Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.)


Tanaman kacang tanah (Arachis Hypogaea L.), yang ditanam di Indonesia
sebetulnya bukanlah tanaman asli, melainkan tanaman yang berasal dari benua
Amerika, tepatnya dari daerah Brazilia (Amerika Selatan). Kacang tanah adalah
tanaman palawija yang berumur pendek. Di Indonesia kacang tanah ditanam di
daerah daratan rendah dengan ketinggian maksimal 1000 meter di atas permukaan
laut. Kulit kacang tanah merupakan salah satu limbah biomassa yang menarik untuk
diteliti sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif. Jika berat kulit kacang tanah
30% dari berat keseluruhan kacang tanah, maka kuantitas limbah kulit kacang tanah
di Indonesia mencapai 229 ribu ton per tahun (Ensminger et al., 1993).
Kebutuhan dan permintaan kacang tanah dari sektor industri makanan olahan
memacu peningkatan pendapatan petani di berbagai daerah. Makanan olahan
dengan bahan baku kacang tanah mengalami permintaan yang semakin meningkat.
Produksi kacang tanah dalam negeri selama tiga dekade terakhir menunjukkan
pertumbuhan yang positif. Namun produksi tersebut belum bisa memenuhi
permintaan yang semakin meningkat, sehingga jumlah impor kacang tanah pun
meningkat tajam. Berdasarkan data FAO pada tahun 2008-2012 Indonesia menjadi
negara importir nomor dua dunia yang mengimpor kacang tanah rata-rata sebesar
129,74 ribu ton (Kementrian Pertanian, 2015).
Tabel 2.1. Jumlah prediksi produksi kacang tanah di Indonesia tahun 2017-2022
Tahun Jumlah Produksi (ton)
2017*) 480.360
2018**) 550.032
2019**) 517.949
2020**) 484.786
2021**) 450.956
2022**) 416.457
Sumber : Badan Pusat Satistik, Diolah Oleh Pusdatin
Keterangan : *) : ARAM II 2017
**) : Angka Proyeksi Pusdatin

5
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor pendukung pembangunan
nasional yang cukup berperan penting mengingat luas wilayah, kondisi geografis
dan iklim yang dimiliki Indonesia sangat menunjang berlangsungnya kegiatan di
sektor pertanian. Tanaman Pangan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang
sangat strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, penyerapan tenaga
kerja, maupun penyedia bahan baku industri.
Kacang tanah merupakan salah satu komoditas penting sektor tanaman
pangan. Kacang tanah sebagai salah satu komoditas penting sumber gizi bagi
masyarakat karena kacang tanah mengandung sumber protein nabati. Kacang tanah
dikonsumsi rumah tangga baik berupa kacang tanah dengan kulit maupun tanpa
kulit. Jika masih dengan kulit biasanya kacang tanah direbus atau disangrai. Kacang
tanah tanpa kulit dikonsumsi oleh rumah tangga dengan cara digoreng dan
selanjutnya dibuat saos sambel kacang untuk gado-gado, kacang bawang, sambal
balado teri kacang, dan campuran kue kering. Industri makanan membutuhkan
kacang tanah untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan ringan baik dalam
bentuk kacang tanah dengan kulit maupun tanpa kulit seperti kacang kulit rasa,
kacang sangrai, kacang atom, kacang oven, dan selai kacang untuk olesan roti.

Gambar 2.1. Tanaman kacang tanah yang baru saja diambil langsung dari tanah
(sumber: Dokumentasi Pribadi)

2.1.1. Klasifikasi Tanaman Kacang Tanah


Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) berasal dari Amerika Selatan,
diperkirakan dikawasan sekitar Bolivia, Brasil dan Peru. Tanaman kacang tanah
telah dibudidayakan sejak tahun 1500 sebelum masehi, terutama oleh orang Indian
di Amerika Selatan (Sumarno, 1986). Kacang tanah (Arachis hypogaea L.)

6
merupakan salah satu tanaman pangan yang memiliki sumber protein nabati yang
cukup penting di Indonesia. Tanaman kacang tanah juga menjadi perhatian bagi
para peneliti baik komposisi maupun kandungannya.
Menurut Rukmana (2007), taksonomi tanaman kacang tanah adalah:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Leguminoceae
Genus : Arachis
Species : Arachis hypogaea L.

2.1.2. Kulit Kacang Tanah


Kulit kacang tanah termasuk limbah biomassa yang dapat dimanfaatkan
sebagai adsorben. Pada dasarnya gugus aktif selulosa pada kulit kacang tanah ini
adalah gugus hidroksil dan karboksil. Jika dilakukan pengarangan yang
memerlukan suhu yang tinggi maka gugus aktif yang terdapat pada selulosa kulit
kacang tanah akan menguap sehingga tinggal atom karbon terletak pada setiap
sudutnya dan mengakibatkan tersedianya ruang-ruang dalam struktur arang kulit
kacang tanah yang memungkinkan adsorbat masuk ke dalamnya.
Kacang tanah terdiri atas kulit (hull) 21-29%, daging biji (kernel) 69-72.40%,
dan lembaga (germ) 3.10-3.60% (Ketaren, 1986). Selulosa mempunyai potensi
yang cukup besar dijadikan sebagai penyerap karena gugus -OH yang terikat pada
selulosa, apabila dipanaskan pada suhu tinggi maka selulosa akan kehilangan
jumlah atom-atom hidrogen dan oksigen, sehingga tinggal atom karbon yang terikat
membentuk struktur segienam dengan atom-atom karbon terletak pada setiap
sudutnya. Penataan yang cenderung kasar kemungkinan disebabkan reaksi
pelepasan atom hidrogen dan oksigen yang terjadi pada suhu tinggi (proses
karbonisasi). Hal ini berlangsung dengan cepat dan tidak terkendali sehingga
merusak penataan cincin segi enam yang ada (Nailil, 2011).

7
Kulit kacang tanah dapat digunakan sebagai bahan bakar, bahan pembenah
tanah, bahan campuran pembuatan papan hardboard. Berikut dapat dilihat
komposisi kimia kulit kacang tanah pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Komposisi kimia kulit kacang tanah
Komponen %
Air 9,5
Abu 3,6
Protein 8,4
Selulosa 63,5
Lignin 13,2
Lemak 1,8

Sumber: Kementerian Pertanian, 2015

2.2. Adsorben
Adsorben merupakan material yang melakukan penyerapan terhadap zat lain
(baik cairan maupun gas) pada proses adsorpsi. Pada dasarnya, suatu adsorben
harus memiliki pori-pori dan luas permukaan yang besar. Pori-pori yang dimiliki
oleh adsorben berperan sebagai tempat terjadinya proses adsorpsi karena
mengandung situs-situs aktif pada permukaannya. Menurut IUPAC (Internasional
Union of Pure and Applied Chemical), pori-pori adsorben dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: (Sembodo, 2012).
a. Mikropori : diameter < 2 μm
b. Mesopori : diameter 2 – 50 μm
c. Makropori : diameter > 50 μm

2.2.1. Arang
Arang adalah residu berwarna hitam hasil pembakaran pada keadaan tanpa
oksigen yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori, seperti kayu
atau bahan biomaterial lainnya. Sebagian pori-pori masih tetap tertutup dengan
hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain. Komponennya terdiri dari karbon terikat
( fixed carbon), abu, air, nitrogen dan sulfur (Komarayati, 2007).
Proses pengarangan ada 4 tahap (Sudrajat & Sholeh 1994 ), yaitu :

8
1. Pada suhu 100-120°C terjadi penguapan air dan sampai suhu 270°C mulai
terjadi penguapan selulosa. Destilat yang dihasilkan mengandung asam organik
dan sedikit metanol.
2. Pada suhu 270-310°C reaksi eksotermik berlangsung, terjadi penguraian
selulosa secara intensif menjadi larutan pirolignat, gas, kayu, dan sedikit tar.
Asam pirolignat merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti
asam cuka dan metanol, sedangkan gas kayu terdiri atas CO dan CO2.
3. Pada suhu 310-510°C terjadi penguraian lignin, dihasilkan lebih banyak ter,
sedangkan larutan pirolignat menurun, dan produksi gas CO2 menurun,
sedangkan gas CO, CH4, dan H2 meningkat.
4. Pada suhu 500-1000°C merupakan tahap pemurnian arang atau peningkatan
kadar karbon.

2.2.2. Arang Aktif


Arang aktif merupakan senyawa karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari
bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan
cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Selain bahan baku,
proses aktivasi juga merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan arang aktif.
Banyaknya adsorbat yang terserap pada permukaan adsorben dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu :
a. Konsentrasi Adsorbat
Semakin tinggi konsentrasi adsorbat, maka semakin cepat laju adsorpsinya.
Namun, pada kondisi tertentu akan menjadi stabil karena sudah mencapai titik
jenuh sehingga terjadi proses kesetimbangan.
b. Ukuran molekul adsorbat
Rongga tempat terjadinya adsorpsi dapat dicapai melalui ukuran yang sesuai,
sehingga molekul-molekul yang bisa diadsorpsi adalah molekul-molekul yang
berdiameter sama atau lebih kecil dari diameter pori adsorben (Zulfa, 2011).
c. pH
Peranan pH dalam proses adsorpsi yaitu mempengaruhi gugus-gugus
fungsional dari dinding biomassa yang berperan aktif dalam proses penyerapan

9
logam. Selain itu berpengaruh juga pada kelarutan dari ion logam dalam larutan
(Ni’mah & Ulfin, 2007).
d. Luas Permukaan
Semakin luas permukaan adsorben dengan jumlah pori yang banyak maka
jumlah adsorbat yang terserap akan semakin banyak pula karena tumbukan antara
partikel adsorbat dan adsorben meningkat, yang berarti jumlah molekul adsorbat
yang diserap oleh adsorben akan meningkat pula.
e. Waktu Kontak
Apabila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk
mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan
jumlah arang yang digunakan.
Menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) No.06-3730-1995,
arang aktif didefinisikan sebagai arang yang telah diaktifkan sehingga pori-porinya
terbuka dan dengan demikian daya serapnya tinggi terhadap zat warna, bau, dan zat
lainnya tentunya memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Syarat mutu arang aktif teknis berdasarkan SNI No.06-3730-1995
Persyaratan
No Uraian Satuan
Butiran Serbuk
1. Bagian yang hilang pada % Maks 15 Maks 25
pemanasan 950 ºC
2. Kadar air % Maks 4,4 Maks 15
3. Kadar abu % Maks 2,5 Maks 10
4. Daya serap I2 mg g-1 Min 750 Min 750
5. Daya serap terhadap biru mg g-1 Min 60 Min 120
metilen
6. Karbon aktif murni % Min 80 Min 65
7. Daya serap benzen % Min 25 -
8. Kerapatan jenis curah g mL-1 0,45-0,55 0,30-0,35
9. Lolos ukuran mesh 325 % - Min 90
10. Jarak mesh % 90 -
11. Kekerasan % 80 -
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
1995.

10
Perbedaan antara arang dengan arang aktif adalah pada bagian
permukaannya. Bagian permukaan arang aktif relatif terbebas dari deposit dan
permukaannya lebih luas serta bertambahnya volume pori-pori, sehingga dapat
melakukan penjerapan jauh lebih baik daripada arang. Kemampuan adsorpsi arang
aktif tidak hanya tergantung oleh luas permukaannya saja, melainkan juga struktur
dalam pori-pori arang aktif, karakteristik permukaan dan keberadaan gugus fungsi
pada permukaan pori (Harsanti, 2011).
Daya serap adalah peristiwa terjadinya perubahan kepekatan dari molekul, ion
atau atom antar permukaan dalam dua fasa (Pari et al., 2009). Hal ini terjadi bila
dua fasa saling bertemu, sehingga di antara kedua fasa tersebut terbentuk daerah
antar muka yang sifatnya berbeda dengan fasa ruah kedua fasa tersebut. Zat yang
terserap biasanya terkonsentrasi pada permukaan. Bahan yang yang terserap
dinamakan adsorbat (adsorbate), biasanya berupa cairan atau gas, sedangkan yang
menyerap disebut adsorben (adsorbent) (Faujiah, 2009). Pada penelitian yang
dilakukan Deng, et al. (2015), analisis morfologi struktur arang dan arang aktif kulit
kacang tanah ditunjukkan pada Gambar 2.2.

(a) (b)

Gambar 2.2. Morfologi: (a) arang dan (b) arang aktif kulit kacang tanah
(sumber: Deng et al., 2015)

Pada dasarnya, terdapat 3 (tiga) proses pembuatan arang aktif, yakni sebagai
berikut:
a. Pemilihan Bahan Dasar
Arang aktif bisa dibuat dari berbagai macam bahan, selama bahan tersebut
mengandung unsur karbon seperti batubara, tempurung kelapa, kayu, sekam padi,
tulang binatang, kulit biji kopi, dan lain-lain (Subadra et al., 2005).

11
b. Proses Karbonisasi
Proses karbonisasi terdiri dari empat tahap yaitu :
a. Pada suhu 100-270°C terjadi penguapan air dan mulai terjadi penguraian
selulosa.
b. Pada suhu 270-310°C terjadi reaksi eksotermik yang berlangsung dimana
peruraian selulosa secara intensif menjadi larutan pirolignat, gas kayu dan
sedikit tar.
c. Pada suhu 310-500°C terjadi penguraian lignin, dihasilkan lebih banyak tar
sedangkan larutan pirolignat menurun, gas CO2 menurun sedangkan gas CO
dan CH4 serta H2 meningkat.
d. Pada suhu 500-1000°C merupakan tahap dari pemurnian arang atau kadar
karbon.
c. Proses aktivasi
Proses aktivasi merupakan salah satu tahapan preparasi arang aktif untuk
menambah volume pori serta memperbesar diameter pori yang telah terbentuk pada
proses karbonisasi. Selain itu, proses aktivasi juga bertujuan untuk meningkatkan
daya adsorpsi pada arang aktif. Proses aktivasi penting dalam pembuatan karbon
aktif. Aktivasi karbon bertujuan untuk memperbesar dan menghilangkan pengotor
pada pori-pori karbon (Rahayu & Adhitiyawarman, 2014). Aktivasi dapat
dilakukan melalui dua metode yaitu aktivasi fisika dan aktivasi kimia. Pada aktivasi
fisika, karbon diaktivasi pada suhu yang cukup tinggi dengan menggunakan uap
atau gas seperti karbondioksida sebagai reagen aktivasi (Chang et al., 2000). Pada
aktivasi kimia, karbon diaktivasi melalui perendaman reagen bahan kimia sebelum
dipanaskan. Pada suhu tinggi bahan pengaktif akan masuk di antara sela-sela
lapisan heksagonal dan selanjutnya membuka permukaan yang tertutup (Lempang,
2014). Berbagai aktivator kimia telah digunakan dalam pembuatan karbon aktif dari
kulit kacang tanah, seperti seng klorida (He et al., 2013), dan natrium hidroksida
(Susanti, 2009).
Berdasarkan 2 (dua) jenis metode aktivasi tersebut, Suhendra et al. (2010)
mengemukakan bahwa metode aktivasi kimia memiliki beberapa keunggulan
tertentu dibandingkan dengan aktivasi fisika, diantaranya adalah:

12
1. Dalam proses aktivasi kimia, suhu yang digunakan umumnya lebih rendah
dibanding pada aktivasi fisika
2. Efek agen pengdehidrasi (dehydrating agent) pada aktivasi kimia dapat
memperbaiki struktur pori pada arang
3. Produk yang dihasilkan dalam aktivasi kimia lebih banyak dibandingkan dengan
aktivasi fisika

2.3. Adsorpsi
Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh suatu padatan terhadap
suatu zat yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau
molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap ke dalam (Atkins, 1999).
Adsorpsi dapat terjadi pada antarfasa padat-cair, padat-gas atau gas-cair. Molekul
yang terikat pada bagian antarmuka disebut adsorbat, sedangkan permukaan yang
menyerap molekul-molekul adsorbat disebut adsorben. Interaksi yang terjadi antara
adsorben dan adsorbat dalam adsorpsi hanya terjadi pada permukaan adsorben
(Pitriani, 2010).
Adsorpsi fisika ditandai dengan molekul-molekul yang teradsorpsi pada
permukaan adsorben dengan ikatan yang lemah. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya
intermolekuler lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik
yang relatif lemah antara adsorbat dan permukaan adsorben sehingga adsorbat
dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben.
Adsorpsi ini berlangsung cepat, dapat membentuk lapisan jamak (multilayer) dan
dapat bereaksi balik (reversible), sehingga molekul-molekul yang teradsorpsi
mudah dilepaskan kembali dengan cara menurunkan tekanan gas atau konsentrasi
zat terlarut (Apriliani, 2010).

2.4. Isoterm Adsorpsi


Isoterm adsorpsi adalah hubungan antara banyaknya zat yang akan teradsorpsi
per satuan berat adsorben dengan konsentrasi zat terlarut pada suhu tertentu.
Masing-masing penjerap (adsorben) memiliki model isoterm adsorpsi tersendiri.
Isoterm adsorpsi yang biasa telah digunakan adalah isoterm Langmuir dan
Freundlich. Penentuan model kesetimbangan ditentukan dari nilai R2 dengan harga
yang tinggi (Ollinovela, 2017).

13
Ada beberapa tipe isoterm adsorpsi yang dikembangkan untuk
mendeskripsikan interaksi antara adsorben dan adsorbat. Tipe yang umum
digunakan untuk menggambarkan fenomena adsorpsi padat-cair adalah tipe isoterm
adsorpsi Freundlich dan Langmuir.
a. Isoterm adsorpsi Freundlich
Isoterm adsorpsi Freundlich merupakan model isoterm adsorpsi yang paling
umum digunakan dan dapat mencirikan proses adsorpsi dengan lebih baik. Isoterm
adsorpsi Freundlich menggambarkan hubungan antara jumlah komponen yang
teradsorpsi per unit adsorben dan konsentrasi komponen tersebut pada
keseimbangan (Gambar 2.3). Isoterm tipe ini berasumsi bahwa pada semua sisi
permukaan adsorben akan terjadi proses adsorpsi, akan tetapi energi setiap
permukaan situs aktif tidak sama jumlahnya, sehingga dapat menyebabkan adsorpsi
terjadi berlapis-lapis (multilayer) (Jhonson, 2015). Persamaan isoterm adsorpsi
Freundlich dapat dituliskan dalam Persamaan 2.1 dan 2.2
Qe = Kf Ce1/n ................................................... (2.1)
1
log Qe = log Kf + 𝑛 log Ce ...................................... (2.2)

Keterangan:
Qe = jumlah zat terlarut (adsorbat) yang diserap per unit berat adsorben (mgg-1)
Kf = konstanta Freundlich (kapasitas adsorpsi)
n = ukuran intensitas adsorpsi
Ce = konsentrasi kesetimbangan pada larutan (mg L-1).

1.0
Log qe (mg g-1)

0.8
0.6
0.4 LSI A
0.2 LSI B

0.0
-0.5 0.0 0.5 1.0
-0.2
Log Ce (mg L-1)

Gambar 2.3. Contoh Kurva Isoterm Adsorpsi Freundlich adsorben dari Limbah
Sisik Ikan Lomak dengan 2 ukuran, LSI A (100<x<200 mesh) dan
LSI B (x≥200 mesh) terhadap ion Pb (II) (Hidayat, 2015).

14
b. Isoterm adsorpsi Langmuir
Isoterm Freundlich didasarkan atas terbentuknya terdapat lebih dari satu
lapisan permukaan (multilayer) dan situs-situs aktif pada permukaan adsorben
bersifat heterogen (Gultom & Lubis, 2014). Langmuir mengasumsikan bahwa pada
permukaan adsorben terdapat situs-situs aktif yang proporsional dengan luas
permukaan. Beberapa asumsi isoterm adsorpsi Langmuir, yaitu: (Atkins,1999).
a. adsorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer),
b. terbentuk karena adanya ikatan kimia, dan
c. semua situs dan permukaannya bersifat homogen
Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis
dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang
diadsorpsi pada permukaan adsorben dengan molekul-molekul zat yang tidak
teradsorpsi. Kurva isoterm adsorpsi Langmuir dapat dilihat pada Gambar 2.4. dan
persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat dituliskan dalam Persamaan 2.3
hingga 2.5.
Qm b Ce
Qe= ............................................................................ (2.3)
1+b Ce
Ce 1 Ce
= + ......................................................................... (2.4)
Qe Qm b Qm

Keterangan:
Qm = kapasitas adsorpsi satu lapisan (mg L-1) dan
𝑏 = konstanta yang terkait dengan energi adsorpsi (L g-1).

16
14
12
10
Ce/Qe

8
6
4
2
0
0 5 10 15 20 25
Ce

Gambar 2.4. Contoh Kurva Isoterm Adsorpsi Langmuir dari adsorpsi Rodamin
B pada gula tebu (Abou-gamra & Medien, 2013).

15
Konstanta yang terkait dengan energi adsorpsi (b) merupakan energi ikat
adsorbat dengan adsorben. Nilai b berbanding lurus dengan energi ikat antara
adsorbat dan adsorben, hal ini menunjukkan bahwa nilai b menyatakan kuatnya
ikatan adsorbat dan adsorben. Parameter keseimbangan yang disimbolkan dengan
RL merupakan karakteristik penting dari isoterm Langmuir. R L dapat ditentukan
dengan Persamaan 2.5. Jika RL>1, maka jenis isoterm menjadi tidak sesuai, bila
RL= 1, maka linear, dan jika (0 < RL<1), maka mengindikasikan kesesuaian dengan
jenis isoterm adsorpsi Langmuir (Almeida et al., 2009).
1
RL= (1+b.Co) ........................................................ (2.5)

Keterangan:
𝑏 = konstanta yang terkait dengan energi adsorpsi (Lg-1)
Co = konsentrasi awal metilen biru (mg L-1)
Jumlah metilen biru yang terjerap tiap massa adsorben pada kesetimbangan
dihitung menggunakan Persamaan 2.6.
(Co−Ce)
Qe = v ............................................................ (2.6)
m

keterangan:
Qe = jumlah metilen biru yang terjerap tiap massa adsorben pada kesetimbangan
(mg g-1)
Ce = konsentrasi kesetimbangan pada larutan (mg L-1)
v = volume adsorbat (mL)
m = jumlah adsorben lempung yang diambil untuk larutan (g)
Penyerapan metilen biru dalam fasa cair menggunakan adsorben bertujuan
untuk mengetahui kemampuan material dalam menyerap larutan berwarna dengan
menghitung kapasitas adsorpsi pada isoterm adsorpsi. Efisiensi adsorpsi
(% adsorpsi) dihitung menggunakan Persamaan 2.7.
(Co−Ce)
% adsorpsi = 𝑥 100% ....................................... (2.7)
Co

Keterangan:
Co = konsentrasi awal metilen biru (mg L-1)
Ce = konsentrasi metilen biru pada kesetimbangan (mg L-1)
Metode adsorpsi dengan menggunakan metilen biru memiliki beberapa
keuntungan dan kerugian. Keuntungan dari metode ini adalah murah dan

16
menggunakan peralatan yang sederhana, sedangkan kerugiannya adalah pelarut dan
metilen biru sama-sama menempati permukaan padatan (situs aktif) sehingga
penentuan luas permukaan menjadi kurang akurat (Ayu et al., 2011).

2.5. Metilen Biru


Metilen biru (MB) memiliki rumus molekul C16H18N3SCl.3H2O dengan berat
molekul 319,86 g mol-1. Gambar 2.5. menunjukkan rumus struktur metilen biru
yang merupakan pewarna kationik dengan sifat-sifat seperti tidak berbau, stabil
dalam udara, larut dalam air, alkohol dan kloroform (Kristina, 2017). Metilen biru
merupakan molekul terkonjugasi yang memiliki pasangan elektron π yang mudah
dieksitasikan ke orbital yang lebih tinggi. Suatu transisi dilambangkan dengan π-π*
bila sebuah elektron π ditingkatkan dari suatu orbital bonding ke suatu orbital
antibonding. Jenis konjugasi dihubungkan dengan sistem yang mengandung ikatan
yang berganti-ganti rangkap dan tunggal. Terjadinya resonansi pada sistem
terkonjugasi mencerminkan bahwa elektron dalam suatu sistem terkonjugasi
kurang kuat terikat daripada suatu sistem tak terkonjugasi (Underwood, 2002).
Metilen biru bersifat toksik, menyebabkan mutasi genetik dan berpengaruh
pada reproduksi. Senyawa ini memiliki rumus molekul C16H18ClN3S.3H2O dengan
bobot molekul 373,91 g/mol, berwarna hijau tua, tidak berbau dan stabil dalam
udara serta larut dalam air (larutannya berwarna biru tua), kloroform dan alkohol
(Riapanitra et al., 2006). Metilen biru biasanya dibuat dalam bentuk garam
kloridanya dengan rumus molekul (C16H18N3S)+ (Cl)-, sehingga mudah larut dalam
air. Terbentuknya C16H18N3S+ berpotensi untuk terikat pada gugus-gugus yang
bermuatan negatif dari suatu adsorben, sehingga peluang untuk proses adsorpsi baik
secara kimia maupun fisika dapat mungkin terjadi (Tammi et al., 2013).

H3C CH3
N S N+
Cl-
CH3 CH3
Gambar 2.5. Struktur metilen biru (sumber: Ollinovela, 2017)

17
Dewasa ini, metilen biru merupakan salah satu zat warna yang digunakan pada
industri tekstil. Metilen biru digunakan sekitar 5% dalam pewarnaan sedangkan
sisanya 95% akan dibuang ke badan air. Metode adsorpsi metilen biru saat ini
digunakan untuk mengukur luas permukaan adsorben pada larutan berair juga untuk
mempelajari model kesetimbangan adsorpsi serta kinetika adsorpsi. Metode ini
sudah digunakan secara luas untuk material adsorben seperti lempung, arang aktif,
dan silika (Ayu et al., 2011).
Metilen biru merupakan salah satu zat warna yang banyak digunakan pada
industri tekstil di Indonesia. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yaitu
Kep-51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair, konsentrasi maksimum
metilen biru yang diperbolehkan yaitu 5-10 mg/L (Hadayani et al., 2015).
Penentuan daya serap metilen biru bertujuan untuk mengidentifikasi kapasitas
adsorpsi arang aktif dalam menyerap molekul makropori yang bersifat polar
berdiameter 15-25 Å (Marsh & Fransisco, 2006). Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Achmad (2011), besarnya daya serap metilen biru berhubungan dengan
luas permukaan dan mengindikasikan besarnya diameter pori pada arang. Oleh
sebab itu, metilen biru sering dijadikan sebagai objek dalam penentuan luas
permukaan material arang. Selain itu, Chaidir et al. (2015) melaporkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi aktivator, maka kemampuan daya serap arang aktif
terhadap metilen biru akan semakin meningkat pula. Konsentrasi aktivator yang
semakin tinggi menyebabkan semakin banyak zat pengotor yang berupa zat organik
maupun anorganik melarut dan lepas dari permukaan pori arang aktif, sehingga
akan menyebabkan peningkatan pada daya serap arang aktif.
Larutan metilen biru yang memiliki warna dapat dianalisis secara kuantitatif
dengan menggunakan spektrofotometer untuk mengukur intensitas sinar yang
diserap oleh larutan. Sinar yang diserap dalam daerah ultraviolet dan daerah tampak
menyebabkan eksitasi elektron ikatan. Pengukuran serapan pada daerah ultraviolet
(190-380 nm) dan untuk cahaya tampak berkisar pada daerah (380-780 nm)
(Khopkar, 1990).

2.6. Spektrofotometri UV-Vis


Spektrofotometri UV-Vis (Ultraviolet-Visible) adalah teknik analisis
spektroskopi secara kualitatif maupun kuantitatif yang menggunakan sumber

18
radiasi elektromagnetik ultraviolet (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm)
dengan menggunakan instrumen spektrofotometer (Riskanita, 2012). Analisis
secara kualitatif didasarkan pada panjang gelombang yang ditunjukan oleh puncak
spektrum (190-780 nm), sedangkan analisis secara kuantitatif berdasarkan pada
penurunan intensitas cahaya yang diserap oleh suatu media. Intensitas ini sangat
bergantung pada tebal tipisnya media dan konsentrasi warna spesies yang ada pada
media tersebut (Fatimah et al., 2009).
Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi daerah UV-Vis karena
mengandung elektron, baik berpasangan maupun bebas, dapat dieksitasikan ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Cahaya yang diserap oleh suatu zat berbeda dengan
cahaya yang ditangkap oleh mata manusia. Cahaya yang tampak atau cahaya yang
dilihat dalam kehidupan sehari-hari disebut warna komplementer. Misalnya, suatu
zat akan berwarna oranye bila menyerap warna biru dari spektrum sinar tampak dan
suatu zat akan berwarna hitam bila menyerap semua warna yang terdapat pada
spektrum sinar tampak. Spektrum cahaya tampak dan warna-warna komplementer
yang sesuai tercantum dalam Tabel 2.5.
Tabel 2.4. Spektrum cahaya tampak dan warna-warna komplementer
Panjang Gelombang (nm) Warna Warna Komplementer
400-435 Violet Kuning-hijau
435-480 Biru Kuning
480-490 Hijau-biru Oranye
490-500 Biru-hijau Merah
500-560 Hijau Ungu
560-580 Kuning-hijau Violet
580-595 Kuning Biru
595-610 Oranye Hijau-biru
610-750 Merah Biru-hijau
Sumber: Underwood, 2002
Pada analisis menggunakan spektrofotometer sinar tampak berlaku hukum
Lambert-Beer. Hukum ini menyatakan bahwa: “Bila cahaya monokromatis
melewati medium tembus cahaya, intensitas berkurang dengan bertambahnya
ketebalan, berbanding lurus dengan intensitas cahaya”. Hukum Beer berlaku dalam
rentang konsentrasi ketika struktur ion berwarna ataupun non elektrolit berwarna

19
dalam keadaan terlarut tidak berubah dengan berubahnya konsentrasi yang ada
(Underwood, 2002). Syarat-syarat terpenuhinya hukum Lambert-Beer adalah
sebagai berikut:
1. Hukum Lambert-Beer sangat baik untuk larutan yang encer karena pada
konsentrasi tinggi (> 0,01 M), ada interaksi antar molekul dalam larutan
2. Zat pengabsorpsi tidak boleh terdisosiasi atau berinteraksi dengan pelarut
3. Hukum Lambert-Beer hanya berlaku untuk cahaya monokromatik
4. Kekeruhan larutan yang disebabkan oleh partikel-partikel koloid dapat
menyebabkan penyimpangan hukum Beer (Khopkar, 2002).
Banyaknya sinar yang diserap (I), sebanding dengan konsentrasi larutan
yang dilaluinya (I0), sedangkan konsentrasi sampel berbanding terbalik dengan
transmitan (T), hal ini bersesuaian dengan Persamaan 2.8.
I
T = ............................................................ (2.8)
Io

Transmitan sering dinyatakan sebagai persentase (%T). Absorbansi (A) suatu


larutan dapat dinyatakan dengan Persamaan 2.9.
I
A = - log T = log ............................................ (2.9)
Io

Berbeda dengan transmitan, absorbansi larutan bertambah dengan pengurangan


kekuatan sinar. Bila ketebalan benda atau konsentrasi materi yang dilewati cahaya
bertambah, maka cahaya akan lebih banyak diserap, jadi absorbansi berbanding
lurus dengan ketebalan b dan c. Hal ini dapat dinyatakan dalam Persamaan 2.10.

A = a.b.c atau A = .b.c ........................................ (2.10)

Keterangan : A = absorbansi
a = absorptivitas jika c = g L-1
b = panjang jalan sinar melewati sampel (cm)
c = konsentrasi (mol L-1 atau g L-1)
 = absortivitas molar jika c dalam mol L-1

2.7. SEM (Scanning Electron Microscopy)


Prinsip kerja SEM menyerupai dengan mikroskop optik, hanya saja berbeda
dalam perangkatnya. Pertama berkas elektron disejajarkan dan difokuskan oleh
magnet yang didesain khusus berfungsi sebagai lensa. Energi elektron biasanya 100

20
kV, yang menghasilkan panjang gelombang kira-kira 0,04 nm. Spesimen sasaran
sangat tipis agar berkas yang dihantarkan tidak diperlambat atau dihamburkan
terlalu banyak. Bayangan akhir diproyeksikan ke dalam layar pendar atau film.
Semua distorsi yang terjadi akibat oleh masalah pemfokusan dengan lensa magnetik
yang membatasi resolusi hingga sepersepuluh nanometer (Tipler, 1991).

Gambar 2.6 Skema dasar peralatan SEM (Smallman & Bishop, 2000).
Berdasarkan Gambar 2.6 dapat dilihat cara kerja dari SEM adalah
gelombang elektron yang dipancarkan electron gun terkondensasi di lensa
kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objektif. Scanning coil
yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar
elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan kemudian
dikumpulkan oleh detektor sekunder atau detektor backscatter. Gambar yang
dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray
Tube (CRT) sebagai topografi (Kroschwitz, 1990). Pada sistem ini berkas elektron
dikonsentrasikan pada spesimen, bayangannya diperbesar dengan lensa objektif
dan diproyeksikan pada layar.

2.8. FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)


Analisa gugus fungsi karbon aktif yang diperoleh dapat dianalisa dengan
metode Fourier Transform Infrared (FTIR), yaitu metode spektroskopi inframerah
yang dilengkapi dengan transformasi Fourier untuk analisis hasil spektrumnya.
Metode spektroskopi yang digunakan adalah metode absorpsi, yaitu metode

21
spektroskopi yang didasarkan atas perbedaan penyerapan radiasi inframerah. Sifat
adsorpsi karbon aktif tidak hanya ditentukan oleh ukuran pori-pori pada permukaan
karbon aktif, namun juga berupa gugus-gugus fungsi yang merupakan gugus aktif
pada karbon aktif (Kharimah & Sudibandriyo, 2013).
Ada 2 jenis instrumentasi untuk absorbsi inframerah, yaitu instrumentasi
dispersi (konvensional) yang hanya digunakan untuk analisis kualitatif dan
instrumentasi yang menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR). FTIR dapat
digunakan untuk analisis kuantitatif dan kualitatif. Menurut Kroschwitz (1990)
Salah satu hasil kemajuan instrumentasi IR adalah pemrosesan data seperti Fourier
Transform Infra Red (FTIR). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia,
seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan, perubahan
induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini padatan diuji dengan cara
merefleksikan sinar infra merah yang melalui tempat kristal sehingga terjadi kontak
dengan permukaan cuplikan. Degradasi atau induksi oleh oksidasi, panas, maupun
cahaya, dapat diikuti dengan cepat melalui infra merah. Sensitivitas FTIR adalah
80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi dispersi standar karena resolusinya lebih
tinggi (King et al., 2004).
Radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan, maka molekul-
molekulnya dapat menyerap (mengabsorpsi) energi dan terjadilah transisi di antara
tingkat vibrasi dasar (ground state) dan tingkat vibrasi tereksitasi (excited state).
Pengabsorbsian energi pada berbagai frekuensi dapat dideteksi oleh
spektrofotometri FTIR, yang memplot jumlah radiasi inframerah yang diteruskan
melalui cuplikan sebagai fungsi frekuensi radiasi. Plot tersebut disebut spektrum
inframerah yang akan memberikan informasi tentang gugus fungsional suatu
molekul. Spektrofotometri FTIR mempunyai sistem optik yang serupa dengan
spektrofotometri ultraviolet atau sinar tampak. Perbedaan utama terletak pada
sumber energi dan sel. Oleh karena sinar inframerah mempunyai energi lebih
rendah, maka tebal sel yang dipakai pada ini lebih tipis daripada untuk
spektrofotometri lainnya, misalnya 0,02 mm. Oleh karena tidak ada pelarut yang
sama sekali transparan terhadap sinar inframerah, maka cuplikan dapat diukur
sebagai padatan atau cairan murninya. Cuplikan padat digerus dalam mortar kecil

22
bersama kristal KBr kering dalam jumlah sedikit sekali (0,5-2 mg cuplikan +100
mg KBr kering) (Sunardi, 2001).
Daerah inframerah dibagi menjadi tiga yaitu inframerah dekat (14000-4000
cm-1), inframerah sedang (4000-400 cm-1) dan inframerah jauh (400-100 cm-1).
Daerah inframerah sedang berkaitan dengan transisi energi vibrasi dari molekul
yang memberikan informasi mengenai gugus-gugus fungsi dalam molekul tersebut
dan merupakan daerah optimum untuk penyerapan sinar IR bagi ikatan-ikatan
dalam senyawa organik. Fungsi utama dari spektrometri inframerah adalah
mengenal (elusidasi) struktur molekul, khususnya gugus fungsional seperti O-H,
C=O, C=C. serapan setiap tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-O, C-C, C=C
dan sebagainya) hanya dapat diperoleh dalam bagian-bagian kecil tertentu dari
daerah vibrasi inframerah.
Daftar gugus fungsi pada spektra IR dapat dilihat pada Tabel 2.5. berikut :
Tabel 2.5 Daftar gugus fungsi pada spektra IR
Bilangan gelombang (cm-1) Intensitas Jenis vibrasi
3500-3200 Lebar Uluran O-H
3500-3300 Lemah Uluran N-H amina
3000-2800 Kuat Uluran C-H alifatik
2500-2000 Lemah Uluran C=N alifatik nitril
1650-1550 Kuat Uluran C=O asam karboksilat
1600-1475 Sedang-lemah Uluran C=C aromatik
1465-1440 Sedang CH asimetris dari CH3
1450-1375 Sedang Tekukan C-H dari CH3
1390-1370 Sedang CH asimetris dari CH3
1320-1210 Kuat Uluran C-O dari asam karboksilat
1280-1180 Sedang Uluran C-N amina
1490-1150 Sedang Tekukan H-C-H
1310-1020 Lemah Uluran C-O-C dari eter
1290-1000 Sedang-lemah Tekukan C-H aromatik
770-650 Lemah Tekukan O-H
750-600 Sedang Tekukan N-H
850-500 Sedang Uluran C-C
455-450 Sedang-lemah Tekukan C-N-C amina sekunder
Sumber: Socrates, 1994

23

Anda mungkin juga menyukai