Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor adalah kumpulan sel abnormal dalam tubuh yang terbentuk oleh sel-
sel yang tumbuh secara terus menerus, tidak berbatas, tidak terkoordinasi dengan
jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh. Tumor intraabdomen antara lain
tumor hepar, tumor limpa, tumor lambung, tumor kolon, tumor pankreas, dan tumor
ginjal. Tumor abdomen yang paling sering terjadi yaitu tumor kolon. Menurut
American Cancer Society, kanker kolorektal adalah kanker ketiga terbanyak dan
merupakan kanker penyebab kematian kedua terbanyak pada pria dan wanita di
Amerika Serikat. Pada tahun 2016, ada 134.490 kasus baru (70.820 laki-laki dan
63.670 perempuan) yang menderita kanker kolorektal dengan angka kematian
49.190 orang.1,2

Kanker kolon adalah suatu keganasan yang berasal dari jaringan usus besar.
Ca colon awalnya di mulai dari dalam dinding colon dan akan menyebar ke dinding
luar. Kelenjar yang melapisi bagian colon merupakan sel yang paling abnormal.
Awalnya pertumbuhan sel yang tidak terkendali ini akan menghasilkan polip dan
kemudian berubah menjadi adenocarcinoma atau tumor. Perkembangan kanker ini
sangat lambat, sehingga sering diabaikan oleh penderita. Pada stadium dini, sering
sekali tidak ada keluhan dan tidak ada rasa sakit yang berat. Penderita kanker jenis
pengobatannya menjadi lebih sulit. Ca colon diklasifikasikan menjadi 4 stadium
berdasarkan seberapa jauh sel kanker sudah menyebar hingga lapisan colon, otot
dan kelenjar getah bening. Jika sel kanker tersebut belum mencapai KGB maka
akan dilakukan tindakan operasi pengangkatan.2,3

Penyebab terjadinya kanker kolorektal secara umum karena faktor


lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan yang tidak dapat dimodifikasi
yaitu riwayat kanker kolorektal pada keluarga, riwayat inflamasi kronis usus pada
diri sendiri. Faktor lingkungan yang dapat dimodifikasi adalah obesitas, konsumsi
daging secara sering, konsumsi alkohol, konsumsi tinggi kalori dan lemak. Secara
keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang
(5%). Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun terakhir.
Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada penanganan
kanker kolorektal. Terapi bedah paling efektif dilakukan bila tumor masih
terlokalisasi. Jika sudah terjadi metastasis, prognosis menjadi buruk dan
kemungkinan hidup lebih lama menurun drastis. Berkembangnya radioterapi dan
kemoterapi saat ini memberikan kesempatan untuk terapi adjuvan untuk penderita
stadium lanjut atau pada kejadian kekambuhan.2,3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kanker Kolorektal


Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,
terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil
terakhir dari usus besar sebelum anus).4

2.2 Epidemiologi
Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah kanker
ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematia ketiga terbanyak pada
pria dan wanita di Amerika Serikat. 4
Berdasarkan survey GLOBOCAN 2012, insidensi KKR di seluruh dunia
menempati urutan ketiga (1360 dari 100.000 penduduk [8,5%], keseluruhan laki-
laki dan perempuan).
Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1 dari 20
orang (5%). Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan
pada pria. Banyak factor lain yang dapat meningkatkan risiko individual untuk
terkena kanker kolorektal. Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak
20 tahun terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan
pada penanganan kanker kolorektal.4,5

Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk.


Dewasa ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak
terjadi di Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan
bahwa kanker kolorektal merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering
terdapat pada pria maupun wanita. Distribusi kanker kolorektal menurut lokasinya
dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 6,7
6.8%

8.7% 11.7%

Sekum Sigmoid

1.9% 9.7%

51.5%

Gambar 2.5 Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi.7

2.3 Faktor Risiko


Pada kanker kolorektal terdapat beberapa factor yang tidak dapat dimodifikasi
dan faktor yang dapat dimodifikasi. Pada faktor yang tidak dapat dimodifikasi
adalah riwayat kanker kolorektal atau polip adenoma individual dan keluarga dan
riwayat individual penyakit kronis inflamatori pada usus. Sedangkan pada faktor
yang dapat dimodifikasi adalah inaktivasi, obesitas, konsumsi tinggi daging merah,
merokok, dan konsumsi alkohol. Sementara aktivitas fisik, makan makanan
berserat, dan asupan vitamin D termasuk dalam faktor protektif.8-14

2.3.1 Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari
kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai
dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor
supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi
adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel
yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen
gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan
pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis
(kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen,
karena berfungsi melakukan kontrol negatif pada pertumbuhan sel. Gen p53
merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53
kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi
DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan
mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini
karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.

Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan
melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-
onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi
ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan
baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel.
Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi
melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel
akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak
aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga
kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel akibatnya sel akan
berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen
p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa kendali
dan karsinogenesis dimulai.

Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non


neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non
neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile
polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna; dan
berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous
adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous,
dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous
adenoma dibawah 5%.

Gambar 2.6. Adenomatous Polip

Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen
dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa
invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma
berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong
sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker
kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan
meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-
4 kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat pada pasien yang
mempunyai multipel polip. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi
tergantung beratnya derajat displasia. Potensi untuk menjadi ganas semakin besar
dengan bertambahnya ukuran. Bila diameternya kurang dari 1 cm risiko keganasan
1%, bila ukurannya antara 1-2 cm risiko keganasan naik menjadi 10%, dan bila
ukurannya lebih dari 2 cm risiko keganasannya 35 – 50%. Juga jenis PA nya, bila
jenisnya tubuler potensi keganasannya 5%, sedangkan jenis villosa 40%, dan
biasanya jenis campuran tubulovillosa yang potensi keganasannya 22%.
Gambar 2.7. Polip Neoplastik

Keterangan : (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous


adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang
muncul dari sebuah villous adenoma.

