Nisa Felicia, Ph. D. (Peneliti PSPK, Dosen Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna)
Chandra C. A. Putri (Peneliti PSPK)
Kilas Pendidikan edisi 20 ini memaparkan Secara umum, hasil studi menunjukkan
hasil studi mengenai gambaran literasi bahwa sebagian besar siswa menunjukkan
dan numerasi di Kabupaten Probolinggo. kemampuannya dalam memahami teks
Dengan menggunakan instrumen PEMANTIK pendek dan pengurangan tanpa meminjam.
(Pengukuran Mandiri Numerasi dan Literasi Hal ini terutama dipengaruhi oleh jenjang
PSPK), PSPK melakukan studi sebagai bagian kelas, dimana siswa di kelas yang lebih
dari Kolaborasi Literasi Bermakna (KLB), salah tinggi mampu menunjukkan kemampuan
satu mitra INOVASI di Jawa Timur. literasi dan numerasi yang lebih tinggi juga.
Di sisi lain, data studi ini menunjukkan aspek-
INOVASI (Inovasi untuk Anak Sekolah aspek lain di luar sekolah seperti status sosial
Indonesia) adalah program kemitraan ekonomi (socioeconomic status atau SES)
pendidikan antara Pemerintah Indonesia tidak mampu memprediksi capaian siswa.
dan Australia yang bertujuan untuk Hal ini mengindikasikan besarnya peran
menemukan dan memahami cara-cara sekolah di Kabupaten Probolinggo dalam
untuk meningkatkan hasil pembelajaran mengembangkan kemampuan literasi dan
siswa jenjang pendidikan dasar – khususnya numerasi anak. Dengan kata lain, dalam
yang berkaitan dengan kemampuan literasi, konteks kajian ini, sekolah sangat diandalkan
numerasi, dan pendidikan inklusi. Bekerja dalam pendidikan anak. Berdasarkan hal
dengan Kementerian Pendidikan dan tersebut, diperlukan rekomendasi lanjutan
Kebudayaan, INOVASI menjalin kemitraan terutama dalam berbagi peran antara
dengan 17 Kota yang tersebar di Provinsi sekolah dan keluarga/orangtua dalam
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara pendidikan. Selengkapnya dipaparkan
Timur, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur. dalam bagian berikutnya.
Program pendidikan ini berjalan sejak tahun
2016 hingga tahun 2019 dan dikelola oleh
Palladium atas nama Departemen Luar
Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia.
INOVASI memulai program kerjasama dengan
sejumlah organisasi pendidikan di Indonesia
sejak bulan Juli 2018 untuk mendukung
tujuan program dalam meningkatkan hasil
pembelajaran siswa sekolah dasar.
Tujuan utama studi ini adalah untuk mengetahui gambaran capaian literasi dan numerasi siswa
di Kabupaten Probolinggo. Untuk memahami hal ini secara menyeluruh, sejumlah pertanyaan
diuraikan untuk mendapatkan jawaban yang lebih bermakna, diantaranya sebagai berikut:
• Apakah tingkat literasi dan numerasi siswa berdasarkan jenjang kelas berbeda secara
signifikan?
• Apakah ada perbedaan tingkat literasi dan numerasi antara siswa laki-laki dengan
perempuan?
• Apakah status sosial ekonomi keluarga memengaruhi tingkat literasi dan numerasi siswa?
• Apakah partisipasi siswa di PAUD bisa memengaruhi perbedaan tingkat literasi dan numerasi
siswa?
Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, berikut dipaparkan pendekatan dan atau
metode yang dilakukan dalam studi ini.
