Anda di halaman 1dari 42

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN

KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TBC DI POLI

PENYAKIT DALAM RSI NU DEMAK

Oleh :

M. ZAENUDIN

NIM. 2018012153

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

CENDEKIA UTAMA KUDUS

TA 2018/2019
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mikroorganisme, seperti virus, bakteri, parasit, atau jamur, dan dapat berpindah ke

orang lain yang sehat. Penyakit menular yang seringkali diderita oleh masyarakat

salah satunya adalah adalah Tuberculosis Paru. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis (M.

Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya (World Health Organization, 2013, Ditjen PP&PL,

2014). Sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak

yang dikeluarkannya. Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau pengobatannya

tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes

RI, 2015). Penyakit ini lebih rentan terkena pada seseorang yang kekebalan

tubuhnya rendah, misalnya penderita HIV. Selain menimbulkan gejala berupa

batuk yang berlangsung lama, penderita TBC juga akan merasakan beberapa gejala

lain, seperti demam, lemas, berat badan turun, tidak nafsu makan, nyeri dada,

berkeringat di malam hari. Penyakit TB paru disebabkan oleh multifaktorial.

Beberapa faktor yang menjadi faktor risiko TB paru yaitu kepadatan penduduk dan

sosial ekonomi masyarakat (Tabilantang et al, 2018).

TBC dapat dideteksi melalui pemeriksaan dahak. Beberapa tes lain yang

dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit menular ini adalah foto Rontgen dada,

tes darah, atau tes kulit (Mantoux). Pengobatan TB dapat diberikan dalam 2 tahap,

yaitu tahap intensif 2 bulan pengobatan dan tahap lanjutan 4-6 bulan berikutnya.
Pengobatan yang teratur pada penderita TB dapat sembuh secara total, apabila

penderita patuh terhadap aturan pengobatan TB. Hal yang penting bagi penderita

TB yaitu tidak putus obat karena jika penderita menghentikan pengobatan, kuman

TB akan mulai berkembang biak lagi sehingga penderita harus mengulangi

pengobatan intensif selama 2 bulan pertama (Irnawati et al, 2016). Penyakit TB

bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi

berbahaya hingga kematian (Ditjen PP & PL, 2014). Obat TBC umumnya berupa:

Isoniazid, Rifampicin, Pyrazinamide, Ethambutol. Banyak pasien yang tidak patuh

minum obat karena waktu pengobatan yang cukup lama. Dampak dari putus obat

ini mengakibatkan, mereka mengalami kekebalan terhadap obat anti tuberkulosis

atau disebut multi drug resistant (TB MDR), yang berarti pengobatannya akan lebih

lama yaitu sampai 2 tahun (Caminero, 2013). Adapun faktor yang menyebabkan

pasien tidak patuh dalam minum obat yaitu dapat berasal dari pasien itu sendiri,

faktor klinik, faktor pemberi pelayanan kesehatan dan faktor lingkungan

(Bosworth, 2010).

Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya

angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak

ditemukan penderita TB paru. Salah satu faktor penyebab ketidakpatuhan minum

obat penderita TB Paru, adalah penderita itu sendiri. Motivasi dan dukungan dari

keluarga mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan yaitu

dengan adanya pengawasan dan pemberi dorongan kepada pasien (Palinggi et al,

2013). Kurangnya pengetahuan tentang TBC dan pengobatanya, sehingga pasien

akan berhenti minum obat setelah merasa lebih baik setelah minum beberapa kali

saja obat TBC.


TB paru dicanangkan sebagai Global Emergency oleh World Health

Organization (WHO) pada tahun 1992. Tuberkulosis menyebabkan jutaan manusia

sakit setiap tahun dan menempati urutan kedua penyakit infeksi terbanyak yang

menimbulkan kematian di seluruh dunia sesudah Human Immunodeficiency Virus

(HIV). Kasus baru TB sedunia pada tahun 2012 dilaporkan sekitar 8,6 juta dan 1,3

juta kematian yang disebabkan oleh TB (World Health Organization, 2013).

Berdasarkan data WHO, jumlah kasus TB Paru pada tahun 2016 yaitu 10,4 juta

jiwa meningkat dari sebelumnya yaitu 9,6 juta jiwa. Indonesia dinyatakan sebagai

negara terbanyak ketiga yang mengalami kejadian kasus TB Paru yaitu sebanyak

10% dari total kasus TB Paru di dunia. Jumlah pasien TB MDR di Indonesia pun

cukup tinggi. Berdasarkan WHO global report 2018, Indonesia berada di peringkat

8 dari 27 negara dengan beban TB MDR terbanyak di dunia. Jika tidak segera

diatasi, TB akan terus menular ke masyarakat. Jumlah kasus tertinggi terdapat di

provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan

Jawa tengah (Kemenkes RI, 2016).

Menurut Data dan Informasi pada Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016,

jumlah kasus baru TB Paru BTA positif di Indonesia yaitu 156.723 kasus. Provinsi

jawa tengah ada di urutan ke-7 dengan prevalensi sebanyak 4.011 kasus (Kemenkes

RI 2016). Pada tahun 2017 terdapat 116 ribu jiwa meninggal akibat TBC.

Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia ( WHO), kasus TBC di Indonesia

mencapai 842 ribu. Sebanyak 442 ribu pengidap TBC melapor dan 400 ribu

lainnya tidak melapor atau tidak terdiagnosa. Penderita TBC tersebut terdiri atas

492 ribu laki-laki, 349 ribu perempuan, dan 49 ribu anak-anak.

Prevalensi kasus TBC di jawa tengah sangat tinggi. Penderita TBC mengalami

peningkatan secara significan di jawa tengah, Pada tahun 2018 ada sebanyak
49.616 penderita tuberculosis , dengan case notification sebanyak 143 kasus per

100 ribu dan meningkat di tahun 2019, yaitu dengan jumlah pengidap TBC di jawa

tengah mencapai 100 ribu jiwa. Jumlah ini sangat tinggi dengan program

penanganan yang terus dilakukan. Kota semarang dan kabupaten Demak

merupakan wilayah dengan peringkat CDR ( case detection rate) diperingkat 13

dan 16 di Jawa tengah. Menurut Dinas Kesehatan Jawa Tengah jumlah temuan

kasus TBC mengalami peningkatan. Penderita TB BTA (semua tipe) pada tahun

2018 sejumlah 3.882 kasus, dengan persentase TB Semua Tipe pada laki-laki

sebanyak 2.141 kasus (55%) lebih besar dari pada perempuan sebanyak 1.741

kasus (45%). Hal ini disebabkan karena (fakta kwalitatif) pada laki-laki lebih intens

kontak dengan faktor risiko dan kurang peduli terhadap aspek pemeliharaan

kesehatan individu dibandingkan dengan wanita. Penderita TB semua tipe

kelompok usia bayi dan anak sebanyak 916 kasus (24%), kelompok usia 15-34

sebanyak 1030 kasus (27%), kelompok usia 55-64 sebanyak 553 kasus (14%) dan

kelompok usia diatas 65 tahun sebanyak 310 kasus (8%). Meskipun kasus TB

semua tipe banyak terjadi pada kelompok usia produktif, upaya serius dalam

pencegahan dan pengobatan tetap harus dilakukan karena dapat menularkan pada

segala kelompok umur.

