Anda di halaman 1dari 7

4 Prinsip Parenting dalam Perspektif Psikologi Islam

Disampaikan dalam Seminar Nasional Parenting Islami, Ramadhan Di Kampus UGM

ِ ّ‫َّللاِ ۚ ٰذلِكَ الدّينُ القَيِّ ُم َو ٰل ِك هن أَكث َ َر الن‬


َ‫اس ال َيعلَمون‬ ‫ق ه‬ ِ ‫اس َعلَيها ۚ ال ت َبدي َل ِلخَل‬ َ َ‫َّللاِ الهتى ف‬
َ ّ‫ط َر الن‬ ِ ‫فَأَقِم َوج َهكَ ِللد‬
َ ِ‫ّين َحنيفًا ۚ ف‬
‫طرتَ ه‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)

َ‫ُطون أ ُ همهٰ تِ ُكم ال ت َعلَمونَ شَيـًٔا َو َجعَ َل لَ ُك ُم السهم َع َواألَبصٰ َر َواألَفـِِٔدَةَ ۙ لَعَله ُكم ت َش ُكرون‬ َ َ ‫َّللاُ أ‬
ِ ‫خر َج ُكم ِمن ب‬ ‫َو ه‬

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu )bersyukur.”
(An Nahl: 78)

‫اإلنسٰ نَ لَفى ُخسر‬ ِ ‫َوال َعصر ِإ هن‬


‫بر‬
ِ ‫ص‬‫صوا ِبال ه‬ ِ ّ ‫صوا ِبال َح‬
َ ‫ق َوت َوا‬ َ ‫ت َوتَوا‬ ّٰ ‫ِإ هال الهذينَ ءا َمنوا َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫ص ِل ٰح‬

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan beramal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
(Al Asr: 1-3)

ْ ‫َو َما أَد َْراكَ َما ْال َع َقبَةُ فَكُّ َرقَبَة أَ ْو ِإ‬
َ ‫ط َعا ٌم فِي يَ ْوم ذِي َم ْسغَبَة َيتِي ًما ذَا َم ْق َربَة أ َ ْو ِم ْس ِكينًا ذَا َمتْ َربَة ث ُ هم َكانَ ِمنَ الهذِينَ آ َمنُوا َوت ََوا‬
‫ص ْوا‬
ِِ ‫ص ْوا ِب ْال َم ْر َح َم ِة‬
َ ‫صب ِْر َوت ََوا‬
‫ِبال ه‬

“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada
hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Dan menjadi orang-orang yang
beriman dan saling berpesan dalam kesabaran dan saling berpesan dengan kasih sayang.”
(Al Balad: 12-17)

“Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orangtuanya lah yang akan
menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi”
(Hadist riwayat Bukhari, Juz 1, hlm 1292)
Permasalahan “Parenting”

Permasalahan dalam pendidikan anak dewasa ini mungkin dapat terwakili oleh pernyataan
seorang Facebooker ini:

“ Banyak Pendidik yang sampai hari ini bingung tentang konsep Reward & Punishment
terhadap anak. ingin di berikan reward, tetapi ada jargon "anak adalah bintang". ingin
diberikan punishment "ada undang2 Anak".... lalu mana yang seharusnya ??”

Banyak orang tua dan guru yang berusaha untuk mengadopsi ungkapan-ungkapan populer tanpa
memahami makna dan filosofi di balik ungkapan tersebut. “Reward & punishment” seolah
dianggap sebagai resep yang jitu untuk mendidik anak, padahal dalam sejarahnya prinsip
tersebut telah banyak menimbulkan masalah di dunia industri. Konsep anak adalah bintang yang
muncul dari gerakan “self esteem” banyak diadopsi tanpa pemahaman yang mencukupi.
Sementara itu gerakan “self esteem” itu sendiri telah menjadi sumber keprihatinan di negara
asalnya, Amerika Serikat.