Populasi yang terlibat dalam studi ini didefinisikan sebagai siswa kelas rendah (kelas 1 sampai
dengan kelas 3 sekolah dasar) di Kabupaten Probolinggo. Dengan pendekatan random
sampling1 tingkat siswa, sebanyak 392 siswa dari 15 sekolah dasar menjadi responden dalam
penelitian. Adapun sebaran siswa tersebut digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1 menunjukkan bahwa proporsi siswa berdasarkan jenjang kelas cukup setara. Secara
statistik, sebaran siswa berdasarkan kelas ini secara signifikan2 berkorelasi dengan usia mereka,
di mana siswa dengan jenjang kelas yang lebih tinggi diikuti oleh rentang usia yang lebih tinggi
pula, meskipun masih terdapat sedikit siswa yang lebih muda dan atau lebih tua dari rerata usia
teman sekelasnya (siswa yang demikian dikenal dengan istilah non-traditional student). Untuk
itu, dalam studi ini jenjang kelas menjadi indikator dalam menggambarkan sebaran capaian
siswa terkait dengan berbagai faktor.
1
Pemilihan sekolah dipengaruhi oleh intervensi yang dilakukan oleh tim Kolaborasi Literasi Bermakna, yakni pelatihan guru
dan orangtua penggerak yang direkomendasikan kepala sekolah pada sekolah yang dipilih INOVASI
2
chi square, sig.0.00, pearson correlation: 0.718
Kilas Pendidikan Edisi 20 | 21 Juni 2019 | 4
Kelas 3 9 46 99 TOTAL
Kelas 2 36 75 11
104 3
Kelas 1 104 3
Berikutnya, untuk menjawab pertanyaan penelitian, sejumlah uji statistik3 digunakan dalam studi
ini. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tidak semua faktor secara signifikan memengaruhi
capaian siswa. Laporan ini berfokus pada faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh
saja. Namun, sebelum hasil analisis faktor tersebut dipaparkan, capaian literasi dan numerasi
siswa di Kabupaten Probolinggo digambarkan sebagai berikut.
LEV.4
LEV.3
LEV.0 LEV.2
LEV.1 62,5%
9,2% 4,3% 4,8% 19,1%
Sebanyak 17 siswa Sebanyak 19 siswa Sebanyak 75 siswa Sebanyak 245 siswa berada
Sebanyak 36 siswa belum
berada pada level 1 berada pada level 2 berada pada level 3 pada level 4 literasi yang
mengenal huruf
literasi yang ditunjukkan literasi yang ditunjukkan literasi yang ditunjukkan ditunjukkan dengan
dengan kemampuan dengan kemampuan dengan kemampuan kemampuan dalam
dalam mengenal huruf dalam mengenal huruf dalam mengenal huruf, mengenal huruf,
dan menyuarakan kata menyuarakan kata dan menyuarakan kata dan
kalimat kalimat, serta memahami teks
pendek
Secara umum, siswa (62,5%) telah menguasai level4 tertinggi pada subtes literasi, yakni memahami
teks pendek. Pada level ini, siswa telah mampu memahami informasi baik yang bersifat eksplisit
maupun implisit dalam sebuah teks yang pendek5. Kemampuan dalam memahami teks ini
kemudian disebut sebagai komprehensi dasar literasi. Komprehensi menjadi salah satu fondasi
bagi siswa ketika memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi juga kehidupan siswa di luar
sekolah. Komprehensi menggambarkan perkembangan daya nalar individu, ketika seseorang
membaca sebuah tulisan, ia juga membentuk makna dari tulisan tersebut. Pembentukan makna
merupakan respon yang dipengaruhi oleh pengetahuan, situasi dan sosial-budaya yang sudah
ada pada individu (Salkind & Rasmussen, 2008). Untuk itu, stimulus eksternal yang diterima siswa
bisa menjelaskan bagaimana kemampuan komprehensi siswa.
3
Chi square dan analisis regresi. Kami sempat melakukan analisis regresi bertingkat atau hierarchical linear multilevel (HLM)
untuk mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan capaian pada level sekolah. Namun signifikansi
perbedaan skor tidak ditemukan.
