Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN SPIRITUAL

PADA PASIEN KANKER

LOGO STIKKU

PENULIS
…………………………..

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

KUNINGAN

2019
KATA PENGANTAR

………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………..

Kuningan, …………………

Penulis

(……………………….)
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................4

2.1 Definisi .................................................................................................................................4

2.2 Efek menguntungkan dari agama dan spiritual...............................................................5

2.3 Spiritual dan Agama............................................................................................................6

2.4 Efek Budaya pada spiritual seseorang..............................................................................7

2.5 Efek perjalanan pribadi tentang spiritual individu..........................................................7

2.6 Memberikan perawatan spiritual.....................................................................................10

2.7 Pembahasan.........................................................................................................................14

RINGKASAN.................................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………..21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Spiritualitas manusia adalah aspek penting dari keberadaan manusia dan

dapat membawa manusia untuk mengalami transendensi dan konsistensi dengan

keberadaan hal-hal yang lebih kuat dari dirinya, atau menemukan ikatan dengan

orang lain. Apapun caranya, spiritualitas mewujudkan keterhubungan vertikal

(dengan kekuatan yang lebih tinggi), dan horizontal (dengan manusia lain), di luar

“diri sendiri.” Pengalaman ini memberikan arahan dalam hidup dan makna untuk

kematian. Spiritualitas seseorang lebih tampak pada saat ia sedang membutuhkan

sesuatu dan saat krisis. Krisis ini dapat berupa penyakit, keluhan sakit, kehilangan,

dan kekurangan (Simha, 2013).

Sekarang ini, kanker dianggap sebagai salah satu masalah kesehatan yang

paling penting di seluruh dunia. Menurut perkiraan World Health Organization

pada tahun 2012, 14,1juta kasus kanker baru telah dilaporkan. Terdapat 1,7juta

kematian akibat kanker setiap tahun di Eropa, dan diperirakan bahwa prevalensi

kanker akan menjadi dua kali lipat hingga 2020. Diagnosis kanker dapat

menyebabkan munculnya perasaan takut, cemas, depresi, dan putus asa, dan dapat

menyebabkan keraguan dalam melakukan rencana-rencana masa depan. Kanker

dapat secara signifikan meningkatkan kebutuhan spiritual pasien. Karena harga

diri dan keyakinan spiritual terancam dan hubungan personal terganggu karena

iv
kurangnya kepercayaan diri, mekanisme yang sebelumnya adaptif menjadi tidak

cukup. Perawatan di rumah sakit dapat memicu perasaan kesepian dan pada

akhirnya krisis spiritual muncul pada mereka. Krisis ini dapat menyebabkan

ketidakseimbangan pada pikiran, tubuh, dan jiwa. Dalam menghadapi penyakit

kritis, seperti kanker, pasien memunculkan kebutuhan yang khusus, yang paling

penting adalah kebutuhan spiritual. Pasien-pasien ini bergantung pada aspek

spiritual, dan penyesuaian spiritual adalah metode terkuat yang mereka gunakan

untuk menghadapi penyakitnya. Kecenderungan kearah agama, keyakinan, dan

sumber-sumber spiritual dapat digunakan sebagai pendekatan psikososial yang

adaptif pasca diagnosis (Simha,2013).

Menurut filosofi perawatan Florence Nightingale, spiritualitas merupakan

bagian tak terpisahkan dari manusia dan merupakan sumber terdalam dan terkuat

untuk penyembuhan. Karenanya, salah satu tanggung jawab perawat adalah untuk

memperhatikan dimensi spiritual dari perawatan dan memberikan suasana yang

menyembuhkan untuk pasien. Sebagai bagian dari suatu perawatan holistik,

penyedia layanan perlu memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mendeteksi

kebutuhan spiritual pasien dan memberikan perawatan yang tidak sekedar

memenuhi kebutuhan fisik; karena ketika menghadapi diagnosis, perubahan status

penyakit, atau masalah-masalah pada akhir kehidupan, pasien kanker dapat lebih

berisiko mengalami stres spiritual. Karenanya, perhatian terhadap kebutuhan

spiritual merupakan bagian yang diperlukan dari perawatan holistik dalam

keperawatan. Meskipun begitu, sebagian besar pasien tidak menerima perawatan

spiritual yang diperlukan oleh pelaku rawat, dan respons terhadap kebutuhan

2
spiritual pasien kanker cenderung minimal atau terabaikan. Kegagalan untuk

memenuhi kebutuhan spiritual berhubungan dengan penurunan kualitas

perawatan, kepuasan pasien, dan kualitas hidup (Hatamipour, 2015).

Pemahaman perawat tentang kebutuhan spiritual pasien dapat

mempengaruhi hubungan dan perawatan spiritual dari pasien. Ketidakpastian

dalam memahami konsep spiritualitas dan tanggung jawab perawat yang ambigu

untuk memberikan perawatan spiritual dianggap sebagai suatu masalah etik.

Mengingat bahwa pengalaman pasien dan penyedia layanan dapat berperan

penting dalam menjelaskan perawatan spiritual dalam keperawatan, dan karena

mengenali kebutuhan spiritual dianggap sebagai suatu unsur penting dalam

memberikan perawatan yang berbudaya, penting untuk mendapatkan pemahaman

yang lebih baik tentang karakteristik kebutuhan spiritual. Dengan

mempertimbangkan religiusitas, dimensi agama dapat lebih penting dalam

penilaian kesehatan spiritual, yang membutuhkan penelitian lebih lanjut. Menurut

kode etik di sebagian besar universitas, perawat diharapkan memberikan

perawatan berdasarkan kebutuhan fisik, psikologis, sosial spiritual dan status

pasien, dan berperan aktif dalam memenuhi kebutuhan spiritual mereka.

Meskipun ada kebutuhan untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pasien yang

tidak terpenuhi, sejauh ini baru ada sedikit studi untuk menjelaskan kebutuhan

spiritual pasien kanker (Hatamipour, 2015) .

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Akar kata dari “spirit” adalah nafas (Latin: spiritus) dan mudah untuk

membayangkan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan esensi kehidupan, ketika

kita meninggal, nafas meninggalkan kita (Ganeva,1998).

Tradisi filosofi/teologi barat

Di dunia barat, spirit merupakan komponen ketiga dari manusia selain

badan dan jiwa. Spirit atau nafas merupakan yang memberikan kehidupan kepada

badan. Jiwa atau pikiran (psyche), istilah tersebut diartikan sebagai bagian penting

yang tidak berwujud dari manusia, menyatu secara sementara dengan tubuh

manusia. Tradisi barat lebih mengutamakan jiwa daripada spirit.

Tradisi filosofi/teologi timur

Guru spiritual timur berbagi minat yang sama, meskipun penekanan mereka

pada kesadaran menyebabkan kecenderungan mereka untuk berbicara tentang

"diri", atman. Teks Weda awal menghubungkan antara atman dengan nafas

kehidupan (prana). Dalam Upanishad, atman menjadi kesadaran, esensi manusia

yang melampaui tubuh dan pengalaman. Buddhist "non-self" menyoroti antar

kesejahteraan semua kondisi kesadaran.

Pemisahan spiritualitas dan kedokteran sekuler

Pemisahan spiritualitas dari praktek modern, kedokteran sekuler berawal

dari abad ke 18. Terdapat pencerahan tentang perdebatan mengenai asal

pengetahuan dan agama. Keberhasilan dan dominasi berikutnya metode ilmiah

telah meninggalkan sedikit tempat untuk jiwa (Ganeva, 1998).

Permusuhan Freud terhadap agama dan pengalaman mistik diambil

sebagai dukungan lebih lanjut untuk menolak bahasa jiwa sebagai ketinggalan
zaman. Namun, dalam penciptaan nama "psikoanalisis", Freud membuat referensi

sadar untuk mitoseros dan jiwa. Profesional kesehatan harus jelas tentang konsep

yang mereka gunakan dan definisi yang efektif diperlukan untuk konteks

kontemporer agar dapat memahami akar teologis-filosofis ide-ide tersebut.

2.2 Efek menguntungkan dari agama dan spiritualitas

Beberapa penelitian melaporkan adanya pengurangan angka kematian

pada orang yang beragama dan berspiritual. Salah satu penelitian di Amerika

Serikat yang menghadiri pelayanan agama mingguan didapatkan :

-53% lebih kecil kemungkinannya untuk mati dari penyakit koroner daripada yang

tidak

- 53% lebih kecil kemungkinannya untuk mati dari bunuh diri

-74% lebih kecil kemungkinannya untuk mati dari sirosis

Komunitas agama nampaknya memberikan perlindungan dari efek isolasi

sosial. Agama memberikan dan menguatkan keluarga dan jaringan sosial,

memberikan rasa memiliki, dan kepercayaan diri dan menawarkan dukungan

spiritual dimasa sulit. Sebuah penelitian yang dilakukan Bernadi et al.

memperlihatkan bahwa doa Rosario dan yoga mantra memiliki efek pada ritme

autonomik kardiovaskuler. Pembacaan Rosario dan juga yoga mantra,

memperlambat respirasi sampai 6/menit dan ditingkatkannya variabilitas denyut

jantung dan meningkatnya sensitivitas barorefleks yang merupakan kekuatan dan

prediktor bebas dari prognosis yang buruk dari penyakit jantung. Spiritualitas

mampu membuat tenang, meningkatkan konsentrasi, dan menciptakan rasa

kesejahteraan dengan cara mengurangi adrenalin dan kadar kortisol serta

meningkatkan kadar endorphin (Edwards, 2010).


2.3 Spiritualitas dan agama
Dalam istilah kontemporer, spiritualitas semakin banyak digunakan

berlawanan dengan agama, biasanya dalam bentuk kelembagaan dan sering

dengan kesimpulan bahwa spiritual lebih otentik daripada yang religius.

Dua hal tersebut sangat erat terkait, tapi sementara itu adalah mungkin

untuk otentik spiritual tanpa agama, sulit untuk menjadi otentik agama tanpa

spiritual. Untuk alasan ini, agama dapat dilihat sebagai salah satu cara di mana

orang mengekspresikan spiritualitas mereka, tetapi itu tidak berarti satu-satunya

cara (Ross L, 2010).

Pendapat tentang perlunya membedakan spiritualitas dan religiusitas

didukung secara empiris oleh penelitian Woods dan Ironson (1999). Mereka

menemukan perbedaan antara orang spiritual dan orang yang religius. Subyek

yang menyatakan dirinya sebagai seorang religius cenderung melihat sisi

spiritualitasnya yang berhubungan dengan institusi, tradisi, dan tindakan-tindakan.

Sedangkan subyek yang menyatakan diri mereka sebagai seorang spiritual

memandang spiritualitas mereka sebagai alat untuk menjadi saling berkaitan

dengan makna transenden. Spiritualitas kemudian digambarkan sebagai sebuah

bentuk hubungan manusia dengan dimensi yang lebih tinggi (The Higher Power)

dan Tuhan di dalam dirinya. Agama lebih merupakan sebuah sistem keyakinan

dengan sekumpulan dogma religius (Narayanasamy, 2007).

2.4 Efek budaya pada spiritualitas seseorang

Spiritualitas individu dibentuk oleh budaya di mana mereka tinggal. Oleh

karena itu,bahasa, makanan, pakaian, struktur sosial dan adat istiadat dibentuk

oleh keyakinan dan praktik keagamaan, seperti di Katolik Roma, Hindu, atau

negara-negara Muslim, spiritualitas akan diekspresikan melalui bentuk-bentuk


budaya, dan perawatan spiritual yang efektif akan bertujuan untuk mendukung

ekspresi bentuk dari budaya/agama tersebut.

Dalam budaya Barat yang sekuler, di mana keyakinan dan nilai-nilai yang

ditransmisikan dalam rumah dan / atau komunitas iman, spiritualitas menemukan

ekspresi dalam berbagai bentuk, belum tentu religius. Perawatan spiritual yang

efektif akan memahami bahwa kebutuhan rohani adalah hal yang sangat penting

dibandingkan dengan agama ( Narayanasamy, 2007).

2.5 Efek perjalanan pribadi tentang spiritualitas individual

Spiritualitas juga dibentuk oleh perjalanan hidup individu, pengalaman

yang mereka miliki dan pertemuan mereka dengan orang lain. Young (2007) juga

menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting dalam

perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang

memiliki spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan

berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan

maknanya ( Puchalski, 2009).

Seseorang yang sedang dihadapkan dengan kematian sendiri memiliki

dampak spiritual yang mendalam, yang pada dasarnya dapat mengganggu

keyakinan dan nilai-nilai yang telah lama diyakini. Ini mungkin tidak dengan

sendirinya menjadi hal yang buruk dan pasien mungkin datang untuk menghargai

jenis kebebasan perspektif yang membawa perubahan. Namun penderitaan

seseorang juga dapat dipicu oleh evaluasi kembali keyakinan seseorang , hal

tersebut dapat menjengkelkan bagi pengasuh, profesional, dan keluarga, dan orang

yang mengalami keraguan, konflik, dan kebingungan yang terjadi dengan

disintegrasi keyakinan yang ada, mungkin perlu dukungan sensitif untuk

menemukan tempat reintegrasi.

Penyakit yang mengancam jiwa dapat membangunkan kembali

kepercayaan aktif pada mereka yang tidak memiliki hubungan afiliasi tertentu
dengan kelompok agama. Tetapi kebangkitan ini dapat mempertahankan atau

mengancam tergantung pada bagaimana individu memandang itu (puchalski,

2009).

Penelitian tentang keyakinan dan kematian yang baik

Asumsi yang mendasari banyak literatur tentang spiritualitas, yaitu bahwa

penyakit terminal mengintensifkan pasien mencari makna, tidak memiliki

dukungan empiris. Namun, ada beberapa penelitian yang mendukung bukti

anekdot bahwa dalam penyakit terminal, yang penting adalah tidak begitu banyak

pasien percaya terhadap sesuatu, namun kekuatan keyakinan mereka yang paling

penting.

McClain-Jacobson et al. menemukan bahwa keyakinan akan adanya

kehidupan setelah kematian dikaitkan dengan rendahnya tingkat putus asa pada

akhir kehidupan (keinginan untuk mati, keputusasaan, keinginan bunuh diri), tapi

tidak dikaitkan dengan tingkat depresi atau kecemasan, dan menyimpulkan bahwa

spiritualitas memiliki efek yang jauh lebih kuat pada fungsi psikologis daripada

keyakinan akhirat.

Smith et al. melihat hubungan lengkung yang signifikan antara sudut

pandang pasien tentang kematian dan ketakutan mereka yang sebenarnya tentang

kematian, menunjukkan bahwa keyakinan yang sebenarnya merupakan faktor

penentu yang kurang kritis tentang takut kematian namun yang menentukan

adalah kepastian dengan keyakinan yang ada.

Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa penderita kanker serviks

yang memiliki tingkat spiritualitas rendah cenderung lebih depresif daripada

penderita kanker serviks dengan tingkat spiritualitas baik. Penelitian Hallstead dan

Hull terhadap 10 perempuan dengan non-Hodgkin’s lymphoma, kanker payudara

dan kanker ovarium memberikan gambaran bahwa penderita kanker dapat


melawan keadaan sakitnya dengan mencoba meningkatkan penerimaan dan

keyakinan bahwa hidup dengan kanker adalah bagian hidup yang harus

dijalaninya tetapi disisi lain mereka merasakan hidupnya menjadi tidak pasti.

Sebaliknya Nagai-Jaconsen & Burkhart mengatakan bahwa pemenuhan

kebutuhan spiritual merupakan bentuk pelaksanaan pelayanan keperawatan bagi

penderita penyakit terminal. Penelitian lain yang mendukung tema penelitian ini

adalah hasil penelitian Narayanasamy mengungkapkan bahwa spiritual dapat

menjadi mekanisme koping dan faktor yang berkontribusi penting terhadap proses

pemulihan klien. Bussing, Fischer, Ostermann dan Matthiessen dalam

penelitiannya menjelaskan bahwa pasien kanker yang memiliki sandaran sumber

religius yang kuat akan mengantarkan pasien tersebut pada prognosis yang lebih

baik dari yang diperkirakan. Penelitian yang dilakukan oleh Balboni,

Vanderwerker, Block, Paulk dan Lathan diketahui bahwa 96% dari orang dewasa

di Amerika Serikat yang mengalami kanker mengungkapkan kepercayaannya

terhadap Tuhan dan 70% diantaranya mengungkapkan bahwa agama adalah salah

satu yang paling dibutuhkan (Simha, 2013).

Temuan menunjukkan mayoritas tidak mencari kenyamanan atau konversi

agama sebagai respon terhadap tantangan penyakit terminal, bahkan ketika hal ini

dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan. Peserta walaupun tidak aktif

terinspirasi untuk menjadi religius sebagai akibat dari penyakit mereka, mereka

mengadakan sejumlah perspektif spiritual.

2.6 Memberikan perawatan spiritual

Sebelum memulai perawatan spiritual yang efektif , profesional harus

mengetahui dan memahami tingkat kesadaran pasien yang melibatkan

pemeriksaan keyakinan pribadi dan nilai-nilai, dikombinasikan dengan sikap

positif terhadap kesehatan rohani. Sebuah kesadaran tentang prasangka dan

penyimpangan diri akan memastikan bahwa klien ditangani secara sensitif, nilai-
nilai dan kepercayaan tidak dibebankan kepada orang lain, terutama tentang

spiritual. Kesadaran diri membantu mencegah pembentukan penilaian atau

mencoba untuk mengubah keyakinan sendiri atau budaya. Dalam sebuah makalah

yang banyak dikutip tentang rasa sakit rohani, Cicely Saunders menulis bahwa

meskipun pekerjaan yang sangat membuat tertekan, pasien sangat sakit dan

mungkin tidak ada semangat untuk hidup , kita harus tetap tekun dalam

merawatnya. Dia akan menunjukkan bahwa perawatan spiritual pada suatu waktu

terkait secara eksplisit untuk apa yang kita katakan dan mereka akan mengetahui

bahwa kita peduli dengan mereka. Ini didasarkan tidak hanya dalam apa yang

dikatakan, melainkan dalam apa yang harus dilakukan. Istilah ' paliatif ' mencakup

beberapa hal yaitu apa yang dapat anda lakukan ketika tidak ada yang lain bisa

dilakukan.

Membaca Kitab Suci merupakan salah satu bagian dari intervensi spiritual

yang dapat digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit yang kronis. Belajar

Alkitab dalam berbagai fasilitas perawatan sangat penting karena dapat

menyediakan interaksi dan pembelajaran lebih lanjut mengenai iman seseorang,

dapat menyediakan interaksi sosial dan dukungan, dan dapat mendatangkan

kenyamanan. Bacaan Kitab Suci dapat menjadi sebuah sumber kenyamanan dan

kekuatan untuk orang-orang percaya (Ross L, 2010).

Perawatan rohani adalah relevan dalam semua aspek perawatan pasien dan

mungkin memberi dukungan yang baik selama pengobatan seperti radioterapi,

penyediaan makanan dan privasi serta kesempatan untuk berdoa atau tertawa dan

lain lain sesuai dengan keinginan pasien.

Kebutuhan spiritual akan ditangani dengan menawarkan perawatan praktis

dengan cara merespon pasien sebagai individu yang terpadu yang mengalami

hidup dan mati dalam setiap aspek keberadaan mereka.


Keterampilan komunikasi yang baik. Empati dan aktif mendengarkan, di

mana pasien diterima tanpa syarat. Mampu melepaskan diri dari keegoisan anda

sendiri dan berkonsentrasi pada kepercayaan anda (Ganeva, 1998).

Beberapa mikro dan makro skill/ teknik konseling yang harus dimiliki

konselor dalam melaksanakan kegiatan konseling kepada klien antara lain:

a. Sikap menerima tanpa syarat dengan penuh kasih dan penghargaan terhadap

klien, dalam setiap keluhan, cerita dan keadaan.

b. Bersikap lemah lembut, mendukung keadaan klien dan selalu dalam posisi

mengalah.

c. Bersikap rendah hati dan bersedia mendengarkan keluhan dengan memberi

perhatian yang lebih disaat konseling berlangsung.

d. Bersikap sabar dan tabah dalam membimbing keadaan klien, bersikap sebagai

orang tua dan dapat menjadi tranference yang baik dalam pemindahan konflik

yang dihadapinya.

e. Selalu tersenyum, bersahabat dan hangat mulai dari fase opening konseling

sampai fase closing.

f. Bersikap rela/ tulus dalam membimbing dan memberikan konseling pada klien

dan siap setiap saat jika dibutuhkan sebagai support dalam situasi kritis. g.

Bersikap terbuka dalam hubungan terapeutik konseling yang dibangun.

h. Perhatian-perhatian dan mengemukakannya di setiap pertemuan konseling

dalam bentuk ucapan dukungan dan penghargaan di setiap keberhasilan atau

perubahan lebih baik yang terjadi.

Kemudian beberapa hal yang perlu dihindari oleh seorang konselor dalam

proses hubungan/ proses konseling adalah:

a. Menerima info sepihak

b. Kesimpulan tergesa-gesa

c. Terburu-buru
d. Campur tangan terlalu jauh

e. Tidak dapat menyimpan rahasia

f. Layanan tidak seimbang

g. Mudah menghakimi

h. Memaksa konseling

i. Meminta konseling melakukan banyak hal

j. Menangani seluruh masalah klien

Membantu pasien untuk berhadapan dengan masalah di masa lalunya, masalah di

masa sekarang, dan masalah yang akan dihadapi di masa depan.

Kemampuan untuk mendorong harapan dan memberikan strategi untuk

mendukung atau mengembalikan harapan dalam beberapa cara adalah yang paling

penting. Harapan merupakan perasaan optimis, hasrat dan keinginan. R De Palo

menyatakan harapan adalah dasar dari aspek spiritual. Harapan yang rendah dan

keputusasaan berpotensi menyebabkan masalah spiritual.

2.7 Pembahasan

Satu kebutuhan manusia yang penting adalah kontak dengan orang lain.

Hubungan dianggap sebagai dimensi sosial dari kebutuhan spiritual, yang

diekspresikan dalam bentuk cinta, perasaan memiliki, dan kontak dengan orang

lain. Pada studi yang dilakukan Bussing dan Koenig, satu masalah yang dialami

oleh pasien kanker adalah komunikasi dengan keluarga dan teman (Simha,2013).

Pasien kanker menghabiskan sejumlah besar energi untuk berhadapan

dengan diagnosis, terapi, dan perasaan tidak stabil karena adanya kemungkinan

relaps, kematian, komplikasi, dan masalah-masalah finansial, dan sering mencapai

titik di mana mereka merasa bahwa mereka berada posisi yang tidak pasti dan

sangat putus asa. Kanker menyebabkan hilangnya harapan dan mimpi-mimpi dan
mempengaruhi tidak hanya tubuh tetapi juga jiwa dan menyebabkan munculnya

gangguan-gangguan seperti kesepian, depresi, dan kegagalan adaptasi. Anggota

keluarga memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan spiritual dan

memberikan harapan dan kedamaian untuk pasien dengan kanker. Anggota

keluarga cenderung mengkhawatirkan ketenangan pasien dan memberikan

fasilitas untuknya dan melaporkan adanya perubahan mendadak dalam bentuk

apapun. Pada studi ini, peserta menilai doa dari orang lain sebagai sesuatu yang

sangat penting. Pasien juga menginginkan doa dari orang lain untuk diri mereka

dan menganggap hasilnya positif. Pada studi ini, peserta berharap orang lain

memperlakukannya secara normal dan tidak terus-menerus bicara tentang

sakitnya. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa salah satu dimensi koping

dengan penyakit adalah sikap orang dan perasaan kasihan terhadap pasien, yang

menyebabkan pasien malah jadi menyembunyikan penyakitnya terhadap orang

lain. Beberapa pasien tidak menginginkan perhatian dan keramahan berlebihan

dan mengharapkan perilaku normal dari orang lain (Simha, 2013)

Pada suatu studi yang dilakukan oleh Rahnama et al., peserta

menyebutkan sudah adanya hubungan yang tepat dengan tim medis, termasuk

perawat. Meskipun tugas perawat adalah untuk memperlakukan pasien dengan

hormat, karena studi ini dilakukan di Iran dan india, latar belakang agama mereka

mungkin membantu perawat dalam memberikan pasien perawatan dengan penuh

hormat. Studi-studi telah menunjukkan bahwa di Iran dan india, perawat memiliki

sikap spiritual terhadap profesi mereka, percaya pada adanya imbalan spiritual

untuk pekerjaannya, dan karena sikap religiusnya, melakukan pekerjaannya untuk

membuat Tuhan senang.

Pasien cenderung punya keinginan untuk menghabiskan sebagian waktu

sendiri untuk berdoa pada Tuhan. Mereka percaya bahwa mereka bisa
mendapatkan kedamaian dengan cara ini. Selain itu, Galek et al. melaporkan

adanya keperluan untuk kedamaian sebagai salah satu kebutuhan emosional dari

pasien-pasien dengan kanker.Rahnama et al. percaya bahwa salah satu kebutuhan

pasien adalah untuk mendapatkan atmosfer yang dipenuhi sukacita dan

kedamaian. Mereka menyimpulkan bahwa pasien membutuhkan waktu untuk

sendiri untuk mengembangkan hubungan dengan Tuhan dan untuk berpikir

tentang kepercayaan spiritual mereka. Grant et al. memeriksa pandangan perawat

tentang spiritualitas dan jenis dan waktu dari perlakuan spiritual di mana hampir

semua perawat percaya bahwa spiritualitas memberikan kedamaian dalam diri

pasien.

Samson dan Zerter menangkap poin bahwa pada pasien kanker, kesiapan

untuk membantu orang lain meningkatkan makna dan harapan dalam kehidupan

mereka dan memberi harapan untuk orang lain, Pada studi yang dilakukan oleh

Stephenson et al. (2003) yang berjudul “The experience of spirituality in

hospitalized patients”, mereka menyimpulkan bahwa lebih dari 93% pasien

dengan kanker percaya bahwa spiritualitas membantu mereka menguatkan

harapannya. Peneliti menekankan pentingnya hubungan dengan Tuhan sebagai

aspek spiritualitas yang dapat memberikan harapan, optimisme, dan kekuatan

dalam diri untuk beradaptasi dengan stress ( Hatamipour, 2015).

Kesehatan spiritual akan memberikan hidup yang bertujuan dan penuh

makna. Kehidupan pasien-pasien ini akan berubah dari kehidupan material

menjadi kehidupan spiritual. Alasan hidup seseorang merupakan bagian dari

tujuan eksistensialnya yang didapat dari hidupnya, dan bagian ini sendiri

menyusun dimensi spiritual dalam hidup. Pada studi yang juga dilakukan oleh

Rahnama, peserta mengalami perubahan pada nilai-nilai dalam bentuk adanya

lebih banyak apresiasi untuk berkah yang diberikan oleh Tuhan, berkurangnya
perhatian terhadap urusan duniawi, dan meningkatnya perhatian terhadap dunia

lain setelah kematian, mendapatkan pandangan yang positif tentang hidup dan

masa depan. Pada studi yang dilakukan Samson dan Zerter, pengalaman pasien

kanker juga menunjukkan bahwa transformasinya mengarahkan pada perubahan-

perubahan pada nilai-nilai dan prioritas dan mereka menemukan perspektif baru

dalam hidup. Semua perubahan ini mengarahkan individu ke posisi di mana

hidupnya menjadi bermakna dan berguna untuk orang lain. Pada studi ini,

sejumlah pasien merasa dapat menghadapi penyakitnya, menerimanya, dan puas

dengan nasibnya karena sebagian besar pasien kanker memiliki kepercayaan

religius bahwa mereka menjadi sakit karena kehendak Tuhan dan bahwa sakitnya

adalah takdir yang telah digariskan. Beberapa percaya bahwa penyakitnya adalah

ujian dari Tuhan untuk menguji keimanan mereka. Meskipun begitu, jika

keterlibatan Tuhan dianggap sebagai sesuatu yang negatif, misalnya, dianggap

bahwa Tuhan memberikan penyakit sebagai hukuman untuk dosa-dosa, pasien

dapat mengalami stres yang lebih tinggi. Taleghani et al. menemukan bahwa

sebagian besar pasien yang mereka kaji percaya bahwa penyakitnya merupakan

ujian dari Tuhan, dan bahwa mereka harus berupaya untuk melewati ujian ini,

yang sejalan dengan hasil dari studi ini (Hatamipour, 2015)

Kepercayaan pada Tuhan dan permohonan dukungan-Nya pada sebagian

besar pasien adalah lebih kuat dibanding sebelumnya. Rahnama et al. menyatakan

bahwa sumber daya spiritual dan religius dapat mengarahkan pada sensasi umum

berupa harapan dan optimism terhadap hidup. McClain et al. juga menyebutkan

bahwa kesejahteraan spiritual dapat mencegah kemunculan kekecewaan pada

akhir kehidupan pada pasien-pasien yang kematiannya sudah dekat. Rahnama et

al. menyimpulkan bahwa peserta memiliki sensasi adanya kekuatan, harapan,

kedamaian, dan kepercayaan diri melalui hubungan dengan Tuhan dan

kepercayaan keagamaan.
Kebutuhan spiritual lain yang dibahas secara garis besar dalam tema

transendensi adalah hubungan dengan Tuhan. Peserta menyatakan bahwa sejak

awitan penyakit, hubungan mereka lebih dekat dengan Tuhan dan pemuka agama.

Agama memiliki peran yang kuat. Peneliti menekankan pentingnya hubungan

dengan Tuhan sebagai aspek spiritualitas yang dapat memberikan sejumlah

harapan, optimisme, dan kekuatan dalam diri untuk beradaptasi dengan stres. Pada

beberapa studi , berdoa, termasuk mengucapkan kalimat doa dan melakukan ritual

agama, menyusun kebutuhan dasar dari pasien-pasien dengan kanker. Spiritualitas

dengan ritual agama, misalnya sembahyang, berperan penting dalam membantu

menerima penyakit. Sembahyang berperan penting dalam menghadapi kanker dan

membantu pasien memperbaiki kesehatan spiritualnya ketika mereka sakit.

Pelaksanaan ritual agama oleh peserta adalah sangat kuat. Mereka meminta

pemuka agama untuk berdoa untuk kedamaian atau kesembuhan penyakit mereka.

Karena kondisi budaya di beberapa daerah cenderung religius, mereka cenderung

lebih bergantung pada agama untuk mengadapi situasi-situasi kritis. Meskipun

begitu, pada studi ini, beberapa pasien tidak datang ke tempat-tempat ibadah

karena perubahan fisiknya dan cara orang yang tidak biasa saat memandang

mereka. Peserta pada studi yang dilakukan oleh Taleghani et al. juga percaya

bahwa kesadaran orang lain tentang penyakit mereka adalah suatu masalah dan

mempengaruhi kesejahteraan mereka (Simha, 2013).

Studi ini menunjukkan bahwa pasien mencari bantuan dari spiritualitas

untuk menerima atau berhadapan dengan penyakitnya. Karena pemahaman

terhadap persepsi dan kebutuhan spiritual pasien dengan kanker oleh staf medis

dapat memiliki nilai yang penting, temuan-temuan dari studi ini dapat membantuk

memprioritaskan perawatan pasien kanker dan cara perawatan dan interaksi

dengan mereka. Mengingat pentingnya pemahaman kebutuhan spiritual pasien

oleh staf medis, perlunya rencana yang sesuai untuk intervensi, dan jumlah pasien
dengan kanker yang semakin bertambah, hasil studi ini dapat berguna, terutama

untuk perawat, untuk dapat berkomunikasi secara sesuai dengan pasien. Selain itu,

hasil studi ini dapat digunakan oleh peneliti, manajer, dan perencana untuk

memahami kebutuhan pasien kanker dengan lebih baik dan melakukan

perencanaan berbasis bukti yang sesuai. Studi ini dapat direplikasi di lokasi lain

dan pada kondisi budaya yang berbeda. Sementara itu, studi ini juga dapat

dilakukan dengan lebih banyak pasien kanker dengan jenis kanker yang lebih

banyak pula, berdasarkan jender, usia, jenis kanker, tahapan kanker, dsb., dan

kebutuhan spiritual menurut topik di atas dapat diselidiki dan dilaporkan (Simha,

2013).
BAB III
RINGKASAN

Studi ini mengkonfirmasi bahwa terdapat fokus-fokus spiritual yang

dilaporkan oleh pasien yang menerima perawatan paliatif. Penjelasan kualitatif

memberikan ide yang baik tentang pengalaman ini dan bagaimana pasien

menghadapinya.

Perlu dikembangkan suatu pengukuran atau metode untuk mengevaluasi

fokus spiritual secara sistematik dan merencanakan metode-metode konseling

untuk membantu pasien menghadapi masalah-masalah yang dimilikinya secara

efektif.

Observasi juga menyarankan bahwa model ala barat untuk spiritualitas

tampaknya tidak sepenuhnya berlaku pada latar India maupun Iran. Studi ini

mengidentifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan

perawatan paliatif di India dan Iran, karena tidak semua aspek model barat dapat

ditransfer. Observasi ini juga menunjukkan perlunya pelatihan yang cukup

training untuk perawatan spiritual pada latar perawatan paliatif (Simha, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Edwards A, Pang N, Shiu V, Chan C. The understanding of spirituality and the potential
role of spiritual care in end-of-life and palliative care: A meta-study of
qualitative research. Palliat Med. 2010;24:753–70. [PubMed]

Geneva: World Health Organisation; 1998. World Health Organisation. WHOQOL and
spirituality, religiousness and personal beliefs: Report on WHO consultation.

Hatamipour K.,Rassouli M.,Yaghmale F. Spiritual Needs Of Cancer Patients : A


Qualitative Study. Indian J Paliative Care. 2015 ; 11: 5-12

Narayanasamy A. Palliative care and spirituality. Indian J Palliat Care. 2007;13:32–41.

Puchalski C, Ferrell B, Virani R, Otis-Green S, Baird P, Bull J, et al. Improving the


quality of spiritual care as a dimension of palliative care: The report of the
Consensus Conference. J Palliat Med. 2009;12:885–904. [PubMed]

Ross L. Why the increasing interest in spirituality within healthcare? In: McSherry W,
Ross L, editors. Spiritual assessment in healthcare practice. Cumbria: M and K
Publishing; 2010. p. 10.

Simha s.,Noble s.,chaturvedi S.K.,Spiritual Concerns In Hindu Cancer Patients


Undergoing Palliative Care : A Qualitative Study. Indian J Paliative Care. 2013;
14: 12-19.

21
22

Anda mungkin juga menyukai