Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah infark


miokard dan kanker serta penyebab kecacatan nomor satu diseluruh dunia.
Dampak stroke tidak hanya dirasakan oleh penderita, namun juga oleh
keluarga dan masyarakat disekitarnya. Penelitian menunjukkan kejadian
stroke terus meningkat di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia
(Endriyani, dkk., 2011; Halim dkk., 2013) (dikutip dari Annisa, 2015).

Menurut WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit


stroke tahun 2011. Dari jumlah tersebut 5,5 juta jiwa telah meninggal dunia.
Diperkirakan jumlah stroke iskemik terjadi 85% dari jumlah stroke yang ada.
Penyakit darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke
di dunia. Di Indonesia stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan kanker. Prevalensi stroke mencapai 8,3 per 1000
penduduk, 60,7 persennya disebabkan oleh stroke non hemoragik ) (dikutip
dari Annisa, 2015).

Stroke Non Hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena adanya


hambatan atau sumbatan pada pembuluh darah otak tertentu sehingga daerah
otak yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut tidak mendapat pasokan
energy dan oksigen, sehingga pada akhirnya jaringan sel-sel otak di daerah
tersebut mati dan tidak berfungsi lagi (Rudianto Sofwan, 2013).

Stroke biasanya ditandai dengan kelumpuhan anggota gerak atas


maupun bawah pada salah satu sisi anggota tubuh. Untuk itu penderita stroke
perlu mendapatkan penanganan yang sedini mungkin agar pengembalian
fungsi dari anggota gerak serta gangguan lainnya dapat semaksimal mungkin
atau dapat beraktifitas kembali mendekati normal serta mengurangi tingkat
kecacatan (Syamsul, 2010).
Stroke dapat menyebabkan problematika pada tingkat impairment
berupa gangguan motorik, gangguan sensorik, gangguan memori dan
kognitif, gangguan koordinasi dan keseimbangan. Pada tingkat functional
limitation berupa gangguan dalam melakukan aktifitas fungsional sehari-hari
seperti perawatan diri, transfer dan ambulasi. Serta pada tingkat participation
restriction berupa keterbatasan dalam melakukan pekerjaan, hobi dan
bermasyarakat di lingkungannya (Syamsul, 2010).

Berdasarakan fenomena tersebut, seorang perawat hendaknya


memberikan asuhan keperawatan yang konprehensip kepada klien stroke
sehingga tidak timbul dampak yang tidak diainginkan dari stroke itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep medis stroke non hemoragik?
2. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan stroke non hemoragik?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsep medis stroke non hemoragik
2. Mengetahui konsep asuhan keperawatan stroke non hemoragik
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi Stroke Non Hemoragik


Stroke atau cedera serbrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan
fungsi sistem saraf pusat (SSP) disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran
darah keotak (Dedi Damhudi dkk, 2012).
Stroke Non Hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena adanya
hambatan atau sumbatan pada pembuluh darah otak tertentu sehingga daerah
otak yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut tidak mendapat pasokan
energy dan oksigen, sehingga pada akhirnya jaringan sel-sel otak di daerah
tersebut mati dan tidak berfungsi lagi (Rudianto Sofwan, 2013).
Stroke iskemik (non hemoragic) yaitu tersumbatnya pembuluh darah
yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhannya
terhenti. 80% stroke adalah stroke iskemik (Amin & Hardhi, 2015).