Di Kabupaten Demak data yang ada menurut dinas kesehatan kabupaten

demak pada tahun 2018 penderita TBC sebesar 57 % atau 107 penderita per

seratus ribu penduduk. Ini masih di bawah standar, karena target yang harus dicapai

adalah 70% sedangkan CNR itu total kasus yang ternotifikasi sebesar 90% dari

93% yang seharusnya dicapai. Ini artinya masih banyak penderita TB paru yang

belum diketemukan dan penularan akan terus terjadi. Di Demak banyak sekali di

jumpai kasus TBC putus obat dikarenakan tidak tahan dengan efek samping
pengobatan TBC, hal ini yang menyebabkan masalah baru dan meningkatkan

penularan TBC, karena sebagian besar penderita TBC terjadi di wilayah pedesaan

di Demak yang pengidapnya memiliki pengetahuan yang kurang serta dukungan

yang kurang dari keluarga. Disamping faktor ekonomi, lingkungan yang tidak sehat

juga mempengaruhi penularan kuman TBC.

Jumlah pasien penderita TBC paru di RSI NU Demak juga cukup tinggi baik

kasus lama ataupun kasus baru. Berdasar data Rekam Medis Pada tahun 2018 ada

65 temuan kasus TBC di RS NU Demak. Diantara kasus tersebut ada yang

mengalami putus obat yaitu berhenti minum obat sebelum 6 bulan ada 5 pasien

TBC, TB paru lama yaitu pasien yang telah menyelesaikan pengobatan setelah 6

bulan yaitu 36 pasien, juga kasus baru yang baru memulai proses pengobatan (

kurang dari 6 bulan) yaitu sejumlah 23 pasien. Angka kematian karena TBC di RSI

NU demak di tahun 2018 ada sejumlah 17 pasien TBC. Di tahun 2019 ini kasus

TBC mengalami peningkatan 11 pasien yaitu yaitu menjadi sejumlah 76 pasien,

dan didapatkan 21 kasus kematian karena TBC di tahun 2019. Bila dibandingkan

tahun 2018, pasien TBC putus obat mengalami peningkatan di tahun 2019 yaitu

menjadi 24 pasien TBC mengalami putus obat, yang sebagian besar faktor

penyebabnya adalah kurangnya dukungan dari keluarga. Berdasarkan data yang

peneliti dapat dari RSI NU Demak, pasien TB putus obat adalah pasien yang tidak

kontrol teratur, sehingga dari pihak rumah sakit menghubungi puskesmas untuk

menangani pasien-pasien yang mengalami putus obat untuk ditindaklanjuti.

Dukungan dan motivasi dari keluarga sangat mempengaruhi keberhasilan minum

obat karena motivasi dari keluarga yang akan menghilangkan tingkat stres pada

pasien TBC yang menjalani pengobatan selama 6 bulan dengan berbagai efek

samping pengobatan seperti mual, muntah, pusing, nafsu makan menurun, dl.
Pengobatan pasien TB Paru yaitu dengan pemberian Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) yang diberikan secara gratis selama enam bulan. Salah satu faktor yang

berpengaruh bagi seseorang ketika menghadapi masalah kesehatan adalah

Dukungan keluarga, juga sebagai suatu strategi dalam mencegah stres. Begitu pula

dalam hal patuh terhadap minum obat khususnya Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

yang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi seseorang dalam hal

patuh terhadap minum obat adalah dari dukungan keluarga sendiri. Dukungan

dikategorikan dalam beberapa cara, tetapi secara keseluruhan dukungan merupakan

interaksi sosial yang membuat pasien merasa dicintai dan diperhatikan (Paz-Soldan

et al, 2013). Dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan sosial. Individu

yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan (suami/istri),

orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor.

Dukungan sosial termasuk dukungan keluarga merupakan kunci dalam

mempengaruhi perilaku kesehatan, dan kepatuhan pengobatan. Hasil penelitian di

negara-negara berkembang menunjukkan bahwa meningkatnya kualitas pelayanan

fasilitas kesehatan dan dukungan keluarga pada pasien tuberkulosis selama

pengobatan menyebabkan meningkatnya kepatuhan pasien selama pengobatan TB

dan meningkatnya kualitas hidup pasien TB (Paz-Soldan et al, 2013).

Salah satu faktor yang berpengaruh bagi seseorang ketika menghadapi

masalah kesehatan adalah Dukungan keluarga. Dukungan keluarga adalah suatu

bentuk hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan

terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang

memperhatikannya. Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-

dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat

diakses atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan (Erdiana, 2015). Keluarga satu rumah merupakan

pengawas menelan obat yang tepat (PMO) bagi penderita TBC.

Penelitian tentang dukungan keluarga dan keberhasilan pengobatan banyak

diteliti para peneliti, diantaranya penelitian Penelitian oleh Theresia, dkk (2018)

menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan

minum obat pasien TBC, dukungan keluarga berperan dalam upaya membuat

penderita TB paru untuk patuh minum obat. Berdasarkan hal tersebut maka

keluarga harus mengambil peran ikut serta dalam mengawasi pasien TB paru saat

mengkonsumsi obat secara teratur sampai pasien sembuh. Penelitian lain yang

mendukung adalah yang dilaksanakan oleh Sara, maulani (2017) yang menyatakan

bahwa ada hubungan yang significan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan

minum obat pada penderita TB paru. Selain itu adanya keeratan hubungan

emosional sangat mempengaruhi kepatuhan minum obat, selain sebagai pengawas

minum obat keluarga juga memberikan dukungan emosional kepada penderita TB.

