Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan globalisasi di negara berkembang seperti Indonesia ini
mengharuskan masyarakatnya ikut berubah secara revolusioner. Apabila kita melihat
di negara ini, muncul kelas menengah yang ditandai dengan tingkat konsumsinya
karena kelas menengah biasanya menampilkan sesuatu yang berbeda dan tampak dari
orang lain. Ekonomi Indonesia juga digerakkan oleh konsumsi. Hal ini bisa dilihat
dari meningkatnya pembangunan rumah makan elite, mall, hotel, dan tempat-tempat
ini tidak pernah sepi dari kedatangan pengunjung. Masyarakat menengah kemudian
mengalami perubahan budaya dengan cara melakukan pencitraan dari penampilan.
Dalam bidang perkembangan teknologi sendiri,bisa kita lihat bagaimana sistem
teknologi berubah dengan sangat cepat dari waktu ke waktu. Ketika dulu penggunaan
telepon seluler dan laptop hanya untuk kalangan eksekutif saja,saat ini semua lapisan
masyarakat dapat menggunakan dua alat tersebut, dari remaja sampai dewasa.
Penggunaan internet saat ini juga sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat
karena aksesnya yang sangat cepat. Begitupula perkembangan social media yang
dulu hanya berupa surel, saat ini sistem komunikasi via internet bisa dilakukan di
telepon seluler bahkan jenisnya beragam dari facebook, twitter, instagram, path, dsb.
Dilema yang kemudian terjadi dan sangat nyata terlihat disekitar kita sebagai
kelas menenah adalah di satu sisi kemajuan teknologi menjadi pendukung kemajuan
bangsa karena saat ini kita memiliki kebebasan menyalurkan pendapat dengan adanya
social media, perkembangan internet telah mempermudah akses informasi, namun
kesadaran masyarakat mengenai pelestarian seni dan budaya juga semakin berangsur-
angsur hilang. Pengguna teknologi telekomunikasi ini memiliki kecenderungan untuk
menjadi individualistik. Mereka lebih “sibuk” bersama gadget nya dan tidak banyak
melakukan hubungan sosial dengan lingkungan disekitarnya. Anak-anak di zaman
sekarang lebih memahami perkembangan dan penggunaan budaya pop dan mulai
meninggalkan kebudayaan lokal. Salah satu contohnya adalah saat ini anak-anak lebih
memahami bahasa “gaul” versi mereka dibandingkan bahasa daerah. Anak-anak juga
lebih sibuk untuk pergi ke mall daripada ke museum budaya atau menonton
pementasan seni lokal.
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan ekspresi budaya yang tak terhitung
jumlahnya. Baik dalam wujud tata nilai dan etika berperilaku yang menjadi fondasi

1
pembentukan karakternya maupun dalam wujud ekspresi budaya materi yang
diciptakannya sebagai hasil kreativitas dan inovasinya menjawab berbagai tantangan
zaman. Ia juga menyampaikan keprihatinannya pada perkembangan kebudayaan di
Indonesia. Salah satu keprihatinannya adalah bagaimana negeri ini kehilangan
manuskrip-manuskrip dalam berbagai jenis seperti lontara, babad, tambo, hikayat-
hikayat, dan naskah-naskah. Benda-benda bersejarah ini justru sangat serius dijadikan
kajian di berbagai universitas dan lembaga ilmu pengetahuan dunia. Selain itu, ia juga
menyampaikan berbagai keprihatinannya mengenai bagaimana seni dan kebudayaan
kita justru dibiarkan “berbunyi” di negara tetangga dan negara ini tidak
mempedulikannya. Padahal negara berkepentingan melindungi harta warisannya
sebagai pemilik “deposit budaya” dan negara berkepentingan melindungi
masyarakatnya agar tidak menjadi obyek eksplorasi karya-karya budaya bangsa,
terutama jika eksplorasi itu akan merugikan masyarakat dan negara secara umumnya.
1
Pelestarian seni dan budaya sendiri selalu melibatkan Sumber Daya Manusia
(SDM) dalam komunitas yang saling berhubungan sehingga saat ini permasalah
bukan hanya milik satu dua orang tetapi juga sudah menjadi permasalahan sosial
secara umum. Masalah yang kemudian muncul adalah apabila seni dan kebudayaan
ini mulai ditinggalkan, negara kita akan semakin terkikis oleh budaya barat. Salah
satu contoh mengikisnya seni dan kebudayaan Indonesia adalah saat ini Reog
Ponorogo dan Tari Pendet menjadi latar promosi Malaysia. Tenunan Bidai (Bide) dari
Kalimantan Barat dijual ke tetangga tetapi dalam perjalanan sang bidai berganti nama
menjadi tenunan Serawak. Dewasa ini angklung juga sudah diajarkan di sekolah-
sekolah negeri tetangga2
Bisnis adalah sebuah sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tujuannya
mencari keuntungan. Konsep dasar bisnis adalah untuk mendapatkan profit. Selama
ini dapat kita lihat bagaimana persaingan dunia bisnis antara satu perusahaan dengan
perusahaan yang lain dengan berbagai cara. Cara-cara yang digunakan perusahaan
untuk meningkatkan profit misalnya dengan iklan, promosi diskon, bonus, dsb.
Dengan cara ini perusahaan berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian konsumen
dan secara tidak langsung apa yang dilakukan perusahaan ini ikut mempengaruhi cara
berpikir konsumen. Di dalam beberapa tahun ini, mulai dikenal Corporate Social