B. Etiologi
1. Trombolik
Penggumpalan darah yang bersikulasi melalui pembuluh darah arteri
merupakan penyebab utama stroke non hemoragik/stroke iskemik.
Trombosisi merupakan penggumpalan darah pada pembuluh darah yang
mengarah menuju ke otak. Kondisi yang terjadi mirip dngan gangguan
arteri (aterosklerosis) pada arteri jantung. Ketika lemak terutama
kolesterol, sel-sel arteri yang rusak, kalsium serta materi lain bersatu dan
membentuk plak, maka plak tersebut akan menempel di bagian dalam
dinding arteri terutama di bagian percabangan arteri. Pada saat yang
bersamaan, sel-sel yang menyusun arteri memproduksi zat kimia tertentu
yang menyebabkan plak tersebut menebal dan akhirnya liang arteri
menyempit. Penyempian liang arteri menyebabkan aliran darah yang
akan melalui liang tersebut terhambat. Lokasi penyumbatan tersebut
dapat terjadi pada pembuluh darah besar (arteri karotis), pembuluh darah
sedang (arteri serebris) atau pembuluh darah kecil. Jika penyumbatan
terjadi pada pembuluh darah kecil, maka dampak yang ditimbulkan tidak
parah. Dalam istilah medis disebut infraction lacunar (Lanny Lingga,
2013).
Melambatnya aliran darah yang melalui arteri atau bahkan terhentinya
pasokan darah ke otak bukan persoalan sepele. Otak sangat
membutuhkan suplai darah untuk memelihara agar sel otak tetap hidup.
Darah membawa oksigen dan nutrisi penting yang diperlukan untuk
kehidupan sel otak. Tanpa pasokan oksigen dan nutrisi yang memadai,
lama-kelamaan sel otak akan mati (Lanny Lingga, 2013).
Trombosis pada pembuluh darah besar erat kaitannya dengan
aterosklerosis, sedangkan thrombosis pada pembuluh darah kecil
biasanya dialami oleh penderita hipertensi. Kadar kolesterol LDL yang
tinggi menjadi pemicu aterosklerosis yang selanjutnya mendorong
thrombosis di pembuluh darah besar. Hiperkolesterolemia terjadi pada
sebagian besar penderita stroke iskemik, meskipun serangan stroke jenis
ini dialami oleh penderita hiperkoleterolemia. Namun, perlu menjadi
catatan penting bahwa tinggi kadar LDL teroksidasi merupakn factor
penting yang mengawali aterosklerosis yang berimbas pada thrombosis
di pembuluh darah besar (Lanny Lingga, 2013).
Stroke iskemik trombolitik banyak dialami oleh para manula terutama
yang memiliki riwayat hipertensi. Biasanya serangan stroke terjadi pada
pagi atau siang hari (Lanny Lingga, 2013).
2. Emboli
Merupakan jenis stroke iskemik dimana penggumpalan darah bukan
terjadi pada pembuluh darah otak melainkan pada pembuluh darah yang
lainnya. Kebanyakan insiden terjadi karena trombosit pada pembuluh
darah jantung. Menurunnya pasokan darah dari jantung yang kaya
oksigen dan nutrisi ke otak adalah faktor utama yang menjadi
penyebabnya.
Stroke iskemik embolitik sering dipicu oleh penurunan tekanan darah
yang berlangsung secara drastis. Berbeda dengan serangan stroke
iskemik trombolitik yang terjadi pada pagi hari, stroke iskemik embolitik
dapat terjadi kapan saja, pagi siang atau malam hari. Pada umumnya
insiden dari stroke ini terjadi tanpa di dahului oleh tanda-tanda yang
dirasakan sebelumnya. Serangan stroke iskemik embolitik umumnya
terjadi begitu saja seolah sebagai kejutan bagi pasien dan orang-orang
yang ada di sekitarnya (Lanny Lingga, 2013).
C. Faktor Resiko
Menurut (Muttaqin, 2008) (dikutip dari Dyah Ayu, 2017)
1. Hipertensi.
Merupakan faktor risiko utama, hipertensi dapat disebabkan
arterosklerosis pembuluh darah serebral, sehingga pembuluh darah
tersebut mengalami penebalan dan degenerasi yang kemudian pecah atau
menimbulkan perdarahan.
2. Penyakit kardiovaskuler.
Pada fibrilasi atrium menyebabkan penuruna CO, sehingga perfusi darah
ke otak menurun, maka otak akan kekurangan oksigen yang akhirnya
terjadi stroke.
3. Diabetes mellitus.
Pada penyakit Diabetes mellitus mengalami penyakit vaskuler, sehingga
terjadi mikrovaskularisasi dan terjadi aterosklerosis, terjasi
arterosklerosis dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat
dan terjadi iskemia, iskemia menyebabkan perfusi otak menurun dan
pada akhirnya terjadi stroke.
4. Merokok.
Pada perokok akan terjadi plak pada pembuluh darah oleh nikotin
sehingga memungkinkan penumpukan arterosklerosis dan kemudian
berakibat pada stroke.
5. Alkohol.
Pada alkohol dapat menyebabkan hipertensi, penurunan aliran darah ke
otak dan kardia aritmia serta kelainan motilitas pembuluh darah sehingga
terjadi emboli serebral.
6. Peningkatan kolesterol.
Peningkatan kolesterol tubuh dapat menyebabkan arterosklerosis dan
terbentuknya emboli lemak sehingga aliran darah lambat masuk ke otak,
maka perfusi otak menurun.
7. Obesitas.
Pada obesitas kadar kolestrol tinggi, selain itu dapat mengalami
hipertensi terjadi gangguan pada pembuluh darah, keadaan ini
berkontribusi pada stroke.
D. Klasifikasi
Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi
klinik dan proses patologik (kausal) (https://www.academia.edu/18542086):
1. Berdasarkan manifestasi klinis
a. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic
Neurological Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
c. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
d. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.
2. Berdasarkan kausal
a. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada
pembuluh darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh
darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh
darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh
terbentuknya gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga
diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol jahat atau Low Density
Lipoprotein(LDL). Sedangkan pada pembuluh darah kecil, trombotik
terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang.
Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit
aterosklerosis.
b. Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau
lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh
darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan
nutrisi ke otak.
E. Patofisiologi
Stroke non hemoragic erat kaitannya dengan arterosklerosis, mula-
mula terbentuk daerah berlemak yang berwarna kuning pada permukaan
intima arteri. Seiring waktu, terbentuk plak fibrosis (ateroma) di lokasi yang
terbatas, seperti di tempat percabangan arteri dan bifurkasio arteri
ekstraserebral yang berlawanan. Trombosit selanjutnya melekat pada
permukaan plak (agregasi) bersamaan dengan fibrin, pelekatan trombosit
secara perlahan memperbesar ukuran plak sehingga terbentuk trombus. Pada
kasus tersebut, lumen pembuluh darah menjadi sempit.
Pada emboli, sebagian trombus atau material lain seperti tumor,
lemak, atau bakteri akan terlepas dan terbawa darah hingga terperangkap
dalam pembuluh darah distal. Emboli septik dapat menyebabkan
pembentukan aneurisma serebral mikotik, yang selanjutnya diikuti oleh
rupture pembuluh darah dan perdarahan.
Penyempitan atau oklusi pembuluh arteri serebral mengakibatkan
berkurangnya aliran darah serebral ke daerah yang biasanya disuplai oleh
pembuluh darah. Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat oleh
thrombus atau emboli, maka terjadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan
otak sehungga terjadi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral dan sel-sel
neuron tidak mampu menyimpan glikogen.
Tanpa pasokan darah yang memadai, sel-sel otak kehilangan
kemampuan untuk menghasilkan energi-terutama adenosin trifosfat (ATP)
dan mengalami asidosis metabolik. Apabila terjadi kekurangan energi ini,
pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi sehingga neuron membengkak,
hal ini akan menimbulkan peningkatan intrakranial dan akan menimbulkan
nyeri. Salah satu cara sel otak berespon terhadap kekurangan energy ini
adalah dengan meningkatkan kalsium intrasel. Hal ini juga mendorong proses
eksitotoksisitas, yaitu sel-sel otak melepaskan neuro transmitter eksitatorik
glutamat yang berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini merangsang
aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu molekul
di neuron lain yaitu reseptor N-metil-Daspartat (NMDA).
Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitratoksida sintase
(NOS), yang menyebabkan terbentuknya molekul gas nitrat oksida (NO).
Pembentukan NO dapat terjadi secara cepat dalam jumlah besar sehingga
terjadi kerusakan dan kematian neuron. Akhirnya jaringan otak yang
mengalami infark dan respon inflamasi akan terpicu.
Ketidakefektifan perfusi jaringan yang disebabkan oleh trombus dan
emboli akan menyebabkan iskemia pada jaringan yang tidak dialiri oleh
darah, jika hal ini berlanjut terus-menerus maka jaringan tesebut akan
mengalami infark. Dan kemudian akan mengganggu sistem persyarafan yang
ada di tubuh seperti : penurunan kontrol volunter yang akan menyebabkan
hemiplagia atau hemiparese sehingga tubuh akan mengalami hambatan
mobilitas, defisit perawatan diri karena tidak bisa menggerakkan tubuh untuk
merawat diri sendiri, pasien tidak mampu untuk makan sehingga nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh. Defisit neurologis juga akan menyebabkan
gangguan pencernaan sehingga mengalami disfungsi kandung kemih dan
saluran pencernaan lalu akan mengalami gangguan eliminasi. Karena ada
penurunan control volunter maka kemampuan batuk juga akan berkurang dan
mengakibatkan penumpukan secret sehingga pasien akan mengalami
gangguan jalan nafas dan pasien kemungkinan tidak mampu menggerakkan
otot-otot untuk bicara sehingga pasien mengalami gangguan komunikasi
verbal berupa disfungsi bahasa dan komunikasi (Price, 2006; Harsono, 2007;
Chang, 2010; Ariani, 2012) (dikutip dari Annisa, 2015).
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis stroke bergantung pada arteri serebri yang erkena,
fungsi otak yang dikendalikan atau diperantarai oleh keparahan kerusakan
dan ukuran daerah otak yang terkena selain bergantung pula pada derajat
sirkulasi kolateral. (Price, 2006; Chang, 2009) (dikutip dari Annisa, 2015).
Pada stroke non hemoragik gejala utamanya adalah timbulnya deficit
neurologis secara mendadak atau subakut, didahului gejala prodomal terjadi
pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tidak menurun,
kecuali bila embolus cukup besar (Wijaya, 2013) (dikutip dari Makfud
Boham, 2011).
1. Stroke hemisfer kiri: gejala di sisi tubuh sebelah kanan
2. Stroke hemisfer kanan : gejala di sisi tubuh sebelah kiri
3. Stroke yang menyebabkan kerusakan saraf kranial : tanda disfungsi saraf
kranial disisi yang sama dengan terjadinya hemoragi
4. Gejala biasanya diklasifikasikan menurut arteri yang diserang :
a. Arteri serebral tengah : afasia, disfasia, potongan bidang visual dan
hemiparesis disisi yang diserang (lebih parah diwajah dan lengan
daripada di kaki)
b. Arteri karotid : lemah, paralisis, mati rasa, perubahan sensorik, dan
gangguan visual disisi yang diserang ; perubahan tingkat kesadaran ;
bunyi abnormal ; sakit kepala; afasia dan ptosis.
c. Arteri vertebrobasilar : lemah disisi yang diserang, mati rasa
disekitar bibir dan mulut, potongan bidang visual, diplopia,
koordinasi buruk, disfagia, bicara mencerca, pusing, amnesia dan
ataksia.
d. Arteri serebral anterior : konfusi, lemah dan mati rasa (terutama
dikaki) disisi yang diserang, inkontinensi, hilang koordinasi,
gangguan fungsi motorik dan sensorik, dan perubahan kepribadian.
e. Arteri serebral posterior : potongan bidang visual, gangguan
sensorik, disleksia, koma, dan kebutaan kortikal.
5. Gejala juga diklasifikasikan sebagai premonitorik, tergeneralisasi, atau
fokal
6. Premonitorik (jarang) :mengantuk, pusing, sakit kepala, dan konfusi
mental.
7. Tergeneralisasi : sakit kepala, muntah, gangguan mental, sawan, koma,
rigiditas nukal, demam, dan disorientasi.
8. Fokal (misalnya perubahan sensorik dan refleks): merefleksikan tempat
hemoragi atau inarksi dan bisa memburuk.
Tanda dan gejala lain dari stroke adalah (Baughman, C
Diane.dkk,2000) (dikutip dari Dyah Ayu, 2017).
1. Kehilangan motorik.
Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) dan hemiparesis (kelemahan salah satu sisi) dan
disfagia.
2. Kehilangan komunikasi
Disfungsi bahasa dan komunikasi adalah disatria (kesulitan berbicara)
atau afasia (kehilangan berbicara).
3. Gangguan persepsi
Meliputi disfungsi persepsi visual humanus, heminapsia atau
kehilangan penglihatan perifer dan diplopia, gangguan hubungan
visual, spesial dan kehilangan sensori.
4. Kerusakan fungsi kognitif, parestesia (terjadi pada sisi yang
berlawanan).
5. Disfungsi kandung kemih, meliputi : inkontinensia urinarius transier,
inkontinensia urinarius peristen atau retensi urin (mungkin simtomatik
dari kerusakan otak bilateral), Inkontinensia urinarius dan defekasi
yang berlanjut (dapat mencerminkan kerusakan neurologi ekstensif).
G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Junaidi, 2013) (dikutip dari Dyah Ayu, 2017).
1. Angiografi serebral
Angiografi serebral adalah alat yang digunakan untuk pemeriksaan
terhadap pembuluh darah. Membantu menentukan penyebab stroke
secara spesifik seperti perdarah, obstruksi arteri, oklusi atau ruptur.
2. Elektro encefalography
Elektro encefalography adalah alat yang digunakan untuk merekam
aktifitas elektrik di sepanjang kulit kepala dan mengukur fluktuasi
tegangan yang dihasilkan oleh arus ion di dalam neuron otak.
Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak atau mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
3. Sinar X tengkorak
Sinar X tengkorak adalah alat yang digunakan untuk pemeriksaan
kelainan pada dasar tengkorak dan cungkup tulang cranial.
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari masa yang luas, klasifikasi karotis interna terdapat pada
trobus serebral. Klasifikasi parsial dinding, aneurisma pada perdarahan
sub arachnoid.
4. CT-Scan
CT-Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan
berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak ke otak. Memperlihatkan
adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
5. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI (Magnetic Resonance Imaging) adalah prosedur untuk memeriksa
dan mendeteksi kelainan organ di dalam tubuh dengan menggunakan
medan magnet dan gelombang frekuensi radio tanpa radiasi sinar X atau
bahan radioaktif. Menunjukkan adanya tekanan abnormal dan biasanya
ada trombosisi, emboli, tekanan meningkat dan cairan mengandung darah
menunjukkan hemoragi subarachnoid atau perdarahan intrakranial.
H. Penatalaksanaan
Menurut (Wijaya, 2013) (dikutip dari Dyah Ayu, 2017).
1. Penatalaksaa secara non farmakologi
a. Rehabilitasi
b. Mobilisasi
c. ROM (Range Of Motion)
2. Penatalaksaan secara farmakologi
a. Trombolitik (streptokinase)
b. Anti platelet atau anti trombolik (asetosol, ticlopidin, cilostazol,
dipiridamol)
c. Antikoagulan (heparin)
d. Hemorrhagea (pentoxyfilin)
e. Antagonis serotonin (noftidrofuryl)
f. Antagonis calsium (nomodipin, piracetam)
3. Penatalaksaan secara khusus atau komplikasi
a. Atasi kejang (antikonvulsan)
b. Atasi tekanan intrakranial yang meningkat manitol, gliseron,
furosemid, intubasi, steroid dll
c. Atasi dekompresi (kraniotomi)
d. Untuk penatalaksaan faktor resiko
e. Atasi hipertensi, hiperglikemia, hiperurisemia
4. Terapi

