“INTOKSIKASI OBAT”
Disusun Oleh:
Diajukan Kepada:
Pembimbing
dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc., Sp. A
Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT karena atas rahmat dan nikmat-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul
“Intoksikasi Obat” dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Tundjungsari R. U., M.Sc, Sp.A
selaku pembimbing selama penulis menjalani kepaniteraan klinik anak di RSUD
Ambarawa serta teman-teman seperbimbingan yang saling membantu dan
mendukung.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,
oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga laporan kasus
yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan di masa
yang akan datang.
Penulis
PENGESAHAN
Pembimbing
Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : November 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
STATUS PASIEN
II.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ibu pasien di bangsal
Anggrek tanggal 27 Oktober 2019.
1
yang diberikan dokter ketika sang kakak sakit cacar 2 bulan yang lalu yaitu obat
puyer (Acyclovir 400 mg, paracetamol, grafa, dan Vitamin BC) pada 7 jam SMRS
(pukul 08.00 pagi). Ibu mengatakan, sesak nafas terjadi beberapa jam setelah
dirinya salah memberikan obat.
II.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengatakan anaknya belum pernah sakit seperti ini.
2
II.2.7 Riwayat Imunisasi:
0 bulan : Hepatitis B-0 (+), BCG-0 (+), Polio-0 (+)
1 bulan : BCG-1 (+), Polio-1 (+)
2 bulan : DPT-HB-Hib-1 (+), Polio-2 (+)
Kesan : Pasien mengikuti imunisasi sesuai usia yang dilakukan di
Praktik Bidan
3
II.2.9 Genogram
? tahun 30 tahun
4
II.3.1 Status Generalis
a. Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh
Pucat (+), sianosis (-), ikterik (-), perdarahan (-), udem (-)
b. Kepala
Mesocephal, rambut hitam kecoklatan, terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut, ubun-ubun cekung (+)
c. Mata
Palpebra tidak edema, mata cekung (+/+), konjungtiva anemis (+/+),
sklera ikterik (-/-)
d. Telinga
- Daun telinga : Bentuk, ukuran, dan posisinya normal
- Lubang telinga : Tidak ada discharge, serumen (-)
e. Hidung
Bentuk normal, sekret (-), pernafasan cuping hidung (+)
f. Tenggorokan
Tidak dapat diperiksa
g. Mulut
Bibir tidak sianosis, bibir kering (+), pucat (+)
h. Leher
Tidak ada massa, tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening.
i. Thorax
Bentuk normal, retraksi dada (+)
- Paru :
Inspeksi : Gerakan dada simetris, retraksi dada (+)
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+) melemah, rhonki
basah kasar (+/+), wheezing (+/+)
- Jantung :
Inspeksi : Tampak iktus cordis di ICS 4 linea midclavicularis
sinistra
5
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 4 linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : redup, batas jantung sulit dinilai.
Auskultasi : SI-II reguler, murmur (-), gallop (-)
j. Abdomen :
Inspeksi : Datar, tidak ada distensi abdomen
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak dapat
dinilai, turgor kulit baik
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
k. Ekstremitas :
Akral dingin, CRT >2 detik, tidak udem, sianosis (-)
l. Genital
Labia mayora menutupi labia minora. Lubang uretra dan lubang vagina
terpisah
6
Limfosit % 21.4 L 25-40 %
Monosit % 6.7 2-8 %
Eosinofil % 0.1 L 2-4 %
Basofil % 0.5 0-1 %
Neutrofil % 71.3 H 50-70 %
Eritrosit
Normositik, burr, fragmentosit, normokromik
Leukosit
Jumlah meningkat, granulasi toksik neutrofil, vakuolisasi neutrofil dan
monosit
Trombosit
Jumlah meningkat, morfologi dalam batas normal, clumps + + +
KESAN:
Suspek Anemia Penyakit Kronik
Suspek Infeksi Bakterial
Suspek Gangguan Ginjal
KESAN: Hipernatremia
7
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium An. D Tanggal 1 Oktober 2019
8
II.5 Konsultasi
Pasien dikonsulkan kepada dokter spesialis kulit kelamin (dr. Hiendarto) di
RSUD Ambarawa dengan hasil pemeriksaan dan jawaban hasil konsultasi:
Subjective:
Pasien post injeksi epinefrin pada tungkai kanan bawah muncul
gelembung berwarna kebiruan
Objective:
Status dermatologis
Lokasi : tungkai kanan bawah
UKK : bula, hematom
Assesment:
Flebitis
Planing:
Momethasone furoat cream 10 dan Asam Fusidat cream 5 dioleskan 2
kali sehari (pagi dan sore)
II.7 Penatalaksanaan
- O2 1 L/menit
- Inf. Asering 10 tpm
- Inj. Ondansentron 1 mg/12 jam
- Zinc syr. 1 x ½ cth
- L.bio 1 x 1 sachet
- Inj, PCT 50 mg/6 jam
Advis dr. Tundjung, Sp. A via WA:
- Inj. Ampisilin 3 x 175 mg
- Cek DR, MDT
- Pasang NGT
9
II.8 Prognosis
Pasien sudah meninggal dunia
II.9 Follow Up
28/10 Penurunan KU: sopor koma Pneumonia + Visit dr. Tundjung pukul 11.00
kesadaran, GCS : E1V1M1 = 3 dehidrasi berat - Infus RL 150 cc dalam 1 jam
sesak nafas HR: 160 x/menit + hipernatremia kemudian cek Na ulang cito, lanjut
(+), demam (+) RR: 60 x/menit 350 cc dalam 5 jam, lanjut D5% ¼
naik turun, SpO2: 100 % NS 12 tpm mikro
diare cair (-), T: 38.5 - Inj. Ampisilin 3 x 175 mg IV
muntah (-) Kepala: conjungtiva anemis +/+, - Inj. Sibital 60 mg dlm 15 menit
mata cowong (+), ubun-ubun lanjut 15 mg/12 jam
cekung (+), reflek pupil (-) - Inj. PCT 55 mg/4 jam jika perlu
Thorax: retraksi dada (+), - Inj. Gentamicin 1 x 20 mg IV
rhonki basah kasar (+) - Novorapid 2 unit sc (pukul 17.00)
Abdomen: dbn - Cek GDS ulang pukul 19.00
Ekstremitas: akral dingin, CRT - Monitor TTV tiap 4 jam
> 2 detik, turgor kulit kembali
lambat Advis dr. Tundjung, Sp. A via WA
pukul 19.30
Px. Lab: - Novorapid 3 unit sc kemudian
Na : 162 H cek GDS pukul 21.00
Kalium : 4,9
Chlorida : 125 H
Px. GDS :
Pukul 10.30: 439 H
Pukul 15.00: 386 H
Pukul 19.00: 331 H konsul
Pukul 21.00: 279
10
29/10 Sesak nafas KU: koma Sepsis + Visit dr. Tundjung pukul 12.00
(+), demam (+) GCS : E1V1M1 = 3 hiperglikemia + - Inf. D5% ¼ NS 550 cc/24 jam
naik turun, TTV pukul 12.00 hipernatremia - Inj. Gentamicin 1 x 20 mg
diare cair (-), HR: 121 x/menit teratasi - Inj. Sibital 2 x 15 mg
muntah (-), RR: 37 x/menit - Inj, novorapid 4 unit/8 jam
kejang 1 x, SpO2: 91% *cek GDS sebelum actrapid masuk,
BAK sedikit, T: 37.4 jika GDS ≤ 200 novorapid tunda.