1
Lihat dalam : Mukhlis Paeni (2014), “Kebudayaan di Ujung Tanduk”, kolom opini Kompas tanggal 4 September 2014, hal.
6
2
ibid
2
Responsibility (CSR) sebagai salah satu bagian penting di dalam perusahaan.
Perusahaan yang selama ini dikenal hanya berorientasi pada profit, mulai melalukan
beberapa kegiatan sosial sebagai bentuk pelaksanaan program CSR mereka.
The World Business Council for Sustainable Development (Business Action
for Sustainable Development) CSR diungkapkan sebagai komitmen berkelanjutan dari
pelaku bisnis atau perusahaan untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan
ekonomi serta meningkatkan para pekerja, keluarga, demikian pula masyarakat lokal
dan masyarakat luas.3. Program CSR juga dikatakan sebagai bagian dari negara.
Perusahaan diwajibkan untuk mengambil peran dalam menyejahterakan masyarakat,
baik itu masyarakat di sekitar perusahaan tersebut melakukan kegiatannya maupun
masyarakat pada umumnya. Pola pemaknaan ini dimaksudkan agar perusahaan dapat
membaur dengan masyarakat dan lingkungannya sehingga perusahaan dapat menjaga
sustainability perusahaan , lingkungan, dan lingkungan sosialnya. 4. Salah satu
keuntungan adanya program CSR yang ditetapkan bagi perusahaan, selain dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perusahaan juga memiliki wahana untuk
meningkatkan image mereka di mata publik. Sehingga bisa dikatakan program CSR
adalah sebuah simbiosis mutualisme antara masyarakat dengan perusahaan, meskipun
faktanya, dalam pelaksanaan program CSR ini masih banyak kekurangan dan justru
terkadang memicu konflik antara perusahaan dengan masyarakat.
Dalam dunia bisnis sendiri, tidak banyak program Corporate Social
Responsibility (CSR) yang ditujukan pada penyelesaian masalah budaya. Jika kita
lihat, program CSR perusahaan kebanyakan memecahkan permasalahan yang
bentuknya dapat dilihat dengan kasat mata seperti pembangunan infrastruktur,
pelayanan kesehatan, pemberdayaan UMKM, dsb. Faktanya program CSR sangat
jarang memberikan fokus pada seni dan kebudayaan. Hal ini bisa dimaklumi karena
seni dan budaya sifatnya abstrak. Hasil keluarannya tidak tampak seperti program-
program CSR kebanyakan. Program CSR seni dan kebudayaan tidak banyak
mengangkat image perusahaan seperti program infrastruktur, pelestarian lingkungan,
dsb. Minat masyarakat terhadap seni dan budaya juga masih sedikit. Padahal seni dan
budaya merupakan identitas negara dimana semua lapisan masyarakat berkewajiban
untuk menjaga dan melestarikannya.
3
Lihat dalam : Yustisia Ditya Sari (2013), “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Sikap Komunitas
Pada Program Perusahaan, jurnal hal. 2
4
Lihat dalam : Andi Sandi Ant.T.T dan Karina Dwi N. Putri (2012) , “Corporate Social Responsibility”, CSR Dalam
Kerangka Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan, hal. 61
3
PT Djarum sebagai salah satu perusahaan terbesar di Indonesia termasuk
perusahaan yang memberikan perhatian terhadap seni dan budaya. CSR PT Djarum
berada di bawah naungan Djarum Foundation yang didirikan pada 30 April 1986.
Djarum Foundation berpegang pada filosofi “Lahir Dari Dalam dan Berkembang
Bersama Lingkungan.” Tujuan dibentuknya Djarum Foundation yaitu untuk menjadi
institusi yang terbaik dalam memajukan Indonesia sebagai negara yang digdaya
seutuhnya di bidang sosial, olahraga, lingkungan, pendidikan dan budaya. Oleh sebab
itu, Djarum Foundation membagi divisi pelaksanaan program CSR nya menjadi lima,
antara lain : Djarum Sumbangsih Sosial, Djarum Beasiswa Bulutangkis, Djarum Trees
for Life, Djarum Beasiswa Plus dan Djarum Apresiasi Budaya.5
Djarum Apresiasi Budaya yang didirikan tahun 1992 ini memiliki tujuan
Meningkatkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap kekayaan budaya Indonesia.
Jenis kegiatan pelestarian budaya nya antara lain dengan mensosialisasikan jenis-jenis
adat, kuliner, sekaligus tempat-tempat wisata di Indonesia terutama yang belum
dikenal. Program lainnya yaitu mewadahi para seniman untuk melakukan apresiasi
seni dalam bidang pagelaran seni untuk tetap menjaga kebudayaan yang terus berubah
agar tidak hilang dimakan zaman, misalnya bekerja sama dengan Bengkel Teater
Rendra, Teater Koma, Putu Wijaya, Teater Mandiri, Butet Kartaredjasa, Teater
Gandrik, dsb. Mengadakan kegiatan penyelenggaraan konser musik Djaduk Ferianto,
Indra Lesmana, Ireng Maulana, dsb. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi wadah
para seniman dalam mengumpulkan ide, gagasan, dalam komunitas mereka dan dalam
lingkungan masyarakat luas, melakukan inovasi sehingga generasi yang akan datang
tetap mengenal sejarah dan memahami tiap proses transformasi yang dialami
budayanya. 6
Di DIY sendiri, kegiatan yang menjadi agenda rutin pelaksanaan program
CSR dari Djarum Foundation lewat program Djarum Apresiasi Budaya (Djarum Bakti
Budaya) adalah Jagongan Wagen. Jagongan Wagen merupakan sebuah kegiatan
pementasan dari para seniman yang tergabung di dalam komunitas seni Padepokan
Seni Bagong Kussudiardja (PSBK). PSBK didirikan Alm. Bagong Kussudiardja pada
tahun 1978 yang mengambil lokasi di dusun Sembungan, Kasihan, Bantul, DIY.
Sepeninggal Bagong Kussudiardja tahun 2004, kepemimpinan PSBK diambil alih

5
Dapat dilihat di situs : http://www.djarumfoundation.org/
6
ibid
4
oleh putranya, Butet Kertaradjasa dan di era Butet ini lah PSBK mendapatkan akses
menjadi salah satu sasaran obyek implementasi program CSR Djarum Foundation.
PSBK didirikan sebagai cara untuk mengembangkan visi membangun manusia
Indonesia melalui seni. PSBK adalah lembaga nirlaba yang mengelola aset padepokan
seni sebagai rumah budaya terbuka yang bertujuan untuk merekatkan dan
membangun kebersamaan seni dengan masyarakat. PSBK didirikan dengan orientasi
sebagai organisasi yang memberikan pelayanan (service organization), melalui
pengolahan dan mengembangkan praktek-praktek di dalam aktivitas seni pertunjukan
sebagai media pembelajaran yang edukatif dan aplikatif kepada komunitas seni dan
masyarakat. Visi PSBK sendiri adalah Menjadi rumah budaya terdepan dalam
memberikan kontribusi yang memperkaya dunia seni di Indonesia, sebagai jembatan
yang merekatkan seni dengan masyarakat. YBK memiliki ikhtiar untuk merangsang
kegairahan perkembangan kebudayaan dan pengembangan kreativitas masyarakat
Indonesia, melalui peran aktif terhadap seni, komunitas seni, dan kebersamaan
masyarakat dengan seni. 7
Jagongan Wagen adalah sebuah pagelaran kesenian (tari, musik, teater, dsb)
yang menjadi agenda rutin bulanan PSBK sejak tahun 2007. Jagongan Wagen adalah
bentuk sebuah jagongan (kumpul-kumpul) yang dilakukan setiap akhir bulan di
penanggalan Wage yang jatuh hari Kamis/Jumat/Sabtu. Jagongan Wagen ini
merupakan sebuah kegiatan kumpul-kumpul menikmati pagelaran kesenian dimana
disini semua penontonnya saling menikmati kebersamaan tanpa ada perbedaan kelas
sosial. Pagelaran pementasan seni nya dilakukan secara tematik. Beberapa seniman
Jogja yang namanya populer setelah rutin melakukan pementasan di Jagongan Wagen
antara lain teater boneka papermoon, Jogja Hiphop Foundation, Mila Rosinta Dance,
dan masih banyak lagi. Pagelaran perdana Jagongan Wagen di tahun 2007
menampilkan Kua Etnika, kelompok musik pimpinan Djaduk Ferianto yang sangat
terkenal di Jogja terutama di komunitas seni musik. Selain Kua Etnika, Jagongan
Wagen juga pernah menampilkan Teater Gandrik, Didi Nini Thowok, serta seniman-
seniman ternama Indonesia khususnya yang sangat populer di DIY. Maka dari itu,
bagi masyarakat penikmat seni khususnya di Jogja, menikmati Jagongan Wagen
adalah sebuah kepuasan tersendiri bagi mereka karena di Jagongan Wagen mereka
dapat menikmati kesenian yang ditampilkan seniman-seniman ternama namun dapat

7
Dapat dilihat di : http://www.ybk.or.id/
5
dinikmati secara gratis bahkan dalam suasana tanpa pemisahan kelas, guyub , seperti
suasana berkumpul dan bercengkrama bersama.
Jagongan Wagen yang berada di bawah naungan PSBK telah didanai sejak
tahun 2007. Di tahun tersebut, ada aktor yang sangat penting dalam pengembangan
kegiatan ini, bernama Mas Besar. Di tahun 2007, Jagongan Wagen menampilkan
sebuah pementasan secara tematik. Tematik disini artinya dalam satu pementasan,
Jagongan Wagen hanya menyajikan pertunjukan musik saja, atau teater murni, dsb.
Dengan adanya pementasan secara tematik ini, membuat tiap pementasan Jagongan
Wagen selalu memiliki kesan tersendiri bagi para penontonnya. Para seniman juga
lebih bisa menikmati proses brainstorming sebagai salah satu bentuk latihan mereka.
Perubahan yang terjadi dan cukup significant terjadi pada tahun 2010. Di tahun ini,
tim manajemen Jagongan Wagen mulai menetapkan sistem baru dimana mereka
mencoba membuat pementasan dengan konsep kolaborasi. Bentuk kolaborasi disini
salah satu contohnya adalah di dalam satu pementasan judul, terdiri dari seniman
musik, tari, teater,pantomim. Kolaborasi ini sebagai salah satu bentuk cara PSBK
untuk melakukan akulturasi budaya. Tim manajemen PSBK juga mulai membuat
beberapa aturan workshop dimana proses brainstorming dilakukan secara intensif
selama enam jam dan berlangsung selama enam hari menurut jadwal yang sudah
ditentukan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah ketika aturan ini
diberlakukan, tidak semua seniman yang tampil dapat mengikuti proses workshop .
Beberapa alasan para seniman tersebut tidak dapat mengikuti proses workshop
diantaranya adalah permasalahan waktu yang kurang sesuai. Tim manajemen
Jagongan Wagen kemudian kurang memperhatikan apa yang diinginkan seniman
sehingga justru ketika dalam proses berlatih ini tidak semua seniman yang terlibat
dapat mengikutinya dan jelas ini menjadi salah satu faktor penghambat implementasi
apresiasi seni yang seharusnya mereka ciptakan. Tim manajemen Jagongan Wagen
juga mulai melakukan beberapa intervensi dan hal ini menimbulkan ketidaknyamanan
para seniman. Para seniman yang dulu mau menjadi salah satu bagian dari
pementasan, mulai menjauh. Jagongan Wagen mulai mengalami penurunan dengan
kehilangan beberapa penonton setianya. Seniman yang kemudian tampil bukan
seniman-seniman “mahal” seperti dulu lagi sehingga image Jagongan Wagen yang
dulu dianggap sebagai sebuah tontonan mahal yang gratis menjadi bergeser dan
dianggap sebagai sekumpulan improvisasi diatas panggung yang tidak jelas.

6
Topik ini diangkat oleh penulis sebagai bentuk keprihatinan seni dan
kebudayaan yang makin lama makin terkikis. Ketika sebuah seni dan budaya
keberadaannya tidak dianggap salah satu contohnya dengan kurangnya implementasi
programm CSR yang memiliki misi kebudayaan, sebenarnya akan menjadi bumerang
bagi negeri ini sendiri. Negeri ini akan menjadi materialistis dan melupakan sisi
identitas dirinya sendiri. Peng-organisasian kelompok kesenian juga masih jauh dari
sempurna, tidak seperti organisasi pada perusahaan bisnis yang money oriented .
Permasalahan lain yang kemudian timbul dan menjadi salah satu faktor penghambat
berkembangnya para seniman adalah para seniman kurang memperhatikan sistem
manajemen non artistiknya. Bagi mereka yang penting adalah berlatih dan berproses
untuk memberikan karya terbaik namun mereka melupakan bahwa di dalam sebuah
proses untuk meng apresiasi kesenian terutama seni pertunjukan, ada faktor-faktor
non artistik disana. Berbagai macam faktor tadi akan menjadikan penelitian ini
menarik untuk melihat bagaimana organisasi di dalam pelaksanaan Jagongan Wagen
sebagai seni pertunjukan di PSBK dan bagaimana perubahan yang terjadi sebelum
dan sesudah kepergian Mas Besar yaitu tahun 2007-2010 dan 2010-sekarang untuk
melihat faktor-faktor apa saja yang merubahnya. Apalagi PSBK ini didanai Djarum
Foundation sebagai salah satu program CSR.

B. RUMUSAN MASALAH
 Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sistem manajemen
PSBK khususnya pementasan Jagongan Wagen di tahun 2007-2010 dan 2010-
sekarang?

C. TUJUAN PENELITIAN
 Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sistem
manajemen PSBK khususnya dalam pementasan Jagongan Wagen di tahun
2007-2010 dan 2010-sekarang.

D. MANFAAT PENELITIAN
 Sebagai salah satu acuan bahan evaluasi program CSR bidang seni dan
kebudayaan khususnya di DIY.

7
 Penelitian ini diharapkan dapat menjawab kekhawatiran para seniman dalam
memandang kesejahteraan seni dan budaya di Indonesia sehingga akan banyak
program CSR yang mulai melakukan sebuah kegiatan yang berhubungan
dengan seni dan budaya sebagai salah satu usaha preventif menghindari
pengikisan seni dan budaya di Indonesia.

