Askep Atresia Bilier
Askep Atresia Bilier
PENDAHULUAN
1
dikoreksi tentunya buruk, penderita akan meninggal akibat sirosis bilier dan
komplikasinya (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985). Dengan
mengetahui bahaya tersebut, penting bagi perawat untuk mempelajari konsep
atresia bilier dan asuhan keperawatannya.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Dapat menganalisa asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia bilier
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi dari Atresia bilier
2. Menjelaskan etiologi dari Atresia bilier
3. Menjelaskan klasifikasi dari Atresia bilier
4. Menjelaskan patofisiologi dari Atresia bilier
5. Menjelaskan manifestasi klinis dari Atresia bilier
6. Menjelaskan komplikasi dari Atresia bilier
7. Menjelaskan penatalaksanaan medis dari Atresia bilier
8. Menjelaskan asuhan keperawatan klien anak dengan Atresia bilier
1.3 MANFAAT
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Di sebelah dalam membrane mukosa, yang bersambung
dengan lapisan saluran empedu. Membran mukosanya memuat sel epitel
silinder yang mengeluarkan sekret musin dan cepat mengabsorpsi air dan
elektrolit, tetapi tidak garam empedu atau pigmen, maka karena itu
empedunya menjadi pekat.
Ekskresi bilirubin. Sel darah merah atau eritrosit merupakan bagian
dari alat transportasi tubuh. Eritrosit memiliki fungsi khusus membawa
oksigen untuk dikirim ke setiap sel tubuh. Oksigen ini digunakan sebagai
bahan pembakar pembentuk energi tubuh.sel darah merah di dalam tubuh
berumur 120 hari. Setelah masa tugasnya habis, sel darah merah akan
dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin ini akan dikirim ke hati untuk diubah
dari bilirubin yang tidak larut dalam air (bilirubin tidak terkonjugasi)
menjadi bilirubin yang dapat larut dalam air (bilirubin terkonjugasi). Proses
pengubahan ini bertujuan agar bilirubin dapat dibuang dengan mudah ke
dalam usus (bilirubin memberi warna tinja menjadi kuning kecoklatan) dan
sebagian lagi dibuang melalui ginjal setelah diubah bentuknya menjadi
urobilin.
Ekskresi cairan empedu. Cairan empedu dibentuk dan dialirkan dari
hati melalui saluran empedu di dalam hati (kanakuli empedu) menuju duktus
koleduktus dan kandung empedu. Cairan empedu dapat disimpan di dalam
empedu atau langsung dialirkan ke dalam usus dua belas jari. Hal ini sangat
tergantung pada apakah seseorang dalam keadaan puasa atau tidak. Apabila
seseorang dalam keadaan puasa maka cairan empedu akan disimpan di
dalam kandung empedu karena sfingter Oddi berada dalam keadaan
tertutup. Namun, apabila seseorang makan maka sfingter Oddi akan
membuka dan cairan empedu akan dialirkan ke dalam duodenum.
Sistem ekskresi bilirubin dan cairan empedu dari hati ke usus dapat
dijabarkan sebagai berikut. Bilirubin dan cairan empedu yang diproduksi
dari hati lobus kanan (hati terdiri atas dua belahan/lobus, yaitu lobus kanan
dan kiri) akan dialirkan ke dalam saluran empedu di dalam hati –yang
disebut duktus hepatikus kanan (right hepatic duct). Sementara, bilirubin
dan cairan empedu yang diproduksi dari hati lobus kiri dialirkan ke dalam
4
saluran empedu di dalam hati lobus kiri – yang disebut duktus hepatikus kiri
(left hepatic duct).
Kedua duktus hepatikus tresebut kemudian akan bersatu membentuk
common hepatic ductus. Setelah keluar dari hati, common hepatic ductus
bersama duktus sistikus (saluran untuk mengeluarkan cairan empedu dari
kandung empedu) bersatu membentuk common bile duct atau sering disebut
duktus koledokus (untuk selanjutnya akan disebut sebagai duktus
koledokus).
Selanjutnya, aliran bilirubin dan cairan empedu di duktus koledokus
bersatu dengan duktus pankreatikus utama (main pancreatic duc – untuk
mengalirkan enzim-enzim yang diproduksi oleh pankreas). Keduanya
bersama -sama bermuara di papila Vateri, yang berperan sebagai pintu
keluar menuju duodenum (usus du belas jari), diatur oleh suatu klep yang
disebut sfingter Oddi.
5
duodenum, kandung empedu berkontraksi: Demikianlah maka aliran getah
empedu tidak kontinyu, tetapi sesuai dengan selang pencernaan bila
makanan masuk duodenum.
Empedu adalah cairan berwarna kuning kehijauan yang diproduksi
oleh hati secara teratur dan dikeluarkan melalui saluran empedu. Dalam
sehari hari memproduksi 600-1000 ml cairan empedu. Sekitar 30-60 ml
empedu disimpan di kandung empedu dan selebihnya dikeluarkan ke
duodenum.
Komposisi cairan empedu sendiri terutama terdiri atas air. Zat-zat
lainnya yaitu garam empedu 70% (terutama asam kolat dan asam
kenodeksikolat), fosfolipid 22% (terutama lesitin), kolesterol 4%, protein
3% dan bilirubin 0,3%. Garam empedu sendiri terdiri atas empat macam
asam empedu, yaitu asam kolat, asam kenodeoksikolat, asam deoksikolat,
dan asam litikolik. Asam-asam empedu ini dibedakan menjadi dua menurut
tempat embentukannya. Asam empedu primer dibentuk di hati, terdiri atas
asam kolat dan asam kenodeoksikolat. Sementara, asam empedu sekunder
dibentuk di usus besar, meliputi asam deoksikolat dan asam litokolat. Cairan
empedu berfungsi membantu pencernaan lemak di dalam duodenum.
Seperti kita ketahui, air dan lemak tidak dapat bersatu. Di dalam tubuh kita
lemak sangat diperlukan tubuh. Tubuh memiliki berbagai jenis lemak,
seperti kolesterol, trigliserida, asam lemak, lesitin, dan sebagainya.
Kolesterol akan digunakan sebagai bahan baku pembentuk hormon tubuh
(hormon estrogen, testosteron, steroid, dan sebagainya). Sementara,
trigliserida dimanfaatkan sebagai cadangan bagi tubuh. Agar lemak dapat
diserap di dalam usus, lemak tersebut harus dapat dibawa dan diolah terlebih
dulu. Agar lemak dapat diolah maka lemak tersebut harus disatukan dengan
air. Dalam hal inilah empedu berperan, yaitu menyatukan air dan lemak
yang dinamakan sebagai misel (micelles). Jadi, misel sebenarnya adalah
campuran garam empedu adan lemak (kolesterol, lesitin) yang bersifat larut
dalam air. Dalam bentuk ini, kolesterol dan lemak lainnya mudah diserap di
dalam usus.
6
Cairan empedu diproduksi oleh sel hepatosit, setiap pengeluaran
cairan empedu distimulasi oleh suatu hormon yang disebut hormon
Cholecitokinin (CCK). Hormon CCK ini memiliki 2 fungsi utama yaitu :
1. Fungsi Kontraksi : ketika proses pengeluaran cairan empedu
2. Fungsi Relaksasi : ketika makanan melewati sfinkter Oddi.
Fungsi Kholeretik : menambah sekresi empedu
Fungsi Kholagogi : menyebabkan kandung empedu mengosongkan diri
7
kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris,
dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus
Kedokteran Dorland 2002: 206).
2.3 Klasifikasi Atresia Bilier
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2
tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari
saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi
akhir-akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto
enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.