Menurut Asra, septia, dkk (2014) dengan responden penderita TB paru

sejumlah 138 responden menyatakan bahwa responden terbanyak mendapatkan

dukungan positif dari keluarga berjumlah 43 orang (74,14%), dan mayoritas

responden patuh berjumlah 38 orang (65,52%). Hasil uji statistik nilai p-value =

0.036 (p < 0,05). Berdasarkan hipotesis yang diajukan apabila p-value ≤ = 0.05

maka dapat dikatakan ada hubungan yang bermakna antara duavariabel. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa penderita yang tidak memiliki keluarga tidak ada yang

berhasil dalam pengobatannya dibandingkan dengan penderita yang memiliki

keluarga, artinya secara tidak langsung keberadaan keluarga menjadi sangat

diperlukan bagi penderita yang dengan pengobatan jangka lama. Namun yang

menjadi konsen peneliti ialah apakah keluarga benar benar mendukung proses
pengobatan penderita baik yang sedang dalam fase intensif maupun fase lanjutan,

kategori 1 maupun kategori 2 sehingga tidak hanya keberadaan keluarga yang

dilihat, namun dukungan serta kepedulian keluarga akan menjadi salah satu

pertimbangan saat penderita akan memulai rencana pengobatan.

Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan pada tanggal 4 desember

2019 didapatkan informasi bahwa jumlah kunjungan pasien TB Paru di poli

penyakit dalam RSI NU Demak tahun 2019 setiap bulannnya rata-rata 67

kunjungan baik pasien lama yaitu pasien TBC yang telah menjalani pengobatan

selama 6 bulan, maupun pasien baru yaitu pasien yang baru menjalani pengobatan

TBC kurang dari 6 bulan. Komplikasi yang sering terjadi adalah TB kambuh dan

juga permasalahan yang baru. Hasil wawancara dengan sepuluh orang pasien TBC

paru, 6 orang pasien mengatakan datang ke poliklinik kadang-kadang diantar oleh

keluarganya, pasien mengatakan sudah bosan dengan penyakitnya dan merasa

membebani keluarga karena penyakitnya yang tidak kunjung sembuh dan

mebutuhkan biaya dan transport untuk periksa, keluarga juga merasa bosan dengan

pengobatan TBC yang lama sehingga terkadang keluarga juga bosan mengingatkan

pasien untuk minum obat. Sedangkan 5 orang lainnya mengatakan bahwa selama

periksa ke rumah sakit selalu diantar keluarganya, keluarganya selalu memberi

motivasi bahwa sakitnya pasti bisa disembuhkan bila teratur kontrol serta teratur

minum obat.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik mengetahui secara

lebih mendalam tentang hubungan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum

obat pasien TBC, melalui penelitian yang berjudul “ Hubungan Dukungan

Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru di Poli Penyakit

Dalam RSI NU Demak”.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan dalam penelitian ini, yaitu adakah hubungan antara dukungan

keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien TBC?.

A. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan kepatuhan

minum obat pasien TBC.

2. Tujuan khusus

a) Untuk mendeskripsikan dukungan keluarga pada penderita TBC

b) Untuk mendeskripsikan kepatuhan minum obat pada penderita

TBC.

c) Untuk menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan

kepatuhan minum obat pada penderita TBC.

B. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat.

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan serta

wawasan baru khususnya dalam keluarga yang berkaitan

dengan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat

pada penderita TBC.

b. Memberikan pengarahan yang positif pada penderita TBC

untuk patuh minum obat.

2. Bagi institusi ( pelayanan keperawatan).


Hasil penelitian ini dapat membantu perawat agar dapat

meningkatkan pelayanan keperawatan yang berhubungan dukungan

keluarga dengan kepatuhan minum obat pada penderita TBC.

3. Bagi ilmu pengetahuan.

Hasil penelitian yang dilakukan dapat memberikan pengetahuan

dan gambaran baru dalam menilai hubungan dukungan keluarga

dengan kepatuhan minum obat pada penderita TBC.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

a) Definisi.

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu M. tuberculosis yang dapat

menyerang berbagai organ, terutama paru. (Ditjen PP&PL, 2014) yang

masih menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia (Irnawati

et al, 2016, Wijaya, 2012). Tuberkulosis adalah penyakit menular yang

terkait dengan kemiskinan, kekurangan gizi, dan fungsi kekebalan tubuh

yang buruk (World Health Organization, 2013b). Hanya sekitar 5 sampai

10% orang yang terinfeksi berkembang menjadi TB klinis (TB) setelah 2

tahun setelah infeksi awal, sisanya 90% dari mereka yang terinfeksi tidak

menunjukkan gejala klinis (Delphi, 2015).

b) Etiologi.

Mycobacterium tuberculosis diklasifikasikan sebagai basil tahan asam

dan mempunyai struktur dinding sel yang unik untuk pertahanan

tubuhnya (Knechel, 2009). Dinding sel berisi asam lemak, asam mikolat,

dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya, sebagai barrier

(Wijaya, 2012). Secara umum sifat kuman M. tuberculosis adalah

berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron dengan lebar 0,2-0,6

mikron, bersifat tahan asam dengan pewarnaan Ziehl Neelson, tahan

terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu

lama pada suhu antara 40C sampai 700C, kuman sangat peka terhadap

panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet, kuman dapat bersifat dormant
(tidur/ tidak berkembang), paparan langsung dengan sinar ultraviolet

sebagian besar kuman akan mati, dalam dahak dengan suhu 300C – 370C

kuman akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu (Ditjen PP&PL,

2014).

Secara eksperimental, dalam Aditama (2002) disebutkan bahwa populasi

M.tuberculosis di dalam lesi dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan

yaitu :

1. Populasi A.

Yang terdiri atas kuman yang secara aktif berkembang biak dengan

cepat, kuman ini banyak terdapat pada dinding kapitas atau dalam

lesi yang PHnya netral.

2. Populasi B.

Terdiri atas kuman yang tumbuhnya sangat lamban dan berada

dalam lingkungan PH yang rendah. Lingkungan asam inilah yang

melindunginya terhadap obat anti tuberkulosis tertentu.

3. Populasi C.

Yang terdiri dari kuman tuberkulosis yang berada dalam keadaan

dorman hampir sepanjang waktu, hanya kadang-kadang saja kuman

ini mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat,

kuman seperti ini banyak terdapat dalam dinding kavitas.

4. Populasi D.

Terdiri atas kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dorman

sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat anti

tuberkulosis. Jumlah polulasi ini tidak jelas dan hanya dapat

dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri.


c) Cara Penularan (transmisi).

Beberpa spesies Mycobacterium yaitu : M. bovis, M. africanum,

M. microti, M. canetti dan M. tuberculosis umumnya bertransmisi ke

manusia melalui airborne (udara) (Department of Health, 2014). Sumber

penularan tuberkulosis adalah pasien TB paru dengan BTA positif yaitu

M. Tuberculosis menyebar melalui droplet (percikan ludah) yang

infeksius ke udara pada saat batuk (sekitar 3.000 droplet), bersin (sekitar

1 juta droplet), berbicara atau bernyanyi (Wijaya, 2012; Ditjen PP&PL,

2014, Departement of Health, 2014), TB dengan hasil BTA positif 3

lebih infeksius dari BTA positif 1 (Departement of Health, 2014).

Droplet dapat juga diproduksi dari tindakan pemeriksaan seperti induksi

sputum, bronkoskopi, dan lesi jaringan (Departement of Health, 2014).

Droplet merupakan partikel kecil dengan diameter 1-5 μm berisi

1-5 basil yang sangat infeksius dan di lingkungan tertutup droplet dapat

bertahan di udara sampai 4 jam (Departement of Health, 2014). Pasien

TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan

penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%,

pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%

sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks negatif

adalah 17% (Ditjen PP&PL, 2014).

Transmisi TB biasanya terjadinya di dalam ruangan (indor), tempat

gelap, kurangnya ventilasi (Departement of Health, 2014) dan

dipengaruhi oleh jumlah basil dalam droplet, virulensi basil, paparan

basil terhadap sinar ultraviolet, konsentrasi basil di udara yang


ditentukan oleh volume ruangan dan ventilasi dan lama waktu pajanan

menghirup udara (aerosol) yang tercemar (Knechel, 2009). Sekali

terinfeksi, perkembangan menjadi untuk menjadi penyakit tergantung

pada sistem imun, dengan sistem imun normal, 90% tidak akan berlanjut

menjadi penyakit dan 10% dapat berkembang menjadi penyakit

(Departement of Health, 2014).

d) Patofisiologi.

Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu

setelah infeksi akut (Ditjen PP&PL, 2014). Setelah terpapar kuman TB

ada empat keadaan yang bisa terjadi yaitu pertama tidak terjadi infeksi

(ditandai dengan tes tuberkulin negatif), kedua terjadi infeksi kemudian

menjadi TB yang aktif (TB primer), ketiga menjadi TB laten dimana

mekanisme imun mencegah progresivitas penyakit menjadi TB aktif dan

keempat menjadi TB laten tetapi kemudian terjadi reaktivasi dan

berkembang menjadi TB aktif dalam beberapa bulan sampai beberapa

tahun kemudian (Marin dan Hasibuan, 2010).

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell

mediated immune response. Sel efektornya adalah makrofag, sedang

limfosit (biasanya sel T) merupakan immunoresponse cell. Inhalasi

partikel besar yang berisi lebih dari tiga basil tuberkulosis tidak akan

sampai ke alveoli, partikel akan melekat di dinding bronkus dan akan

dikeluarkan oleh sistem mukosiliari, tetapi inhalasi partikel kecil yang

berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli (Pando et al, 2007).

Basil tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh

vasodilatasi dan masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag


yang berfungsi untuk memakan dan membunuh basil tersebut. Setelah

beberapa hari maka leukosit berkurang dan makrofag jadi dominan.

Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala

pneumonia akut yang disebut dengan focus primer atau Ghon focus yang

merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini dapat sembuh dengan atau

tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit atau

berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar

getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Gabungan

terserangnya kelenjar getah bening dengan fokus primer disebut

kompleks ghon. Infeksi primer kadangkadang berlanjut terus dan

perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post primer (Bourke,

2003).

e) Faktor Resiko

Hiswani (2009) dalam Helper (2010) mengatakan bahwa keterpaparan

penyakit TB Paru pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor

sosial lainnya, untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :

1. Faktor Sosial Ekonomi

Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian,

lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang

buruk dapat penularan TB paru. Pendapatan keluarga sangat erat juga

dengan penularan TB paru, karena pendapatan yang kecil membuat

orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2. Status gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi

dan Iain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang

sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini

merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik

pada orang dewasa maupun anakanak.

3. Usia

Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia

produktif 15-50 tahun. Dengan terjadinya transisi demografi saat ini

menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada

usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imun seseorang menurun,

sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit

TB paru.

4. Jenis kelamin

Penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO, sedikitnya

dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal

aikibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan

lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB paru

dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada

jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok

tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem

pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent

penyebab TB Paru. Menurut Fitriani (2013), ada hubungan antara

umur penderita, tingkat pendapatan keluarga, kondisi lingkungan

rumah, perilaku dan riwayat kontak penderita dengan kejadian TB


paru. Sedangkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin penderita,

tingkat pendidikan penderita dan jarak pelayanan kesehatan dengan

kejadian tuberkulosis paru.

f) Klasifikasi Tuberculosis.

Berdasarkan pedoman pengendalian TB dari Kementerian Kesehatan RI,

(2011) penyakit tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan :

1. Berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena :

a. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang

jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)

dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis Ekstra Paru.

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin

dan lain-lain. Tuberkulosis ekstra paru dibagi lagi berdasarkan

tingkat keparahan penyakitnya, yaitu tuberkulosis ekstra paru

ringan dan estra paru berat.

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis :

a. Tuberkulosis paru BTA positif.

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya

BTA positif.

2) Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks

dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan

kuman TB positif.
4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3

spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya

hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif.

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.

Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

2) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

OAT, bagi pasien dengan HIV negatif.

4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

g) Gejala TB paru.

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan

gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal

ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala

respirasi diantaranya adalah batuk > 2 minggu, batuk darah, sesak napas

dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak

ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus

belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada

gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan

selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala

sistemik yang ditimbulkan akibat infeksi TB adalah demam, malaise,


keringat malam tanpa aktivitas, anoreksia dan berat badan menurun

(Wijaya, 2012).

h) Diagnosis TB Paru.

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis,

pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium dan

uji tuberkulin (Lyanda, 2012). Diagnosa TB di negara berkembang

dengan menggunakan apusan dahak, kemudian dikonfirmasi dengan

kultur bakteri dan uji kepekaan obat. Sesuai dengan rekomendasi WHO,

maka diagnosis TB paru berdasarkan pemeriksaan sputum secara

mikroskopis,oleh karena pemeriksaan ini efisien, mudah, murah, dan

cukup cepat (hanya 2 hari) (Zumla et al, 2013). Foto toraks merupakan

pemeriksaan penunjang pertama yang membantu untuk menegakkan

diagnosis TB paru, memonitor respon pengobatan, dan membantu dalam

menghambat penyebaran penyakit, memberikan gambaran radiologis TB

paru pada TB dengan BTA negatif maupun BTA positif. Foto toraks

dapat sebagai penyokong untuk menegakkan diagnosis TB paru

(Soetikno dan Derry, 2011; Srikanth et al, 2009). Pemeriksaan lain untuk

menegakkan diagnosa TB paru dengan rapid test yang telah dianjurkan

oleh WHO yaitu GeneXpert MTB/RIF yang dapat digunakan untuk

mendiagnosa TB dan resitensi rifampisin (World Health Organization,

2013a).

Sedangkan menurut pedoman pengendalian TB, Kementerian Kesehatan

(2011), diagnosis TB paru dapat ditegakan dengan cara :

1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,

yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).


 S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang

berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga

pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi

pada hari ke dua.

 P (pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di fasyankes.

 S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (Kemenkes, 2014).

2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA

melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat

digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan

indikasinya.

3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan

foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang

khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

i) Pengobatan TB paru.

Tujuan pengobatan TB adalah menyembuhkan pasien dan memperbaiki

produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian oleh

karena TB atau dampak buruk selanjutnya, mencegah terjadinya

kekambuhan TB, menurunkan penularan TB, dan mencegah terjadinya

dan penularan TB resistan obat (Kemenkes, 2014) Jenis dan sifat OAT

yang digunakan dalam TB Paru adalah rifampicin (bakterisid), isoniazid


(bakterisid), pyrazinamid (bakterisid), ethambuthol bakteriostatik), dan

streptomycine (bakterisid) (Kemenkes, 2011). Pengobatan tuberkulosis

dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis

obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan (Kemenkes, 2011).

 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment

Shortcourse chemotheraphy) oleh seorang Pengawas Menelan

Obat (PMO) (Kemenkes, 2011). Pengobatan diberikan dalam

jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap

lanjutan untuk mencegah kekambuhan (Kemenkes, 2014).

Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan

etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya

minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap

lanjutan) (Kemenkes, 2011).

 Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat

obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk

mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap

intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi

tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar

pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2

bulan (Kemenkes, 2011).


 Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat

lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap

lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes, 2011).

Pengelompokan OAT menjadi 5 kelompok berdasar potensi dan

efikasinya dapat dilihat pada tabel 2.1 (Kemenkes, 2011).

2.1.Tabel Pengelompokan OAT ( kemenkes, 2011).

Golongan Jenis Obat


1 Lini pertama Isoniazid, Rifampisin,
Etambutol, Pyrazinamid,
Streptomisin
2 Obat suntik lini kedua Kanamisin, Amikasin,
kapreomisin.
3 Golongan florokuinolon Levofloksasin,
Moksifloksasin,
ofloksasin
4 Obat bakteriostatik lini Etionamid, Protionamid,
kedua. Sikloserin, Terizidon,
Para amino salisilat
(PAS).
5 Obat yang belum terbukti Clofazimin, Linezolid,
efikasinya Klaritromisin, Imipenm

2.2.Tabel efek samping ringan OAT (kemenkes,2011).

Penyebab Penatalaksanaan
Efek samping
Tidak ada nafsu Semua OAT diminum
makan, mual, sakit Rifampisin malam sebelum tidur
perut
Pirasinamid Beri aspirin
Nyeri sendi
Kesemutan sampai Beri vitamin B6
rasa terbakar di kaki INH (piridoxin) 100 mg per
hari
Warna kemerahan Tidak perlu diberi
pada air seni (urine) Rifampisin apaapa, tapi perlu
penjelasan kepada
pasien
2.2.Tabel efek samping berat OAT (kemenkes,2011)

Efek samping Penyebab Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan Semua jenis Jika pasien dalam pengobatan,


kulit OAT OAT mulai mengeluh gatal-
gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain.
Berikan dulu antihistamin,
sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat.
Gatal-gatal tersebut pada
sebagian pasien hilang, tetapi
pada sebagian besar pasien
terjadi suatu kemerahan kulit.
Bila keadaan seperti ini,
hentikan semua OAT. Tunggu
sampai kemerahan kulit tersebut
hilang. Jika gejala efek samping
ini bertambah berat, pasien
perlu dirujuk
Streptomicyn Streptomisin dihentikan. Ganti
Tuli Etambutol

Streptomicyn Streptomisin dihentikan. Ganti


Gangguan Etambutol

keseimbangan

Ikterus tanpa Hampir Hentikan semua OAT sampai


penyebab lain ikterus
semua OAT
Menghilang

Bingung dan Hampir semua Hentikan semua OAT, segera


muntahmuntah OAT lakukan tes fungsi hati
(permulaan ikterus
karena obat)
Gangguan Ethambutol Hentikan Etambutol
penglihatan
Purpura dan renjatan Rimfamicin Hentikan Rifampisin
syok

j) Pemantauan dan Hasil Pengobatan TBC

1. Pemantauan kemajuan pengobatan TB.


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan

pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju

Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan

pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan

pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali

(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2

spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau

keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan

positif (Kemenkes, 2011).

2. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif adalah (Kemenkes, 2014) :

 Sembuh adalah pasien TB Paru dengan hasil pemeriksaan

bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan

bakteriologis pada akhir pengobatan negatif dan pada salah satu

pemeriksaan sebelumnya.

 Pengobatan lengkap adalah pasien TB Paru yang telah

menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dimana pada salah

satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun

tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir

pengobatan.

 Gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan


diperoleh hasil laboratorium yang menunjukan adanya resistensi

OAT.

 Meninggal adalah pasien TB yang meninggal sebab apapun sebelum

memulai atau sedang dalam pengobatan.

 Putus berobat (loss to follow up) adalah pasien TB yang tidak

memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2

bulan terus menerus atau lebih.

 Tidak dievaluasi adalah pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir

pengobatannya. Termasuk dalam hal ini “pasien pindah (transfer

out)” ke kabupaten atau kota lain dimana hasil akhir pengobatannya

tidak diketahui oleh kabupaten atau kota yang ditinggalkan.

k) Pencegahan tuberkulosis menurut Zain (2001) dalam Mutaqqin (2008)

adalah sebagai berikut :

1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul

eratdengan penderita tuberkulosis BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes

tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka

pemeriksaan radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan

mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif,

berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan

kemoprofilaksis.

2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-

kelompok populasi tertentu misalnya :

 Karyawan rumah sakit atau Puskesmas atau balai pengobatan.

 Penghuni rumah tahanan.

 Siswa-siswi pesantren.
3. Vaksinasi BCG.

4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/KgBB 6-12 bulan

dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang

masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama adalah bayi

yang menyusu pada Ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis

sekunder diperlukan bagi kelompok berikut :

 Bayi di bawah 5 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena

risiko.

 timbulnya TB milier dan meningitis TB.

 Anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin

yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular.

 Individu yang menunjukan konversi hasil tes tuberkulin dari

negatif menjadi positif.

 Penderita yang menerima pengobatan steroid atau imunosupresif

jangka panjang.

 Penderita diabetes melitus.

5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis

kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit

oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan

Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI).

B. Kepatuhan.

a. Definisi kepatuhan.

Teori Santoso dalam Palinggi et al (2013) yang berpendapat bahwa

kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan

perilaku yang disarankan dokter atau oleh orang lain. Perilaku patuh
minum OAT dinilai dari sisa OAT pada penderita sesuai dengan jumlah

yang seharusnya, PMO menyatakan bahwa pasien meminum OAT

setiap hari, dan pasien menyatakan bahwa ia meminum OAT setiap hari

(Hutapea, 2009). Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat

dipengaruhi oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan

yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan kebijakan

dengan pemberian pengobatan gratis sehingga diharapkan dapat

merupakan perangsang bagi penderita agar teratur berobat sesuai

dengan jadwal sampai tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam

pelaksanaannya banyak penderita yang tidak tekun menyelesaikan

pengobatannya (Ratnasari, 2012). Kepatuhan dalam pengobatan akan

meningkat ketika penderita mendapatkan bantuan dari keluarga

(Ramirez dalam Glick et al., 2011). Kepatuhan pasien sangat dituntut

dalam menjalani pengobatan jangka panjang. Dari kepatuhan itu

diharapkan kemampuan bakteri dalam tubuh dapat berkurang dan mati.

Apabila penderita TB tidak patuh dalam minum obat maka dapat

menyebabkan angka kesembuhan penderita rendah, angka kematian

tinggi, dan kekambuhan meningkat serta lebih fatal adalah terjadinya

resisten kuman terhadap beberapa obat anti tuberkulosis, sehingga

penyakit TB sangat sulit disembuhkan (irnawati et al, 2016).

Berbagai teori tentang kepatuhan berobat dalam Hutapea (2009) dan

usaha agar berperilaku patuh berobat dikemukakan beberapa penulis,

antara lain:

1. Kepatuhan berobat sangat dipengaruhi oleh perilaku penderita;


2. Cara terbaik mengubah perilaku adalah dengan memberikan

informasi serta diskusi dan partisipasi dari penderita.

3. Agar perilaku penderita lebih patuh dibutuhkan memperkuat driving

force dengan menggalakkan persuasi dan memberi informasi (teori

Force Field Analysis dari Lewis).

Ketidak patuhan minum obat akan meningkatkan terjadinya drug

resistance dimana bakteri basil tidak akan sensitif terhadap

antibiotik tertentu. Jika hal ini terjadi pada beberapa obat maka

terjadi Multi-Drug Resistance yang bila terjadi pada seorang

penderita membuat pengobatan akan lebih sulit dan kemungkinan

besar dalam prognosis penyakit. (Gough, 2011). Beberapa faktor

yang mendukung sikap patuh penderita diantaranya: pendidikan,

akomodasi, modifikasi faktor lingkungan dan sosial, perubahan

model terapi, interaksi profesional, faktor sosial dan ekonomi, faktor

sistem kesehatan, faktor kondisi, faktor terapi, faktor pasien (Ahsan

et al, 2013) seperti motivasi ingin sembuh (Irnawati el al, 2016)

motivasi dan dukungan keluarga (Palinggi et al, 2013, Irnawati et al,

2016), pengawasan dari Pengawas Minum Obat (PMO), penyuluhan

atau pendidikan kesehatan serta tidak ingin terjadi penularan

(Irnawati et al, 2016).

Selain itu, beberapa alasan mengapa seseorang tidak patuh

dalam pengobatan, diantaranya: lupa untuk mengkonsumsi, biaya

yang mahal, kemiskinan, efek samping, durasi yang lama dan stigma

(Haynes dalam Gough dan Kauffman, 2011). Tingkat kepatuhan

juga berpengaruh dalam keberhasilan pengobatan TB apabila orang


tersebut patuh minum obat maka orang tersebut akan sembuh hanya

dengan pengobatan OAT-KDT kategori 1, dan apabila kepatuhan

minum obat buruk maka penderita TB tersebut akan melanjutkan

pengobatan TB ke tahap selanjutnya yaitu pengobatan OAT-KDT

kategori 2 dan MDR bagi penderita TB yang telah resisten obat

OAT-KDT kategori 2 (Irnawati et al, 2016).

Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan

tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan

menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan

BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan

mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta

memperberat beban pemerintah. Berbagai faktor penyebab

ketidakpatuhan minum obat penderita TB Paru, dapat disimpulkan

bahwa faktor manusia, dalam hal ini penderita TB paru sebagai

penyebab utama dari ketidak patuhan minum obat (Hutapea, 2009).

Penderita dan keluarga menyadari akan pentingnya kepatuhan

berobat, dan sering kali penderita ingin segera menyelesaikan

pengobatan supaya dilihat oleh masyarakat dirinya sembuh dan

diterima kembali oleh masyarakat. Keluarga diharapkan mampu

mengurangi dan menekan kelalaian minum obat karena keluarga

dapat mengawasi penderita secara langsung dan kontinyu (Palinggi

et al, 2013).

b. Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan.

Menurut Safri (2013), ke 4 faktor berdasarkan teori Health Belief Model

(HBM) yang terdiri dari kerentanan yang dirasakan (perceived


susceptiblity), keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness),

manfaat dan rintangan yang dirasakan (perceived benefit and barriers),

dan faktor pendorong (cues) secara bersama-sama memiliki hubungan

dengan kepatuhan minum obat pasien TB di Puskesmas Umbulsari,

Kabupaten Jember. Sedangkan jika ke 4 faktor tersebut berdiri sendiri

maka tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan minum obat pasien

TB. Selain itu menurut Pasek (2013), persepsi dan tingkat pengetahuan

penderita tuberkulosis memiliki hubungan dengan kepatuhan

pengobatan di Puskesmas Buleleng I, Bali. Persepsi yang salah dan

pengetahuan yang kurang menyebabkan penderita tidak datang selama

fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan

berobat dan kebanyakan penderita merasa enak pada akhir fase intensif

dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan selanjutnya.

Sedangkan menurut Kondoy (2013), faktor-faktor yang berhubungan

dengan kepatuhan berobat pasien tuberkulosis adalah pendidikan dan

pengetahuan. Sedangkan usia, jenis kelamin, status pekerjaan, tingkat

pendapatan dan efek samping OAT tidak berhubungan dengan

kepatuhan berobat.

Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Niven (2002),

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah:

1. Faktor penderita atau individu.

a) Sikap atau motivasi individu ingin sembuh.

Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu

sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan

kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang


berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol

penyakitnya.

b) Keyakinan (persepsi).

Kepercayaan merupakan keyakinan tentang kebenaran teradap

sesuatu yang dirasakan pada budaya yang ada pada masyarakat

tersebut. Sehingga bila dalam masyarakat mempunyai

kepercayaan yang salah tentang sesuatu dapat menghambat

perubahan perilaku.

2. Dukungan keluarga.

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan

keluarga terhadap anggota keluarganya. Anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap

memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan, Muhlisin

(2012).

Dukungan keluarga menurut Fridman (2010) adalah sikap,

tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota keluargannya,

berupa dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan

instrumental dan dukungan emosional. Jadi dukunan keluarga adalah

suatu bentuk hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan

dan penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota

keluarga merasa ada yang memperhatikannya. Jadi dukungan sosial

keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang

dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses

atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Erdiana, 2015).


3. Dukungan petugas kesehatan.

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat

mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama

berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru

tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat

mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias

mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara terus

menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang

telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.

c. Faktor yang Mempengaruhi Ketidak patuhan.

Menurut Niven (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak

patuhan dapat digolongkan menjadi empat:

a) Pemahaman Intruksi.

Intruksi yang salah dapat menimbulkan salah paham kepada

seseorang sehingga akan salah persepsi dan tidak mengikuti perintah

atau ketaatan.

b) Kualitas Interaksi.

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien

merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat

kepatuhan.

c) Isolasi Sosial dan keluarga.

Keluarga dapat menjadikan faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu dan serta juga

dapat menentukan tentang progam yang dapat mereka terima..

d) Keyakinan Sikap dan Kepribadian.


Becker pada tahun 1979 telah membuat suatu usulan bahwa model

keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidak

patuhan. Keyakinan tentang kesehatan dan kepribadian seseorang

berperan dalam menentukan respon pasien terhadap anjuran

pengobatan (Niven, 2002).

C. Dukungan Keluarga.

a. Pengertian Dukungan Keluarga.

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga

terhadap anggota keluarganya. Anggota keluarga memandang bahwa

orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan

bantuan jika diperlukan, Muhlisin (2012). Dukungan keluarga dalam hal

ini adalah mendorong penderita untuk patuh meminum obatnya,

menunjukkan simpati dan kepedulian, serta tidak menghindari penderita

dari penyakitnya.Dalam memberikan dukungan terhadap salah satu

anggota yang menderita TB, dukungan dari seluruh anggota keluarga

sangat penting untuk proses penyembuhan dan pemulihan penderita

(Irnawati et al, 2016).

b. Sumber Dukungan Keluarga

Menurut Caplan (1974) dalam Friedman (2010) terdapat tiga sumber

dukungan sosial umum, sumber ini terdiri atas jaringan informal yang

spontan: dukungan terorganisasi yang tidak diarahkan oleh petugas

kesehatan professional, dan upaya terorganisasi oleh professional kesehatan.

Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang

di pandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau

diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi
anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu

siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan

sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti

dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau

dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998).

Terdapat dua sumber dari dukungan sosial keluarga antara lain, Asih 1998

dalam permana (2013).

a. Sumber dukungan keluarga Internal.

Sumber dukungan keluarga internal seperti dukungan dari suami, istri

, atau dukungan dari saudara kandung.

b. Sumber dukungan keluarga Eksternal.

Sumber dukungan keluarga eksternal meliputi jaringan kerja sosial

dari keluarga inti itu sendiri. Jaringan kerja sosial ini antara lain

tetangga, teman, sahabat, rekan kerja, kelompok pengajian, pemberi

perawatan kesehatan dan kelompok-kelompok yang menjadi mitra

pengungkapan sebuah keluarga yang menyangkut kepentingan

bersama.

c. Tujuan Dukungan Keluarga

Sangatlah luas diterima bahwa orang yang berada dalam lingkungan

sosial yang suportif umumnya memiliki kondisi yang lebih baik

dibandingkan rekannya yang tanpa keuntungan ini. Lebih khususnya,

karena dukungan sosial dapat dianggap mengurangi atau menyangga

efek serta meningkatkan kesehatan mental individu atau keluarga secara

langsung, dukungan sosial adalah strategi penting yang haru ada dalam

masa stress bagi keluarga (Friedman, 2010). Dukungan sosial juga dapat
berfungsi sebagai strategi pencegahan guna mengurangi stress akibat

negatifnya (Roth, 1996). Sistem dukungan keluarga ini berupa

membantu berorientasi tugas sering kali diberikan oleh keluarga besar,

teman, dan tetangga. Bantuan dari keluarga besar juga dilakukan dalam

bentuk bantuan langsung, termasuk bantuan financial yang terus-

menerus dan intermiten, berbelanja, merawat anak, perawatan fisik

lansia, melakukan tugas rumah tangga, dan bantuan praktis selama masa

krisis (Friedman, 2010).

d. Jenis Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (1998), menyatakan bahwa keluarga berfungsi

sebagai sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga memandang

bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan

dan bantuan jika diperlukan. Terdapat empat dimensi dari dukungan

keluarga yaitu:

1) Dukungan emosional berfungsi sebagai pelabuhanistirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan emosional serta meningkatkan

moral keluarga (Friedman, 2010). Dukungan emosianal melibatkan

ekspresi empati, perhatian, pemberian semangat, kehangatan pribadi,

cinta, atau bantuan emosional. Dengan semua tingkah laku yang

mendorong perasaan nyaman dan mengarahkan individu untuk percaya

bahwa ia dipuji, dihormati, dan dicintai, dan bahwa orang lain bersedia

untuk memberikan perhatian (Sarafino, 2011)

2) Dukungan informasi, keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan

disseminator (penyebar) informasi tentang dunia (Friedman, 1998).

Dukungan informasi terjadi dan diberikan oleh keluarga dalam bentuk


nasehat, saran dan diskusi tentang bagaimana cara mengatasi atau

memecahkan masalah yang ada (Sarafino, 2011).

3) Dukungan instrumental, keluarga merupakan sebuah sumber

pertolongan praktis dan konkrit (Friedman, 1998). Dukungan

instrumental merupakan dukungan yang diberikan oleh keluarga secara

langsung yang meliputi bantuan material seperti memberikan tempat

tinggal, memimnjamkan atau memberikan uang dan bantuan dalam

mengerjakan tugas rumah sehari-hari (Sarafino, 2011).

4) Dukungan penghargaan, keluarga bertindak (keluarga bertindak

sebagai sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan memerantai

pemecahan masalah dan merupakan sumber validator identitas anggota

(Friedman, 2010). Dukungan penghargaan terjadi melalui ekspresi

penghargaan yang positif melibatkan pernyataan setuju dan panilaian

positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang lain yang

berbanding positif antara individu dengan orang lain (Sarafino, 2011).

5) Manfaat Dukungan Keluarga.

Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi

sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda

dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam

semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga

mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya,

hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).

Wills (1985) dalam Friedman (1998), menyimpulkan bahwa baik efek-efek

penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap


kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung

mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) ditemukan. Sesungguhnya

efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan

dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan.

Safarino (2006) menyatakan bahwa ada 4 jenis dukungan keluarga

yaitu dukungan informasional dengan memberikan penjelasan tentang

penyakit tuberkulosis dari cara pengobatan, Kedua ada dukungan penilaian

dengan memberikan support dalam menjalani pengobatan, memperhatikan

untuk selalu mengingatkan dalam minum obat serta mengikut sertakan

setiap ada acara keluarga, yang ketiga ada dukungan instrumental

diwujudkan berupa mengantarkan saat kontrol serta menyediakan alat

makan, alat mandi dan menyediakan sarana prasarana kebutuhan responden.

Terakhir ada dukungan emosional diwujudkan dengan mendengarkan keluh

kesah responden yang dirasakan dalam menjalani pengobatan secara

emosional untuk mencapai kesejahteraan anggota keluarga dan memenuhi

kebutuhan psikososial. Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi.

kepatuhan untuk pengobatan TB, dimana keluarga berfungsi sebagai

sistem pendukung bagi anggota keluarganya yang sakit. Selain itu, keluarga

juga selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan

(Irnawati et al, 2016).Menurut Purnawan (2009), faktor yang

mempengaruhi dukungan keluarga diantaranya menerapkan fungsi keluarga

yaitu sejauh mana keluarga mempengaruhi anggota keluarga lain saat

mengalami masalah kesehatan serta membantu dalam memenuhi kebutuhan.

Dukungan dari keluarga membuat penderita tidak merasa terbebani dengan


penyakit yang dideritanya. Hal ini disebabkan karena adanya perhatian dari

keluarganya, sehingga penderita tidak merasa sendirian (Irnawati et al,

2016). Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam

meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan pengawasan dan pemberian

semangat terhadap penderita. (Ratnasari, 2012).

Dukungan keluarga terhadap pasien dapat berupa dukungan dalam

bentuk emosional, informasi, moril, keuangan sehingga pasien memiliki

motivasi untuk kesembuhannya dan dapat memperbaiki perilaku kesehatan

(Biswas et al, 2010). Menurut Sobur dalam Palinggi et al (2013) yang

menyatakan bahwa motivasi itu dapat membangkitkan motif (daya gerak)

atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam

rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan. Menurut Taufik dalam

Palinggi et al (2013) secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan motivasi

adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul

keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat

memperoleh hasil dan atau mencapai tujuan tertentu (Palinggi et al, 2013).

Dukungan sosial penting untuk penderita penyakit kronis seperti

tuberkulosis sebab dengan dukungan tersebut akan mempengaruhi perilaku

individu, seperti penurunan rasa cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa

sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita

(Ratnasari, 2012).

Seorang pasien menerima perawatan di rumah, ia mengharapkan

dukungan praktis dari setiap anggota keluarga yang cukup bertanggung

jawab untuk mengurus orang sakit. Pasien mengharapkan dukungan

emosional dan bimbingan dari anggota keluarga ini dan menganggap rumah
menjadi surga bagi istirahat dan penyembuhan (Sukumani et al, 2012).

Anggota keluarga dapat membantu memperbaiki kesehatan pasien dengan

mendorong pasien untuk merawat diri sendiri atau memberikan dukungan

psikologis terhadapa pasien yang tidak bisa merawat diri sendiri. Dukungan

sosial yang utama berasal dari dukungan keluarga, karena dukungan

keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan penderita

tuberkulosis berjuang untuk sembuh, berpikir ke depan, dan menjadikan

hidupnya lebih bermakna (Melisa, 2012, Paz- Soldan, 2013). Dukungan

teman dan penyedia layanan kesehatan juga penting sebagai pendukung

pasien dengan cara yang berbeda (Paz- Soldan, 2013).

Faktor yang mempengaruhi rendahnya dukungan keluarga adalah

kemiskinan dan rendahnya pendidikan anggota keluarga sehingga

kurangnya pengetahuan atau kemauan untuk mencari informasi untuk

mendukung pasien (Biswas et al, 2010). Dukungan sosial dari keluarga dan

lingkungan sekitar yang rendah menimbulkan gangguan psikologis pada

penderita tuberkulosis meliputi : depresi, gangguan penyesuaian, ansietas,

hilangnya tujuan hidup, melemahnya produktifitas, fobia dan lainnya

(Ginting, 2008). Penderita tuberkulosis sangat membutuhkan peran keluarga

dalam kesembuhan (Nuha, 2013) dan motivasi kepada penderita TB paru

dalam bentuk bantuan dana, menciptakan lingkungan yang nyaman pada

anggota keluarga yang menderita TB paru, memberikan semangat dan

memotivasi dalam menjalani pengobatan sehingga menimbulkan kepatuhan

berobat (Palinggi et al, 2013), memberikan sarana prasanan, menyediakan

dana pengobatan, meluangkan waktu untuk mendampingi berobat dan saat

dirumah maupun bergaul di lingkungan sekitarnya (Nuha, 2013). Penderita


tuberkulosis perlu mendapatkan dukungan sosial lebih, karena dukungan

dari orang-orang secara langsung dapat menurunkan beban psikologis

sehubungan dengan penyakit yang dideritanya, selain itu dukungan sosial

dapat mempengaruhi tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas,

mudah putus asa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan

(Ratnasari, 2012).
D. Kerangka Teori

Tuberculosis.
Faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya Kepatuhan
TB: minum obat
a) Faktor sosial
ekonomi
b) Status gizi
c) Usia
d) Jenis kelamin
e) Kondisi
lingkungan rumah Hasil Pengobatan :
f) Riwayat kontak - Sembuh
dengan penderita - Pengobatan
g) Imunosupresi Lengkap
h) Infeksi HIV - Meninggal
i) Alkoholisme - Putus
j) Keadaan lain (DM, berobat/default
gagal ginjal, - Gagal
malignasi) - Pindah/transfer
Faktor yang
Faktor yang mempengaruhi mempengaruhi
kepatuhan :
a. Persepsi pasien
Keterangan:
 Persepsi kerentanan
terhadap tuberkulosis.
: yang tidak diteliti.
 Persepsi keparahan
terhadap tuberkulosis.
: yang tidak diteliti
 Persepsi manfaat
tindakan kesehatan
terhadap tuberculosis.
 Persepsi penghalang
terhadap tindakan
kesehatan penyakit
tuberkulosis.

b. Dukungan
keluarga.
 Penghargaan.
 Instrumental.
 Informasi.
 Emosional

c. Dukungan petugas 2.4. Kerangka Teori


Kesehatan.
Sumber: Hiswani (2009) dalam
d. Sikap dan motivasi Helper (2010), Neven
pasien (2002),Kemenkes (2014).

Anda mungkin juga menyukai