam empedu adan lemak (kolesterol, lesitin) yang bersifat larut
dalam air. Dalam bentuk ini, kolesterol dan lemak lainnya mudah diserap di
dalam usus.

6
Cairan empedu diproduksi oleh sel hepatosit, setiap pengeluaran
cairan empedu distimulasi oleh suatu hormon yang disebut hormon
Cholecitokinin (CCK). Hormon CCK ini memiliki 2 fungsi utama yaitu :
1. Fungsi Kontraksi : ketika proses pengeluaran cairan empedu
2. Fungsi Relaksasi : ketika makanan melewati sfinkter Oddi.
Fungsi Kholeretik : menambah sekresi empedu
Fungsi Kholagogi : menyebabkan kandung empedu mengosongkan diri

Pigmen Empedu (ubar empedu). Pigmen ini dibentuk di dalam


sistem retikulo- endothelium (khususnya limpa dan sumsum tulang
belakang) dari pecahan hemoglobin yang berasal dari sel darah merah yang
rusak dan yang dialirkan ke hati dan kemudian di ekskresikan ke dalam
empedu. Ubar ini diantarkan oleh empedu ke usus halus; beberapa menjadi
sterkobilin, yang mewarnai feses, dan beberapa diabsopsi kembali oleh
aliran darah dan mebuat warna pada urin, yaitu urobilin. Ubar empedu
hanya merupakan bahan ekskresi, dan tidak mempunyai pengaruh atas
pencernaan.
Garam Empedu bersifat digestif dan memperlancar kerja enzimlipase dalam
memecah lemak. Garam empedu juga membantu pengabsorpsian lemak
yang telah dicernakan (gliserin dan asam lemak) dengan cara menurunkan
tegangan permukaan dan memperbesar daya tembus endothelium yang
menutupi vili usus.

2.2 Definisi Atresia Bilier


Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006). Atresia
bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang
akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau
sebagian. (Chandrasoma & Taylor,2005). Atresia biliary merupakan
obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat
terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan

7
kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris,
dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus
Kedokteran Dorland 2002: 206).
2.3 Klasifikasi Atresia Bilier
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2
tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari
saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi
akhir-akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto
enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.

Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat


patologinya. Klasifikasi atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat
patologinya. Klasifikasi atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
a. Tipe I: saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal.
b. Tipe IIa: fibrosis dan saluran empedu umumnya bersifat paten
c. Tipe IIb: umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
d. Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri
sampai pada porta hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi,
sekitar lebih dari 90% kasus

8
9
2.4 Etiologi Atresia Bilier
Penyebab atresia billier ini dapat terjadi karena mekanisme autoimun
yang dapat menyebabkan terjadinya progresivitas dari atresia bilier. Dua
tipe dari atresia biliaris adalah bentuk fetal dan terjadi selama masa fetus
dan timbul ketika lahir, serta bentuk perinatal lebih spesifik dan tidak
terlihat pada minggu kedua sampai minggu keempat kehidupan. Penelitian
terbaru mengatakan infeksi virus pada bayi sangat sugestif merupakan
penyebab dari atresia bilier. Kurang lebih 10 % dari Atresia bilier terutama
bentuk fetal bersama sama dengan kelainan kongenital lainnya seperti
kelainan jantung, limpa dan usus. Atresia biliaris bukan kelainan heriditer
ini terlihat pada bayi kembar atresia bilier tidak terjadi pada kedua bayi
tersebut. Atresia bilier terjadi selama periode fetus atau neonatal
kemungkinan trigernya adalah salah satu atau kombinasi faktor infeksi
dengan virus atau bakteri, masalah system imun, komponen empedu yang
abnormal, gangguan dari liver dan duktus biliaris (Roberts EA, 2004).

2.5 Patofisiologi Atresia Bilier


Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun
mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan
bahwa atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir.
Keadaan ini menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir
kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu
beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif
dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu
intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi
fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang
menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan

10
ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke
dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya
empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi
sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh
pada anak.

2.6 Manifestasi Klinis Atresia Bilier


Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup.
Gejala-gejala termasuk:
1. Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang
sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah.
2. Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada
bayi baru lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari
dari kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak
normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu
setelah lahir
3. Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk
pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring
oleh ginjal dan dibuang dalam urin.
4. Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin
yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat
menjadi bengkak akibat pembesaran hati.
5. Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
6. Degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan
hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak
yang larut dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi,
defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:

11
1. Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan
malnutrisi.
2. Gatal-gatal
3. Rewel
Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal
/ Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut
darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).

