Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

IJTIHAD DAN TAKLID

oleh:
Rizki Juhansyah

Admiral Amir Kasim

Ridho Kurnia Putra

Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen : H. Asnin Syafiuddin Lc, MA.

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS SATYAGAMA
2016
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Bismillahirrohmanirrohim, segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah


SWT yang telah menganugerahkan kepada kita nikmat yang begitu banyak, yang
dengan nikmat itu kita sekalian mampu menjalankan segala bentuk amanah yang
diberikan kepada kita sebagai khalifatullah di muka bumi ini.

Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya
menjalani kehidupan di dunia ini agar kita selalu dalam lindungan dan Ridho Allah
SWT.

Tak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen Pembimbing


mata kuliah Ushul Fiqh ini, Bapak H. Asnin Syafiuddin Lc, MA. Atas segala
bimbingan, arahan, dan ilmu yang telah disampaikan kepada penulis.

Selanjutnya Alhamdulillah makalah yang berjudul “Ijtihad dan Taklid” ini dapat
terselesaikan, meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2016.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil
agama yaitu Al Qur’an dan Hadits dengan jalan istinbath. Adapun Mujtahid (yang
melakukan Ijtihad) itu adalah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan
seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap suatu
hukum agama.

Sedangkan kata Taqlid berasal dari Bahasa Arab, yakni kata kerja “qallada”,
“yaqallidu”, “taqlidan”, yang artinya meniru, menurut seseorang, dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah Ilmu Fiqih adalah “menerima
perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alas an
perkataannya.” Sedangkan definisi taqlid menurut Imam Al Ghazali yaitu:
“menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”1

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan keterangan di atas, penulis akan membahas masalah Ijtihad dalam


empat bahasan, yaitu:

A. Pengertian, Fungsi, Jenis-jenis, Hukum, dan Manfaat Ijtihad


B. Kesalahan Dalam Ijtihad
C. Hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diijtihadkan
D. Dasar-dasar Ijtihad dan Syarat Menjadi Mujtahid

Adapun mengenail Taqlid, penulis akan membahasnya dalam dua bahasan, yaitu:

A. Pengertian, Jenis-jenis dan Hukum Taqlid


B. Pendapat Empat Imam Tentang Taklid
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman


bagaimana cara kerja Mujtahid untuk menjalani proses Ijtihad agar dapat
mengeluarkan Istinbath. Dan untuk memberikan pemahaman mengenai apa itu
Taqlid dan bagaimana hukumnya.
DAFTAR ISI
BAB II

PEMBAHASAN

I. IJTIHAD
A. Pengertian, Fungsi, Bentuk-bentuk, Hukum, dan Manfaat Ijtihad

Menurut etimologi, Ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan


perhatian. Sedangkan menurut terminology, Ijtihad adalah mencurahkan
segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan
suatu hukum. Secara umum, pengertian Ijtihad adalah sebuah usaha yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang
tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal
sehat dan juga pertimbangan matang.

Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al


Qur’anul Qareem, dan Al Hadits, serta turut memegang fungsi penting dalam
penetapan hulum Islam. Adapun orang yang melakukan Ijtihad disebut
Mujtahid. Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya dapat
dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat untuk melakukannya.

Contoh Ijtihad misalnya dalam penentuan I Syawal, Para ulama berkumpul


untuk berdiskusi mengeluarkan argumennya untuk menentukan 1 Syawal, juga
penentuan awal Ramadhan. Setiap ulama memiliki dasar hukum dan cara
dalam penghitungannya, jika telah ketemu maka muncullah kesepakatan dalam
penentuan 1 Syawal.1

Funsi Ijtihad adalah:

1) Terciptanya suatu keputusan antara para ulama dan para ahli agama
(yang berwenang) untuk mencegah kemudharatan dalam penyelesaian

1
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-ijtihad-fungsi-contoh-ijtihad.html
suatu perkara yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’an
dan Hadits.
2) Tersepakatinya suatu keputusan dari hasil Ijtihad yang tidak
bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.
3) Dapat ditetapkannya hukum terhadap suatu persoalan Ijtihadiyah atas
pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan
syariat berdasarkan prinsip-prinsip umum ajaran islam.2