II. KAJIAN PUSTAKA


A. LITERATUR 1
1) JUDUL
Manajemen Seni Pertunjukan Kraton Yogyakarta Sebagai Penanggulangan Krisis
Pariwisata Budaya 8
2) LATAR BELAKANG
DIY sebagai kota budaya memiliki banyak seni pertunjukan tradisional sebagai
aset yang luar biasa untuk menjadi daya tarik wisatawan. Meskipun begitu,
maraknya industri pariwisata seni pertunjukan tradisional di Yogyakarta menuai
kritik dari masyarakat yang isinya memberikan sinyalemen negatif terhadap
jalannya atraksi seni pertunjukan tradisional sebagai paket wisata. Seni tradisional
ini lebih menekankan faktor pragmatis dan berorientasi pasar. Seniman yang
terlibat tidak dilandari perasaan yang serius dan semangat idealisme. Salah satu
solusi untuk mengurangi berbagai ketimpangan khususnya dalam seni pertunjukan
adalah dengan memfungsikan manajemen pariwisata budaya seni pertunjukan
secara lebih efektif dengan harapan seni pertunjukan wisata harus dikelola secara
profesional.
3) TUJUAN
Mengetahui sejauh mana bentuk manajemen pariwisata budaya seni pertunjukan
Kraton Yogyakarta agar dapat digunakan sebagai evaluasi untuk mengetahui
kelebihan dan kelemahan dalam melihat bentuk manajemen pariwisata budaya seni
pertunjukan di Kraton Yogyakarta.
4) MASALAH
Bagaimana sistem manajemen seni tradisional pertunjukan Kraton Yogyakarta?
5) SAMPLE
Subjek penelitian adalah sumber-sumber primer yang terdiri dari para pengelola
pentas wisata di Kraton Yogyakarta yang terdiri (1) pengelola dari Kraton
8
Sutiyono (2012), “Manajemen Seni Pertunjukan Kraton Yogyakarta Sebagai Penanggulangan Krisis Pariwisata Budaya”,
jurnal

8
Yogyakarta dan (2) pengurus kelompok kesenian yang pentas di Kraton
Yogyakarta. Penelitian dilakukan di Kraton Yogyakarta khususnya tempat pentas
seni wisata bangsal Sri Manganti setiap hari Minggu siang sekitar jam 10.30-12.00
WIB.
6) METODOLOGI
Pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan observasi,
wawancara, studi pustaka. Teknik analisis data adalah teknik analisis deskriptif
interpretatif.
7) TEMUAN KUNCI
A. Tahapan dalam proses manajemen seni pertunjukan tradisional
1. Perencanaan Pertunjukan (Planning)
 Tujuan pementasan adalah memperkenalkan kebudayaan yang dimiliki Kraton
Yogyakarta untuk pengembangan kepariwisataan DIY.
 Orientasi yang melatarbelakangi diadakannya “Paket Wisata Kraton
Yogyakarta” bersifat ekonomis (harus dapat mendatangkann keuntungan
ekonomi) dan kultural (upaya melestarikan kebudayaan yakni seni Jawa klasik
gaya Yogyakarta/gagrak Mataraman).
 Sektor-sektor pembangunan yang lain yang dapat mendatangkan devisa seperti
minyak bumi dan kayu lapis telah dianggap tidak mampu lagi untuk menutup
anggaran pembangunan sehingga sektor satu-satunya yang sekiranya dapat
mendatangkan devisa negara adalah pariwisata.
 Pentas rutin yang diawali sejak 20 November 1989 adalah perintah langsung
dari Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai raja Kraton Yogyakarta.
2. Mengorganisasi Pertunjukan (Organizing)
 Bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Yogyakarta terutama
dalam hal promosi keluar negeri, yakni dimasukkan ke dalam kalendar event.
 Bekerjasama dengan paguyuban/kelompok kesenian di Yogyakarta dan
sekitarnya untuk mengisi paket seni di Kraton Yogyakarta seperti Unit
Kesenian Mahasiswa UGM, Jurusan Pendidikan Seni Tari FBS UNY, Yayasan
Siswo Among Beksa Yogyakarta, Yayasan Pamulangan Beksa
Sasmintomardawa Yogyakarta, Sekolah Menengah Kejuruan I Kasihan Bantul,
Surya Kencana Yogyakarta, Kawedhanan hageng Poenakawan
Kridhamardawa Kraton Yogyakarta dan ISI Yogyakarta.
 Pentas seni “Paket Wisata Kraton Yogyakarta” bukan merupakan paket yang
secara khusus diselenggarakan Kraton Yogyakarta namun merupakan bagian
paket pariwisata secara umum di Kraton Yogyakarta yang diselenggarakan
oleh Tepas (kantor) Pariwisata dan Babadan Museum Kraton Yogyakarta.

