Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

Kejang Neonatus

DISUSUN OLEH :
Rahmalia Dewi Fitriani
1910221049

PEMBIMBING :
dr. Tundjungsari R.U, M.Sc, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUD AMBARAWA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan nikmat-Nya laporan kasus yang berjudul Kejang Neonatus dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Tundjungsari R.U, M.Sc, Sp.A
selaku pembimbing selama penulis menjalani kepaniteraan klinik anak di RSUD
Ambarawa serta teman-teman seperbimbingan yang saling membantu dan
mendukung.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,
oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga laporan kasus
yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan di masa
yang akan datang.

Ambarawa, November 2019

Penulis
PENGESAHAN

Laporan Kasus diajukan oleh


Nama : Rahmalia Dewi Fitriani
NRP : 1910221049
Program studi : Profesi Dokter
Judul : Kejang Neonatus
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat
yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi
Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta.

Pembimbing

dr. Tundjungsari R.U, M.Sc, Sp.A

Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : November 2019
STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


 Nama : By. Ny.SW
 Umur : 1 hari
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Bandungan Kab. Semarang
 Nama Ayah : Tn. MM
 Pendidikan Ayah : SMA
 Pekerjaan Ayah : Security hotel
 Nama Ibu : Ny. SW
 Pendidikan Ibu : SMA
 Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
 Tanggal Pemeriksaan di RS : 6 November 2019 (18:55)

1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ny. SW selaku ibu
pasien di Bangsal Perinatalogi Seruni RSUD Ambarawa dengan didukung catatan
medis tanggal 6 November 2019.
Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang bayi laki-laki berusia 1 hari dirujuk dari bidan ke IGD RSUD
Ambarawa pada tanggal 6 November 2019 pukul 18.00 dengan kondisi kurang
baik, tampak kejang di separuh badan (bagian kanan tubuh) kemudian seluruh
tubuh. Ibu pasien mengatakan bayi tampak berkedip terus dari pukul 15.00 WIB (3
jam yll), tidak menangis, tidak mau minum (menetek), BAB (+), BAK (+). Riwayat
persalinan ibu P1 A0 pasien lahir secara spontan, riwayat persalinan lama (+)
dengan ibu dipimpin mengejan selama 1,5 jam, Air Ketuban keruh, Apgar Score 7
– 8 – 9 (Asfiksia Ringan) riwayat asfiksia berat disangkal dan sudah dilakukan
resusitasi, caput (+), dengan BBL 3600 gr.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Belum diketahui (pasien usia 1 hari)
Riwayat Penyakit Keluarga
 riwayat kejang keluarga disangkal
 Nenek (ayah) DM (+), HT (+)
 Nenek (ibu) HT(+)
 Kakek (ibu) riwayat jantung (+)
Riwayat Pengobatan
 Belum mendapatkan terapi dari rujukan asal

Genogram
Nenek Nenek Kakek
Kakek

a
Bibi ayah Ibu Bibi Paman Bibi

Pasien P

Keterangan :

: Laki-laki : HT (+)

: Perempuan : HT (+) dan DM (+)

: pasien : Riwayat Jantung (+)

Kesan : Pasien tinggal serumah dengan ibu, ayah.


Sosial dan Ekonomi keluarga:
Ayah bekerja sebagai Security hotel dan sebagai pencari nafkah tunggal, ekonomi
menengah ke bawah dan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Morbiditas : ibu tidak merokok , obat-obat an (-), alkohol (-), kondisi ibu sehat.
Riwayat penyakit saat hamil disangkal, riwayat darah tinggi saat hamil disangkal.
Perawatan Antenatal : ibu rutin kontrol 1 bulan/x
Persalinan :
1. Tempat : praktik Bidan
2. Penolong : Bidan
3. Cara persalinan : Normal (spontan)
4. BBL : 3600 gr
5. Masa Gestasi : 39 minggu
6. Keadaan pasca lahir : langsung menangis
7. Kelainan bawaan :-
*Kesan : Lahir spontan, BBLC, cukup bulan, sesuai masa kehamilan*
Kesan : Ballard Score : 37
Downe Score : 1
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
 Riwayat Pertumbuhan
o BB sekarang : 3600 gr (BBLC)
o PB sekarang : 50 cm (persentil 50; perawakan normal)
o LK : 36 cm
o LD : 35 cm
o LP : 33 cm
o Lila : 12 cm
o Head Circ : persentil 85 (Normocephali)

Kesan : BBLC, perawakan normal, normocephali


Interpretasi Status gizi: belum bisa dinilai

 Riwayat Perkembangan (usia 1 hari)