2.7 Prognosis Atresia Bilier


Artesia biliear yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
sisrosis progresif dan kematian pada sebagian besar anak usia dua tahun.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis
hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif,
meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik. Angka harapan hidup
untuk pasien yang ditangani dengan transplantasi jangka pendek sekitar 75
%. Menurut Carlassone & Bensonsson (1977) operasi atresia billiaris tipe
“noncorrectable” buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi sampai
sekarang hanya sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila empedu
tidak dikoreksi, 50 % anak akan meninggal pada tahun pertama kehidupan,
25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita
meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal.

Prosedur kasai benar-benar dapat memperbaiki prognosis namun bukan


tindakaan yang menyembuhkan. Kerap kali drainase getah empedu dapat
dicapai jika pembedahan dilakukaan sebelum saluran empedu intrahepatik
mengalami kerusakan yang biasanya terjadi pada usia 8 minggu.

Bila oprasi dilakukan pada usia kurang dari 8 minggu maka angka
keberhasilannya 71-86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia lebih
dari 8 minggu maka angka keberhasilanya hanya 34-43,6 %.

Bila operasi kasai dilakukan pada usia 1-60 hari, 61-70 hari, 71-90 hari,
dan lebih dari 90 hari maka masing-masing akan emberikan keberhasilan
hidup sebesar 73%, 35%,23%, dan 11%. Sedangkan bila operasi tidak

12
dilakukan maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10 %, dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Jadi factor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi lebih
dari 60 hari. ( Wong, Donna L.2008)

2.8 Komplikasi Atresia Bilier


a. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus.
Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati ini
akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan
mengakibatkan gagal hati.
b. Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian
oleh prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan
penggumpalan.
c. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegali.
Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak
tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal
tumbuh.
d. Hipertensi portal
e. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah
di esofagus dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang
disebabkan penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
2.9 Penatalaksanaan Atresia Bilier
Tujuan dari pengobatan atresia bilier adalah untuk membuat suatu
lintasan bagi empedu, bila tidak dilakukan pentalaksanaan secara memadai
maka prognosis akan buruk, dan kematian akan terjadi selama 2 tahun
kemudian (Sodikin, 2011).
Prosedur pembedahan dilakukan dengan tekhnik membuat aperture pada
porta hepatis dalam hepar sebagai usaha untuk ke suatu duktus intrahepatik,
lubang dalam hepar ini dapat dianastomosis dengan segmen jejunum.

13
Perawatan prabedah dan pascabedah dilakukan sesuai dengan jenis
pembedahan pada umunya, yaitu berypa perawatan rutin. Hal penting lain
adalah dukungan bagi orang tua , orang tua harus mendapat penejelasan
secara detail dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka, serta
diberikan dorongan untuk menangani dan merawat anak karena prognosis
seringkali buruk, maka mereka juga memerlukan dukungan emosional yang
besar (Sodikin, 2011).
1. Pengobatan Operatif
Pengobatan ditujukan terhadap kolestasis ekstrahepatik totalis (Atresia
Bilier) yaitu dengan melakukan tindakan pembedahan dengan indikasi
operasi minimal, antara lain:
a. Ikterus makin progresif
b. Tinja tetap dempul setelah pengobatan fenobarbital 10 hari
c. Bilirubin total, terutama bilirubin direk terus meningkat
d. Gambaran histologik hati sesuai dengan bendungan
Pada laparotomi, evaluasi dimulai dari kandung empedu untuk
mencari adanya lumen didalam kantong empedu tersebut. Manakala
ditemukan lumen, daerah porta hepatis diseksi untuk hepatoenterostomi.
Pada lumen tersebut dilakukan pula kolangiografi intra operatif untuk
melihat baik tidaknya system bilier intra dan ekstra hepatic, serta melihat
aliran kontras ke dalam duodenum. Dari gambaran aliran kotras ini
ditentukan diagnosis anatomic dan tindakan yang harus dikerjakan
selanjutnya. Komplikasi pasca bedah adalah kolangitis menaik yang
dapat bersifat kolangitis menaik dini (early ascending cholangitis) atau
kolangitis menaik lambat (late cholangitis).
Kolangitis menaik dini biasanya fatal, sedangkan yang lambat tidak,
tetapi hampir selalu terjadi pada pasca operasi. Adapun tanda kolangitis
menaik yaitu badan panas, tampak ikterik, perut membuncit,
leukositosis, anemia, peningkatan laju endap darah, GOT dan GPT serta
bilirubin darah. Untuk mencegah kolangitis menaik ini ada teknik operasi
kasai yang memodifikasi kimura.

