Anda di halaman 1dari 11

Makalah

Ikhtilaf Hukum Talaq Sunni

Sebagai Penyelesaian Tugas Fiqih Muqarran

Disusun Oleh :

1.Ro'fatul jariyah

2.Nurul hadlonah

3.Siska anggraini

Dosen Pengampu :

Syamsul Qomaruddin, M.pd

SEKOLAH TINGGI SUFFAH ALQURAN ABDULLAH BIN MASUD

NEGARA RATU NATAR LAMPUNG SELATAN

T/A 2019-2020
BAB 1

I. PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada
manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai
jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Suatu perkawinan dapat
putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami
terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain.

Wanita yang ditalak adalah istri dari laki-laki yang mentalak secara hakikat atau hukum, yakni sepert
menjalani iddah dari talak raj’iy atau menjalani iddah dari talak ba’in shugra.

Pada pembahasan kali ini, pemakalah akan menjelaskan tentang talak, rujuk dan iddah.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Apakah yang dimaksud dengan talak ?

B. Apakah yang dimaksud dengan rujuk ?

C. Apakah yang dimaksud dengan iddah ?


BAB:ll

II. PEMBAHASAN

Pengertian talak sunni

A. Talak

Takrif talak menurut bahasa Arab adalah “melepaskan ikatan”. Menurut istlah syarak talak adalah
Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Menurut Al-Jaziri, talak ialah
Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata
tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anshari, talak ialah Melepas tali akad nikah dengan kata
talak dan yang semacamnya. Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu istri tdak lagi halal bagi suaminya.

Dikutp dari buku Fiqih Sehari-hari yang ditulis Saleh Al Fauzan, talak berasal dari bahasa at-Takhaliyatu
yang berart pelepasan. Menurut syariah, artnya melepas ikatan nikah atau sebagian dari akad itu.
Hukum talak berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi. Terkadang mubah, bisa menjadi makruh,
sunah, tetapi bisa juga menjadi wajib bahkan, berubah 180 derajat berstatus haram.

Talak sunni merupakan perceraian yang terjadi sebagaimana disyariatkan dalam Islam baik bersumber
dari Allah dan RasulNya. Artnya, seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri sebanyak satu kali,
sementara istri tersebut dalam keadaan suci dan belum digauli. Kemudian, istri itu meninggalkan
suaminya sampai habis masa idahnya.

Suatu peristwa talak disebut talak sunni jika dipandang dari beberapa segi. Pertama, dari segi jumlah.
Dia menjatuhkan talak kepada istrinya sebanyak satu kali dan meninggalkannya sampai habis masa idah.

Kedua, dari segi waktu. Suami menjatuhkan talak kepada istrinya saat sang istri dalam keadaan suci dan
belum digauli. Sebagaimana firman Allah SWT "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). Dan
hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu."(ath-Thalaq:1).

Salah satu sahabat Rasulullah SAW, Ibnu Mas'ud berpendapat mengenai ayat ini. Menurut dia, wanita
yang diceraikan adalah wanita yang dalam keadaan suci, tdak haid, dan belum digauli setelah haidnya
selesai.

Seorang lelaki akan selalu menceraikan istrinya kemudian dia akan membiarkannya sampai tga kali haid.
Jika ia mau, ia akan rujuk kembali kepada istrinya. Artnya, selama wanita itu masih dalam masa idah.
Karena itu, Allah SWT memberikan kesempatan kepada istri untuk kemungkinan rujuk kembali. Jika
suami telah menyesali terjadinya talak hingga dia tdak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia pun bisa
rujuk kembali.

Hukum talak ada empat :


1.Wajib : apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara
keduannya sudah memandang perlu supaya keduannya bercerai.

2.Sunah : apabila suami tdak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau
perempuan tdak menjaga kehormatan dirinya.

3. Haram (bid’ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam keadaan haid.
Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.

4. NMakruh : yaitu hukum asal dari talak yang tersebut di atas.

Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya suami kembali kepada mantan istri, maka talak itu ada
dua macam :

1. Talak raj’i, yaitu talak yang suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru,
selama istrinya masih dalam masa iddah. Talak raj’i adalah talak satu atau talak dua tanpa di dahului
tebusan dari pihak istri.

2. Talak bain, yaitu talak yang putus secara penuh dalam art tdak memungkinkan suami kembali kepada
istrinya kecuali dengan nikah baru. Talak bain ini terbagi menjadi dua :

a. Bain sugra, yaitu talak satu atau talak dua dengan menggunakan tebusan dari pihak istri atau melalui
putusan pengadilan dalam bentuk fasakh. Dalam bentuk ini suami yang akan kembali kepada istrinya
dapat langsung melalui pernikahan baru.

b. Bain kubra, ialah talak tga, baik sekali ucapan atau berturut-turut. Bain kubra ini menyebabkan suami
tdak boleh kembali kepada istrinya, meskipun dengan nikah baru, kecuali bila istrinya telah menikah
dengan laki-laki lain, kemudian bercerai.

Adapun ditnjau dari segi waktu dan bilangannya, talak terbagi atas talak sunni dan talak bid’i. Talak
Sunni ialah, bila suami mentalak istrinya yang tdak dipergauli yang suci dan tdak dalam keadaan hamil,
bukan wanita yang masih kecil maupun wanita yang sudah tdak haid. Sedangkan, Talak Bid’i ialah, bila
suami mentalak istrinya dalam keadaan haid atau nifas atau dalam keadaan suci yang menggauli istrinya
dan belum jelas kehamilannya.Di dalam masalah ini para ulama telah sepakat mengenai perkara-perkara
berikut ini :

1.Menjatuhkan satu talak terhadap istri yang telah sekamar dalam keadaan suci yang tdak disentuh
(digauli) dalam keadaan sucinya itu, dan selama dalam masa iddahnya tdak diikutkan dengan talak yang
kedua adalah sunni.

2. Menjatuhkan talak terhadap istri dalam keadaan haid atau nifas ataupun dalam keadaan suci yang
sudah digaulinya pada keadaan sucinya itu adalah bid’i apabila istri itu tdak hamil.

3. Menjatuhkan talak terhadap istri yang belum sekamar bukan merupakan talak sunni dan talak bid’i
ditnjau dari segi waktu, namun dalam riwayat dari Zufar disebutkan bahwa jika jatuh talak itu dalam
keadaan haid juga bid’i sebagaimana pula wanita yang telah sekamar.
Adapun yang menjadi perbedaan pendapat di antara mereka talak yang dilihat dari segi bilangan, apakah
termasuk talak sunni ataukah talak bid’i ?

Ulama Syafi’iyyah berpendapat , “tdak ada bid’ah mengumpulkan talak dan tdak ada sunnah memisah-
misahkan, baik si istri itu telah sekamar maupun belum, hal itu sama saja.”

Ibnu Rusyd menukilkan dari Imam Asy-Syafi’i bahwa talak tga dengan satu lafadz adalah talak sunni,
sedangkan ulama Hannafiyah dan ulama Hanabillah berpendapat, menjatuhkan tga talak atau dua talak
secara sekaligus maupun berpisah-pisah dalam satu masa adalah bid’i, baik telah sekamar ataupun
belum.

Adapun mengenai talak dua secara sekaligus atau terpisah-pisah dalam masa suci termasuk sunni bukan
pula bid’i, baik ditnjau dari segi waktu maupun bilangan.

Mengenai talak terhadap istri yang telah sekamar dan telah disepakat tentang sunninya, kemudian
dalam masa iddahnya diiringi dengan talak lainnya, ulama Malikiyyah dan hanabillah berpendapat
bahwa hal itu terjadi bid’i, sedangkan ulama Hanafiyyah mengategorikannya sebagai sunni apabila talak-
talak tambahan tersebut dijatuhkan dalam masa suci yang berlainan (berbeda).

Mengenai talak terhadap istri yang telah disepakat, dalam keadaan si istri sudah tdak haid lagi
(menopause) atau istri masih di bawah umur, ulama Hannafiyah berpendapat “tetap ada sunninya dan
bid’i nya” dilihat dari segi waktunya. Sunninya ialah apabila dijatuhkan talak satu atau lebih selama ada
selang waktu sebulan di antara kedua talak itu.

Ketga imam lainnya (Maliki, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal) berpendapat tdak ada sunni dan tdak
ada pula bid’i dilihat dari segi waktu.

Mengenai talak terhadap istri yang sedang hamil, imam Hanafi dan Abu Yusuf berpendapat hukumnya
sama dengan istri yang sudah tdak haid (menopause) atau istri yang masih di bawah umur. Imam Malik
dan Imam Asy’Syafi’i sepakat bahwa tdak dinamakan sunni atau bid’i. Sementara Imamiyyah (Imam
Ja’far Ash-Shadiq) memberi syarat bagi sahnya talak terhadap istri yang telah digauli, dan istri yang
mengalami menopause dan tdak pula hamil, yaitu dalam keadaan suci, tdak haid dan tdak pernah
dicampurinya pada masa sucinya di antara dua kali haid. Apabila wanita tersebut ditalak dalam keadaan
haid, nifas, atau pernah dicampurinya pada masa sucinya, talaknya tdak sah.

Jadi kesimpulannya, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa talak itu mungkin sunni dan mungkin bid’i
dilihat dari segi waktu dan bilangan dengan syarat istri telah sekamar. Adapun dan mengenai istri yang
belum sekamar, hal ini dilihat dari segi bilangan talak saja, sedangkan bila ditnjau dari segi waktu, tdak
ada sunni dan tdak bid’i.

Ulama Syafi’iyyah berpendapat, tdak ada sunni dan bid’i sekali mengenai bilangan talak. Ulama
Hannabillah berpendapat bahwa menalak istri yang sudah tdak haid lagi, istri dibawah umur, dan istri
dalam keadaan hamil, dan istri yang belum dicampurinya, hal itu tdak di sikapkan dengan sunni atau
bid’i bila ditnjau dari segi waktu, sedangkan dalam hal bilangan mungkin sunni dan mungkin bid’i.
Ditnjau dari bentuk ucapan talak dan lafalnya, talak terbagi menjadi dua :

1. Talak yang terang-terangan

Maksud dari kalimat yang disampaikan ketka mengucapkannya, sepert : kamu tertalak, kamu ditalak
atau setap perkataan yang berasal dari kata “thalaq”. Asy-Syafi’i mengatakan: kata-kata talak yang
terang-terangan ada tga, yaitu “thalaq, firaaq, saraah”

2. Talak dengan sindiran

Yaitu talak yang lafalnya tdak menunjukkan maksud talak, tetapi menunjukkan talak dengan cara
kinayah. Sepert kata-kata Ant Baa-in (kamu terpisah). Adapun kinayah (sindiran), maka talaknya tdak
sah, kecuali dengan bukt.

B. Rujuk

Rujuk adalah kembalinya seorang perempuan pada pernikahan dari talaq yang bukan talak
ba’in.Menurut bahasa Arab kata ruju’ berasal dari kata raja’a-yarji’u-ruju’an yang berart kembali, dan
mengembalikan.

Ulama hanafiyah memberi definisi rujuk sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah, sebagai
berikut: Rujuk ialah melestarikan perkawinan dalam masa idah talak (raj’i). Sedangkan menurut Al-
Syafi’i: Rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah idah
dan setelah terjadinya talak (raj’i).

Ibnu Rusyd membagi hukum rujuk kepada dua: yaitu hukum rujuk pada Talak Raj’i dan hukum rujuk pada
Talak Ba’in.

1. Hukum Rujuk pada Talak Raj’i

Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada Talak Raj’i, selama
istri masih berada dalam masa iddah tanpa mempertmbangkan persetujuan istri, berdasarkan firman
Allah Q.S al-Baqaroh : 231 yang artnya “Dan suami-suaminya berhak merujuki nya dalam masa menant
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.”

2.Hukum Rujuk pada Talak Ba’in.

Hukum rujuk setelah talak tersebut (Talak Ba’in) sama dengan nikah baru, yakni tentang persyaratan
adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur fuqaha berpendapat bahwa untuk perkawinan
ini tdak mempertmbangkan berakhirnya masa iddah.

Rukun rujuk :

1. Istri, keadaan istri yang disyaratkan :

a. Sudah di campuri, karena istri yang belum dicampuri apabila ditalak, terus putus pertalian antara
keduannya, si istri tdak mempunyai iddah.
b. Istri yang tertentu. Apabila suami menalak beberapa istrinya, kemudian ia rujuk kepada salah seorang
dari mereka dengan tdak menentukan siapa yang dirujukkan, maka rujuknya itu tdak sah.

c. Talaknya adalah talak raj’i. Jika ia ditalak dengan talak tebus atau talak tga, maka ia tdak dapat rujuk
lagi.

d. Rujuk itu terjadi apabila istri masih dalam iddah.

2. Suami. Rujuk ini dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri, artnya bukan paksaan.

3. Saksi. Dalam hal ini para ulama berselisih paham, apakah saksi itu wajib menjadi rukun atau sunah.
Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan tdak wajib, melainkan hanya sunah.
Dalam firman Allah Q.S At-talaq: 2 yang artnya “apabila iddah mereka telah hampir habis, hendaklah
kamu rujuk dengan baik, atau teruskan perceraian secara baik pula, dan yang demikian hendaklah
kamu persaksikan kepada orang yang adil di antara kamu, dan orang yang menjadi saksi itu hendaklah
dilakukan kesaksiannya itu karena Allah.”

4. Sigaz (lafad), sigat ada dua, yaitu :

a.Terang-terangan, misalnya dikatakan, “Saya kembali kepada istri saya,” atau “Saya rujuk kepadamu.”

b. Melalui sindiran, misalnya “Saya pegang engkau,” atau “Saya kawin engkau,” dan sebagainya.

Rujuk itu sah meskipun tdak dengan ridha si perempuan dan tanpa sepengetahuannya, karena rujuk itu
berart mengekalkan pernikahan yang telah lalu. Kalau seorang perempuan dirujuk oleh suaminya,
sedangkan dia tdak tahu, kemudian sesudah lepas masa iddahnya perempuan itu menikah dengan laki-
laki lain karena dia tdak mengetahui bahwa suaminya rujuk kepadanya, maka nikah yang kedua ini tdak
sah dan batal dengan sendirinya, dan perempuan tersebut harus dikembalikan kepada suaminya yang
pertama.

Adapun syarat sahnya rujuk, diantaranya :

1. Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari suami atau dari hakim.

2. Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri yang ditalak tersebut sama
sekali belum pernah digauli, maka tdak ada rujuk.

3. Rujuk dilakukan selama masa iddah. Apabila telah lewat masa iddah menurut kesepakatan ulama
fikih tdak ada rujuk.

C. Iddah

Iddah adalah masa menunggunya perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya.Perempuan yang
bercerai dari suaminya, baik secara hidup atau cerai mat mest menjalani masa iddah dalam masa mana
ia tdak boleh menikah dengan laki-laki lain. Iddah itu diwajibkan karena padanya terdapat hikmah di
antaranya:
1. Untuk mengetahui apakah bekas suami yang menceraikannya meningalkan benih dalam rahim
istrinya atau tdak. Dengan begitu dapat terpelihara dari bercampurnya dengan bibit yang akan di semai
oleh suaminya yang baru.

2. Memberi kesempatan kepada suami untuk berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan istrinya.

Lama masa iddah itu tergantung keadaan istri waktu bercerai dari suaminya. Adapun masa-masa iddah
itu adalah :

1.Istri yang ditnggal mat oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4
bulan 10 hari. Hal ini dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah : 234.

2.Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tdak menjalani masa iddah. Hal ini dijelaskan
dalam Q.S al-Ahzab : 49. Sedangkan perempuan yang ditnggal mat oleh suaminya dan belum sempat
digauli berlaku baginya iddah 4 bulan 10 hari. Alasannya ialah bahwa kewajiban beriddah bukan untuk
mengetahui kebersihan rahim dari bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap suami
yang meninggal.

3.Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suaminya sedangkan ia masih dalam masa haid,
maka iddahnya adalah selama tga quru’. Hal ini dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah : 228. Yang dimaksud
dengan tga quru’ menurut jumhur ulama ada tga kali suci, sedangkan bagi ulama Hanafiyah tga quru’
berart tga kali masa haid. Di antara dua masa tersebut, tga kali haid lebih panjang daripada tga kali
suci.

4.Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya, dan dia tdak lagi dalam masa haid
atau tdak berhaid sama sekali, maka masa iddah adalah selama tga bulan. Hal ini sesuai dengan Q.S al-
Thalaq : 4.

5. Istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah melahirkan anakanya.
Hal ini sesuai dengan Q.S at-Thalaq : 4. Adapun perempuan hamil yang suami meninggal, menurut
jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya, meskipun masanya belum empat bulan sepuluh
hari. Artnya hanya berlaku iddah hamil. Sedangkan menurut ulama lain, di antaranya Ali bin Abi Thalib,
iddah perempuan hamil yang suaminya meninggal adalah masa yang terpanjang antara empat bulan
sepuluh hari dengan melahirkan anak. Bila anak lahir sebelum empat bulan sepuluh hari maka iddahnya
adalah empat bulan sepuluh hari, namun bila setelah empat bulan sepuluh hari anaknya belum lahir
juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak.

Adapun hak istri dalam masa iddah adalah :

1.Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj’i, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang
berlaku sebelum bercerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga
tempat tnggal.
2.Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik sugra maupun kubra ialah istri berhak atas tempat
tnggal, bila ia tdak dalam keadaan hamil. Apabila ia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat
tnggal juga mendapat nafkah selama masa hamilnya itu.

3. Istri yang ditnggal mat oleh suaminya, ia berhak mendapatkan tempat tnggak selama masa
iddahnya. Karena ia harus menjalankan masa iddah dirumah suaminya dan tdak dapat nikah selama
masa itu. Adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyamakannya dengan cerai dalam bentuk
talak bain.

BAB:III

III. KESIMPULAN

Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri
tdak lagi halal bagi suaminya. Hukum talak ada empat macam, yaitu: Wajib, Sunnah, Haram, Makruh.
Dilihat dari segi bolehnya suami kembali kepada isrtnya, talak dibagi menjadi dua yaitu: Talak Raj’i dan
Talak Ba’in. Dilihat dari segi bilangan talak, talak dibagi menjadi dua juga yaitu: Talak Sunni dan Talak
Bid’i. Ditnjau dari ssegi ucapan talak, talak dibagi menjadi dua yaitu: Talak secara terang-terangan dan
talak secara sindiran.
Rujuk adalah kembalinya seorang perempuan pada pernikahan dari talaq yang bukan talak ba’in.
Rukun rujuk ada empat yaitu: Istri, Suami, Saksi dan Sigaz. Sementara itu, iddah adalah masa
menunggunya perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya. Perempuan yang bercerai dari
suaminya, baik secara hidup atau cerai mat mest menjalani masa iddah dalam masa mana ia tdak boleh
menikah dengan laki-laki lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Umar, Sayyid.Yakutunnafis.

Muhammad al-Jamal, Ibrahim.1999.Fiqih Muslimah.Jakarta: Pustaka Amani

Rasid, Sulaiman.2003Fiqih Islam.Bandung: Sinar Baru Algensindo

Syalthut, Mahmud.2000.Fiqih Tujuh Madzhab.Bandung: Pustaka Seta


Syarifuddin, Amir.2003.Garis-garis Besar Fiqh.Jakarta: Prenada Media Group

Tihami dan Sohari Sahrani.2009.Fikih Munakahat.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

https://almanhaj.or.id/2184-cerai-apa-bukan-bagaimana-tata-cara-rujuk-yang-syari.html.

Anda mungkin juga menyukai