- Palmar grasp reflex
- Sucking reflex
- Search reflex
- moro reflex
- Plantar grasp reflex
- palmar mandibular reflex
*Kesan: usia 1 hari, perkembangan reflex fisiologis*

Riwayat Minum
- 0 bulan 1 hari : ASI (kurang lebih 2-3 jam sekali), ASI ibu
keluar sedikit - sedikit
Riwayat Imunisasi
• Kesan : Riwayat Imunisasi dasar Pasien sudah lengkap sesuai usia.
(usia 1 hari)
• Hb0 : saat baru lahir

Anamnesis Sistem
a. Sistem Cerebrospinal
kejang (+), demam (-)
b. Sistem Kardiovaskular
Bengkak pada tungkai (-)
c. Sistem Respirasi
mengi (-), mengorok (-), menangis lemah (+)
d. Sistem Gastrointestinal
muntah (-), BAB (+), kembung (-)
e. Sistem Muskuloskeletal
Gerak aktif (-), sendi bengkak (-), bengkak jari (-).
f. Sistem Integumentum
Petekie (-), purpura (-), rash kemerahan (-)
g. Sistem Urogenital
BAK (+), urin kuning jernih
h. Sistem Vestibular
cairan (-), edem (-)

1.3. Pemeriksaan Fisik


Status Pasien tanggal 6 November 2019
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang, lemah
- Kesadaran : Compos Mentis
- TD :-
- Nadi : 111 x/menit
- Respirasi : 47 x/menit,
- SpO2 : 98%
- Suhu : 37 ºC
- Berat Badan : 3.6 kg
- Tinggi Badan : 50 cm

Status Generalis
 Kesan Umum : CM, gerak kurang aktif (-), menangis jarang, lemas
 Kelainan mukosa kulit/su bkutan yang menyeluruh:
Sedikit Pucat (-), Sianosis lidah dan mulut (-), Perdarahan (-), Oedem
(-), Turgor cukup
 Kepala :
Normocephal, rambut hitam dan terdistribusi merata (+)
 Mata :
Palpebra tidak edema, tidak cekung, konjungtiva tidak anemis dan
sclera tidak ikterik, kornea jernih (+/+), lensa jernih (+/+), refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
 Telinga
o Daun telinga : Bentuk, besar dan posisinya normal
o Lubang telinga : Tidak ada sekret, serumen (-)
o Gendang telinga : tidak dinilai
 Hidung :
bentuk normal, sekret (-), nafas cuping hidung (-)
 Mulut :
Bibir tidak sianosis, mukosa bibir lembab (+)
 Leher :
Trachea di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
 Tenggorokan :
Faring hiperemis (-), T1/T1
 Thorax :
Bentuk simetris, tidak ada deformitas, tidak ada retraksi pernafasan,

 Paru :
KIRI KANAN

Inspeksi Pergerakan dada simetris Pergerakan dada simetris

Palpasi Ekspansi dada simetris Ekspansi dada simetris

Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru


Auskultasi Reguler Reguler
Ronkhi (-) Ronkhi (-)
Wheezing (-) Wheezing (-)

 Jantung :
o Inspeksi : dbn
o Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
o Perkusi :-
o Auskultasi : SI-II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : kembung (-)
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas :
Akral hangat (+), CRT <2 detik, tidak edema, turgor baik, sianosis (-)
 Genital : Laki-laki, kedua testis sudah turun, dalam batas nrmal
 Anorektal : Atresia Ani (-)

1.4. Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin 7/11/2019

Pemeriksaan (5-11-19) Nilai Rujukan Satuan

Hb 16.8 10.7 – 14.7 g/dl

Leukosit 18.4 5 – 14.5 Ribu

Eritrosit 5.81 4 – 6.8 Juta

Trombosit 241.000 150.000 - 400.00 Ribu

Hematokrit 49.1 40-52 %

MCV 84.5 82 – 98 fL

MCH 29 27 – 32 Pg

MCHC 34.3 32 – 37 g/dl


RDW 15.4 10 – 16 %

MPV 10.4 7 – 11 Mikro m3

Limfosit 3.28 2.0 – 8.0 10^3/mikro

Monosit 1.90 0 – 0.8 10^3/mikro

Eosinofil 0.06 0.02 – 0.65 10^3/mikro

Basofil 0.07 0 – 0.064 10^3/mikro

Neutrofil 13.10 6-26 10^3/mikro

Limfosit% 17.8 25 – 40 %

Monosit% 10.3 2–8 %

Eosinofil% 0.3 2–4 %

Basofil% 0.4 0–1 %

Neutrofil% 71.2 50 – 70 %

PCT 0.250 0.2 – 0.5 %

PDW 11.8 10 – 18 %

Natrium 138 135-146 mmol/L

Kalium 5.0 3.5-5.1 mmol/L

Chloride 103 98-106 mmol/L

GDS stik 1 95 30-80 Mg/dl

GDS stik 2 97 30-80 Mg/dl

GD/RH A/+

Kesan : D/R dbn

USG KEPALA 15/11/2019


*Gambaran Arachnoid Cyst. Ventral Lateral Kiri*

FOLLOW UP (Total HP 12 hari)