“Reward & punishment” adalah strategi motivasi yang diterapkan pada awal abad 20 terhadap
pekerja pabrik-pabrik baru yang berkembang pesat sejak revolusi industri di Eropa. Menurut
konsep ini buruh dianggap sebagai komponen dari mesin ekonomi yang harus dikelola demi
kelancaran proses produksi, dan mereka dianggap sebagai “makhluk” yang haus uang dan takut
hukuman, karena pada masa itu latar belakang pendidikan mereka rata-rata rendah. Konsep ini
sering diasosiasikan dengan istilah lain yaitu “stick and carrot” yang lazim digunakan dalam
dunia binatang seperti pacuan kuda atau balap anjing. “Stick” adalah tongkat yang dibawa oleh
sang penunggang kuda untuk memukul agar sang kuda memacu larinya, sedang “carrot” adalah
iming-iming yang biasanya digantungkan di depan kepala sang kuda agar dikejar. Bagaimana
bisa mereka menggunakan konsep yang serupa terhadap binatang dan manusia? Karena menurut
pemikiran Barat Sekuler, manusia adalah binatang juga. Mereka menyebut manusia sebagai
“human animal”. Anak kita bukanlah buruh apalagi binatang pacuan! Lalu bagaimana cara
mendidik anak yang paling baik?

Untuk dapat mengetahui bagaimana sebaiknya kita mendidik anak, kita harus tahu dulu apa
tujuan kita mendidik mereka. Untuk mengetahui tujuan kita dalam mendidik anak kita harus tahu
terlebih dahulu siapa sebenarnya anak kita. “Anakmu bukanlah anakmu! Mereka adalah putra-
putri kehidupan yang merindu!”, demikian kata Khalil Gibran. Apakah maksudnya itu?

Sebagai muslim kita semestinya mengacu kepada Al Qur’an untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan hakekat seorang manusia.
Siapakah Anak Kita?

Terdapat satu ayat dalam Al Qur’an yang dapat kita jadikan landasan untuk merenungkan dan
memikirkan bagaimana seharusnya kita mendidik anak. Ayat tersebut adalah sebagai berikut:

“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi keba-nyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)

Ayat tersebut menyebutkan bahwa manusia diciptakan menurut fitrahnya dan diperintahkan agar
tetap menjaga fitrahnya tersebut. Ayat ini kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Hadist
Rasulullah SAW yang berbunyi sebagai berikut:

“Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orangtuanya lah yang akan
menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi”
(Hadist riwayat Bukhari, Juz 1, hlm 1292)

Hadist Rasulullah SAW tersebut menjelaskan peran orangtua yang bernada peringatan, yaitu
bahwa perlakuan orangtua terhadap anaknya atau pendidikan yang diberikan orangtua terhadap
anaknya memiliki risiko yang dapat menyesatkan sang anak dari fitrahnya. Kita sebagai orangtua
“diwanti-wanti” (Jawa) atau diperingatkan agar jangan sampai mendidik anak sehingga justru
membuat sang anak melenceng dari fitrahnya. Pendidikan yang benar adalah yang sesuai dengan
fitrah sang anak, yang menjaga fitrah anak sehingga tetap lurus seperti ketika mereka dilahirkan.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah fitrah anak tersebut?

Ibnu Sina menjelaskan bahwa hakekat dari fitrah seorang manusia sebagai makhluk Allah adalah
tunduk pada Allah atau Muslim. Hal ini berbeda dengan konsep “Tabula Rasa” yang sering
dipahami kebanyakan orang, yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan
“netral” atau “kosong”. Karena fitrah manusia adalah Muslim, maka perjalanan hidup manusia
di dunia ini adalah dalam rangka “kembali” pada Allah. Allah adalah Al Haq atau Kebenaran,
sehingga manusia selalu merindukan kebenaran. Ilmu pengetahuan adalah usaha manusia untuk
mendapatkan kebenaran tersebut. Menurut Ibnu Sina, kebahagiaan sejati yang dialami manusia
terjadi ketika dia “bertemu” dengan kebenaran. Dalam bahasa psikologi hal ini disebut sebagai
“AHA experience”, yaitu ketika seseorang mendapatkan pencerahan atau ide atau ilham yang
memberikan jawaban atau solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Pendidikan yang baik
adalah yang dapat memberikan pengalaman-pengalaman tersebut secara bertahap dan
berkelanjutan.
Pada ayat lain dalam Al Qur’an, Allah menyebutkan bahwa fitrah manusia yang suci tersebut
tidaklah manifest dalam kesadarannya, karena ketika manusia lahir Allah membuatnya lupa dan
tidak tahu apa-apa.

“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An Nahl:
78)

Dengan memperhatikan kondisi tersebut maka inti dari parenting adalah yang pertama-tama,
mengingatkan. Karena manusia pada awalnya adalah suci dan memiliki sifat lupa maka
pendidikan pada intinya adalah mengingatkan manusia untuk kembali ke jalan yang benar.
Sarana untuk mengingat kembali tersebut adalah pendengaran, penglihatan dan hati.