8
9
2.4 Etiologi Atresia Bilier
Penyebab atresia billier ini dapat terjadi karena mekanisme autoimun
yang dapat menyebabkan terjadinya progresivitas dari atresia bilier. Dua
tipe dari atresia biliaris adalah bentuk fetal dan terjadi selama masa fetus
dan timbul ketika lahir, serta bentuk perinatal lebih spesifik dan tidak
terlihat pada minggu kedua sampai minggu keempat kehidupan. Penelitian
terbaru mengatakan infeksi virus pada bayi sangat sugestif merupakan
penyebab dari atresia bilier. Kurang lebih 10 % dari Atresia bilier terutama
bentuk fetal bersama sama dengan kelainan kongenital lainnya seperti
kelainan jantung, limpa dan usus. Atresia biliaris bukan kelainan heriditer
ini terlihat pada bayi kembar atresia bilier tidak terjadi pada kedua bayi
tersebut. Atresia bilier terjadi selama periode fetus atau neonatal
kemungkinan trigernya adalah salah satu atau kombinasi faktor infeksi
dengan virus atau bakteri, masalah system imun, komponen empedu yang
abnormal, gangguan dari liver dan duktus biliaris (Roberts EA, 2004).
10
ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke
dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya
empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi
sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh
pada anak.
11
1. Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan
malnutrisi.
2. Gatal-gatal
3. Rewel
Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal
/ Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut
darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
Bila oprasi dilakukan pada usia kurang dari 8 minggu maka angka
keberhasilannya 71-86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia lebih
dari 8 minggu maka angka keberhasilanya hanya 34-43,6 %.
Bila operasi kasai dilakukan pada usia 1-60 hari, 61-70 hari, 71-90 hari,
dan lebih dari 90 hari maka masing-masing akan emberikan keberhasilan
hidup sebesar 73%, 35%,23%, dan 11%. Sedangkan bila operasi tidak
12
dilakukan maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10 %, dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Jadi factor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi lebih
dari 60 hari. ( Wong, Donna L.2008)
13
Perawatan prabedah dan pascabedah dilakukan sesuai dengan jenis
pembedahan pada umunya, yaitu berypa perawatan rutin. Hal penting lain
adalah dukungan bagi orang tua , orang tua harus mendapat penejelasan
secara detail dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka, serta
diberikan dorongan untuk menangani dan merawat anak karena prognosis
seringkali buruk, maka mereka juga memerlukan dukungan emosional yang
besar (Sodikin, 2011).
1. Pengobatan Operatif
Pengobatan ditujukan terhadap kolestasis ekstrahepatik totalis (Atresia
Bilier) yaitu dengan melakukan tindakan pembedahan dengan indikasi
operasi minimal, antara lain:
a. Ikterus makin progresif
b. Tinja tetap dempul setelah pengobatan fenobarbital 10 hari
c. Bilirubin total, terutama bilirubin direk terus meningkat
d. Gambaran histologik hati sesuai dengan bendungan
Pada laparotomi, evaluasi dimulai dari kandung empedu untuk
mencari adanya lumen didalam kantong empedu tersebut. Manakala
ditemukan lumen, daerah porta hepatis diseksi untuk hepatoenterostomi.
Pada lumen tersebut dilakukan pula kolangiografi intra operatif untuk
melihat baik tidaknya system bilier intra dan ekstra hepatic, serta melihat
aliran kontras ke dalam duodenum. Dari gambaran aliran kotras ini
ditentukan diagnosis anatomic dan tindakan yang harus dikerjakan
selanjutnya. Komplikasi pasca bedah adalah kolangitis menaik yang
dapat bersifat kolangitis menaik dini (early ascending cholangitis) atau
kolangitis menaik lambat (late cholangitis).
Kolangitis menaik dini biasanya fatal, sedangkan yang lambat tidak,
tetapi hampir selalu terjadi pada pasca operasi. Adapun tanda kolangitis
menaik yaitu badan panas, tampak ikterik, perut membuncit,
leukositosis, anemia, peningkatan laju endap darah, GOT dan GPT serta
bilirubin darah. Untuk mencegah kolangitis menaik ini ada teknik operasi
kasai yang memodifikasi kimura.