Dikutip dari Makfud Boham dkk, 2011


Pemilihan intervensi fisioterapi harus disesuaikan dengan kondisi pasien.
Dimana dalam metode pendekatan fisioterapi itu harus banyak variasinya
agar pasien tidak bosan dalam melakukan rehabilitasi. Ada yang
berpendapat bahwa pendekatan fisioterapi pada pasien stroke itu tidak
menggunakan satu metode saja melainkan dengan penggabungan yang
disusun sedemikian rupa sesuai dengan kondisi dan kemampuan pasien
agar memperoleh hasil yang maksimal.Pendekatan yang dilakukan
fisioterapi antara lain adalah terapi latihan, yang terdiri dari latihan
perbaikan postur, latihan weight bearing, latihan keseimbangan dan
koordinasi, dan latihan aktifitas fungsional.

a. Latihan dengan mekanisme reflek postur


Gangguan tonus otot (spastisitas) secara postural pada pasien stroke,
dapat mengakibatkan gangguan gerak. Melalui latihan dengan
mekanisme reflek postur mendekati status normal, maka seseorang
akan lebih mudah untuk melakukan gerakan volunter dan
mengontrol spastisitas otot secara postural.Konsep dalam melakukan
latihan ini adalah mengembangkan kemampuan untuk mencegah
spastisitas dengan menghambat gerakan yang abnormal dan
mengembangkan kontrol gerakan. Dalam upaya melakukan
penghambatan maka perlu adanya penguasaan teknik pemegangan
(Key Point of Control)
b. Latihan weight bearing
Bertujuan untuk mengontrol tonus pada ekstrimitas dalam keadaan
spastis. Melalui latihan ini diharapkan mampu merangsang kembali
fungsi pada persendian untuk menyangga (Rahayu, 1992 ).
c. Latihan keseimbangan dan koordinasi
Latihan keseimbangan dan koordinasi pada pasien stroke stadium
recovery sebaiknya dilakukan dengan gerakan aktif dari pasien.
Latihan aktif dapat melatih keseimbangan dan koordinasi untuk
membantu pengembalian fungsi normal serta melalui latihan
perbaikan koordinasi dapat meningkatkan stabilitas postur atau
kemampuan mempertahankan tonus ke arah normal (Pudjiastuti,
2003).
Latihan keseimbangan dan koordinasi pada pasien stroke non
haemoragik stadium recovery dapat dilakukan secara bertahap
dengan peningkatan tingkat kesulitan dan penambahan banyaknya
repetisi.
b. Latihan aktifitas fungsional
Pada pasien stroke non haemoragik stadium recovery pasien terjadi
gerak anggota tubuh yang lesi dengan total gerak sinergis sehingga
dapat membatasi dalam gerak untuk aktifitas fungsional dan
membentuk pola abnormal. Latihan aktifitas fungsional
dimaksudkan untuk melatih pasien agar dapat kembali melakukan
aktifitas sehari-hari secara mandiri tanpa menggantungkan penuh
kepada orang lain.
I. Pencegahan
Menurut Syamsul, 2010.
1. Primer
a. Memasyaraktakan gaya hidup sehat bebas stroke dengan
menghindari rokok, stress mental, alkohol, kegemukan/obesitas,
obat-obatan
b. Mengurangi konsumsi maknanan tinggi kolesterol dan lemak
c. Mengendalikan hipertensi, Diabetes melitus, penyakit jantung
2. Sekunder
a. Memodifikasi gaya hidup yang beresiko stroke
b. Melibatkan peran keluarga seoptimal mungkin
c. Melakukan perawatan sebaik mungkin
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
MRS, nomor register, diagnose medis.
2. Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara
pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala,
mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala
kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
b. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung,
anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, kegemukan.
c. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun
diabetes militus.
4. Pemeriksaan fisik dan observasi (Padila, 2012)
a. B1 (Bright/ pernafasan)
Perlu di kaji adanya :
1) Sumbatan jalan nafas karena penumpukan sputum dan
2) kehilangan refleks batuk
3) Adanya tanda-tanda lidah jatuh ke belakang
4) Auskultasi suara nafas mungkin ada tanda stridor
5) Catat jumlah dan irama nafas
b. B2 (Blood/ sirkulasi)
Deteksi adanya : tanda-tanda peningkatan TIK yaitupenigkatan
tekanan darah disertai dengan pelebaran nadi dan penurunan jumlah
nadi
c. B3 (Brain / persyarafan, otak)
Kaji adanya keluhan sakit kepala hebat. Periksa adanya pupil
unilateral, observasi tingkat kesadaran
d. B4 (Bladder / perkemihan)
Tanda-tanda inkontinensia uri.
e. B5 (Bowel / pencernaan)
Tanda-tanda inkontinensia alfi
f. B6 (Bone / tulang dan integumen)
Kaji adanya kelumpuhan atau kelemahan. Tanda-tanda decubitus
karena tirah baring yang terlalu lama, kekuatan otot.
5. Pemeriksaan data dasar (Wijaya, 2013)
a. Aktifitas / istirahat
1) Merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralis.
2) Merasa mudah lelah, susah beristirahat (nyeri, kejang otot)
3) Gangguan tonus otot
4) Gangguan penglihatan
5) Gangguan tingkat kesadaran
b. Sirkulasi
1) Adanya penyakit jantung
2) Hipotensi arterial berhubungan dengan embolisme/malformasi
vaskuler
3) Frekuensi nadi dapat bervariasi karena
ketidakefektifan fungsi / keadaan jantung.
c. Integritas ego
1) Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
2) Emosi labil, ketidaksiapan untuk makan sendiri dan gembira
3) Kesulitan untuk mengekspresikan diri
d. Eliminasi
1) Perubahan pola berkemih seperti : inkontinensia uri, anuria
2) Distensi abdomen, bising usus (-)
e. Makan / cairan
1) Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut
2) Kehilangan sensasi
3) Disfagia, riwayat Diabetes Mellitus, peningkatan lemak dalam
darah
4) Kesulitan menelan
f. Neurosensori
1) Adanya pusing, sakit kepala berat
2) Kelemahan, kesemutan, lumpuh
3) Penglihatan menuru : buta total, kehilangan daya lihat sebagian,
penglihatan ganda
4) Sentuhan : hilangnya rangsangan sensoris kontra lateral (ada sisi
tubuh yang berlawanan / pada ekstremitas dan kadang pada
ipsilateral satu sisi) pada wajah
g. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
1) Status mental / tingkat kesadaran : koma pada tahap awal
hemoragik, tetap sadar jika trombosis alami
2) Gangguan fungsi kognitif : penurunan memori
3) Ekstremitas : kelemahan / paralise, tidak dapat menggenggam,
reflek tendon melemah secara kontralateral
4) Afasia : gangguan fungsi bahasa, afasia motorik (kesulitan
mengucapkan kata) atau afasia sensorik (kesulitan memahami
kata-kata bermakna)
5) Kehilangan kemampuan mengenali / menghayati masuknya
sensasi visual, pendegaran, taktil
h. Nyeri
1) Sakit kepala dengan intensitas berbeda
2) Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah
i. Pernafasan
1) Merokok
2) Ketidakmampuan menelan, batuk / hambatan jalan nafas
3) Pernafasan sulit, tidak teratur, suara nafas terdengar ronki.
j. Keamanan
1) Motorik / sensori : masalah penglihatan, perubahan terhadap
orientasi tentang tubuh (stroke kanan), kesulitan melihat objek
dari sisi kiri, hilangnya kewaspadaan terhadap bagian tubuh
yang sakit
2) Tidak mampu mengenali objek, warna dan wajah yang pernah
dikenali
3) Gangguan berespon terhadap panas dan dingin, gangguan
regulasi tubuh
4) Tidak mandiri
5) Tidak sadar / kurang kesadaran diri
k. Interaksi sosial
Masalah bicara dan tidak mampu berkomunikasi.
6. Pemeriksaan neurologis
a. Status mental
1) Tingkat kesadaran : kualitatif dan kuantitatif
2) Pemeriksaan kemampuan bicara
3) Orientasi (tempat, waktu, orang)
4) Pemeriksaan daya pertimbangan
5) Penilaian daya obstruksi
6) Penilaian kosakata
7) Pemeriksaan respon emosional
8) Pemeriksaan daya ingat
9) Pemeriksaan kemampuan berhitung
10) Pemeriksaan kemampuan mengenal benda
b. Nervuskranialis
1) Olfaktorius : penciuman
2) Optikus : penglihatan
3) Okulomotorius : gerak mata, kontriksi pupil akomodasi
4) Troklear : gerak mata
5) Trigeminus : sensasi umum pada wajah, kulit kepala, gigi, gerak
mengunyah
6) Abducen : gerak mata
7) Fasialis : pengecap, sensasi umum pada palatum dan telinga
luar, sekresi kelenjar lakrimalis, submandibula, sublingual,
ekspresi wajah
8) Vestibulokoklearis : pendengaran dan keseimbangan
9) Aksesoris spinal : fonasi, gerak kepala, leher dan bahu
10) Hipoglosus : gerak lidah
c. Fungsi motorik
1) Masa otot, kekuatan otot dan tonus otot
2) Fleksi dan ekstensi lengan
3) Abduksi dan adduksi lengan
4) Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
5) Adduksi dan abduksi jari
6) Adduksi dan abduksi pinggul
7) Fleksi ekstensi lutut
