Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Profesi Ners Stase Paliatif

Disusun oleh:

Astriani Ayu Lestari 220112180563

Irfani Nurfuadah 220112180545

Silvia Budiani 220112180513

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXVII

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2019
I. DEFINISI
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit kolagen autoimun inflamasi yang
sifatnya kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan imun yang
mengakibatkan produksi antibodi berlebih (Brunner & Suddarth, 2013).
Menurut Lahita (2011), SLE merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi

II. ETIOLOGI
Penyebab penyakit autoimun (SLE) ini belum diketahui dengan pasti.
Morton (2012) menyebutkan bahwa penyebab penyakit ini diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan muktifaktorial antara genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor Genetik
Kejadian SLE lebih tinggi terjadi pada kembar monozigot (25%)
dibandingkan dengan kembar monozigot (3%).
2. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko SLE dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE. Sehingga penyakit ini lebih banyak
menyerang perempuan.
3. Faktor Autoantibodi
Faktor imunologi pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-
unsur sistem imun, yaitu antigen, kelainan intrisik sel B dan T, serta
kelainan antibodi.
4. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan seperti sinar Ultra Violet mampu mengubah struktur
DNA di daerah yang terpapar, sehingga menyebabkan perubahan sistem
imun di daerah tersebut. Hal ini kemudian menginduksi apoptosis dari
sel keratonosit
5. Faktor Obat-Obatan
Obat-obatan yang bekerja sebagai asetilator penghambat diketahui
mempunyai gen HLA DR-4, sehingga asetilasi obat menjadi lambat
yang menyebabkan obat menjadi terakumulasi di tubuh yang pada
akhirnya obat berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.
6. Faktor Nutrisi
Penelitian menyebutkan bahwa asam amino L-cannavine dapat
mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
memunculkan SLE.
7. Faktor Agen Infeksi
SLE dapat disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri yang meningkatkan
antibodi antiviral sehingga mampu mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik, diantaranya yakni Retrovirus dan DNA bakter/endotoksin.

III. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis penyakit SLE sangat beragam dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Adapun gejala klasik dari SLE yakni
demam, keletihan, penurunan berat badan,dan kemungkinan arthritis, pleuritis
(Brunner & Suddarth, 2013)..
Menurut American College of Rheumatology (ACR) tahun 1997,
terdapat 11 kriteria SLE, dan jika terdapat 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat
ditegakkan, diantaranya:
1) Ruam malar
2) Ruam discoid
3) Fotosensitifitas
4) Ulsersi di mulut atau nasofaring
5) Arthritis (sinovitis), merupakan ciri yang paling sering muncul
6) Serositis, yaitu pleuritis dan perikarditis
7) Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gram/hari
8) Kelainan neurologis, yaitu kejang-kejang dan gejala psikotik
9) Kelainan hematologis, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau
limfopenia atau trombositopenia
10) Kelainan imunologis, yaitu sel LES positif atau anti DNA positif, atau
serologis untuk sifilis yang positif palsu
11) Antibodi antinuclear positif

Kecurigaan LES juga terjadi, bila terdapat 2 atau lebih keterlibatan


organ, seperti:
1) Gejala kostusional : kelelahan, demam tanpa bukti infeksi, dan
penurunan berat badan
2) Muskuloskeletal : nyeri otot, nyeri sendi, miositis
3) Kulit : ruam kupu-kupu (buterfly atau malar rush),
fotosensitifitas, alopesia, purpura, urtikaria, vaskulitis, SLE muembran
mukosa
4) Paru-paru : pleorisy, hipertensi pulmonal, SLE parenkim paru
5) Jantung : perikarditis, miokarditis, endokarditis
6) Ginjal : hematuria, proteinuria, nefrotik sindrom
7) Gastrointertina l: mual, muntah, nyeri abdomen
8) Retikulo endo-organomegali : limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali
9) Hematologi : anemia, lekopenia, trombositopenia
10) Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otak organik, neropati
kranial dan perifer

IV. PATOFISIOLOGI
Patomekanisme lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus
eritematosus (SLE) didasari oleh autoantibodi dan kompleks imun yang
berikatan ke jaringan dan menyebabkan inflamasi multisistem. Penyebab
spesifik SLE hingga saat ini belum diketahui, namun berbagai faktor seperti
faktor genetik, sistem imun, hormonal serta lingkungan berhubungan dengan
perkembangan penyakit ini.
Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun yang
tidak seharusnya kepada partikel sel tubuh. Salah satunya adalah pembentukan
autoantibodi terhadap asam nukleat yang disebut antinuclear antibodies
(ANA). Pada umumnya ANA dapat ditemukan pada populasi umum, namun
tidak seluruh orang yang memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan progresi kondisi autoimun ini
menjadi penyakit. Selain ANA, terdapat dua autoantibodi yang spesifik
ditemukan pada pasien SLE dibandingkan dengan penyakit autoimun lainnya
yaitu antibomekanisme SLE disebabkan oleh respon imun yang abnormal
berupa:
 Aktivasi sistem imun bawaan (sel dendritik, monosit/makrofag) oleh
DNA dari kompleks imun, DNA atau RNA virus dan RNA dari protein
self-antigen.
 Ambang batas aktivasi sel imun adaptif (limfosit T dan limfosit B) yang
lebih rendah dan jaras aktivasi yang abnormal
 Regulasi sel T CD4+ dan CD8+, sel B dan sel supresor yang tidak
efektif,penurunan pembersihan kompleks imun dan sel yang
mengalami apoptosis.
Autoantibodi mengenali self-antigen yang ada di permukaan sel yang
apoptosis dan membentuk kompleks imun. Oleh karena proses pembersihan
debris sel terganggu maka autoantigen, autoantibodi dan kompleks imun
tersedia dalam waktu yang lama, memicu terjadinya proses inflamasi dan
menyebabkan timbulnya gejala.
Aktivasi sel imun juga disertai dengan peningkatan sekresi interferon
tipe 1 dan 2 (IFN), tumor necrosis factors α (TNF- α), interleukin (IL) 17,
stimulator maturasi sel B, dan IL-10 yang seluruhnya mendukung reaksi
inflamasi. Pada kondisi SLE juga terjadi penurunan produksi berbagai sitokin
seperti sel natural killer yang gagal memproduksi IL-2 dan transforming
growth factor beta (TGF-β) yang berfungsi untuk meregulasi sel T CD4+ dan
CD8+, akibatnya produksi autoantibodi dan kompleks imun tidak terkendali
dan tetap berlanjut.
Autoantibodi dan kompleks ini kemudian berikatan dengan jaringan
target, menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan pelepasan
sitokin, kemokin dan peptida vasoaktif, oksidan dan enzim proteolitik. Kondisi
tersebut menyebabkan aktivasi sel endothelial, makrofag jaringan, sel
mesangial, podosit yang ada di jaringan serta mengakibatkan sel B, sel T, sel
dendritik dan makrofag mendatangi jaringan target tersebut dan menyebabkan
terjadinya proses inflamasi. Inflamasi kronis ini menyebabkan kerusakan
jaringan yang irevesibel di glomerulus ginjal, arteri, paru dan jaringan lainnya
(Kasper et al, 2012).

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah
Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin, GFR
3. Faktor Pembekuan Darah
PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid 5)
4. Serologi VDRL(sifilis), untuk mengetahui hasil posiitif palsu
5. Foto Polos Thorax
Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring. Pemeriksaan dilakukan setiap 3-6 bulan bila pasien stabil.
6. Pemeriksaan Imunlogi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%. Pemeriksaan anti-
dsDNA, komplemen (C3,C4).
7. Tes Vital Lupus
Adanya pita Fg 6 yang khas dan atau deposit Ig M pada persambungan
dermo-epidermis pada kulit yang terlibat dan tidak
VI. PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi ini
adalah hanya sebatas mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurnagi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak
pasien dengna gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya
obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih
serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan korikosteroid dosis
tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem
imunitas. Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya
aktif.

1. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis yang dapat dilakukan yanitu dengan
pemberian NSAID. NSAID membantu mengurangi peradangan dan
nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya contoh NSAID adalah
aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Penggunaan NSAID
memiliki efek samping yang perlu diperhatikan seperti tidak enak perut,
nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping.
Kortikostiroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi
peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif.
Namunn, kortikostiroid memiliki efek samping yang seriusa bila
diberikan dalam dosis yang tinggi selama periode yang lama, dan harus
dimonitor aktifitas dari penyakitnya . efek yang ditimbulkannya yaitu
penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak,
katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar.
Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan
efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi.
Efek samping yang ditimbulkannya seperti diare, tidak enak perut, dan
perubahan pigmen mata, selain itu efek dari obat ini yaitu mengurangi
bekuan darah yang abnormal pada pasien SLE.
Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan
manifestasi SLE berat dan kerusakan organ dalam dan yanag tidak
responsif dengan kortikosteroid. Contoh obat imunosupresan yaitu
methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan
cyclosporine. Immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun
dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek
samping yang ditimbulkannya pada setiap obat berbeda seperti
Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa
mengganggu fungsi ginjal.
Mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang efektif
terhadap SLE, khususnya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini
menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan
untuk mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang
ditimbulkannya sebih sedikit dan lebih bermanfaat dibandingkan
pengobatan imunosupresan yang tradisional.
2. Terapi non farmakologis
Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian
yang melindungi dari sinar matahari dapat mencegah masalah yang
disebabkan fotosensitif. Penurunan berat badan disarankan pada pasien
yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi beberapa
efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian.
Selain itu hindari merokok, hindari stres dan trauma fisik, diet khusus
sesuai organ yang terkena, menggunakan tabir surya SPF 30 PA++ 30
menitsebelum keluar rumah, hindari pemakaian kontrasepsi atau obat
lain yang mengandung hormon estrogen, kontrol secara teratur ke
dokter, dan minum obat teratur (KEMENKES, 2017).
Upaya pengendalian SLE meliputi upaya preventif, kuratif, dan
rehabilitatif diantaranya komunikasi informasi edukasi, perlindungan
khusus, penemuan (deteksi dini), diagnosis, tatalaksana kasus dan
rujukan, upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangan penyakit SLE, dan adanya pemantauan dan
penilaian (KEMENKES, 2017).
Upaya non farmakologis lain yang dapat dilakukan yaitu
bagaimana keluarga terdekat pasien dapat memberikan dukungan yang
kuat atau memotivasi pasien dalam menghadapi penyakit lupus tersebut.
Ketika seseorang yang menderita lupus mendapatkan dukungan postif
akan berpengaruh terhadap penerimaan diri dan daya juang orang
tersebut untuk bertahan. Penelian mengenai penerimaan diri dan daya
juang pada pasien lupus didapatkan bahwa adanya keterkaitan antara
berfikir positif terhadap masalah yang dihadapi agar dapat menerima
dan memiliki daya juang yang tinggi begitu pula sebaliknya jika
seseorang memiliki pandangan negatif maka akan berpengaruh terhadap
penerimaan dirinya dan daya juang untuk bertahan hidup (Agustin,
2008).

VII. PERAWATAN PALIATIF


Perawatan paliatif merupakan perawatan yang dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya dengan kondisi penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dengan berbagai pengobatan yang dijalani. Peningkatan kualitas
hidup dilakukan dengan cara pendekatan dari sisi psikologis, psikososial,
mental serta spiritual pasien dan juga memberikan rasa nyaman pada klien
dengan berkurangnya symtomps yang dialami oleh penderita.
Perawatan paliatif ini berfokus pada perawatan gejala klien yang
penyakitnya tidak lagi berespons terhadap penanganan yang berfokus pada
pengobatan. Peratawan paliatif dapat mencakup perawatan menjelang
kematian, yaitu perawatan yang diberikan dalam beberapa minggu terakhir
sebelum kematian. Sehingga dalam hal ini perlu diperhatiakan dalam
memenuhi kebutujan fisiologi klien yang menjelang ajal, menyediakan
dukungan spiritual, dan mendapatkan dukungan dari keluarga (Kozier, Erb,
Berman, & Snyder, 2010).
Penyakit SLE memiliki berbagai manifestasi yang ditimbulkannya
tergantung organ mana yang terkena. Manifestasi penyakit ini dapat bervariasi
dan sangat luas dan ditandai dengan adanya inflamasi luas pada pembuluh
darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Lesi – lesi
mulut terjadi pada SLE sebanyak 7-26%. Lesi sering ditemukan pada palatum
dan mukosa bukal, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser tanpa rasa
sakit. Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga terbakar
terutama ketika makan-makanan panas dan pedas. Ulserasi ini biasanya tidak
menimbulkan nyeri. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih lama, lebih
besar dan terlihat pada palatum. Sehingga penanganan manifestasi oral pada
penyakit ini harus dilakukan secara hati-hati agar penderita dapat memperoleh
perawatan yang tepat dalam mendukung keberhasilan perawatanya.
Penatalaksanaan kelainan periodontal dilakukan untuk mengontrol inflamasi
yang ada agar kondisi kesehatan rongga mulut dapat ditingkatkan (Prihantini
& Masulili, 2012).
Dampak SLE tidak hanya terjadi bagi penderita saja tetapi berdampak
pada keluarga, kemampuan sumber daya keluarga dan dukungan sangat
diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah pertama dalam membantu
keluarga merasa bahwa mereka memiliki kontrol. Hal ini penting untuk diingat
untuk tidak terlalu membebani keluarga pada beberapa kunjungan pertama
setelah diagnosis. Perawat dapat memainkan peran kunci dalam membantu
mereka dengan belajar tentang penyakit seperti dengan memberikan informasi
tertulis dan review dari penyakit dan efek samping pengobatan yang sering
diperlukan (Malleson, Pete; Tekano, Jenny, 2007).
Perawatan paliatif yang dapat dilakukan terhadap kondisi seseorang
yang mengalami penyakit lupus yaitu bagaimana seseorang dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya sendiri selain dari aspek psikologisnya yaitu bagaiamana
memenuhi kebutuhan personal hygien, dengan melaukan perwatan mulut,
penggunaan krim dan lotion pelembab seperlunya. Memenuhi kebutuhan
dalam hal mobilitas fisik karena pasien SLE mengalami kelelahan dan
kelemahan yang berarti sehingga diperlukan adanya dukungan dari keluarga
untuk membantu klien bangun dari tempat tidur secara berkala. Bagaimana
pasien dengan lupus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan dan
mencegah dari munculnya konstipasi. Jika ada perubahan sensori atau persepsi
pada klien maka diperlukan (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang mengalami SLE
dapat merujuk pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, serta
riwayat kesehatan pasien di masa lalu. Pada pemeriksaan fisik pasien SLE
perawat mungkin saja tidak menemukan semua tanda dan gejala pada
pasien SLE karena bisa jadi tidak semua pasien memiliki tanda gejala yang
sama. Adapun berikut ini adalah kemungkinan temuan yang didapatkan
saat perawat melakukan pemeriksaan fisik pada pasien SLE.
1) Sistem Integumen
Pada pemeriksaan fisik sistem integumen biasanya ditemukan
adanya butterfly rash yang berbentuk seperti bentuk kupu-kupu pada
bagian pipi kanan dan kiri, serta jalur tersebut melintas bagian hidung.
Pada bagian dagu pasien bisa juga ditemukan discoid rash. Discoid
rash biasanya disertai dengan terbentuknya papul, plak dan skar yang
berwarna merah. Terkait dengan tanda dan gejala pada sistem
integumen, perawat juga perlu menanyakan apakah pasien memiliki
riwayat sensitivitas terhadap paparan sinar matahari. Selanjutnya pada
bagian rambut mungkin ditemukan keluhan bahwa rambut pasien
menjadi mudah rontok, menipis, bahkan mengalami kebotakan
(alopecia). Tanda lain yang mungkin ditemukan pada bagian kulit