14
Pada kasus tertentu (end stage liver disease) dapat dilakukan
transplantasi hati untuk pengobatan kolestasis intra hepatic. Indikasi
utama transplantasihati adalah atresia bilier dengan keberhasilan sekitar
60-70%. Pada bulan juni 1983, Konferensi Transplantasi Hati
memutuskan bahwa transplantasi hati dapat dipakai sebagai satu
alternative untuk memperpanjang usia penderita dengan kelainan hati
berat. Namun, sebaiknya dilakukan setelah tercapai pertumbuhan yang
maksimal.
2. Terapi medikamentosa
a. Pengobatan Malnutrisi
1) Malabsorbsi lemak diberikan formula yang mengandung medium
chain triglyceride, contohnya susu pepti junior. Sedangkan protein
cukup dengan memakai protein nabati dan sebagai sumber kalori
dipakai glukosa polimer.
2) Defisiensi vitamin yang larut dalam lemak :
a) Defisiensi vitamin A diberikan aquasol A dengan dosis 10.000-
15.000 IU tiap hari
b) Defisiensi vitamin E diobati dengan pemberian alfa tokoferol
50-400 IU per oral
c) Defisiensi vitamin D diberikan pegobatan 5000-8000 IU
vitamin D2 atau 3-5 mg/kgBB/hari hidroksikole kalsiferol
d) Defisiensi vitamin K diberikan pengobatan dengan pemberian
2,5-5 µg vitamin K yang larut dalam air berupa derivate dari
menadion.
b. Retensi zat toksin
1) Penumpukan asam empedu dapat diberikan obat koleretik seperti
fenobarbital yang berguna untuk :
a) Merangsang enzim glukurenil transferase yang menguah
bilirubin indirek (neurotoksik) menjadi bilirubin direk yang
larut dalam air.Enzim ini merangsang juga mengikatan asam
litokolat yang berpatoksik dengan glisin yang tidak toksis.

15
b) Merangsang sitokrom P450 untuk oksigenasi dalam proses
metabolism benda asing dan toksis oleh hati.
c) Merangsang sel hati yang berada di sekitar vena porta
menerobos garam mepedu ke hepatosit yang berada di daerah
vena sentralis sehingga tidak terjadi stasis atauapun konsentrasi
zat toksis diturunkan atau diratakan untuk tiap sel hati.
d) Merangsang aktivitas dan sintesis enzim Na+ K+ ATP-ase yang
berguna untuk memompakan garam empedu dari ruang sinusoid
melalui sel hati terus masuk ke dalam saluran empedu secara
aktif.
Untuk memotong siklus enterohepatik asama empedu sekunder
diberikan obat pengikat zat tersebut seperti kolestiramin. Obat ini
diberikan dengan dosis 1 gram tiap kg berat badan per hari dibagi 6
kali atau sama dnegan frekuensi pemberian susu.

2.10 Pemeriksaan Diagnostik Atresia Bilier


1. Laboratorium
a. Tes Biokimia
Tes biokimia pada atresia bilier memperlihatkan hiperbilirubinemia,
biasanya 6-12 mg/dL, dengan 50% terkonjugasi. Transaminase dan
alkali fosfatase meningkat 2-3 kali nilai normal. γ-glutamil
transeptidase biasanya tinggi dengan nyata sekali. Biasanya, fungsi
sintetik hepar mendekati normal dengan level serum albumin normal.
Peningkatan ringan PT biasanya sebagai respon terhadap asupan
vitamin K parenteral. Tes serologis harus dilaksanakan untuk
mengecualikan etiologi infeksi (hepatitis A, B, C dan titer TORCH).
Defisiensi α1-antitripsin dapat menyerupai atresia bilier dan
diasingkan dengan menentukan level AAT dan fenotip. Hitung darah
lengkap standar dengan pemeriksaan apusan perifer secara luas
mengecualikan penyebab hematologis pada kolestasis.

b. Pemerikasaan Urin

16
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini
menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.

c. Pemeriksaan Feses

Warna tinja akolik karena yang memberi warna pada


tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.

d. Biopsi Hati

Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan


dengan pengambilan jaringan hati.