8) Dorsofleksi dan fleksi plantar pergelangan kaki
9) Dorsofleksi dan fleksi plantar ibu jari kaki
d. Fungsi sensori
1) Sentuhan ringan
2) Sensasi nyeri
3) Sensasi posisi
4) Sensasi getaran
5) Sensasi taktil
e. Refleks
1) Biceps
2) Triceps
3) Brachioradialis
4) Patella
5) Achilles
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d iskemik jaringan serebral
2. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiparese/hemiplagia
3. Hambatan komunikasi verbal penurunan sirkulasi darah di otak, status
neurologi
4. Gangguan eliminasi urin b.d defisit neurologi
5. Nyeri akut b.d peningkatan TIK, faktor hipertensi
6. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik, status neurologi
7. Risiko cedera
8. Risiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
9. Risiko gangguan integritas kulit
C. Intervensi
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
1 Ketidaefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Monitor Neurologi :
perfusi jaringan diharapkan masalah risiko perfusi jaringan cerebral 1. Pantau ukuran pupil, bentuk, kesimetrisan, dan reaktivitas.
cerebral b.d teratasi dengan kriteria hasil : 2. Monitor tingkat kesadaran.
iskemik jaringan 3. Memonitor tingkat orientasi.
serebral Perfusi jaringan 4. Monitor kecenderungan Skala Koma Glasgow
5. Monitor ingatan saat ini, rentang perhatian, ingatan di masa lalu,
Indikator Awal Target
suasana perasaan, afek dan perilaku.
1. Aliran darah melalui 6. Monitor TTV
pembuluh darah hepar 7. Monitor status pernapasan
2. Aliran darah melalui 8. Monitor parameter hemodinamik invasive, yang sesuai.
pembuluh darah ginjal 9. Monitor ICP dan CPP.
3. Aliran darah melalui saluran 10. Monitor reflex kornea
pembuluh darah 11. Monitor terhadap adanya tremor.
gastrointestinal 12. Monitor kesimetrisan wajah.
4. Aliran darah melalui 13. Monitor gangguan visual
pembuluh darah limpah 14. Monitor indera penciuman.
5. Aliran darah melalui 15. Hindari kegiatan yang bisa mengakibatkan tekanan intracranial.
pembuluh darah pankreas 16. Mulailah melakukan tindakan pencegahan sesuai peraturan, jika
6. Aliran darah melalui perlu.
pembuluh darah jantung Manajemen Edema Serebral :
7. Aliran darah melalui 1. Monitor adanya kebingungan, perubahan fikiran, keluhan pusing,
pembuluh darah pulmonari pingsan.
8. Aliran darah melalui 2. Monitor status neurologi dengan ketat dan bandingkan dengan nilai
pembuluh darah cerebral normal.
9. Aliran darah melalui 3. Monitor karakteristik cairan serebrospinal : warna, kejernihan,
pembuluh perifer konsitensi.
10. Aliran darah melalui 4. Catat cairan serebrospinal.
pembuluh darah pada tingkat 5. Monitor TIK dan CPP.
sel 6. Monitor status pernapasan: frekuensi, irama, kedalaman pernapasan,
PaO2, PCO2, Ph, bikarbonat.
Ket 7. Berikan sedasi, sesuai kebutuhan.
1 : Deviasi berat dari kisaran normal. 8. Catat perubahan pasien dalam berespon terhadap stimulus.
2 : Deviasi yang cukup besar dari kisaran 9. Berikan anti kejang, sesuai kebutuhan.
normal 10. Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau lebih.
3 : Deviasi sedang dari kisaran normal. 11. Monitor nilai-nilai laboratorium : osmolalitis serum dan urin,
4 : Deviasi ringan dari kisaran normal. natrium, dan kalium.
5 : Tidak ada deviasi dari kisaran normal. 12. Lakukan latihan ROM pasif.
13. Berikan dieuritik osmotic dan active loop.
14. Lakukan pencegahan terjadinya kejang.
Manajemen Pengobatan :
1. Tentukan obat yan diperlukan, dan kelola menurut resep dan/atau
protocol.
2. Monitor efektifitas cara pemberian obat yang sesuai.
3. Monitor interaksi obat yang non terapeutik.
4. Kaji ulang pasien dan atau keluarga secara berkala mengenai jenis
dan jumlah obat yang di komsumsi.
5. Fasilitasi perubahan pengobatan dengan dokter.
6. Monitor respon terhadap perubahan pengobatan dengan cara yang
tepat.
7. Pertimbangkan pengetahuan pasien mengenai obat-obatan
8. Pantau kepatuhan pasien mengenai regimen obat.
9. Berikan informasi mengenai penggunaan obat bebas dan bagaimana
obat-obatan tersebut dapat mempengaruhi kondisi saat ini.
Manajemen Terapi Trombolitik
2 Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Manajemen Lingkungan
mobilitas fisik b.d diharapkan masalah mobilitas fisik teratasi dengan 1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien.
hemiparese/hemipl kriteria hasil : 2. Identifikasi kebutuhan keselamatan pasien berdasarkan fungsi fisik
agia dan kgonitif serta riwayat perilaku di masa lalu.
Keseimbangan 3. Singkirkan bahaya lingkungan (misalnya, karpet yang longgar dan
kecil, founiture yang dapat di pindahkan)
Indikator Awal Target 4. Singkirkan benda-benda berbahaya dari lingkungan.
1. Mempertahankan 5. Lindungi pasien dengan pegangan pada sisi atau bantalan di sisi
keseimbangan saat duduk ruangan yang sesuai.
tanpa sokongan pada 6. Dampingi pasien selama tidak ada kegiatan bangsal, dengan tepat.
punggung. 7. Sediakan tempat tidur dengan ketinggian yang rendah, yang
2. Mempertahankan sesuai.
keseimbangan dan posisi 8. Sediakan perangkat-perangkat adaptif (misalnya, bangku pijakan
duduk ke posisi berdiri. atau pegangan tangan), yang sesuai.
3. Mempertahankan 9. Tempatkan fourniture di kamar dengan pengaturan terbaik untuk
keseimbangan ketika berdiri. mengakomodasi disabilitas pasien atau keluarga.
4. Mempertahankan 10. Sediakan selang yang cukup panjang utnuk memungkinkan
keseimbangan ketika berjalan. kebebasan pasien untuk bergerak, yang sesuai.
5. Membertahankan 11. Letakkan benda yang sering di gunakan dalam jangkauan pasien.
keseimbangan ketika berdiri 12. Tempatkan saklar di posisi tempat tidur yang mudah di jangkau.
dengan satu kaki.
6. Mempertahankan Ambulasi
keseimbangan sementara 1. Tempatkan saklar posisi tempat tidur ditempat yang mudah
menggeser berat badan dari dijangkau.
satu kaki ke kaki lain. 2. Dorong untuk duduk ditempat tidur, desamping tempat tidur
7. Pempertahankan (“menjuntai”), atau dikursi, sebagaimana yang dapat ditoleransi
keseimbangan saat berputar (pasien).
360 derajat. 3. Bantu pasien untuk duduk di sisi tempat tidur untuk memfasilitasi
8. Postur. penyesuaian sikap tubuh.
4. Konsultasikan pada ahli terapi fisik mengenai rencana ambulasi,
Ket : sesuai kebutuhan.
1 : Sangat terganggu 5. Instruksikan ketersediaan perangkat pendukung, jika sesuai.
2 : Banyak terganggu 6. Instruksikan pasien untuk memposisikan diri sepanjang proses
3 : Cukup terganggu pemindahan.
4 : sedikit terganggu 7. Gunakan sabuk (untuk) berjalan (gait belt) untuk membantu
5 : tidak terganggu perpindahan dan ambulasi, sesuai kebutuhan.
8. Bantu pasien untuk perpindaahan, sesuai kebutuhan.
Indikator Awal Target 9. Terapkan/sediakan alat bantu (tongkat. Walker, atau kursi roda)
1. Terpelincir untuk ambulasi, jika pasien tidak stabil.
2. Pusing 10. Bantu pasien dengan ambulasi awal dan jika deperlukan.
3. Goyah 11. Instruksikan pasien/caragiver mengenai pemindahan dan teknik
4. Tersandung ambulasi yang aman..
12. Monitor penggunaan kruk pasien atau alat bantu berjalan lainnya.
Ket 13. Bantu pasien untuk berdiri dan ambulasi dengan jarak tertentu dan
1 : Berat dengan sejumlas staf tertentu.
2 : Cukup berat 14. Bantu pasien untuk membangun pencapaan yang realistis untuk
3 : Sedang ambulasi jarak.
4 : Ringan 15. Dorong ambulasi independen dalam batasan aman.
5 : Tidak ada 16. Dorong pasien untuk “bangkit sebanyak dan dan sering yang
diinginkan” (up ad lib), jika sesuai.
Pergerakan sendi Manajemen Energi
1. Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan sesuai
Indikator Awal Target dengan konteks usia dan perkembangan.
1. Rahang 2. Tentukan jenis dan banyaknya aktivitas yang dibutuhkan untuk
2. Leher menjaga ketahanan.
3. Punggung 3. Ajarkan pasien mengenai pengelolaan kegiatan dan teknik
4. Jari (kanan) manajemen waktu untuk mencegah kelelahan.
5. Jari (kiri) 4. Bantu pasien identifikasi pilihan aktivitas-aktivitas yang akan
6. Jempol (kanan) dilakukan.
7. Jempol (kiri) 5. Lakukan ROM aktif/pasif untuk menghilangkan ketegangan otot.
8. Pergelangan tangan (kanan)
9. Pergelangan tangan (kiri)
10. Siku (kanan)
11. Siku (kiri)
12. Bahu (kanan)
13. Bahu (kiri)
14. Pergelangan kaki (kanan)
15. Pergelangan kaki (kiri)
16. Lutut (kanan)
17. Lutut (kiri)
18. Panggul (kiri)

Ket
1 : Deviasi berat dari kisaran normal.
2 : Deviasi yang cukup besar dari kisaran
normal
3 : Deviasi sedang dari kisaran normal.
4 : Deviasi ringan dari kisaran normal.
5 : Tidak ada deviasi dari kisaran normal.
3 Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Peningkatan Komunikasi : Kurang Bicara
komunikasi verbal diharapkan masalah komunikasi verbal teratasi 1. Monitor kecepatan bicara, tekanan, kuantitas, volume dan diksi
penurunan sirkulasi dengan kriteria hasil : 2. Monitor proses kognitif, anatomis dan fisiologi terkakit dengan
darah di otak Komunikasi kemampuan berbicara
Indikator A T 3. Sediakan metode alternative untuk berkkomunikasi dengan
1. Menggunakan bahasa tertulis berbicara (misalnya menulis di meja, menggunaka kartu, papan
2. Menggunakan bahasa lisan komunikasi dengan gambar dan huruf, tanda dengan tangan atau
3. Menggunakan foto dan gambar postur)
4. Menggunakan isyarat 4. Sesuaikan gaya komunikasi untuk memenuhi kebutuhan klien
5. Menggunakan bahasa non verbal (misalnya berdiri di depan pasien saat berbicara, mendengarkan
6. Mengenali pesan yang diterima dengan penuh perhatian, menyampaikan suatu idea tau pemekiran
7. Interpretasi akurat terhadap pesan pada satu waktu, bicara pelan untuk menghindari berteriak,
yang diterima gunakan komunikasi tertulis, atau bantuan keluarga dalam
Ket: memahami bahasa pasien)
1 : Sangat terganggu 5. Ulangi apa yang disampaikan pasien untuk menjamin akurasi
2 : Banyak terganggu 6. Kolaborasi bersama keluarga dan ahli/terapis bahasa patologis
3 : Cukup terganggu untuk mengembangkan rencana agar bisa berkomunikasi secara
4 : Sedikit terganggu efektif
5 : Tidak terganggu 7. Gunakan penerjemah jika diperlukan

4 Gangguan eliminasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Bantuan Berkemih :


urin defisit diharapkan gangguaan eliminasi urin teratasi dengan 1. Pertimbangkan kemampuan dalam rangka mengenal keinginan
neurologi kriteria hasil : untuk BAK
Eliminasi Urin 2. Lakukan pencatatan mengenai spesifikasi kontinensia selama 3
Indikator A T hari untuk mendapatkan pola pengeluaran urin
8. Pola eliminasi 3. Tetapkan interval untuk jadwal membantu berkemih berdasarkan
9. Bau urin pada pola pengeluaran urin
10. Jumlah urin 4. Tetapkan waktu untuk memulai dan mengakhiri berkemih dalam
11. Warna urin jadwal bantuan berkemih jika tidak berkemih dalam 24 jam
12. Kejernihan urin 5. Pertimbangkan kesadaran pasien mengenai status kontinensia
13. Intake cairan dengan menanyakan apakah basah atau kering
14. Mengosongkan kantong kemih 6. Tentukan respon yang tepat dengan mengecek pakaian atau linen
sepenuhnya pasien, dengan cara yang tepat
15. Mengenali keinginan untuk 7. Berikan umpan balik positif terhadap akurasi status kontinensia
berkemih dan keberhasilan dalam memelihara kontinensia diantara waktu
Ket : eliminasi yang telah terjadwal.
1 : sangat terganggu 8. Tetapkan ( maksimum 3 kali ) untuk menggunakan toilet atau
2 : banyak terganggu pengganti toilet, tanpa melihat dari status kontinensia.
3 : cukup terganggu 9. Berikan privasi untuk adanya aktivitas eliminasi
4 : sedikit terganggu 10. Berikan umpan balik dengan memberkan pujian perilaku BAK
5 : tidak terganggu 11. Informasikan pada pasien mengenai waktu untuk sesi eliminasi
Kontinensia Urin berikutnya
Indikator A T 12. Ajarkan pasien untuk secara sengaja menahan urun diantara sesi
3. Mengenali keinginan untuk eliminasi, jika secara kondisi kognitif pasien tidak terganggu.
berkemih 13. Ajarkan pasien untuk meminta sendiri ketoilet ketika berespon
4. Menjaga pola berkemih yang tepat terhadap keinginan untuk BAK
waktu Kateterisasai Urine
5. Respon berkemih sudah tepat waktu 1. Jelaskan prosedur dan rasionalisasi kateterisasi.
6. Berkemih pada tempat yang tepat 2. Pasang alat dengan tepat.
7. Menuju toilat antara waktu ingin 3. Berikan privasi dan tutupi pasien dengan baik untuk kesopanan
berkemih dan benar-benar ingin (yaitu, hanya mengekspos area genetalia).
segera berkemih 4. Pastikan pencahayaan yang tepat untuk vitualisasi anatomi yang
8. Berkemih >150 mililiter tiap kalinya tepat.
9. Memulai dan menghentikan aliran 5. Isi bola kateter sebelum pemasangan kateter untuk memeriksa
urin ukuran dan kepatenan kateter.
10. Mengosongkan kantong kemih 6. Pertahankan teknik aseptic yang ketat.
sepenuhnya 7. Pertahankan kebersiihan tangan yang baik sebelum, selama, dan
Ket : setelah insersi atau saat memanipulasi kateter.
1 : Tidak pernah menunjukkan 8. Posisikan pasien dengan tepat (misalnya, perempuan terlentang
2 : Jarang menunjukkan dengan kedua kaki direnggangkan atau fleksi pada bagian panggul
3 : Kadang-kadang menunjukkan dan lutut; laki-laki dengan posisi terlentang).
4 : Sering menunjukkan 9. Bersihkan daerah sekitar meatus eretra dengan larutan anti bakteri,
5 : Secara konsisten menunjukkan saline steril , atau air steril, sesuai kebijakan lembagaa.
Indikator A T 10. Masukkan dengan lurus atau retensi kateter ke dalam kandung
1. Urin merembes ketika berkemih kemih.
2. Sisa urin paska berkemih >100-200 11. Gunakan ukuran kateter terkecil yang sesuai.
mililiter 12. Pastikan bahwa kateter yang di masukkan cukup jauh ke dalam
3. Urin merembes dengan peningkatan kandung kemih untuk mencegah trauma pada jaringan uretra
tekanan abdomen (misalnya bersin, dengan inflasi balon.
tertawa, mengangkat barang) 13. Isi bola kateter untuk menetapkan kateter, berdasarkan usia dan
4. Pakaian basah di siang hari ukuran tubuh sesuai rekomendasi pabrik (misalnya, dewasa 10cc
5. Pakaian basah di malam hari dan pada anak 5cc).
Ket : 14. Hubungkan retensi kateter dengan kantung sisi tempat tidur
1 : Secara konsisten menunjukkan drainase atau pada kantung kaki.
2 : Sering menunjukkan 15. Amankan kateter pada kulit dengan plester yang sesuai.
3 : Kadang-kadang menunjukkan 16. Tempatkan kantung drainase di bawah permukaan kandung kemih.
4 : Jarang menunjukkan 17. Pertahankan system drainase kemih untuk tertutup dan terhalang.
5 : Tidak pernah menunjukkan 18. Monitor intake dan output.
19. Lakukan atau ajarkan pasien untuk membersihkan selang kateter di
waktu yang tepat.
20. Lakukan pengosongan kantung kateter jika di perlukan.
21. Dokumentasikan perawatan termasuk ukuran kateter, jenis dan
jumlah pengisian bola kateter.
22. Pastikan pencabutan kateter segera seperti yang di tunjukkan oleh
kondisi pasien.
23. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan kateter yang
tepat.
Perawatan Inkontinensia Urine :
1. Identifikasi faktor apa saja penyebab inkontinensia pada pasien (
misalnya, urin output,pola berkemih, fungsi kognitif, masalah
perkemihan, residu paska berkemih, dan obat-obatan).
2. Jelaskan penyebab terjadinya inkontinensia dan rasionalisasi setiap
tindakan yang dilakukan
3. Monitor eliminasi urin meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume
dan warna urine
4. Diskusikan bersama pasien mengenai prosedur tindakan dan target
yang diharapkan
5. Modifikasi pakaian dan lingkungan untuk mempermudah akses ke
toilet
6. Bantu pasien untuk memilih popok kain yang sesuai dengan
pananganan sementara selama terapi pengobatan sedang dilakukan
7. Bersikan kulit sekitar area genitalia secara teratur
8. Batasi intake cairan 2-3 jam sebelum tidur
9. Berikan obat-obatan diuretic sesuai jadwal minimal untuk
memepengaruhi irama sirkandian tubuh
10. Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat pola dan jumlah
urin output
11. Instruksikan pasien untuk minum minimal 1500 cc air perhari
12. Batasi makanan yang mengiritasi kandung kemih (misalnya
miuman bersoda, kopi, teh dan coklat)
13. Jika diperlukan lakukan pemeriksaan kultur urine dan sensitifitas
urin
5 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Manajemen Nyeri
peningkatan TIK, diharapkan nyeri hilang/berkurang dengan kriteria 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
faktor hipertensi hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya
Tingkat nyeri nyeri dan faktor pencetus
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan
Indikator Awal Target terutama pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara
1. Nyeri yang dilaporkan efektif
2. Panjang episodi nyeri 3. Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan dengan
3. Mengerang dan menangis pemantauan yang ketat
4. Ekspresi nyeri wajah 4. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui
5. Tidak bisa beristirahat pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap
6. Berkeringat berlebihan nyeri
7. Fokus menyempit 5. Gali bersama pasien faktor-faktor yang dapat menurunkan atau
8. Ketegangan otot memperberat nyeri
6. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa
Ket lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi akibat ketidaknyamanan
1 : Berat dari prosedur
2 : Cukup berat 7. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
3 : Sedang pasien terhadap ketidaknyamanan (misalnya suru ruangan,
4 : Ringan pencahayaan, suara bising)
5 : Tidak ada 8. Kurangi atau eliminasi faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau
Indikator Awal Target meningkatkan nyeri (misalnya, ketakutan, kelelahan, keadaan
monoton dan kurang pengetahuan)
1. Frekuensi nafas 9. Pilih dan implementasikan tindakan beragam (misalnya,
2. Denyut jantung apikal farmakologi, nonfarmakologi,interpersonal) untuk memfasilitasi
3. Denyut nadi radial penurunan nyeri, sesuai dengan kebutuhan
4. Tekanan darah 10. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
11. Ajarkan penggunaan tehnik nonfarmakologi (misalnya, relaksasi,
Ket terapi music, bimbingan antisipatif, akupressur, aplikasi
1 : Deviasi berat dari kisaran normal. panas/dingin dan pijatan, sebelum, sesudah melakukan aktivitas
2 : Deviasi yang cukup besar dari kisaran yang menimbulkan nyeri; sebelum nyeri terjadi atau meningkat;
normal dan bersamaan dengan tindakan penurunan rasa nyeri lainnya)
3 : Deviasi sedang dari kisaran normal.
4 : Deviasi ringan dari kisaran normal. 12. Berikan individu penurun nyeri yang optimal dengan peresepan
5 : Tidak ada deviasi dari kisaran normal. analgesik
13. Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrol nyeri yang dipakai
Kontrol nyeri selama pengkajian nyeri dilakukan

Indikator A T
1. Mengenali kapan nyeri terjadi
2. Menggambarkan faktor penebab
3. Menggunakan tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
4. Menggunakan analgesik yang
direkomendasikan
5. Melaporkan perubahan terhadap
gejalah nyeri pada profesional
kesehatan
6. Melaporkan gejalah yang tidak
terkontrol pada profesional
kesehatan
7. Melaprkan nyeri yang terkontrol

Ket
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3: Kadang-kadang menunjukkan
4 : sering menunjukkan
5 : secara konsisten menunjukkan
6 Defisit perawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Bantuan Perawatan Diri
diri b.d kelemahan diharapkan klien dapat melakukan perawatan diri 1. Pertimbangkan budaya pasien ketika meningkatkan aktivitas
fisik, status secara mandiri kriteria hasil : perawatan diri
neurologi 1. Klien mampu melakukan perawatan diri 2. Pertimbangkan usia pasien ketika meningkatkan aktivitas
kebersihan secara mandiri perawatan diri
2. Klien mampu melakukan perawatan diri mandi 3. Monitor kemampuan perawatan diri secara mandiri
secara mandiri 4. Monitor kebutuhan pasien terkait dengan alat-alat kebersihan diri,
3. Klien mampu melakukan perawatan diri alat bantu untuk berpakaian, berdandan, elliminasi dan makan
berpakaian secara mandiri 5. Berikan lingkungan yang terapeutik dengan memastikan
4. Klien mampu melakukan perawatan diri (lingkungan) yang hangat, santai,, tertutup dan (berdasarkan)
eliminasi secara mandiri pengalaman individu
5. Klien mampu melakukan perawatan diri makan 6. Berikan peralatan kebersihan pribadi (misalnya deodorant, sikat
secara mandiri gigi dan sabun mandi
7. Berikan bantua sampai pasien mampu melakukan perawatan diri
mandiri
8. Bangupasien menerima kebutuhan (pasien) terkait dengan kondisi
ketergantungannya
9. Dorong pasien untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari
sampai batas kemampuannya
10. Dorong kemandirian pasien, tapi bantu ketika pasien tak mampu
melakukannya
11. Ajarkan orangtua/keluarga untuk mendukung kemandirian dengan
membantu hanya ketika pasien tak mampu melakukan perawatan
diri
12. Ciptakan rutinitas aktivitas perawatan diri
7 Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Manajemen lingkungan : keselamatan :
diharapkan tidak terjadi cidera dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi kebutuhan keamana pasien berdasarkan fungsi fisik dan
Kejadian jatuh kognitif serta riwayat perilaku dimasa lalu.
Indikator Awal Target 2. Identifikasi hal-hal yang membahayakan di lingkungan (misalnya,
bahaya fisik, biologis, dan kimiawi).
1. Jatuh saat berdiri 3. Singkirkan bahan bahaya dari lingkungan jika diperlukan.
2. Jatuh saat berjalan 4. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahan berbahaya dan
3. Jatuh saat duduk berisiko.
4. Jatuh dari tempat tidur 5. Sediakan alat untuk beradaptasi (misalnya, kursi untuk pijakan dan
5. Jatuh saat dipindahkan pegangan tangan).
6. Jatuh saat naik tangga 6. Gunakan peralatan perlindungan (misalnya, pengekangan, pengangan
7. Terjun saat turun tangga pada sisi, kunci pintu, pagar dan gerbang) untuk membatasi
8. Jatuh saat kekamar mandi mobilisasi fisik atau akses pada situasi yang membahayakan.
9. Jatuh saat membungkuk 7. Inisiasi dan lakukan program skrining terhadap bahan yang
membahayan lingkungan (misalnya, logam berat dan radon).
Ket 8. Edukasi individu dan kelompok yang berisiko tinggi terhadap bahan
1 : 10 dan lebih berbahaya yang ada dilingkungan.
2 : 7-9 Pencegahan jatuh :
3 : 4-6 9. Identifikasi perilaku dan faktor yang mempengaruhi risiko jatuh.
4 : 1-3 10. Kaji ulang riwayat jatuh bersama pasien dan keluarga.
5 : Tidak ada 11. Identifikasi karakteristik dari lingkungan yang mungkin
meningkatkan potensi jatuh (misalnya, lantai licin dan tangga
Keparahan Cedera Fisik terbuka).
Indikator Awal Target 12. Kunci kursi roda, tempat tidur atau brangkar selama melakukan
pemindahan pasien.
1. Lecet pada kulit 13. Instruksikan pasien untuk memanggil bantuan terkait pergerakan
2. Memar dengan tepat.
3. Luka gores 14. Ajarkan pasien bagaimana jika jatuh, untuk meminimalkan cedera.
4. Luka bakar 15. Gunakan teknik yang tepat untuk memindahkan pasien dari dan
5. Ekstermitas keseleo kekursi roda, tempat tidur toiley dan lainnya.
6. Keseleo tulang punggung 16. Tempatkan busa ditempat duduk pasien untuk mencegah pasien
7. Fraktur ekstermitas terjatuh, dengan tepat.
8. Fraktur pelvis 17. Sediakan pasien yang memiliki ketergantungan suatu alat untuk
9. Fraktur panggul meminta pertolongan (misalnya, penyediaan bel atau lampu panggil)
10. Fraktur tulang punggung saat caragiver tidak ada.
11. Fraktur tulang tengkorak 18. Gunakan alaram tempat tidur untuk memperingati orang yang
12. Fraktur muka merawat bahwa individu keluar dari tempat tidur, dengan tepat.
13. Cedera gigi 19. Sediakan lantai yang tidak licin dan anti selip.
14. Cedera kepala terbuka 20. Orientasi pasien pada lingkungan fisik.
15. Cedera kepala tertutup 21. Ajarkan anggota keluarga mengenai faktor resiko yang berkontribusi
16. Gangguan mobilisasi terhadap adanya kejadian jatuh dan bagaimana keluarga dapat
17. Kerusakan kognisi menurunkan risiko ini.
18. Penurunan tingkat 22. Berkolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain untuk
kesadaran meminimalkan efek samping dari pengobatan yang berkontribusi
19. Trauma liver pada kejadian jatuh.
20. Limfa pecah
21. Perdarahan
22. Trauma perut

Ket
1 : Berat
2 : Cukup berat
3 : Sedang
4 : Ringan
5 : Tidak ada
8 Risiko gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Manajemen Nutrisi :
nutrisi kurang dari diharapkan tidak terjadi kekurangan nutrisi kriteria 1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien untuk
kebutuhan tubuh hasil : memenuhi kebutuhan gizi
2. Identifikasi adanya alergi atau intoleransi makanan yang dimiliki
Satatus Nutrisi : Asupan Nutrisi pasien.
3. Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi ( yaitu : membahas
Indikator Awal Target pedoman diet dan piramida makanan ).
1. Asupan kalori 4. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk
2. Asupan protein memenuhi persyaratan gizi.
3. Asupan lemak 5. Berikan pilihan makanan sambil menawarkan bimbingan terhadap
4. Asupan karbohidrat pilihan makanan yang lebih sehat, jika diperlukan.
5. Asupan serat 6. Atur diet yang diperlukan ( yaitu : menyediakan makanan protein
6. Asupan vitamin tinggi ; menyarankan menggunakan bumbu dan rempah-rempah
7. Asupan mineral sebagai alternative untuk garam, menyediakan pengganti gula;
8. Asupan zar besi menambah atau mengurangi kalori, menambah atau mengurangi
9. Asupan kalsium vitamin, mineral atau suplemen.
10. Asupan natrium 7. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengonsumsi makan
( misalnya bersih, berventilasi, santai dan bebas dari bau yang
Ket menyengat )
1 : Tidak adekuat 8. Anjurkan keluarga membawa makanan favorit pasien sementara
2 : Sedikit adekuat pasien berada di Rumah Sakit atau fasilitas perawatan, yang sesuai
3 : Cukup adekuat 9. Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan makanan tertentu
4 : Sebagian besar adekuat berdasarkan perkembangan atau usia ( misalnya peningkatan
5 : Sepenuhnya adekuat asupan serat untuk mencegah konstipasi pada orang dewasa yang
lebih tua).
Status menelan 10. Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
Monitor Nutrisi :
Indikator A T 1. Timbang berat badan pasien
1. Pempertahankan makan dimulut 2. Identifikasi perubahan berat badan terakhir
2. Menangani sekresi mulut 3. Monitor adanya mual dan muntah
3. Produksi ludah 4. Monitor diet dan asupan kalori
4. Kemampuan mengunyah 5. Identifikasi perubahan napsu makan dan aktifitas akhir-akhir ini.
5. Pengantaran secara bolus ke 6. Lakukan evaluasi kemampuan menelan ( misalnya fungsi motorik
hiphoparing daiatur waktunya wajah, mulut, otot-otot lidah; reflek menelan dan reflek gag )
dengan refleks menelan 7. Identifikasi adanya ketidaknormalan dalam rongga mulut (
6. Kemampuan untuk membersihkan misalnya inflamasi, kenyal, ompong, atau gusi berdarah; bibir
rongga mulut kering, pecah-pecah, bengkak, lidah kasar, papilla hiperemi dan
7. Pembentukan bolus sesuai dengan hipertrofi ).
waktunya Terapi Nutrisi
8. Jumlah menelan sesuai dengan 1. Lengkapi pengkajian nutrisi, sesuai kebutuhan.
ukuran atau tekstur bolus 2. Monitor intake makaan atau cairan dan hitung masukan kalori
9. Durasi makanan dengan respek pada perhari, sesuai kebutuhan.
jumlah yang dikomsumsi 3. Pilih suplemen nutrisi sesuai kebutuhan.
10. Refleks menelan sesuai dengan 4. Dorong pasien untuk memilih makanan setengah lunak, jika pasien
waktunya mengalami kesulitan menelan karena menurunnya jumlah saliva.
11. Mempertahankan posisi kepala dan 5. Motivasi pasien untuk mengkomsumsi makanan yang tinggi
batang tubuh netral kalsium, sesuai kebutuhan.
12. Penerimaan makanan 6. Motivasi pasien untuk mengkomsumsi makanan dan minuman
13. Mempelajari temuan (akan) menelan yang tinggi kalium sesuai kebutuhan.
7. Pastikan bahwa dalam diet mengandung makanan yang tinggi serat
Ket : untuk mencegah konstipasi.
1 : Sangat terganggu 8. Bantu pasien untuk memilih makanan yang lunak, lembut, dan
2 : Banyak terganggu tidak mengandung asam sesuai kebutuhan.
3 : Cukup terganggu 9. Berikan cairan hiperalimentasi sesuai kebutuhan.
4 : sedikit terganggu 10. Berikan nutrisi yang di butuhkan sesuai batas diet yang di
5 : tidak terganggu anjurkan.
11. Ajarkan pasien mengenai diet yang di anjurkan.
12. Berikan pasien dan keluarga contoh tertulis mengenai diet yang di
anjurkan
9 Risiko gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x... Perawatan Tirah Baring :
integritas kulit diharapkan tidak terjadi kerusakan intregritas kulit 1. Tempatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara yang tepat
dengan kriteria hasil : 2. Posisikan sesuai body alignment yang tepat
3. Hindari menggunakan kain linen kasur yang teksturnya kasar
Integritas Jaringan kulit & Membran Mukosa 4. Jaga kain linen kasur tetap bersih, kering dan bebas kerutan
Indikator Awal Target 5. Balikkan pasien sesuai dengan kondisi kulit
6. Balikkan pasien yang tidak dapat mobilisasi paling tidak setiap 2
1. Suhu kulit jam, sesuai dengan jadwal yang spesifik
2. Sensasi 7. Monitor kondisi kulit pasien
3. Elastisitas 8. Ajarkan latihan ditempat tidur, dengan cara yang tepat
4. Hidrasi
5. Keringat 9. Berikan stoking anti emboli
6. Tekstur 10. Monitor komplikasi dari tirah baring ( misalnya kehilangan tonus
7. Ketebalan otot, nyeri punggung, konstipasi, peningkatan stress, perubahan
8. Perfusi jaringan siklus tidur, infeksi saluran kemih, kesulitan dalam berkemih,
9. Pertumbuhan rambut pneumonia)
pada kulit Pengecekan Kulit :
10. Integritas kulit 1. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan,
kehangatan ekstrim, edema atau drainase
Ket : 2. Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema, dan
1 : Sangat terganggu ulserasi pada ekstremitas
2 : Banyak terganggu 3. Monitor warna dan suhu kulit
3 : Cukup terganggu 4. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
4 : sedikit terganggu 5. Monitor kulit untuk adanya kekeringan yang berlebihan dan
5 : tidak terganggu kelembaban
6. Monitor sumber tekanan dan gesekan
Indikator Awal Target 7. Monitor infeksi, terutama dari daerah edema
1. Pigmentasi abnormal 8. Periksa pakaian yang terlalu ketat
2. Lesi pada kulit 9. Dokumentasikan perubahan membrane mukosa
3. Lesi mukosa membran 10. Lakukan langkah-langkah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
4. Jaringan parut (misalnya melapisi kasur, menjadwalkan reposisi)
5. Kanker kulit 11. Ajarkan anggota keluarga mengenai tanda-tanda kerusakan kulit,
6. Pengelupasan kulit dengan tepat.
7. Penebalan kulit
8. Eritema
9. Wajah pucat
10. Nekrosis
11. Pengerasan kulit
12. Abrasi kornea

Ket
1 : Berat
2 : Cukup berat
3 : Sedang
4 : Ringan
5 : Tidak ada
D. Implementasi
Implementasi yang dilakukan berorientasi pada intervensi yang telah
disusun dan disesuaikan dengan kondisi klien dan kebijakan RS.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, yang
bertujuan untuk menilai apakah tujuan yang diharapkan dalam intervensi
telah tercapai dengan baik atau tidak dan perlu tidaknya menyusun kembali
intervensi.
Evaluasi yang diharapkan pada kasus stroke non hemoragik :
1. Tidak ada ganguan pada perfusi jaringan serebral
2. Tidak ada hambatan mobilitas fisik, klien mampu melakukan aktivitas
secara mandiri
3. Klien dapat berkomunikasi dengan baik
4. Tidak ada masalah pada eliminasi urin klien
5. Nyeri hilang/berkurang hingga skala yang bisa ditoleransi
6. Klien dapat melakukan perawatan diri secara mandiri
7. Klien tidak mengalami cidera
8. Klien tidak mengalami kekurangan nutrisi dan tidak terjadi penurunan
BB yang berarti
9. Klien tidak mengalami masalah pada kulit
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Stroke Non Hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena adanya
hambatan atau sumbatan pada pembuluh darah otak tertentu sehingga daerah
otak yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut tidak mendapat pasokan
energy dan oksigen, sehingga pada akhirnya jaringan sel-sel otak di daerah
tersebut mati dan tidak berfungsi lagi. SNH ini dapat disebabkan adanya
thrombosis dan emboli yang menghambat aliran darah ke otak.
Pada SNH diagnosa yang dapat muncul antara lain:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d iskemik jaringan serebral
2. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiparese/hemiplagia
3. Hambatan komunikasi verbal penurunan sirkulasi darah di otak, status
neurologi
4. Gangguan eliminasi urin b.d defisit neurologi
5. Nyeri akut b.d peningkatan TIK, faktor hipertensi
6. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik, status neurologi
7. Risiko cedera
8. Risiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
9. Risiko gangguan integritas kulit
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Bulechek, Gloria M. dkk. 2017. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi


Bahasa Indonesia Edisi Keenam. Elsevier: Indonesia
Lingga, Lanny. 2013. All About Stroke. Elex Media Komputindo : Jakarta
Moorhead, Sue dkk. 2017. Nursing Outcomes Classificationn (NOC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Elsevier :
Indonesia
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 3. MediAction :
Jogjakarta
Sofwan, Rudianto. 2013. Stroke dan Rehabilitasi Pasca Stroke. Bhuana Ilmu
Populer : Jakarta

2. Jurnal
Boham, Makfud dkk. 2011. Askep Stroke Non Hemoragic. Fakultas Keperawatan
Universitas Katolik De La Salle Manado
Dahmudi, Dedi dkk. 2012. Efektifitas Metode Nihss Dan Ess dalam Membuat
Diagnosa Keperawatan Aktual Pada Pasien Stroke Berat Fase Akut.
Jurnal Keperawatan Indonesia
Putra, Syamsul. 2010. Laporan Studi Kasus Asuhan Keperawatan Pada Tn. I
Dengan Stroke Non Hemoragik Di Irna Non Bedah Neurologi Rsup. Dr.
M. Djamil Padang. Stikes Mercubaktijaya Padang
Septiandini, Dyah Ayu. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami
Stroke Non Hemoragik Dengan Hambatan Mobilitas Fisik Di Ruang Icu
Rsud Salatiga. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta
Wakhidah, Anisa Nur. 2015. Asuhan Keperawatan Pada Tn. W Dengan
Gangguan Sistem Persarafan: Stroke Non Hemoragic Di Ruang Gladiol
Atas Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
3. Blogspot
https://www.academia.edu/18542086/ASKEP_STROKE_NON_HEMORAGIK diakses
tanggal 10 Desember 2019.

Anda mungkin juga menyukai