14
Pada kasus tertentu (end stage liver disease) dapat dilakukan
transplantasi hati untuk pengobatan kolestasis intra hepatic. Indikasi
utama transplantasihati adalah atresia bilier dengan keberhasilan sekitar
60-70%. Pada bulan juni 1983, Konferensi Transplantasi Hati
memutuskan bahwa transplantasi hati dapat dipakai sebagai satu
alternative untuk memperpanjang usia penderita dengan kelainan hati
berat. Namun, sebaiknya dilakukan setelah tercapai pertumbuhan yang
maksimal.
2. Terapi medikamentosa
a. Pengobatan Malnutrisi
1) Malabsorbsi lemak diberikan formula yang mengandung medium
chain triglyceride, contohnya susu pepti junior. Sedangkan protein
cukup dengan memakai protein nabati dan sebagai sumber kalori
dipakai glukosa polimer.
2) Defisiensi vitamin yang larut dalam lemak :
a) Defisiensi vitamin A diberikan aquasol A dengan dosis 10.000-
15.000 IU tiap hari
b) Defisiensi vitamin E diobati dengan pemberian alfa tokoferol
50-400 IU per oral
c) Defisiensi vitamin D diberikan pegobatan 5000-8000 IU
vitamin D2 atau 3-5 mg/kgBB/hari hidroksikole kalsiferol
d) Defisiensi vitamin K diberikan pengobatan dengan pemberian
2,5-5 µg vitamin K yang larut dalam air berupa derivate dari
menadion.
b. Retensi zat toksin
1) Penumpukan asam empedu dapat diberikan obat koleretik seperti
fenobarbital yang berguna untuk :
a) Merangsang enzim glukurenil transferase yang menguah
bilirubin indirek (neurotoksik) menjadi bilirubin direk yang
larut dalam air.Enzim ini merangsang juga mengikatan asam
litokolat yang berpatoksik dengan glisin yang tidak toksis.
15
b) Merangsang sitokrom P450 untuk oksigenasi dalam proses
metabolism benda asing dan toksis oleh hati.
c) Merangsang sel hati yang berada di sekitar vena porta
menerobos garam mepedu ke hepatosit yang berada di daerah
vena sentralis sehingga tidak terjadi stasis atauapun konsentrasi
zat toksis diturunkan atau diratakan untuk tiap sel hati.
d) Merangsang aktivitas dan sintesis enzim Na+ K+ ATP-ase yang
berguna untuk memompakan garam empedu dari ruang sinusoid
melalui sel hati terus masuk ke dalam saluran empedu secara
aktif.
Untuk memotong siklus enterohepatik asama empedu sekunder
diberikan obat pengikat zat tersebut seperti kolestiramin. Obat ini
diberikan dengan dosis 1 gram tiap kg berat badan per hari dibagi 6
kali atau sama dnegan frekuensi pemberian susu.
b. Pemerikasaan Urin
16
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini
menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
c. Pemeriksaan Feses
d. Biopsi Hati
e. USG Abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda
Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
2. Biopsi Liver
Dengan jarum yang khusus dapat diambil bagian liver yang tipis dan
dibawah mikroskop dapat dinilai obstruksi dari sistim bilier. Biopsi liver
untuk melihat struktur organ hari apakah terdapat sirosis hati atau
kelainan lainnya. Pada biopsi ini ditemukan proliferasi duktulus biliaris,
ada sumbatan empedu dan edema porta atau perilobuler dan fibrosis,
dengan arsitek lobuler hati dasar utuh.
3. Imaging
a) USG
- Hati dapat membesar atau normal dengan struktur parenhim yang
inhomogen dan ekogenitas yang tinggi tertama daerah periportal
akibat fibrosis
- Nodul-nodul cirrhosis hepatis
- Tidak terlihat vena porta perifer karena fibrosis
- Tidak terlihat pelebaran duktus biliaris intra hepatal
- Triangular cord di daerah porta hepatis: daerah triangular atau
tubular ekogenik lebih spesifik untuk atresia bilier extra hepatal
17
- Kandung empedu tidak ada atau mengecil dengan panjang <1.5 cm.