9
Tepas Pariwisata mengelola kepariwisataan dan tiket masuk. Tepas Pariwisata
ini kemudian atas nama pihak Kraton Yogyakarta memberi bantuan dana
pertunjukan kepada setiap kelompok kesenian yang telah pentas di bangsan Sri
Manganti.
3. Pelaksanaan Pertunjukan (Actuating)
 Sistematis pelaksanaan pertunjukan dari sebelum acara hingga selesai acara
berlangsung
4. Pengawasan Petunjukan (Controlling)
 Ada ruangan khusus tim supervisor pertunjukan Kraton Yogyakarta yang
terdiri dari 3 sampau 4 orang laki-laki abdi dalem Kraton Yogyakarta yang
memiliki keahlian dalam bidang tari atau karawitan klasik, mengawasi
jalannya pertunjukan.
 Apabila terdapat persoalan atau kesalahan, ketua kelompok dipanggil setelah
acara selesai. Tim supervisor memberikan evaluasi agar di pertunjukan yang
akan datang menjadi lebih baik.
 Krisis pariwisata budaya yang kemudian muncul adalah adanya sistem
efisiensi dengan cara mengurangi drastis jumlah pengrawit misalnya biasanya
24 orang kemudian menjadi 5 orang dengan tujuan untuk mengejar honor yang
lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada tujuan untuk menjaga
konsistensi budaya karena semata-mata hanya mengejar nilai ekonomis.
Efisiensi ini juga terjadi ketika ada proses reduksi elemen pertunjukan seperti
busana, rias, gendhing iringan dengan tujuan lebih praktis.
 Sejumlah tempat pentas seperti Candi Prambanan, hotel, dan restoran, hampir
semua pertunjukan seni wisatanya mengalami krisis pariwisata budaya dengan
mendistorsi sejumlah elemen pertunjukan. Hal ini sesungguhnya merupakan
bentuk pelacuran seni. Namun karena proses ini banyak ditiru kelompok-
kelompok sehingga kemudian menjadi sebuah trend, maka ini merupakan
bentuk krisis pariwisata budaya.
B. Pengemasan paket seni tradisional harus ditata secara apik karena hal ini dapat
menjadi daya tarik wisatawan. Hal ini tampak pada pengelolaan seni tradisional
oleh Kraton Yogyakarta dengan memfungsikan manajemen, planning, organizing,
actuating dan controlling terhadap pertunjukan yang disajikan.
C. Yang membedakan seni tradisional Kraton Yogyakarta dengan seni tradisional di
tempat lain adalah di Kraton Yogyakarta tidak ada efisiensi sehingga kualitas
pertunjukan tetap terjaga.
D. Krisis pariwisata budaya telah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap
pelaksanaan kesenian di Yogyakarta. Kraton Yogyakarta sendiri menyadari bahwa
10
krisis ini tidak dapat dibendung sehingga Kraton Yogyakarta membentuk sebuah
badan yang dikonstruksi sebagai supervisor pertunjukan yang bertugas
mengawasi jalannya pertunjukan di bangsal Sri Manganti Kraton Yogyakarta
dengan harapan supervisor ini dapat mengatasi krisis pariwisata. Cara lain adalah
dengan memberi petunjuk tentang pertunjukan yang benar serta mengawasi
kelompok-kelompok kesenian di luar tembok Kraton untuk ikut berpartisipasi.
8) KESIMPULAN
Manajemen seni pertunjukan yang dipergunakan di Kraton Yogyakarta masih
bersifat tradisional. Agar seni tradisional tidak terjebak dalam krisis pariwisata
budaya, salah satu solusinya adalah dengan memfungsikan manajemen secara
optimal dan profesional. Sistem manajemen ini dapat berfungsi sebagai model
untuk mengatur pertunjukan seni tradisional wisata tanpa harus kehilangan akar
budayanya.
9) REKOMENDASI
Saran yang diberikan penulis yaitu karena manajemennya masih tradisional, maka
penting untuk melakukan controlling yang lebih baik. Akan lebih baik jika Kraton
Yogyakarta berani melakukan evaluasi terbuka kepada para wisatawan misal
melalui angket atau komentar verbal agar banyak masukan baik mengenai penataan
materi pertunjukan maupun manajemen yang diterapkan.

B. LITERATUR 2
1) JUDUL
Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi dan Kinerja : Pendekatan Konsep 9
2) LATAR BELAKANG
Setiap pertumbuhan organisasi tidak lepas dari krisis. Dalam organisasi ada
pemimpin sebagai pemegang kendali. Organisasi juga memiliki cara, kebiasaan,
aturan dalam pencapaian tujuan termasuk cara individu hidup berinteraksi satu
sama lain dan cara mereka dalam memecahkan permasalahan. Perilaku individu
dalam organisasi sebagai upaya pelaksanaan program kerja yang telah disepakati
akan memunculkan kinerja mereka. Kinerja yang ada pada individu menunjukkan
bahwa apa yang dilakukan sudah sesuai dengan yang diprogramkan oleh
organisasi, sehingga kinerja yang tinggi ada pada budaya organisasi yang baik.
3) TUJUAN

9
Thoyib, Armanu (2005), “Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi, dan Kinerja : Pendekatan Konsep”, jurnal

11
Menjelaskan suatu kerangka kerja konseptual yang menggambarkan hubungan
variabel-variabel kepemimpinan, budaya, strategi, dan kinerja. Dalam sebuah fase
pertumbuhan organisasi baik itu sosial (nir laba) maupun bisnis, ada beberapa
elemen penting antara lain adanya pemimpin yang memegang kendali organisasi.
Organisasi juga memiliki budaya sesuai dengan asumsi dasar para pemimpinnya.
Perilaku individu yang ada dalam organisasi dalam upaya melaksanakan program
kerja yang telah disepakati akan memunculkan kinerja mereka. Kinerja yang
tinggi yang ada pada individu tentunya ada pada budaya organisasi yang baik.
4) MASALAH
Apakah variabel kepemimpinan, budaya organisasi dan strategi berpengaruh
terhadap kinerja?
5) SAMPLE
Menggunakan bahan bacaan seperti buku, jurnal, dan hasil penelitian terdahulu
untuk mendapatkan sebuah kerangka konseptual untuk menjawab permasalahan.
6) METODOLOGI
Penulis tidak menjelaskan metode penelitian apa yang digunakan. Penulis
melakukan kajian pustaka dari buku, jurnal, dan studi kasus dari penelitian
terdahulu untuk menjawab permasalahan.
7) TEMUAN KUNCI
A. Hubungan kepemimpinan dan budaya organisasi
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan
memperoleh dukungan dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Pemimpin memiliki inovasi dan mengupayakan untuk mengembangkan apa yang
ia lakukan. Pemimpin bertanggungg jawab atas apa yang dikerjakan bawahannya
dan ia mengerjakan yang benar. Pemimpin memiliki peran interpersonal roles,
informational roles dan traditional management. Pemimpin harus memiliki skill
seperti (1) komunikasi verbal, (2) memanaj waktu dan stress ,(3) memanaj
pengambilan keputusan, (4) mengakui, menjelaskan, dan memecahkan masalah ,
(5) memotivasi dan mempengaruhi orang lain, (6) mendelegasikan wewenang, (7)
menetapkan tujuan dan menjelaskan visi , (8) memiliki kesadaran diri, (9)
membangun kerja tim, dan (10) memanaj konflik (Luthans, 2002:629-627).
Budaya organisasi merupakan bentuk keyakinan, nilai, cara, yang bisa
dipelajari untuk mengatasi hidup dalam organisasi, diwujudkan oleh anggota
organisasi (Brown, 1998:34). Budaya organisasi merupakan sistem nilai yang

12
dipegang dan dilakukan oleh anggota organisasi sehingga bisa membedakan
organisasi tersebut dengan organisasi lainnya (Robbins, 2003:525). Fungsi dari
budaya organisasi ini adalah menjalankan sejumlah fungsi untuk mengatasi
permasalahan organisasi.
Budaya bisa dikatakan atas hasil penciptaan pemimpin ketika dalam satu
organisasi ada hubungan timbal balik antara pemimpin dengan bawahannya. Bila
perilaku bawahan sesuai dengan program yang digariskan oleh pimpinan maka
nilai yang diperolehnya tinggi, begitupula sebaliknya. Fenomena bisa berbalik
ketika pemimpin merupakan hasil penciptaan dari budaya organisasi ketika
pemimpin tersebut lahir sebagai penerus sedangkan budaya organisasi telah
mengakar dan menjadi bagian dari kehidupan organisasi tersebut. Kepemimpinan
dan budaya organisasi bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Sebuah fenomena
yang ditemukan dalam sebuah organisasi misalnya kesejukan, ketenangan, etos
kerja karyawan, sikap, keramah tamahan, dsb menggambarkan kepemimpinan
dari para pemimpin tersebut. Ritchie (2000) dalam penelitiannya menemukan
fenomena bahwa reward berpengaruh nyata terhadap internalisasi (budaya
organisasi). Budaya organisasi berhubungan nyata dengan kepuasan kerja dan
komitmen pekerjaan.
B. Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi
Manajemen strategik adalah suatu seni dan ilmu untuk memformulasikan,
menerapkan, dan mengevaluasi keputusan-keputusan lintas fungsi, dengan itu
maka organisasi bisa mencapai tujuan organisasi (David,2003 :5). Formulasi
strategi ini diawali dengan analisis lingkungan internal dan eksternal sehingga
menemukan SWOT yang dimiliki organisasi sehingga dari hasil analisis tersebut,
organisasi akan menentukan tujuan jangka pendek atau panjang dan juga strategi
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pemimpin dengan gaya kepemimpinannya
akan menentukan strategi perusahaan/organisasi baik jangka panjang maupun
pendek. Organisasi melakukan proses formulasi strategi. Kegiatan ini bisa
dilakukan oleh orang luar atau dalam perusahaan. Sedangkan untuk penerapannya,
hanya orang di dalam perusahaan (manajemen dan karyawan) yang memiliki
wewenang untuk melaksanakannya. Pada penerapan strategi inilah peran
pemimpin sangat besar, dan disinilah McKinsey 7-S Framework juga
mengingatkan bahwa style (gaya kepemimpinan) menentukan strategi. (Pearce
and Robinson, 2000:399-400).

13
Apabila kita melihat sebuah kepemimpinan suatu organisasi, kita sama seperti
melihat budaya yang ada dalam organisasi tersebut. Anggota organisasi
melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugas yang harus mereka lakukan.
Deskripsi tugas ini mengarah pada pencapaian tujuan organisasi untuk mencapai
misi organisasi. Misi organisasi ditetapkan oleh pemimpin sehingga disinilah
budaya diciptakan oleh pemimpin (culture is created by leader) (Schein, 1991).
Structure, system, style, staff and skill memiliki kontribusi terhadap keberhasilan
strategy. Kontribusi dari kelima hal ini menyatu dalam satu variabel yang disebut
shared value atau yang dikenal dengan culture (budaya organisasi).
C. Hubungan kepemimpinan, budaya, strategi, dan kinerja
Kinerja/performance/result (Cash and Fischer, 1987) adalah apa yang telah
dihasilkan oleh individu karyawan. Kinerja pada individu disebut dengan job
performance, work outcome, task performance (Baron and Greenberg, 1990).
Result ini dipengaruhi oleh kinerja organisasi (organizational performance) yang
komponennya terdiri dari organizational development, compensation plan,
communication system, managerial system, organization strucure, policies and
procedures (Cash and Fiscer,1987).
Organizational performance merupakan strategi dari setiap departemen
sumberdaya manusia dan dari organisasi (Galpin and Murray, 1997). Result
(kinerja) dipengaruhi oleh strategi organisasi. Strategi dipengaruhi oleh budaya
organisasi sehingga kinerja organisasi dipengaruhi pula oleh pemimpin dan
budaya organisasi. Keberhasilan suatu korporat dalam mencapai tujuannya tidak
lagi ditentukan oleh keberhasilan implementasi prinsip-prinsip manajemen seperti
planning, organizing, leading dan controlling saja, melainkan ada faktor lain yang
“tidak tampak” yang lebih menentukan apakah manajemen dapat
diimplementasikan atau tidak, faktor tersebut adalah budaya organisasi. Penelitian
pengaruh variabel-variabel budaya organisasi terhadap kinerja karyawan PT
Telekomunikasi Indonesia, Tbk Kandatel Malang (Nurfarhati , 1999)
menunjukkan bahwa tiga variabel budaya yang berpengaruh nyata terhadap
kinerja karyawan adalah innovasi, kemantapan, dan kepedulian.
8) SIMPULAN
 Kepemimpinan dan budaya organisasi berhubungan dan bisa saling pengaruh
mempengaruhi
 Kepemimpinan berpengaruh terhadap strategi organisasi dan kinerja karyawan
 Budaya organisasi berpengaruh terhadap strategi dan keberhasilan organisasi
14
 Kepemimpinan dan budaya organisasi berpengaruh terhadap strategi organisasi
 Kepemimpinan, budaya organisasi, dan strategi organisasi berpengaruh
terhadap kinerja karyawan
9) REKOMENDASI
Saran yang diberikan peneliti adalah bahwa suatu tujuan penelitian untuk
mengetest conceptual framework pada organisasi bisnis manufaktur dan jasa
sangat dianjurkan untuk meningkatkan sumbangan ilmu khususnya pada perilaku
organisasi.

C. LITERATUR 3
1) JUDUL
Pengelolaan Organisasi Seni Pertunjukan 10
2) LATAR BELAKANG
Organisasi seni pertunjukan baik yang menamakan dirinya kelompok kesenian
tradisional maupun yang menyebut dirinya kelompok kesenian modern tentunya
membutuhkan sebuah pengelolaan tersendiri. Ada beberapa pernyataan yang
dilontarkan oleh pihak yang mengatasnamakan seniman, bahwa seni memiliki
wilayah otonominya sendiri, bebas, sementara realitas yang terjadi bahwa banyak
kasus kesenian tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan hal-hal diluar
kesenian seperti sistem organisasi, keuangan, hubungan sosial dan elemen-elemen
lain diluar seni. Kesenian selalu melibatkan penonton dalam tiap pementasannya.
Kehadiran dan perkembangannya ditentukan oleh adanya faktor yang disebut
penyangga budaya, salah satunya masyarakat dari tempat dimana kesenian itu
berada, baik dalam arti kolektif atau komunitas maupun atas nama individu atau
pribadi.
3) TUJUAN
Untuk menjelaskan apa saja sistem pengelolaan yang baik untuk mengurangi
permasalahan seni dan non seni dalam sebuah seni pertunjukan.
4) MASALAH
 Apa yang menjadi permasalahan seni di satu sisi dan permasalahan non seni di sisi
lain dalam manajemen seni pertunjukan?
 Apa saja yang dapat dijadikan sebagai sebuah perencanaan dalam seni pertunjukan
agar tercipta pengelolaan organisasi yang baik?
10
Hartono (2001), “Pengelolaan Organisasi Seni Pertunjukan”, jurnal

15
5) SAMPLE
Menggunakan bahan bacaan seperti buku, jurnal, dan hasil penelitian terdahulu untuk
mendapatkan sebuah kerangka konseptual untuk menjawab permasalahan.
6) METODOLOGI
Penulis tidak menjelaskan metode penelitian apa yang digunakan. Penulis melakukan
studi literatur
7) TEMUAN KUNCI
A) Kesenian semakin banyak bersinggungan dengan sistem ekonomi. Maka dari itu,
untuk menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin dinamis, perlu sistem
manajemen dimana manajemen modern ini menekankan adanya efisiensi dan
efektivitas untuk mencapai sasaran produksi yang optimal.
B) Penerapan sistem manajemen dalam seni pertunjukan atau dengan kata lain mengelola
seni budaya ini tujuannya untuk menghindari keterpurukan seperti yang dialami oleh
organisasi seni tradisi kita seperti wayang orang, grup kethoprak, dsb.
C) Riantiarno sebagai orang yang banyak berperan di Teater Koma mengatakan bahwa
manajemen kesenian hanyalah semacam alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan
itu sendiri. Itulah manajemen yang ideal bagi kesenian harus sanggup membantu
seniman untuk dapat sampai kepada pencapaian artistiknya, dan tidak ada hak untuk
menghambat. Output yang dihasilkan bukanlah market oriented melainkan product
oriented.
8) KESIMPULAN
 Pasar dalam seni harus diciptakan karena produk karya seni adalah sumber dan
sekaligus muaranya.
 Ada sebuah perencanaan strategis yang memiliki sasaran dengan kriteria spesific,
measurable, attainable, realistic, time oriented. Perencanaan dan sasaran ini harus
menganalisis SWOT di dalamnya dimana sumber daya sistem perencanaan adalah
kekuatan dan kelemahan (SW), dan untuk mendapatkan sasaran maka harus
memiliki kemampuan analisis peluang dan ancaman nya (OT).
9) REKOMENDASI
Perencanaan strategis dan kesadaran kolektif hendaknya diterapkan dalam
pengelolaan sistem manajemen seni pertunjukan karena perencanaan sebagai salah
satu cara identifikasi jurang pemisah antara budaya lama organisasi dengan budaya
baru yang dikehendaki. Dan untuk kesadaran kolektif yang dimaksud disini adalah
para seniman pencipta harus menyadari perlunya prinsip manajemen dengan saling

16
bekerjasamanya tim artistik dan non artistik dalam sebuah pengelolaan tersebut agar
tercipta keselarasan kerja dalam satu tim selama proses tersebut dilakukan.

III. ANALISIS
PSBK adalah sebuah organisasi seni yang mencoba menerapkan sistem secara
profesional. Dengan bantuan dana CSR dari Djarum Foundation membuat seniman di
dalam PSBK ini tidak hanya mahir dalam berolah seni tetapi juga mengerti bagaimana
sistem manajemen sesuai dengan Standart Operational Procedure (SOP). Beberapa
hal yang kemudian disayangkan adalah ketika sistem non artistik ini
diimplementasikan pada pelaksanaan Jagongan Wagen, karena kemudian Jagongan
Wagen tidak lagi terbentuk secara natural namun berusaha memaksakan diri akibat
akulturasi budaya yang diharapkan dari sistem manajemen di PSBK. Selain itu,
karena pementasannya yang dilakukan rutin setiap sebulan sekali, menjadikan
Jagongan Wagen sebagai agen promosi PSBK dan tentunya Djarum Foundation
padahal belum tentu dana CSR terbesar dari program CSR tersebut diberikan kepada
Jagongan Wagen.
Secara pengelolaan budaya organisasi sendiri, kepergian Mas Besar
menimbulkan terjadinya perubahan sistem manajemen Jagongan Wagen. Mas Besar
disini menjunjung tinggi sikap seorang seniman sehingga dia tidak memperhatikan
aspek-aspek lain yang tidak berhubungan dengan sistem artistik seni. Bagi Mas Besar,
Jagongan Wagen dapat terselenggara dengan menampilkan berbagai idealisme para
seniman untuk dapat dinikmati oleh masyarakat. Mas Besar menawarkan sebuah win
win solution dimana seniman diberi wahana untuk berkreasi dan masyarakat dapat
menikmatinya sebagai penonton. Perubahan sistem yang terjadi ini mengakibatkan
budaya organisasi pun ikut berubah. Kinerja beberapa karyawan pun menjadi berubah.
Salah satu karyawan pembuat poster promosi Jagongan Wagen juga turut
mengundurkan diri setelah Mas Besar mengundurkan diri, karena terlalu banyak
intervensi dari tim manajemen PSBK khususnya yang mengelola Jagongan Wagen.
Perbedaan budaya yang juga mencolok adalah pada sistem publikasi. Salah satu
informan mengatakan bahwa sistem publikasi Jagongan Wagen dulu saat Mas Besar
masih berada di PSBK adalah Jagongan Wagen melalukan budaya publikasi dengan
mengabarkan melalui sms kepada komunitas yang memang aktif sebagai penonton
Jagongan Wagen. Saat ini, publikasi yang dilakukan tim Jagongan Wagen hanyalah

17
melalui spanduk-spanduk yang tidak terlalu banyak dipasang di area publik, tidak ada
lagi sms pribadi, facebook sebagai media publikasi paling strategis di era ini pun
kurang membantu. Situs PSBK sendiri tidak memasang informasi mengenai
penayangan Jagongan Wagen yang up to date, sehingga Jagongan Wagen kemudian
terkesan hanyalah sebagai salah satu agenda yang “terlanjur” rutin, mengatasnamakan
sistem manajemen namun pada pelaksanaannya kurang menyeluruh ke seluruh aspek
non artistiknya.
Ketiga jurnal diatas dipilih oleh penulis karena merepresentasikan bagian-
bagian dalam permasalahan di Jagongan Wagen ini sehingga diharapkan dengan
penggunaan ketiga jurnal diatas penulis akan mendapatkan hasil penelitian yang
diharapkan. Jurnal pertama dan ketiga menjelaskan mengenai pentingnya sistem
manajemen dalam seni pertunjukan, karena selama ini kebanyakan seniman hanya
mengerti bagaimana menampilkan karya terbaik mereka tanpa memikirkan teknis dari
sebuah pertunjukan, karena untuk menampilkan sebuah pertunjukan dibutuhkan
perencanaan dan pengawasan sehingga dalam proses eksekusi nantinya mewujudkan
sebuah pementasan yang tidak hanya indah untuk dinikmati tetapi juga menimbulkan
kenyamanan penonton baik itu dalam hal publikasi, teknis non artistik, dsb. Dengan
menimbulkan kenyamanan penonton dalam hal teknis non artistik, akan membuat
sebuah pertunjukan menjadi sempurna secara utuh dan dengan berbagai kenyamanan
yang dirasakan penonton diharapkan proses pelestarian seni dan budaya ini akan terus
berlanjut karena penonton akan memiliki sebuah kesadaran untuk bercerita kepada
orang lain, atau menjadi penonton setia dan siapa tahu nantinya akan membuat
beberapa pihak tertarik untuk membantu pelestarian seni dan budaya sehingga
meskipun proses globalisasi dan modernisasi budaya pop terus menerus menimpa
negeri ini, kita tetap tidak kehilangan identitas karena akan selalu ada masyarakat
yang peduli, bukan hanya ber empati tetapi juga memberikan simpati mereka terhadap
seni dan kebudayaan lokal. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya membutuhkan
kerjasama antara tim artistik dan non artistik.
Jurnal kedua menjelaskan mengenai bagaimana hubungan antara
kepemimpinan, budaya organisasi, strategi organisasi, dan kinerja karyawan. Jika
melihat apa yang terjadi pada PSBK, bagaimana satu orang pemimpin dapat
mempengaruhi keputusan dalam sebuah organisasi dan bagaimana perubahan yang
terjadi ketika satu pemimpin tersebut pergi kemudian muncul pula perubahan
budayanya, maka jurnal ini akan digunakan untuk menemukan faktor-faktor yang

18
mempengaruhi perubahan di dalam PSBK terutama yang terjadi di dalam Jagongan
Wagen. Secara umum, dapat dilihat bahwa terjadi perubahan yang sangat significant
saat Mas Besar masih menjadi bagian penting dari Jagongan Wagen dan setelah dia
mengundurkan diri terutama dari bentuk kolaborasi saat pementasan Jagongan Wagen.
Di sisi lain, PSBK sebagai salah satu penyandang program CSR dari Djarum
Foundation tentunya memiliki sistem manajerial non artistik. PSBK kemudian bukan
lagi menjadi lembaha nirlaba yang semata-mata digunakan sebagai wadah aspirasi
para seniman semata namun juga menjadi sebuah organisasi yang ikut berperan dalam
pembangunan khususnya pelestarian seni dan budaya yang mulai memasukkan
beberapa aturan-aturan standar untuk mempertahankan kualitas sistem manajemen
dari PSBK khususnya dalam program Jagongan Wagen. Dalam sebuah organisasi,
karyawan setidaknya melihat siapa role model nya. Anggota atau karyawan dalam
sebuah organisasi hanya menjalankan apa yang menjadi pemikiran dari pimpinannya.
Pimpinan memiliki faktor penting bagi berhasil atau tidaknya sebuah organisasi.
Sistem yang digunakan dalam organisasi juga akan menimbulkan budaya organisasi di
tempat tersebut. Apabila sebuah organisasi kesenian dan budaya yang biasanya terdiri
dari para seniman dapat tumbuh dan bertahan lama serta dapat menjalankan sistem,
baik itu pemimpin atau karyawannya, maka dapat dipastikan bahwa organisasi seni
dan budaya tidak akan dipandang sebelah mata. Organisasi seni dan budaya tidak
akan dianggap sebagai sebuah perkumpulan seniman yang hanya mementingkan
idealisme nya sendiri.

IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN DAN SARAN
Jagongan Wagen sebagai salah satu program PSBK sebagai implementasi
pelaksanaan program CSR Djarum Foundation merupakan salah satu contoh usaha
pelestarian budaya yang cukup menjanjikan. PSBK juga dapat menjadi salah satu
tempat para seniman untuk menyampaikan berbagai aspirasi dan idealisme nya
menjadi sebuah karya yang nantinya diharapkan dapat dilakukan oleh generasi
penerusnya. Meski begitu, PSBK yang hidup sebagai sebuah organisasi sosial tidak
lepas dari berbagai permasalahan khususnya dalam bidang teknis dan manajemen
karyawannya. Dengan perubahan pementasan Jagongan Wagen yang sangat besar
terutama di tahun 2007-2010 dan 2010-sekarang, mencari dan menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut menjadi sebuah agenda penting agar

19
ketidakharmonisan yang dirasakan seniman dengan tim manajemen ini tidak semakin
panjang dan berlarut-larut.
Seni dan kebudayaan khususnya seni dan budaya lokal dewasa ini sudah
pantas untuk menjadi perhatian khusus baik itu oleh pemerintah maupun swasta
melalui program CSR nya. Jika kita melihat contoh di negara ini, masih banyak seni
dan kebudayaan yang dibiarkan “menganggur” karena segala keterbatasan mereka.
Oleh sebab itu, demi melestarikan seni dan budaya ini butuh para pekerja seni yang
konsisten di bidang ini, dan didukung oleh sistem organisasi yang menjadi “rumah”
mereka untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil untuk pelestarian ini
memiliki tujuan yang optimal. Karena merupakan hal yang sangat miris ketika kita
melihat sebuah kebudayaan lokal yang tersingkir karena keberadaan budaya pop
padahal budaya lokal ini merupakan hasil karya bangsa yang harus dijaga
kelestariannya. Apabila kebudayaan lokal dapat dijaga kelestariannya dan
dikembangkan dengan tetap memegang nilai-nilai idealisme, kita tidak akan
kehilangan identitas kita, karena siapa tahu mungkin beberapa tahun lagi, justru
kebudayaan lokal negeri inilah yang akan banyak menyelamatkan negara ini dari
krisis. Meskipun mungkin kontribusinya tidak terlalu besar, namun bisa jadi seni dan
kebudayaan menjadi salah satu sumber devisa negara yang penting, yang bisa
membawa banyak wisatawan masuk ke Indonesia.

V. DAFTAR PUSTAKA
 Paeni, Mukhlis : 2014, “Kebudayaan di Ujung Tanduk”, Kolom “Opini”, Kompas 4
September 2014
 Sari, Yustisia Ditya : 2013 ,“Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR)
Terhadap Sikap Komunitas Pada Program Perusahaan
 Putri, Karina Dwi N dan Ant T.T, Andi Sandi : 2012 , “Corporate Social
Responsibility”; CSR Dalam Kerangka Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan
20
 http://www.djarumfoundation.org/
 http://www.ybk.or.id/

 Sutiyono : 2012, “Manajemen Seni Pertunjukan Kraton Yogyakarta Sebagai


Penanggulangan Krisis Pariwisata Budaya”
 Thoyib, Armanu : 2005, “Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi, dan Kinerja :
Pendekatan Konsep”
 Hartono : 2001, “Pengelolaan Organisasi Seni Pertunjukan”

21

Anda mungkin juga menyukai