Bentuk-bentuk ijtihad antara lain:

1) Ijma’ (kesepakatan) : Pengertian ijma adalah kesepakatan para ulama


untuk menetapkan hukum agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist dalam
perkara yang terjadi. Hasil dari Ijma berupa Fatwa artinya keputuan yang
diambil secara bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
diikuti oleh seluruh umat.
2) Qiyas : Pengertian qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya
menetapkan hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa
sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya dan
berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Ijma
dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum ditetapkan
sebelumnya.
3) Maslahah Mursalah : Pengertian maslahah mursalah adalah cara
menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan
manfaatnya.
4) Sududz Dzariah : Pengertian sududz dzariah adalah memutuskan suatu
yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
5) Istishab : Pengertian istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu
ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya.
6) Urf : Pengertian urf adalah tindakan dalam menentukan masih bolehkah
adat-istiadat dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama
tidak bertentangan dengan aturan prinsipal Al-Qur'an dan Hadist.

2
http://pengertianedefinisi.com/pengertian-ijtihad-definisi-fungsi-bentuk-dan-contoh/
7) Istihsan : Pengertian istihsan adalah tindakan dengan meninggalkan satu
hukum kepada hukum lainnya disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.3

Adapun yang menjadi dasar Ijtihad ialah Al Qur’an dan As Sunnah. Diantara dalil
dalam Al Qur’an yang menjadi dasar Ijtihad adalah sebagai berikut:

ِ ‫ّللاُ َوال ت َ ُك ْن ِل ْلخَا ِئنِينَ خ‬


‫َصي ًما‬ َ َ‫اس بِ َما أ َ َراك‬ ِ ‫َاب بِ ْال َح‬
ِ َ‫ق ِلتَحْ ُك َم يْنَ ََب الن‬ َ ‫يْكَ ََإِل ْال ِكت‬
‫ِإنَا أ َ ْنزَ ْلنَا‬

“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang-orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (QS An Nisa :
105)

Adapun Hadits yang menjadi dasar Ijtihad diantaranya adalah Hadits Amr bin ‘Ash
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan
Rasulullah SAW bersabda:

“apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan Ijtihad, kemudian benar,


maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi jika ia menetapkan hokum dalam
ijtihad itu salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR Muslim).4

Manfaat dari dilakukannya Ijtihad antaralain:

 Setiap permasalahan baru yang dihadapi setiap umat dapat diketahui


hukumnya sehingga Hukum Islam selalu berkembang serta sanggup
menjawab tantangan.
 Dapat menyesuaikan hukum dengan berdasarkan perubahan zaman,
waktu dan keadaan.

3
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-ijtihad-fungsi-contoh-ijtihad.html
4
https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-
islam/
 Menetapkan fatwa terhadap masalah-masalah yang tidak terkait
dengan halal atau haram.
 Dapat membantu Umat Islam dalam menghapi setiap masalah yang
belum ada hukumnya secara Islam.

B. Kesalahan Dalam Ijtihad

Banyak kemungkinan yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan-


penyimpangan dalam berijtihad, diantaranya:

 Ijtihad dilakukan oleh mujtahid yang bukan ahlinya


 Berijtihad demi kepentingan individual dan kepentingan
kelompok, serta
 Berijtihad berdasarkan hawa nafsu, dll.

Terlepas dari penyebab individual atau kelompok, factor-faktor urgen yang


menjadi penyebab kesalahan dalam berijtihad, seperti yang diketengahkan
oleh Dr. Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya “Al Ijtihad fi Al Syaria’ah Al-
Islamiyah” dan juga dalam bukunya Drs. H. Rohadi Abdul Fatah, M.Ag.
yang berjudul Analisis Fatwa keagamaan, antara lain sebagai berikut:

 Mengesampingkan Nash dan Mengedepankan Ra’yu

Hal ini adalah salah satu factor yang menjadikan kesalahan dalam
berijtihad, nash Al Qur’anul Qareem, maupun sunnah Rasulullah SAW.
Metode ijtihad yang dilakukan ulama salaf maupun ulama kontemporer
harus selalu mengacu keoada Al Qur’an dan Hadits. Senadainya ada suatu
problematika masyarakat yang mebutuhkan solusi, seorang mujtahid harus
merujuk kepada Al Qur’an, jika tidak ditemukan jawaban yang sesuai,
beralih kepada Hadits, jika masih belum menemukan solusi yang tepat,
sasaran baru kemudian menggunakan metode selanjutnya. Urutan-urutan
sumber hokum seperti ini, adalah urutan yang telah dilakukan oleh
Sayyidina Abu Bakar ra dan Sayyidina Umar Bin Khattab ra, dan sesuai
dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Muadz ibn Jabal.
Beberapa contoh Ijtihad yang mengesampingkan Nash Al Qur’an dan
Hadits antara lain: memperbolehkan mengadopsi anak buangan,
memperbolehkan gambar secara keseluruhan.

 Salah Memahami Nash atau Menyimpang dari Konteksnya

Kesalahan ijtihad kontemporer terkadang tidak disebabkan oleh


ketidakpahaman akan nash atau mengabaikannya, tetapi dapat disebabkan
oleh kesalahan dan keliru dalam menginterpretasikan nash tersebut.

 Kontra Terhadap Ijma’ yang Telah Dikukuhkan

Yang dimaksud disini adalah Ijma’ yang telah diyakini, yang telah menjadi
ketetapan fiqh dan Ijma’ itu telah ditetapkan oleh seluruh umat Islam.

 Qiyas Tidak Pada Tempatnya

Seperti kita ketahui bersama, Qiyas adalah menyamakan hokum sesuatu


yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan
hukumnya, karena ada persamaan illat antara keduanya. Diantara letak
tergelincirnya Ijtihad kontemporer adalah penggunaan qiyas yang tidak
pada tempatnya.

 Kealpaan Terhadap Realita Perkembangan Zaman.5

C. Yang Boleh dan Tidak Boleh Diijtihadkan

Mengenai masalah yang boleh diijtihadkan, adalah: masalah-masalah yang


ditunjuk oleh nash yang Zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu
penelitian lebih lanjut) dan Zhanniyatul dilalah (makna dan ketetapan
hukumnya tidak jelas dan tegas).

Masalah Zhanniyah terbagi menjadi 5 macam, yaitu:

5
http://bijehpade.blogspot.co.id/2011/10/kekeliruan-ijtihad-kontemporer.html
1) Hasil Analisa Para Theolog: yaitu masalah yang tidak berkaitan
dengan aqidah keimanan seseorang, karena hal itu membutuhkan
pemikiran. Dan ilmu yang memerlukan pemikiran bukanlah
ijtihad.
2) Aspek Amaliyah yang Zhanni: yaitu masalah yang belum
ditentukan kadar kriterianya dalam nash. Contohnya: apakah batas-
batas menyusui yang dapat menimbulkan mahram.
3) Sebagian Kaidah-kaidah Zhanni: yaitu masalah qiyash merupakan
norma hokum tersendiri.
4) Masalah-masalah yang tidak ada nashnya samasekali.

Adapun hal-hal yang tidak boleh diijtihadkan adalah Masalah Qathiyah,


yaitu masalah yang sudah ditetapkan dengan dalil-dalil yang pasti, baik
melalui dalil naqli maupun dalil aqli. Hukum ini bersifat mutlak dan sudah
pasti diberlakukan sepanjang masa, sehingga tidak mungkin terjadi adanya
perubahan dan modifikasi serta tidak ada peluan juga dalam meng-
istinbath-kan hukum bagi oara mujtahid. Contohnya kewajiban seperti
shalat, zakat, puasa, haji. Karena untuk kewajiban tersebut Al Qur’an telah
mengaturnya dengan dalil yang tegas.6

D. Dasar-dasar Ijtihad dan Syarat Menjadi Mujtahid

Dua masalah penting yang harus diperhatikan ketika hendak melakukan


Ijtihad adalah:

1. Dasar-dasar Ijtihad

Al Qur’an dan Hadits adalah menjadi dasar mutlak dalam melaksanakan


ijtihad. Meski Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap,
tidak berate semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara mendetail
oleh Al Qur’an maupun Hadits.

Selain itu, adanya perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Qur’an


dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus

6
https://faridahbahiyah.wordpress.com/2011/02/04/ijtihad/
berkembang dan tentu saja diperlukan aturan-aturan turunan dalam
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika
terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu,
atau di suatu masa tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara
yang dipersoalkan itu sudah ada dalam Al Qur’an atau Al Hadits.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang sudah ada sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits.
Namun jika persolana tersebut merupakan perkara yang tidak ada
ketentuannya dalam Al Qur’an maupun Al Hadits, maka pada saat itulah
umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tetapi yang berhak membuat
Ijtihad adalah mereka yang benar-benar paham Al Qur’an dan Al Hadits,
mereka itulah yang disebut Mujtahid.

2. Syarat-syarat Menjadi Mujtahid

Menurutu Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, syarat-


syarat untuk menjadi seorang mujtahid ada dua. Pertama mengetahui
syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya, sehingga
dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhiri sesuatu
yng harusnya diakhiri. Kedua, Adil dan tidak melakukan maksiat yang
dapat merusak keadilannya.

Lebih merinci, menurut Fakhir al Din Muhammad bin Umar bin Husain,
syarat-syarat Mujtahid adalah:

1) Mukallaf, karena hanya mukallaf yang dapat melakukan


penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya
3) Mengetahui keadaan Mukhatab yang merupakan sebab
pertama terjadinya perintah larangan.
4) Mengetahui keadaan lafadz; apakah meimliki qarimah apa
tidak.
5) Memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al syariah), yaitu
dlaruriyat ayng mencakup pemeliharaan agama, pemeliharaan
jiwa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan dan
pemeliharaan harta.
6) Mampu melakukan penetapan hukum
7) Memahami Bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan
dengannya.
8) Akhaqul karimah.7

II. TAQLID
A. Pengertian, Jenis-jenis dan Hukum Taqlid

Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu,
taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.8

Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:

‫الت ّقليد قبول بغير حجّّّ ة وليس طريقا للعلم الفى االْصول والفى الفروع‬

“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak
ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam
urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”

Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:

‫الت ّقليد هو ا ْالخذ غيربقول دليل‬

“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”9

Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam
pembicaraan taqlid, yaitu:

7
http://www.islamcendekia.com/2014/01/pengertian-ijtihad-dan-syarat-syarat-
mujtahid.html
8
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Bumi Aksara,
2009), h. 323.
9
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), h. 324.
a) Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b) Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-
Qur’an dan hadits tersebut.10

Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :

Yang pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang tidak
mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent) dengan
kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan firman Allah
SWT:

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu


tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)

Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama) yang ia dapati lebih utama
dalam ilmu dan waro '(kehati-hatian) nya, jika hal ini sama pada dua orang
(‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara keduanya.

Yang kedua : terjadi pada seorang Mujtahid suatu kejadian yang ia harus
segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan
penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk
bolehnya taqlid : hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam
ushuluddin (pokok agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk
meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan
taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan).

Dan yang rojih (kuat) adalah bahwa yang demikian bukanlah syarat,
berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala :

َ‫سأَلُواْ َلّْأَه ال ِذّك ِْر إِن كُنت ُ ْم الَ ت َ ْعلَ ُمون‬


ْ ‫فَا‬

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu


tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)

10
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
h.132.
Ayat ini adalah dalam konteks penetapan kerasulan yang merupakan
ushuluddin, dan karena orang awam tidak mampu untuk mengetahui (yakni
ber-istinbath dan istidlal)1 kebenaran dengan dalil-dalinya. Maka jika ia
memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah tersisa (baginya)
kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

َ َ ‫ّللاَ َما ا ْست‬


‫ط ْعت ُ ْم‬ َ ‫فَاتَقُوا‬

“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian.” (QS. at-Taghobun : 16)

Taqlid ada dua jenis, yakni :

Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia
mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua
urusan agamanya.

Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka
ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka,
pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-
ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena
apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang
selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.

Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus


tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang
benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan
kesulitan yang sangat.

Adapun Hukum Taqlid terbagi 3 kelompok, yaitu:

1) Taqlid yang Diharamkan


 Taqlid yang semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat
nenek moyang atau orang terdahulu, yang bertentangan dengan Al
Qur’an dan Hadits.
 Taqlid kepada orang aau sesuatu yang tidak diketaui kemampuan dan
keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak
mengetahui kemampuan, keahlian atau kekuatan berhala tersebut.
 Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2) Taqlid yang Diperbolehkan
 Dibolehkan bertaqlid kepada seoramg Mujtahid dalam hal yang belum
ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan
persoalan dan peristiwa, denga syarat yang bersangkutan harus selalu
berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Jadi sifatnya
sementara.
 Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada
salah satu pendapat dari keempat Imam Madzhab.
3) Taqlid yang Diwajibkan
 Wajiib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai
dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.11

B. Pendapat Empat Imam Tentang Taklid

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid:

 Imam Abu Hanifah (80-150H)

Beliau merupakan akal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang


mengikuti fatwa seseorang jika orang yang berfatwa tersebut tidak
mengetahui dalil dari fatwa itu.

 Imam Malik bin Anas (93-179H)

Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang


itu adalah orang terpandang atau menpunyai kelebihan. Prinsipnya,

11
Totok Jumantoro dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, ……, h. 326.
setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti
lebih dulu sebelum diamalkan.

 Imam As Syafi’I (150-204H)

Beliau adalah murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “beliau


akan meninggalkan pendapatnya pada saat ia mengetahui bahwa
pendapatnya itu tidak sesuai dengan Hadits Nabi SAW.

 Imam Hambali (164-241H)

Beliau melarang bertaqlid kepada Imam manapun dan menyuruh orang


agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para
Sahabatnya. Sedangkan yang berasal dari Tabi’in dan orang-orang
sesudahnya agar diselidiki terlebih dahulu. Mana yang benar diikuti,
mana yang salah ditinggalkan.12

12
http://islamicinemaker.blogspot.co.id/2012/01/pendapat-4-imam-madzhab-tentang-
sikap_29.html
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijtihad adalah mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan seorang


ahli fiqh dalam menetapkan (istinbath) hukum yang berhubungan dengan
amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci. Orang yang melakukan
Ijtihad disebut Mujtahid.

Fungsi Ijtihad diantaranya adalah untuk terciptanya suatu keputusan antara


para ulama dan para ahli agama (yang berwenang) untuk mencegah
kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang tidak ditentukan
secara eksplisit oleh Al Qur’an dan Hadits.

Taqlid adalah mengambil kesimpulan dari perkataan orang lain tanpa dalil.

Taqlid ada 3 hukum; taqlid yang diharamkan, yang dibolehkan, dan taqlid
yang diwajibkan.

B. Saran

Dalam penulisan dan pembahasan makalah ini masih terdapat banyak


kekurangan. Oleh karena itu kami sebagai penulis menghargai berbagai
kritik dan saran dari rekan-rekan semua, agar dalam penulisan makalah
berikutnya dapat lebih baik. Terima kasih.
Daftar Pustaka

Alaiddin Koto. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada

http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-ijtihad-fungsi-contoh-
ijtihad

http://bijehpade.blogspot.co.id/2011/10/kekeliruan-ijtihad-
kontemporer.html

https://faridahbahiyah.wordpress.com/2011/02/04/ijtihad/

http://islamicinemaker.blogspot.co.id/2012/01/pendapat-4-imam-
madzhab-tentang-sikap_29.html

https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-
sumber-ajaran-islam/

http://pengertianedefinisi.com/pengertian-ijtihad-definisi-fungsi-
bentuk-dan-contoh

http://www.islamcendekia.com/2014/01/pengertian-ijtihad-dan-syarat-
syarat-mujtahid.html

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul
Fikih. Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai