Anda di halaman 1dari 17

DESKRIPSI KASUS

Seorang Tuan A.H berusia 78 tahun, sering mengeluh cepat lapar, cepat lelah,
cepat haus, sering buang air kecil, penglihatan kabur, pasien di diagnosis mengalami
dm tipe 2 dan di berikan terapi Furosemid 1x1, Adonemia 2x1, obat antidiabetes
peroral sesekali dikonsumsi, injeksi insulin sesekali diberikan, Tuan A.H hanya
lulusan SD dan bekerja sebagai wiraswasta, selain diabetes Tuan A.H juga
didiagnosis memiliki hiperurisemia, hipertensi, dan hipoalbuminemia, berdasarkan
hasil pemeriksaan sbb:

- GDP : 629 mg/Dl

- Kreatinin : 1,1 mg/Dl

- Asam Urat : 9,3 mg/Dl

- HDL : 50 mg/Dl

- LDL : 55 mg/Dl

- Trigliserida : 81 mg/Dl

- Kolesterol : 122 mg/Dl

- Albumin : 3,3 mg/Dl

- SGOT : 27 mg/Dl

- SGPT : 25 mg/Dl

- TD : 140/100 mmHg

1
PEMBAHASAN

2.1 Diabetes Melitus

Pengertian

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan


metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

Klasifikasi

- DM tipe 1 (“Insulin Dependent Diabetes Melitus” (IDDM))

- DM tipe 2 (“Non-Insulin-Dependent Diabetes Melitus” (NIDDM))

- Diabetes Gestasional

Diabetes Melitus 2

Diabetes Mellitus Tipe 2 Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih
umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita
DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,
umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di
kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.

Etiologi dan patofisiologi DM Tipe 2

Faktor genetik, obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang
gerak badan.

2
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada
pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam
darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi.

Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi


insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon
insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan
penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul


gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun
demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab
itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang
ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua
terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel
β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan
baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada
penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi
insulin dan defisiensi insulin.

3
Faktor Resiko

Riwayat Diabetes dalam keluarga


Diabetes Gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg
Riwayat
Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome)
IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired glucose
tolerance)
Obesitas >120% berat badan ideal
20-59 tahun : 8,7%
Umur
> 65 tahun : 18%
Hipertensi >140/90mmHg
Kadar HDL rendah 250mg/dl
Hiperlipidemia
Kadar lipid darah tinggi >250mg/dl
Kurang olah raga
Faktor Lain
Pola makan rendah serat

Gejala Klinik

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa


gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala
tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang
air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar).
Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak
anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal
yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas.

4
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM
Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa
tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi.
Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari
luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

Terapi Obat Hiperglikemik Oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan


pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat
menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan
dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat.
Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi
yang ada.

Penggolongan obat hipoglikemik oral

Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja


Merangsang sekresi insulin di
Gliburida/Glibenklamida
kelenjar pankreas, sehingga
Glipizida
hanya efektif pada penderita
Sulfonilurea Glikazida
diabetes yang sel-sel β
Glimepirida
pankreasnya masih berfungsi
Glikuidon
dengan baik
Merangsang sekresi insulin di
Meglitinida Repaglinide
kelenjar pankreas
Turunan Meningkatkan kecepatan
Nateglinide
fenilalanin sintesis insulin oleh pankreas
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati

5
(hepar), menurunkan produksi
glukosa hati. Tidak
merangsang sekresi insulin
oleh kelenjar pankreas.
Meningkatkan kepekaan tubuh
terhadap insulin. Berikatan
Rosiglitazone dengan PPARγ (peroxisome
Tiazolidindion Troglitazone proliferator activated receptor-
Pioglitazone gamma) di otot, jaringan
lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin
Menghambat kerja enzim-
enzim pencenaan yang
Inhibitor α- Acarbose mencerna karbohidrat,
glukosidase Miglitol sehingga memperlambat
absorpsi glukosa ke dalam
darah

Non farmakologi

- Diet seimbang (karbohidrat, protein, lemak)

- Olahraga

2.2 Hipertensi

Pengertian

Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh
darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi bersifat
abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda (Corwin,
2001). Menurut Joint National Committee (JNC) VII, kriteria tekanan darah
normal adalah 120/80 mmHg. Seseorang mengalami hipertensi jika tekanan darah
sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Hipertensi tidak
dapat disembuhkan tapi dapat dikendalikan (Yusuf, 2008).

6
Klasifikasi

Klasifikasi tekanan Tek.darah diastolik (mm Tek.darah sistolik (mm


darah Hg) Hg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100

Faktor Resiko

- Hipertensi

- Merokok

- Obesitas (BMI ≥30)

- Immobilitas

- Dislipidemia

- Diabetes mellitus

- Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)

- Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55


tahun atau perempuan < 65 tahun)

Gejala

Gejala-gejala akibat hipertensi, seperti pusing, gangguan penglihatan, dan


sakit kepala, sering kali terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat tekanan
darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna.

Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang


beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan

7
tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah
mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak
penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen.

Patofisiologi Tekanan darah adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri
dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur,
tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh
selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik
jantung diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara
potensial dalam terbentuknya hipertensi.

Terapi

Algoritma penanganan hipertensi secara farmakologi

obat pilihan pertama

tanpa compelling dengan compelling


indication indication

obat yang spesifik untuk


hipertensi tahap 1 compelling indication,
hipertensi tahap 2
(TDS 140-159 atau TDD obat antihipertensi
(TDS > 160 (diuretik, ACE I, ARB, β
90-99 mmHg
bloker)

diuretik tiazid umumnya kombinasi 2 obat pada


dapat dipertimbangkan umumnya, biasanya
diuretik tiazid dengan
ACEI, ARB, β bloker, inhibitor ACE atau ARB,
CCB/kombinasi atau β bloker

8
Non Farmakologi

- Mengurangi konsumsi garam hingga kurang dari satu sendok teh per hari.

- Perbanyak aktivitas fisik dan rutin berolahraga.

- Menurunkan berat badan.

- Berhenti merokok

- Menghindari atau mengurangi konsumsi minuman beralkohol.

- Mengurangi konsumsi minuman tinggi kafein, seperti kopi, teh, atau cola.

- Melakukan terapi relaksasi, misalnya yoga atau meditasi untuk


mengendalikan stres.

2.3 Hiperurisemia

Hiperurisemia dapat merupakan kondisi yang tidak bergejala, dengan


konsentrasi asam urat serum yang meningkat. Konsentrasi urat yang lebih besar
dari 7,0 mg/dL adalah tidak normal dan berkaitan dengan peningkatan resiko
gout.

Pada manusia, asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin.
Pada kondisi normal, jumlah asam urat yang terakumulasi sekitar 1200 mg pada
pria dan 600 mg pada wanita. Akumulasi yang belebihan tersebut dapat
dikarenakan over produksi atau under-eksresi asam urat.
a. Over-produksi Asam Urat
Asam urat dibentuk oleh purin, yang berasal dari tiga sumber yaitu:
makanan yang mengandung purin, perubahan asam nukleat jaringan menjadi
nukleotida purin, dan sistesis de novo dari basa purin. Pada kondisi normal,
asam urat dapat terakumulasi secara berlebihan jika produksi asam urat
tersebut berlebihan. Rata-rata produksi asam urat manusia per harinya sekitar
600-800 mg. Modifikasi diet penting bagi pasien dengan beberapa penyakit
yang dapat meningkatkan gejala hiperurisemia. Asam urat juga dapat

9
diproduksi berlebihan sebagai konsekuensi dari peningkatan gangguan dari
jaringan asam nukleat dan jumlah yang berlebihan dari sel turnover, penyakit
myeloproliferative dan lymphoproliferative, polycythemia, psoriasis, dan
beberapa tipe anemia. Penggunaan obat sitotoksik juga dapat menyebabkan
overproduksi asam urat.

Pertama adalah peningkatan aktifitas sintesis phosphoribosyl


pyrophosphate (PRPP) yang memicu peningkatan konsentrasi PRPP. PRPP
adalah kunci yang menentukan sintesis purin dan produksi asam urat. Yang
kedua adalah kekurangan hypoxanthine-guanine phosphoribosyltransferase
(HGPRT). HGPRT bertanggungjawab dalam merubah guanin menjadi asam
guanilic dan hipoxantin menjadi asam inosinik. Kekurangan enzim HGPRT
memicu peningkatan metabolisme dari guanin dan hipoxantin menjadi asam
urat. Ketiadaan HGPRT menghasilkan Lesch-Nyhan syndrome ditandai
dengan choreoathetosis, spasticity, retardation mental, yang secara nyata
meningkatkan asam urat (Ernst et al., 2008)
b. Undereksresi Asam Urat
Sebagian besar pasien dengan gout mengalami penurunan fungsi ginjal
dalam ekskresi asam urat dengan alasan yang tidak diketahui. Normalnya,
asam urat tidak terakumulasi didalam tubuh. Sekitar 2-3 produksi asam urat
setiap hari dieksresikan melalui urin. Eliminasi dilakukan melalui saluran
pencernaan setelah degradasi enzim oleh bakteri. Penurunan asam urat
melalui urin memicu hiperuresimia dan meningkatkan endapan asam urat.
Sebagian besar asam urat secara bebas terfiltrasi melalui glomerulus.
Konsentrasi asam urat muncul pada urin ditentukan dengan transport multiple
renal tubular dan menambah beban filtrasi. Sekitar 90% hasil filtrasi asam urat
direabsorbsi pada tubulus proximal, dengan mekanisme transport aktif atau
pasif. Faktor-faktor yang dapat menurunkan klirens asam urat atau
meningkatkan produksi asam urat akan mengakibatkan peningkatan

10
konsentrasi asam urat dalam serum yaitu primary gout, diabetik ketoasidosis,
gangguan mieloproliferatif, anemia hemolitik kronik, obesitas, gagal jantung
kongestif, gagal ginjal, down syndrome, hiperparatiroid, hipoparatiroid,
alkoholisme akut, akromegali, hipotiroid, dan lain-lain. Obat-obat yang dapat
menurunkan klirens asam urat di ginjal melalui modifikasi beban yang
disaring (filtered load) atau salah satu proses transport tubular diantaranya
diuretik, asam nikotinat, salisilat (< 2 g/hari), etanol, pirazinamid, levodopa,
etambutol, obat sitotoksik, dan siklosporin (Ernst et al., 2008).

Terapi Farmakologi

- Antiinflamasi Nonsteroid (AINS)

- Kortikosteroid

- Kolkisin

- Xantin-oksidase (allopurinol)

- Urikosurik (probenesid atau sulfinpirazon)

(Non Farmakologi)

- Mengurangi makanan mengandung purin tinggi

- Istirahat yang cukup, menghindari stress

- Minum dalam jumlah banyak

- Penurunan berat badan (bagi yang obesitas

2.4 Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal


atau keadaan dimana kadar albumin serum <3,5 mg/dL.

Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai


dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati.

11
Klasifikasi

Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau


jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5-5 mg/dL atau total
kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram. Klasifikasi
hipoalbuminemia adalah sebagai berikut:

- Hipoalbuminemia ringan : 3,5-3,9mg/dL

- Hipoalbuminemia sedang : 2,5-3,5mg/dL

- Hipoalbuminemia berat : < 2,5mg/dL

Etiologi

Hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien.


Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah, pencernaa
n atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan protein yang
dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut.

Terapi

- Pemberian albumin bisa dilakukan melalui infus.

- Konsumsi makanan berprotein tinggi seperti kacang, telur, susu, daging sapi,
ikan, yogurt.

- Menjalani gaya hidup sehat (tidak mengonsumsi alkohol)

- Menerapkan pola makan sehat

12
PENYELESAIAN MASALAH

PHARMACEUTICAL CARE

A. Identitas Pasien

- Nama : Tuan A.H

- Jenis kelamin : laki-laki

- Umur : 78 tahun

- Pekerjaan : wiraswasta

B. Subyektif

- Keluhan utama : sering mengeluh cepat lapar, cepat lelah, cepat


haus, sering buang air kecil, penglihatan kabur

- Riwayat penyakit sekarang : Diabetes melitus

C. Objektif

- Pemeriksaan Fisik

TD : 140/100 mmHg 120/80mmHg

- Pemeriksaan Lab

Pemeriksaan Hasil Normal


GDP 629 mg/dL <100
Kreatinin 1,1 mg/dL 0,7-1,2
Asam Urat 9,3 mg/dL 2,6-7,2
HDL 50 mg/dL >40
LDL 55 mg/dL <100
Trigliserida 81 mg/dL <150

13
Kolesterol 122 mg/dL <200
Albumin 3,3 mg/dL 3.5-4.5
SGOT 27 mg/dL <=40
SGPT 25 mg/dL <=41

D. Assesment

Terapi Pasien

- Furosemid 1x1

- Adonemia 2x1

- Obat antidiabetes peroral sesekali dikonsumsi

- Injeksi insulin sesekali diberikan

DRP

Jenis DRP Analisis Rekomendasi

- Penggunaan obat antigout tidak


- Hiperurisemia diberikan karena peningkatan
kadar asam urat masih dibawah
Ada indikasi 10mg/DL, dan disarankan
tanpa obat mengatur pola makan.

- Diberikan terapi non


- Hipoalbuminemia farmakologi dan pemberian
albumin melalui infus

Adonemia untuk Cek Hb dan eritrosit pasien,


penambah darah apabila Hb atau eritrosit kurang
Ada obat mungkin menjadi dari normal maka adonemia dapat
tanpa indikasi obat tanpa indikasi tetap dikonsumsi, namun apabila
karena tidak ada kadar Hb sudah normal, maka
data nilai Hb pasien. hentikan penggunaan adonemia.

14
E. PLAN

1) Diabetes Melitus tipe 2 (GDP : 629 mg/dL)

Kombinasi Insulin + Metformin 500 mg (3x1/hari)

Terapi kombinasi insulin-metformin mempengaruhi kadar GDP dan


A1C secara signifikan. Penggunaan terapi kombinasi insulin tunggal dengan
metformin menunjukkan peningkatan kualitas hidup. Metformin
dikombinasikan dengan insulin akan memberikan keuntungan dalam
menurunkan kadar glukosa darah dimana insulin mampu dalam mengontrol
glukosa post prandial sedangkan metformin mengontrol glukosa darah puasa
sehingga glukosa darah terkontrol setiap waktu. (Jurnal PENGARUH
TERAPI KOMBINASI INSULIN–METFORMIN TERHADAP
KUALITAS HIDUP PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2)

(Non Farmakologi)

- Diet seimbang (karbohidrat, protein, lemak)

- Olahraga

2) Hipertensi (140/100mmHg)

Captopril(75-100 mg)

Inhibitor ACE mungkin lebih disukai pada pasien usia lanjut dengan
gagal jantung kongestif dan diabetes mellitus. (DIH)

(Non Farmakologi)

- Mengurangi konsumsi garam hingga kurang dari satu sendok teh per hari.

- Perbanyak aktivitas fisik dan rutin berolahraga.

15
- Menurunkan berat badan.

- Berhenti merokok

- Menghindari atau mengurangi konsumsi minuman beralkohol.

- Mengurangi konsumsi minuman tinggi kafein, seperti kopi, teh, atau cola.

- Melakukan terapi relaksasi, misalnya yoga atau meditasi untuk


mengendalikan stres.

3) Hiperuresemia (Asam Urat : 9,3 mg/dL)

(Non Farmakologi)

- Mengurangi makanan mengandung purin tinggi

- Istirahat yang cukup, menghindari stress

- Minum dalam jumlah banyak

- Penurunan berat badan (bagi yang obesitas)

4) Hipoalbuminemia (3,3 mg/dL)

(Non farmakologi)

- Pemberian albumin bisa dilakukan melalui infus.

- Konsumsi makanan berprotein tinggi seperti kacang, telur, susu, daging


sapi, ikan, yogurt.

- Menjalani gaya hidup sehat (tidak mengonsumsi alkohol)

- Menerapkan pola makan sehat

16
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit


Diabetes Melitus : 2005

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit


Hipertensi : 2006

ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan, September 2008 : Jakarta Barat

17

Anda mungkin juga menyukai