Anda di halaman 1dari 14

A.

PENDAHULUAN

Seseorang yang telah terpapar paham radikal akan sulit untuk melepasakan

diri darinya karena ia telah mengklaim bahwa hanya dirinya saja yang benar

sedangkan yang lain salah. Persis keajaidan pada masa Islam Klasik yang mana

muncul kelompok khawarij. Kelompok ini memiliki pemikiran yang sangat intoleran

dan kaku dalam memahami agama. Seperti mennganggap bahwa orang yang

melakukan dosa besar di hukumi kafir, sehingga halal untuk di bunuh dan bahkan

sahabat sekaliber Ali bin Abi Thalib mereka anggap kafir karena setelah peristiwa

arbitase (tahkim) mereka menilai bahwa Ali bin Abi Thalib tidak berhukum dengan

hukum Allah.

Ibnu Abbas mencoba untuk mengajak sekitar 6000 orang dari kelompok

khawarij untuk kembali ke pemahaman yang benar, namun hanya sekitar 2000 orang

yang bertaubat sedangkan sebagian besarnya tetap kukuh pada kesesatannya

sehingga khalifah Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk memeranginya. Hal ini

menandakan bahwa paham radikal ketika sudah merasuk dalam fikiran seseorang

sangat sulit untuk di hilangkan, sekalipun yang melusurkannya ialah para sahabat

Nabi yang notabenenya memiliki akhlak mulia dan memiliki pemahaman ilmu

agama yang bisa di katakan sempurna.

Kelompok radikal pada Era Modern tak jauh beda dengan kelompok radikal

klasik. Sama-sama kaku dalam beragama, mudah melabeli orang-orang muslim

dengan label kafir, dan bahkan ada yang sampai menghalalkan darah orang muslim.
Hal ini tentu sangat berbahaya, paham seperti ini akan memicu kebingungan dalam

umat dan berujung pada perpecahan umat.

Berangkat dari fakta di atas, penulis menyadari bahwa harus ada upaya

preventif agar paham radikal ini tidak menjangkiti umat Muslim. Maka dari itu,

penulis memndang perlunya pemerintahan yang adil dan semngat ukhuwah

Islamiyyah sebagai pencegahan paham radikal. Pemerintahan yang adil di harapkan

membuat rakyat sejahtera sehingga tidak timbul dalam fikiran rakyat untuk

menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperbaiki negara dan ukhuwah

islamiyyah sebagai ikatan yang kuat antar sesama muslim, sehingga antar umat islam

tetap bersatu meski berbeda pendapat, saling menasehati dengan adab yang baik jika

ada pemahaman saudaranya yang salah dan tidak mudah menghukumi kafir terhadap

orang yang berbuat kesalahan atau terhadap orang yang berbeda mazhab.
B. Terminologi Radikalisme

Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti

“akar”. Ia adalah paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar

untuk mencapai kemajuan. Term radikalisme berasal dari kata radikal yang berarti

prinsip dasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa radikal dapat

berarti; secara menyeluruh; habis-habisan; amat keras; dan menuntut perubahan. Juga

di temukan beberapa pengertian radikalisme yang dijumpai dalam kamus bahasa,

yakni; (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang

menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara

kekerasan; (3) sikap ekstrem di suatu aliran politik1.

Secara sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh

empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: Pertama, sikap tidak

toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap

fanatik, yakni sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain.

Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan

orang banyak. Keempat, sikap revolusioner, yakni kecenderungan untuk

menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan2. Jadi radikalisme ialah paham yang

mengehendaki perubahan namun dengan cara-cara kekerasan dan bersikap intoleran,

fanatik dan tertutup.

