Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP IBADAH PUASA

Puasa merupakan ibadah yang memiliki keistimewaan dibandingkan


dengan ibadah-ibadah yang lain, seperti dituntutnya pelaku untuk benar-benar
ikhlas melakukannya, karena ibadah puasa boleh dikatakan sebagai ibadah yang
sifatnya rahasia, maka puasa hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh orang-
orang yang beriman saja.

A. Pengertian Ibadah Puasa


1. Pengertian Ibadah
Ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti kepada
Allah Swt yang didasari mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.1
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti “ta’at” menurut,
mengikuti, tunduk yaitu tunduk yang setinggi-tingginya dengan do’a.2
Ibadah dalam bahasa Arab adalah ‫ ﻋﺒﻮدﻳﺔ( اﷲ‬,‫ﻋﺒﺎدة )ﻋﺒﻮدة‬-‫ﻳﻌﺒﺪ‬-‫ﻋﺒﺪ‬
Artinya, menyembah, mengabdi, menghinakan diri kepada Allah Swt.3
Sedangkan secara terminologi, para ulama fiqh memberikan
definisi ibadah sebagai berikut:
Yusuf Qardhawi memberikan definisi ibadah adalah puncak
perendahan diri seseorang yang berkaitan erat dengan puncak kecintaan
kepada Allah Swt.4
Abdullah Siddik berpendapat bahwa ibadah adalah usaha manusia
yang dipersembahkan kepada Allah SWT yang Maha Esa demi
keselamatan diri manusia masing-masing di dunia dan di akhirat dan

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), hlm. 364.
2
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 1.
3
H. Mahmud Yusuf, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989),
hlm. 252.
4
Yusuf Qardhawi, Konsep Kaidah dalam Islam, (Surabaya: Central Media, 1993), hlm.
55.

13
14

berpokok lima. Kelima ibadah itu disebut dalam syari’at dengan hukum
Islam.5 Sedangkan ibadah menurut Hasbi ash Shiddieqy, ibadah
mempunyai dua pengertian, makna khas (tertentu) dan makna ‘am
(lengkap, umum). Makna khas, yaitu segala hukum yang dikerjakan untuk
mengharap pahala di akhirat, dikerjakan sebagai tanda pengabdian kita
kepada Allah dan di ridhoi oleh-Nya.6
Beberapa definisi tersebut, meskipun berbeda kalimatnya, akan
tetapi tidak berjauhan maksudnya. Ibadah merupakan mengabdi, tunduk,
taat kepada Allah Swt. Ibadah adalah ketundukan kepada Allah Swt
dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Dengan demikian dapat disimpulkan pengertian ibadah adalah
usaha dan perbuatan manusia yang dilakukan untuk memperoleh
keselamatan bagi dirinya di dunia dan akhirat.
2. Pengertian Puasa
a. Pengertian puasa secara etimologi
Kata puasa yang dipergunakan untuk menyebutkan arti dari al-
Shaum dalam rukun Islam keempat ini dalam Bahasa Arab disebut ,‫ﺻﻮم‬
‫ ﺻﻴﺎم‬yang berarti puasa.7 Menurut L. Mardiwarsito dalam bahasa kawi
disebut “upawasa” yang berarti berpuasa.8 Dalam Bahasa Arab dan al-
Qur’an puasa disebut shaum atau shiyam yang berarti menahan diri dari
sesuatu dan meninggalkan sesuatu atau mengendalikan diri.9 Abi
Abdillah Muhammad bin Qasim al-Syafi’i mengatakan:

‫)وهﻮ واﻟﺼﻮم ﻣﺼﺪ ران( ﻟﺼﺎم )ﻣﻌﻨﺎهﻤﺎ ﻟﻐﺔ اﻻﻣﺴﺎك( ﻋﻦ ﻃﻌﺎم‬


‫اوآﻼم اوﺳﻴﺮ‬

5
H. Abdillah Siddik, SH., Azas-azas Hukum Islam, (Jakarta: Wijaya, 1982), hlm. 70.
6
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Op.Cit., hlm. 7.
7
K.H. ADIB BISRI DAN K.H. MUNAWAR AL-FATAH, KAMUS INDONESIA ARAB, ARAB
INDONESIA, (SURABAYA: PUSAKA PROGESSIFME, 1999), HLM. 272.
8
L. MARDIWARSITO, KAMUS JAWA KUNO(KAWI), (INDONESIA: NUSA INDAH, 1978), HAL.
380.
9
MOHAMMAD DAUD ALI, S.H., PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, (JAKARTA: PT. RAJA
GRAFINDO PERSADA, 1998), HAL. 276.
15

Artinya: “Kata shiyam dan shaum keduanya merupakan bentuk


mashdar dari fi'il madhi shaama yang secara lughat
(bahasa) berarti menahan diri dari makan, berbicara, dan
berjalan”.10

Jadi, secara umum pengertian puasa menurut bahasa adalah


menahan diri atau mengendalikan diri baik dari makan, bicara, maupun
berjalan.
b. Pengertian puasa secara terminologi
Secara terminologi, pengertian puasa banyak dikemukakan oleh
para ahli, di antaranya oleh:
1) Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Syafi'i

‫اﻟﺼﻴﺎم )وﺷﺮﻋﺎ اﻣﺴﺎك ﻋﻦ ﻣﻔﻄﺮ( ﻣﻦ ﻧﺤﻮ ﺷﻬﻮﺗﻲ اﻟﻔﺮج‬


‫واﻟﺒﻄﻦ ﻟﻄﺎ ﻋﺔ اﻟﻤﻮﻟﻰ )ﺑﻨﻴﺔ ﻣﺨﺼﻮﺻﺔ( آﻨﻴﺔ اﻟﺼﻮم ﻋﻦ‬
‫رﻣﻀﺎن او آﻔﺎرة او ﻧﺬر)ﺟﻤﻴﻊ ﻧﻬﺎر( ﻣﻦ اول اﻟﻨﻬﺎر اﻟﻰ اﺧﺮﻩ‬
‫)ﻗﺎﺑﻞ ﻟﻠﺼﻮم( ﻓﺨﺮج ﺑﻪ ﻳﻮﻣﺎ اﻟﻌﻴﺪ واﻳﺎم اﻟﺘﺸﺮﻳﻖ وﻳﻮم اﻟﺸﻚ ﺑﻼ‬
‫ﺳﺒﺐ )ﻣﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﺎﻗﻞ( اي ﻣﻤﻴﺰ)ﻃﺎهﺮ ﻣﻦ ﺣﻴﺾ وﻧﻔﺎس‬
11
‫(ووﻻدة ﺟﻤﻴﻊ اﻟﻨﻬﺎر وﻣﻦ اﻏﻤﺎء وﺳﻜﺮ ﻓﻲ ﺑﻌﻀﻪ‬
Artinya: “Puasa menurut syara' adalah menahan diri dari segala
sesuatu yang dapat membatalkannya seperti keinginan
untuk bersetubuh, dan keinginan perut untuk makan
semata-mata karena taat (patuh) kepada Tuhan dengan
niat yang telah ditentukan seperti niat puasa Ramadlan,
puasa kifarat atau puasa nadzar pada waktu siang hari
mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari
sehingga puasanya dapat diterima kecuali pada hari
raya, hari-hari tasyrik dan hari syak, dan dilakukan oleh
seorang muslim yang berakal (tamyiz), suci dari haid,
nifas, suci dari wiladah (melahirkan) serta tidak ayan dan
mabuk pada siang hari”.

2) Menurut Abi Yahya Zakaria al-Anshari:

10
ABI A'BDILLAH MUHAMMAD BIN QASIM AL-SYAFI`I, TAUSYAH A’'LA FATH AL- QARIIB
AL-MUJIB, (DAR AL-KUTUB AL-ISLAMIAH, T.TH.), HAL.110.
11
Ibid., hal. 110.
16

12
‫وﺷﺮﻋﺎ اﻣﺴﺎك ﻋﻦ اﻟﻤﻔﻄﺮ ﻋﻠﻰ وﺟﻪ ﻣﺨﺼﻮص‬
Artinya: “Puasa menurut istilah syara' (terminologi) yaitu menahan
diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya sesuai
dengan tata cara yang telah ditentukan”.

3) Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini mengartikan


puasa sebagai berikut:

‫اﻟﺼﻴﺎم وهﻮ ﻓﻲ اﻟﺸﺮع اﻣﺴﺎك ﻣﺨﺼﻮص ﻣﻦ ﺷﺨﺺ ﻣﺨﺼﻮص‬


13
‫ﻓﻲ وﻗﺖ ﻣﺨﺼﻮص ﺑﺸﺮاﺋﻂ‬
Artinya: “Puasa menurut syara' adalah menahan diri dari sesuatu
yang telah ditentukan bagi seseorang yang telah ditentukan
pula pada waktu tertentu dengan beberapa syarat”.

4) Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani

‫اﻻﻣﺴﺎك ﻋﻦ اﻷآﻞ واﻟﺸﺮب واﻟﺠﻤﺎع وﻏﻴﺮ هﺎ ﻣﻤﺎ وردﺑﻪ اﻟﺸﺮع‬


‫ﻓﻰ اﻧﻬﺎر ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺣﺪ اﻟﻤﺸﺮوع وﻳﺘﺒﻊ ذﻟﻚ اﻻﻣﺴﺎك ﻋﻦ اﻟﻠﻐﻮ‬
‫واﻟﺮﻓﺚ وﻏﻴﺮهﺎ ﻣﻦ اﻟﻜﻼم واﻟﻤﺤﺮم واﻟﻤﻜﺮوﻩ ﻟﻮروداﻷﺣﺎدﻳﺚ‬
‫ﺑﺎﻟﻨﻬﻲ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﺼﻮم زﻳﺎدة ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﻓﻰ وﻗﺖ ﻣﺨﺼﻮص‬
14
.‫ﺑﺼﺮوط ﻣﺤﺼﻮﺻﺔ‬
Artinya: “Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual
dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri dari
padanya sepanjang hari menurut cara yang telah
disyaratkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-
sia (membuat), perkataan yang merangsang (porno),
perkataan-perkataan lainnya baik yang haram maupun yang
makruh pada waktu yang telah disyariatkan, disertai pula
memohon diri dari perkataan-perkataan lainnya baik yang
haram maupun yang makruh pada waktu yang telah
ditetapkan dan menurut syara’ yang telah ditentukan”.

12
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarhi Manhaj al-Thulab,Juz I,
(Semarang: Maktabah wa Mathba'ah, Toha Putra, t.th.), hal, 118.
13
Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi Hilli
Ghayat al-Ikhtishar, Juz I, (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah, Toha Putra, t.th.), hal. 204.
14
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, Jilid III (Beirut: Darul al
Kitab al Ilmiyah, t.th.), hlm. 305.
17

5) Fathul Mu’in.

.‫ وﺷﺮﻋﺎ اﻣﺴﺎك ﻋﻦ ﻣﻔﻄﺮ ﺑﺸﺮوﻃﻪ اﻻﺗﻴﺔ‬:‫ اﻻﻣﺴﺎك‬,‫ ﻟﻐﺔ‬:‫هﻮ‬


Artinya: “Puasa menurut bahasa, kata ini mempunyai arti
“menahan” sedang menurut syara’ adalah menahan diri dari
segala yang membatalkan puasa dengan syarat-syarat”.15

6) Abdur Rahman Shad dalam bukunya yang berjudul The Rights of


Allah and Human Rights mengatakan:

"Fasting is a noble act of high merits because who so ever


observes it, suppresses his carnal lust, abjures his pleasures and
abstains from eating and drinking for his sake".16

“Puasa adalah perbuatan mulia yang mengandung manfaat besar


bagi siapa saja yang melaksanakannya, yaitu dengan menahan
hawa nafsu, meninggalkan kesenangan, dan menahan makan dan
minum yang dilakukan semata-mata karena Allah.”

Dari beberapa definisi di atas maka dapat ditarik pengertian bahwa


puasa (shiyam) adalah suatu substansi ibadah kepada Allah Swt. yang
memiliki syarat dan rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari segala
keinginan syahwat, perut, dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam
kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat dan semacamnya,
sejak terbit fajar hingga terbenam matahari yang dilakukan oleh muslim
yang berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas yang dilakukan dengan yakin
dan disertai dengan niat.

B. Dasar Hukum Puasa


Allah Swt. memerintahkan hambanya untuk beribadah kepada-Nya.
Pada bulan Ramadhan Allah Swt. mewajibkan pada umat-Nya yang beriman
untuk menjalankan ibadah puasa. Sebagaimana dalam firman Allah SWT.
surat al-Baqarah ayat 183:

15
Syeh Zainudin bin Abdul Aziz al-Malyabars, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrot al-A’in,
(Indonesia: Dar al-Ikhya al Kutub al-Arabiyah, t. th), hlm. 54
16
Abdur Rahman Shad, The Right of Allah and Human Right, (Delhi: Shandar Market,
1993), hal. 47
18

‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ُﻜ ْﻢ‬
ْ ‫ﻦ ِﻣ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ﺐ‬
َ ‫ﺼﻴَﺎ ُم َآﻤَﺎ ُآ ِﺘ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱢ‬
َ ‫ﺐ‬
َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ُآ ِﺘ‬
َ ‫ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬
(183:‫)اﻟﺒﻘﺮة‬ ‫ن‬
َ ‫َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ ﱠﺘﻘُﻮ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar
kamu bertaqwa”. (Q.S. al-Baqarah: 183)17

Pada awal ayat dipergunakan kata-kata panggilan kepada orang-


orang yang beriman (‫ )اﻣﻨﻮا‬tentu hal ini mempunyai maksud-maksud yang
terkandung didalamnya. Karena puasa itu bukan suatu ibadah yang ringan,
yakni harus menahan makan, minum, bersenggama dan keinginan-keinginan
lainnya. Sudah tentu yang dapat melaksanakan ibadah tersebut hanyalah
orang-orang yang beriman saja. Dalam hal ini Prof. Hamka menjelaskan:

“Abdillah bin Mas’ud pernah mengatakan, bahwa apabila sesuatu


ayat telah dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang
percaya sebelum sampai ke akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini
mengandung suatu perihal yang penting ataupun suatu larangan
yang berat. Sebab Tuhan Yang Maha Tahu telah memperhitungkan
terlebih dahulu bahwa yang bersedia menggalangkan bahu buat
memikul perintah Ilahi itu hanya orang yang beriman Maka perintah
puasa adalah salah satu perintah yang meminta pengorbanan
kesenangan dia dan kebiasaan tiap hari.18

Berdasarkan ayat di atas tegas bahwa, Allah Swt. mewajibkan puasa


kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, sebagaimana Dia telah mewajibkan
kepada para pemeluk agama sebelum mereka. Dia telah menerangkan sebab
diperintahkannya puasa dengan menerangkan sebab diperintahkannya puasa
dengan menjelaskan faedah-faedahnya yang besar dan hikmah-hikmahnya
yang tinggi, yaitu mempersiapkan jiwa orang yang berpuasa untuk
mempercayai derajat yang takwa kepada Allah Swt dengan meninggalkan
keinginan-keinginan yang dibolehkan demi mematuhi perintah-Nya dan demi
mengharapkan pahala dari sisi-Nya, supaya orang mukmin termasuk

17
R. H.A. Soenarjo, SH, et.al., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1989), hlm. 44.
18
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid II, (Jakarta: PT. Pustaka, Panji Mas, 1994), hlm. 90.
19

golongan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yang menjauhi larangan-


larangan-Nya.
Perintah puasa bagi umat Islam diwajibkan oleh Allah SWT. pada
bulan yang mulia yaitu bulan Ramadhan karena di bulan Ramadhan itulah
diturunkan al-Qur’an kepada umat manusia melalui Nabi besar Muhammad
Saw.
Rasulullah memberi petunjuk tentang ketentuan tibanya waktu
kewajiban yaitu datangnya bulan suci Ramadhan, dengan sabdanya:

‫ اﻟﺸﻬﺮ ﺗﺴﻊ وﻋﺸﺮون ﻟﻴﻠﺔ‬:‫م ﻗﺎل‬.‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪاﷲ ان رﺳﻮل اﷲ ص‬


19
(‫)رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬ ‫ﻓﻼﺗﺼﻮﻣﻮاﺣﺘﻰﺗﺮوﻩ ﻓﺈن ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺄآﻤﻠﻮا ﻟﻌﺪة ﺛﻼﺛﻴﻦ‬
Artinya: “Dan Abdullah katanya, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
sebulan dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu puasa
hingga kamu melihatnya, jika tertutup atasmu cukupkanlah tiga
puluh (H.R. Bukhari)

Petunjuk Rasulullah di atas menunjukkan bahwa umat Islam wajib


melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, yakni “apabila telah melihat bulan,
atau dengan persaksian seorang yang adil, apabila tidak terlihat bulan dan
tidak ada persaksian tentang telah ada bulan, beliau menyempurnakan bulan
Sya’ban 30 hari”

C. Syarat dan Rukun puasa


1. Syarat puasa
Pada ulama ahli fiqh membedakan syarat-syarat puasa atas:
a. Syarat wajib puasa yang meliputi20
1) Berakal (‘aqli)
Orang yang gila tidak diwajibkan puasa
2) Baligh (sampai umur)

19
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut
Libanon: Dar al-Fikr, al-Ilmiyah, t.th.), hlm. 588.
20
TEAM PENYUSUN TEXT BOOK ILMU FIQH I, ILMU FIQH, JILID I (JAKARTA: PROYEK
PEMBINAAN PRASARANA DAN SARANA PERGURUAN TINGGI AGAMA/IAIN JAKARTA, 1983), HLM.
302.
20

Oleh karena itu anak-anak belum wajib berpuasa


3) Kuat berpuasa (qadir)
Orang yang tidak kuat untuk berpuasa baik karena tua atau
sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, tidak diwajibkan
atasnya puasa, tapi wajib bayar fidyah.
b. Syarat syah puasa yang mencakup21
1) Islam
Orang yang bukan Islam (kafir)
2) Mumayiz (mengerti dan mampu membedakan yang baik dengan
yang baik)
3) Suci dari pada darah haid, nifas dan wiladah
Wanita yang diwajibkan puasa selama mereka tidak haid.
Jika mereka sedang haid tidak diwajibkan puasa, tetapi diwajibkan
mengerjakan qadha sebanyak puasa yang ditinggalkan setelah
selesai bulan puasa.
Nifas dan wiladah disamakan dengan haid. Bedanya bila
sang ibu itu menyusui anaknya ia boleh membayar fidyah.
Disinilah letak perbedaan antara meninggalkan shalat dan
meninggalkan puasa bagi orang yang sedang haid.
Pada shalat, bagi orang haid lepas sama sekali kewajiban
shalat, sedangkan pada puasa tidak lepas, tetapi didenda untuk
dibayar (diqadha) pada waktu yang lain.
4) Dikerjakan dalam waktu atau hari yang dibolehkan puasa.
2. Rukun Puasa
Ada dua rukun puasa. Tanpa memenuhi rukun puasa, tidak ada.
Dua rukun puasa itu yaitu:
a. Niat
b. Menahan diri dari segala yang membukakan
a. Niat

21
Ibid., hlm. 303.
21

Berniat mengerjakan sesuatu dengan sadar dan sengaja


mengerjakan sesuatu berarti sesuatu itu dikerjakan dengan
kemampuan kita. Hasil perbuatan itu mungkin baik mungkin tidak.
Nilai tidak dikaitkan dengan hasil itu, tetapi pada nilai perbuatan.
Perbuatan khilaf, tidak mampu, tidak tahu akibatnya karena lupa
dan dipaksa oleh keadaan atau oleh orang (sehingga tidak ada jalan
lain) adalah tindakan yang dikerjakan di luar kemampuan. Dengan
demikian perbuatan itu tidak berpangkal dengan niat. Maka betapa
buruk atau jahatpun akibat dari perbuatan itu, si pelaku tidak
dibebankan dosa, artinya dinilai tidak bersalah oleh ajaran Islam.22
Niat itu adalah amalan hati, dan niat puasa dilakukan pada
malam hari, dengan niat itu orang mulai mengarahkan hatinya
untuk berpuasa esok hari, karena Allah SWT. dan mengharap
larangan-larangan-Nya. Karena Allah SWT. dan mengharap ridha-
Nya. Diingatkannya dan bertekad mengerjakan suruhan Agama
dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena itulah yang
mesti mengucapkan niat itu hati. Karena hati itulah memancar
kemauan keharusan niat berpuasa, sebagaimana dalam Hadits
Rasul:

‫ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺒﻴﺖ‬:‫ م ﻗﺎل‬.‫وﻋﻦ ﺣﻔﺼﺔ ام اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ أن اﻟﻨﺒﻰ ص‬


(‫ )رواﻩ اﻟﺨﻤﺴﻪ‬.‫ﻟﻪ‬ ‫اﻟﺼﻴﺎم ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ ﻓﻼ ﺻﻴﺎم‬
Artinya: “Dari Hafsah Ummul Mu’minin ra bahwasanya Nabi
SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak menetapkan
berpuasa sebelum fajar, maka tidak sah berpuasanya.23

Hadits di atas menyatakan bahwa puasa tidak sah kecuali


dengan menetapkan niat pada waktu malam sebelum terbit fajar
dan waktu penetapan niat itu semenjak terbenam matahari.
Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Subulus Salam:
22
SIDI GAZALBA, ASAS-ASAS AGAMA ISLAM, (JAKARTA: BULAN BINTANG, 1975), HLM.
142.
23
AL-HAFID BIN HAJAR AL-ASQOLANI, BULUGHUL MARAM, (AN-NASIR: SYIRKATUN NUR
ASYYAA, T.TH), HLM : 132.
22

Dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk


kesehatan, berpuasa tanpa adanya niat puasa untuk melaksanakan
ibadah, tapi semata-mata untuk kesehatannya. Orang yang
demikian akan mendapatkan manfaat jasmaniah saja, tapi tidak
mendapatkan rohaniah. Dengan demikian niat puasa harus ada
pada orang yang berpuasa, karena tanpa niat berarti tidak ada
puasa.
b. Menahan dari segala yang membatalkan puasa
Dengan niat berpuasa sungguh-sungguh maka orang yang
berpuasa tidak saja menahan untuk tidak makan, tidak minum dan
tidak pula bersetubuh dengan suami dan istri dari terbit fajar
sampai terbenam matahari. Tetapi juga menjauhkan segala
perbuatan kotor dan jahat. Orang yang berpuasa menahan haus dan
lapar sepanjang hari tetapi setelah malam lalu makan dan minum
sebanyak-banyak menghilangkan akan maksud puasa yang
dikehendaki Allah SWT. sebagaimana firman Allah SWT. dalam
QS. al-A’raf ayat 31:

‫ﺷ َﺮﺑُﻮا وَﻻ‬
ْ ‫ﺠ ٍﺪ َو ُآﻠُﻮا وَا‬
ِ‫ﺴ‬
ْ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ُآﻞﱢ َﻣ‬
ِ ‫ﺧﺬُوا زِﻳ َﻨ َﺘ ُﻜ ْﻢ‬
ُ ‫ﻳَﺎ َﺑﻨِﻲ ﺁ َد َم‬
(31:‫)ﻷﻋﺮاف‬ ‫ﻦ‬
َ ‫ﺴ ِﺮﻓِﻴ‬
ْ ‫ﺤﺐﱡ ا ْﻟ ُﻤ‬
ِ ‫ﺴ ِﺮﻓُﻮا ِإﻧﱠ ُﻪ ﻻ ُﻳ‬
ْ ‫ُﺗ‬
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah dan
janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah SWT.
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.24

Pada ayat di atas menjelaskan bahwa Wahai anak-anak


Adam: pakailah perhiasan kamu pada tiap-tiap masjid. Dengan
menyampaikan seruan kepada seluruh anak Adam, dapatlah kita
fahamkan bahwa agama Islam bukanlah khusus untuk suatu bangsa
saja, melainkan benarlah bahwa Muhammad Saw rahmat bagi
seluruh Islam, laki-laki dan perempuan. Disini diperintahkan
kepada mereka tegasnya kepada kita masuk ke suatu masjid ialah
24
R.H.A.Soenarjo, SH., et all, Op., Cit., hlm.225.
23

kalau kita hendak bersujud sembahyang, karena arti asal dari


masjid ialah tempat sujud, hendaklah kita upamakan perhiasan.
Artinya hendaklah memakai pakaianmu yang pantas.25
Sedangkan menurut Ibnu Katsir, ayat ini sebagai penolakan
atas pendapat kaum musyakan yang towaf di Ka’bah dengan
telanjang. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Karena itu
maka Allah dalam ayat ini menyuruh berpakaian terutama yang
dapat menutupi aurat dan juga dianjurkan memakai pakaian yang
bagus pada tiap ibadah di masjid untuk sholat dan towaf.26
Ditinjau dari ilmu kesehatan makan yang berlebih-lebihan
membahayakan kesehatan biarpun tidak dalam puasa, apalagi
dalam puasa sesudah perut dalam keadaan kosong. Orang yang
berpuasa pada siang hari sedang dalam malam harinya ia makan
dan minum sepuas-puasnya, bukanlah timbul dari iman dan
keinsyafan akan perbaikan dan faedah puasa yang dikehendaki itu.

D. Waktu Puasa
Allah SWT. telah memilih bulan Ramadhan, yaitu bulan
diturunkannya Al-Qur’an untuk berpuasa pada bulan itu kaum muslimin
diperintahkan berpuasa pada siang hari dan berlaku pada malam harinya.
Untuk mengetahui mulainya puasa atau 1 hari bulan Ramadhan. Allah SWT.
dan Rasul menunjukkan jalannya, yaitu melihat bulan. Sebagaimana dalam
firman Allah SWT. dalam S. al-Baqarah ayat 185:

‫ﻦ ا ْﻟ ُﻬﺪَى‬
َ ‫ت ِﻣ‬
ٍ ‫س َو َﺑ ﱢﻴﻨَﺎ‬
ِ ‫ى ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬
ً ‫ن هُﺪ‬
ُ ‫ل ﻓِﻴ ِﻪ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
َ ‫ن اﱠﻟﺬِي ُأ ْﻧ ِﺰ‬
َ ‫ﺷ ْﻬ ُﺮ َر َﻣﻀَﺎ‬
َ
(185 :‫)اﻟﺒﻘﺮة‬ ‫ﺼﻤْﻪ‬
ُ ‫ﺸ ْﻬ َﺮ َﻓ ْﻠ َﻴ‬
‫ﺷ ِﻬ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ن َﻓ َﻤ‬
ِ ‫وَا ْﻟ ُﻔ ْﺮﻗَﺎ‬
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena

25
Hamka, Tafsir al Azhar, juz VIII, (Jakarta: PT. Pustaka Pandji Mas, 1984), hlm. 210.
26
H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahresey, Terjemahan Singkat Ibnu Katsier, Jilid III,
(Surabaya; PT. Bina Ilmu, 1986), hlm. 396.
24

itu, barang siapa diantara kamu hadir (…tempat tinggalnya) di


bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa) Q.S. Al Baqarah: 185.27

Quraish Shihab berpendapat bahwa uraian al-Qur'an tentang puasa


Ramadhan, ditemukan dalam surat Al Baqarah ayat 183, 184, 185 dan
187, ini berarti bahwa puasa Ramadhan itu diwajibkan setelah Nabi saw,
tiba di Madinah, karena Ulama’ al-Qur'an sepakat bahwa surat Al Baqarah
turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban
melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan oleh Allah Swt pada 10
Sya’ban tahun kedua Hijrah. Uraian al-Qur'an tentang kewajiban puasa di
bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat
Islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kesalahan pun.28
Dalam ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa orang mulai
berpuasa sesudah melihat bulan dalam arti sesudah masuk bulan
Ramadhan dan bukan dalam arti sesudah tiap-tiap kita melihat bulan.
Begitu juga dengan hendak berhari raya karena dalam melakukan cara
ru’yah cukup dengan satu keterangan satu saksi saja. Saksi seorang
muslim telah cukup syarat untuk mulai berpuasa tetapi jika ada dua atau
lebih saksi yang mengaku melihat bulan itu adalah lebih baik dan afdhol.
Menurut istilah fiqh ru’yah adalah melihat bulan untuk menetapkan
satu hari bulan Ramadhan sebagai tanda mulai puasa, dan satu hari bulan
Syawal untuk berhari raya. Sedangkan istilah hisab yaitu menetapkan satu
hari bulan Ramadhan dan satu hari bulan Syawal menurut perhitungan
ilmu falak (hisab).29
Dengan demikian untuk mengetahui jatuhnya waktu puasa dapat
dilakukan dengan melihat bulan (ru’yah) dan dengan ilmu falak (hisab)

E. Keringanan Puasa
Puasa Ramadhan diwajibkan bagi tiap mukmin yang aqil (yang sudah
dapat membedakan sendiri antara yang baik dan buruk). Baligh (sudah dewasa
27
R.H.A.Soenarjo, SH. et all, Op.Cit., hlm. 45.
28
M. Quraish Shihab, MA, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm.
523
29
H. Abdullah Siddik, SH. Op.Cit., hlm. 146.
25

dan qaddir dan sehat jasmani).30 Wajib dijalankan selama hayat dikandung
badan, dimanapun juga. Apabila seseorang atau sekelompok orang-orang
benar-benar tidak mampu atau sukar sekali untuk menjalankannya, baru
terbuka kelonggaran adalah mereka yang puasa itu menyiksa baginya. Kalau
diperinci orang-orang yang diberi kelonggaran adalah sebagai berikut:31
1. Orang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Golongan ini dibebaskan
dan wajib puasa selama sakit atau selama musafir. Akan tetapi mereka
diwajibkan mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada
hari-hari lain.
2. Perempuan dalam haid (menstruasi), perempuan hamil dan perempuan
yang menyusui anak. Tapi mereka harus mengqodho lain-lain yang
mereka tiada berpuasa atau mereka membayar fidyah, bagi kedua
golongan yang terakhir ini.
3. Orang tua yang sudah lanjut umur tiada kuasa lagi berpuasa.
4. Orang sakit yang tidak ada harapan lagi sembuh dari sakitnya
5. Mereka yang bekerja berat dan karena berat kerjanya itu tidak kuasa
puasa, seperti pekerja-pekerja tombang, abang-abang becak, buruh-buruh
kasar di pabrik-pabrik dan di pelabuhan-pelabuhan dan sebagainya.
Jadi bukan keinginan yang Allah SWT. tetapi keadaan yang benar-
benar tidak memungkinkan kita. Apabila terhalang mengerjakan puasa boleh
tidak berpuasa di bulan itu, untuk mengerjakannya sesudah halangan itu
lenyap. Atau mengganti hari-hari terlarang berpuasa di bulan tersebut dengan
hari-hari lain. Tetapi kalau halangan itu terus menerus sehingga betul-betul
tidak mampu mengganti hari-hari tidak berpuasa itu dengan hari-hari lain,
bolehlah ia mengganti tiap hari wajib puasa dengan memberi sedekah
makanan kepada orang miskin tiap-tiap hari sebanyak ¾ liter beras satu
dengan uang yang seharga dengan beras itu (fidyah)
Puasa itu wajib tetapi Islam tidaklah memberatkan dan menyaksikan
penganutnya, tapi untuk mewujud jalan baginya, di dunia dan di akhirat.

30
Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 149.
31
Nazaruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993), hlm. 262.
26

Apabila suatu kewajiban yang dibebankan Islam benar-benar tidak terpikat


(sehingga benar-benar bersifat menyiksa) dengan sendirinya datang
kelonggaran. Disebutlah firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 286:

(286 :‫)اﻟﺒﻘﺮة‬ … ‫ﻒ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻧﻔْﺴًﺎ ِإﻟﱠﺎ ُو ْﺳ َﻌﻬَﺎ ﻗﻠﻰ‬


ُ ‫ﻻ ُﻳ َﻜﻠﱢ‬
Artinya: “Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya (Q.S. al-Baqarah: 286).32

Pada ayat terakhir S. Al Baqarah ialah lanjutan dan gambaran orang


yang beriman bersama Rasul itu. Dan mengandung pula sambutan Tuhan atas
permohonan ampun mereka jika terdapat kekurangan pada amal mereka. Allah
berfirman: memang tidaklah ada suatu perintah dan didatangkan oleh Tuhan
yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri. Tidak ada perintah yang berat,
apalagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah sembahyang tidak sanggup
berdiri boleh duduk atau tidak sanggup duduk, boleh tidur. Tidak ada air
bolehlah tayamun. Puasa di dalam musafir dan sakit, boleh diganti di hari
yang lain.33
Bahwa dengan demikian puasa itu ialah untuk melindungi mu’min dan
kejahatan bukan untuk menyiksa atau memasukkannya. Karena itu anak juga
belum diwajibkannya puasa, namun demikian ia sudah dibiasakan sebagai
persiapan dan latihan untuk ketika aqil baligh, yang nantinya puasa sudah
menjadi kebiasaannya.
F. Jenis-Jenis Puasa
Dilihat dari waktu pelaksanaannya puasa dibagi menjadi dua, yaitu
puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan dan puasa yang dilaksanakan
diluar bulan Ramadhan, seperti puasa qadla dan puasa enam hari pada bulan
Syawal.34
Sedangkan dilihat dari segi pelaksanaannya, hukum puasa dibedakan
atas:

32
R. H.A. Soenarjo, S.H., Op.Cit., hlm. 72.
33
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III, Op. Cit, hlm. 92.
34
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid. IV, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 113.
27

1. Puasa yang hukumnya wajib: yaitu puasa bulan Ramadhan, puasa kifarat,
puasa nadzar dan puasa qadla.
2. Puasa sunnah atau puasa tathawu’ misalnya puasa enam hari bulan
Syawal, puasa hari senin kamis, puasa arafah (9 Dzulhijjah) kecuali bagi
orang yang sedang mengerjakan ibadah haji tidak disunnahkan, puasa hari
A’syura (10 Muharram), puasa bulan Sya’ban, puasa tengah bulan
(tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariyah).
3. Puasa makruh, misalnya puasa yang dilakukan terus- menerus sepanjang
masa kecuali pada bulan Haram, disamping itu makruh puasa setiap hari
sabtu saja atau tiap jum’at saja.
4. Puasa haram yaitu haram berpuasa pada waktu-waktu tertentu, misalnya
pada Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal), hari raya idul Adha (10 Dzulhijjah),
hari-hari tasyrik (11, 12 dan 13 Dzulhijjah).35

G. Tujuan Hikmah Puasa


Puasa yang dijalankan sebagai pengabdian kepada Allah Swt
mengandung nilai dan hikmah bagi manusia yang menjalankan dengan baik.
Nilai dan hikmah ini bukanlah tujuan dari puasa, melainkan merupakan efek
langsung yang diterima oleh hamba yang berpuasa.
Dalam al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya
dipegangkan adalah untuk mencapai ketaqwaan/la’alakum tattaqun. Taqwa
diambil dari kata yang bermakna, menghindar, menjauhi atau menjaga diri.
Kalimat perintah Ittaqullah secara harfiyah berarti hindarilah, jauhilah atau
jagalah dirimu dari Allah Swt.36
Hikmah puasa sangat banyak, baik yang bersifat spiritual maupun yang
bersifat material, jasmani maupun rohani. Diantara hikmah-hikmah puasa
dapat dikelompokkan menjadi:
1. Disiplin Rohaniah

35
Muslich Maruzi, Pedoman Ibadah Puasa, (Jakarta: Pustaka Amani, 1990), hlm. 12-
13.
36
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Op. cit., hlm. 530
28

Puasa melepaskan manusia dari pada ikatan kehewanan, karena


hanya binatanglah yang tidak sanggup menahan seleranya. Tidak sanggup
menahan syahwat birahinya dan hanya takut kepada apa-apa yang
dilihatnya. Sebagaimana pendapat Sidi Gazalba ;
Tidak ada jariku yang lebih kuat dan pada makan dan minum serta
berhubungan dengan istri, manakala kita memiliki tiga unsur itu, namun
demikian nafsu itu kita tundukkan, karena puasa. Banyak hal-hal yang
tidak baik tapi menyenangkan. Kita senang melihatnya, mengucapkannya
dan memperbuatnya, tetapi nafsu kita kendalikan karena puasa.37
Wahbah Al-Zuhaily yang juga menyatakan, “puasa dapat
menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatan yang tersalurkan
dengan anggota tubuh, seperti, mata, lidah, telinga, dan kemaluan. Dengan
puasa aktivitas nafsu menjadi lemah.38
Puasa yang dilakukan disini ialah mengendalikan hawa nafsu dan
mengontrolnya. Dengan puasa orang siddik untuk mengendalikan nafsu-
nafsunya. Nafsu-nafsu itu ditundukkannya terhadap kemauan untuk
tunduk atas semata Allah Swt. dengan diri, dari fajar menyingsing sampai
malam. Tiap tahun dalam sebulan lamanya mukmin mendisiplinkan
jiwanya dengan mengendalikan nafsu-nafsu yang vital dalam dirinya.
2. Disiplin Akhlak
Ibadah puasa menanamkan sifat lurus dan jujur dalam segala
urusan dan mempertanggungjawabkan, sekalipun manusia tidak ada yang
mengawasinya. Selanjutnya puasa meninggikan budi pekerti manusia,
karena ia tidak lagi menjadi budak dari hawa nafsu dan keinginannya,
tetapi ia dapat menguasai siswa itu dan sedikit yang telah diakui oleh para
sarjana itu jiwa seluruh dunia seorang yang dapat menguasai hawa
nafsunya adalah yang mempunyai keluhuran budi.39

37
Sidi Gazalba, Op.Cit., hlm. 51
38
Wahbah al-Zuhaily, Puasa dan Itikaf, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Funnany,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995) hlm. 89.
39
H. Abdullah Sidik, S.H., Op.Cit., hlm. 131.
29

Manusia dalam tingkah lakunya perbuatannya selalu dalam pilihan


antara baik dan buruk. Dalam puasa kemauan dilatih untuk selalu memilih
yang baik sehingga melahirkan tingkah laku perbuatan yang baik pula.
Dibiasakan seorang mukmin mendisiplinkan akhlaknya untuk suatu ketika
menjadi kebiasaan dan tabiatnya. Dan tabiat akan membentuk kepribadian
muttaqin yaitu orang yang senantiasa tattaqun. Disiplin akhlak melindungi
jiwa manusia agar dapat menghindarkan diri dari perbuatan jahat. Puasa
dapat menertibkan kemauan dan jiwanya dari pada maksud-maksud hina
dan keji yang senantiasa menggoda hatinya
3. Disiplin Sosial
Puasa dapat menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan umat Islam.
Baik yang ada di timur ataupun di barat. Mereka berpuasa dan berbuka
pada satu waktu. Puasa dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, ukhuwah
dan perasaan keterikatan dalam tolong menolong yang dapat menjamin
rasa persaudaraan sesama umat Islam.40 Perasaan lapar mukmin misalnya
bisa mendorong seorang untuk bersilaturrahmi dengan orang lain serta ikut
berpuasa dalam menghilangkan bahaya kemiskinan, kelaparan dan
penyakit. Hal ini akan semakin menguatkan ikatan solusi antara sesama
manusia dan akan membangkitkan. Mereka untuk saling membantu dan
memberantas penyakit-penyakit masyarakat sosial (deviasi sosial).
Puasa terkadang bisa menyetarakan orang yang berpuasa dengan
orang-orang miskin yaitu dengan ikut menanggung aku merasakan
penderitaan mereka. Tindakan seperti ini akan menyangkut kedudukannya
disisi Allah SWT. Dengan lapar dan haus yang dirasakan ketika puasa,
sadarkan mukmin betapa penderitaan orang tak mampu itu menderita,
sekarang ia tidak hanya tahu yang bersifat teori tapi merasakannya sendiri
yang bersifat praktek.
Setelah sebulan mukmin merasakan penderitaan orang-orang
miskin pada akhir bulan itu diujikan dia, apakah rasa sosial itu telah
tumbuh. Disuruh memberikan sebagian makannya kepada orang miskin

40
Wahbah al Zuhayly, Op. Cit., hlm. 88.
30

dengan zakat fitrah. Kalau itu dilakukan dengan ikhlas terwujudlah nilai
sosial dari puasa.
4. Disiplin Jasmaniah
Puasa secara praktis memperbaharui kehidupan manusia yaitu
membuang makanan yang telah lama mengendap dan menggantinya
dengan yang baru, mengistirahatkan perut dan alat pencernaan,
memelihara tubuh, membersihkan sisa-sisa makanan dan minuman.
Menurut statistik ilmu kesehatan lebih dari 60% penyakit berasal
dari perut, apabila perut tidak dikendalikan, banyak penyakit akan
tumbuh.41
Dalam hal ini Sidi Gazalba menjelaskan bahwa kendalikan
perutmu, maka akan berlindunglah kita dan sebagian besar kejahatan
(penyakit) yang diakibatkan perut.42
Hal yang sama juga dikemukakan oleh al-Hasani ar-Nadwi bahwa
manusia telah berlebih-lebihan di dalam makan dan minum dan tergila-
gila dalam bermacam-macam makanan dan minuman sehingga mereka
diserang penyakit-penyakit baik badan maupun mental.43
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hikmah puasa bagi
orang mukmin bisa berupa fisik atau jasmaniah maupun psikis atau
rohaniah. Hikmah itu melindungi mukmin dari kejahatan jasmaniah dan
rohaniah.
Dari empat nilai hikmah yang dapat dipetik dalam menjalankan
ibadah puasa tersebut menyatakan bahwa dengan puasa akan
terpeliharalah kehidupan rohani dan jasmani seorang muslim, tetapi harus
kita ingat bahwa puasa itu ditujukan kepada orang-orang yang beriman.
Maka nilai dan hikmah rohaniah dan jasmaniah dari puasa itu hanya akan

41
Sidi Gazalba, Op. Cit., hlm. 154.
42
Ibid. hlm. 154.
43
A. A. A. H. al-Hasani ar-Nadwi, Empat Sendi Agama Islam, disadur dari Drs.
Zainuddin et all, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hlm.213.
31

diterima oleh orang mukmin yang menjalankan puasa atas dasar iman dan
takwa.
Dari uraian-uraian tentang puasa serta melihat dari berbagai aspek,
tergambarlah bahwa puasa sangat banyak hikmah dan efeknya
(pengaruhnya) bagi orang-orang yang melaksanakannya, baik dipandang
sebagai ubudiah maupun sebagai latihan. Secara ringkas dapat dapatlah
dirumuskan hikmah puasa sebagai berikut:
a. Tazkiyat al-Nafsi (membersihkan jiwa), yaitu dengan jalan mematuhi
perintah-perintahnya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya, dan
melatih diri untuk menyempurnakan peribadatan kepada Allah Swt
semata.
b. Puasa disamping menyehatkan badan sebagaimana yang telah diteliti
oleh dokter spesialis, juga memenangkan aspek kejiwaan atas aspek
materiil yang ada dalam diri manusia.
c. Puasa mendidik iradah (kemauan), mengendalikan hawa nafsu,
membiasakan bersifat sabar, dan dapat membangkitkan semangat.
d. Puasa dapat menurunkan daya seksual.
e. Dapat menumbuhkan semangat bersyukur terhadap nikmat Allah.
f. Puasa mengingatkan orang-orang yang kaya akan penderitaan dan
kelaparan yang dialami oleh orang-orang miskin.
g. Dapat menghantarkan manusia menjadi insan bertakwa.44
Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, hikmah puasa itu telah
diterangkan dalam Al-Qur'an yaitu menjadi orang yang takwa dan menjadi
tangga yang menyampaikan kita kepada derajat muttaqin. Jadi Allah Swt
memfardlukan puasa kepada kita agar:
a. Untuk menanamkan rasa sayang dan ramah kepada fakir miskin,
kepada anak yatim dan kepada orang melarat hidupnya.
b. Untuk membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Perlu diketahui
bahwa puasa itu suatu amalan Allah Swt yang berat dan sukar. Maka
apabila kita dapat memelihara amanah Allah Swt dengan sempurna

44
Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, (Surakarta: Era Inter Media, 2000), hlm. 21-27.
32

terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang sempurna yang


dipertaruhkan kepada manusia.
c. Untuk menyuburkan dalam jiwa manusia kekuatan menderita, bila
terpaksa menderita dan untuk menguatkan iradah atau kehendak
manusia dan untuk meneguhkan keinginan dan kemauan.45

45
TM. HASBY ASH-SHIDDIQIE, PEDOMAN PUASA, (SEMARANG: PT. PUSTAKA RIZKI
PUTRA, 1997), HLM. 44.

Anda mungkin juga menyukai