TANGGAL S O A P
6 /11/ 2019 Kejang (+), gerak tidak aktif KU: lemah, CM - Obs konvulsi Advice dr.Tundjung
HR: 128x/min
neonatus Sp.A
RR: 50x/min
T: 36.8 C - Inf. D10% :10 tpm
SpO2: 98%
- Inj. Ampicillin 2x
BB:3.6 kg
Stat. Internus 200 mg
HEENT:
- Inj.cibital ekstra
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+) IGD 40 mg/,
Ekstremitas: akral hangat (+),
monitor 20 mg/12
CRT <2 detik, turgor baik.
jam
- Cek DR, elektrolit

7/11/2019 Kejang (+), gerak kurang KU: lemah, CM Obs konvulsi - 02 1 L


aktif HR: 138x/min
neonatus - Inf. D10% :10 tpm
RR: 42x/min
T: 36.9 C - Inj. Ampicillin 2x
SpO2: 98%
200 mg
BB:3.5 kg
Stat. Internus - Inj.cibital 20
HEENT:
mg/12 jam
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+)
Ekstremitas: akral hangat (+),
CRT <2 detik, turgor baik.

8/11/ 2019 cukup, kurang aktif , KU:cukup, CM - Asfiksia - 02 1 L


menangis, kejang (-) HR: 140x/min
- HIE - Inf. D10% :14 cc/
RR: 45x/min
T: 36.7 C jam
SpO2: 98%
- Inj. Ampicillin 2x
BB:3.45 kg
Stat. Internus 200 mg
HEENT:
- Inj.cibital 20
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+) mg/12 jam
Ekstremitas: akral hangat (+),
- Inj. Fenitoin 2x20
CRT <2 detik, turgor baik..
mg

9/11/2019 Ku cukup, menangis (+), KU: lemah, CM - 02 1 L


gerak aktif (+), kejang (-) HR: 142x/min - Asfiksia
- Inf. D10% :14 cc/
RR: 43x/min
- HIE
T: 36.8 C jam
SpO2: 98%
- Inj. Ampicillin 2x
BB:3.45 kg
Stat. Internus 200 mg
HEENT:
- Inj.cibital 20
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+) mg/12 jam
Ekstremitas: akral hangat (+),
- Inj. Fenitoin 2x20
CRT <2 detik, turgor baik.
mg
10/11/2019 Ku cukup, menangis (+), KU: cukup, CM - Asfiksia - 02 1 L
gerak aktif (+), kejang (-) HR: 141x/min
- HIE - Inf. D10% :14 cc/
RR: 42x/min
T: 36.8 C jam
SpO2: 98%
- Inj. Ampicillin 2x
BB:3.5 kg
Stat. Internus 200 mg
HEENT:
- Inj.cibital 20
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+) mg/12 jam
Ekstremitas: akral hangat
- Inj. Fenitoin 2x20 mg
(+), CRT <2 detik, turgor
baik.

11/11/2019 Ku cukup, menangis (+), KU: cukup, CM - Asfiksia - 02 1 L


HR: 145x/min
kursng aktif (+), kejang (-) - HIE - Inf. D10% :14 cc/
RR: 44x/min
T: 36.8 C jam
SpO2: 98%
- Inj. Ampicillin 2x
BB:3.5 kg
Stat. Internus 200 mg
HEENT:
- Inj.cibital 20
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+) mg/12 jam
Ekstremitas: akral hangat (+),
- Inj. Fenitoin 2x20 mg
CRT <2 detik, turgor baik.

12/11/2019 Ku cukup, menangis KU: cukup, CM - Asfiksia - 02 1 L


HR: 143x/min
kurang kuat, gerak kurang - HIE - Inf. D10% :14 cc/
RR: 44x/min
aktif T: 36.9 C jam
SpO2: 99%
- Inj. Ampicillin 2x
BB:3.5 kg
Stat. Internus 200 mg
HEENT:
- Inj.cibital 20
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+) mg/12 jam
Ekstremitas: akral hangat (+),
CRT <2 detik, turgor baik.

