Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

ABSES BARTHOLINI

Disusun Oleh:
dr. Risa

Dokter Pembimbing:
dr. H. Siswono Sp.OG

Dokter Pendamping:
dr. Hj. Titin Ning Prihatini, MH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


KABUPATEN INDRAMAYU
2019

1
PORTOFOLIO KASUS

Nama Peserta: dr. Risa


Nama Wahana: RSUD Indramayu
Topik: Abses Bartholin
Tanggal (kasus) : 28 juli 2019
Tanggal Presentasi : Pembimbing : dr. H. Siswono., Sp.OG
Pendamping: dr. Hj. Titin Ning Prihatini, MH
Tempat Presentasi : RSUD Indramayu
Obyek presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan
pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Abses dan Kista Bartholin pada labia mayor sinstra
Tujuan:
1. Pendekatan diagnosis Abses bartholin
2. Penatalaksanaan pasien Abses bartholin

Bahan Bahasan: Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit


Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos
Data Pasien: Nama: Nn. EY, perempuan, 15 tahun No.Registrasi:
Nama klinik Instalasi Gawat Darurat VK RSUD
Indramayu
Data utama untuk bahan diskusi:
• Keterangan Umum
 Nama : Nn. EY
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Tanggal Lahir : 29 Juli 2019
 Umur : 15 tahun
 Alamat : Singaraja
 Pendidikan Terakhir : SD
 Pekerjaan : Tidak bekerja
 Status Perkawinan : Belum Kawin
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Tanggal MRS : 28 Juli 2019 (jam 22.00 WIB)
 Tanggal Pemeriksaan : 29 Juli 2019

2
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS

Nama : Nn. EY

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 29 Juli 2004

Umur : 15 tahun

Alamat : Singaraja Indramayu

Pendidikan Terakhir : SD

Pekerjaan : Tidak bekerja

Status Perkawinan : Belum kawin

Agama : Islam

Suku : Jawa

Tanggal MRS : 28 Juli 2019 (jam 22.00 WIB- IGD)

Tanggal Pemeriksaan : 29 Juli 2019

2. ANAMNESIS

Keluhan utama : Benjolan di bibir vagina

Keterangan umum :

Pasien datang ke IGD RSUD Indramayu dengan keluhan benjolan di bibir

vagina sebelah kiri sejak 1minggu sebelum masuk RS, keluhan diawali dengan

benjolan sebesar kacang merah yang kemudian membesar hingga sebesar telur

puyuh. Pasien mengaku benjolan muncul sehari setelah pasien berhubungan

seksual dengan pacarnya. Mula-mula bibir vagina terasa gatal dan pasien

3
menggaruk menggunakan tangan yang tidak bersih. Keluhan disertai nyeri yang

dirasakan terutama saat pasien beraktifitas, keluhan nyeri tersebut mengganggu

aktifitas dan kualitas tidur pasien. Keluhan disertai keputihan berwarna

kekuningan yang tidak berbau dengan jumlah yang cukup banyak. Pasien juga

mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, dan nyeri ketika BAK. Keluhan nyeri

ketika berhubungan seksual tidak ada, keluhan keluar darah dari jalan lahir di luar

siklus menstruasi tidak ada, seperti batuk dan pilek tidak pernah dialami pasien,

keluhan pada BAB tidak ada.

Sebelumnya pasien mengobati sendiri dengan membeli obat di apotek.

Pasien meminum obat amoksisilin, tetrasiklin, dan paracetamol, namun keluhan

tidak membaik. Pasien memiliki kebiasaan jarang mengganti celana dalam, pasien

hanya mengganti celana dalam sehari sekali, jika pasien menstruasi pasien hanya

mengganti pembalut 1-2x sehari.

Riwayat keluhan serupa sebelumnya tidak pernah dialami oleh pasien.

Riwayat keputihan berbau sebelumnya tidak ada. Riwayat trauma di daerah

genital tidak pernah dialami oleh pasien. Riwayat asma, alergi obat maupun alergi

makanan tidak ada. Pasien belum pernah hamil maupun keguguran sebelumnya.

Pasien mengaku pertama menstruasi di usia 12 tahun, dengan siklus teratur 28

hari dan lama menstruasi 5 hari. Pasien belum pernah menikah sebelumnya.

Pasien mengaku sudah pernah berhubungan seksual, tidak berganti pasangan.

Pasien belum pernah menggunakan KB sebelumnya.

4
Pasien memiliki kebiasaan minum minuman keras dan merokok sejak usia

12 tahun, pasien mengaku pernah meminum obat obatan terlarang. Pasien

mengaku tidak pernah mengkonsumsi narkoba jenis suntik.

3. PEMERIKSAAN FISIK DAN GINEKOLOGI

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis

Berat badan : 45 kg

Tinggi badan : 158 cm

BMI : 18,0 kg/m2

Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg

Nadi : 84 x/ menit

Respirasi : 18/ menit

Suhu : 36,5°C (axilla)

Kepala

Rambut : Lurus, kuantitas tebal, warna hitam, distribusi

merata,tekstur lembut, tidak mudah rontok

Tengkorak : Simetris, deformitas tidak ada, benjolan tidak ada, nyeri

tekan tidak ada

Wajah : Simetris, bentuk oval, pergerakan involunter tidak ada,

massa tidak ada, edema tidak ada

Mata : Oculi Dextra Sinistra: Konjungtiva tidak anemis, sklera

tidak ikterik

5
Telinga : Auris Dextra Sinistra: Deformitas tak ada, benjolan tak

ada, lesi kulit tak ada, hiperemis tak ada, sekret tak ada.

Hidung : Bentuk simetris, pernafasan cuping hidung tidak ada,

mukosa tenang, sekret tidak ada

Mulut : Sianosis tidak ada, mukosa mulut tenang, lidah simetris,

tonsil tenang T1-T1

Leher : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris

Pulmo : Batas Paru Hepar ICS VI, peranjakan +1 ICS

pulmo depan : vesikular breath sound kanan = kiri,

sonor di kedua lapang paru, Ronkhi (-)/(-) Wheezing(-)/(-)

pulmo belakang : vesikular breath sound kanan = kiri,

sonor di kedua lapang paru, Ronkhi (-)/(-) Wheezing(-)/(-)

Cor : Ictus cordis tidak terlihat, teraba ICS V LMCS. BJ S1,S2

reguler, S3 (-), S4 (-), murmur (-)

Abdomen : Bising usus (+), Nyeri tekan (-)

Ekstremitas atas : Akral hangat, capillary refill time < 2 detik, edema (-/-)

Ekstremitas bawah : Akral hangat, capillary refill time < 2 detik, edema (-/-)

PEMERIKSAAN GINEKOLOGI

Pemeriksaan genitalia eksterna :

Inspeksi : massa (+) di labia mayor sinistra, diameter 5 cm, batas tegas,

hiperemis (+), fluor albus (+) warna putih kekuningan, darah (-).

Palpasi : nyeri tekan (+), konsistensi kenyal kesan berisi cairan.

6
Pemeriksaan genitalia interna : tidak dilakukan pemeriksaan.

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 13,2 12,8-16,8


Lekosit 8400 4500 -13000
Eritrosit 4,9 3,8 – 5,2
Hematokrit 41,7 35 – 47
Trombosit 404.000 154-442
MCV 84 80-100
MCH 26,5 22-34
MCHC 31,7 33-36
RDW 14,2 12,8-14,5
Masa pembekuan 6’00” 6-15
Masa perdarahan 2’30” 1-3
Golongan darah AB negatif
Rhesus +
HIV rapid test negatif

5. DIAGNOSA

Diagnosa banding :1. Abses bartholin

2. Bartholinitis

Diagnosa kerja : Abses bartholin

7
6. TATALAKSANA

Farmakoterapi

 Infus RL 20 tpm.

 Ketorolac 3x30 mg IV

 Cefotaxim 2x1 gr IV

 Ranitidin 2x50mg

Non Farmakoterapi

 Program Operasi

Insisi drainase abses

7. LAPORAN HASIL OPERASI

 Waktu Operasi : 29 Juli 2019

• Dokter Sp.OG : dr. H. Siswono Sp.OG

• Jenis Anestesi : Spinal

• Diagnosis Pra-operasi : Kista bartholin

• Diagnosis Pasca operasi : Abses bartholin

• Jenis Operasi : Insisi dan Drainase Abses

• Lama operasi : 10.15 – 10.35 (20 menit)

8
8. FOLLOW UP
29-7-2019 30-7-2019
Gincu 3 (hari ke-1) jam 12.00 Gincu 3 (hari ke-2) jam 7.00
S: S:
Lemas, nyeri pada luka operasi Lemas, nyeri pada luka operasi
O: O:
KU: Sakit sedang KU: Sakit sedang
TD: 120/70 mmHg TD: 120/70 mmHg
N: 110 x/m N: 120 x/m
R: 24 x/m R: 24 x/m
S: 36.6 °C S: 36.7 °C
SpO2 95% SpO2 95%
GCS E4M6V5 GCS E4M6V5
Kes: CM Kes: CM
Keputihan (-)

A: A:
Abses bartholin Abses bartholin

P: P:
IVFD RL 20 tpm Cefadroxyl 2x500mg
Cefotaxime 2x1 g IV As. Mefenanat 3x500mg
Ketorolac 3x30 mg IV
Ranitidine 2x50 mg IV

9. PROGNOSIS

 Quo ad vitam : ad bonam

 Quo ad functionam : ad bonam

 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

10. EDUKASI

 Memberikan penjelasan tentang penyakit yang diderita pasien

 Menjelaskan kepada pasien bahwa setelah pulang dari perawatan di RS,

pasien diharapkan merawat luka post insisi drainase dengan cara

membersihkan area luka dengan air bersih dan sabun. Pasien juga harus

9
menjaga kebersihan area genital dengan cara mengganti celana dalam

minimal 2 kali sehari, jika pasien menstruasi harap mengganti pembalut

minimal 4jam sekali untuk menghindari tumbuhnya bakteri patogen di

area genital.

 Merawat luka dengan cara:

o Bersihkan dan ganti kasa jika pada luka operasi keluar darah
o Usahakan semaksimal mungkin agar luka operasi tetap kering
o Menjaga kebersihan dan jauhkan dari kotoran seperti debu

 Memberikan penjelasan kepada pasien untuk segera memeriksakan diri ke


dokter apabila ditemukan tanda-tanda demam, luka menjadi bengkak,
kemerahan, dan terasa hangat, peningkatan rasa nyeri di area sayatan, dan
terdapat nanah.

 Pasien diberitahu untuk kontrol ke poliklinik kebidanan seminggu setelah

pulang dari perawatan di RS. Pasien diminta untuk patuh mengkonsumsi

antibiotik dan obat obatan lain yang diberikan oleh dokter.

 Memberikan pengertian kepada pasien bahwa cuci tangan memakai sabun

itu penting, cuci tangan sebelum dan sesudah memegang alat kelamin.

Tidak menggaruk terlalu keras pada area genital karena akan

menyebabkan trauma pada area genital dan menyebabkan infeksi.

 Memberikan dukungan terhadap masalah di keluarga inti, menjelaskan

kepada pasien bahwa tindakan kabur dari rumah tidak menyelesaikan

masalah, dan akan menimbulkan masalah baru.

 Memotivasi pasien untuk melanjutkan sekolahnya yang sempat terputus

saat kelas satu SMP, pasien masih dapat melakukan kejar paket B dan

10
melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu SMA. Orangtua

pasien dimotivasi untuk membujuk pasien melanjutkan pendidikan

anaknya dan agar dapat mengawasi pasien dalam bidang pendidikan.

 Menjelaskan kepada pasien bahwa mengkonsumsi obat obatan terlarang

jenis pil maupun suntik adalah tindakan kriminal dan bisa mendapatkan

hukuman penjara.

 Memberikan pengertian kepada pasien dan orangtua bahwa seks bebas di

luar nikah berbahaya terutama bagi kesehatan jasmani dan kesehatan

mental pasien, dari seks bebas dapat tertular penyakit infeksi menular

seksual dan dapat terjangkit HIV

 Memberikan dukungan moral bagi orangtua pasien agar lebih menjaga

anak anaknya untuk tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang salah.

11
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Kista Bartholin adalah penyumbatan duktus kelenjar bagian distal

berupa pembesaran berisi cairan dan mempunyai struktur seperti kantong

bengkak (swollen sac-like structure).1 Jika lubang pada kelenjar Bartholin

tersumbat, lendir yang dihasilkan oleh kelenjar akan terakumulasi sehingga

terjadi dilatasi kistik duktus proksimal dan obstruksi. Kista Bartholin yang

mengalami obstruksi dan terinfeksi dapat berkembang menjadi abses.2

Abses Bartolini adalah penumpukan nanah yang membentuk

benjolan (pembengkakan) di salah satu kelenjar Bartholin yang terletak di setiap

sisi lubang vagina.3 Jika lubang pada kelenjar Bartholin tersumbat, lendir

yang dihasilkan oleh kelenjar akan terakumulasi sehingga terjadi dilatasi

kistik duktus proksimal dan obstruksi. Kista Bartholin yang mengalami

obstruksi dan terinfeksi dapat berkembang menjadi abses.2

2. Epidemiologi

Selama periode tahun 2012-2014 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

didapatkan 46 pasien kista Bartholin atau merupakan 1,29% dari jumlah

kunjungan. Abses Bartholin didapatkan 25 pasien atau merupakan 0,70%

dari jumlah kunjungan.4 Kista dan abses bartholin merupakan penyakit

terkait kelenjar Bartholin yang paling sering terjadi. Penyakit terjadi pada 2-

12
3% wanita. Abses hampir tiga kali lebih umum daripada kista. Kista

Bartholin rata- rata memiliki ukuran kecil yaitu 1-3 cm, biasanya unilateral

dan asimtomatik.2

3. Anatomi dan fisiologi kelenjar bartholin

Kelenjar Bartolin merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar

bartolin atau glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar,

dan berada di sebelah dorsal dari bulbus vestibulli. Saluran keluar dari kelenjar ini

bermuara pada celah yang terdapat diantara labium minus pudendi dan tepi

hymen. Glandula ini homolog dengan glandula bulbourethralis pada pria. Kelenjar

ini tertekan pada waktu coitus dan mengeluarkan sekresinya untuk membasahi

atau melicinkan permukaan vagina di bagian caudal. kelenjar bartolin diperdarahi

oleh arteri bulbi vestibuli, dan dipersarafi oleh nervus pudendus dan

nervushemoroidal inferior.5,6

Kelenjar Bartolin sebagian tersusun dari jaringan erektil dari bulbus,

jaringan erektil dari bulbus menjadi sensitif selama rangsangan seksual dan

kelenjar ini akan mensekresi sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikan.

Drainase pada kelenjar ini oleh saluran dengan panjang kira- kira 2 cm yang

terbuka ke arah orificium vagina sebelah lateral hymen, normalnya kelenjar

bartolin tidak teraba pada pemeriksaan palpasi.5,6,7

13
gambar 1. Genitalia eksterna5

Kelenjar bartolin dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel

kolumnair atau kuboid. Duktus dari kelenjar bartolini merupakan epitel

transsisional yang secara embriologi merupakan daerah transisi antara traktus

urinarius dengan traktus genital.5,6

Kelenjar ini mengeluarkan lendir untuk memberikan pelumasan vagina.

Kelenjar Bartolini mengeluarkan jumlah lendir yang relatif sedikit sekitar satu

atau dua tetes cairan tepat sebelum seorang wanita orgasme. Tetesan cairan

pernah dipercaya menjadi begitu penting untuk pelumas vagina, tetapi penelitian

dari Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas vagina berasal dari bagian

vagina lebih dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan labia vagina,

sehingga kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.5,8

4. Etiologi

Abses Bartholin banyak disebabkan oleh mikroorganisme yang

berkolonisasi dari regio perineal dan biasanya beragam, seperti Bacteroides spp.

dan Escherichia coli yang merupakan organisme predominan4. Abses Bartholin

adalah abses polimikrobial. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah

14
mikroorganisme aerobik yang dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah

patogen yang paling umum. Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi

organisme kausatif.7

Gambar 2. Etiologi abses bartholin

5. Patofisiologi

Tersumbatnya bagian distal dari duktus Bartholin dapat menyebabkan

retensi dari sekresi, dengan akibat berupa pelebaran duktus dan pembentukan

kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan

abses bisa berkembang dalam kelenjar. Kelenjar BartholiIn sangat sering

terinfeksi dan dapat membentuk kista atau abses pada wanita usia reproduksi.

Kista dan abses bartholin seringkali dibedakan secara klinis.

Kista Bartholin terbentuk ketika ostium dari duktus tersumbat,

sehingga menyebabkan distensi dari kelenjar dan tuba yang berisi cairan.

Sumbatan ini biasanya merupakan akibat sekunder dari peradangan nonspesifik

15
atau trauma. Kista bartholin dengan diameter 1-3 cm seringkali asimptomatik.

Sedangkan kista yang berukuran lebih besar, kadang menyebabkan nyeri dan

dispareunia. Abses Bartholin merupakan akibat dari infeksi primer dari kelenjar,

atau kista yang terinfeksi.6,7,9

6. Gejala klinis

Kista bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan tetapi dapat

menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Bila kista bartholini berukuran besar

dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk.9 Tanda kista

bartholini yang tidak terinfeksi dapat berupa penonjolan yang tidak nyeri pada

salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pambengkakan disertai kemerahan.

Jika kista terinfeksi, gejala klinik dapat berupa nyeri saat berjalan, duduk,

beraktifitas fisik atau berhubungan seksual, umumnya tidak disertai demam

kecuali jika terifeksi dengan organisme yang ditularkan melalui hubungan

seksual. Keluhan dyspareunia, sekret di vagina dan dapat terjadi ruptur spontan.

Gambar 3. Abses bartholin5

7. Diagnosis

16
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu

diagnosis. Pada anamnesis dinyatakan tentang gejala seperti panas, gatal, Sudah

berapa lama gejala berlangsung, kapan mulai muncul, Apakah pernah berganti

pasangan seks, keluhan saat berhubungan, riwayat penyakit menulat seksual

sebelumnya, riwayat penyakit kelamin pada keluarga.8

Kista bartholini di diagnosis melalui pemeriksaan fisik. Pasien mengeluhkan

adanya massa yang tidak disertai rasa sakit, unilateral, dan tidak disertai dengan

tanda tanda selulitis di sekitarnya. Jika berukuran besar, kista dapat tender.

Discharge dari kista yang pecah bersifat nonpurulent. Pemeriksaan fisik yang

diperoleh dari pemeriksaan terhadap abses Bartholin didapatkan pada perabaan

teraba massa yang tender, fluktuasi dengan daerah sekitar yang eritema dan

edema. Dalam beberapa kasus, didapatkan daerah selulitis di sekitar

abses.
 Demam, meskipun tidak khas pada pasien sehat, dapat terjadi.
 Jika

abses telah pecah secara spontan, dapat terdapat discharge yang purulen.

Pemeriksaan pasien dengan posisi litotomi, terdapat pembengkakan pada

kista pada posisi jam 5 atau jam 7 pada labium minus posterior. Jika kista

terinfeksi, maka pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk mengidantifikasi

jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada tahu tidaknya infeksi

menular.8,9

Salah satu diagnosa banding abses bartholin adalah bartholinitis, bartolinitis

adalah Infeksi pada kelenjar bartolin atau bartolinitis juga dapat menimbulkan

pembengkakan pada alat kelamin luar wanita. Biasanya, pembengkakan disertai

17
dengan rasa nyeri hebat bahkan sampai tak bisa berjalan. Juga dapat disertai

demam, seiring pembengkakan pada kelamin yang memerah.

Bartolinitis disebabkan oleh infeksi bakteri pada kelenjar bartolin.

Abses Bartholin juga dapat di diagnosa banding dengan kista epidermoid,

kista ini terletak di labia mayor dengan karakteristik mobile, nontender dan tidak

terdapat tanda radang. Penyebab tersering kista epidermal adalah trauma atau

obstruksi dari duktus pilosebaseus.

18
Gambar 4. Diagnosa banding

8. Pemeriksaan Penunjang

Pasien dalam kondisi sehat, afebri, tes laboratorium darah tidak diperlukan

untuk mengevaluasi abses tanpa komplikasi atau kista. Kultur bakteri dapat

bermanfaat dalam menentukan kuman dan pengobatan yang tepat bagi abses

Bartholini.6,8

19
9. Penatalaksanaan

Pengobatan kista Bartholin bergantung pada gejala pasien. Suatu kista tanpa

gejala mungkin tidak memerlukan pengobatan, kista yang menimbulkan gejala

dan abses kelenjar memerlukan drainase.2

Tindakan Operatif

Beberapa prosedur yang dapat digunakan:

a. Incisi dan Drainase 


Meskipun insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat dan mudah

dilakukan serta memberikan pengobatan langsung pada pasien, namun prosedur

ini harus diperhatikan karena ada kecenderungan kekambuhan kista atau abses.2,5,7

b. Marsupialisasi

Prosedur ini tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda- tanda abses akut.

Gambar 5. Marsupialisasi

Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian anestesi lokal,

dinding kista dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat insisi vertikal

20
pada vestibular melewati bagian tengah kista dan bagian luar dari hymenal ring.

Insisi dapat dibuat sepanjang 1.5 hingga 3 cm, bergantung pada besarnya kista.

Setelah kista diinsisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat diirigasi

dengan larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak dengan hemostat. Dinding

kista ini lalu dieversikan dan ditempelkan pada dindung vestibular mukosa

dengan jahitan interrupted menggunakan benang absorbable 2-0.18. Kekambuhan

kista Bartholin setelah prosedur marsupialisasi adalah sekitar 5-10 %.

c. Eksisi (Bartholinectomy)

Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang

tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak

ada infeksi aktif. Eksisi kista bartholin karena memiliki risiko perdarahan, maka

sebaiknya dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi umum.

Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat insisi kulit

berbentuk linear yang memanjang sesuai ukuran kista pada vestibulum dekat

ujung medial labia minora dan sekitar 1 cm lateral dan parallel dari hymenal ring.

Hati – hati saat melakukan insisi kulit agar tidak mengenai dinding kista. Struktur

vaskuler terbesar yang memberi supply pada kista terletak pada

bagian posterosuperior kista. Karena alasan ini, diseksi harus dimulai dari bagian

bawah kista dan mengarah ke superior. Bagian inferomedial kista dipisahkan

secara tumpul dan tajam dari jaringan sekitar. Alur diseksi harus dibuat dekat

dengandinding kista untuk menghindari perdarahan plexus vena dan vestibular

bulb danuntuk menghindari trauma pada rectum.

21
Gambar 6. Diseksi Kista

Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan, vaskulariasi

utama dari kista dicari dan diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu dipotong

dan diligasi dengan benang chromic atau benang delayed absorbable 3-0.

Gambar 7. Ligasi Pembuluh Darah

Pengobatan Medikamentosa.

Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular

seksual biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia.

Idealnya, antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase.

Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan5,6

a. Ceftriaxone.

Ceftriaxone adalah sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad

spectrum terhadap bakteri gram-negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap

bakteri gram-positif, dan efficacy yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten.

22
Dengan mengikat pada satu atau lebih penicillin-binding protein, akan

menghambat sintesis dari dinding sel bakteri dan menghambat pertumbuhan

bakteri. Dosis yang dianjurkan: 125 mg IM sebagai single dose .6,7

b. Ciprofloxacin.

Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan antibiotik tipe

bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan

menghambat pertumbuhan bakteri dengan menginhibisi DNA-gyrase pada

bakteri. Dosis yang dianjurkan: 250 mg per oral 1 kali sehari.

c. Doxycycline

Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara

berikatan dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk

Ctra chomatis. Dosis yang dianjurkan: 100 mg per oral 2 kali sehari selama 7 hari.

d. Azitromisin

Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan

oleh beberapa strain organisme. Alternatif monoterapi untuk C tra

homatis.
 Dosis yang dianjurkan: 1 g per oral 1x

10. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling umum dari abses Bartholin adalah

kekambuhan.
 Pada beberapa kasus dilaporkan necrotizing fasciitis setelah

dilakukan drainase abses.
 Perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati.

Timbul jaringan parut.

23
11. PROGNOSIS

Jika abses dengan didrainase dengan baik dan kekambuhan dicegah,

prognosisnya baik. Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan kurang dari 20%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Patil S, Sultan AH, Thakar R. Bartholin’s cysts and abscesses. J Obstet Gynecol.
2007; 27(3): 241-5.

2. Chen KT. Disorders of Bartholin gland. 2015: 1- 10.Available from :
www.uptodate.com.

3. Endang tri Wahyuni, Muhammad Dali Amiruddin, Alwi Mapiasse.
Bartholin’s abscess caused by Escherichia Coli. vol 1. P 68-72
4. Tjokorde I, Sunarko M. study retrospektif: abses dan kista Bartholin. April 2017;
Vol. 29 No. 1.
5. Snell, RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta : Penerbit

24
Buku Kedokteran EGC. 2006.
6. Sarwono Prawiro hardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2006.
7. Guyton, AC & Hall, CE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Philadelphia :
Elsevier Saunders. 2006.
8. Manuaba, Chandranita, dkk. Gawat Darurat Obstetri-Giekologi dan Obstetri-
Ginekologi Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta: ECG. 2008.
9. Badziat, Ali. Endokrinologi Ginekologi. Jakarta : Media Aesculapius. 2003.

25

Anda mungkin juga menyukai