banyak air liur Kepala: conjungtiva anemis +/+, Jika GDS 300-400, inj. 3 unit. Jika
di mulut mata cowong (+), ubun-ubun GDS 200-300, inj. 2 unit
cekung (+) - inj. PCT 55 mg/4 jam jika perlu
Thorax: retraksi dada (+) - epinefrin 1,5 mg + aquasteril 50 cc
Abdomen: dbn jika 1 cc per jam
Ekstremitas: akral dingin, CRT - ada hasil elektrolit lapor
< 2 detik, turgor kulit kembali - suction liur
lambat - inj. Ampisilin STOP, diganti
dengan Inj. Cefotaxim 2 x 250 mg
Px. Lab: - infus D5% ¼ NS diganti dengan
Na : 135 L visit dr. Tj KAEN 3A 550 cc/24 jam
K: 4.4
Advis dr. Tonari pk. 19.30
- inj. Novorapid 6 unit
Px. GDS :
- cek GDS per 4 jam
Pukul 06.30: 279 H
Pukul 16.00: 544 H Advis dr. Tundjung Sp.A via WA
Pukul 19.30: High konsul dr. pukul 22.20
jaga - inj. Novorapid 4 unit/6 jam
Pukul 22.30: 597 H konsul
30/10 Kejang (+), KU: koma Sepsis + Vizit dr. Tundjung pukul 13.00
demam (+) GCS : E1V1M1 = 3 hiperglikemia - O2 NRM (Non Rebreathing Mask)
naik turun, TTV pukul 13.00 teratasi 10 L/menit
tubuh bengkak HR: 144 x/menit hipoglikemia - Infus RL 500 cc + Insulin 180 unit
(+), keluar RR: 40 x/menit 21 cc/jam
cairan dari SpO2: 98% - inj. Epinefrin 1,5 mg dalam 50 cc
hidung (+) T: 36.5 aqua steril 1 cc/jam
Kepala: conjungtiva anemis +/+, - inj. Cefotaxime 2 x 250 mg
mata cowong (+), ubun-ubun - inj. Sibital 2 x 15 mg
cekung (+), reflex pupil (-), - cek GDS jam 06.00 dan 18.00
sekret hidung (+) - intake peroral STOP
Thorax: retraksi dada (+) - inj. Gentamicin STOP
Abdomen: dbn
Advis dr. Tundjung Sp.A via WA
Ekstremitas: akral dingin, CRT
pukul 18.24
> 2 detik, turgor kulit kembali
- loading D10% 10 cc bolus 15
lambat
menit kemudian cek GDS
- infus tetap KAEN 3A
Px. GDS :
Pukul 10.45: 395 H visit Advis dr. Tundjung Sp.A via WA
Pukul 13.45: 170 pukul 18.50
Pukul 18.00: 43 L konsul - terapi lanjut
Pukul 18.40: 83 konsul
Pukul 21.00: 133
31/10 Badan bengkak KU: koma Sepsis + Advis dr. Tundjung Sp.A via WA
(+), kaki kanan GCS : E1V1M1 = 3 hypernatremia pukul 04.02
biru (+) dan TTV pukul 06.30 teratasi + - Insulin sc 5 unit
ada HR: 139 x/menit hiperglikemia
Visit dr. Tundjung pukul 11.30
gelembung, RR: 37 x/menit
11
perut SpO2: 100% - Bekas inj. Epinefrin timbul bula
membesar, T: 36.5 jangan pasang lagi, sudah di aff
batuk grok- Kepala: conjungtiva anemis +/+, - Infus D5% + insulin 25 unit habis
grok (+), BAK mata cowong (-), ubun-ubun dalam 8 jam cek GDS setelah 2
mulai banyak, cekung (-), reflex pupil (-) jam infus dipasang
kejang (-), Thorax: retraksi dada (+), - O2 NRM 10 L/menit
demam (-), rhonki (+) - Inj. Cefotaxim 2x250 mg
Abdomen: cembung, supel, BU - Inj. Amikasin 50 mg/24 jam
(+), timpani - Inj. Sibital 2 x 15 mg
Ekstremitas: akral dingin, CRT - Konsul Sp.KK
> 2 detik, edema anasarka (+),
Advis dr. Tundjung via WA pukul
bula di ekstremitas inferior
16.21
dextra (+)
- Plabot sisa tambahi insulin 5 unit,
kocok kemudian jam 19.00 cek
Px. GDS :
GDS kembali
Pukul 04.00: 330 H konsul
Pukul 16.00: 522 H konsul Advis dr. Tundjung via WA pukul
Pukul 19.00: 428 H konsul 20.41
- Infus D5% + insulin 35 unit habis
dalam 8 jam
- Cek GDS ulang jam 05.00
1/11 KU: koma Sepsis berat, Visit dr. Tundjung, Sp. A pukul
GCS : E1V1M1 = 3 hipoglikemia, 09.00
TTV pukul 06.30 hyponatremia - Infus D5% 100 cc + insulin 45 unit
HR: 139 x/menit +flebitis masuk dalam 8 jam
RR: 37 x/menit - Inj. Cefotaxim 2 x 250 mg
SpO2: 100% - Inj. Amikasin 1 x 50 mg
T: 36.5 - Inj. Sibital 2 x 15 mg
Kepala: conjungtiva anemis +/+, - Inj. Dexa 3 x 1 mg
mata cowong (-), ubun-ubun - Cek GDS pukul 10.00
cekung (-), reflex pupil (-)
Jawaban konsul dr. Hiendarto, Sp.
Thorax: retraksi dada (+),
KK
rhonki (+)
- Momethasone furoat cream 10
Abdomen: datar, supel, BU (+),
- As. Fusidat cream 5
timpani
- Keduanya pagi-sore
Ekstremitas: akral dingin, CRT
> 2 detik, edema anasarka (+), Visit dr. Sekar (dokter jaga) pukul
bula di ekstremitas inferior 16.30 konsul dr. Tundjung, Sp.A
dextra (+), UKK: makula - Inj. D10% 10 cc bolus, dilanjutkan
hiperpigmentasi dengan bula infus D10% 16 tpm
- 30 menit kemudian cek GDS ulang
Px. GDS :
Pukul 17.30: 16 L konsul Advis dr.Tundjung via WA pukul
Pukul 19.00: 17 L konsul 19.00
Pukul 20.00: 19 L konsul - Tambah D40% 10 cc pada sisa
Pukul 21.00: 67 konsul flabot beri 20 cc/jam
- Pukul 20.00 cek GDS ulang
Advis dr.Tundjung via WA pukul
20.17
- Loading pakai cairan yang diinfus
10 cc setelah 23 cc/jam
- Pukul 21.00 cek GDS ulang
Advis dr.Tundjung via WA pukul
21.05
- Ganti pakai D10% bersih 20 cc/jam
12
- Pukul 00.00 cek GDS ulang
2/11 Suara napas KU: koma Sepsis berat, Advis dr.Tundjung via WA pukul
grok-grok, HR: 133 x/menit hiperglikemia, 00.15
bengkak RR: 39 x/menit hiponatremia, - Inf. ganti pakai D5% 70 cc/jam
seluruh badan T: 37,2 flebitis - Pukul 05.00 cek GDS ulang
(+), demam SpO2: 90%
Advis dr.Tundjung via WA pukul
naik turun (+), Kepala: conjungtiva anemis +/+,
05.51
gelembung mata cowong (-), ubun-ubun
- Inf. D5% + insulin 35 unit habis
berisi cairan cekung (-), reflex pupil (-), pupil
dalam 7 jam
bening pada midriasis (+/+)
- Pukul 09.00 cek GDS ulang
tungkai kanan Thorax: retraksi dada (+),
mulai rhonki basah kasar (+), Visit dr. Hiendarto, Sp. KK:
mengecil, kulit wheezing (-) terapi lanjut
pada Abdomen: cembung, supel, BU
gelembung (+), timpani Visit dr Endang, Sp.A pukul 10.00
yang mengecil Ekstremitas: akral dingin, CRT - Terapi lanjut
terkelupas > 2 detik, edema anasarka (+) - Cek GDS/6 jam
St. lokalis:
UKK: makula hiperpigmentasi Advis dr. Tundjung, Sp. A via WA
dengan bula dan erosi pukul 15.36
Lokasi: tungkai kanan bawah - Infus D10% loading 10 cc lanjut
D10% 20 cc/jam
Px. Lab:
Hb: 7,8 L
Leu 18,8 H
Ht 24,0 L
Trombo: 178.000
Albumin: 2,65 L
Na: 126 L
K: 2,6 L
Cl: 93 L
Px. GDS :
Pukul 00.00: 213
Pukul 05.00: 366 H
Pukul 15.20: Low
Pukul 16.25: 25
Pukul 19.00: 56
Pukul 00.00: 147
3/11 anak masih KU: koma Sepsis, Advis dr. Tundjung via Telp pukul
tidak sadar, TTV pukul 05.00 hiperglikemia, 06.15
nafas cepat HR: 83 x/menit hiponatremia - Infus RL 200 cc/jam
grok-grok, RR: 28 x/menit
Advis dr. Tundjung via Telp pukul
bengkak T: 37,5
09.05
seluruh tubuh, SPO2: 98%
- Terapi lanjut
dan luka dikaki Kepala: conjungtiva anemis +/+,
kanan, mata cowong (-), ubun-ubun Advis dr. Tundjung via Telp pukul
gelembung cekung (-), reflex pupil (-), pupil 15.24
sudah midriasis (+/+) - Insulin 4 unit IV
mengempis Thorax: rhonki basah kasar (+), - Jam 20.00 cek GDS
wheezing (-).
Abdomen: datar, supel, BU (+), Pukul 19.35 (dr. Niken)
- RJP 5 siklus tidak respon
timpani
dinyatakan meninggal pukul 19.35
Ekstremitas: akral dingin, CRT
WIB
> 2 detik, edema anasarka (+)
13
TTV pukul 09.00
HR: 80 x/menit
RR: 9 x/menit
T: 36,6
SPO2: 86%
Nafas irreguler dan lambat
Pukul 19.20
S: Apneu
O:
HR: -
RR: -
SpO2: -
Pupil midriasis (+/+)
Px. GDS :
Pukul 04.00: 549 H
Pukul 05.00: High
Pukul 09.00: High
Pukul 15.20: 595 H
14
Tabel 3. Data TTV dan Obat-obatan An. D perjam
15
Hari Ke: 4 Tanggal: 30/10/2019
PENILAIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
HR 145 147 149 150 148 142 145 106 144 106 89 146 148 147 153 154 150 147 145 138 130 140 137 138
RR 38 42 30 45 46 39 40 40 30 30 25 30 40 42 43 40 40 43 38 37 35 39 38 39
T 36 36,3 36 36 36,8 36,7 36,6 36,3 36 36 36 36 36,3 37,9 36,1 36,6 37,8 37,7 38 36,1 36,2 36,4 36,2 36,3
SpO2 90 92 96 95 93 97 99 100 96 96 90 100 98 97 98 98 93 95 95 98 97 97 92 98
E, V, M 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1
Total GCS 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
GDS 519 395 170 43 86 133
Obat-obatan:
Ond ansentron 2x1 m g
Paracetam ol 55 m g /6 jam
Gentam icin 1x20 m g
Sib ital 15 m g /12 jam
Cefotaxim 2x250 + NaCl 100 cc
Inj. Actrap id 6 unit
Novorap id 4 unit/6 jam
Hari Ke: 5 Tanggal: 31/10/2019
PENILAIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
HR 140 141 140 121 141 138 139 140 140 140 146 140 136 140 146 142 130 140 136 140 142 147 147 149
RR 38 41 45 45 42 36 37 36 36 36 35 40 35 35 38 44 35 58 40 36 39 53 47 48
T 36,7 36,4 36,2 36,4 36,3 36,5 36,3 36,5 36 36,3 36,3 36 36 36,1 38 38,2 37,2 37,9 38 38 36,5 36,3 37,4 37,3
SpO2 100 98 98 92 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 99 98 98 98 100 100 97 86 96 82
E, V, M 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1
Total GCS 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
GDS 330 428 322
Obat-obatan:
Ond ansentron 2x1 m g
Paracetam ol 55 m g /6 jam jik a p erlu
Sib ital 15 m g /12 jam
Cefotaxim 2x250 m g
Novorap id 4 unit/6 jam
Am ik asin 58 g r/24 jam
Dexam etason 3x1m g
Hari Ke: 6 Tanggal: 1/11/2019
PENILAIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
HR 144 144 140 140 139 138 138 138 138 130 146 138 136 120 130 136 129 130 129 128 126 125
RR 43 43 39 34 36 40 40 40 40 40 40 40 42 39 38 39 38 38 42 43 37 38
T 37,2 37,4 37,4 37,4 37,4 36,4 37 37 37 37 38,1 37,6 37,8 37 36,9 36,7 36,8 36,6 37,2 37,6 38,2 37,2
SpO2 80 63 72 79 80 78 84 89 84 84 84 80 82 86 84 80 82 82 87 88 90 88
E, V, M 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1
Total GCS 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
GDS 527 544 10 16 17 19 67 213
Obat-obatan:
Ond ansentron 2x1 m g
Paracetam ol 55 m g /6 jam jik a p erlu
Sib ital 15 m g /12 jam
Cefotaxim 2x250 m g
Novorap id 4 unit/6 jam
Am ik asin 58 g r/24 jam
Dexam etason 3x1m g
Hari Ke: 7 Tanggal: 2/11/2019
PENILAIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
HR 128 122 124 124 123 122 123 122 122 120 130 120 128 130 98 100 116 110 109 110 103 103 104
RR 40 36 36 37 32 31 33 33 33 33 36 35 36 36 24 28 32 36 36 32 35 30 26
T 38,2 37,6 37,5 37,6 37,1 37,2 37,5 37,5 37 37 37 36 37 37 35 36 36,2 36 36,8 36,8 36,5 36 35
SpO2 88 86 83 88 91 91 85 84 84 84 89 85 85 85 74 80 82 84 85 85 85 83 90
E, V, M 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1
Total GCS 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
GDS 366 312 Low 26 56 47
16
Hari Ke: 8 Tanggal: 3/11/2019
PENILAIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
HR 105 105 100 90 80 83 80 78 76 75 79 73 75 72 72 75 71 66 59
RR 23 26 20 16 10 23 30 35 14 18 35 28 23 14 28 4 6 4 8
T 36,8 36,5 36 36,4 36 36,4 36 36 36,2 36 36,2 36 36,2 36,4 36,2 36,5 36,2 36,1 36,1 Dinyatakan meninggal
SpO2 89 80 80 70 50 80 80 90 89 86 85 91 85 75 67 66 50 46 28 oleh dokter
E, V, M 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 1,1,1 pukul 19.20 1,1,1
Total GCS 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
GDS 549 Hi Hi 595
Obat-obatan:
Cefotaxim 2x250 m g
Am ik asin 1x30 m g
Sib ital 15 m g /12 jam
Dexam etason 3x1m g
Novorap id 4 unit (extra)
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Definisi
Intoksikasi atau keracunan adalah terpaparnya korban oleh zat toksik yang
dapat menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ serta dapat menimbulkan
kerusakan atau kematian. Sebagian besar paparan dengan zat racun tidak atau hanya
menimbulkan efek minimal sehingga morbiditas dan mortalitas akibat paparan ini
jarang terjadi.
Anak mempunyai risiko keracunan karena karakteristik perkembangan dan
lingkungannya. Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, tidak bisa diam, sering
memasukkan segala sesuatu ke mulut, meniru tingkah laku, serta tidak dapat
membedakan zat toksik dan non toksik. Sedangkan faktor lingkungan antara lain
zat toksik diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau oleh anak dan kurangnya
pengawasan dari pengasuh.
Zat toksik dapat masuk melalui saluran cerna (tertelan), mata, topikal/dermal,
gigitan binatang berbisa (envenomasi), inhalasi, dan transplasenta. Keracunan dapat
bersifat akut atau kronis. Keracunan terbanyak yang ditangani di unit gawat darurat
adalah keracunan akut (IDAI, 2011).
III.2 Epidemiologi
Insidens puncak keracunan terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun, dan
kebanyakan kasus terjadi pada anak berusia kurang dari 5-6 tahun. Menurut
American Association of Poison Control Center’s National Poison Data System,
sekitar 85% - 90% kasus keracunan pada anak terjadi pada usia kurang dari 5 tahun,
dan sisanya sekitar 10% - 15 % terjadi pada anak usia lebih dari 5 tahun. Keracunan
pada anak usia kurang dari 5 tahun umumnya terjadi karena kecelakaan (tidak
sengaja), sedangkan keracunan pada anak usia lebih dari 5 tahun terjadi akibat
kesengajaan (IDAI, 2011).
Lebih dari 90% paparan zat racun pada anak-anak terjadi di rumah, dan
sebagian besar hanya melibatkan satu zat tunggal. Sebagian besar terpapar zat racun
dengan cara ingesti oral/tertelan, sebagian kecil keracunan terjadi melalui rute
18
dermal, inhalasi, dan masuk melalui mata. Sekitar 50% dari kasus melibatkan zat
yang bukan obat, seperti kosmetik, produk perawatan tubuh, larutan pembersih,
tanaman, dan benda asing. Obat-obatan analgesik, sediaan topikal, obat batuk dan
pilek, dan vitamin adalah kategori yang paling sering dilaporkan menimbulkan
keracunan (Kliegman et al., 2016).
III.3 Etiologi
Menurut Kliegman et al. (2016), beberapa substansi yang berpotensi
menyebabkan keracunan/intoksikasi dengan dosis rendah dapat berasal dari
kategori obat-obatan maupun bukan obat, dapat dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Substansi dosis rendah yang berpotensi beracun untuk anak usia <6
tahun
19
Sumber: Kliegman et al., 2016
20
pasien, seperti obat-obatan atau bahan kimia tertentu, sangat penting untuk
identifikasi zat yang termakan, jumlah dan lamanya terpapar, serta pertolongan
pertama yang sudah diberikan.
Informasi yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah hal-hal yang
berhubungan dengan racun seperti jenis, jumlah, dosis, dan saat terjadinya
keracunan; kecelakaan atau disengaja (misalnya percobaan bunuh diri), riwayat
medis saat ini (gejala-gejala dan pengobatan yang sedang diterima), serta riwayat
medis masa lalu (riwayat percobaan bunuh diri, alergi obat, keluarga, dan sosial).
Kecurigaan adanya child abuse harus dipertimbangkan apabila anamnesis yang
diperoleh dari orangtua tidak konsisten (IDAI, 2011).
b. Pemeriksaan Fisik
Perhatian utama pemeriksaan fisis dimulai pada tanda vital termasuk suhu
tubuh. Selanjutnya sistem saraf pusat dan otonom, mata, perubahan pada kulit
dan/atau mukosa mulut dan saluran cerna, serta bau napas atau pakaian korban.
Tanda dan gejala yang dapat mengarahkan kecurigaan pada golongan racun
spesifik tertentu secara umum dikelompokkan kedalam sindroma yang disebut
sebagai toxidromes. Pengelompokan ini penting dalam menentukan pola
keracunan. Toxidromes klasik dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu:
sindroma simpatomimetik, kolinergik, antikolinergik, dan opiat-sedatifetanol.
21
Kardiopulmonal
Racun dapat menyebabkan berbagai penyimpangan pada sistem
kardiovaskular seperti hipertensi atau hipotensi yang disebabkan oleh efek
langsung racun pada otot polos pembuluh darah, efek neurogenik pada
pusat saraf otonom, dan efek langsung pada jantung dan ginjal. Hipertensi
terjadi pada overdosis kokain, amfetamin, simpatomimetik, atau
withdrawal sedatif atau narkotika; obat-obatan ini juga dapat
menyebabkan takikardia. Hipotensi berhubungan dengan obatobatan
penghambat beta, hipnotik-sedatif, narkotika, digitalis, calcium channel
antagonists atau klonidin; obat-obatan ini juga dapat menyebabkan
terjadinya hipotermia. Depresi pernapasan terjadi pada overdosis
hipnotiksedatif dan narkotika, meningkat pada keadaan aspirasi pulmonal
(hidrokarbon), edema pulmonal (inhalasi asap, narkotika, salisilat), dan
asidosis metabolik (etilen glikol, metanol, salisilat).
Neurologis
Pemeriksaan neurologis sangat penting, karena banyak racun yang
menekan tingkat kesadaran dapat dengan langsung mempengaruhi usaha
napas atau menyebabkan hipoksia karena hilangnya refleks proteksi jalan
napas.
Pupil merupakan tanda neurologis yang sangat berguna. Perubahan
pupil yang simetris khas pada paparan dengan racun, sedangkan pupil yang
asimetris tersering dijumpai pada kelainan neurologik struktural atau
fokal. Pada pemeriksaan neurologis sering dijumpai nistagmus, tinitus, dan
gangguan penglihatan
22
Bau yang khas dapat merupakan tanda dari berbagai toksin, misalnya bau
bawang putih untuk keracunan arsenik, organofosfat, dan fosfor; bau aseton
untuk keracunan aseton, isopropanolol, dan salisilat.
d. Evaluasi laboratoris
Sebagian besar keracunan dapat ditangani dengan adekuat tanpa
memerlukan pemeriksaan laboratorium yang berlebihan. Pemeriksaan
toksikologi jarang bermanfaat pada penanganan keracunan akut. Investigasi
dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium (darah, urin, cairan
lambung); radiologis (foto dada); elektrokardiografi (EKG), dan elektro-
ensefalografi (EEG). Semua pemeriksaan yang dilakukan harus berdasarkan
indikasi, bukan secara rutin.
Pasien dengan gangguan pada susunan saraf pusat (SSP) atau
kardiopulmonal memerlukan pemantauan irama jantung. Jika terdapat gangguan
irama jantung, atau diketahui pasien menelan racun kardiotoksik (antidepresan
trisiklik atau digitalis), pasang EKG dan pantau tekanan darah. Jika terdapat
gangguan kesadaran atau pernapasan, lakukan foto dada. Beberapa obat seperti
zat besi, logam berat dan kapsul enteric-coated, dapat dilihat dengan foto
abdomen.
Elektrolit dan analisis gas darah (AGD) memberikan informasi yang
berguna mengenai proses metabolik atau toksik. Jika gambaran AGD
menunjukkan asidosis metabolik, perhitungan kesenjangan anion (anion gap/
AG) akan memberikan informasi yang berharga.
Warna urin merah muda menandakan keracunan fenotiazin,
hemoglobinuria atau mioglobinuria. Darah yang berwarna coklat menandakan
methemoglobinemia. Adanya kristal oksalat pada urin merupakan petunjuk khas
keracunan etilenglikol. Ketonuria disertai perubahan metabolik terjadi pada
keracunan alkohol dan aseton; sedangkan ketonuria tanpa disertai perubahan
metabolik dapat merupakan gejala keracunan salisilat.
III.5 Tatalaksana
Menurut IDAI (2011), tatalaksana keracunan didasarkan pada empat prinsip
umum berikut ini:
23
- Perawatan suportif, dengan penilaian menggunakan PAT (pediatric
assessment triangle) dan ABC (airway, breathing, circulation).
- Mencegah atau mengurangi absorpsi
- Meningkatkan ekskresi
- Pemberian antidotum
Penilaian Awal
Lakukan penilaian dengan cepat untuk menentukan adanya gagal napas atau
syok dengan menggunakan PAT, dan memutuskan perlu atau tidaknya dilakukan
langkah ABC resusitasi. Mengingat bahaya utama keracunan adalah aspirasi,
hipoventilasi, hipoksia, hipotensi dan aritmia jantung, maka aspek terpenting pada
tata laksana keracunan adalah mempertahankan jalan napas, ventilasi dan sirkulasi.
Apabila didapatkan gangguan, beri oksigen, dukungan ventilasi, terapi spesifik dan
resusitasi cairan.
24
Pengosongan lambung
Tujuan pengosongan lambung adalah membersihkan lambung dari
sisa racun untuk mencegah efek lokal atau penyerapan sistemik lebih
lanjut. Manfaat pengosongan lambung berkurang seiring dengan
berjalannya waktu, paling efektif bila dikerjakan dini setelah tertelan
racun, pada saat obat yang belum diabsorpsi masih berada di dalam
lambung (30 menit sampai 1 jam pertama).
Emesis (muntah) merupakan salah satu cara pengosongan lambung
namun tindakan ini sudah jarang dilakukan. American Academy of
Pediatrics (AAP) tidak merekomendasikan pemakaiannya secara rutin
pada pasien keracunan baik di rumah maupun fasilitas kesehatan. Apabila
pasien sadar, muntah dapat diinduksi dengan cara stimulasi faring
mempergunakan pipa nasogastrik atau pemberian sirup ipekak.
Ipekak mengandung dua emetik alkaloid yang bekerja pada sistem
saraf pusat dan secara lokal pada saluran cerna untuk menimbulkan
muntah. Cara ini hanya efektif apabila diberikan dalam menit-menit
pertama setelah zat racun tertelan, dan manfaatnya sangat dibatasi oleh
waktu. Sirup ipekak diberikan secara per oral dengan dosis 10 mL untuk
bayi 6-12 bulan, 15 mL untuk anak 1 – 12 tahun, dan 30 mL untuk anak
yang lebih besar; tidak boleh diberikan pada bayi < 6 bulan karena risiko
aspirasi. Bila perlu, pemberiannya dapat diulang tiap 20 menit. Awitan
muntah biasanya terjadi dalam waktu 20 – 30 menit.
Kontraindikasi induksi muntah adalah menelan zat racun dengan
kadar toksik yang minimal (misalnya antibiotika, vitamin, zat besi,
asetaminofen <100 mg/kg), telah memuntahkan racun, usia kurang dari 6
bulan, koma, kejang, hilangnya gag reflex, dan tertelan zat korosif (asam
atau basa kuat) atau hidrokarbon. Untuk kasus keracunan hidrokarbon,
induksi muntah hanya dilakukan apabila tertelan >1 mL/kgBB atau
mengandung logam berat.
Bilas lambung biasanya dilakukan pada pasien yang menelan racun
dalam jumlah yang potensial mengancam jiwa. Tindakan ini telah
dilakukan sejak lebih dari dua abad lalu namun sampai saat ini masih
25
kontroversial. Banyak ahli lebih menganjurkan pemberian arang aktif
untuk dekontaminasi, sehingga tindakan ini tidak boleh dilakukan secara
rutin, harus mempertimbangkan untung ruginya. Efektivitas bilas lambung
tergantung lama dan jenis racun yang tetelan.
Agar bilas lambung efektif, posisi pasien yang terbaik adalah left
lateral head down (20O dari permukaan meja) dengan pipa nasogastrik
ukuran terbesar yang dapat masuk. Isi lambung harus diaspirasi terlebih
dahulu sebelum cairan pembilas dimasukkan. Gunakan larutan garam
fisiologis hangat 10-20 mL/kg, atau 50-100 mL pada anak kecil dan 150-
200 mL pada remaja, dapat diulang sampai cairan yang keluar bersih.
Komplikasi bilas lambung antara lain desaturasi oksigen, pneumonia
aspirasi, trauma mekanik pada orofaring dan esofagus, serta gangguan
keseimbangan elektrolit. Kontraindikasinya adalah hilangnya proteksi
saluran napas, terdapat risiko perdarahan atau perforasi saluran cerna,
tertelan zat korosif (asam atau basa) atau hidrokarbon, aritmia jantung.
Arang aktif
Arang aktif merupakan terapi yang efektif karena dapat menurunkan
absorpsi zat toksik. Pemberian arang aktif menjadi pilihan strategi
dekontaminasi pada anak dan paling efektif bila diberikan dalam jam
pertama. Dosis arang aktif adalah 1 – 2 g/kg (maksimum 100 g) per dosis.
Kontraindikasi pemakaian yaitu pada pasien dengan jalan napas yang tidak
terlindungi, saluran cerna yang tidak intak (setelah keracunan kaustik yang
berat), atau apabila pemberiannya akan meningkatkan risiko dan beratnya
aspirasi (misalnya pada keracunan hidrokarbon). Arang aktif biasanya
diberikan setelah dilakukan bilas lambung.
Katartik
Terdapat 2 jenis katartik osmotik yang paling sering digunakan
dalam penanganan keracunan, yaitu katartik sakarida (sorbitol, dosis
maksimum 1g/kg) dan katartik garam (magnesium sulfat, dosis maksimum
250 mg/kg; dan magnesium sitrat, dosis maksimum 250 mL/kg).
Pemakaian rutin katartik bersamaan dengan arang aktif tidak
direkomendasikan. Katartik harus digunakan secara hati-hati karena risiko
26
terjadinya dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit, dan obstruksi
intestinal. Mengingat risiko tersebut, saat ini penggunanan katartik tidak
dianjurkan lagi, di samping hasilnya yang tidak terbukti menguntungkan
pasien. Kontraindikasi pemberian katartik adalah tertelan zat korosif,
diare berat, ileus, gangguan elektrolit berat, dan adanya riwayat
pembedahan.
Irigasi usus (Whole Bowel Irrigation/ WBI)
Merupakan salah satu teknik dekontaminasi saluran cerna dengan
menggunakan cairan nonabsorbable hypertonic solution (polyethylen
glycolbalanced electrolyte solution/PEG-ES) dalam jumlah besar dan
aliran cepat. Dosis yang dianjurkan adalah 500 mL/ jam untuk anak usia 9
bulan – 6 tahun, 1000 mL/jam pada anak usia 6-12 tahun, dan 1500-2000
mL/jam pada remaja dan dewasa. Metode ini masih kontroversial, karena
belum ada penelitian yang membuktikan efektivitasnya. Teknik ini
direkomendasikan pada kasus keracunan logam berat, zat besi, tablet lepas
lambat (sustained-release) atau enteric-coated, dan kokain. Kontraindikasi
relatif tindakan ini adalah adanya kelainan usus dan obstruksi usus.
27
urin antara 7,5 - 8,5. Asidifikasi urin tidak pernah diindikasikan karena
dapat menyebabkan efek samping yang serius seperti asidosis dan
eksaserbasi rabdomiolisis.
Dialisis
Dialisis diindikasikan pada kasus keracunan berat tertentu atau bila terdapat
gagal ginjal, dan dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria klinis
berikut:
a. Keracunan sangat mengancam kehidupan yang disebabkan oleh
obat yang bisa didialisis dan tidak dapat diterapi secara konservatif,
b. Hipotensi mengancam fungsi ginjal atau hati yang tidak bisa
dikoreksi dengan penambahan cairan biasa,
c. Gangguan asam basa, elektrolit, atau hiperosmolalitas berat yang
tidak berespons terhadap terapi, atau
d. Hipotermia atau hipertermia berat yang tidak berespons terhadap
terapi.
Hemodialisis bermanfaat untuk penanganan keracunan zat yang mempunyai
berat molekul rendah dengan volume distribusi dan ikatan terhadap protein
yang rendah sehingga dapat menyebabkan efek klinis yang berat atau
mengancam jiwa (seperti aspirin, teofilin, litium, dan alkohol), dan apabila
tidak didapatkan terapi alternatif yang kurang invasif. Hemodialisis
merupakan cara dialisis yang paling efektif tetapi memerlukan kemampuan
teknik yang tinggi, sehingga tidak selalu tersedia.
Hemoperfusi
Indikasi hemoperfusi sama dengan hemodialisis, tetapi teknik ini jarang
diperlukan. Pada keracunan obat tertentu, hemoperfusi mempunyai
keuntungan yang lebih besar dibandingkan hemodialisis, misalnya pada
keracunan teofilin, namun keracunan teofilin saat ini sudah jarang dijumpai.
Arang aktif dosis multiple (Multiple Dose Activated Charcoal /
GastroIntestinal Dialysis)
Beberapa hasil penelitian memperlihatkan adanya peningkatan signifikan
pengeluaran beberapa jenis racun dengan pemberian berulang arang aktif.
Dosis yang dianjurkan 0,5-1 g/kg, diulang setiap 4-6 jam. Dengan cara ini,
28
obat bebas yang berdifusi dari kapiler periluminar ke lumen usus akan diikat
oleh arang aktif yang selalu ada di dalam lumen. Selain itu resirkulasi
enterohepatik dari beberapa jenis obat dapat dihentikan karena
reabsorpsinya melalui empedu dicegah. Agar tindakan ini dapat dilakukan
dengan aman dan efektif, syaratnya adalah peristaltik aktif, gag reflex intak,
atau jalan napas terlindungi. Pemberian arang aktif dosis multipel
dipertimbangkan pada keracunan fenobarbital, karbamazepin, fenitoin,
digoksin, salisilat dan teofilin. Untuk mencegah terjadinya obstipasi, maka
setiap tiga siklus diberikan katartik seperti sorbitol.
Pemberian Antidotum
Setelah dilakukan evaluasi awal dan stabilisasi pasien, langkah selanjutnya
adalah mempertimbangkan perlu tidaknya terapi spesifik atau antidotum. Apabila
antidotum spesifik tersedia, maka harus diberikan sesegera mungkin dengan dosis
yang sesuai. Tidak semua zat toksik memiliki antidotum. Meskipun antidotum
tersedia, tidak mengurangi pentingnya pemberian terapi suportif atau terapi lainnya.
Terapi suportif harus segera diberikan sambil menunggu pemberian antidotum.
Tujuan terapi suportif adalah mempertahankan fungsi organ vital sampai racun
dikeluarkan dari tubuh dan fisiologi tubuh kembali normal.
III.6 Pemantauan
Setelah semua tahap tatalaksana terhadap kasus keracunan dilakukan,
sebaiknya pasien dirawat atau diobservasi di ruang perawatan intensif. Pemantauan
pasien dapat dilakukan secara multidisiplin tergantung kerusakan organ tubuh yang
tejadi, misalnya oleh psikiater bila merupakan percobaan bunuh diri, ahli bedah,
ahli mata bila terjadi kerusakan mata, dan dokter ahli lainnya (IDAI, 2011).
III.7 Pencegahan
Menurut IDAI (2011), tatalaksana keracunan bukan hal yang sederhana,
tetapi cukup kompleks dan hanya sedikit zat yang telah diketahui antidotumnya
dengan segala konsekuensinya. Pencegahan merupakan hal yang relatif lebih
sederhana dan mudah dilakukan, oleh karena itu perlu disosialisasikan kepada
29
masyarakat luas mengenai bahaya keracunan dan pencegahan yang dapat dilakukan
di rumah.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan antara lain obat-obatan dan zat
pembersih rumah tangga harus disimpan dalam lemari terkunci, penyimpanan obat
harus dalam tempat yang seharusnya, tidak membuang etiket atau label pada botol
obat dan membaca petunjuk pemakaian sebelum menggunakannya, gunakan tempat
penyimpanan yang tidak dapat dibuka oleh anak, nyalakan lampu saat akan
memberikan obat, tidak mengkonsumsi obat di depan anak karena mereka akan
menirunya, tidak menyebut obat dengan sebutan permen karena itu akan
membingungkan anak, ajarkan pada anak untuk tidak makan atau minum apa pun
kecuali telah diizinkan oleh orang dewasa, setiap 6 bulan bersihkan lemari dari
obat-obatan yang sudah kadaluwarsa, dan jauhkan anakanak dari tanaman beracun.
Salisilat
Keracunan aspirin dan salisilat sangat berat bila terjadi pada anak
kecil, karena akan mengalami asidosis dengan cepat dan mengakibatkan
gejala toksisitas berat pada SSP, sehingga tatalaksananya menjadi lebih
rumit.(ICHRC, 2005).
Salisilat adalah kelompok bahan-bahan kimia dari asam salisilat
yang telah lama diketahui sebagai asam asetilsalisilat (aspirin). Setelah
tertelan, aspirin akan dimetabolisme menjadi asam salisilat (salisilat).
Keracunan aspirin sering terjadi namun jarang tercatat karena sering tidak
dikenal gejala-gejalanya. Dalam beberapa tahun terakhir ini frekuensi
keracunan salisilat kembali meningkat.
30
Efek langsung salisilat pada metabolisme beragam. Salisilat akan
merangsang pusat pernapasan di medula yang akan menyebabkan takipnea
dan alkalosis respiratorik. Kombinasi alkalosis respiratotik dan asidosis
metabolik merupakan gejala patognomonik untuk keracunan salisilat.
Salisilat juga mempengaruhi metabolisme glukosa dan dapat menyebabkan
hipoglikemia atau hiperglikemia (IDAI, 2011).
Gejala dan tanda keracunan salisilat tergantung pada cara dan
beratnya keracunan. Menelan 150-300 mg/kg menimbulkan gejala
keracunan ringan, 300-500 mg/kg menimbulkan keracunan sedang, dan
lebih dari 500 mg/ kg dapat menyebabkan kematian. Keracunan ringan
menimbulkan gejala gangguan saluran cerna, tinitus dan takipnea.
Keracunan sedang menimbulkan gejala demam, diaforesis, dan agitasi,
sedangkan pada keracunan berat akan timbul gejala neurologis berupa
disartria, koma dan kejang. Pada keracunan berat juga dapat terjadi edema
paru. Kematian terjadi akibat toksisitas pada SSP yang berat dengan
hilangnya fungsi pusat kardiorespirasi, akibatnya terjadi gagal napas
dan/atau henti jantung.
Penilaian pasien keracunan salisilat dimulai dengan anamnesis yang
akurat untuk menentukan keracunan terjadi secara akut atau kronis.
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar salisilat serum, elektrolit, analisis
gas darah, tes fungsi hati, darah rutin, aPTT, PT, urinalisis dan EKG.
Perawatan suportif terdiri dari penilaian fungsi ventilasi,
pemantauan jantung, dan pemasangan akses vaskular. Keracunan salisilat
menyebabkan pengosongan lambung menjadi lambat, maka dekontaminasi
saluran cerna harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien yang
datang 4-6 jam setelah tertelan salisilat. Apabila pasien datang setelah 6 jam,
berikan arang aktif untuk meningkatkan pengeluaran salisilat (GI diayisis).
Tujuan spesifik terapi keracunan salisilat adalah mengkoreksi
gangguan cairan dan elektrolit, serta meningkatkan pengeluaran salisilat.
Terapi cairan ditujukan untuk memperbaiki hidrasi dan keseimbangan
elektrolit, mencegah penyebaran salisilat ke otak, dan mendukung ekskresi
salisilat oleh ginjal. Kadar pH darah harus dipertahankan antara 7,45-7,5
31
dengan pemberian natrium bikarbonat. Alkalinisasi urin akan meningkatkan
eliminasi salisilat melalui ionisasi salisilat. Salisilat yang terionisasi tidak
dapat direabsorpsi di tubulus ginjal (ion trapping), sehingga eliminasinya
melalui urin meningkat dan konsentrasi salisilat di SSP berkurang.
Hipokalemia akan mengurangi kemampuan ginjal membuat urin alkali,
maka ke dalam cairan intravena harus ditambahkan kalium.
Hemodialisis harus dipertimbangkan pada keracunan berat. Indikasi
khusus hemodialisis yaitu bila didapatkan asidosis berat atau gangguan
elektrolit, gagal ginjal, disfungsi neurologis persisten (kejang), edema paru,
atau keadaan klinis memburuk dengan terapi standar.
Paracetamol
Penatalaksanaan keracunan paracetamol menurut ICHRC (2005) adalah:
1. Jika masih dalam waktu 1 jam setelah tertelan, berikan arang aktif (jika
tersedia), atau rangsang muntah kecuali bila obat antidot oral
dibutuhkan
2. Tentukan kapan obat antidot diperlukan untuk mencegah kerusakan
hati: yaitu jika tertelan parasetamol 150 mg/kgBB atau lebih. Antidot
lebih sering dibutuhkan pada anak yang lebih besar yang dengan
sengaja menelan parasetamol, atau ketika orang tua berbuat kesalahan
dengan memberikan dosis berlebih pada anak.
3. Pada 8 jam pertama setelah tertelan berikan metionin oral atau
asetilsistein IV. Metionin dapat digunakan jika anak sadar dan tidak
muntah (umur < 6 tahun: 1 g setiap 4 jam untuk 4 dosis; umur 6 tahun
atau lebih: 2.5 g setiap 4 jam untuk 4 dosis)
4. Bila lebih dari 8 jam setelah tertelan atau tidak dapat diberikan
pengobatan oral, maka berikan asetilsistein IV. Perhatikan bahwa
volume cairan yang digunakan dalam rejimen standar terlalu banyak
untuk anak kecil. Untuk anak dengan berat badan < 20 kg berikan dosis
awal sebanyak 150 mg/kgBB dalam 3 ml/kg glukosa 5% selama 15
menit, dilanjutkan dengan 50 mg/kgBB dalam 7 ml/kgBB glukosa 5%
selama 4 jam, kemudian 100 mg/ kgBB IV dalam 14 ml/kgBB glukosa
32
5% selama 16 jam. Volume glukosa dapat ditambah pada anak yang
lebih dewasa.
Terpentin, White Spirit, And Terpentin Substitute
Minyak terpentin seringkali digantikan dengan white spirit dan
pengganti terpentin. White spirit dan terpentin substitute lebih rendah kadar
toksisitasnya ketika tertelan. Iritasi gastrointestinal seringkali terlihat.
Depresi SSP dapat terjadi jika tertelan dalam jumlah yang banyak.
Toksisitas utama berhubungan dengan risiko aspirasi yang menghasilkan
pneumonia karena bahan kimia. Untuk alasan ini dekontaminasi lambung
tidak dianjurkan. Semua penderita harus diperkirakan dan diperhatikan
tanda dari distress pernafasan. Hal ini termasuk mengukur saturasi oksigen,
frekuensi nafas dan mendengarkan bunyi pernafasan tambahan. Sebagian
besar kasus asimptomatik dan penderita tidak diperlukan observasi.
Pemberian cairan oral harus diberikan secara hati-hati dan perhatian jika
anak mendapatkan batuk, pernafasan cepat dan berbunyi. Gejala dapat
timbul lebih dari 24 jam setelah tertelan. Anak dengan gejala tersangka
pneumonitis membutuhkan foto rontgen X-ray dan observasi dilakukan di
rumah sakit (Riordan et al., 2002).
Pengobatan suportif dan monitoring secacra intensif diindikasikan.
Pemberian antibiotik atau steroid sebagai profilaksis tidak dianjurkan.
Komplikasi seperti edema paru dan perdarahan dapat terjadi. Dahulu
pemberian steroid digunakan dalam managemen keracunan ini tetapi tidak
jelas evidence dan keuntungannya. Terpentin adalah minyak esensial dan
lebih berbahaya baik itu tertelan ataupun terhirup. Sangat diindikasikan
opname. Terpentine dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan (burning)
melalui traktus gastrointestinal, asidosis metabolik, gagal hepar, kerusakan
ginjal, dan perubahan dari kesadaran. Pengobatan bersifat suportif. Jika
terpentin banyak yang tertelan, dipertimbangkan untuk evakuasi isi
lambung lebih dini. Hal ini harus dilakukan di bawah anestesi dengan
proteksi/perlindungan saluran pernafasan dari berbagai risiko aspirasi. Hal-
hal yang harus diperhatikan adalah:
33
Jangan rangsang anak untuk muntah atau memberikan arang aktif.
Tindakan perangsangan muntah dapat menyebabkan aspirasi
pneumonia (edema paru dan pneumonia lipoid) yang dapat
mengakibatkan sesak napas dan hipoksia. Gejala klinis lain adalah
ensefalopati
Pengobatan spesifik terhadap sesak napas adalah terapi oksigen
Pengobatannya meliputi (Rahmipurwandari, 2014):
1. Singkirkan racun dengan irigasi mata atau mencuci kulit (jika ada
pada mata atau kulit)
2. Berikan arang aktif jika tertelan sebelum 1 jam
3. Jangan rangsang muntah karena kebanyakan pestisida bahan
pelarutnya berasal dari hidrokarbon
4. Pada keracunan berat yang arang aktif tidak dapat diberikan,
pertimbangkan dengan seksama aspirasi lambung dengan
menggunakan pipa nasogastrik (catatan: jalan napas anak harus
dilindungi)
5. Jika anak menunjukkan gejala hiperaktivasi parasimpatik, berikan
atropin 15–50 mikrogram/kgBB IM (atau 0,015 – 0,05mg/kgBB)
atau melalui infus selama 15 menit. Tujuan pemberian atropin
mengurangi sekresi bronkial dengan menghindari toksisitas atropin.
Auskultasi dada untuk mendengarkan adanya tanda sekresi pada
saluran napas dan pantau frekuensi napas, denyut jantung dan skala
koma (jika diperlukan). Ulangi dosis atropin setiap 15 menit sampai
tidak ada tanda sekresi pada saluran napas, denyut nadi dan
frekuensi napas kembali normal
6. Periksa hipoksemia dengan pulse oximetry (jika tersedia), karena
pemberian atropin dapat menyebabkan gangguan irama jantung
(aritmia ventrikular), pada anak dengan hipoksemia. Berikan
oksigen jika saturasi oksigen kurang dari 90%
7. Jika otot melemah, berikan pralidoksim (cholinesterase reactivator)
25 – 50 mg/kg dilarutkan dengan 15 ml air diberikan melalui infus
34
selama lebih 30 menit, diulangi sekali atau dua kali, atau diikuti
dengan infus 10 – 20 mg/kgBB/jam, sesuai kebutuhan.
Alkohol, Parfum dan Pembersih Mulut
Ethanol dapat ditemukan pada minuman yang beralkohol,
pembersih/pencuci mulut, parfum dan bahan mencukur. Banyaknya kasus
yang serius dari keracunan disebabkan oleh karena tertelannya produk
dalam jumlah yang besar yang mengandung konsentrasi rendah dari etanol,
seperti minuman atau cairan pembersih mulut daripada tertelannya yang
terkonsentrasi, dimana yang lebih iritasi. Ethanol menyebabkan depresi
SSP, dimana akan memudahkan terjadinya gangguan respirasi. Ethanol
dimetabolisme di hati oleh alcohol dehydrogenase yang menggunakan NAD
sebagai kofaktor. Ethanol di metabolisme di dalam hati menggunakan NAD
sebagai kofaktor. Kompetisi antara metabolism etanol dan jalur metabolic
lainnya untuk menjamin suplai NAD menghasilkan terjadinya asidosis dan
penurunan proses glukoneogenesis. Penurunan proses glukoneogenesis
dapat menyebabkan hipoglikemia pada anak yang muda atau pada anak-
anak yang berpuasa sebagai hasil dari kurangnya cadangan glikogen.
Konsentrasi etanol dinyatakan dalam volume persen. 1 ml dari etanol murni
sama dengan 0,8 gram dari etanol. Volume dari distribusi etanol adalah 0,6
l/kg. Anak-anak yang mencerna 0,4 ml/kg etanol murni harus di observasi
selama 4 jam (sebagian besar diharapkan memproduksi konsentrasi etanol
darah 50 mg/dl). Pencernaan dari 1,2 ml/kg etanol murni memerlukan
opname rumah sakit dan pemeriksaan gula darah secara rutin (sebagian
besar diharapkan pproduksi konsentrasi etanol darah 80 mg/dl) (Riordan et
al., 2002).
Insektisida
Menurut IDAI (2011), insektisida digolongan menjadi: chlorinated
hydrocarbons (aldrin, DDT, dieldrin, endrin, lindane), organofosfat
(klorotion, DFP, diazinon, malation, paration, phosdrin, thio-TEPP), dan
karbamat (carbaryl, sevin, zectran).
35
Chlorinated hydrocarbons
Absorpsi terjadi melalui kulit, saluran napas, dan saluran cerna.
Gejala keracunan hidrokarbon adalah salivasi, iritabilitas saluran cerna,
nyeri perut, muntah, diare, depresi SSP, dan kejang. Paparan inhalasi
menyebabkan iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, pandangan kabur,
batuk, dan edema paru.
Tata laksana keracunan hidrokarbon terdiri dari dekontaminasi kulit
dengan sabun dan pengosongan isi lambung. Semua pakaian yang
terkontaminasi harus dilepaskan. Pemberian susu atau produk-produk
yang mengandung lemak harus dihindari karena dapat mempercepat
absorpsi racun. Bila terdapat kejang, berikan diazepam 0,1-0,3 mg/kg iv.
Jangan gunakan epinefrin karena dapat menimbulkan aritmia.
Organofosfat
Absorpsi dapat terjadi melalui inhalasi, saluran cerna, dan penetrasi
kulit. Organofosfat bekerja dengan cara mengikat dan menginaktivasi
asetilkolin esterase, akibatnya terjadi akumulasi asetilkolin pada
cholinergic junctions di efektor otonom (menimbulkan efek muskarinik),
otot skelet atau ganglia otonom (menimbulkan efek nikotinik), dan di
SSP yang bersifat ireversibel. Gejala yang timbul tergantung pada rute,
lama paparan, dan jumlah zat yang diabsorpsi. Toksisitas organofosfat
terjadi dalam 12 jam setelah paparan.
Gejala klinis yang berhubungan dengan SSP adalah pusing, nyeri
kepala, ataksia, kejang dan koma; tanda nikotinik terdiri dari berkeringat,
fasikulasi, tremor, kelemahan dan paralisis otot; dan gejala muskarinik
ditandai dengan SLUDGE (salivasi, lakrimasi, urinasi, defekasi,
gastrointestinal kram, dan emesis). Selain itu bisa didapatkan juga
miosis, bradikardia, bronkorea, dan wheezing; pada kasus berat dapat
terjadi edema paru.
Tata laksana keracunan organofosfat harus selalu menyertakan
perlindungan bagi penolong. Apabila paparan terjadi melalui kulit, maka
pada saat datang pasien harus dibasuh dengan cairan sabun. Seluruh
36
pakaian yang terkontaminasi harus dilepaskan dan disimpan dalam
kantung plastik.
Setelah dekontaminasi, berikan antidotum mulai dari sulfas atropin
dengan dosis 0,05-0,1 mg/kg untuk anak dan 2-5 mg untuk remaja,
intravena. Dosis diulang tiap 10-30 menit sampai tercapai atropinisasi,
yang ditandai terutama dengan menghilangnya hipersekresi. Setelah
pemberian atropin, pada kasus yang berat dapat diberikan pralidoksim.
Obat ini berguna pada keracunan yang ditandai dengan kelemahan otot
yang berat dan fasikulasi. Pralidoksim diberikan dengan dosis 25-50
mg/kg dalam 100 mL NaCl fisiologis yang diberikan selama 30 menit.
Dalam keadaan yang mengancam jiwa, 50% dosis inisial pralidoksim
diberikan dalam waktu 2 menit, dan sisanya dalam waktu 30 menit.
Setelah dosis inisial, dilanjutkan dengan infus kontinyu larutan 1% 10
mg/ kg per jam pada anak atau 500 mg per jam pada remaja sampai efek
yang diinginkan tercapai. Pralidoksim sangat berguna dalam 48 jam
setelah paparan, namun masih bermanfaat hingga 2-6 hari kemudian
(IDAI, 2011).
Karbamat
Karbamat mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan
organofosfat, tetapi ikatannya dengan asetilkolinesterase bersifat
reversibel sehingga akan terjadi hidrolisis spontan dan aktivitas
kolinesterase akan kembali dalam beberapa jam. Manifestasi klinis
keracunan karbamat tidak dapat dibedakan dengan organofosfat, namun
gejala yang timbul lebih ringan dan durasinya lebih pendek. Tidak seperti
organofosfat, karbamat hanya sedikit menimbulkan efek pada susunan
saraf pusat. Pemberian pralidoksim pada intoksikasi karbamat secara
umum tidak diperlukan karena gejala yang timbul dapat sembuh spontan
(IDAI, 2011).
Hidrokarbon
Hidrokarbon adalah senyawa karbon yang pada suhu kamar
berbentuk cair. Hidrokarbon dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
hidrokarbon alifatik, aromatik, dan toksik. Hidrokarbon alifatik
37
merupakan destilat minyak bumi, banyak dijumpai dalam produk rumah
tangga seperti minyak tanah dan cairan pemantik. Hidrokarbon aromatik
merupakan struktur siklik yang dijumpai pada pelarut, lem, cat, dan cat
kuku, sedangkan hidrokarbon toksik terdiri dari bermacam zat yang tidak
mempunyai bentuk toksisitas tertentu.
Toksisitas hidrokarbon bervariasi, tetapi zat ini mempunyai
viskositas dan tegangan permukaan yang rendah, sehingga mudah
berpenetrasi ke saluran napas yang lebih dalam dan menyebar di area
paru yang luas.
Jumlah hidrokarbon yang tertelan oleh anak biasanya sukar
ditentukan, tetapi adanya aspirasi akan menimbulkan tanda berupa batuk,
tersedak, atau takipnea. Aspirasi kurang dari 1 mL hidrokarbon langsung
ke dalam trakea akan menyebabkan pneumonitis berat, bahkan kematian.
Apabila tertelan, absorpsinya melalui saluran cerna kurang baik.
Hidrokarbon menyebabkan iritasi saluran cerna, sehingga akan
timbul mual dan muntah berdarah. Gejala SSP bervariasi mulai dari
keadaan mabuk sampai koma. Gejala lain yaitu hemolisis,
hemoglobinuria, demam dan leukositosis.
Tatalaksana keracunan hidrokarbon adalah dengan menahan zat di
dalam usus bila memungkinkan dan mencegah terjadinya muntah atau
refluks. Pengosongan lambung umumnya hanya dilakukan pada zat yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan efek toksik sistemik, seperti
halogenated hydrocarbon (trichloroethane, carbon terachloride),
hidrokarbon aromatik (toluene, xylene, benzene), dan mengandung zat
aditif seperti logam berat dan insektisida.
Bila pasien datang dengan batuk atau gejala respirasi, segera
lakukan foto dada. Apabila pada rontgen awal tidak didapatkan kelainan,
ulangi 4-6 jam setelah tertelan hidrokarbon. Semua pasien dengan
kelainan radiologis atau gejala respirasi yang menetap setelah
diobservasi selama 4-6 jam, memerlukan pemantauan lebih lanjut,
sedangkan pasien yang tetap asimtomatik setelah periode observasi ini
boleh dipulangkan.
38
Pada pasien dengan pneumonitis hidrokarbon yang mengalami
penurunan kesadaran, patensi jalan napas harus diperhatikan, dan bila
ventilasinya terganggu harus dipasang ventilasi mekanik. Pemberian
antibiotika profilaksis tidak dianjurkan, hanya diberikan bila terdapat
infeksi. Pemberian kortikosteroid juga tidak direkomendasikan karena
akan meningkatkan morbiditas. Pada keadaan hipotensi atau
bronkospasme, pemberian epinefrin merupakan kontraindikasi karena
hidrokarbon dapat menimbulkan iritabilitas ventrikel yang merupakan
predisposisi untuk terjadinya fibrilasi. Katekolamin juga dapat
membangkitkan efek ini (IDAI, 2011).
Singkong (Manihot utilissima)
Singkong atau cassava mengandung glikosida yang akan dihidrolisis
menjadi glukosa, hidrogen sianida, dan aseton oleh beta glukosidase usus
atau beta glukosidase yang dikeluarkan oleh tanaman itu sendiri. Selain
dalam singkong, sianida juga terdapat di dalam biji tumbuhan (apel,
cherry, peach, dan pir) dan hasil pembakaran plastik.
Keracunan dapat terjadi tergantung pada kadar asam sianida dan
cara pengolahan sebelum dikonsumsi. Merendam singkong terlebih
dahulu di dalam air dalam jangka waktu tertentu dapat menurunkan kadar
asam sianida karena akan larut dalam air.
Asam sianida adalah suatu racun kuat yang dapat menyebabkan
asfiksia. Sianida menghambat pemakaian oksigen dengan cara
menginaktivasi sitokrom oksidase mitokondria, akibatnya terjadi
hipoksia jaringan karena O2 tidak dapat digunakan dan terjadi kegagalan
produksi adenosin trifosfat (ATP). Manifestasi klinis keracunan sianida
akut sering tidak spesifik, dan terutama menggambarkan kekurangan
oksigen di otak dan jantung.
Gejala awal keracunan ringan terdiri dari kelemahan, malaise,
kebingungan, nyeri kepala, pusing, dan napas pendek. Pada keadaan
lanjut akan timbul gejala mual dan muntah, hipotensi, kejang, koma,
apnea, aritmia, dan kematian akibat henti jantung paru. Pada pemeriksaan
fisis bisa ditemukan warna merah cherry pada kulit dan warna merah
39
pada arteri serta vena retina yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel
mengekstraksi oksigen dari darah. Kadangkadang dapat tercium bau
seperti almond pahit pada napas pasien. Pada keracunan berat, kematian
biasanya terjadi dalam waktu 1-15 menit.
Diagnosis keracunan singkong ditegakkan berdasarkan anamnesis
makanan, gejala klinis, laboratorium (AGD, elektrolit dan kadar laktat
serum), serta pemeriksaan contoh muntahan dan bahan makanan yang
tersisa.
Penanganan harus dilakukan secepatnya. Bila makanan diperkirakan
masih ada di dalam lambung, lakukan dekontaminasi isi lambung dengan
bilas lambung dan berikan arang aktif. Selanjutnya berikan perawatan
suportif yang terdiri dari pemberian oksigen 100%, bila perlu lakukan
resusitasi kardiopulmonal, dan berikan antidotum (amil nitrit, Na-nitrit
dan Na- tiosulfat). Sambil menunggu akses vena, berikan amil nitrit per
inhalasi. Setelah akses vena terpasang, berikan Na-nitrit 10 mg/kg atau
0,33 mL/kg larutan Na-nitrit 3%, untuk menghasilkan 20%
methemoglobin. Selanjutnya berikan Na- tiosulfat 25% sebanyak 1,6
mL/kg (400 mg/ kg) sampai 50 mL (12,5 g), intravena dalam 10 menit.
Mengingat nitrit adalah vasodilator kuat, maka pemberiannya harus
dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan hipotensi (IDAI,
2011).
Jengkol (Pithecolobium lobatum)
Jengkol sering menimbulkan gejala keracunan yang disebabkan oleh
asam jengkol, yaitu suatu asam amino yang mengandung belerang.
Timbulnya keracunan tidak tergantung pada jumlah biji jengkol yang
dimakan, dimasak atau tidaknya sebelum dimakan, dan muda atau tuanya
biji jengkol, tetapi tergantung pada kerentanan seseorang terhadap asam
jengkol.
Gejala keracunan disebabkan oleh hablur (kristal) asam jengkol
yang menyumbat traktus urinarius. Keluhan pada umumnya timbul
dalam waktu 5-12 jam setelah memakan jengkol berupa nyeri perut,
kadang-kadang disertai muntah dan adanya serangan kolik pada waktu
40
berkemih. Volume urin juga berkurang bahkan sampai terjadi anuria.
Kadang-kadang terdapat hematuria. Napas dan urin berbau jengkol. Pada
pemeriksaan urin dengan mikroskop dapat ditemukan hablur asam
jengkol berupa jarum runcing yang kadang-kadang bergumpal menjadi
ikatan atau berupa roset.
Tatalaksana keracunan jengkol yang ringan (muntah, sakit perut
pinggang saja), cukup dengan menasihati pasien untuk banyak minum
dan diberikan natrium bikarbonat saja. Bila gejala penyakit berat
(oliguria, hematuria, anuria dan tidak dapat minum) penderita perlu
dirawat dan diberi infus natrium bikarbonat dalam larutan glukosa 5%.
Bila terjadi gagal ginjal, dapat dilakukan hemodialisis/peritoneal dialysis
(IDAI, 2011).
Tempe bongkrek
Bongkrek adalah sejenis tempe yang dalam proses pembuatannya
dicampur dengan ampas kelapa dan kacang tanah. Pada proses
pembuatan ini sering terjadi kontaminasi dengan Clostridium botalinum,
yaitu suatu kuman anaerob yang membentuk spora, dan Bacterium
cocovenenans yang mengubah gliserinum menjadi racun toksoflavin.
Gejala keracunan timbul setelah 12-48 jam, dengan manifestasi serupa
dengan gejala yang ditumbulkan oleh kurare yaitu pusing, diplopia,
anoreksia, merasa lemah, ptosis, strabismus, kesukaran bernapas,
menelan atau berbicara. Kematian bisa timbul dalam 1-8 hari, dan
biasanya mengenai beberapa anggota dalam satu keluarga sekaligus. Tata
laksana keracunan tempe bongkrek terdiri dari dekontaminasi lambung
dengan bilas lambung dan pemberian katartik. Karena antidotumnya
belum ada, dapat diberikan atropin sulfat beserta larutan glukosa
intravena. Pemberian glukosa intravena ini sebaiknya disertai dengan
pemberian larutan garam fisiologis dan plasma, dan harus diberikan
secepatnya (IDAI, 2011).
41
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011, Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat, Jakarta,
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Kliegman, RM, Stanton, BF, St Geme, JW, Schor, NF, 2016, Nelson Textbook Of
Pediatrics, 20th Edition, Philadelphia: Elsevier, Inc.
ICHRC, 2005, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Hospital
Care for Children, diakses 11 November 2019.
http://www.ichrc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-anak-di-rumah-sakit
42