e. USG Abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda
Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
2. Biopsi Liver
Dengan jarum yang khusus dapat diambil bagian liver yang tipis dan
dibawah mikroskop dapat dinilai obstruksi dari sistim bilier. Biopsi liver
untuk melihat struktur organ hari apakah terdapat sirosis hati atau
kelainan lainnya. Pada biopsi ini ditemukan proliferasi duktulus biliaris,
ada sumbatan empedu dan edema porta atau perilobuler dan fibrosis,
dengan arsitek lobuler hati dasar utuh.
3. Imaging
a) USG
- Hati dapat membesar atau normal dengan struktur parenhim yang
inhomogen dan ekogenitas yang tinggi tertama daerah periportal
akibat fibrosis
- Nodul-nodul cirrhosis hepatis
- Tidak terlihat vena porta perifer karena fibrosis
- Tidak terlihat pelebaran duktus biliaris intra hepatal
- Triangular cord di daerah porta hepatis: daerah triangular atau
tubular ekogenik lebih spesifik untuk atresia bilier extra hepatal

17
- Kandung empedu tidak ada atau mengecil dengan panjang <1.5 cm.
Kandung empedu biasanya lebih kecil dari 1,9 cm,dinding yang tipis
atau tidak terlihat ,ireguler dengan kontur yang lobuler(gall bladder
ghost triad), kalau ada gambaran ini dikatakan sensitivitas 97 % dan
spesifisitas 100%.
- Gambaran kandung empedu yang normal (panjang >1,5 cm dan
lebar >4 cm ) dapat terlihat sekitar 10 % kasus
- Tanda hipertensi portal dengan terlihatnya peningkatan ekogenitas
daerah periportal.
b) Skintigrafi : HIDA scan
Pemeriksaan skintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5
hari kemudian sesudah 5 hari dari intake phenobarbital, ditangkap
oleh hepar tapi tidak dapat keluar kedalam usus, karena tidak dapat
melewati sistim bilier yang rusak. Tes ini sensitif untuk atresia bilier
(100%) tapi kurang spesifik (60 %). Pada keadaan Cirrhosis
penangkapan pada hepar sangat kurang
c) Kholangiographi
1. Intra operatif atau perkutaneus kholangiografi melalui kandung
empedu yang terlihat :
- Gambaran atresia bilier bervariasi
- Pengukuran dari hilus hepar jika atresia dikoreksi secara
pembedahan dengan menganastomosis duktus biliaris yang
intake.
2. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
Dengan menyuntik senyawa penontras dapat dilihat langsung
keadaan duktus biliaris ekstra hepatal seperti:
- Obstruksi duktus kholedokus
- Dapat melihat distal duktus biliaris ekstra hepatal distal dari
duktus hepatikus komunis

18
Dapat melihat kebocoran dari sistim bilier ekstra hepatal daerah
porta hepatis
4. MRCP
Dapat melihat dengan jelas duktus biliaris ekstra hepatal untuk
menentukan ada tidaknya atresia bilier. Peninggian sinyal daerah
periportal pada T2 weighted images
5. Intubasi Duodenum
Jarang dilakukan untuk diagnosis Atresia bilier. Nasogastrik tub
diletakkan didistal duodenum. Tidak adanya bilirubin atau asam
empedu ketika diaspirasi menunjukkan kemungkinan adanya
obstruksi.

19
WOC Atresia Bilier

Faktor ibu: Kurangnya nutrisi saat


Ibu hamil terinfeksi virus CMV Idiopatik kongenital hamil, usia terlalu tua, terpapar zat
kimia

Inflamasi berkepanjangan Tidak adanya/ kecilnya traktus


bilier ekstra hepatik Mutasi, kurang asam folat

Kerusakan progresif duktus


bilier ekstra hepatik Kesalahan saat diferensiasi

Obstruksi total cairan empedu Atresia Bilier Tidak terbentuk duktus empedu

Tipe I Tipe II Tipe III


Atresia sebagian duktus Obliterasi duktus hepatikus komunis Obliterasi sampai hilus
hepatikus komunis

Cairan asam empedu kembali ke


hati

Aliran abnormal empeduke Itching dan akumulasi toksik Peradangan, edema, degenerasi hati
usus terganggu

Hematogen mengendap di kulit Hati menjadi fibrosis dan sirosis


Gg. Penyerapan lemak
Pembesaran hepar
Pruiritis (gatal) pada kulit
Kekurangan vit A.D.E.K
Distensi abdomen
MK: Gg. Integritas Kulit
Asupan nutrisi terganggu
Penekanan diafragma
Bayi rewal
Malabsorbsi, BB turun,
Ekspansi paru tidak maksimal
kurang dari normal
MK: Ansietas
Oksigen berkurang
MK: Nutrisi Kurang
dari Kebutuhan Gizi/ kebtuhan tubuh tidak tercukupi
Kebutuhan Oksigen
meningkat
Pertumbuhan terganggu
Hiperventilasi
Perkembangan terganggu
MK: Pola Napas tidak
MK: Gangguan Perkembangan Efektif

20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3. 1 Asuhan Keperawatan Umum


A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya.
Hal ini dilakukan sebagai standar prosedur yang harus dilakukan
untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya Atresia billiaris lebih
banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari
15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak
laki-laki adalah 2:1

2. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice
dalam 2 minggu sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna
kuning pada kulit dan mata bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi
karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna
kuning pada sel darah merah.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi
dalam 2 minggu atau 2 bulan lebih, apabila anak buang air besar
tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga mengalami distensi
abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan
kadang disertai letargi (kelemahan).

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah
dengan kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi
empedu ektrahepatik. yang akhirnya menimbulkan masalah dan
menjadi factor penyebab terjadinya Atresia Biliaris ini.

21
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT,
Hepatitis, dan Polio.

5. Riwayat Perinatal
1. Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah
menderita infeksi penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes
mellitus, dan infeksi virus rubella
2. Intranatal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran
bayi terinfeksi virus atau bakteri selama proses persalinan.
3. Postnatal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang
memperhatikan personal hygiene saat merawat atau bayinya.
Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi lainnya
juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.

6. Riwayat Kesehatan Keluarga


Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya,
khususnya pada ibu pernah menderita penyakit terkait dengan
imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus
rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini, maka tubuh anak
dapat menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain
itu terdapat kemungkinan adanya kelainan kongenital yang memicu
terjadinya penyakit atresia biliaris ini.

7. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan


Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial,
motorik kasar, motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan
pada pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah laku pasien
maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia
biliaris, kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi kurang optimal

22
karena terjadi kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga
akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.

8. Keadaan Lingkungan yang Mempengaruhi Timbulnya Penyakit


Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada
anak yaitu pola kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang
mencuci tangan saat merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu,
kebersihan botol atau putting ketika menyusui bayi juga kurang
diperhatikan.

9. Pola Fungsi Kesehatan


1. Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan
atresia biliaris terjadi gangguan yaitu ditandai dengan anak
gelisah dan rewel yang gejalanya berupa letargi atau kelemahan
2. Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris
adalah ditandai dengan takikardia, berkeringat yang berlebih,
ikterik pada sklera kulit dan membrane mukosa.
3. Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris
yaitu terdapat distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan
urine yang berwarna gelap dan pekat. Feses berwarna dempul,
steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan atresia biliaris
dapat terjadi.
4. Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris
ditandai dengan anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah,
tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas dan
biasanya disertai regurgitasi berulang.
5. Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai
pengetahuan orang tua terhadap penyakit yang diderita klien
6. Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak
terhadap pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.

23
7. Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat
dibutuhkan dalam merawat dan mengobati anak dengan atresia
biliaris.
8. Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan
atau tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak
yang menderita atresia biliaris biasanya tidak ada gangguan
dalam reproduksi.
9. Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan
dan semangat sembuh bagi anak.
10. Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa
agar penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.

10. Pemeriksaan Fisik


Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu
berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan
berlangsung lambat
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala
berikut:
a) Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal
c) Rewel
d) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang
mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
7) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : lemah.
TTV : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada
vena porta

24
Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : Takikardi
RR : Terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang
tertekan (takipnea)

b) Kepala dan leher


Inspeksi : Wajah : Simetris
Rambut : Lurus/keriting, distribusi
merata/tidak
Mata : Pupil miosis, konjungtiva
anemis
Hidung : Kemungkinan terdapat
pernafasan cuping Hidung
Telinga : Bersih
Bibir dan mulut : Mukosa biibir kemungkinan
terdapat ikterik
Lidah : Normal
Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar
thyroid dan limfe pada leher

c) Dada
Inspeksi : Asimetris, terdapat tarikan otot bantu
pernafasan dan tekanan pada otot diafragma
akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi : Denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri
tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
Auskultasi : Tidak terdengar suara ronchi, kemungkinan
terdengar bunyi wheezing

d) Abdomen

25
Inspeksi : Terdapat distensi abdomen
Palpasi : Dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Kemungkinan terjadi pada bising usus

e) Kulit : Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning


(jaundice)
f) Ekstremitas : Tidak terdapat odem pada pada extremitas

11. Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin
total < 12 mg/dl) karena kerusakan parenkim hati akibat
bendungan empedu yang luas.
b) Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase
alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi
lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)

2. Diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab
kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran
empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu
cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan
empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui
kemampuan hati memproduksi empedu dan mengekskresikan
ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak
ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi
katresia intra hepatik

26
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat
kehijauan dan noduler. Kandung empedu mengecil karena
kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas

B. Diagnosa Keperawatan
a) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun
dan konjungtiva anemis
b) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
c) Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan
progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
d) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea
dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual
dan muntah pasien
e) Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
f) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

C. Rencana Asuhan Keperawatan


a) Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan
lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan


1. Kaji distensi abdomen
keperawatan 2 x 24 jam selama
2. Pantau masukan nutrisi dan
proses keperawatan, diharapkan
perhatikan frekuensi muntah klien
pola nutrisi pasien menjadi adekuat
3. Timbang BB setiap hati
Kriteria Hasil:
4. Berikan diet yang sedikit namun
a. BB pasien stabil
sering

27
b. Konjungtiva tidak anemis 5. Atur kebersihan oral sebelum
makan

6. Konsulkan dengan ahli diet sesuai


indikasi

7. Berikan diet rendah lemak, tinggi


serat, dan batasi makanan penghasil
gas

8. Kolaborasikan pemberian
makanan yang mengandung MCT
sesuai indikasi

9. Monitor kadar albumin, protein


sesuai program

10. Berikan vitamin-vitamin larut


lemak (A, D, E, K)

b) Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan


peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak
pada pasien

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan: Setelah dilakukan


1. Kaji distensi abdomen
perawatan 2 x 24 jam, diharapkan
2. Kaji RR, kedalaman nafas, dan
pasien menunjukkan tanda-tanda
kerja pernafasan
pola nafas yang efektif
3. Awasi klien agar tidak sampai
Kriteria Hasil:
mengalami leher tertekuk
a. RR mencapai 30-40 napas/mnt
4. Posisikan klien semi ekstensi atau
eksensi pada saat beristirahat

28
b. Kedalaman inspirasi dan
5. Kolaborasikan operasi apabila
kedalaman bernafas dibutuhkan

c. Tidak ada penggunaan otot bantu


nafas pada pasien

c) Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan


progresif pada duktusbilier ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan
suhu tubuh, dan pasien demam

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan: setelah dilakukan


1. Berikan kompres air biasa pada
pemeriksaan keperawatan 1 x 24 daerah aksila, kening, leher, dan
jam diharapkan suhu tubuh pasien lipatan paha
akan kembali menjadi normal
2. Pantau suhu minimal setiap 2 jam
Kriteria Hasil: sekali disesuaikan dengan
kebutuhan
a. Nadi dan pernapasan dalam
rentang normal 3. Berikan pasien pakaian tipis

b. Suhu normal 36,50 – 37,50 4. Menipulasi lingkungan menjadi


senyaman mungkin seperti
penggunaan kipas angin atau AC

5. Kolaborasikan pemberian obat


anti piretik sesuai kebutuhan

d) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan


vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan
muntah pasien

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

29
Tujuan: pasien akan
1. Pantau asupan dan carian pasien
mempertahankan keseimbangan perjam (cairan infus, susu per NGT,
cairan dan elektrolit setelah atau jumlah ASI yang diberikan
dilakukan perawatan didalam rumah
2. Periksa feses pasien tiap harinya
sakit selama 2 x 24 jam
3. Pantau lingkar perut pasien
Kriteria Hasil:
4. Observasi tanda-tanda dehidrasi
a. Kembalinya pengisian kapiler
darah kurang dari 3 detik 5. Kolaborasikan pemeriksaan
elektrolit pasien, kadar protein total,
b. Turgor kulit membaik
albumin, nitrogen urea darah dan
c. Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam kreatinin serta darah lengkap

e) Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan: pola BAB pasien normal1. Evaluasi jenis intake makanan


setelah perawatan yang dilakukan 22. Monitor kulit sekitar perianal
x 24 jam terhadap adanya iritasi dan ulserasi
3. Ajarkan pada keluarga penggunaan
Kriteria Hasil:
obat anti diare
a. Tidak ada diare 4. Instruksikan pada pasien dan
keluarga untuk mencatat warna,
b. Elektrolit normal
volume, frekuensi dan konsistensi
c. Asam basa normal feses
5. Kolaborasi jika tanda dan gejala
diare menetap
6. Monitor hasil Lab (elektrolit dan
leukosit)

