S1 2014 301407 Chapter1
S1 2014 301407 Chapter1
BAB I
PENDAHULUAN
killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita
hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi
atau 1 dari 3 penduduk pada tahun 2010. Prevalensi hipertensi pada tahun 2030
diperkirakan meningkat sebanyak 7,2% dari estimasi tahun 2010. Data tahun
52,5% pasien yang tekanan darahnya terkontrol (tekanan darah sistolik <140
mmHg dan diastolik <90 mmHg) dan 47,5% pasien yang tekanan darahnya tidak
wanita hingga usia 45 tahun dan sejak usia 45-64 tahun persentasenya sama,
Sejak tahun 1999 hingga 2009, angka kematian akibat hipertensi meningkat
1
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2 2013
DEWI LATIFATUL ILMA
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
sebanyak 17,1% (Go dkk., 2014) dengan angka kematian akibat komplikasi
ginjal, dan kematian jika tidak dideteksi secara dini dan ditangani dengan tepat
(James dkk., 2014). Sekitar 69% pasien serangan jantung, 77% pasien stroke, dan
74% pasien congestive heart failure (CHF) menderita hipertensi dengan tekanan
darah >140/90 mmHg (Go dkk., 2014). Hipertensi menyebabkan kematian pada
45% penderita penyakit jantung dan 51% kematian pada penderita penyakit stroke
pada tahun 2008 (WHO, 2013). Selain itu, hipertensi juga menelan biaya yang
tidak sedikit dengan biaya langsung dan tidak langsung yang dihabiskan pada
yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya
sebesar 9,5%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di
RI, 2013b). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa
hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat inap
terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi kasus 42,38% pria dan
57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012).
DIY, 2013). Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menempatkan D.I Yogyakarta
dan/atau riwayat minum obat. Hal ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dari
hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2007, dimana D.I Yogyakarta menempati
terjadi jika hipertensi tidak ditangani dengan tepat, maka penggunaan obat yang
rasional pada pasien hipertensi merupakan salah satu elemen penting dalam
tercapainya kualitas kesehatan serta perawatan medis bagi pasien sesuai standar
kematian. Selain itu biaya yang dikeluarkan menjadi sangat tinggi (WHO, 2004).
hipertensi. Penelitian dilakukan pada pasien rawat inap di Rumah Sakit PKU
jumlah kasus hipertensi pada tahun 2013 dibanding dengan tahun 2012. Pada
tahun 2013, hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit penyebab rawat inap
ketiga penyebab rawat inap pada penyakit tidak menular. Hal ini berbeda dari
tahun 2012, dimana hipertensi tidak termasuk dalam 10 penyakit penyebab rawat
inap terbesar di rumah sakit tersebut. Pertimbangan lainnya bahwa Rumah Sakit
Yogyakarta.
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 4 2013
DEWI LATIFATUL ILMA
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
B. Perumusan Masalah
jenis kelamin, riwayat penyakit hipertensi, diagnosis penyakit lain dan penyulit,
2. Bagaimana pola penggunaan obat pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah
indikasi, obat, pasien, dan dosis pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah
C. Tujuan Penelitian
jenis kelamin, riwayat penyakit hipertensi, diagnosis penyakit lain dan penyulit,
2. Mengetahui pola penggunaan obat pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah
ketepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis pada pasien hipertensi rawat inap di
D. Manfaat Penelitian
hipertensi.
sakit.
E. Tinjauan Pustaka
persisten. Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau
tekanan darah diastolik >90 mmHg (Depkes RI, 2006) kecuali bila tekanan darah
sistolik ≥210 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥120 mmHg (Setiawati dan
Bustani, 1995).
dewasa (usia ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau
lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis dapat dilihat pada tabel I.
ditandai dengan tekanan darah yang sangat tinggi yaitu tekanan sistolik >180
mmHg atau tekanan distolik >120 mmHg yang kemungkinan dapat menimbulkan
atau tanda telah terjadi kerusakan organ. Krisis hipertensi meliputi hipertensi
meningkat ekstrim disertai kerusakan organ akut yang progresif, sehingga tekanan
kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi urgensi yaitu tingginya tekanan darah
tanpa adanya kerusakan organ yang progresif sehingga tekanan darah diturunkan
dalam waktu beberapa jam hingga hari pada nilai tekanan darah tingkat I (Depkes
RI, 2006).
2. Etiologi Hipertensi
a. Hipertensi primer
(primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi faktor
simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik,
obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat (Weber dkk., 2014) serta konsumsi
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 7 2013
DEWI LATIFATUL ILMA
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah besar
b. Hipertensi sekunder
Tabel II. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Depkes RI, 2006)
Penyakit Obat
Penyakit ginjal kronis Kortikosteroid, ACTH
Hiperaldosteronisme primer Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar
Penyakit renovaskular estrogen tinggi)
Sindroma cushing NSAID, cox-2 inhibitor
Phaeochromocytoma Fenilpropanolamin dan analog
Koarktasi aorta Siklosforin dan takromilus
Penyakit tiroid atau paratiroid Eritropoietin
Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 8 2013
DEWI LATIFATUL ILMA
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada,
bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).
4. Patofisiologi Hipertensi
perifer total (Robbins dkk., 2007). Curah jantung merupakan faktor yang
menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer total menentukan
nilai tekanan darah diastolik. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat
kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan resistensi perifer total (Saseen dan
Maclaughlin, 2008).
tipe 2 (AT2). Stimulasi reseptor AT1 dapat meningkatkan tekanan darah melalui
sintetis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi natrium dan air.
Retensi natrium dan air ini mengakibatkan kenaikan volume darah, kenaikan
resistensi perifer total, dan akhirnya kenaikan tekanan darah (Saseen dan
Tekanan darah juga diregulasi oleh sistem saraf adrenergik yang dapat
reseptor α-2 pada sistem saraf simpatik menyebabkan penurunan kerja saraf
simpatik yang dapat menurunkan tekanan darah. Stimulasi reseptor α-1 pada
darah. Stimulasi reseptor β-1 pada jantung menyebabkan kenaikan denyut jantung
dan kontraktilitas, sedangkan stimulasi reseptor β-2 pada arteri dan vena
2009).
5. Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel
rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah
angina), gagal ginjal, demensia, dan atrial fibrilasi. Apabila penderita hipertensi
6. Terapi Hipertensi
organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target
tekanan darah adalah <140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan
<130/80 mmHg untuk pasien diabetes melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian
modifikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan jika kelebihan berat
badan dengan menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu 18,5-24,9;
yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi
konsumsi garam yaitu tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik
alkohol tidak lebih dari 2 kali/hari pada pria dan 1 kali/hari pada wanita
2004).
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER12 2013
DEWI LATIFATUL ILMA
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
b. Terapi farmakologis
gagal ginjal akut. Selain itu, ACEI juga dikontraindikasikan pada pasien
angioedema dan wanita hamil (Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008;
WHO, 2009). Efek samping ACEI yang paling sering yaitu batuk kering,
ruam, dan pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit
dan jalur alternatif yang menggunakan enzim kimase (Carter dkk., 2003).
iii. Diuretik
tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan curah jantung, tetapi
pada pasien hipertensi. Diuretik penahan kalium memiliki efek yang lemah
yang lebih poten dengan mula kerja yang lambat (Depkes RI, 2006).
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER15 2013
DEWI LATIFATUL ILMA
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
pasien koma hepatik akibat sirosis (NFKDOQI, 2004; Lacy dkk., 2006;
kronis atau diabetes dan pada pasien yang menggunakan ACEI, ARB,
Reseptor beta-2 yang terdapat di paru-paru, hati, pankreas, dan otot polos
dkk., 2014).
lebih aman pada pasien asma, penyakit paru-paru obstruksi kronis, dan
karteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja
secara agonis pada beta reseptor parsial (Depkes RI, 2006). Penyekat beta
ISA dapat menstimulasi reseptor beta tetapi dengan aksi yang lebih lemah
dari agonis beta sebenarnya. Jika diberikan pada pasien dengan denyut
jantung yang lemah, maka penyekat beta ISA dapat meningkatkan denyut
jantung. Hal yang sebaliknya terjadi pada pasien dalam keadaan istirahat
dkk., 2006). Efek samping paling sering dari penyekat beta adalah
dengan menghambat aliran ion kalsium melalui kanal L pada sel otot polos
arteri. Ada dua jenis CCB yaitu dihidropiridin seperti amlodipin dan
dilitiazem dan verapamil yang bekerja mendilatasi arteri dengan efek yang
harus dihindari kecuali untuk terapi pada pasien angina, hipertensi, atau
2008; WHO, 2009). Nifedipin aksi pendek harus dihindari pada pasien
yang biasa terjadi pada dosis tinggi. Efek samping ini dapat dikurangi
pasien dengan detak jantung yang cepat dan untuk mengontrol detak
dkk., 2006). Efek samping yang tidak disukai dari penyekat alfa-1 adalah
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER19 2013
DEWI LATIFATUL ILMA
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
pingsan, palpitasi, dan sinkop 1-3 jam setelah dosis pertama. Hipotensi
sistem saraf pusat seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi (Depkes RI,
2006).
sentral secara kronis menyebabkan retensi natrium dan air, terutama pada
hepatitis atau anemia hemolitik, tetapi efek ini jarang terjadi. Metildopa
dengan diuretik dan penyekat beta atau obat lainnya (klonidin, dilitiazem,
2006).
Modifikasi gaya
hidup
Pilihan obat
adalah diuretik tiazid. Rekomendasi ini terutama untuk pasien yang tanpa indikasi
pula obat antihipertensi lain seperti beta blocker, ACEI, ARB, CCB, atau
kombinasi dua obat antihipertensi dari golongan yang berbeda (Chobanian dkk.,
2004).
miokard, resiko penyakit koroner yang tinggi, diabetes, penyakit ginjal kronis, dan
dari berbagai uji klinis tentang penggunaan kelas obat tertentu pada hipertensi
Tabel IV. Pemilihan terapi hipertensi dengan penyakit penyulit (Chobanian dkk., 2004)
Rekomendasi obat
Penyakit penyulit
Diuretik BB ACEI ARB CCB ALDO ANT
Gagal jantung
Pasca infark miokard
Resiko penyakit koroner tinggi
Diabetes
Penyakit ginjal kronis
Pencegahan stroke
Ket. ACEI : angiotensin converting enzyme, ARB : angiotensin receptor blocker, CCB :
calcium channel blocker, BB : beta blocker, ALDO ANT : aldosterone antagonist
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER25 2013
DEWI LATIFATUL ILMA
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan, penyiapan, dan penjualannya.
Sekitar 50% lainnya juga tidak digunakan secara tepat oleh pasien (WHO, 2002).
Penggunaan obat secara irasional dapat menyebabkan timbulnya reaksi obat yang
sesuai dengan kebutuhan klinis, sesuai dosis, dan durasi pemberian, serta biaya
yang dikeluarkan untuk obat tersebut terbilang rendah bagi pasien dan
komunitasnya. Obat yang tepat harus efektif, berkualitas, dan aman (WHO, 1987).
Kriteria penggunaan obat yang rasional dikenal dengan asas empat tepat satu
waspada, yakni tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, dan waspada
diagnosis penyakit yang akurat dan bahwa terapi dengan obat merupakan terapi
yang aman dan efektif. Tepat obat berarti pemilihan obat didasarkan pada
pertimbangan nisbah keamanan dan kemanjuran yang terbaik di antara obat yang
ada. Tepat pasien berarti tidak ada kontraindikasi atau kondisi khusus yang
mempermudah timbulnya efek samping serta terapi obat dapat diterima oleh
pasien. Tepat dosis berarti takaran, jalur, saat, lama pemberian sesuai dengan
tindakan pengawasan terhadap efek samping utama obat secara tepat (Imono,
2003).
F. Keterangan Empiris
ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan pasien, dan ketepatan dosis pada