Syeikh Yusuf al-Qardawi memberikan istilah radikalisme dengan istilah al-

Tatarruf al-Dini. Dalam bahasa yang lebih lugas, radikalisme adalah bentuk

f1 M Abdul Wahid, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam, Sulesana Vol. 12 No. 1 Tahun 2018, hlm. 12.
2
Dede Rodin, Islam dan Radikalisme : Telaah Atas Ayat-Ayat “Kekerasan” Dalam Al-Qur’an, ADDIN, Vol.
10, No. 1, Februari 2016, Hal. 34.
mempraktikkan ajaran agama dengan tidak semestinya atau mempraktikkan agama

dengan mengambil posisi tarf atau pinggir. Biasanya adalah sisi yang berat,

memberatkan dan berlebihan. Sehingga akan menimbulkan sikap keras dan kaku.

Berlebihan dalam mengambil sisi keras sama jeleknya dengan mengambil sisi

meremehkan dan mengentengkan secara berlebihan. Perilaku berlebihan yang tidak

sewajarnya itu, menurut Syeikh al-Qardawi setidaknya mengandung tiga kelemahan:

pertama, tidak disukai tabiat kewajaran manusia, kedua, tidak bisa berumur panjang

dan ketiga rentan mendatangkan pelanggaran atas hak orang lain3.

Radikalisme sebenarnya bukan permasalahan baru dalam Islam, pada era

Klasik misalnya sudah ada kelompok khawarij yang berpaham radikal. Kelompok ini

Awalnya merupakan orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi pada

akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan

kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka

juga membenci Muawiyyah karena melawan Sayyidina Ali sebagai Khalifah yang

sah. Mereka berprinsip bahwa tidak ada hukum kecuali dari Allah. Dan ciri khas

kelompok khawarij ialah mudah dan lekas menuduh kafir terhadap orang-orang yang

tidak mengikuti pendiriannya4. Al-Ka’by menerangkan bahwa kelompok khawarij ini

mengkafirkan Ali, Utsman, dua orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam

perang Jamal dan orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-

orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap penguasa yang

3
Junaidi Abdillah, Radikalisme Agama : Dekontruksi Tafsir Ayat-ayat “Kekerasan” dalam Al-Qur’an,
Kalam, Vol. 8, no. 2, Desember 2014, hlm. 284.
4
Sahilun A. Nasir, 1994, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm. 92.
menyeleweng5. Hal ini menandakan bahwa kelompkm ini mempunyai pemikiran

yang radikal, mengkafirkan pemimpin yang dianggap tidak sesuai dengan hukum

Allah berdasarkan dalil-dalil yang mereka tafsirkan sendiri, mengkafirkan orang

yang berbuat dosa besar dan mewajibkan melakukan pemberontakan terhadap

pemimpin yang menyeleweng.

C. FAKTOR PEMICU RADIKALISME dalam ISLAM

Diawali dari pendapat Yusuf al Qardawi6 dalam bukunya yang berjudul al

Shahwah al Islamiyah Bayn al Juhud wa al Tattarruf bahwa, setidaknya ada tujuh

faktor yang mempengaruhi kemunculan Radikalisme diantaranya adalah:

1. Pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar yang

doktriner.

2. Literal dalam memahami teks-teks agama sehingga kalangan radikal hanya

memahami Islam dari kulitnya saja akan tetapi sangat minim pengetahuannya

tentang wawasan tentang esensi agama.

3. Tersibukkan oleh masalah-masalah sekunder seperti menggerak-gerakkan jari

ketika tasyahud, memanjangkan jenggot dan meninggikan celana sembari

melupakan masalah-masalah primer.

4. Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru memberatkan umat.

5
Ibid, hlm. 98.
6
Ahmad Mohammad Al Hammad, 2018, Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Surabaya (Studi Kasus
Kriteria Radikalisme Menurut Yusuf al-Qardawi), Skripsi, Tidak Diterbitkan, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN
Sunan Ampel Surabaya, hlm. 20-21.
5. Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-fatwa mereka

sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat dan semangat

zaman.

6. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk

Radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular yang menolak agama.