Kandung empedu biasanya lebih kecil dari 1,9 cm,dinding yang tipis
atau tidak terlihat ,ireguler dengan kontur yang lobuler(gall bladder
ghost triad), kalau ada gambaran ini dikatakan sensitivitas 97 % dan
spesifisitas 100%.
- Gambaran kandung empedu yang normal (panjang >1,5 cm dan
lebar >4 cm ) dapat terlihat sekitar 10 % kasus
- Tanda hipertensi portal dengan terlihatnya peningkatan ekogenitas
daerah periportal.
b) Skintigrafi : HIDA scan
Pemeriksaan skintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5
hari kemudian sesudah 5 hari dari intake phenobarbital, ditangkap
oleh hepar tapi tidak dapat keluar kedalam usus, karena tidak dapat
melewati sistim bilier yang rusak. Tes ini sensitif untuk atresia bilier
(100%) tapi kurang spesifik (60 %). Pada keadaan Cirrhosis
penangkapan pada hepar sangat kurang
c) Kholangiographi
1. Intra operatif atau perkutaneus kholangiografi melalui kandung
empedu yang terlihat :
- Gambaran atresia bilier bervariasi
- Pengukuran dari hilus hepar jika atresia dikoreksi secara
pembedahan dengan menganastomosis duktus biliaris yang
intake.
2. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
Dengan menyuntik senyawa penontras dapat dilihat langsung
keadaan duktus biliaris ekstra hepatal seperti:
- Obstruksi duktus kholedokus
- Dapat melihat distal duktus biliaris ekstra hepatal distal dari
duktus hepatikus komunis
18
Dapat melihat kebocoran dari sistim bilier ekstra hepatal daerah
porta hepatis
4. MRCP
Dapat melihat dengan jelas duktus biliaris ekstra hepatal untuk
menentukan ada tidaknya atresia bilier. Peninggian sinyal daerah
periportal pada T2 weighted images
5. Intubasi Duodenum
Jarang dilakukan untuk diagnosis Atresia bilier. Nasogastrik tub
diletakkan didistal duodenum. Tidak adanya bilirubin atau asam
empedu ketika diaspirasi menunjukkan kemungkinan adanya
obstruksi.
19
WOC Atresia Bilier
Obstruksi total cairan empedu Atresia Bilier Tidak terbentuk duktus empedu
Aliran abnormal empeduke Itching dan akumulasi toksik Peradangan, edema, degenerasi hati
usus terganggu
20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
2. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice
dalam 2 minggu sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna
kuning pada kulit dan mata bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi
karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna
kuning pada sel darah merah.
21
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT,
Hepatitis, dan Polio.
5. Riwayat Perinatal
1. Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah
menderita infeksi penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes
mellitus, dan infeksi virus rubella
2. Intranatal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran
bayi terinfeksi virus atau bakteri selama proses persalinan.
3. Postnatal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang
memperhatikan personal hygiene saat merawat atau bayinya.
Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi lainnya
juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.
22
karena terjadi kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga
akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.
23
7. Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat
dibutuhkan dalam merawat dan mengobati anak dengan atresia
biliaris.
8. Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan
atau tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak
yang menderita atresia biliaris biasanya tidak ada gangguan
dalam reproduksi.
9. Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan
dan semangat sembuh bagi anak.
10. Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa
agar penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.