Kilas Pendidikan Edisi 20 | 21 Juni 2019 | 5
Sementara itu, sebagian besar siswa (32,4%) berada pada level 3 yakni pengurangan tanpa
meminjam. Hal ini bisa dilihat dalam grafik berikut.
LEV.3
LEV.4
LEV.2
LEV.5
LEV.0 LEV.1
2,8% 3,8% 23% 32,4% 27% 11%
Sebanyak 11 siswa belum Sebanyak 15 siswa berada Sebanyak 127 siswa Sebanyak 106 siswa Sebanyak 43 siswa berada
Sebanyak 90 siswa berada berada pada level 3
mengenal angka pada level 1 numerasi yang berada pada level 3 pada level 3 numerasi
pada level 2 numerasi yang numerasi yang
ditunjukkan dengan numerasi yang ditunjukkan yang ditunjukkan dengan
ditunjukkan dengan ditunjukkan dengan
kemampuan dalam dengan kemampuan kemampuan dalam
kemampuan dalam kemampuan dalam
mengenal satuan dalam mengenal satuan mengenal satuan dan
mengenal satuan dan mengenal satuan dan
dan puluhan, serta puluhan, pengurangan
puluhan puluhan,
pengurangan tanpa tanpa meminjam dan
meminjam pengurangan tanpa dengan meminjam, serta
meminjam dan pembagian
dengan meminjam
Sekitar 27% siswa mencapai tingkat yang cukup tinggi, yaitu level 4: kemampuan pengurangan
dengan meminjam. Berbeda dengan pengurangan sederhana atau pengurangan tanpa
meminjam, pengurangan dengan meminjam membutuhkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang nilai tempat (satuan, puluhan, dan seterusnya) sehingga siswa perlu
mengerti makna “pinjam” satu puluhan ke dalam baris satuan dalam proses komputasi ini.
Dengan kata lain, proses pengurangan dengan meminjam lebih kompleks serta lebih abstrak
daripada pengurangan sederhana tanpa pinjam. Namun demikian, gambaran capaian
tersebut akan lebih bermakna jika kita memperhatikan sejumlah aspek aspek yang dapat
menjelaskan variasi capaian ini, terutama jenjang kelas.
KENAIKAN JENJANG KELAS DIIKUTI OLEH KENAIKAN CAPAIAN LITERASI DAN NUMERASI
Secara umum, ada hubungan yang signifikan antara jenjang kelas dengan tingkat literasi dan
numerasi siswa6, di mana siswa yang berada di kelas yang lebih tinggi cenderung memperoleh
capaian literasi dan numerasi yang lebih tinggi.
Kelas 3 6 3 1 15 88
Kelas 2 9 4 5 29 83
Kelas 1 21 10 13 31 74
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Level 0 Level 1 Level 2 Level 3 Level 4
Dalam gambar 5, bisa dilihat bahwa di Kelas 3 SD merupakan fase transisi dalam
jenjang kelas yang lebih tinggi, proporsi siswa memasuki topik dan materi pembelajaran
yang menunjukkan kemampuan tinggi pun yang semakin kompleks. Lambatnya progres
lebih banyak. Garis yang berwarna biru tua hasil belajar siswa ini juga sudah disampaikan
menunjukkan level 4, yaitu kemampuan dalam kajian RISE (2018) tingkat nasional
siswa untuk memahami teks pendek. Proporsi menggunakan data IFLS (Indonesia Family Life
siswa yang sudah mencapai level ini lebih Survey) tahun 2000, 2007, dan 2014. Dalam
tinggi di jenjang kelas yang lebih tinggi. penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam
Sebaliknya, panjang garis merah (level 0) yang kurun waktu antara tahun 2000 hingga 2015
menunjukkan bahwa siswa belum mengenal anggaran yang digunakan dalam pendidikan
huruf sama sekali, proporsinya semakin rendah berkontribusi dalam meningkatkan angka
di jenjang kelas yang semakin tinggi. Secara partisipasi siswa sebesar hampir dua kali lipat.
statistik, perbedaan proporsi ini signifikan7. Pada tingkat sekolah dasar, peningkatan
Merujuk pada Kurikulum 2013, data capaian anggaran terjadi hampir 100 persen. Namun
literasi di atas menunjukkan bahwa masih demikian, kajian lain dalam kurun waktu
terdapat siswa terutama di kelas 3 yang yang relatif sama (OECD, 2015) menunjukkan
belum mencapai target. Saat duduk di kelas bahwa peningkatan capaian proses dan hasil
3, siswa diharapkan sudah mampu memahami belajar cenderung sangat lambat. Dinyatakan
informasi dalam teks (tematik) baik secara dalam laporan tersebut bahwa Indonesia
eksplisit maupun implisit, yang setara dengan memerlukan hingga 100 tahun untuk mengejar
level 4 dalam tes PEMANTIK. Namun demikian, capaian rata-rata dunia jika tidak memberikan
masih ada sekitar 22 persen siswa yang belum fokus pada peningkatan kualitas.
mampu mencapainya, apalagi masih ada Sementara itu untuk subtes numerasi, sebagian
siswa yang masih belum mengenal huruf sama besar siswa menunjukkan kemampuan yang
sekali (garis merah), yaitu sekitar 5 persen dari tidak melebihi level 3, yaitu melakukan operasi
total siswa kelas 3. pengurangan tanpa meminjam.
Kelas 3 11 12 31 35 33
Kelas 2 2 4 21 54 39 10
Kelas 1 8 10 57 42 32
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Level 0 Level 1 Level 2 Level 3 Level 4 Level 5
Menggunakan standar kompetensi sebagai tolak ukur, capaian numerasi siswa kelas 3 dapat
dikatakan relatif rendah. Menurut kurikulum yang digunakan di Indonesia, siswa kelas 2 sudah
mulai dikenalkan dengan konsep pembagian sehingga harapannya di kelas 3 mereka sudah
bisa mengoperasikannya. Dalam PEMANTIK, harapannya mayoritas siswa kelas 2 mencapai
level 4 (biru tua) dan mayoritas kelas 3 mencapai level 5 (hijau tua). Namun demikian capaian
tersebut tidak ditunjukkan oleh data yang dikumpulkan di Kabupaten Probolinggo ini. Rendahnya
capaian siswa dalam aspek numerasi sebetulnya ditemui juga pada siswa Indonesia secara
umum. Sebagai contoh, penilaian yang dilakukan TIMSS (Trends in International Mathematics
and Science Study) menunjukkan bahwa Indonesia cenderung mengalami penurunan capaian
skor, di mana pada tahun 1999 rata-rata skor adalah 403 sementara pada tahun 2014 turun
menjadi 2868.
7
Chi square, sig 0.00
8
TIMSS menggambarkan kecenderungan pembelajaran Matematika dan Sains dalam skala internasional.
Kilas Pendidikan Edisi 20 | 21 Juni 2019 | 7
Gambar 5 dan Gambar 6 juga menunjukkan Untuk faktor sekolah, uji statistik menunjukkan
bahwa capaian literasi maupun numerasi bahwa secara signifikan, semakin tinggi jenjang
siswa kelas 1 sangat beragam. Untuk numerasi, kelas siswa semakin banyak juga siswa yang
proporsi siswa kelas 1 yang mencapai level menunjukkan level/kemampuan literasi dan
2 (57%), level 3 (42%), dan level 4 (32%) tidak numerasi yang tinggi. Begitu juga sebaliknya,
terlalu jauh berbeda. Dengan kata lain, tidak semakin sedikit sebaran siswa dengan
ada level yang benar-benar mendominasi. capaian rendah pada jenjang kelas yang
Sebaran seperti ini tidak bisa mencerminkan semakin tinggi10. Hal ini sesuai harapan, bahwa
kurikulum yang dipelajari (learned curriculum) peningkatan jenjang pendidikan seseorang
oleh siswa kelas 1, apakah sebenarnya mereka mengindikasikan peningkatan hasil belajar.
baru belajar sampai penjumlahan sederhana,
pengurangan tanpa pinjaman, atau Sementara untuk faktor faktor luar sekolah, hasil
pengurangan dengan pinjaman. Sebaran ini, analisis tidak menunjukkan adanya korelasi
dengan demikian, dapat menunjukkan adanya antara faktor-faktor tersebut dengan capaian
kesenjangan proses belajar numerasi antar siswa11 kecuali untuk pendidikan ayah. Proporsi
siswa di Kabupaten Probolinggo. Misalnya, siswa dengan capaian yang tinggi didominasi
di sekolah A anak kelas 1 sudah belajar oleh siswa dengan pendidikan ayah yang
pengurangan saat tes PEMANTIK dilakukan, lebih dari sekolah dasar, sebagaimana yang
namun siswa sekolah B belum mempelajarinya. ditunjukkan Gambar 7.
Hal ini perlu menjadi perhatian pendidik, 41 103
khususnya Dinas Pendidikan di Kabupaten
41 103
Probolinggo. Ayah lulus> SD
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Berdasarkan pertanyaan penelitian, faktor Belum memahami teks pendek Sudah memahami teks pendek
yang dianalisis dalam studi ini adalah:
9
93,3 persen sekolah negeri dan 6,7 persen sekolah swasta
10
Chi square, sig 0.00
11
Chi-square, sig >0.05
12
Chi square, sig 0.01
Kilas Pendidikan Edisi 20 | 21 Juni 2019 | 8
13
Chi square, sig 0.00
Kilas Pendidikan Edisi 20 | 21 Juni 2019 | 9
Sementara itu, studi ini juga menemukan tua sebaiknya tidak fokus pada kemampuan
bahwa faktor-faktor di luar sekolah seperti membaca saja, tetapi juga melibatkan
status sosial ekonomi yang diwakili oleh anak secara aktif untuk mengembangkan
pekerjaan dan pendidikan orangtua serta kemampuan berpikirnya menggunakan
partisipasi dalam pendidikan anak usia dini bahan bacaan.
tidak memberikan pengaruh yang signifikan
dalam peningkatan skor. Latar belakang Oleh karena itu, langkah awal yang perlu
siswa relatif homogen sehingga rendahnya dilakukan adalah mendefinisikan kembali
variasi ini membatasi uji statistik. Dengan makna literasi, dan kemudian merancang
demikian PEMANTIK ini belum menemukan program-program yang lebih berorientasi
faktor luar sekolah dan juga faktor sekolah pada pencapaian literasi tesebut. Sebagai
lain yang dapat menjelaskan keragaman contoh, program 15 menit membaca di kelas
capaian literasi dan numerasi siswa SD kelas perlu disesuaikan dengan tujuan literasi yang
rendah di Kabupaten Probolinggo ini. lebih tinggi. Selain membaca sendiri-sendiri,
dalam kegiatan tersebut sebaiknya guru
Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan mulai melakukan proses diskusi tentang buku
berdasarkan hasil kajian ini adalah sebagai yang dibaca siswa.
berikut:
Pembelajaran yang berfokus pada kebutuhan
Meninjau kembali definisi literasi, termasuk anak berdasarkan level/capaiannya
numerasi, serta revisi program literasi
Sebagaimana dipaparkan bahwa capaian
Proporsi siswa kelas 2 dan kelas 3 yang siswa terutama di kelas 1 begitu beragam
mencapai level 4 literasi, yaitu memahami dimana sebaran siswa yang berada pada
bacaan, masih perlu ditingkatkan. Oleh level rendah sama banyaknya dengan siswa
karena itu, satu rekomendasi penting dan yang telah mencapai level tinggi, bahkan
mendasar yang ditawarkan adalah guru, ada siswa yang sudah mencapai level di atas
orang tua, dan penggiat pendidikan perlu rerata siswa seusianya. Di sisi lain, meskipun
membangun kesepakatan bersama tentang kesenjangan ini semakin berkurang, masih
makna literasi, di mana numerasi (number adanya siswa terutama di kelas 3 yang
literacy) termasuk di dalamnya. Ketika literasi tertinggal sama sekali, dalam hal ini belum
dimaknai sebagai kemampuan membaca mengenal huruf dan atau angka sama sekali
(menyuarakan kalimat), maka intervensi atau menjadi isu yang perlu diperhatikan.
program literasi dianggap selesai ketika anak
mampu melakukan kemampuan tersebut. Terutama untuk siswa kelas 3 yang belum
Namun ketika literasi juga berarti kemampuan mengenal huruf dan atau angka sama sekali,
memahami bacaan baik memahami makna pembelajaran literasi dan numerasi dasar bisa
eksplisit maupun implisit, maka program dilakukan dengan memberikan pengayaan
literasi akan melibatkan proses diskusi tentang atau pelajaran tambahan. Diferensiasi
bacaan dan juga refleksi diri berdasarkan juga perlu diberikan kepada siswa yang
bacaan. Hal ini merupakan tujuan utama membutuhkan penguatan konsep-konsep
dari kemampuan literasi yang perlu dibangun dasar yang sangat penting untuk mereka
sejak dini. Dengan kata lain, guru dan orang memasuki pelajaran yang lebih kompleks.
Kilas Pendidikan Edisi 20 | 21 Juni 2019 | 10
Data kualitatif yang diperoleh melalui focus group discussion (FGD) menunjukkan bahwa orang
tua siswa partisipan PEMANTIK di Kabupaten Probolinggo memiliki ikatan yang kuat, cukup
akrab dengan guru-guru di sekolah. Ini adalah modal sosial yang penting untuk melibatkan
orang tua dalam pendidikan anak yang lebih terarah. Sebagai contoh, sekolah dapat
menyelenggarakan diskusi bersama orang tua berdasarkan hasil studi PEMANTIK ini ataupun
hasil asesmen siswa lainnya, untuk kemudian mengambil langkah kolektif guru-orangtua untuk
mendukung keberhasilan belajar anak. Dengan kata lain, pihak sekolah perlu membantu orang
tua untuk mengetahui dan terampil menjalankan peran mereka untuk dapat mereka lakukan
untuk membantu anak belajar.
***
Kilas Pendidikan Edisi 20 | 21 Juni 2019 | 11
DAFTAR PUSTAKA
Baker, D. E., Goesling, B., & Letendre, G. K. (2002). Socioeconomic Status, School Quality, and
National Economic Development: A Cross-National Analysis of the “Heyneman-Loxley Effect”
on Mathematics and Science Achievement. Comparative Education Review, 46(3), 291.
Coleman, J. S., Campbell, E. Q., Hobson, C. J., McPartland, J., Mood, A. M., Weinfield, F. D., &
York, R. L. (1966). Equality of educational opportunity. Washington, DC: U.S. Government Printing
Office. (University Library LA 209.2 C578X).
Felicia, N. (2016). Factors Associated with Cognitive Development of Primary School Children in
Eastern Indonesia. University at Albany, State University of New York, Albany, NY.
Heyneman, S. P., & Loxley, W. A. (1983). The Effect of Primary-School Quality on Academic
Achievement Across Twenty-nine High- and Low-Income Countries. American Journal of
Sociology, 88(6), 1162–1194.
Salkind, N. J., & Rasmussen, K. (2008). Encyclopedia of Educational Psychology: SAGE Publications.
Pemimpin Redaksi: Ifa H. Misbach
Redaktur: 1. Henny Supolo 2. Najelaa Shihab
Editor: Nisa Felicia & Chandra C. A. Putri