30
7. Monitor turgor kulit, mukosa oral
sebagai indikator dehidrasi
8. Konsultasi dengan ahli gizi untuk
diet yang tepat

D. Implementasi Keperawatan
a) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun
dan konjungtiva anemis
1. Mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2. Memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3. Menimbang berat badan pasien
4. Mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun
sering
5. Mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
6. Mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
7. Memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan
penghasil gas
8. Memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
9. Memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein
sesuai program
10. Memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
b) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
1. Mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2. Mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3. Mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan
leher klien semi ekstensi saat istirahat
4. Mempersiapkan operasi apabila diperlukan

31
c) Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan
progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
1. Memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan
lipatan paha
2. Memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
3. Memberikan pasien pakaian tipis
4. Memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien
dengan penggunaan AC / kipas angin
d) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea
dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual
dan muntah pasien
1. Memantau asupan dan cairan pasien perjam
2. Memeriksa feses pasien setiap hari
3. Memantau lingkar perut bayi
4. Mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5. Mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total
termasuk albumin, nitrogen urea, darah dan kreatinin serta darah
lengkap
e) Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1. Mengvaluasi jenis intake makanan
2. Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan
ulserasi
3. Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4. Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat
warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses
5. Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6. Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7. Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator
dehidrasi
8. Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat

32
E. Evaluasi
a) Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh
berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau
menghabiskan makanannya
O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi

b) Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan


peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak
pada pasien
S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi

c) Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat


kerusakan progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi

d) Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan


tingginya nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya
frekuensi mual dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah
makan

33
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e) Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan
malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi

34
3.2 Asuhan Keperawatan Kasus
An. N, perempuan, 7 minggu, dibawa ke Rumah sakit dengan keluhan1
bulan pasca kelahiran berangsur kulit tampak kuning, tinja pucat, air kencing
berwarna gelap, demam, rewel, perut membesar, dan sulit bernapas. Dari
hasil pemeriksaan diketahui adanya hipertensi vena porta, peningkatan kadar
bilirubin dan hasil Rontgen terdapat pembesaran hati.

A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
1. Nama : An. N
2. Jenis kelamin : Perempuan
3. Tanggal lahir : 27 Pebruari 2016
4. Umur : 7 minggu
5. Agama : Islam
6. Pendidikan :-
7. Pekerjaan :-
8. Status : Belum menikah
9. Alamat : Sananwetan Kota Blitar
10. Tanggal Masuk : 19 September 2016
11. Jam : 07.00 WIB
12. Diagnosa Medis : Atresia Bilier
b. Identitas Penanggung Jawab
1. Nama : Ny. W
2. Umur : 28 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : D3
6. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
7. Alamat : Sananwetan Kota Blitar
8. Hubungan : Ibu klien
c. Riwayat Kesehatan

35
1. Keluhan Utama : Ibu klien mengatakan anaknya demam dan
rewel
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Demam selama 3 hari, rewel,
perut membesar, dan kulit tampak kuning, perut klien buncit
dank eras, kulit tampak kuning, kencing klien berwarna
gelap, feses klien berwarna pucat.
3. Riwayat penyakit sebelumnya : -
4. Riwayat Tumbuh Kembang Anak :
- Imunisasi : B-1 diberikan waktu 12 jam setelah lahir, BCG
diberikan saat lahir, polio oral diberikan bersama dengan
DPT
- Status Gizi : Didapatkan dari table Z-score dengan
menggunakan patokan BB, TB, dan umur. Hasil : BB
rendah (kurang gizi)
5. Riwayat Kesehatan Keluarga : -
2. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breathing) : RR meningkat 52x/menit, suhu 38,6 C,
penggunaan otot pernapasan, pernapasan cuping hidung, napas
pendek.
2. B2 (Blood) : TD meningkat 150/100 mmHg, HR meningkat
103x/menit (tachicardi)
3. B3 (Brain) : Rewel, gangguan mental, gangguan kesadaran
4. B4 (Bladder) : Perubahan warna urin menjadi gelap
5. B5 (Bowel) : Anoreksia, BB turun, distensi abdomen,
hepatomegali, dehidrasi
6. B6 (Bone) : kelemahan, edema perifer, pruritus, kerusakan kulit,
perdarahan
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
- Trombosit : 242.000 (150-400 x 103/uL)
- Bilirubin direct : 1,23 (<0,25 mg/dL)
- Bilirubin indirect : 1,52 (0,5 mg/dL)

