Anda di halaman 1dari 22

ETHICAL ISSUES IN THE NURSING CARE OF

ADOLESCENT

OLEH : KELOMPOK 1

JESMAN JHONNY SIRAIT


JUNITA MAULINA M
HERLINA MEILINA DAMAYANTI
TRI YANI SONOTO

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATANSINT CAROLUS
JAKARTA
2019
ETHICAL ISSUES IN THE NURSING CARE OF ADOLESCENT

A. TUJUAN
1. Membedakan hak dan nilai-nilai remaja dalam kaitannya dengan
dimensi fisiologis, psikologis, sosial, dan budaya.
2. Menentukan peran perawat sebagai advokat pasien remaja dalam
pelayanan kesehatan.
3. Mengembangkan peran perawat dan kontroversi dengan orangtua,
dan autonomy remaja
4. Memperkenalkan tugas dan tanggungjawab remaja terhadap diri
sendiri, keluarga dan masyarakat dan orang-orang yang saling
bergantung dalam model partnership family

B. PENDAHULUAN
Remaja adalah tahap perkembangan dari anak-anak menjadi
individu dewasa yang matang. Remaja berbeda dari anak-anak dalam
derajat otonomi yang mereka klaim dalam aktivitas. Beberapa segmen
kelas menengah dan atas dari masyarakat ini mendukung remaja dalam
ketergantungan yang lama pada orang tua. Remaja ini menjalankan hak
pengambilan keputusan serta hak untuk menerima perawatan. Hal ini
termasuk hak atas dukungan finansial, pendidikan, pakaian, rekreasi, dan
perawatan kesehatan. Namun demikian, penekanannya adalah pada
perbedaan remaja dari semua kelompok umur lainnya dalam hal pakaian,
komunikasi, musik, konsumsi narkoba dan alkohol, aktivitas seksual, gaya
hidup, dan nilai-nilai. Masalah budaya remaja adalah konflik antara
kemerdekaan yang mereka klaim dan ketergantungan mereka pada orang
tua dan bentuk-bentuk lain dari dukungan masyarakat atas nama hak.
Hak-hak ini termasuk kegiatan seperti kebebasan seksual. Masalah ini
menimbulkan banyak pertanyaan mengenai tanggung jawab orang tua
untuk masalah remaja seperti: aborsi untuk kehamilan yang tidak
diinginkan, kepatuhan terhadap tindakan kontrasepsi, dan perawatan medis
untuk penyakit menular seksual, termasuk AIDS. Dengan demikian,
masalah utama dari perawatan kesehatan remaja adalah sejauh mana
otonomi seorang remaja dalam kaitannya dengan tugas, tanggung jawab,
dan hak-hak orang tua.
Masalah terkait adalah sejauh mana hak-hak remaja dan kewajiban
masyarakat untuk melindungi dan memberikan hak-hak tersebut.
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Anak mencantumkan hak yang harus
disediakan oleh masyarakat dan orang tua. Terlepas dari niat baiknya,
deklarasi dapat dilihat sebagai doktrin Paternalistik atau doktrin utopis,
karena deklarasi menempatkan tanggung jawab mendasar anak pada orang
tuanya. Selain itu, ketentuan-ketentuannya dalam beberapa kasus
mungkin merupakan cita-cita yang sangat tidak diinginkan, tetapi tidak
praktis atau tidak layak. Ada anggapan yang meragukan di sini bahwa
remaja kurang memiliki minat sehingga mereka dengan lembut
memperhatikan minat dan nilai-nilai orang tua mereka, guru, dan orang
lain dalam otoritas. Argumen dapat dikemukakan bahwa remaja umumnya
kompeten untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri. Argumen
lain menunjukkan bahwa remaja masih belum matang dan belum
berpengalaman. Oleh karena itu, dalam masalah kesehatan yang penting,
kepedulian orangtua terhadap kepentingan terbaik anak-anak mereka
mungkin bertentangan langsung dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip moral,
dan otonomi remaja. Ini dapat menempatkan perawat ditengah – tengah
konflik yang dapat mereka rekonsiliasi atas nama dialog orangtua-anak
yang berkelanjutan mengenai hak, tugas, tanggung jawab, kepercayaan,
keadilan, dan nilai-nilai moral lainnya

C. REMAJA DAN PENURUNAN NILAI SOSIAL


Penurunan nilai-nilai sosial mempengaruhi remaja dalam hal-hal
yang negatif, yang bersifat menarik diri, bunuh diri, merasa tidak bernilai,
fanatik, seks bebas, penyalahgunaan narkoba serta merugikan diri dan
orang lain. Ini menggantikan rasa hormat untuk "kehidupan, kebebasan,
dan pengejaran kebahagiaan" kesopanan, tanggung jawab, tugas, dan
kewajiban. Kembalinya ke "keadaan alami" ini mengingatkan pada
ketakutan bahwa hidup adalah "pendek, jahat dan brutal " dengan tidak
adanya kontrak sosial yang dapat dilaksanakan.

Kasus 1 : AIDS mempengaruhi hubungan orangtua dan remaja


Seorang ibu yang positif HIV menceritakan kepada putra
remajanya bahwa dia adalah seorang yang menderita HIV positif. Ibunya
ingin anaknya mendengarakan dia, tapi anaknya sangat sulit untuk
mendengarkan ibunya, dia lebih memilih teman-temannya dibanding
ibunya, bahkan dia berkata “ mengapa saya mau mendengarkan mu, kamu
adalah seorang yang sedang sekarat dengan HIV”, itu benar-benar
menyakitkan ibunya (ibunya menerima perawatan yang terlantar karena
ketidakpedulian, mengalami penolakan dari orang terdekat dan
sekitarnya).
Perawatan tergantikan oleh ketidakpedulian dan penolakan. Para
peneliti di seluruh dunia menyadari kebutuhan yang mendesak akan obat-
obatan yang efektif dan vaksin, tetapi secara terbuka mengakui bahwa
penelitian ini jauh lebih rumit daripada yang diantisipasi dan bahwa AZT
atau ddlddC, atau sekarang d4t (Stavriedine) tidak memenuhi janji mereka
dalam secara efektif "mengobati infeksi HIV secara efektif .
Petugas kesehatan memberikan program pencegahan penyakit
secara khusus dengan cara mencegah penyakit menular seksual lainya,
seperti gonorrhea, syphillis, chancroid, dan HIV. Penggunaan kondom
merupakan alat yang efektif dalam pencegahan AIDS dan penyakit
menular seksual lainya. Pendistribusian kondom gratis kepada remaja
telah memicu kontroversi diantara orangtua, guru, tokoh agama serta
masyarakat umum. Tindakan ini menuai pro dan kontra khususnya pada
remaja dan sekolah dalam hal pengenalan seks edukasi. Ketersediaan
kondom dari program pendidikan sekolah untuk mengurangi AIDS,
kelompok ini keberatan dengan kurangnya persetujuan orangtua untuk
melarang remaja dari menerima kondom.
Pengadilan New York menyatakan bahwa kondom didistribusikan
“pendidikan kesehatan yang memerlukan persetujuan orangtua.
Pengadilan memutuskan bahwa program kondom tanpa izin orangtua
melanggar hak konstitusional orang tua. Pengadilan mengatakan bahwa
pendidikan sekolah tidak memiliki wewenang dalam hal tersebut.
Orangtua membentuk lingkungan dimana remaja diizinkan dan didorong
untuk menggunakan alat kontrasepsi yang bertentangan dengan keyakinan
orangtua. Pengadilan New York menjunjung tinggi model kepemilikan
keluarga.

Pembahasan Kelompok :

Menurut kelompok, kelompok tidak setuju dengan kebijakan


tersebut, karena kondom hanya digunakan bagi orang yang sudah
menikah. Selain itu, penggunaan kondom bagi orang yang belum menikah
menyalahi prinsip agama dan membatasi hak orang tua dalam membatasi
remaja aktif dalam aktivitas seksual. Peran parawat dalam masalah ini
adalah sebagai edukator yaitu memberikan sosialisasi dan edukasi bagi
masyarakat tentang HIV AIDS, aturan penggunaan kondom dll.

D. ISU ETIK PADA HIDUP DAN MATI REMAJA


Kasus 1: Hak remaja untuk menolak perawatan yang dapat
memperpanjang hidupnya.
Karen, 16 tahun, Katolik, anak kedua dari tujuh bersaudara,
dirawat di rumah sakit karena glomerulonefritis aktif dan kronis pada
tahun 1968. Ginjalnya diangkat setelah dua tahun perawatan yang intens
tetapi tidak berhasil. Transplantasi ginjal ayahnya sebelum dan sesudah
operasi menyebabkan dia mengalami “kedinginan, mual, muntah, sakit
kepala dan kelemahan yang parah.”
Evaluasi dan perawatan psikiatris diberikan kepada Karen dan
orang tuanya sebelum dan setelah transplantasi. Dua tahun kemudian jelas
bahwa ginjal yang ditransplantasikan tidak berfungsi. "Karen dan orang
tuanya menyatakan keinginan untuk menghentikan perawatan." Keputusan
ini tidak dapat diterima oleh staf medis. Psikiater dan pekerja sosial
mencoba bimbingan menuju kelanjutan perawatan medis. Keluarga setuju
untuk perawatan di rumah. Karen merasa terisolasi dan aktivitasnya
terbatas karena penyakitnya, dia merasa lelah dan tidak nyaman.
Dia kemudian dirawat di rumah sakit karena demam tinggi dan
pengangkatan transplantasi; shunt menjadi terinfeksi, membeku, dan
tertutup. Pada titik ini, Karen dan orang tuanya kembali menolak dialisis
dan revisi shunt. Staf itu marah dan frustrasi dan berpendapat bahwa ini
adalah keputusan yang tidak masuk akal, tidak bermoral, dan tidak pantas
untuk anak berusia 16 tahun. Karen membahas keputusan dengan pendeta
rumah sakit. Dia memutuskan bahwa neraka dan mungkin surga tidak
ada, tetapi bahwa "ketiadaan akan jauh lebih baik daripada penderitaan
yang akan terus berlanjut jika dia hidup." Konsultan psikiater anak
menemukan bahwa tidak ada masalah dengan keputusan Karen,
menurutnya itu sah-sah saja. Staf rumah sakit membuat hidup Karen
nyaman dengan memberikan bimbingan konseling jika sewaktu-waktu
Karen berubah pikiran. Tindakan alternatif untuk membawa kasus ini ke
pengadilan untuk memaksa perawatan atau membawa pulang Karen,
sebagai upaya menghindari pemikiran staf yang dianggap tindakan bunuh
diri. Seorang perawat yang mengunjungi Karen dan memaksanya untuk
menjalani perawatan lebih lanjut, tetapi Karen teguh pada keputusannya
dan dia memilih untuk pulang ke rumah dan mengucapkan terima kasih
pada semua staf. Karen juga memilih tempat pemakamannya di dekat
rumah agar merasa dekat dengan orangtuanya, orang tua Karen
mendukung keputusan itu. Sampai akhirnya Karen meninggal dengan
damai karena orangtuanya ada mendampinginya.

Pembahasan kelompok :

Pada kasus tersebut perawat berperan sebagai pemberi asuhan


keperawatan, yaitu memberikan layanan kesehatan yang terbaik. Peran
perawat sebagai sebagai advokat sudah membantu klien dan keluarga
untuk memutuskan tindakan selanjutnya serta memberikan informasi bagi
klien mengenai penyakitnya. Perawat juga sudah mengarahkan dan
merencanakan tindakan selanjutnya, namun perawat juga menjunjung
tinggi kode etik dalam pengambilan keputusan klien dan keluarga, dan
tetap menghargai hak dan keputusan yang diambil klien dan keluarga.

Kasus 2 : Hak remaja terhadap perawatan yang menyelamatkan


jiwanya.

Kasus Phillip Becker, usia 12, seorang penderita down sindrom


ringan. Dia membutuhkan operasi jantung, tetapi orang tuanya menolak
untuk menyetujui. Orang tua Phillip mengatakan di pengadilan bahwa
menurut pendapat mereka dia lebih baik mati daripada hidup. Mereka
menganut doktrin "kepentingan terbaik". Untungnya, orang tua asuh,
mengikuti George Will, datang untuk menyelamatkannya dan
memberikan operasi yang diperlukan untuk Phillip. Orang tua
menganggapnya "memalukan."

Contoh lain adalah remaja usia 13 hingga 18 tahun yang hidup


bergantung di bawah atap orangtua, mereka mencari tempat melakukan
aborsi tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tua mereka. Anak-anak
ini tidak memenuhi syarat untuk status anak di bawah umur yang
dibebaskan, karena mereka belum mandiri, atau menikah. Salah satu
pendirian moral adalah bahwa perawat harus melindungi privasi dan
kerahasiaan pasien muda ini dengan alasan hak remaja untuk tubuhnya
sendiri. Salah satu masalah adalah hak orang tua untuk diberi tahu tentang
masalah kesehatan dan memutuskan untuk anak yang belum dewasa.

Pembahasan kelompok :
UU Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dalam Pasal 9 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
hidup dan dipasal 42 mengatakan setiap warga negara yang berusia lanjut,
cacat fisik dan atau cacat mental memperoleh perawatan, pendidikan dan
pelatihan atas biaya negara. Oleh karena itu menurut kelompok tindakan
orang tua Philip tidak sesuai dengan Undang – Undang yang ada di
Indonesia. Kehidupan anak dibawah 18 tahun merupakan tanggung jawab
orang tua. Orang tua berkewajiban memelihara mendidik dan merawat
anaknya. ( Undang – Undang RI, no 74). Peran perawat sebagai advokat
sangat dibutuhkan dalam memberikan edukasi kepada orang tua tertutama
dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputasan harus
mempertimbangkan masalah etik.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan pengambilan keputusan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya. Pada kasus remaja usia 13 -18 tahun, kelompok
tidak setuju remaja tersebut melakukan aborsi.
Berdasarkan UU Kesehatan RI No. 36 Thn 2009, Pasal 75 bahwa setiap
orang dilarang melakukan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan indikasi
kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan aturan ini
diperkuat dengan Pasal 77 yang berisi pemerintah wajib melindungi dan
mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
mengenai tindakan aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pada kasus ini Peran perawat sangat diperlukan pendekatan kepada
anak remaja dan perlu konseling sehingga anak remaja tidak merasa
ketakutakutan, malu tetapi bertanggung jawab terhadap tindakanya dengan
belajar jujur kepada orang tua, karena usia sebelum 18 tahun masih
dibawah tanggung jawab orang tua. Perawat juga melakukan pendekatan
kepada orang tua supaya tidak menyalahkan anak tetapi merangkul anak
supaya anak jujur dan mau bertanggung jawab.
Pengambilan keputusan perawat senantiasa memperhatikan prinsip
veracity dimana perawat memiliki keberanian dalam mengatakan hal yang
benar. Ketika orang tua mengatakan bahwa mati lebih baik, maka perawat
sebagai advokat melakukan pendekatan kepada orang tua sehingga orang
tua bisa merubah keputusan kearah yang benar. Kelompok juga
memperhatikan prinsip hormat yaitu hormat terhadap hidup yang telah
diberikan Tuhan. Apapun kondisi kesehatan seseorang, semua orang
memiliki hak untuk hidup. Philip berhak untuk hidup. Hal tersebut dapat
dijadikan pertimbangan bagi orangtua untuk mengambil keputusan, begitu
juga bayi dalam kandungan, meskipun wanita tersebut belum cukup umur
atau belum menikah, namun janin dalam kandungan mempunya haki
untuk hidup.

E. ISU ETIK PADA KUALITAS KEHIDUPAN REMAJA


Meskipun masalah etik dalam perawatan kesehatan remaja tidak
semuanya melibatkan masalah hidup dan mati, mereka tetap serius dengan
hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Kasus 1: Penolakan orangtua terhadap tindakan pembedahan
terhadap anaknya dengan dasar keyakinan agama.
Martin Siefert (14 tahun) memiliki celah langit-langit dan bibir
sumbing dan membutuhkan pembedahan, menurut medis akan dilakukan
pembedahan kepada Martin namun orangtuanya menolak untuk dilakukan
pembedahan kepada anaknya. Ayah Martin menganggap bahwa bibir
sumbing dan celah langit-langit yang dialami anaknya akan sembuh secara
alami sehingga mereka menolak dilakukan operasi untuk memperbaiki
bibir sumbingnya. Martin setuju dengan ayahnya, begitu juga dengan
pengadilan dengan alasan bahwa ia belum cukup umur untuk
memberikan atau menahan persetujuan untuk operasi. Martin akibatnya
cacat sebagai seorang remaja dan akan membutuhkan bantuan fisik dan
emosional jika ia ingin berkembang.
Dalam hubungan tiga arah, orang tua, anak-anak, dan negara tidak
selalu setuju, seperti yang digambarkan oleh kasus ini. Penolakan seorang
remaja berusia 14 tahun terhadap perawatan untuk operasi kosmetik yang
diinginkan didukung oleh pengadilan.

Pembahasan kelompok :

Menurut Konsil kedokteran Indonesia (2006), Persetujuan tindakan


medis diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia,
maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau
lebih atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16
tahun atau lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan
tindakan kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka
dapat menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan
hukum yang mendasarinya adalah : Mereka yang telah berusia 16 tahun
tetapi belum 18 tahun memang masih tergolong anak menurut hukum,
namun dengan menghargai hak individu untuk berpendapat sebagaimana
juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
maka mereka dapat diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat
memberikan persetujuan tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang
tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan
kompetensinya dalam menerima informasi dan membuat keputusan
dengan bebas. Selain itu, persetujuan atau penolakan mereka dapat
dibatalkan oleh orang tua atau wali atau penetapan pengadilan.

Perawat merupakan seseoarang yang telah lulus pendidikan


perawat dan memiliki kemampuan serta kewenangan melakukan tindakan
kerpawatan berdasarkan bidang keilmuan yang dimiliki dan memberikan
pelayanan kesehatan secara holistic dan professional untuk individu sehat
maupun sakit, perawat berkewajiban memenuhi kebutuhan pasien meliputi
bio-psiko-sosio dan spiritual. (Asmadi, 2005). Peran perawat dan
pelayanan kesehatan lain memberikan edukasi atau penjelasan kepada
klien dan keluarga dalam hal ini termasuk dalam pengambilan keputusan
tentang tindakan yang akan dilakukan, resiko yang mungkin terjadi,
alternative tindakan lain, resiko jika tidak dilakukan tindakan.
Usaha perawat menjadi sia-sia bila klien dan keluarga tidak
mengerti, tidak menerima atau menolak atas asuhan keperawatan,
karenanya jangan sampai muncul klien tergantung pada perawat/tim
kesehatan. Tetapi kita berupaya klien dan keluarga paham tentang
tindakan yang akan dilakukan.
Faktor lain yang bertentangan dengan kasus adalah sudut pandang
berdasarkan keyakinan/agama, akan tetapi dalam setiap agama apapun
membenarkan tindakan untuk menolong dan mengobati sesama manusia
baik berbeda budaya, suku, ras dan ekonomi. Perawat dapat melakukan
beberapa hal yang dapat membantu kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan klien, diantaranya : menciptakan rasa kekeluargaan dengan
klien, berusaha mengerti maksud klien, berusaha untuk selalu peka
terhadap ekspresi non verbal, berusaha mendorong klien untuk
mengekspresikan perasaannya, berusaha mengenal dan menghargai klien.
Namun setelah penjelasan serta keluarga memahami apa yang
dijelaskan termasuk tindakan yang akan dilakukan, resiko yang mungkin
terjadi, alternative tindakan lain, resiko jika menolak tindakan dan
keluarga tetap pada keputusannya untuk tetap tidak melakukan tindakan
atau menolak tindakan yang disarankan maka kita sebagai pelayan
kesehatan menghargai keputusan tersebut. Hal ini sesuai dengan Hak
pasien dan keluarga yang ada di Undang undang no 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit.

Kasus 2: orangtua yang menolak tindakan yang mendukung tindakan


operasi anaknya.
Seorang anak laki-laki berumur 14 tahun akan dilakukan pembedahan
pada leher dan wajah agar bisa menjalani kehidupannya secara normal.
Ibunya tidak keberatan dengan pembedahan, tetapi dia adalah seorang
beragama saksi Yehua dan dia menolak untuk menyetujui transfusi darah.
Dokter tidak berani melakukan operasi kecuali pasiennya bisa ditransfusi.
Pembahasan kelompok :
Pendapat kelompok masalah diatas merupakan suatu dilema etik,
sama seperti pada kasus pertama, dimana penolakan tindakan dilakukan
karena adanya keyakinan agama. Secara medis anak laki laki ini harus
dilakukan transfusi darah agar operasinya berjalan baik dan hasilnya pun
nanti menjadi baik atau meminimalkan masalah yang mungkin terjadi
setelah operasinya, namun di sisi lain hal ini bertentangan dengan
keyakinan agama pasien, dimana transfusi darah dilarang pada agama
saksi Yehua. Sebagai perawat kita harus memahami dan berperan penting
disini, perawat memunculkan nilai caring dan melakukan prinsip etik,
yaitu :
1. Prinsip otonomi: hak pasien dalam mengambil keputusan sendiri,
sehingga apapun yang menjadi keputusan pasien atau bila pasien
tersebut seorang anak, berarti keputusan ada di orang tua pasien.
Sehingga pihak RS atau tim medis tidak boleh memaksakan atau
melanggar prinsisp otonomi.
2. Prinsip beneficience: kewajiban team medis melakukan hal yang
baik dan tidak membahayakan orang lain. Dalam hal ini team
medis mengalami dilema etik, sehingga dalam mengambil tindakan
memerlukan suatu tahapan komunikasi yang jelas, memberikan
penjelasan yang lengkap suatu proses program medis pasien ini
yaitu: mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan, serta di dokumentasikan secara tertulis
yang ditandatanggani oleh pihak keluarga dimana dalam kasus ini
adalah orang tua dalam memberikan persetujuan dan pihak RS. Di
Indonesia hal ini sudah diatur dalam Undang – Undang no 44
tahun 2009. Dimana pasien dan keluarga mempunyai hak untuk
menolak dilakukan tindakan yang akan dilakukan.
Disini pentingnya peran perawat sebagai edukator. Sehingga hal ini
dapat menjadi pertimbangan dari keluarga untuk mempertimbangkan
keputusan yang diambil selanjutnya.

Kasus 3 : orangtua yang menolak tindakan tonsilektomi terhadap


anaknya.
Empat remaja dipindahkan dari rumah mereka atas perintah
pengadilan dengan alasan pengabaian fisik dan pelecehan anak.. Ayah
mereka menolak tindakan tonsilektomi atas dasar agama tetapi
keberatannya ditolak oleh pengadilan. Terdapat hubungan triangular
antara hak remaja, otoritas orangtua dan kekuatan hukum pengadilan
dalam mengambil keputusan untuk operasi.
Pembahasan kasus :
Pada kasus diatas keputusan untuk dilakukannya operasi pada remaja
tersebut menjadi keputusan orang tua. Akan tetapi jika orang tuanya
melangar hukum dimana selalu melakukan kekerasan pada anaknya dan
menyebabkan cacat fisik pada anaknya, maka hak orang tua terhadap anak
tersebut dapat dicabut oleh pengadilan atau hukum sehingga keputusan
segala tindakan atau hal terkait pada remaja ini akan jatuh pada wali yang
ditunjuk oleh pengadilan (pasal 47 : UU no 1/1974), karena memang
sangat erat hubungannya antara remaja, oriritas orang tua dan kekuatan
hukum pengadilan dalam mengambil keputusan operasi remaja tersebut.
Peran perawat sebagai perawat advokat sangat penting. Kita mengkaji
sejauh mana otoritas orang tua dalan mengambil keputusan dan hal
tersebut kita dapatkan dari keluarga terdekat pasien. Hal ini sangat sensitif
sehingga butuh pendekatan dan menjalin rasa percaya yang baik pada
pasien atau keluarga pasien, sehingga kita dapat menerapkan prinsip etik :
1. Prinsip kerahasiaan yaitu kepercayaan pasien terhadap perawat,
gunakan komunikasi terapeutik dalam mengali hak otoritas orang tua
dalam menentukan keputusan pada remaja ini, apakah ada masalah
secara hukum atau tidak, sehingga yang memiliki hak otoritas tersebut
adalah orang tua atau wali yang dipercayakan oleh hukum atau
pengadilan.
2. Prinsip otonomi yaitu keputusan orang tua yang masih memiliki hak
otoritas terhadapa anaknya harus tetap dihormati apapun
keputusannya. Peran perawat dan team medis lainnya harus tetap
memberikan penjelasan kepada keluarga tentang tindakan yang akan
dilakukan, alternative tindakan, resiko yang mungkin terjadi jika
dilakukan operasi maupun jika tidak dilakukan operasi sehingga
menjadi pertimbangan keluarga dalam mengambil keputusan apakah
menolak atau menyetujui tindakan tonsilektomi tersebut.
F. PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN REMAJA
Bekerja dengan remaja sangat menantang. Remaja cenderung
bergeser antara kemandirian yang ditentukan dan pelaksanaan otonomi
dan pengakuan yang tertunda bahwa situasinya penuh dengan masalah dan
kemungkinan bahaya. Fase perkembangan ini ditandai dengan gagasan
kemahakuasaan. Nilai tinggi ditempatkan pada penerimaan oleh rekan-
rekan dengan eksperimen perilaku dan peran sebagai konsekuensi dalam
kelompok sebaya. Dengan demikian, remaja dapat bereksperimen dengan
narkoba dan aktivitas seksual dan kriminal sebagai tanggapan terhadap
tekanan teman sebaya. Sangat sulit bagi sebagian besar remaja untuk
terpisah dari nilai-nilai kelompok sebaya yang dengannya mereka
mengidentifikasi. Penerimaan nilai-nilai teman sebaya, seperti
penghargaan positif untuk aktivitas seksual yang mengakibatkan
kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual atau AIDS, dapat, misalnya,
menjadi sumber konflik yang cukup besar antara remaja dan orang tua.
Perawat dapat terperangkap di antara amarah dan tugas orang tua dan
sikap defensif dan kerentanan remaja

Remaja akan mencari perawat untuk melakukan aborsi, namun perawat


membantu mereka untuk mengidentifikasi dan memberi pemahaman serta
mencari tahu permasalahan yang dialami dalam keluarganya dengan
harapan bisa dibina. Namun alasan yang sering diungkapkan kenapa bisa
terjadi pada remaja adalah karena pelecehan seksual, takut hamil dan
hukuman dalam keluarga yang melarang aktivitas seksual pranikah.
1. Perawat sebagai advokat pasien, menjunjung kode etik untuk
membantu mengambil keputusan remaja dengan menjelaskana
bahaya dari aborsi dan dampak dari tindakan aborsi. Hak pasien
untuk menolak dan menerima pengobatan.
2. Advokasi kedua bagi perawat untuk merujuk remaja yang aktif
aktivitas seksual ke unit keluarga berencana atau dokter untuk
kontrasepsi atau konseling individu. Tindakan ini bertujuan untuk
memberikan nasihat, mendidik dan membimbing remaja, untuk
mengontrol kehamilan dan kesehatan secara umum
3. Advokasi tingkat ketiga adalah naik banding ke pengadilan.
Departemen Kesehatan dan Sumber Daya Manusia memiliki
peraturan yang mewajibkan semua proyek keluarga berencana
menerima dana federal. menyediakan "layanan tanpa
mempedulikan agama, kepercayaan, usia, jenis kelamin, paritas,
atau status perkawinan.". Seorang anak berusia 15 tahun yang
keluarganya menerima Bantuan untuk Keluarga dengan Anak-anak
Tanggungan menggugat Planned Parenthood Association of Utah
untuk menyangkal alat kontrasepsi tanpa izin orang tua. Untuk
menghilangkan kontrasepsi pada remaja dari lembaga yang
menerima bantuan federal karena itu tidak konstitusional.
Pengadilan selanjutnya memutuskan bahwa persyaratan untuk
mendapatkan izin orang tua adalah pelanggaran terhadap hak
privasi anak di bawah umur. Oleh karena itu, peraturan federal
harus ditegakkan.
Remaja yang hamil mungkin takut akan hukuman dan penolakan
dari keluarga yang melarang aktivitas seksual pranikah. Perawat sebagai
advokat pasien bertugas memberikan informasi yang relevan untuk
membuat penilaian yang tepat dalam pengambilan keputusan bagi pasien
dalam hal ini mengarahkan remaja untuk melibatkan orang tua dalam
mengambil keputusan, menjelaskan prosedur, menjelaskan hak dan
kewajiban pasien.

G. PERTIMBANGAN ETIK PADA HUBUNGAN ANTAR REMAJA,


PERAWAT, DAN ORANGTUA
Fakta yang kita lihat bahwa kehidupan sosial dengan oranglain
memiliki peran penting dalam perkembangan remaja. Kehidupan
bersosialisasi berharga menurut seorang remaja untuk diakuai bukan hanya
hak tetapi juga tanggungjawab yang sesuai dengan usianya untuk
melakukan kebaikan atau membahayakan diri dan oranglain. Pendididikan
moral seorang remaja mencakup titik bahwa kehidupan sosial harus
mengenal seorang dengan yang lain. Hubungan manusia timbal balik
saling memberi dan salaing menerima, pengakuan bersama atas hak dan
tanggungjawab.
Ini berarti bahwa untuk memiliki hak, harus mempunyai kapasaitas
dan tanggungjawab yang sesuai, misalnya mengemudi mobil bisa
dilakukan oleh remaja dengan aman, tugas orangtua adalah mengingatkan
untuk berhati-hati dan tidak mengkonsumsi alkohol atau menggunakan
obat-obatan saat mengemudi. Batasan/aturan yang diberikan pada
orangtua juga sama halnya atau berlaku pada orang dewasa. Dengan
demikian, kendala serupa mungkin terdapat dalam mengatur aktivitas
seksual. Remaja sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memiliki
tanggungjawab seperti orang dewasa seperti melahirkan dan membesarkan
anak, tidak bebas untuk terlibat dalam aktivitas seksual tanpa batasan yang
sesuai seperti penggunaan kondom yang tepat.

Prinsip yang mengatur dalam menentukan hak dan tanggung jawab


remaja adalah apakah hak dan tanggung jawab tersebut kondusif untuk
menjalani kehidupan yang bermanfaat secara sosial. Cita-cita ini
mengesampingkan perilaku yang merusak secara sosial seperti seks yang
tidak aman, mengemudi yang tidak aman, eksperimen narkoba,
vandalisme, kekerasan, dan kurangnya kepedulian terhadap orang lain.
Intinya adalah bahwa seseorang tidak ingin remaja menjadi orang yang
benar-benar liar, seperti yang digambarkan dalam Lord of the Flies karya
William Golding. Ketika kapal karam di pulau terpencil, anak-anak ini
menjadi kanibal. Perilaku seperti itu tidak bisa diterima dan sangat
diharapkan peran dari perawat serta bekerjasama dengan tenaga
professional kesehatan lainnya yaitu:
1. Perawat sebagai pendidik kesehatan dan terapis dalam memperkuat
nilai-nilai sosial yang positif.
2. Perawat mendukung nilai-nilai yang membantu individu remaja
menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab dan
terhormat.
3. Perawat membantu remaja belajar untuk berkontribusi dan
mengarahkan serta memfasilitasi remaja agar memiliki makna
dalam masyarakat, yang paling penting adalah perawat meberikan
motivasi agar remaja bisa hidup dan bertumbuh secara sehat, baik
secara fisik, sosial maupun secara psikologi.

Kehidupan yang berharga secara sosial juga menuntut pengakuan dan


pelatihan yang tepat dalam standar dan keterampilan penilaian intelektual
berkelanjutan. Penilaian seperti itu membutuhkan pemahaman umum tentang
metode dan hasil dari disiplin kognitif dengan pertimbangan yang sesuai dan
terbiasa dengan aturan bukti dalam ilmu. Relevansi dengan etika adalah bahwa
kebaikan atau kejahatan sangat besar datang dengan mempertimbangkan atau
mengabaikan aturan pembuktian.

H. PERBEDAAN BIOLOGIS, BIOGRAFI, SOSIAL DAN KOGNITIF


PADA PENERAPANNYA DI REMAJA

Perbedaan biologis / biografis / sosial / kognitif (dibahas dalam


Bab 10) menimbulkan pertanyaan tentang kualitas kehidupan beberapa
remaja sebagai individu jika mereka telah koma sejak lama. Pertanyaan-
pertanyaan semacam itu diajukan dengan alasan bahwa mereka tidak
memiliki kehidupan biografis, kehidupan dengan kegiatan yang penuh
kesadaran. Perbedaan-perbedaan ini juga meningkatkan pertanyaan
tentang orang macam apa mereka jika mereka memiliki cacat fisik,
intelektual, sosial, atau psikologis yang ekstrem, seperti kecanduan zat
atau perilaku kriminal atau sosial. Perbedaan biografis dan sosial ini juga
mendukung hak remaja untuk mengakhiri kehamilan kelimanya dengan
alasan bahwa ia tidak mungkin memberikan kehidupan manusia yang
berharga bagi anak lain.
Perbedaan biografis / sosial / kognitif juga mengatur terhadap
penolakan guru biologi untuk membedah hewan selama studi. Perbedaan
sosial / kognitif secara rasional diperhitungkan terhadap penolakan
perawat untuk berpartisipasi dalam perbaikan bedah langit-langit mulut
anak laki-laki atau dalam aborsi yang ditunjukkan oleh pertimbangan
sosial dan kognitif. Implikasinya, persyaratan kognitif, respons dan
keakraban dengan metode dan hasil ilmiah, memberikan alasan terhadap
rekomendasi perawat Laetrile atau faitlh healing. Sebagai alternatif yang
rasional untuk tindakan perawatan kesehatan yang dapat diverifikasi secara
ilmiah. Perbedaan biologis / biografis / sosial / kognitif juga mengatur
terhadap perilaku sosiopat dan fanatik yang membunuh dan melukai orang
lain atau yang percaya bahwa Holocaust tidak pernah terjadi. Remaja ini
mengesampingkan diri mereka sendiri dari pucat wacana moral. Remaja
seperti itu (juga orang dewasa) bahkan dapat dianggap sebagai pribadi,
tetapi bukan sebagai orang yang sangat baik.

Beberapa orang bertanya: "Siapa yang memutuskan?" atau, "Siapa


yang akan memiliki wewenang yang dapat dibenarkan untuk memutuskan
apakah kehidupan seorang remaja tidak lagi layak dipertahankan?" Satu
langkah dalam filsafat terdiri dari pengulangan pertanyaan untuk
ditanyakan: "Kriteria apa yang menarik orang rasional dalam memutuskan
masalah perawat-remaja-orang tua?" atau "Apa yang dianggap sebagai
alasan atau bukti?" Dalam beberapa jenis kasus, seperti masalah
penyembuhan iman, banding ke bukti ilmiah hampir sama karena
berfungsi; dan alasan kerjanya adalah karena memiliki nilai kebenaran
yang kurang dimiliki oleh penyembuhan iman.

Dalam kasus-kasus lain, seperti menyelamatkan nyawa seorang


Saksi Yehuwa dengan memberikan darah yang dibutuhkan, satu
permohonan yang efektif dan bijaksana adalah pada konvensional atau
"moralitas bersama." Meskipun benar bahwa moralitas bersama bukanlah
keseluruhan moralitas, itu benar-benar ditujukan pada sentimen moral dan
kebajikan umum, seperti kejujuran, kasih sayang, kemurahan hati,
kebijaksanaan, keberanian, dan kebahagiaan, dan untuk kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia.
Melakukan etika keperawatan berarti merefleksikan prinsip-prinsip
ini dan menggunakan alasan formal, induktif, dan dialektis. Seiring
dengan proses ini, seseorang menggunakan intuisi moral untuk memilih
prinsip dan praktik daripada prinsip yang bersaing. Dari kasus Kenneth
Darling, seorang remaja, yang melukai kakinya dalam pertandingan sepak
bola dan yang kakinya harus diamputasi (rumah sakit, dokter, dan seorang
perawat dinyatakan bersalah karena kelalaian), orang mengetahui bahwa
seorang perawat adalah perawat. dihargai karena kecerdasannya yang
terlatih, kepedulian, dan pengamatan yang terampil. Jenis kasus ini,
bersama dengan kasus "penyembuhan iman" dan kasus Chad Green,
menambah kekuatan moral pada prinsip Platonis bahwa "pengetahuan
adalah suatu kebajikan." Sementara pengetahuan tentang teori-teori etika
dan prinsip-prinsip serta praktik-praktiknya tidak menghasilkan kepastian,
penggunaan argumen beralasan yang berkelanjutan atas nama beberapa
teori etika dan melawan saingan mereka membawa kekuatan moral yang
kuat menggerakkan praktik.

Perbedaan yang dibuat sebelumnya antara berbagai model


perawatan kesehatan ( dalam Bab 2) oleh Szasz dan Hollander berlaku
untuk masalah pengekangan kecuali kebebasan bayi, anak-anak, dan
remaja. Model pertama mereka, aktivitas-kepasifan, menyatakan bahwa
seorang profesional kesehatan aktif dan pasien pasif. Model kedua
mereka, "kerja sama bimbingan," melibatkan pemandu profesional
kesehatan tetapi tidak secara eksklusif mengarahkan atau memaksa pasien.
Model ketiga mereka, "partisipasi bersama," membuat profesional
kesehatan dan pasien menjadi mitra yang setara dalam upaya mencapai
kesehatan.

Ketika anak-anak tumbuh menjadi remaja, model kerja sama


bimbingan semakin berlaku. Remaja muda perlu belajar bagaimana cara
meningkatkan tingkat kemandirian dan kemandirian yang meningkat.
Orang dewasa termasuk perawat, akan dianalogikan dengan guru
pendidikan pengemudi yang duduk di sebelah siswa dan membimbing
kegiatan mengemudi siswa. Model-model ini sesuai dengan model
keanggotaan. Model ketiga, partisipasi timbal balik, seperti halnya
kemitraan, adalah tujuan yang dicari dalam masyarakat demokratis,
masyarakat yang hampir setara. Tujuan ini memandu dan mengarahkan
remaja dalam perjalanannya menuju dan sampai dewasa. untuk
Kepemilikan kita, Keanggotaan Klub dan Bagian-

I. KESIMPULAN

Masalah moral utama dalam setiap rentang perkembangan, masa


kanak-kanak, dan remaja - berbeda dalam beberapa aspek. Remaja di
seluruh fase pertumbuhan, mereka adalah orang yang menghargai diri
sendiri; mereka belajar untuk menghormati orang lain; dan mereka hidup
dengan berbagi kehidupan sosial. Dengan demikian, anak muda adalah
manusia yang saling bergantung. Orang dewasa, dan perawat sebagai
pendidik kesehatan, yang membesarkan seorang anak hanya untuk
memikirkan dirinya sendiri mengabaikan pertimbangan realitas krusial
yang mengatur kehidupan sosial. Misalnya, remaja yang mengendarai
teman mereka dengan kecepatan tinggi merupakan ancaman bagi
keselamatan mereka. Peran perawat sebagai pendidik kesehatan adalah
untuk mengajar anak-anak dan remaja perilaku kesehatan yang tepat. Ada
aturan-aturan lain kehidupan sosial di mana perkembangan seseorang
diarahkan tidak hanya pada kemandirian tetapi pada saling
ketergantungan. Aturan-aturan ini menasihati seorang anak untuk makan
sarapan bergizi, untuk memiliki kegiatan fisik, intelektual, budaya, dan
emosional yang sehat, untuk menghindari penyalahgunaan narkoba dan
alkohol, aktivitas seksual prematur dan tidak aman, kejahatan, dan
kekerasan.
Perkembangan orang dengan hak dan kebalikan ikatan
pertanggungjawaban merupakan tujuan yang berlaku sejak lahir sampai
mati dan tidak berbeda dari bayi hingga masa kanak-kanak dan remaja.
Seperti yang dikatakan Harry Stack Sullivan, psikiater Amerika
terkemuka, "Setiap orang jauh lebih manusiawi daripada yang lain."

Perbedaan moral dalam tiga fase pertumbuhan yang mereka


pusatkan adalah ketergantungan pada masa kanak-kanak, perkembangan
kemandirian pada masa kanak-kanak, dan mengembangkan saling
ketergantungan dalam masa remaja. Setiap fase membawa masalah
moral, beberapa di antaranya tidak memiliki jawaban yang sepenuhnya
memuaskan, seperti dalam upaya untuk memutuskan apakah akan
menyelamatkan bayi, anak, atau remaja dengan sedikit atau sedikit
prospek untuk menjalani kehidupan manusia yang utuh. dibesarkan
menjadi tidak hanya tanggungan atau independen, tetapi banyak, tetapi
masalah moral adalah yang paling sulit di pinggiran. Inti dari moralitas
cukup mapan. Orang tua asuh Phillip secara moral benar untuk menuntut
pembedahan jantungnya. Karen tidak salah memilih mati. Martin Sterth
benar-benar salah.
Dalam peran perawat sebagai pendidik kesehatan, advokasi
pasien, agen realitas, dan terapi, perawat itu tidak sendirian, karena
sebagian dari masyarakat, yang umumnya melakukan kebaikan demi
kesejahteraan semua orang. , sekutu sekutu dan sumber daya yang
banyak untuk meminta bantuan sementara mengkopi dan menemukan
hambatan nyata dan hambatan remaja
REFERENSI
Asmadi. 2005. Konsep Dasar keperawatan. Jakarta: EGC
Hockenberry,. Wilson. (2007). Wong’s Nursing Care Of Infants And Children.
Volume 1. Edisi 8. USA : Mosby Elsevier.

Komnas Ham. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999


Tentang Hak Asasi Manusia. Di peroleh dari
https://www.komnasham.go.id. 30 September 2019

Kementerian Agama. (1974). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I tahun


1974 Tentang Perkawinan, Diperolah. https://kemenag.go.id. 16
September 2019

Konsil kedokteran Indonesia. Manual persetujuan Tindakan Kedokteran . 2006.


Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.

Peraturan Aborsi di Indonesia. Dikutip dari


http://masalahkehamilan.com/peraturan-aborsi-indonesia/16 September
2019

Undang – Undang N0 36. Tahun 2009 . Dikutip dari


http://sireka.pom.go.id/requirement/UU-36-2009-Kesehatan.pdf .

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah


Sakit. Dikutib dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/peraturan/UU

Anda mungkin juga menyukai