Selanjutnya dalam perspektif berbeda dirumuskan oleh Zada

Khammami7 dalam bukunya yang berjudul Islam Radikal, Pergulatan Ormas-

Ormas Islam Garis Keras di Indonesia bahwa, kemunculan Radikalisme Agama

(Islam Radikal) di Indonesia ditengarai oleh dua faktor antara lain:

1. Faktor Internal

Faktor ini terjadi karena akibat adanya penyimpangan aturan-aturan

agama. Terutama dalam kehidupan yang lebih mendorong mereka untuk

kembali pada otentitas (fundamen) Islam. Kemudian kondisi sosial yang

sedemikian ditompang dengan pemahaman mereka yang kaku dalam

menghadapi teks-teks agama. Melalui berbagai kajian-kajian tentang

keagamaan yang mereka pelajari hanya dipandang dari satu sudut pandang

saja dan tidak melihat dari sudut pandang yang lainnya. Sehingga tindakan-

tindakan yang mereka lakukan harus merujuk pada perilaku Nabi secara tekstual

atau melalui buku literal.

2. Faktor Eksternal

Faktor ini dipengaruhi oleh umat Islam yang ada di luar yang sangat

mendukung terhadap penerapan syari`at Islam dalam sendi-sendi kehidupan.

7
Ibid, Hlm. 21-22.
D. PERSAUDARAAN ISLAMI

َ‫َّللاَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْر َح ُمون‬ ْ َ ‫إِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ إِ ْخ َوة ٌ فَأ‬
َّ ‫ص ِل ُحوا بَيْنَ أَخ ََو ْي ُك ْم َواتَّقُوا‬

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah

hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu

mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat: 10)

Kata ikhwah (‫ )إخوة‬pada ayat di atas adalah bentuk jamak dari kata akh (‫)أخ‬,

yang artinya saudara. Kata ikhwah biasanya digunakan untuk persaudaraan

sekandung, sedangkan kata ikhwan (‫ )إخوان‬yang juga bentuk jamak dari kata akh,

untuk persaudaraan yang tidak sekandung. Seakan-akan ayat ini menjelaskan bahwa

persaudaraan kaum mukminin lebih kuat daripada ikatan darah saudara kandung.

Imam Al Qurthubi menjelaskan, “Tali ikatan persaudaraan seagama lebih

kuat daripada ikatan persaudaraan nasab. Sebab ikatan persaudaraan nasab terputus

karena berbeda agama sedangkan ikatan persaudaraan seagama tidak akan terputus

karena berbeda nasab.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ٌ ‫إ ِِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ ِإ ْخ َوة‬

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.. (QS. Al Hujurat: 10)


yakni semuanya saudara seagama. Sebagaimana banyak hadits Rasulullah

menjelaskan, di antaranya:

“Orang muslim itu adalah saudara muslim lainnya. Ia tidak boleh berbuat aniaya

terhadapnya dan tidak boleh pula menjerumuskannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling

menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka adalah seperti satu

tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga

merasa demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menjelaskan, Surat Al Hujurat

ayat 10 ini merupakan sentuhan atas kalbu orang-orang yang beriman supaya

menghidupkan ikatan yang kuat di antara mereka. Yakni ikatan yang menyatukan

setelah mereka bercerai berai, yang menautkan hati setelah bermusuhan,

mengingatkan untuk bertaqwa kepada Allah sehingga mendapatkan rahmat-Nya.

“Implikasi dari persaudaraan ini adalah hendaknya rasa cinta, perdamaian, kerja

sama dan persatuan menjadi landasan utama masyarakat muslim,” tegas Sayyid

Qutb.

Curahan rahmat kepada suatu masyarakat khususnya masyarakat muslim

akan di berikan oleh Allah sepanjang sesama warganya memelihara persaudaraan

diantara mereka. Abdullah Yusuf Ali dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan

bahwa pelaksanaan atau perwujudan persaudaraan muslim merupakan ide sosial


yang paling besar dalam Islma. Islam tidak dapat di realisasiakn sama sekali hingga

ide besar ini berhasil diwujudkan8

Dari uraian di atas, penulis melihat bahwa dengan kuatnya persaudaraan

sesama muslim bisa mencegah radikalisme dalam umat islam. Karakteristik

kelompok radikal yang intoleran, eklusif, fanatik dan cenderung menggunakan cara

dan kata yang kasar itu mustahil muncul jika persaudaraan sesama umat muslim itu

kuat. Bagaimana mungkin seseotang yang mempunyai rasa persaudaraan yang

sangat kuat, yang bahkan sudah sampai tahap mencintai dan sudah menganggap

bahwa muslim itu ibarat satu tubuh sampai hati untuk mengkafirkan saudaranya

sendiri, menggunakan cara-cara kekerasan untuk mendakwahi saudaranya sendiri,

hal ini tentu mustahil. Jika persaudaraan ini telah terwujud, penulis yakin bahwa

paham radikal dalam Islam akan hilang dengan sendirinya.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang ialah bagaimana mewujudkan

persaudaraan Islami itu? Disini penulis mengemukakan 4 lamgkah dalam rangka

mewujudkan persaudaraan islami, antara lain :

1. Saling mengenal

Langkah pertama untuk merajut ukhuwah islamiyyah ialah saling

mengenal, hal ini di dasarkan pada firman Allah, :

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki

dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-

suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

8
Ali Nurdin, 2006, Quranic Society Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam AL-Qur’an, Jakarta,
Erlangga, hlm. 270.
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujuraat: 13)

Allah memerintahkan manusia untuk saling mengenal satu sama lain,

cara-cara yang bisa di lakukan diantaranya ialah mengucapkan salam ketika

bertemu, tersenyum, menyambung silaturahmi dll. Hal ini akan membuat umat

muslim akan memiliki sifat terbuka, sehingga jauh dari sifat eklusif.

2. Saling memahami

Setelah umat muslim saling mengenal satu sama lain, maka ia harus saling

memahami. Karena setiap muslim itu berbeda, mempunyai watak dan sifat

yang berbeda dan dalam menjalankan Syari’at Islam pun mempunyai Mazhab

yang berbeda-beda. maka dari itu penting untuk memahami satu sama lain,

sehingga muncul sifat toleransi dalam umat Islam, sehingga terhindar dari

terjadinya perdebatan yang berujung munculnya sikap fanatik mazhab.

3. Saling tolong-menolong

Setelah saling memahami adanya perbedaaan, hendaknya sesama

muslim harus saling menolong. Setiap perbedaan pasti mempunyai

kelemahan, setiap kelompok pasti mempunyai kesalahan-kesalahan tertentu.

Maka dari itu perlu perlu adanya sikap saling menolong, seperti amar ma;ruf

nahi munkar, Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Jika seseorang melihat pada

saudaranya kekurangan dalam agama, maka ia berusaha untuk menasihatinya

(membuat saudaranya jadi baik).” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:308).

.Hal ini salah satunya demi mencegah kebodohan dalam umat Islam. sehingga

tidak adanya muslim yang kaku dalam memahami Islam.


4. Saling mencintai

Inilah puncak dari persaudaraan Islami. Rasulullah SAW menegaskan,

"Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk

saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri." (HR Bukhari-Muslim).

Jika sudah sampai tahap ini, mustahil akan ada timbul radikalisme dalam

Islam. tidak mungkin seseorang yang lebih mendahulukan kepentingan

saudaranya sendiri akan berbuat radikal terhadap saudaranya sendiri.

E. PEMERINTAHAN yang ADIL

‫اس أَن تَ ْح ُك ُمواْ ِب ْال َع ْد ِل‬ ِ ‫َّللاَ َيأ ْ ُم ُر ُك ْم أَن تُؤدُّواْ األ َ َمانَا‬
ِ َّ‫ت ِإلَى أ َ ْه ِل َها َو ِإذَا َح َك ْمتُم َبيْنَ الن‬ ‫ِإ َّن ه‬

‫يرا‬
ً ‫ص‬ َ َ‫َّللاَ َكان‬
ِ َ‫س ِميعًا ب‬ ُ ‫َّللاَ نِ ِع َّما َي ِع‬
‫ظ ُكم بِ ِه إِ َّن ه‬ ‫إِ َّن ه‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia

supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi

Maha Melihat”. (QS. An-Nisa : 58)

Sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apapun dengan tidak

membeda-bedakan antara satu dengan yang lain di dalam pelaksanaan hukum,

sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri, sebagaimana ditegaskan Allah dalam

ayat ini.
‫وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل‬

dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya

kamu menetapkan dengan adil. (Q.S. An Nisa': 58)

Dalam hal ini cukuplah Nabi Muhammad saw menjadi contoh Di dalam

satu pernyataannya beliau bersabda: "Andaikata putriku Fatimah mencuri,

niscaya saya potong tangannya" (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ayat ini memerintahkan kepada para penguasa atau pemangku jabatan

yang berwenang dalam menetapkan suatu hukum agar menetapkan hukum secara

adil, walau terhadap individu atau kelompok yang berseberangan pendapat

dengan mereka, kerena keadilan mendekatkan pelakunya kepada ketaqwaan.

Obyektifitas hakim menjadi bagian penting dalam memutus perkara. Ketika

perkara diputus dengan pertimbangan matang, keadilan dapat ditegakkan.

Pemerintah atau pemimpin selalu berhadapan dengan masyarakat yang

terdiri dari kelompok-kelompok. Proses politik juga berhadapan dengan berbagai

kelompok golongan. Seorang yang terpilih menjadi pemimpin harus mampu

berdiri di atas semua golongan untuk itu di perlukan sifat adil. Dalam surah AL-

Maidah ayat 8, Allah menyebutkan keadilan sampai 3 kali, :”Hai orang-orang

yang beriman, hendaklah kamu menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-

kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak

adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al-Maidah :

8)

Dan juga Allah menegaskan tentang bagaimana sikap yang seharusnya

dimiliki seorang penguasa (pemerintah), Allah berfirman : “Hai Daud,


sesungguhnya Kami menjadikan kamu Khalifah (penguasa) di muka bumi, maka

berilah keputusan (atas masalah-masalah yang timbul) di antara manusia

dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan

menyesatkan kamu dari jalam Allah.” (QS. Shad : 26)

Berdasarkan petunjuk Allah, seorang penguasa haruslah adil dan tidak

mebgikuti hawa nafsu. Esensi dan azas pemerintahan adalah keadilan. Yang di

maksud dengan al-haqq, dalam kasus pemerintahan adalah keadilan. Unsur

utama keadilan itu adalah al-haqq (kebenaran)9.

Selain keadilan politik dan sosial, ada dimensi keadilan lainnya yaitu

keadilan ekonomi. Nabi Syu’aib di utus Allah untuk menegakkan keadilan

ekonomi di kalangan kaum Madyan yang makmur, tetapi sistem ekonominya

yang dinodai perilaku bisnis yang tidak etis, yaitu mengurangi takaran dan

timbangan, seperti dikisahkan dalam Al-Qur’an, “Dia Syu’aib berkata ‘hai,

kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan

janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat

kamu dalam keadaan baik (mampu,kaya) tetapi aku khawatir terhadapmu akan

datangnya azab pada hari yang membinasakan (kiamat). (QS. Hud : 84)

Penulis mencantumkan pemerintahan yang adil sebagai usaha pencegahan

paham radikal karena penulis menganggap bahwa akar penyebab dari paham

radikal yang berujung kepada tindakan terorisme disebabkan oleh adanya

pemerintahan yang tidak adil. Ketidakadilan penegakan hukum dan ketimpangan

ekonomi membuat rakyat menganggap bahwa pemerintahan telah zalim

9
Said Agil Husin Al-Munawar, 2005, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat, PT Ciputat
Press, hlm. 205.

Anda mungkin juga menyukai