36
- Bilirubin total : 2,75 (<1,1 ,mg/dL)
- Albumin : 3,8 (3,5-4,5 g/dL)
- PCO2 : 40 (35-45 mmHg)
- PO2 : 85 (80-100 mmHg)
- HCO3 : 22,3 (19-25 mmol/L)
- SaO2 : 98%
- Glukosa : 0 ((-))
- Bilirubin : +3 ((-))
- pH : 7,3 (7,37-7,43)

B. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
DS: Pembesaran hepar Pola Napas Tidak
Keluarga klien Efektif
Distensi abdomen
mengatakan bahwa
klien kesulitan
Penekanan diafragma
bernapas
DO: Ekspansi paru tidak maksimal

RR meningkat
Oksigen berkurang
52x/menit
T= 38,6C
Kebutuhan Oksigen meningkat

Hiperventilasi

Pola Napas tidak Efektif


DS: Aliran abnoral empedu ke Nutrisi Kurang Dari
Keluarga klien usus terganggu Kebutuhan
mengatakan bahwa
Gg. Penyerapan lemak
klien tidak nafsu
makan Kekurangan vit A.D.E.K
DO:
Anoreksia Asupan nutrisi terganggu

37
BB menurun
Distensi abdomen Malabsorbsi, BB turun,
kurang dari normal

Nutrisi Kurang Dari


Kebutuhan

DS: Itching dan akumulasi toksik Gangguan Integritas


Keluarga klien Kulit
mengatakan bahwa Hematogen mengendap di kulit

kulit klien kering


Pruiritis (gatal) pada kulit
DO:
Kulit tampak kuning
Gg. Integritas Kulit

C. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan distensi abdomen
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan
penyerapan lemak
3. Gangguan intergritas kulit berhubungan dengan pruiritis
D. Interverensi Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan distensi abdomen
(00032)
Kelas :4
Domain : 4
NOC NIC
Respiratory status (0415) Respiratory Monitoring (3350)
Setelah dilakukan perawatan 1. Monitor RR, ritme,
selama 2 x 24 jam pola nafas kedalaman, dan effort
pasien kembali normal dengan napas
indicator: 2. Monitor saturasi oksigen
1. Respiratory rate (041501) secara rutin
2. Ritme napas (041502)

38
3. Kedalaman inspirasi 3. Monitor sekresi pernapasan
(041503) pasien
4. Saturasi oksigen (0415108) 4. Monitor peningkatan
kegelisahan, ansietas, dan
kekurangan udara pasien

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan


penyerapan lemak
Domain : 2
Kelas :1
NOC NIC
Weight : Body Mass (1006) Nutrition Therapy (1120)
Setelah dilakukan perawatan 1. Lengkapi penilaian nutrisi
selama 2x24 jam, kebutuhan yang sesuai
nutrisi pasien tercukupi dengan 2. Monitor makanan/cairan
kriteria hasil : yang dicerna dan hitung
1. Berat badan (100601) intake kalori harian yang
2. Persentase lemak tubuh sesuai
(100606) 3. Monitor ketepatan diet
3. Persentase lingkar kepala nutrisi harian yang sesuai
(100607) 4. Pilih supplement nutrisi
4. Persentase berat badan yang tepat
(100609)

3. Gangguan intergritas kulit berhubungan dengan pruiritis


Domain : 11
Kelas :2
NOC NIC
Tissue Integrity : Skin & Mucos Skin Surveillance (3590)
Membranes (1101) 1. Inspeksi kulit dan membran
mukosa dari kemerahan,

39
Setelah dilakukan perawatan 2x24 panas yang ekstrem, edema,
jam, integritas kulit pasien kembali atau drainasi
normal dengan kriteria hasil : 2. Monitor warna dan suhu
1. Suhu kulit (110101) kulit
2. Elastisitas (110103) 3. Monitor kulit dan
3. Tekstur (110108) membrane mukosa pada
4. Intergritas kulit (110113) daerah yang berubah
warna, memar, dan
mengalami kerusakan
4. Monitor drynase kulit yang
berlebihan dan kelembaban
kulit

40
41

Anda mungkin juga menyukai