Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Profesi Ners Stase Paliatif
Disusun oleh:
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
I. DEFINISI
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit kolagen autoimun inflamasi yang
sifatnya kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan imun yang
mengakibatkan produksi antibodi berlebih (Brunner & Suddarth, 2013).
Menurut Lahita (2011), SLE merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi
II. ETIOLOGI
Penyebab penyakit autoimun (SLE) ini belum diketahui dengan pasti.
Morton (2012) menyebutkan bahwa penyebab penyakit ini diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan muktifaktorial antara genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor Genetik
Kejadian SLE lebih tinggi terjadi pada kembar monozigot (25%)
dibandingkan dengan kembar monozigot (3%).
2. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko SLE dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE. Sehingga penyakit ini lebih banyak
menyerang perempuan.
3. Faktor Autoantibodi
Faktor imunologi pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-
unsur sistem imun, yaitu antigen, kelainan intrisik sel B dan T, serta
kelainan antibodi.
4. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan seperti sinar Ultra Violet mampu mengubah struktur
DNA di daerah yang terpapar, sehingga menyebabkan perubahan sistem
imun di daerah tersebut. Hal ini kemudian menginduksi apoptosis dari
sel keratonosit
5. Faktor Obat-Obatan
Obat-obatan yang bekerja sebagai asetilator penghambat diketahui
mempunyai gen HLA DR-4, sehingga asetilasi obat menjadi lambat
yang menyebabkan obat menjadi terakumulasi di tubuh yang pada
akhirnya obat berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.
6. Faktor Nutrisi
Penelitian menyebutkan bahwa asam amino L-cannavine dapat
mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
memunculkan SLE.
7. Faktor Agen Infeksi
SLE dapat disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri yang meningkatkan
antibodi antiviral sehingga mampu mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik, diantaranya yakni Retrovirus dan DNA bakter/endotoksin.
IV. PATOFISIOLOGI
Patomekanisme lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus
eritematosus (SLE) didasari oleh autoantibodi dan kompleks imun yang
berikatan ke jaringan dan menyebabkan inflamasi multisistem. Penyebab
spesifik SLE hingga saat ini belum diketahui, namun berbagai faktor seperti
faktor genetik, sistem imun, hormonal serta lingkungan berhubungan dengan
perkembangan penyakit ini.
Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun yang
tidak seharusnya kepada partikel sel tubuh. Salah satunya adalah pembentukan
autoantibodi terhadap asam nukleat yang disebut antinuclear antibodies
(ANA). Pada umumnya ANA dapat ditemukan pada populasi umum, namun
tidak seluruh orang yang memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan progresi kondisi autoimun ini
menjadi penyakit. Selain ANA, terdapat dua autoantibodi yang spesifik
ditemukan pada pasien SLE dibandingkan dengan penyakit autoimun lainnya
yaitu antibomekanisme SLE disebabkan oleh respon imun yang abnormal
berupa:
Aktivasi sistem imun bawaan (sel dendritik, monosit/makrofag) oleh
DNA dari kompleks imun, DNA atau RNA virus dan RNA dari protein
self-antigen.
Ambang batas aktivasi sel imun adaptif (limfosit T dan limfosit B) yang
lebih rendah dan jaras aktivasi yang abnormal
Regulasi sel T CD4+ dan CD8+, sel B dan sel supresor yang tidak
efektif,penurunan pembersihan kompleks imun dan sel yang
mengalami apoptosis.
Autoantibodi mengenali self-antigen yang ada di permukaan sel yang
apoptosis dan membentuk kompleks imun. Oleh karena proses pembersihan
debris sel terganggu maka autoantigen, autoantibodi dan kompleks imun
tersedia dalam waktu yang lama, memicu terjadinya proses inflamasi dan
menyebabkan timbulnya gejala.
Aktivasi sel imun juga disertai dengan peningkatan sekresi interferon
tipe 1 dan 2 (IFN), tumor necrosis factors α (TNF- α), interleukin (IL) 17,
stimulator maturasi sel B, dan IL-10 yang seluruhnya mendukung reaksi
inflamasi. Pada kondisi SLE juga terjadi penurunan produksi berbagai sitokin
seperti sel natural killer yang gagal memproduksi IL-2 dan transforming
growth factor beta (TGF-β) yang berfungsi untuk meregulasi sel T CD4+ dan
CD8+, akibatnya produksi autoantibodi dan kompleks imun tidak terkendali
dan tetap berlanjut.
Autoantibodi dan kompleks ini kemudian berikatan dengan jaringan
target, menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan pelepasan
sitokin, kemokin dan peptida vasoaktif, oksidan dan enzim proteolitik. Kondisi
tersebut menyebabkan aktivasi sel endothelial, makrofag jaringan, sel
mesangial, podosit yang ada di jaringan serta mengakibatkan sel B, sel T, sel
dendritik dan makrofag mendatangi jaringan target tersebut dan menyebabkan
terjadinya proses inflamasi. Inflamasi kronis ini menyebabkan kerusakan
jaringan yang irevesibel di glomerulus ginjal, arteri, paru dan jaringan lainnya
(Kasper et al, 2012).
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah
Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin, GFR
3. Faktor Pembekuan Darah
PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid 5)
4. Serologi VDRL(sifilis), untuk mengetahui hasil posiitif palsu
5. Foto Polos Thorax
Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring. Pemeriksaan dilakukan setiap 3-6 bulan bila pasien stabil.
6. Pemeriksaan Imunlogi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%. Pemeriksaan anti-
dsDNA, komplemen (C3,C4).
7. Tes Vital Lupus
Adanya pita Fg 6 yang khas dan atau deposit Ig M pada persambungan
dermo-epidermis pada kulit yang terlibat dan tidak
VI. PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi ini
adalah hanya sebatas mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurnagi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak
pasien dengna gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya
obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih
serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan korikosteroid dosis
tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem
imunitas. Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya
aktif.
1. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis yang dapat dilakukan yanitu dengan
pemberian NSAID. NSAID membantu mengurangi peradangan dan
nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya contoh NSAID adalah
aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Penggunaan NSAID
memiliki efek samping yang perlu diperhatikan seperti tidak enak perut,
nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping.
Kortikostiroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi
peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif.
Namunn, kortikostiroid memiliki efek samping yang seriusa bila
diberikan dalam dosis yang tinggi selama periode yang lama, dan harus
dimonitor aktifitas dari penyakitnya . efek yang ditimbulkannya yaitu
penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak,
katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar.
Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan
efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi.
Efek samping yang ditimbulkannya seperti diare, tidak enak perut, dan
perubahan pigmen mata, selain itu efek dari obat ini yaitu mengurangi
bekuan darah yang abnormal pada pasien SLE.
Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan
manifestasi SLE berat dan kerusakan organ dalam dan yanag tidak
responsif dengan kortikosteroid. Contoh obat imunosupresan yaitu
methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan
cyclosporine. Immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun
dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek
samping yang ditimbulkannya pada setiap obat berbeda seperti
Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa
mengganggu fungsi ginjal.
Mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang efektif
terhadap SLE, khususnya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini
menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan
untuk mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang
ditimbulkannya sebih sedikit dan lebih bermanfaat dibandingkan
pengobatan imunosupresan yang tradisional.
2. Terapi non farmakologis
Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian
yang melindungi dari sinar matahari dapat mencegah masalah yang
disebabkan fotosensitif. Penurunan berat badan disarankan pada pasien
yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi beberapa
efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian.
Selain itu hindari merokok, hindari stres dan trauma fisik, diet khusus
sesuai organ yang terkena, menggunakan tabir surya SPF 30 PA++ 30
menitsebelum keluar rumah, hindari pemakaian kontrasepsi atau obat
lain yang mengandung hormon estrogen, kontrol secara teratur ke
dokter, dan minum obat teratur (KEMENKES, 2017).
Upaya pengendalian SLE meliputi upaya preventif, kuratif, dan
rehabilitatif diantaranya komunikasi informasi edukasi, perlindungan
khusus, penemuan (deteksi dini), diagnosis, tatalaksana kasus dan
rujukan, upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangan penyakit SLE, dan adanya pemantauan dan
penilaian (KEMENKES, 2017).
Upaya non farmakologis lain yang dapat dilakukan yaitu
bagaimana keluarga terdekat pasien dapat memberikan dukungan yang
kuat atau memotivasi pasien dalam menghadapi penyakit lupus tersebut.
Ketika seseorang yang menderita lupus mendapatkan dukungan postif
akan berpengaruh terhadap penerimaan diri dan daya juang orang
tersebut untuk bertahan. Penelian mengenai penerimaan diri dan daya
juang pada pasien lupus didapatkan bahwa adanya keterkaitan antara
berfikir positif terhadap masalah yang dihadapi agar dapat menerima
dan memiliki daya juang yang tinggi begitu pula sebaliknya jika
seseorang memiliki pandangan negatif maka akan berpengaruh terhadap
penerimaan dirinya dan daya juang untuk bertahan hidup (Agustin,
2008).
3) Nyeri kronis
Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Nyeri kronis Setelah dilakukan a. Kaji skala nyeri dan ekspresi yang a. Pengkajian dan monitoring nyeri
berhubungan dengan tindakan ditunjukan pasien terhadap nyeri memperlihatkan keluhan yang dialami
proses inflamasi keperawatan nyeri pada setiap shift. oleh pasien.
pada persendian dapat teratasi dengan b. Kenali dan sampaikan penerimaan b. Penerimaan rasa sakit oleh perawat
sekunder terhadap kriteria hasil: pengalaman rasa sakit yang dialami kepada pasien dapat diungkapkan
proses penyakit - Pasien skala nyeri oleh pasien. dengan empati yang dimiliki oleh
menurun perawat, hal tersebut mendukung
- Pasien tidak hubungan perawat-pasien yang
tampak meringis kooperatif.
- Pasien dapat c. Kaji kebutuhan terapi farmakologi c. Pemberian terap farmakologi
beristirahat tanpa untuk mengatasi rasa nyeri yang mempengaruhi atau menekan rasa nyeri
terganggu dengan paling dibutuhkan oleh pasien. dengan cara mengontrol agen kimia
rasa nyerinya Pemberian analgetik dapat dipilih pencetus inflamasi dan menekan sistem
- Pasien mampu diantara tiga kelas analgetik yaitu saraf untuk secara langsung
melakukan opioid (narkotika), non-opioid mengendalikan rasa sakit yang dialami
latihan relaksasi (NSAIDs, inhibitor cox-2) dan obat oleh pasien.
untuk tambahan lain
mendistraksi d. Ajarkkan pasien terapi distraksi d. Relaksasi napas dalam dan latihan
nyeri secara nyeri dengan relaksasi napas guide imagery melatih pasien untuk
mandiri dalam, guide imagery. melakukan manajemen nyeri dan
memungkinkan pasien dapat
melakukannya secara mandiri self-
management
e. Ajarkan keluarga untuk selalu e. SLE merupakan salah satu penyakit
berada di sisi pasien dan kronis yang tidak bisa disembuhkan,
memberikan dukungan untuk pendekatan paliatif untuk mengontol
manajemen nyeri yang dialami gejala nyeri yang dialami oleh pasien
oleh pasien. perlu disampaikan kepada keluarga
selaku care giver bagi pasien. Kesiapan
keluarga untuk mendampingi pasien
harus selalu dimotivasi dan diapresiasi.
Sehingga pasien selalu merasa
mendapatkan dukungan meskipun
sedang mengalami gejala nyeri yang
terus-menerus.
Brunner. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. (D. Yulianti & A. Kimin, Eds.) (12th ed.). Jakarta: EGC.
D.L. Kasper, S.L. Hauser, J.L. Jameson, A. S. Fauci, D.L. Longo, J. Loscalzo, Harrison’s Principles of Internal Medicine, Mc Graw Hill,
New York, 2012.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2010). Fundamental Keperawatan. Jakarta: ECG.
Lahita, RG. (2011). Systemic Lupus Erythematosus, 5nd ed. Elsevier Inc USA.
Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child
Health 18:2. Published ByElsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.
Prihantini, N. R., & Masulili, S. L. C. (2012). Perawatan Periodontal pada Pasien Lupus Eritematous Sistemik. Jakarta.
Farrell, M., Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (Eds.). (2017). Smeltzer & Bare Textbook of Medical- Surgical Nursing: Volume 2 (Fourth Aus,
Vol. 2). Victoria: Wolters Kluwer Health.
Herdman, H., & Kamitsuru, S. (Eds.). (2017). NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020.