24
Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : Takikardi
RR : Terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang
tertekan (takipnea)
c) Dada
Inspeksi : Asimetris, terdapat tarikan otot bantu
pernafasan dan tekanan pada otot diafragma
akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi : Denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri
tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
Auskultasi : Tidak terdengar suara ronchi, kemungkinan
terdengar bunyi wheezing
d) Abdomen
25
Inspeksi : Terdapat distensi abdomen
Palpasi : Dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Kemungkinan terjadi pada bising usus
2. Diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab
kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran
empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu
cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan
empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui
kemampuan hati memproduksi empedu dan mengekskresikan
ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak
ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi
katresia intra hepatik
26
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat
kehijauan dan noduler. Kandung empedu mengecil karena
kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
B. Diagnosa Keperawatan
a) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun
dan konjungtiva anemis
b) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
c) Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan
progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
d) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea
dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual
dan muntah pasien
e) Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
f) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
27
b. Konjungtiva tidak anemis 5. Atur kebersihan oral sebelum
makan
8. Kolaborasikan pemberian
makanan yang mengandung MCT
sesuai indikasi
28
b. Kedalaman inspirasi dan
5. Kolaborasikan operasi apabila
kedalaman bernafas dibutuhkan
29
Tujuan: pasien akan
1. Pantau asupan dan carian pasien
mempertahankan keseimbangan perjam (cairan infus, susu per NGT,
cairan dan elektrolit setelah atau jumlah ASI yang diberikan
dilakukan perawatan didalam rumah
2. Periksa feses pasien tiap harinya
sakit selama 2 x 24 jam
3. Pantau lingkar perut pasien
Kriteria Hasil:
4. Observasi tanda-tanda dehidrasi
a. Kembalinya pengisian kapiler
darah kurang dari 3 detik 5. Kolaborasikan pemeriksaan
elektrolit pasien, kadar protein total,
b. Turgor kulit membaik
albumin, nitrogen urea darah dan
c. Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam kreatinin serta darah lengkap
30
7. Monitor turgor kulit, mukosa oral
sebagai indikator dehidrasi
8. Konsultasi dengan ahli gizi untuk
diet yang tepat
D. Implementasi Keperawatan
a) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun
dan konjungtiva anemis
1. Mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2. Memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3. Menimbang berat badan pasien
4. Mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun
sering
5. Mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
6. Mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
7. Memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan
penghasil gas
8. Memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
9. Memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein
sesuai program
10. Memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
b) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
1. Mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2. Mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3. Mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan
leher klien semi ekstensi saat istirahat
4. Mempersiapkan operasi apabila diperlukan
31
c) Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan
progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
1. Memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan
lipatan paha
2. Memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
3. Memberikan pasien pakaian tipis
4. Memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien
dengan penggunaan AC / kipas angin
d) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea
dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual
dan muntah pasien
1. Memantau asupan dan cairan pasien perjam
2. Memeriksa feses pasien setiap hari
3. Memantau lingkar perut bayi
4. Mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5. Mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total
termasuk albumin, nitrogen urea, darah dan kreatinin serta darah
lengkap
e) Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1. Mengvaluasi jenis intake makanan
2. Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan
ulserasi
3. Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4. Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat
warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses
5. Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6. Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7. Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator
dehidrasi
8. Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
32
E. Evaluasi
a) Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh
berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau
menghabiskan makanannya
O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
33
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e) Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan
malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
34
3.2 Asuhan Keperawatan Kasus
An. N, perempuan, 7 minggu, dibawa ke Rumah sakit dengan keluhan1
bulan pasca kelahiran berangsur kulit tampak kuning, tinja pucat, air kencing
berwarna gelap, demam, rewel, perut membesar, dan sulit bernapas. Dari
hasil pemeriksaan diketahui adanya hipertensi vena porta, peningkatan kadar
bilirubin dan hasil Rontgen terdapat pembesaran hati.
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
1. Nama : An. N
2. Jenis kelamin : Perempuan
3. Tanggal lahir : 27 Pebruari 2016
4. Umur : 7 minggu
5. Agama : Islam
6. Pendidikan :-
7. Pekerjaan :-
8. Status : Belum menikah
9. Alamat : Sananwetan Kota Blitar
10. Tanggal Masuk : 19 September 2016
11. Jam : 07.00 WIB
12. Diagnosa Medis : Atresia Bilier
b. Identitas Penanggung Jawab
1. Nama : Ny. W
2. Umur : 28 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : D3
6. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
7. Alamat : Sananwetan Kota Blitar
8. Hubungan : Ibu klien
c. Riwayat Kesehatan
35
1. Keluhan Utama : Ibu klien mengatakan anaknya demam dan
rewel
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Demam selama 3 hari, rewel,
perut membesar, dan kulit tampak kuning, perut klien buncit
dank eras, kulit tampak kuning, kencing klien berwarna
gelap, feses klien berwarna pucat.
3. Riwayat penyakit sebelumnya : -
4. Riwayat Tumbuh Kembang Anak :
- Imunisasi : B-1 diberikan waktu 12 jam setelah lahir, BCG
diberikan saat lahir, polio oral diberikan bersama dengan
DPT
- Status Gizi : Didapatkan dari table Z-score dengan
menggunakan patokan BB, TB, dan umur. Hasil : BB
rendah (kurang gizi)
5. Riwayat Kesehatan Keluarga : -
2. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breathing) : RR meningkat 52x/menit, suhu 38,6 C,
penggunaan otot pernapasan, pernapasan cuping hidung, napas
pendek.
2. B2 (Blood) : TD meningkat 150/100 mmHg, HR meningkat
103x/menit (tachicardi)
3. B3 (Brain) : Rewel, gangguan mental, gangguan kesadaran
4. B4 (Bladder) : Perubahan warna urin menjadi gelap
5. B5 (Bowel) : Anoreksia, BB turun, distensi abdomen,
hepatomegali, dehidrasi
6. B6 (Bone) : kelemahan, edema perifer, pruritus, kerusakan kulit,
perdarahan
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
- Trombosit : 242.000 (150-400 x 103/uL)
- Bilirubin direct : 1,23 (<0,25 mg/dL)
- Bilirubin indirect : 1,52 (0,5 mg/dL)
36
- Bilirubin total : 2,75 (<1,1 ,mg/dL)
- Albumin : 3,8 (3,5-4,5 g/dL)
- PCO2 : 40 (35-45 mmHg)
- PO2 : 85 (80-100 mmHg)
- HCO3 : 22,3 (19-25 mmol/L)
- SaO2 : 98%
- Glukosa : 0 ((-))
- Bilirubin : +3 ((-))
- pH : 7,3 (7,37-7,43)
B. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
DS: Pembesaran hepar Pola Napas Tidak
Keluarga klien Efektif
Distensi abdomen
mengatakan bahwa
klien kesulitan
Penekanan diafragma
bernapas
DO: Ekspansi paru tidak maksimal
RR meningkat
Oksigen berkurang
52x/menit
T= 38,6C
Kebutuhan Oksigen meningkat
Hiperventilasi
37
BB menurun
Distensi abdomen Malabsorbsi, BB turun,
kurang dari normal
C. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan distensi abdomen
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan
penyerapan lemak
3. Gangguan intergritas kulit berhubungan dengan pruiritis
D. Interverensi Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan distensi abdomen
(00032)
Kelas :4
Domain : 4
NOC NIC
Respiratory status (0415) Respiratory Monitoring (3350)
Setelah dilakukan perawatan 1. Monitor RR, ritme,
selama 2 x 24 jam pola nafas kedalaman, dan effort
pasien kembali normal dengan napas
indicator: 2. Monitor saturasi oksigen
1. Respiratory rate (041501) secara rutin
2. Ritme napas (041502)
38
3. Kedalaman inspirasi 3. Monitor sekresi pernapasan
(041503) pasien
4. Saturasi oksigen (0415108) 4. Monitor peningkatan
kegelisahan, ansietas, dan
kekurangan udara pasien
39
Setelah dilakukan perawatan 2x24 panas yang ekstrem, edema,
jam, integritas kulit pasien kembali atau drainasi
normal dengan kriteria hasil : 2. Monitor warna dan suhu
1. Suhu kulit (110101) kulit
2. Elastisitas (110103) 3. Monitor kulit dan
3. Tekstur (110108) membrane mukosa pada
4. Intergritas kulit (110113) daerah yang berubah
warna, memar, dan
mengalami kerusakan
4. Monitor drynase kulit yang
berlebihan dan kelembaban
kulit
40
41