2.3.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

Ulseratif Kolitis

Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon,
sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko
perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis
dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko
kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun.
Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari
kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk
menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang
durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa
lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Diagnosis dari
displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan
variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.

Penyakit Crohn’s

Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk


menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif
kolitis.

Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar
20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat
pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal harus
dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa
squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien
dengan crohn’s disease.15,16

2.3.3 Faktor Genetik

Riwayat Keluarga

Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat
kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang
mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker
kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak
memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

Herediter Kanker Kolorektal


Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju
mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling
penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat
kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil
dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon,
dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma
yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom
ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini,
dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme
yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non
polyposis colorectal cancer (HNPCC).

A. FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring
kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50
tahun.2 Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat
banyak untuk dapat dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan
adekuat. Ketika hal ini terjadi, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic
subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya
prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang
dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin
dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia
muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama
enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang
mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,
hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari
FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.

B. HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.
Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur
yang muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan.
Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang
bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari DNA,
yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari
squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang
dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana
predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari malignansi
primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous,
carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk kanker dari
endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika
dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali
poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip
crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer inflitrasi
kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma
kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila
dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan
waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan untuk menentukan proporsi
dari kanker kolorektal yang dikarenakan HNPCC, estimasi keakurasiannya sekitar
1-6 %.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker


kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur
20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali
terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien
dengan HNPCC yang didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun,
dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur
68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan
sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC
kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi
fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.

2.3.4 Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan
mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama
adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin
dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet
yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti
dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus
proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka
panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal.
Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan
menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut
dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin
yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat
dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator
oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan
resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat
dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-
inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi
insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang
berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal.

2.3.5 Gaya Hidup


Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah
kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar. Pemakaian alkohol juga
menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan
asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,
pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi
antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas
prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The
Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara
aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan
aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.

2.3.6 Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158
per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per
100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda
(30-64 thn). Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan
usia.6,16-18

Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal:

1. Berusia > 50 tahun

2. Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous poliposis dan Peutz


jagers sindrom)

3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga

4. Inflamatory bowel disease

5. Riwayat menderita kanker kolorektal

6. Riwayat menderita polip kolrektal.

2.4 Etiologi
Sampai saat ini penyebab pasti dari karsinoma kolorektal belum jelas
diketahui. Resiko berkembangnya karsinoma kolorektal meningkat seiring
bertambahnya usia. Lebih dari 90% kasus terjadi pada orang-orang berumur diatas
50 tahun atau lebih tua. Adapun faktor resiko lainnya yang menyebabkan karsinoma
kolorektal ini antara lain:
1. Inflamasi kronis
Inflammatory bowel disease (IBS) yang bersifat kronis merupakan salah
satu faktor etiologi yang signifikan dalam menyebabkan perkembangan
adenokarsinoma kolorektal. Resiko terkena karsinoma kolorektal
meningkat 8 hingga 10 tahun . Selain itu, jumlah kasus karsinoma koloektal
tinggi pada pasien dengan onset yang cepat dan manifestasinya menyebar.
2. Riwayat anggota keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal atau
polip kolorektal.
3. Sindrom genetic seperti familial adenomatous polyposis (FAP) atau
hereditary nonpolyposis colorectal cancer syndrome (HNPCC yang disebut
juga Lynch syndrome).
4. Faktor makanan dan gaya hidup
5. Radiasi
Faktor ini jarang menjadi etiologi dalam neoplasia kolorektal, akan tetapi
terapi radiasi pelvis diakui juga bisa menjadi etiologi penyakit ini.

2.5 Anatomi Kolon


Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix vermiformiis,
colon, rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian pertama intestinum
crassum dan beralih menjadi colon ascendens. Appendix Vermiformis berupa pipa
buntu yang berbentuk cacing dan berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal
peralihan ileosekal.10
Colon descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa
iliaca sinistra dan disini beralih menjadi colon sigmoideum. Colon sigmoideum
disebut juga colon pelvinum. Rectum adalah bagian akhir intestinum crassum yang
terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih menjadi canalis analis.10
Gambar 1. Pembagian Kolon. (Sobotta)11

Perdarahan colon ascendens dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri
ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica superior. Vena
ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior, mengalirkan
balik darah dari colon ascendens. Pendarahan colon transversum terutama terjadi
melalui arteria colica media, cabang arteria mesenterica superior, tetapi
memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra dan arteri colica sinistra.
Penyaluran balik darah dari colon transversum terjadi melalui vena mesenterica
superior.10

Gambar 2. Peredaran Darah Arteri Kolon. (Sobotta)11


Gambar 3. Peredarahan Darah Balik Vena Kolon. (Sobotta)11

2.6 Fisiologi Kolon


Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Kolon mengubah 1000-2000ml kimus isotonik yang masuk setiap hari
dari ileum menjadi tinja semi padat dengan volume sekitar 200-250ml.12,13
Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan
proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan
kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses
sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon
penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara
normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan
sejumlah kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi
tambahan untuk tubuh.12
2.7 Histologi Kolon
Usus besar terdiri atas membrane mukosa tanpa adanya lipatan kecuali pada
bagian distalnya (rectum) dan tidak memiliki vili. Mukosa di penetrasi di seluruh
area usus besar oleh kelenjar usus tubular yang dilapisi oleh sel goblet dan sel
absorptif dengan sedikit sel enteroendokrin. Sel absorptif atau kolonosit berbentuk
silindris dengan mikrovili pendek ireguler. Sel punca untuk epitel usus besar berada
pada sepertiga bawah kelenjar. Usus besar disesuaikan dengan fungsi utamanya :
absorpsi air, pembentukkan massa tinja, dan produksi usus yang melumasi
permukaan usus.14
Lamina propia kaya akan sel limfoid dan nodul limfoid yang sering kali
menyebar sampai ke dalam submukosa. Banyaknya jaringan MALT berkaitan
dengan banyaknya bakteri di usus besar. Muskularis terdiri dari berkas longitudinal
dan sirkular, tetapi berbeda dari lapisan muskularis di usus halus dengan serabut
lapisan luarnya yang mengelompok dalam 3 pita longitudinal yang disebut taeniae
coli. Bagian intraperitoneal colon dilapisis oleh serosa, yang ditandai dengan
tonjolan kecil yang diterdiri atas jaringan adipose.14