Mengingatkan
Mengingatkan adalah kata kunci atau prinsip pertama dalam pendidikan anak atau “parenting”.
Artinya, pendidikan bukanlah “memaksakan”, ataupun “mengarahkan”, yang sering dimaknai
dengan mengarahkan sesuai keinginan orang tua atau keinginan masyarakat. Pendidikan anak
atau “parenting” juga bukan dalam rangka “mencetak” pribadi-pribadi anak yang sesuai dengan
keinginan orang tua maupun masyarakat, karena “cetakan” tersebut akan ketinggalan jaman
begitu anak tumbuh dewasa. Pada intinya yang perlu kita lakukan pada anak atau anak didik
adalah sesuatu yang tidak temporer. Yang kita harus lakukan pada anak atau anak didik adalah
mengingatkan mereka untuk berpegang pada sesuatu yang abadi dan universal, yaitu Kebenaran.

Usaha untuk mengingatkan tentang kebenaran bukanlah usaha yang mudah, karena dunia ini
penuh dengan godaan dan cenderung menyesatkan. Godaan-godaan duniawi biasanya bersifat
temporer dan hanya berlaku dalam waktu yang singkat. Sesuatu yang menyeret pada kelalaian itu
biasanya sekedar mode, karena banyak orang melakukannya, namun hanya dalam kurun waktu
tertentu. Termasuk di dalamnya adalah gaya hidup masyarakat yang berubah-ubah, atau
kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dalam bidang pendidikan. Kalau kita mengikuti dan
hanyut dalam mode-mode tersebut maka anak akan terombang-ambing.

Pendidikan maupun parenting pada prinsipnya adalah melindungi anak dari berbagai macam
ancaman dunia yang akan menyeret mereka ke jalan yang sesat. Seperti halnya para Nabi dan
Rasul yang bertugas untuk meluruskan kembali umatnya yang melenceng dari jalan yang lurus.
Jalan yang lurus itu adalah jalan yang sederhana, namun sifatnya abadi dan universal. Itulah jalan
kebenaran. Oleh arena itu kita perlu memahami apakah kebenaran itu.
Kebenaran
Sebagai muslim kita sudah sangat mengenal doktrin-doktrin tentang kebenaran, yaitu Al Qur’an
dan Hadist. Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat mendidik anak kita agar selalu
berpegang pada Al Qur’an dan Hadist, dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-
hari.

Untuk memahami strategi mendidik yang mengarah pada Kebenaran tersebut, kita perlu ingat
bahwa ada tiga “instrument” untuk belajar yang sudah dikaruniakan Allah pada semua manusia,
yaitu: pendengaran, penglihatan, dan hati. Artinya dalam mendidik anak, kita harus selalu
“menyuapi” pendengaran, penglihatan, dan hati mereka dengan kebenaran.

Pendengaran adalah instrumen untuk menangkap kata-kata. Sebagai orang tua atau guru kita
harus menjaga kata-kata kita karena kata-kata itu akan mempengaruhi jiwa anak atau anak didik
kita. Katakanlah yang benar meskipun itu pahit. Berkata-kata lah dengan bijak dan lemah
lembut, karena melalui pendengaran anak-anak akan belajar tentang sekelilingnya, dan akhlak
mereka akan terbentuk.

Penglihatan adalah instrumen yang akan menangkap perilaku dan peristiwa yang terjadi di
sekeliling mereka. Anak-anak akan menirukan apa yang mereka lihat. Oleh karena itu
berperilakulah yang benar, bertindaklah sedemikian rupa agar Anda dapat menjadi teladan bagi
anak-anak Anda.

Hati adalah instrumen untuk menangkap cinta. Ketika kita salah bicara atau membuat kesalahan
dalam berperilaku, berkomunikasilah dengan hati. Jagalah hati kita untuk tetap mencintai anak
kita, Jangan sampai kekesalan dan kemarahan kita menumbuhkan benci dalam hati kita. Cinta
akan memancar dari hati kita dan akan dirasakan oleh hati anak kita. Cinta adalah komunikasi
dari hati ke hati tanpa perlu kata-kata dan tanpa harus ditunjuk-tunjukkan dengan perbuatan yang
tidak wajar atau berlebihan.