terutama jari-jari tangan dan kaki adalah adanya gejala dari Raynaud’s
phenomenon dimana jari tangan dan kaki berubah warna karena
pajanan suhu dingin dengan berespon menjadi warna putih, kemudian
berubah menjadi biru dan kemudian berubah menjadi warna merah
(Farrell, Smeltzer, & Bare, 2017).
2) Sistem Pernapasan
Pada pemeriksaan sistem pernapasan dari hasil inspeksi
mungkin terlihat pasien mengalami kesulitan untuk bernapas, dengan
pola napas cepat dan dangkal, atau juga lambat dan dalam. Hasil
temuan lain melalui auskultasi mungkin saja ditemukan suara friction
rub akibat kondisi efusi pleura karena komplikasi pleuritis (Farrell et
al., 2017).
3) Sistem Kardiovaskular
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskular, perlu dilakukan
auskultasi pada bagian jantung, pada pasien SLE yang sudah
mengalami pericarditis atau miokarditis yang sudah mengalami efusi
pleura bisa ditemukan adanya pericardial friction rub. Kondisi lain
yang juga mungki ditemukan pada gangguan sistem musculoskeletal
adalah terjadinya deep vein thrombosis (DVT) (Farrell et al., 2017).
4) Sistem Muskuloskeletal
Terdapat pembengkakan pada sendi, yang disertai dengan
keluhan nyeri, kekakuan untuk menggrakan sendi, serta area sendi
menjadi lebih hangat dan lembut. Keluhan yang muncul pada sendi
mungkin akan mirip dengan gejala pada Rheumatoid Arthritis (Farrell
et al., 2017).
5) Sistem Pencernaan
Gangguan pada sistem pencernaan yang seringkali ditemukan
diantaranya adalah lesi pada bagian rongga mulut atau stomatitis.
Keluhan lain yang muncul bisa disertai dengan adanya mual dan
muntal dikarenakan adanya ulserasi pada saluran cerna (Farrell et al.,
2017).
6) Sistem Saraf
Pada pemeriksaan sistem persarafan, pasien SLE juga bisa
mengalami gangguan kognitif dan saraf. Keluarga pasien padat
mengatakan bahwa pasien megalami perubahan fungsi mental seperti
depresi dan mengalami perubahan perilaku. Kondisi lain seperi gejala
psikosis dan neurosis juga mungkin ditemukan pada pasien (Farrell et
al., 2017).
7) Sistem Urinari
Tanda dan gejala pada gangguan sistem urinari biasanya
muncul ketika penderita SLE sudah mengalami komplikasi yaitu
nefritis. Nefritis seringkali ditemukan pada pederita SLE dengan
manifestasi pembengkakan pada ekstremitas bawah, peningkatan
tekanan darah, keluhan susah BAK. Adapun pendukung dengan
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan nilai ureum
dan kreatinin (Farrell et al., 2017).
8) Hematologi
Gangguan pada sistem hematologi biasanya teridentifikasi
oleh pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan lab dapat
ditemukan hasil bahwa pasien mengalami anemia, trombositopeni,
leukositosis atau leukopenia serta tes positif SLE yang ditunjukan
dengan hasil yang positif pada pemeriksaan antinuclear antibody
(ANA) (Farrell et al., 2017).
B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
SLE diantaranya adalah (Farrell et al., 2017):
1) Kerusakan integritas kulit
2) Fatigue atau keletihan
3) Nyeri akut atau nyeri kronis
4) Pola napas tidak efektif
5) Harga diri rendah
6) Defisit pengetahuan tentang keputusan manajemen diri
7) Ketidakefektifan koping
8) Keputusasaan
C. Rencana Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan integritas kulit
Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Kerusakan integritas Setelah dilakukan a. Kaji kondisi kulit setiap hari, catat a. Menentukan kondisi kulit pasien
kulit berhubungan tindakan warna, turgor, sirkulasi dan sensasi sebelum dan setelah perawatan. Kondisi
dengan lesi pada keperawatan kulit yang baik dapat dinilai dengan
lapisan kulit kerusakan integritas warna kulit lembab, turgor kembali
sekunder terhadap kulit dapat terratasi kurang dari 1 detik, sirkulasi yang baik
Systemic lupus dengan kriteria hasil: dengan CRT yang kembali kurang dari
erythematosus - Lesi tidak meluas 2 detik, dan sensasi terhadap
rangasangan positif
(Herdman & b. Pastikan kuku pasien selalu pendek b. Kondisi kebersihan kuku merupakan
Kamitsuru, 2017) dan bersih salah satu aspek yang diperhatikan oleh
pasien. Dengan kuku yang pendek yang
bersih, meminimalisir pasien untuk
melakukan penggarukan pada area kulit
yang mengalami lesi
c. Jika lesi luas dan terbuka lakukan c. Lesi yang luas dan terbuka
penutupan lesi dengan memungkinkan terpapar oleh kuman
menggunakan kasa dan bakteri yang dapat
mengkontaminasi. Maka penutupan lesi
dengan menggunakan kassa diperlukan
untuk meminimalisir paparan tersebut.
d. Kolaborasi pemberian medikasi d. Pemberian obat topikal seperti
topikal dengan tim medis antibiotik topikal mungkin dibutuhkan
untuk mengambat terjadinya paparan
bakteri atau sebagai antibiotik
profilaksis.

2) Fatigue atau Keletihan


Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Keletihan Setelah dilakukan a. Tentukan kemungkinan penyebab a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan tindakan kelelahan seperti: penyakit fisik, memengaruhi kelelahan dapat
proses penyakit keperawatan rasa sakit, stress emosional, bermanfaat dalam mengenali penyebab
keletihan dapat depresi, anemia, gangguan tidur, potensial dan membangun rencana
teratasi dengan atau dari asupan nutrisi yang tidak perawatan kolaboratif.
kiteria hasil: seimbang
- Pasien b. Fasilitasi pasien lingkungan yang b. Memfasilitasi pasien lingkungan yang
menyatakan nyaman untuk beristirahat nyaman unuk beristirahat membantu
lemas berkurang pasien untuk menghemat energi,
- Pasien menjauhkan dari distraksi dan
menyatakan memfokuskan pasien untuk
dapat beristirahat memulihkan diri dengan beristirahat.
c. Minimalkan pasien dari perubahan c. Pada pasien yang mengalami kelelahan
posisi yang telalu sering aktifitas yang terlalu berat, pun
perubahan posisi yang tidak nyaman
dan terlalu sering mungkin akan
mengkonsumsi eregi yang cukup besar
bagi pasien sehingga bisa menyebabkan
keletihan pasien menjadi meningkat.
d. Toleransi pasien akan telihat dari
adanya perubahan pada tanda-tanda
d. Amati reaksi fisiologis terhadap vital. Adapun toleransi pasien akan
aktivitas, seperti perubahan bervariasi dan tergantung pada
tekanan darah, RR, HR perkembangan penyakit, kondisi gizi,
keseimbangan cairan, dan jenis
penyakit yang dialami oleh pasien.
e. Nilai tingkat latihan dan gerakan e. Peningkatan aktifitas fisik yang tidak
fisik yang ditoleransi oleh pasien ditoleransi oleh pasien dapat
menyebabkan kondisi kelelahan
menjadi semakin memburuk
f. Nilai reaksi emosional pasien f. Respon emosional umum yang
terhadap kelelahan biasanya terjadi ketika seseorang atau
pasien mengalami kelelahan adalah
kecemasan dan depresi. Kondisi
emosional ini dapat meningkatkan
kelelahan pada seseorang.
g. Fasilitasi dan pastikan pasien untuk g. Pasien akan membutuhkan asupan
mendapatkan nutrisi yang adekuat nutrisi yang adekuat ketika sakit,
termasuk tambahan dalam asupan
lemak, karbohidrat, protein, vitamin
dan mineral yang seimbang untuk
menyediakan sumber energi.
h. Kaji program latihan yang sesuai h. Kelelahan yang disebabkan oleh
dengan toleransi pasien kondisi beristirahat di tempat tidur yang
terlalu lama dapat dikurangi melalui
peningkatan aktivitas dengan
peningkatan kapasitas fungsional
dengan menggunakan latihan aerobik
dan penguatan otot yang sesuai dengan
toleransi pasien.
i. Berikan dan fasilitasi kenyamanan i. Pemberian sentuhan dan pijatan pada
pada pasien dengan memberikan pasien dapat memberikan efek relaksasi
sentuhan atau pijatan lembut
j. Dorong verbalisasi perasaan j. Curahan perasaan pasien tentang
tentang dampak kelelahan kelelahan dapat membantu perawat
untuk memberikan intervensi untuk
menyelesaikan masalah psikologis
akibat kelelahan
k. Jauhi pembahasan tentang topik k. Berbicng dengan pasien tentang topic
atau pembicaraan yang membuat yang tidak disukainya dapat membuat
pasien tidak nyaman pasien menjadi mudah tersinggung,
gelisah dan rentan terhadap ledakan
emosional
l. Ajarkan pasien untuk sadar dengan l. Perubahan denyut jantung, saturasi
tanda dan gejala yang harus oksigen dan kecepatan pernapasan
menghetikan pasien untuk mencerminkan toleransi pasien untuk
melakukan aktivitas. melakukan aktivitas.
m. Ajarkan pasien untuk melakukan m. Membantu pasien untuk melakukan
latihan napas dalam latihan napas dalam dengan ispirasi
yang lambat dan ekspirasi dengan
tenang membantu pasien untuk rileks
dan fokus untuk mengatur napasnya

3) Nyeri kronis
Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Nyeri kronis Setelah dilakukan a. Kaji skala nyeri dan ekspresi yang a. Pengkajian dan monitoring nyeri
berhubungan dengan tindakan ditunjukan pasien terhadap nyeri memperlihatkan keluhan yang dialami
proses inflamasi keperawatan nyeri pada setiap shift. oleh pasien.
pada persendian dapat teratasi dengan b. Kenali dan sampaikan penerimaan b. Penerimaan rasa sakit oleh perawat
sekunder terhadap kriteria hasil: pengalaman rasa sakit yang dialami kepada pasien dapat diungkapkan
proses penyakit - Pasien skala nyeri oleh pasien. dengan empati yang dimiliki oleh
menurun perawat, hal tersebut mendukung
- Pasien tidak hubungan perawat-pasien yang
tampak meringis kooperatif.
- Pasien dapat c. Kaji kebutuhan terapi farmakologi c. Pemberian terap farmakologi
beristirahat tanpa untuk mengatasi rasa nyeri yang mempengaruhi atau menekan rasa nyeri
terganggu dengan paling dibutuhkan oleh pasien. dengan cara mengontrol agen kimia
rasa nyerinya Pemberian analgetik dapat dipilih pencetus inflamasi dan menekan sistem
- Pasien mampu diantara tiga kelas analgetik yaitu saraf untuk secara langsung
melakukan opioid (narkotika), non-opioid mengendalikan rasa sakit yang dialami
latihan relaksasi (NSAIDs, inhibitor cox-2) dan obat oleh pasien.
untuk tambahan lain
mendistraksi d. Ajarkkan pasien terapi distraksi d. Relaksasi napas dalam dan latihan
nyeri secara nyeri dengan relaksasi napas guide imagery melatih pasien untuk
mandiri dalam, guide imagery. melakukan manajemen nyeri dan
memungkinkan pasien dapat
melakukannya secara mandiri self-
management
e. Ajarkan keluarga untuk selalu e. SLE merupakan salah satu penyakit
berada di sisi pasien dan kronis yang tidak bisa disembuhkan,
memberikan dukungan untuk pendekatan paliatif untuk mengontol
manajemen nyeri yang dialami gejala nyeri yang dialami oleh pasien
oleh pasien. perlu disampaikan kepada keluarga
selaku care giver bagi pasien. Kesiapan
keluarga untuk mendampingi pasien
harus selalu dimotivasi dan diapresiasi.
Sehingga pasien selalu merasa
mendapatkan dukungan meskipun
sedang mengalami gejala nyeri yang
terus-menerus.

4) Pola napas tidak efektif


Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Pola napas tidak Setelah dilakukan a. Posisikan pasien pada posisi semi a. Posisi semi fowler atau tripod
efektif berhubungan tindakan keperawatan fowler atau posisi tripod memungkinkan compliance paru lebih
dengan compliance pola napas menjadi efektif maksimal
paru yang tidak dengan kiteria hasil: b. Pastikan keluarga selalu bersama b. Dukungan keluarga dapat mengurangi
adekuat - Tidak terdapat pasien terutama pada fase akut kecemasan pasien dan berimplikasi
pengguaan otot bantu pasien mengalami gangguan pada pengurangan oksigen demand
pernapasan (kotraksi pernapasan
otot c. Dorong periode istirahat yang c. Aktifitas pasien yang terus menerus
sternocleidomastoideus lebih sering dapat memperburuk sesak napas yang
dan scalenus negatif) dialami oleh pasien. Pastikan pasien
- RR 16-14 x/menit dapat beristirahat diantara aktivitas
- Pasien menyatakan yang berkelanjutan
gejala sesak berkurang d. Bantu pasien untuk melakukan d. Membantu pasien untuk melakukan
activity daily living ADLnya dapat meminimalisir energi
yang harus dikeluarkan oleh pasien
untuk menghindari kelelahan yang
dapat memperparah sesak napas.
e. Berikan pasien terapi oksigen e. Suplementasi oksigen ditujukan untuk
memenuhi keutuhan oksigen pasien
dan mengurangi gejala akibat
kesulitan bernapas

5) Harga diri rendah


Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Harga diri rendah Setelah dilakukan a. Fasilitasi pasien lingkungan yang a. Perawat yang memiliki keleluasaan
situasional tindakan mendukung untuk waktu untuk pasien membuat perawat
berhubungan dengan keperawatan harga mengekspresikan perasaan dengan dapat meneriman dan menangkan p=isi
perubahan fungsi diri pasien dapat cara meluangkan waktu bersama perasaan pasien. Hubungan yang saling
peran dalam meningkat dengan pasien agar pertemuan menjadi percaya dapat terjalin, yang mana
keluarga da kiteria hasil: lebih tenang dan nyaman untuk hubugan tersebut merupakan faktir
lingkungan sosial - Pasien berkomunikasi. yang penting untuk membangun harga
menyatakan diri pasien.
penerimaan diri b. Fasilitasi pasien kondisi privasi b. Pembicaraan yang sensitif dan bersifat
yang positif terutama saat melakukan pribadi bagi pasien perlu dilakukan
perbincangan yang cukup sensitif dengan hati-hati dan tidak melibatkan
bagi pasien. terlalu banyak orang luar.
c. Lakukan komunikasi dengan c. Metode komunikasi dengan pertanyaan
memberikan pertanyaan terbuka terbuka lebih memungkinkan pasien
pada pasien dan pastika perawat untuk menyampaikan minat,
kekhawatiran dan perasaan yang
selalu menjadi pendengar yang dirasakanya tanda kesempatan untuk
baik. menginterupsi.
d. Pemberian respon yang positif terhadap
d. Berikan dukungan yang positif pasien merupakan bentuk dukungan
bagi pasien dan perikan pujian atas agar pasien merasa diapresiasi dan
capaian positif yang sudah diterima oleh lingkungannya meskipun
dilakukan oleh pasien. dalam kondisi sakit, sehingga harga diri
pasien diharapkan dapat meningkat.
e. Pemikiran negative pasien yang
e. Sampaikan kepada pasien tentang dilakukan serta pembicaraan atau
dampai dari pembicaan negatif atau verbalisasi negatif terhadap dirinya
pemikira negative terhadap dirinya sendiri dapat membuat harga diri pasien
sendiri semakin terpojokan.
f. Pendampingan dan respon positif dari
f. Pertahankan dan dukung keluarga keluarga dan orag terdekat dapat
dan orang terdekan untuk memberikan gambaran pada pasien
memberikan dukungan emosinal bahwa keberadaannya sangatlah
positif bagi pasien penting dan diterima apa adanya oleh
mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. (D. Yulianti & A. Kimin, Eds.) (12th ed.). Jakarta: EGC.
D.L. Kasper, S.L. Hauser, J.L. Jameson, A. S. Fauci, D.L. Longo, J. Loscalzo, Harrison’s Principles of Internal Medicine, Mc Graw Hill,
New York, 2012.

KEMENKES. (2017). Situasi Lupus di Indonesia.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2010). Fundamental Keperawatan. Jakarta: ECG.
Lahita, RG. (2011). Systemic Lupus Erythematosus, 5nd ed. Elsevier Inc USA.

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child
Health 18:2. Published ByElsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.

Morton, Gallo. (2012). KeperawatanKritis volume 1&2 edisi 8. Jakarta: EGC.

Prihantini, N. R., & Masulili, S. L. C. (2012). Perawatan Periodontal pada Pasien Lupus Eritematous Sistemik. Jakarta.
Farrell, M., Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (Eds.). (2017). Smeltzer & Bare Textbook of Medical- Surgical Nursing: Volume 2 (Fourth Aus,
Vol. 2). Victoria: Wolters Kluwer Health.
Herdman, H., & Kamitsuru, S. (Eds.). (2017). NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020.

Anda mungkin juga menyukai