Gambar 4. Struktur dari Dinding Kolon. (Sobotta)11

Di dekat bagian awal usus besar terdapat apendiks yang merupakan


evaginasi sekum. Apendiks ditandai dengan lumenyang relative kecil dan ireguler,
kelenjar tubular yang lebih pendek dan kurang padat, dan tidak memiliki taeniae
coli. Meskipun apendiks tidak memiliki fungsi pencernaan, struktur tersebut
merupakan komponen penting MALT, dengan sejumlah besar folikel limfoid pada
dindingnya.14
Di daerah anus membrane mukosan membentuk sederetan lipatan
memanjang yaitu kolumna analis. Sekitar 2 cm diatas muara anus, di taut recto-
anal, lapisan mukosan usus diganti oleh epitel berlapis gepeng. Di daerah ini,
lamina propia mengandung suatu pleksus vena besar yang dapat menimbulkan
hemorrhoid bila pleksus ini melebar dan menjadi varises.14

Patofisiologi Karsinoma Kolorektal


Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah
melewati rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang
menimbulkan berbagai perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker.
Kedua jenis kanker kolorektal (herediter dan sporadik) tidak muncul secara
mendadak melainkan melalui proses yang diidentifikasikan pada mukosa kolon
(seperti pada displasia adenoma).

Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang
mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan
adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah mutasi yang
mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan
instabilitas genom dan berujung pada kanker kolorektal yaitu : instabilitas
kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas mikrosatelit
(Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon melalui
mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak berimbang
kepada sel anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas mikrosatelit (MIN)
disebabkan oleh hilangnya perbaikan ketidakcocokan atau missmatch repair
(MMR) dan merupakan terbentuknya kanker pada sindrom Lynch. 6,15,22

Gambar di bawah ini menunjukkan mutasi genetik yang terjadi pada


perubahan dari adenoma kolon menjadi karsinoma kolon.
Gambar 2.8. mutasi genetik karsinoma kolorektal

Awal dari proses terjadinya karsinoma kolon yang melibatkan mutasi somatik
terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur kematian
sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yeng selanjutnya
berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasnya terjadi
pada adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan sel yang tidak normal.

Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen
supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat
proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel
dengan kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel
dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan
sejumlah segmen pada kromosom yang berisi beberapa alele (misal loss of
heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supresor tumor yang lain
seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan transformasi akhir menuju
keganasan.6
2.8 Stadium Kanker
Stadium tumor ditentukan berdasarkan sejauh mana perkembangan tumor
berdasarkan klasifikasi Duke :

Stadium Definisi
A Tumor terbatas pada dinding usus
besar.
B Tumor tumbuh melewati dinding usus
besar, tetapi tidak dijumpai pada KGB
regional.
C Tumor metastasis ke KGB
Tabel 2.1 Stadium karsinoma kolon dan rectum berdasarkan klasifikasi Duke.23

Stadium Interpretasi 5-tahun Survival (%)


Setelah Pengobatan
A Kanker in-situ/ displasia 90
grad tinggi, kanker
terbatas pada lapisan
mukosa atau submukosa
B1 Kanker sudah penetrasi 80
ke dalam tetapi belum
menembus propria
muskularis
B2 Kanker sudah menembus 70
propria muskularis atau
serosa
C1 Sama dengan B1, 50
ditambah metastase
nodus limfa
C2 Sama dengan B2 50
ditambah metastasis ke
nodus limfa
D Metastase jauh <30

Tabel 2.2 Modifikasi stadium karsinoma kolon dan rectum berdasarkan klasifikasi
Duke.23

Tabel 2.3 Staging tumor menurut TNM.16

a. Stadium 0: stadium kanker insitu; pada stadium ini, sel yang abnormal
masih ditemukan pada garis batas dalam dari kolon (muskularis mukosa)
b. Stadium 1: stadium dukes A; kanker telah menyebar pada garis batas dalam
dari kolon hingga dinding dalam dari kolon dan belum menyebar keluar
kolon.
c. Stadium 2: stadium dukes B; kanker telah menyebar ke lapisan otot dari
kolon hingga lapisan ketiga dan lapisan lemak atau kulit tipis yang
mengelilingi kolon dan rektum. Namun belum mengenai kelenjar limfe.
d. Stadium 3: stadium dukes C; kanker telah menyebar ke kelenjar limfe tapi
belum menyebar ke bagian lain daripada tubuh.
e. Stadium 4: stadium dukes D; kanker telah menyebar ke organ lain dari
tubuh seperti hati dan paru-paru

Manifestasi Klinis

Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun


dan umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk.
Keluhan yang paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air
besar, perdarahan per anus (hematosezia dan konstipasi). Kanker ini umumnya
berjalan lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagaia bagian dari
komplikasi seperti obstruksi. Perdarahan invasi lokal kakheksia. Obstruksi kolon
biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon desendens dan kolon sigmoid karena
ukuran lumennya lebih sempit daripada kolon yang proksimal. Obstruksi parsial
awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila obstruksi total terjadi akan
menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker kolon dapat berdarah
sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi. Meskipun
perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian kasus.
Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai hematoseczhia atau darah tumor
dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia defisiensi
besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran
kemih berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi bilamana tumor
tersebut menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara kolon dengan
lambung atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke lapisan
serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri
perut, ikhterus dan hipertensi portal.
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker di
dalam usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam kali
lebih besar daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair. Tumor
yang terletak di usus bagian kanan walaupun besar cenderung menggantung
(fungating) dan lunak, yang tidak tumbuh mengelilingi usus. Sebagai salah satu
akibatnya gejala dari tumor yang timbul di kolon kanan tidak disebabkan oleh
obstruksi walaupun pasien dapat mengalami rasa yang tidak enak atau kolik di
abdomen yang samar-samar. Lebih sering, penyakit disertai dengan kehilangan
darah kronis yang dideteksi dengan tes darah samar. Sebaliknya tumor di daerah
kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan fungsi normal dalam
daerah ini adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala obstruksi akut
atau kronis adalah gambaran klinis yang penting. Di samping itu pasien dapat
mengalami perubahan dalam pola defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif,
atau penurunan kaliber feses. Perdarahan adalah lebih jelas, dengan darah gelap
atau darah merah yang melapisi permukaan feses

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan
dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi
belahan bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon
transversum), dan arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan
besar dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi
fecal ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh
besar sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah
makroskopis sering tidak tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah
samar. Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah
makan dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan kandung
empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih.
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi
feses ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen
yang menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan
frekuensi BAB. Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat
diliputi atau tercampur dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar mukus
bersamaan dengan gumpalan darah atau feses.

Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada
pasien dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada
hemoroid, kanker tetap harus dipikirkan.6,18,24,25

Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan
kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan
penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total
obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan
perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan
terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini
dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada
vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan
fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang
sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul
dari kanker kolon.15,18,24

KOLON KOLON KIRI REKTUM


KANAN
ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis
NYERI Karena Obstruksi Obstruksi
penyusupan
DEFEKASI Diare/diare Konstipasi progresif Tenesmi terus
berkala menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH Samar Samar/makroskopik Makroskopik
PADA FESES
FESES Normal/diare Normal Perubahan
berkala bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA Hampir selalu Lambat Lambat
KEADAAN
UMUM
Tabel 2.4 Gambaran klinis karsinoma kolorektal

2.9 Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan
anamnesis,pemeriksaan fisik pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik
paling pentng untuk kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema barium,
proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap
tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus dari kanker kolorektal
dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi atau apusan sitologi.

 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal, mengidentifikasi
metastase dan mendeteksi sistem organ lain yang turut berperan dalam
pengobatan. Area supraclavicula harus dipalpasi untuk memeriksa adanya
kelenjar yang mengalami metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari
inspeksi yaitu melihat adanya bekas operasi, penonjolan massa, kontur usus
yang mungkin dapat terlihat ( darm kontur, darm steifung). Palpasi dilakukan
untuk meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau nyeri tekan pada
abdomen. Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau
melekat pada jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada
abdomen ialah timpani. Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi
redup. Pada auskultasi didengarkan bising usus. Pada kanker rektal distal, dapat
dirasakan massa yang rata, keras, oval atau melingkar dengan depresi pada
sentral. Bila meluas, harus ditentukan ukuran dan derajat perlekatan jaringan.
Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan darah pada sarung tangan.17,18

Digital Rectal Examination

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior;
serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis
intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan
posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun
10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama
diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal
examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon yang
tidak dapat begitu saja diabaikan.
Rectal toucher untuk menilai :

Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.

Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses

Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku

Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari,
mudah berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan
sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.6

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Pada kanker kolorektal dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
endoskopi, enema barium dengna kontras ganda, dan CT colonography
(Pneumocolon CT).
Padan endoskopi merupakan prosedur diagnostic utama dan dapat
dilakukan dengan sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rectosigmoid) atau
dengan kolonoskopi total.

2.10.1 Penetapan Stadium Pra-operatif pada Karsinoma Kolon


Penetapan stadium pra-operatif harus dilakukan, karena strategi terapi untuk
setiap stadium berbeda. Prosedur yang dilakukan untuk penetapan stadium pra-
operatif adalah:26,27

1. Deteksi perluasan tumor primer dan infiltratnya;

2. Deteksi kelenjar getah bening regional dan para-aorta;

3. Deteksi metastasis ke hepar dan paru;

4. Deteksi metastasis ke cairan intraperitoneal

5. Seluruh pasien karsinoma kolon yang akan menjalani pembedahan elektif, harus
menjalani pemeriksaan pencitraan hepar dan paru pre-operatif dengan CT scan atau MRI,
dan foto thorax.

6. Pada pasien yang harus menjalani bedah emergensi, pemeriksaan ultrasonografi


intraoperative dan pemeriksaan pencitraan CT scan atau MRI posy-operatif.

Rekomendasi tingkat C

1. Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi trans-abdominal
dapat digunakan untuk melihat metastasis ke hepar.

2. Diperlukan pemeriksaan Abdominano-pelvic CT-scanning, MRI, ultrasonografi


trans-abdominal, dan foto thorax.

2.11 Deteksi Dini


Tujuan skrining kanker kolorektal adalah deteksi dini, membuang lesi pre-
kanker dan mendeteksi penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi
kuratif.

Indikasi pemeriksaan dini atau skrining kanker koloektal adalah individu


dengan risiko sedang dan risiko tinggi. Yang termasuk risiko sedang adalah:17
1. Individu berusia 50 tahun atau lebih,
2. Individu yang tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal atau
inflammatory bowel disease,
3. Individu tanpa riwayat keluarga kanker kolorektal,
4. Individu yang terdiagnosis adenoma atau kanker kolorektal setelah berusia
60 tahun.
Yang termasuk risiko meningkat atau risiko tinggi adalah:

1. Individu dengan riwayat polip adenomatosa,


2. Individu dengan riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal,
3. Individu dengan riwayat keluarga tingkat pertama kanker kolorektal atau
adenoma kolorektal (rekomendasi berbeda berdasarkan umur keluarga saat
diagnosis),
4. Individu dengan riwayat inflammatory bowel disease yang lama,
5. Individu dengan diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary non-
polyposis colorectal cancer (HNPCC) atau sindrom Lynch atau familial
adenomatous polyposis (FAP).

Pilihan pemeriksaan skrining ditentukan berdasarkan risiko individual, pilihan


individual dan akses. Pada orang dewasa dengan risiko sedang, skrining harus
dimulai pada individu berusia 50 tahun dengan pilihan berikut:28

Rekomendasi skrining pada individual dengan risiko meningkat dibagi menjadi:

(1) Pasien dengan riwayat polip pada kolonoskopi sebelumnya

(2) Pasien dengan kanker kolorektal

(3) Pasien dengan riwayat keluarga


2.12 Diagnosis Banding

Tabel 2.5 Diagnosis banding dari karsinoma kolorektal.29

2.13 Penatalaksanaan
2.13.1 Tatalaksana Bedah
Rangkuman penatalaksanaan kanker kolon30,31

Stadium Terapi
Stadium 0 ( T1N0M0) Eksisi lokal atau poliptektomi
sederhana.
Reseksi en-bloc segmental untuk lesi
yang tidak memenuhi syarat eksisi
local
Stadium I (T1-2N0M0) Wide surgical resection dengan
anastomosis tanpa kemoterapi adjuvant
Stadium II (T3N0M0, T4a-bN0M0) Wide surgical resection dengan
anastomosis.
Terapi adjuvant setelah pembedahan
pada pasien dengan risiko tinggi
Stadium III (T apapun N1-2M0) Wide surgical resection dengan
anastomosis.
Terapi adjuvant setelah pembedahan
Stadium IV (T apapun, N apapun M1) Reseksi tumor primer pada kasus
kanker kolorektal dengan metastasis
yang dapat direseksi
Kemoterapi sistemik pada kasus
kanker kolorektal dengan metastasi
yang tidak dapat direseksi dan tanpa
gejala

1. Eksisi Lokal (Polipektomi Sederhana) 30,31


Eksisi lokal dilakukan baik untuk polip kolon maupun polip rektum.
Polipektomi endoskopik harus dilakukan apabila struktur morfologik polip
memungkinkan. Kontraindikasi relatif polipektomi kolonoskopik antara
lain adalah pasien yang mendapat terapi antikoagulan, memiliki
kecenderungan perdarahan (bleeding diathesis), kolitis akut, dan secara
klinis terdapat bukti yang mengarah pada keganasan invasif, seperti ulserasi
sentral, lesi keras dan terfiksasi, nekrosis, atau esi tidak dapat dinaikkan
dengan injeksi submukosal.
2. Kolektomi dan reseksi KGB regional en-Bloc 30,31
Teknik ini diindikasikan untuk kanker kolon yang masih dapat direseksi
(resectable) dan tidak ada metastasis jauh. Luas kolektomi sesuai lokasi
tumor, jalan arteri yang berisi kelenjar getah bening, serta kelenjar lainnya
yang berasal dari pembuluh darah yang ke arah tumor dengan batas sayatan
yang bebas tumor (R0).
Bila ada kelenjar getah bening yang mencurigakan diluar jalan vena yang
terlibat sebaiknya direseksi. Reseksi harus lengkap untuk mencegah adanya
KGB positif yang tertinggal (incomplete resection R1 dan R2). Reseksi
KGB harus mengikuti kaidah-kaidah sebagai berikut:
 KGB di area asal pembuluh harus diidentifikasi untuk pemeriksaan
patologis. KGH yang positif secara klinis di luar lapangan reseksi
yang dianggap mencurigakan, harus dibiopsi atau diangkat KGB
positif yang tertinggal menunjukkan reseksi inkomplit (R2)
 Minimal ada 12 KGB yang harus diperiksa untuk menegakkan
stadium N.
3. Setelah dilakukan kolektomi dan reseksi KGB regional 30,31
 Pemakaian drain secara rutin setelah anastomosis kolorektal atau
koloanal masih kontroversial.
 Beberapa penelitian RCT menyebutkan tidak ada keuntungan dari
pemakaian rutin drain intraperitoneal pada anatomosis kolon.
Penelitian Cochrane juga menyebutkan tidak ada perbedaan pada
hasil akhir anastomosis tindakan bedah kolorektal elektif yang
dilakukan pemasangan drain maupun tidak. Pada anastomosis
rendah dibawah refleksi peritoneum, masih dipertimbangkan
pemakaian drain, karena kemungkinan terjadinya akumulasi
hematoma atau cairan cukup tinggi.

4. Peran ligase tinggi, drain, dan rectal washout 30,31


Rectal Washout
Sel-sel ganas yang terlepas dapat ditemukan di dalam lumen usus pasien
kanker kolorektal. Oleh karena itu, dapat terjadi implantasi sel ganas di
daerah anastomosis. Walaupun belum ada penelitian klinis, untuk
mengurangi risiko rekurensi lokoregional, irigasi rectal stump sebelum
anastomosis dapat dipertimbangkan.
5. Bedah laparoskopik pada kanker kolorektal
Kolektomi laparasokopik merupakan salah satu pilihan penatalaksanaan
bedah untuk kanker kolorektal.
Pembedahan laparoskopik dapat dipertimbangkan untuk penatalaksanaan
kanker kolorektal.
Kriteria pertimbangan untuk melakukan laparoskopi kolektomi:
a. Dokter bedah sudah berpengalaman melakukan pembedahan
kolorektal menggunakan laparoskopi.
b. Diperlukan eksplorasi intraabdomen sebelum tindakan definitive
c. Dilakukan pada tumor stadium dini sampai stadium lanjut lokal
yang masih resectable
d. Tidak ada peningkatan tekanan intrabdomen seperti obstuksi atau
distensi usus akut karena tumor.

Penggunaan rutin laparoskopi tidak direkomendasikan pada:

a. tumor rektum stadium lanjut,


b. tumor dengan obstruksi akut atau perforasi,
c. invasi tumor secara lokal ke struktur sekitar,
d. terdapat perlengketan saat dilakukan laparoskopi eksplorasi.

6. Tindakan bedah untuk kanker metastatic 30,31


a. Tumor primer resektabel dan metastasis resektabel
Pada KKR stadium 4 dengan metastasis hati dan atau paru, reseksi
merupakan pilihan yang terbaik dengan catatan tumor primer masih
dapat direseksi.
Tiga paradigma pada terapi kanker kolorektal dengan metastasis hati
adalah: klasik yaitu kanker kolorektal dahulu, bersamaan yaitu
kanker kolorektal dan metastasis hati secara bersamaan, atau
pendekatan terbalik yaitu pengangkatan tumor metastasis hepar
terlebih dahulu.
Keputusan dibuat berdasarkan di tempat manakah yang lebih
dominan secara onkologikal dan simtomatis.
b. Tumor primer resektabel dan metastasis tidak resektabel.
Pada keadaan seperti ini, dapat dilakukan reseksi tumor primer
dilanjutkan dengan kemoterapi untuk metastasisnya.
c. Tumor primer tidak resektabel, metasatasis tidak resektabel
Kombinasi kemoterapi dan pembedahan atau radiasi paliatif
merupakan penanganan standar untuk pasien dengan KKR
metastasis. Pada kasus dengan penyakit metastasis yang tidak
resektabel maka terapi pilihannya adalah kemoterapi sistemik.

2.13.1 Tatalaksana Non-Bedah

Penatalaksanaan kanker kolon bersifat multidisiplin. Pilihan dan


rekomendasi terapi tergantung pada beberapa faktor Terapi bedah merupakan
modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan tujuan kuratif. Kemoterapi
adalah pilihan pertama pada kanker stadium lanjut dengan tujuan paliatif.

Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama terapi kanker rektum.


Saat ini, terapi biologis (targeted therapy) dengan antibodi monoklonal telah
berkembang pesat dan dapat diberikan dalam berbagai situasi klinis, baik sebagai
obat tunggal maupun kombinasi dengan modalitas terapi lainnya.20,31

Prinsip Tatalaksana Sistemik

1. Kemoterapi

Kemoterapi pada kanker kolorektal dapat dilakukan sebagai terapi ajuvan,


neoaduvan atau paliatif. Terapi ajuvan direkomendasikan untuk KKR stadium III
dan stadium II yang memiliki risiko tinggi. Yang termasuk risiko tinggi adalah:
jumlah KGB yang terambil <12 buah, tumor berdiferensiasi buruk, invasi vaskular
atau limfatikatau perineural; tumor dengan obstruksi atau perforasi, dan pT4.20,31

Kemoterapi ajuvan diberikan kepada pasien dengan WHO performance


status (PS) 0 atau 1. Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi perlu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum
dan kreatinin), serta elektrolit darah.20,31

a). 5-Flourourasil (5-FU)

Secara kimia, fluorourasil suatu fluorinated pyrimidine, adalah 5-fluoro-


2,4(1H,3H) pyrimidinedione. 5-Fluorourasil (5-FU) merupakan obat kemoterapi
golongan antimetabolit pirimidin. 5- FU dapat membuat defisiensi timin yang
menimbulkan ketidakseimbangan pertumbuhan dan menyebabkan kematian sel.
Kontraindikasi pada pasien dengan status nutrisi buruk, depresi sumsum tulang,
infeksi berat dan hipersensitif terhadap fluorourasil. Efek samping dapat terjadi
pada penggunaan 5-FU adalah sebagai berikut: Stomatitis dan esofagofaringitis,
tampak lebih awal; Diare, anoreksia, mual dan muntah; Tukak dan perdarahan
gastrointestinal; Lekopenia (leukosit < 3500/mm3 ), atau penurunan leukosit secara
cepat; dan trombositopenia.20

b). Leucovorin/Ca-folinat

Menghambat sintesis asam deoksiribonukleat (DNA), dan dalam tingkat


yang lebih kecil dapat menghambat pembentukan asam ribonukleat (RNA).20

c) Capecitabine

Capecitabine adalah sebuah fluoropirimidin karbamat, yang dirancang


sebagai obat kemoterapi oral, merupakan prodrug fluorourasil yang mengalami
hidrolisis di hati dan jaringan tumor untuk membentuk fluorourasil yang aktif
sebagai antineoplastik. Efek samping yang lebih sering timbul adalah sindrom
palmarplantar erythrodysesthesia atau hand-foot syndrome.20

d). Oxaliplatin

Mekanisme kerja oxaliplatin sama seperti senyawa dasar platinum lainnya.


Setelah mengalami hidrolisis intraselular, platinum berikatan dengan DNA
membentuk ikatan silang yang menghambat replikasi DNA dan transkripsinya
sehingga menyebabkan kematian sel. Efek samping oxaliplatin dapat terjadi pada
sistem hematopoetik, sistem saraf tepi dan sistem gastrointestinal.20,31

e). Irinotecan

Irinotecan adalah bahan semisintetik yang mudah larut dalam air. dan
merupakan derivat alkaloid sitotoksik yang diekstraksikan dari tumbuhan seperti
Camptotheca acuminata. Irinotecan dan metabolit aktifnya yakni SN-38
menghambat aksi enzim Topoisomerase I, yakni suatu enzim yang menghasilkan
pemecahan DNA selama proses replikasi DNA. Efek samping yang dapat timbul
pada pemberian irinotecan yakni diare, gangguan enzim hepar, insomnia, alergi,
anemia, leukopenia, neutropenia, trombositopenia, bradikardia, oedem, hipotensi,
demam, dan fatigue.20,31

2. Terapi biologis (Targeted therapy)

Bevacizumab ( Avastin) merupakan obat antiangiogenesis pertama yang


diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi
monoklonal untuk vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan
survival bila ditambahkan pada kemoterapi. Agen biologis lain yang telah
direkomendasikan ialah epidermal growth factor receptor ( EGFR). Nama obat
untuk golongan ini ialah Cetuximab yang digunakan sebagai monoterapi atau
kombinasi dengan irinotecan pada pasien kanker kolorektal yang refrakter dengan
5-FU dan oxalipatin. Lini pertama untuk kanker metastasis ialah bevacizumab dan
kemoterapi ( oxiliplatin dan irinotecan).20,31

A) Bevacizumab

Bevacizumab merupakan rekombinan monoklonal antibodi manusia yang


berikatan dengan semua isotipe Vascular Endothelial Growth FactorA (VEGF-A /
VEGF)., yang merupakan mediator utama terjadinya vaskulogenesis dan
angiogenesis tumor, sehingga menghambat pengikatan VEGF ke reseptornya, Flt-
1 (VEGFR-1) dan KDR (VEGFR-2).20

Bevacizumab diberikan secara infus intravena dalam waktu 30-90 menit


dengan dosis 5 mg/kg bila dikombinasi dengan regimen kemoterapi siklus 2
mingguan (FOLFOX atau FOLFIRI) dan dosis 7,5 mg/kg bila dikombinasi dengan
regimen kemoterapi siklus 3 mingguan (CapeOx). Bevacizumab diberikan sebelum
oxaliplatin.20
b). Cetuximab

Cetuximab merupakan antibodi monoklonal chimeric 15


mouse/rekombinan manusia yang mengikat secara spesifik reseptor faktor
pertumbuhan epidermal (EGFR, HER1, c-ErB-1) dan secara kompetitif
menghambat ikatan EGF dan ligan lain. Ikatan dengan EGFR akan menghambat
fosforilasi dan aktivasi reseptor kinase terkait, menghasilkan hambatan
pertumbuhan sel, induksi apoptosis, dan penurunan matrix metalloproteinase serta
produksi VEGF. pemberian cetuximab sebaiknya dikombinasi dengan irinotecan
(FOLFIRI).20

c). Ziv-Aflibercep

Aflibercept merupakan protein rekombinan yang memiliki bagian reseptor


1 dan 2 VEGF manusia yang berfusi pada porsi Fc dari IgG1 manusia. Didesain
sebagai perangkap VEGF untuk mencegah aktivasi reseptor VEGF dan selanjutnya
menghambat angiogenesis.20

3. Regimen terapi

Regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5- Flourouracil sebagai terapi


ajuvan maupun metastase. Dahulu, dinyatakan pendapat bahwa regimen kombonasi
menyediakan peningkatan efikasi dan angka harapan hidup pasien. Selain 5-
Florourasil, terdapat capecitabine dan tegafur yang digunakan sebagai monoterapi
atau kombonasi dengan oxalipatin dan irinotecan.

Regimen untuk ajuvan kemoterapi :

 5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu,
diberikan sebelum 5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
 LV5FU2 (de Gramont regimen)
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV
continuous infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion
sebelum 5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
 Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX4)
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV
continuous infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion
sebelum 5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu

Regimen untuk metastasis :

 Irinotecan + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFIRI regimen)


o Irinotecan: 180 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan 2400
mg/m2 IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum
5-fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
 Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX6)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus on day 1, diikuti dengan 2400
mg/m2 IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum
5-fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
 Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (mFOLFOX7)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 3000 mg/m2 IV continuous infusion pada hari 1
untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum
5-fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
 Capecitabine + oxaliplatin (XELOX)
o Capecitabine: 850-1000 mg/m2 PO terbagi 2 dosis pada hari 1-14
o Oxaliplatin: 100-130 mg/m2 IV pada hari 1
o Mengulang siklus setiap 21 hari
 FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV
continuous infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum
5-fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu

4. Penyinaran (Radioterapi)

Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker


rektum, tetapi terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan
maupun metastatik, hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau

5. Efek samping terapi sistemik dan penatalaksanaannya

Efek samping atau toksisitas yang bisa terjadi pada pemberian obat
kemoterapi yang mengandung fluorourasil, leucovorin, oxaliplatin dan irinotecan
dapat berupa: anemia, leukopenia, neutropenia, trombositopenia, mual, muntah,
diare, mukositis, alopesia, sindroma kolinergik, neuropati, panas, asthenia,
gangguan jantung, gangguan kulit ataupun reaksi hipersensitivitas. Juga untuk obat-
obatan terapi target, bevacizumab akan memberikan efek samping berupa
peningkatan tekanan darah, proteinuria, gangguan penyembuhan luka, perforasi
traktus digestivus, emboli pembuluh darah, dan perdarahan. Sedang untuk
cetuximab yang paling sering memberikan efek samping gangguan pada kulit, dan
jarang menimbulkan gangguan mual, justru adanya skin rash ini menunjukkan
respons terapi. Dalam praktek sehari-hari, obat kemoterapi sering dipakai dalam
bentuk kombinasi, oleh karena sulit itu menentukan efek samping tersebut dari satu
macam obat.

Penanganan efek samping mual muntah pada pemakaian regimen yang


mempunyai efek emetik kuat. (FOLFOX, FOLFIRI, CAPOX, CAPIRI) pada fase
akut 1 hari pertama adalah 5 HT3 reseptor antagonist (palonosetron) dan
dexamethason 8 mg, kalau munculnya efek samping pada hari 2-3, dapat diberikan
terapi tunggal dexamethason 8 mg atau 5 HT3 reseptor antagonis sebagai
alternative.

Cetuximab mempunyai efek emetogenik lemah, sehingga cukup diberikan


dexamethason 8 mg. Bevacizumab minimal sekali memberikan efek samping mual
oleh karena itu tidak diperlukan anti emetik.“Handfoot syndrome” akibat efek
samping dari pemberian capecitabine atau ruam-ruam kulit (skin rash) akibat
EGFR-inhibitor (cetuximab, panitumumab), penanganan yang penting adalah
perawatan dasar kulit pada umumnya yaitu diberikan pelembab kulit, tabir surya
dikombinasi dengan antibiotik sistemik (tetrasiklin). Antibiotik topikal
(metronidazol, eritromisin, nadifloxacin) bisa membantu pada fase awal toksisitas
pada kulit.

Penanganan untuk mencegah terjadinya neurotoksisitas akibat induksi


oxaliplatin tidak ada preparat yang memberikan hasil baik, preparat yang dicoba
diberikan meliputi asetil sistein, amifastin, infus Ca Mg, glutation, oksikarbasepin,
dietildithioicarbamat, vitamin E. Penanganan diare karena induksi kemoterapi 5FU
bolus, atau kombinasi dengan irinotecan, XELIRI adalah loperamid, octreotide dan
tinctura opii . Penanganan neutropenia, dengan pemberian granulocyte – colony
stimulating factor (G-CSF), sedang untuk febris neutropenia, pemberian secara
rutin G-CSF dan antibiotik sebagai propilaksis tidak dianjurkan, kecuali pada
pasien yang mempunyai resiko tinggi terkena infeksi misal pendeita yang
mengalami neutropenia yang berkepanjangan. Penanganan hipertensi saat
pemberian bevacizumab: Bevacizumab tidak diberikan pada penderita hipertensi
tidak terkontrol Tekanan darah harus diukur paling tidak setiap 2-3 minggu,
monitor tekanan darah ini frekwensinya ditingkatkan pada penderita yang
cenderung mengalami hipertensi; penderita hipertensi karena bevacizumab harus
dimonitor tekanan darahnya secara berkesinambungan, walaupun bevacizumab
sudah dihentikan. Penderita yang mengalami hipertensi saat pemberian
bevacizumab maka tekanan darah hasrus dikontrol dengan obat anti hipertensi oral.
Penderita yang memerlukan lebih dari 1 macam obat hipertensi sebaiknya
pemberian bevacizumab dihentikan. Bevacizumab dihentikan secara permanen
pada penderita hipertensi krisis.

2.12 Prognosis
Prognosis pada karsinoma kolon dibagi berdasarkan patologi, morfologi,
gejala klinis, dan usia. Pada hasil patologi didapatkan penetrasi yang berlebih
maupun KGB regional yang terkena lebih banyak maka prognosis lebih buruk. Pada
diferensiasi morfologi sel buruk maka prognosis lebih buruk pula. Sedangkan pada
gejala klinis yang ditemukan sedini mungkin dapat mencapai prognosis yang lebih
baik. Karsinoma kolon yang ditemukan pada usia kurang dari 30 tahun dapat
menyebabkan prognosis yang buruk.

Stadium Deskripsi histopatologi Bertahan 5


Dukes TNM Derajat tahun (%)
A T1N0M0 I Kanker terbatas pada >90
mukosa/submukosa
B1 T2N0M0 II Kanker mencapai muskularis 85
B2 T3N0M0 III Kanker cenderung 70-80
masuk/melewati mukosa
C TxN1M0 IV Tumor melibatkan KGB 35-65
regional
D TxN2M1 V Metastasis 5
Tabel 2.6 Stadium dan faktor prognostis kanker kolorektal
BAB III

KESIMPULAN

Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian kedua didunia.


Insidensinya di Indonesia cukup tinggi, serta mortalitas tinggi pada pria
dibandingkan dengan wanita. Sekitar 75% ditemukan di rektosigmoid. Factor risiko
karsinoma kolorektal adalah degenerasi polip kolon, faktor genetik, kurangnya
makan makanan berserat seperti sayuran dan buah-buahan bsayur, dan konsumsi
tinggi lemak hewani.

Derajat keganasan karsinoma kolon dan rektum berdasarkan keganasan


histologis dibagi menurut klasifikasi Dukes dilihat dari infiltrasi karsinoma.
Penyebaran karsinoma kolorektal secara hematogen, limfogen dan
perkontinuitatum.

Gejala klinis karsinoma usus besar di sebelah kiri berbeda dengan kanan.
Karsinoma kolon kiri menyebabkan stenosis dan obstruksi. Stenosis tinja pada
karsinoma kolon kanan jarang terjadi dan tinja masih berbentuk cair sehingga tidak
ada obstruksi. Gejala pertama biasanya timbul karena komplikasi, yaitu gangguan
usus fisiologi, obstruksi, perdarahan, atau akibat dari penyebaran. Karsinoma kolon
kiri dan rektum menyebabkan perubahan buang air besar. Perdarahan akut jarang
dialami. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada usus besar kanan. Rasa sakit
dari usus besar kiri dimulai di bawah umbilikus, sedangkan dari usus besar tepat di
epigastrium.

Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anammesis,


pemerikssan fisik, colok dubur, dan rektosigmoidiskopi atau kolon dengan kontras
gambar ganda. Komplikasi yang dapat terjadi pada karsinoma kolorektal adalah
obstruksi dan perforasi. Terapi terdiri dari kuratif dan terapi paliatif. Terapi kuratif
adalah operasi dan terapi premises.Palliative dengan kemoterapi dan radiasi

Anda mungkin juga menyukai