Mungkin dalam prakteknya kita akan menghadapi situasi yang sedemikian rupa sehingga amarah
sudah tidak tertahankan lagi. Rasanya sulit sekali untuk merasakan cinta itu. Lalu bagaimana?
Ingat bahwa putus asa adalah dosa, dan Allah bersama orang-orang yang sabar. Sabar adalah
prinsip ke tiga dalam mendidik anak. Dalam Al Qur’an surat Al Anfal ayat 28, Allah
mengingatkan “bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya
di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

Dalam situasi lain mungkin kita merasa sudah berusaha maksimal namun belum melihat hasil
yang diinginkan. Mungkin kita merasa kemampuan kita terbatas dan sudah tidak mampu lagi
untuk menyampaikan kebenaran pada anak kita. Dalam situasi yang seolah sudah di luar batas
kemampuan kita tersebut kita harus ingat bahwa Allah akan menolong kita jika kita bersabar.
Kesabaran

Sabar adalah sesuatu yang mudah dikatakan tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Sabar adalah
suatu pilihan sikap sekaligus perilaku yang mengandung muatan emosi yang kuat. Kadang secara
kognitif kita sadar bahwa kita seharusnya bersabar, namun dorongan emosi yang sedemikian
kuat dapat menyebabkan kita berperilaku yang tidak sesuai dengan pemahaman kita. Emosi
harus dikendalikan dengan keimanan.

Untuk dapat betul-betul bersabar kita harus memiliki keimanan. Keimanan bahwa Allah Maha
Bijaksana dan Allah akan memberikan jalan keluar terbaik bagi permasalahan kita. Dalam
kaitannya dengan pendidikan anak, kita harus yakin bahwa anak kita, hati anak kita, ada dalam
genggaman Allah, dan Allah akan menunjukkan jalan yang benar. Dengan dilandasi keimanan
tersebut maka Insya Allah, kita akan mampu bersabar.

Ada beberapa orangtua yang merasa tak berdaya untuk “mengendalikan” anaknya kemudian
bersikap masa bodoh lalu seolah memutuskan hubungan orantua-anak. Kadang mungkin dengan
ungkapan “sudah saya ikhlaskan dia di jalan yang sesat”. Sikap-sikap yang bernada putus asa
tersebut adalah indikasi dari hilangnya kesabaran. Hilangnya kesabaran berarti kegagalan dalam
mengemban tugas sebagai pembimbing dan penjaga anak yang sudah diamanahkan pada kita.

Sabar juga berlawanan dengan tergesa-gesa. Kadang dalam mendidik anak kita ingin serba cepat;
cepat pintar, cepat lulus, cepat besar, cepat mandiri, cepat sukses, dan lain sebagainya. Dalam
ketergesa-gesaan tersebut sering, sengaja atau tidak, kita memaksakan kehendak kita terhadap
anak. Kadang kehendak kita tersebut dilakukan demi memenuhi “tuntutan zaman”. “Tuntutan
zaman” sesungguhnya adalah salah satu bentuk mode atau gaya hidup sesaat yang sering
menyilaukan kita. Biasanya ketika kita tergesa-gesa untuk mengikuti tuntutan zaman, kita akan
mengalami kekecewaan di kemudian hari karena tuntutan zaman tersebut akan selalu berubah.

Keterjebakan kita dalam memaksakan kehendak pada anak-anak kita untuk mengikuti tuntutan
zaman menyebabkan kita lupa pada hakekat pendidikan anak, yaitu menjaganya agar tetap pada
fitrahnya yang suci. Anak menjadi bahan eksploitasi untuk kepentingan orangtua, demi nama
baik orangtua, agar dapat dibangga-banggakan di depan umum. Anak diperlakukan layaknya
seperti “investasi” untuk menjamin kehidupan orangtua di masa depan. Biaya besar dikeluarkan
untuk mendidik anak dengan harapan akan mendapat “return” yang menguntungkan. Jika hal ini
terjadi maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang jiwanya kering dari kasih sayang. Padahal
ketika hati menjadi keras, kepandaian dan kesuksesan tidak akan bermanfaat, tapi justru akan
menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Oleh karena itu, untuk memperkuat kesabaran kita,
kita harus selalu mengingatkan anak-anak kita dengan kasih sayang, atau kelembutan hati dan
perlakuan.
Kasih Sayang

Kasih sayang adalah bagaikan Matahari yang menyinari Bumi tanpa pamrih. Kasih sayang
adalah ketulusan kita dalam mendidik anak demi kebaikan anak itu sendiri. Kasih sayang adalah
keridhoan kita mengemban amanah yang diberikan Allah. Anak adalah amanah, titipan, bukan
hak milik. Ketika orangtua merasa memiliki anaknya, mereka akan tega menyiksa anaknya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai