Anda di halaman 1dari 12

Alice semakin menunduk. Ia tidak tau apa-apa. Ia tidak tau apa yang dimaksud Aldrew.

Dan lagi ia
merasa sangat malu sekarang, semua mata tertuju kearahnya pasti.

"Kembaliin itu gue bilang!" Aldrew benar-benar berteriak sekarang.

Mata Alice memanas. Ia ingin menangis. Gak pernah ada yang membentak dia.

"Al, gila ya lo, kenapa? Ayo ayo." Bobby datang dan menyeret Aldrew membawanya ke lorong kelas
terjauh.

"Lo kenapa, gila? Lo tau gak lo udah bentak cewek di depan satu sekolah tadi?"

"Dia nyuri."

"Nyuri apa, woi, lo ya kadang-kadang."

"Dia ambil sesuatu dari dompet gue!"

"Apa? Uang? Lo jangan nuduh."

"Ini bukan sesuatu yang bisa dibeli pake uang."

"Kenapa lo nuduh dia sih? Lo gila ya emang."

"Dia yang ambil dompet gue waktu di angkot itu."

"Oke. Dia yang ambil dompet lo, tapi gue dapat dompet lo ini dari Aldrian."

Aldrew melihat Bobby gak percaya. Jadi, Aldrian yang ambil foto itu?

Aldrew segera berlari menuju lapangan lagi.


"Woiii mau kemana lagi astaga! Gue stres beneran ini."

Aldrian melihat sekeliling lapangan, semua orang udah bubar dan dia tidak melihat Aldrian. Ia melihat
kantor OSIS dan juga tidak ada. Ia frustasi sekarang.

Aldrew berlari menuju parkiran mobil dan melihat Aldrian dan berlari menghampirinya.

"Balikin, Dri." Kata Aldrew sambil mengatur nafasnya.

Aldrian melihatnya sekilas dan tidak mengubrisnya. Ia mengambil kunci mobilnya dan membuka
pintunya. Aldrew menahannya dengan berusaha tidak membuat keributan lagi.

"Balikin, Dri."

"Apa?" Tanya Aldrian dengan menatapnya tajam.

"Barang yang lo ambil dari dompet gue."

"Lo masih berani ya?" Aldrian membanting pintu mobilnya.

"Gue gak mau cari ribut sama lo, gue cuma minta foto itu, Dri."

"Pertama, gue jijik dengar lo manggil gue dengan nama itu, lo pikir lo siapa? Kedua, gue cuma ambil
barang gue balek."

"Gue mohon." Aldrew memelankan suaranya.

"Lo mau mohon gimanapun gue gak peduli. Lo mau cari perhatian satu sekolah lagi sekarang? Gue mau
pulang." Aldrian membuka pintu mobilnya lagi dan Aldrew tidak menahannya.

"Tolong, Aldrian. Gue cuma punya itu."

"Geser." Aldrian masuk ke mobilnya meninggalkan Aldrew dan beberapa siswa yang sekarang berbisik-
bisik.

Aldrew berjalan dengan lemas menuju gerbang sekolah. Dia gak tau harus bagaimana lagi. Dia
kehilangan satu-satunya benda yang dia simpan selama ini.

Aku harus bagaimana?

Alice memilih pulang ke rumah menggunakan taksi tadi. Dia terlalu lemas karena kejadian tadi. Ia
memasuki rumahnya dan mamanya kebetulan sudah pulang kerja.

"Kamu sakit, Al?"

"Enggak, ma." Jawab Alice kemudian mencampakkan dirinya ke sofa.


"Terus kenapa lemas banget gini?" Mama memegang dahi Alice dan dia tidak demam.

"Alice tadi dibentak senior."

"Kenapa? Kamu ngelakuin kesalahan?"

"Enggak, ma."

"Terus kenapa?"

"Alice kemarin nemu dompetnya, itu senior yg Alice cerita ketemu di angkot."

"Iya, senior kamu yang juga ketua OSIS kan kamu bilang."

"Aku nitip dompetnya ke kak Aldrian, terus dibalikin. Tadi dia marah-marah bilang Alice ngambil sesuatu
dari dompetnya padahal gak ada, ma."

"Yakin kamu gak terambil sesuatu?"

"Gak ada, ma, Alice bahkan gak buka dompetnya sama sekali karna Alice gak mau buka privasi orang."

"Terus dia kenapa marah, ya?"

"Alice gak tau, ma, dia jahat banget kan, ma, nuduh Alice bahkan bentak Alice di lapangan ditonton satu
sekolahan. Alice malu banget, Alice belum ada seminggu di sekolahan udah ditandai gitu." Alice mulai
menangis.

Mama Alice memeluk Alice.

"Kamu tau gak mama bukan mau bela dia atau apa, kadang kita gak boleh nuntut seseorang atas apapun
yang dia lakukan ke kita. Semua orang punya alasan berbuat apapun, Al. Dan mama entah kenapa yakin
kakak kelas kamu itu bukan jahat, mungkin ada sesuatu yang sebenarnya udah terjadi ke dia."

"Terus dia bisa lampiasinnya ke Alice gitu?"

"Enggak. Tapi kamu harus sabar terus. Mungkin kalo kamu lebih kenal dia dan berteman, kamu bisa
nemuin sisi baiknya. Orang itu beda-beda, Al."

"Ma, jangankan berteman, mungkin aku bakalan sebisa mungkin gak akan mau lihat dia lagi."

"Iyaiya, udah ayo makan dulu."

"Gak akan, ma! Dia orang jahat!" Kata Alice lagi dalam hatinya.

Alice benar-benar memasang matanya sampai di sekolah. Dia bahkan memaksa mama untuk
mengantarnya tadi ke sekolah. Alice tidak melihat pria yang tidak ingin dilihatnya seumur hidupnya itu.
Dan syukurnya Aldrew memang tidak kelihatan. Alice sadar beberapa orang berbisik-bisik sekarang
setiap Alice lewat. Yaudahlah. Alice udah gak mau tau lagi.

Pengarahan di dalam ruangan telah selesai dan sekarang mereka disuruh berkumpul di lapangan.

Dan ini yang paling buat malas Alice dan mungkin hampir semua siswa. Mereka disuruh mengumpulkan
semua tanda tangan anggota OSIS. Mau gak mau ya Alice harus melakukannya kan.

Alice melihat Laura yang merupakan sekretaris OSIS. Semua murid baru entah kenapa berbondong-
bondong menemui Laura yang pertama karena ia memang terlihat paling ramah di antara semua senior.
Termasuk menurut Alice.

Saat sedang mengantri Alice melihat Laura yang langsung menghentikan tanda tangannya dan melihat
Alice. Alice pikir mungkin dia capek karena antrian buat nya panjang banget. Tapi Laura malah berdiri
dan menghampiri Alice.

"Gue boleh ngomong sama lo, gak?"

"Saya, kak?"

"Iya, yuk." Laura berjalan di depan dan Alice mengikutinya. Dia mengangguk dahulu saat Debby
melihatnya dengan tatapan khawatir.

"Ada apa ya, kak?"

"Mau tanda tangan juga, ya?"

"Iya, kak."

"Gue boleh nanya gak sekalian gue tanda tangan juga."

"Nanya apa, kak?"

"Lo ambil apa dari Aldrew?"

"Ha?" Alice terkejut. Sudah pasti. Ia tidak tau kalau ia akan diajak berbicara empat mata seperti ini untuk
membicarakan Aldrew. Dan entah kenapa Alice ingat saat hari pertama MOS saat Laura khawatir Aldrew
tidak datang. Mungkin Laura menyukai Aldrew, pikir Alice.

"Sebenarnya, kak, aku gak ada ambil apapun. Jujur. Aku cuma nemu dompet kak Aldrew kemudian aku
balikin. Udah, itu aja."

"Lo yakin?"

"Iya, kak, makanya aku terkejut sekali semalam."

"Oh gitu, lo kok bisa tau Aldrew?"


"Diakan ketua OSIS, kak."

"Bukan, maksud gue, lo ketemu dompetnya dimana?"

"Di angkot."

"Oh gitu, yaudah, lo baik-baik deh, Aldrew emang gitu. Ini udah gue tanda tangan."

"Iya, kak, makasi ya kak."

Alice menghela nafas lagi. "Aldrew emang gitu terus kakak suka, iya?" Ucap Alice pelan.

"Kek Kak Ian, yuk."

"Asik banget lo manggilnya udah kayak manggil ke teman sendiri ya." Jawab Alice dan Debo tertawa lagi.

"Yuk, guys, rame-rame aja." Ajak Rizky, ketua kelompok mereka.

"Pagi, kak, mau minta tanda tangan." Kata Beni mewakili mereka bersepuluh.

Aldrian mengangguk dan mengambil buku yang disodorkan Rizky.

Aldrian melihat mereka dan matanya berhenti pada Alice.

"Alice!" Panggil Aldrian dan Alice segera mengangkat wajahnya dan terkejut melihat Aldrian
memanggilnya.

Buku Rizky yang tadinya sudah dipegang Aldrian dikembalikan lagi ke tangannya.

Alice tersenyum menjawab Aldrian dengan merasa salah tingkah juga karena teman-temannya langsung
melihatinya.

"Mau minta tanda tangan juga?"

"I...iya, kak." Alice menjawab Aldrian yang udah berdiri di depannya.

"Sini." Kata Aldrian lagi dan Alice memberikan bukunya dengan bisikan teman-temannya.

"Kalian sekelompok semua?" Tanya Aldrian ke lainnya tapi matanya tetap mengarah ke Alice.

"Iya, kak." Jawab mereka masih dengan pertanyaan kenapa Alice dan Aldrian terlihat kompak sekali.

"Ini, Alice."

"Makasih, kak."

"Yaudah, sini bukunya yang lain, kok jadi bengong." Kata Aldrian lagi dan mereka segera sadar dan
kembali mengantri memberikan buku ke Aldrian.
"Kalian pasti pada kepo kan aku kok bisa kenal sama Alice, iya kemarin gak sengaja tabrakan, hampir
jatuh itu si Alice tapi aku cepat dong nangkap tangannya. Kalo enggak kan dia bisa lecet." Aldrian
menjelaskan dan beberapa orang khususnya cewek-ceweknya benar-benar salah fokus dengan hanya
memperhatikan wajah Aldrian dari dekat.

"Kalian dari SMP yang sama semua?" Tanya Aldrian lagi sambil menyelesaikan tanda tangannya.

"Enggak, kak." Jawab mereka dengan kompak lagi.

"Kalian kayak paduan suara. Ini udah semua kan? Kumpulin tanda tangannya hari ini semuanya ya,
soalnya hari ini bukunya dikumpul, pulang sekolah nanti."

"Iya, kak."

"Ohiya, jangan lupa kalian istirahat dimakan bekalnya, minum banyak, jangan sampai sakit lah."

"Iya, kak."

"Kalo gitu aku duluan ya, kelompok yang lain itu udah ngantri. Kalian semangat."

"Makasih, kak."

Setelah Aldrian pergi, Rizky yang pertama langsung menghampiri Alice.

"Bener, Al?"

"Apaan?"

"Yang tadi dibilang Kak Aldrian."

"Iya, pas di tangga."

"Oh gitu, tapi gak apa-apa?"

"Enggaklah, kan Kak Aldrian juga bilang dia nangkap tanganku."

"Oh gitu. Yaudah, lain kali hati-hati lah." Kata Rizky dan dijawab anggukan kecil Alice.

"Rizky suka tuh sama lo." Bisik Debo dan Alice segera menyenggol tangan Debo takut temannya yang lain
mendengar.

"Beneran." Tambah Debo lagi.

"Lo jangan suka gosip, nanti dia dengar malah mikir yang aneh-aneh."

"Lo yang dibilangin gak percaya. Lihat deh tadi aja yang nanyain lo cuma Rizky kan."

"Kepo bukan berarti suka. Udah ah, ayo, masih banyak loh ini tanda tangannya."
*

Semua tanda tangan hampir terkumpul. Semua anggota kelompok Alice sedang beristirahat sambil
memakan bekal masing-masing.

"Gue tinggal satu lagi nih." Seseorang membuka percakapan.

"Sama." Kata yang lainnya.

"Satu orang yang paling susah dijumpai."

"Iya iya." Kata mereka serentak lagi.

"Teman-teman!" Seseorang baru saja datang di kerumunan mereka dan langsung duduk di tengah.

"Gue udah dapat tanda tangannya."

"Siapa?" Tanya mereka serempak.

"Ketos kita."

"Ohya? Dimana dimana?" Tanya mereka lebih bersemangat lagi.

"Di belakang sekolah."

"Ayo ayo." Satu orang mengajak yang lainnya.

"Tapi kalian mintanya sama Kak Bobby bukan sama Kak Aldrew nya."

"Okeoke."

Dalam hati Alice sangat bersyukur karena dia tidak harus berinteraksi dengan orang yang paling dia
hindari, kan.

Kira-kira 10 orang berjalan menuju belakang sekolah untuk meminta tanda tangan Aldrew yang kata
mereka diwakilkan oleh Bobby.

Sudah pasti semua orang senangkan. Alice memilih berbaris di paling belakang. Debby berdiri di
depannya.

Alice melihat malas ke depan. Saat Debby mengulurkan bukunya, Alice tidak sengaja melihat Aldrew
yang baru saja selesai memakan chitato.

Alice segera melemparkan padangannya kemana saja asal jangan ke Aldrew.

Sekarang giliran Alice, Bobby baru akan mengambil bukunya Alice dan menandatanganinya saat Aldrew
tiba-tiba menggeser tubuh Bobby dan Alice sontak saja kaget dan merasa sangat kesal. Dia akan dimaki
lagi kah?
Beberapa teman sekelompok Alice ada yang masih setia menunggui Alice ikutan kaget juga. Mereka
daritadi tidak dipedulikan Aldrew. Sekarang kenapa Aldrew malah mengambil buku Alice?

"Mau tanda tangan gue?" Tanya Aldrew dengan nada datarnya.

"Lo minta maaf bego." Bisik Bobby pelan, Bobby masih menjaga harga diri Aldrew kan.

"Iya, kak." Jawab Alice akhirnya tanpa melihat kearah Aldrew.

"Lihat lawan bicaranya kalo lagi diajak bicara." Kata Aldrew lagi.

"Iya, kak." Jawab Alice dan kali ini dia melihat Aldrew dengan tatapan tajamnya.

"Lo marah sama gue?"

"Enggak, kak."

"Serius lo?"

"Iya, kak."

"Lo kalo marah bilang aja. Gue santai. Jangan munafik."

"Emang kalo gue marah terus kenapa, kak?" Tanya Alice dan semua orang yang tadinya merasa tegang
dibuat lebih tegang lagi karena pertanyaan Alice barusan.

"Semua orang di sekolah ini juga tau kalopun kakak yang salah gue gak bisa marah, kan? Gue emang
cuma junior ingusan di mata kakak ya, gue juga cuma anak baru tapi seharusnya kakak bisa mikir sendiri
dituduh melakukan sesuatu yang gak dilakuin itu gak enak. Dibentak satu sekolahan, pernah ngerasain
gak sih, kak? Gak ada yang pernah maki gue gitu. Gak ada yang pernah nyalahin gue akan kesalahan yang
gak pernah gue lakuin. Jadi gue beneran gak punya hak buat marah atas alasan apapun, kan? Gue harus
merasa ngelakuin kesalahan padahal enggak, kan? Gitukan, kak?"

Alice menghembuskan nafasnya yang mulai naik-turun. Kalau dia berbicara satu kata lagi mungkin dia
akan benar-benar menangis sekarang.

Jadi Alice memilih untuk pergi meninggalkan semua orang yang masih terpaku menyaksikan bagaimana
Alice yang baru saja meluapkan kemarahannya.

Debby yang pertama sadar segera mengejar Alice. Dia tau Alice pasti akan menangis.

Beberapa teman sekolompok Alice yang melihat Debby mengejar Alice segera ikutan tapi terlebih dulu
permisi ke Aldrew dan Bobby.

Bobby menepuk pundak Aldrew yang masih mematung.


"Lo hebat, bro, pertama kali dimaki junior, gimana rasanya? Lo bego sih parah. Apa salahnya dia coba?
Minta maaf lo, anak orang sampai sesak napas ngomong sama lo doang." Kata Bobby dan ikutan
meninggalkan Aldrew agar dia bisa menyadari kesalahannya barusan.

Aldrew tidak akan lupa akan kalimat gadis itu tadi. Semua yang dibilangnya benar dan dia merasakan
semuanya. Bahkan Aldrew seperti melihat dirinya sendiri tadi saat Alice meluap-luap. Aldrew tau
perasaan Alice. Aldrew pernah merasakannya bahkan sampai sekarang. Dan hanya Aldrew sendiri yang
tau. Dia senang, setidaknya Alice adalah gadis yang berani karna telah mengungkapkan isi hatinya,
berbeda dengannya.

Aldrew melihat buku yang masih dipegangnya dan membuka halaman pertama dimana tertulis biodata
pemilik buku itu.

"Alicecilia." Baca Aldrew dan perasaannya tiba-tiba menghangat.

"Pantes mirip." Kata Aldrew lagi dan dia tau dia memang harus minta maaf bukan hanya kepada gadis
itu.

Aldrew berjalan menuju kantor OSIS. Ini waktu istirahat untuk mereka karena murid baru masih
melakukan pemburuan tanda tangan. Masuknya Aldrew ke kantor OSIS menjadi pusat perhatian karna
sudah sangat lama kan Aldrew tidak peduli lagi dengan kantor OSIS itu. Aldrew melihat Aldrian sekilas
tapi bukan itu tujuannya sekarang. Dia menemui Vina koordinator acara.

"Kapan buku tanda tangan dikumpul?" Tanya Aldrew langsung dan semua orang mendadak diam saat
Aldrew berbicara.

"Nanti sebelum pulang sekolah, kenapa, Al?"

"Gue boleh minta tolong diubah jadi besok pagi kan? Gue mau periksa sendiri."

"Ha?" Tanya Vina heran dan semua orang juga saling berpandangan.

"Iya, besok pagi sebelum acara penutupan MOS dimulai. Jangan ada pungut-pungut daun hari ini. Jangan
nyiksa murid baru gitu."

"Gue boleh tau alasan lo gak?"

Aldrew sadar dia memang ketua OSIS tapi semua hal memang harus memerlukan alasan saat ia
memberikan perintah.

"Besok penutupan, lebih capek, biarin mereka jangan terlalu capek hari ini. Gue gak mau ada orangtua
yang ngeluh. Udah. Itu aja. Gue duluan." Kata Aldrew dan Vina tidak menanyainya lagi.

Semua orang berbisik-bisik saat Aldrew sudah keluar dari ruang OSIS. Mereka tidak mau memancing
masalah dengan membicarakan Aldrew terang-terangan kecuali si wakil ketua OSIS yang memulai.
Seperti yang tadi dikatakan Aldrew. Pengumpulan buku tanda tangan menjadi besok dan tidak ada acara
memungut sampah daun kering. Alice merasa sangat lega untuk sementara. Ia tidak akan meminta
bukunya kembali ke Aldrew. Hanya saja ya saat ini dia gak mau kena hukuman apapun. Besok saja, dia
sudah terlalu lelah.

Alice dan Debby sedang duduk di kantin sekolah saat semua orang sudah pulang. Debby bersikeras
mereka harus meminta bukunya ke Aldrew kalo gak besok Alice bisa terkena hukuman.

"Udah dibuang mungkin sama dia." Kata Alice langsung.

"Mau nitip gak? Aku mau beli burger."

"Gak usah, udah kenyang gue tadi lihat orang itu." Kata Alice dengan nada lebih kasar lagi.

"Yaudah, bentar ya."

Alice memainkan ponselnya selagi menunggu Debby saat tiba-tiba dia merasa ada yang berdiri di
depannya.

Alice mengangkat wajahnya dan melihat Aldrew. Dia beneran tidak tau apa salahnya dengan Aldrew
sampai Aldrew masih saja terus menganggunya.

Alice memilih diam daripada harus memaki Aldrew seperti tadi lagi.

Aldrew melihat Alice yang ternyata hanya diam saja saat dia datang. Padahal Aldrew sudah sangat siap
kalau Alice mengamuk seperti tadi lagi.

Aldrew duduk di bangku yang ada di depannya.

"Lo gak mau minta buku lo balek?" Tanya Aldrew pelan. Alice menghembuskan nafasnya keras dan tetap
memainkan ponselnya.

"Lo beneran marah ternyata." Kata Aldrew lagi.

"Nih buku lo, udah gue tanda tangan. Masalah barang yang hilang dari dompet itu bukan lo. Udah, gue
cuma mau bilang itu." Aldrew meletakkan buku Alice di depannya dan pergi.

"Cih, dia bahkan gak minta maaf sama gue. Dia bukan manusia apa gimana?"

Debby datang dengan Rizky dan langsung duduk di samping Alice.

"Tadi kak Aldrew, kalian berantam lagi?" Tanya Debby dengan hebohnya.

"Al, buku kamu gimana?"

"Iya, apa lo fotocopy punya gue aja?" Tanya Debo lagi.

"Ambil buku aja." Kata Rizky lagi.


"Gilasih, lo baik banget, Ky." Kata Debo lagi.

"Makasih, Ky, tapi dia tadi cuma balikin buku gue. Udah gitu aja gak ada kata maaf, heran gue. Udah ah,
ayo pulang." Kata Alice masih dengan kesal.

"Duluan ya, Ky." Kata Debo lagi dan mereka berjalan menuju gerbang sekolah.

Aldrew melihat Alice yang udah berjalan menuju gerbang sekolah dari kejauhan. Aldrew sangat tau
seharusnya dia minta maaf tapi mulutnya benar-benar tidak bisa berkata apapun tadi. Alice berhasil
membuatnya merasa sangat bersalah. Tapi Aldrew tau jika kata maaf keluar dari mulutnya dia mungkin
akan meruntuhkan semua tembok di hatinya seketika.

Alice memilih naik taksi lagi saat pulang sekolah. Ia sudah berada di dalam taksi saat ia tiba-tiba menoleh
ke belakang dan melihat Aldrew yang melihat ke taksinya?

"Ah, gak mungkin." Kata Alice lalu kembali melihat ke layar ponselnya.

Aldrew melihat taksi itu sebentar lalu segera membalikkan tubuhnya menuju arah yang berlawanan, dia
perlu menceritakan kejadian hari ini.

Alice berangkat ke sekolah dengan perasaan waswas ya ini hari terakhir MOS itu bagusnya untuk Alice.
Tapi terpaksa, satu hari lagi dia harus melihat cowok tidak ramah dan sangat kasar yang membentaknya
dua hari yang lalu dan dengan sombongnya mengembalikan bukunya semalam masih dengan tidak
ramah.

Alice memikirkan semua itu sambil berjalan memasuki gerbang sekolah.

"Pagi-pagi udah berlipat ajasih facenya." Colek Debo yang sudah berdiri di sampingnya.

"Lo tau lah." Jawab Alice dan masih tetap menjaga matanya agar selalu jauh dari orang bernama Aldrew
itu.

"Jangan kesal kesal entar lo suka."

"Ih, Deb, amit-amit, please."

Debo terkekeh melihat Alice kemudian segera menggandengnya menuju lapangan sekolah.

"

Anda mungkin juga menyukai