13/11/2019 Ku cukup, menangis kurang KU: cukup, CM - Asfiksia - O2 off


HR: 139x/min - Inf. D10% :14 cc/
kuat, gerak kurang aktif (+), HIE
RR: 40x/min
jam
kejang (-) T: 36.8 C
SpO2: 98% - Inj. Ampicillin 2x
BB:3.5 kg
200 mg
Stat. Internus
HEENT: - Inj.cibital 20
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
mg/12 jam
Abdomen: BU (+)
Ekstremitas: akral hangat
(+), CRT <2 detik, turgor
baik.
14/11/2019 Kejang (-), kurang aktif (+) KU: cukup, CM - Asfiksia - Infus dan inj stop
HR: 138x/min
- HIE - Latih menetek
RR: 42x/min
T: 37 C
SpO2: 98%
BB:3.5 kg
Stat. Internus
HEENT:
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+)
Ekstremitas: akral hangat (+),
CRT <2 detik, turgor baik.

15/11/2019 Ku cukup, menangis, aktif KU: cukup, CM - Asfiksia Latih menetek


HR: 140x/min
(+), menetek (+) kurang - HIE
RR: 43x/min
T: 36.9 C
SpO2: 98%
BB:3.5 kg
Stat. Internus
HEENT:
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+)
Ekstremitas: akral hangat (+),
CRT <2 detik, turgor baik.

16/11/2019 Ku cukup, menangis, aktif KU: cukup, CM - Asfiksia Latih menetek


HR: 140x/min
(+), menetek (+) kurang - HIE
RR: 43x/min
T: 36.9 C
SpO2: 98%
BB:3.5 kg
Stat. Internus
HEENT:
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+)
Ekstremitas: akral hangat (+),
CRT <2 detik, turgor baik.

17/11/2019 Kejang (-), aktif (+), BBS : 3500 gr - Asfiksia BLPL


menangis (+), menetek (+) - HIE

1.5. Diagnosis Akhir


Asfiksia
HIE
BBLC, CB, SMK
1.6. Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang pada neonatus sering ditemukan dan merupakan satu-satunya gejala


disfungsi susunan saraf pusat pada neonatus,1 sulit dideteksi, sukar diberantas serta
berkaitan erat dengan mortalitas dan morbiditas seperti epilepsi, palsi serebral dan
keterlambatan perkembangan di kemudian hari.2 Deteksi dini, mencari etiologi dan
memberikan tata laksana yang adekuat sangat penting pada kejang neonatus. (1)
Kejang umumnya berkaitan dengan penyakit berat yang memerlukan terapi
spesifik, (2) Kejang mempengaruhi tindakan suportif seperti alat bantu nafas dan
alimentasi yang sering diberikan pada neonatus dengan penyakit tertentu, (3)
Kejang dapat menyebabkan kerusakan otak.1,3
Kejang sering terjadi pada minggu awal kehidupan, dan menjadi tanda
pertama disfungsi neurologis, dan merupakan prediktor kuat dari gangguan kognitif
dan perkembangan jangka panjang. Bayi baru lahir dengan kejang beresiko untuk
kematian neonatus, gangguan neurologis, keterlambatan perkembangan dan
kemudian epilepsi. Angka kematian pada tahun pertama kehidupan bayi dengan
kejang pada periode neonatus adalah 23%. Neonatus asfiksia dengan kejang dan
memerlukan resusitasi merupakan resiko primer pada kematian.6,7 Insidens kejang
pada neonatus dibedakan menurut berat badan lahir, yaitu 57,5 per 1000 bayi
dengan berat lahir (BL)< 1500 g, 4,4 pada bayi dengan BL 1500-2499, 2,8 pada
bayi dengan BL 2500-3999 g, serta 2,0 pada bayi BL > 4000 g.4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Definisi kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku,
fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran.6 Kejang
merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering terjadi pada neonatus
karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi
kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari.
Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu diferensiasi neuron, mielinisasi, dan
proliferasi glia pada neonatus dianggap sebagai penyebab kerusakan otak. kejang
berulang akan menyebabkan berkurangnya oksigenasi, ventilasi, dan nutrisi di
otak. 9 Kejang pada neonatus dibatasi waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari
pertama kehidupan (bayi cukup bulan) atau 44 minggu masa konsepsi (usia
kronologis + usia gestasi pada saat lahir) pada bayi prematur.8

II. EPIDEMIOLOGI
Gambaran klinis kejang sangat bervariasi bahkan sangat sulit membedakan
gerakan normal bayi itu sendiri. Meskipun demikian, angka kejadian di Amerika
Serikat berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 bayi lahir hidup setiap tahunnya. Sumber
pustaka lain menyebutkan angka kejadian pada umumnya berkisar antara 1,5 per
1000 kelahiran sampai 14 per 1000 kelahiran. Di ruang perawatan intensif, pada
bayi 9 berat lahir rendah yang sakit, frekuensi kejang meningkat sampai 25%.
Kejang pada bayi baru lahir 85% terjadi pada 15 hari pertama kehidupan dan 65%
terjadi pada hari kedua dan kelima kehidupan.9
Tabel 1. Prevalensi Kejang Neonatus11

III. ETIOLOGI

Etiologi kejang pada neonatus perlu segera diketahui karena menentukan


terapi dan prognosis.

Tabel 2. Etiologi kejang neonatus dihubungkan dengan awitan kejang dan frekuensi.1
Tabel 3. Etiologi kejang.1

a. Asfiksia
Asfiksia perinatal menyebabkan terjadinya ensefalopati hipoksik-iskemik
dan merupakan masalah neurologis yang penting pada masa neonatal, dan
menimbulkan gejala sisa neurologis di kemudian hari. Asfiksia intrauter
in adalah penyebab terbanyak ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini
karena terjadi hipoksemia, kurangnya kadar oksigen ke jaringan otak.
Kedua keadaan tersebut dapat terjadi secara bersama-sama. Disebutkan
bahwa periode neonatus merupakan insiden terbesar terjadinya kejang
dan di dalam beberapa penelitian dari Levene dan Trounce, Lien dkk,
Mizrahi dan Kellaway bahwa penyebab tersering terjadinya kejang adalah
HIE (30-53%) yang disebabkan akibat asfiksia.10
 Hypoxic-Ischemic Encephalopathy (HIE)
HIE adalah sindrom klinis dengan gangguan fungsi neurologis pada awal
kehidupan neonatus yang lahir pada atau lebih dari 35 minggu gestasi,
dengan manifestasi penurunan kesadaran atau kejang, sering disertai
gangguan untuk memulai dan menjaga pernapasan, dan depresi tonus otot
dan refleks. Asfiksia perinatal yang berakibat HIE secara global, 10-60%
bayi akan meninggal pada periode postnatal; dari yang selamat paling
tidak 25% akan mendapat sekuele neuropsikologis berat dan permanen,
berupa retardasi mental, gangguan visuomotor atau visuo-perseptif,
hiperaktivitas, cerebral palsy, dan epilepsi.13
 Etiologic HIE
Penyebab cedera hipoksik, yaitu asfiksia intrauterin atau postnatal.
Asfiksia intrauterin terjadi jika pertukaran udara dan aliran darah plasenta
terganggu. Gangguan tersebut disebabkan faktor janin, perfusi plasenta
yang tidak adekuat, gangguan oksigenasi maternal, terputusnya sirkulasi
umbilikal. Sedangkan asfiksia postnatal bisa disebabkan penyakit
membran hialin, pneumonia, aspirasi mekonium, penyakit jantung
kongenital.7 Hal ini menyebabkan depresi perinatal yang berlanjut pada
berkurangnya pertukaran oksigen dan karbondioksida dan timbulnya
asidosis laktat berat. Jika episode hipoksik iskemik ini cukup parah untuk
merusak otak, maka akan terjadi kondisi hypoxic-ischemic
encephalopathy dalam 12-36 jam.13

Tabel 4. Klasifikasi derajat hypoxic-ischemic encephalopathy (Sarnat dan Sarnat)13


b. Trauma dan Perdarahan Intrakranial
Trauma dan perdarahan intrakranial biasanya terjadi pada bayi yang besar
yang dilahirkan oleh ibu dengan kehamilan primipara. Hal ini terjadi pada
partus lama, persalinan yang sulit disebabkan oleh kelainan kedudukan
janin dalam rahim atau kelahiran presipitatus sebelum serviks uteri
membuka cukup lebar.1
c. Infeksi
Pada bayi baru lahir infeksi dapat terjadi di dalam rahim, selama
persalinan, atau segera sesudah lahir. Infeksi dalam rahim terjadi karena
infeksi primer dari ibu seperti toxoplasmosis, rubella, sitomegalovirus,
dan herpes. Selama persalinan atau segera sesudah lahir, bayi dapat
terinfeksi oleh virus herpes simpleks, virus Coxsackie, E. Colli, dan
Streptococcus B yang dapat menyebabkan ensefalitis dan meningitis.1
d. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang menyebabkan kejang pada bayi baru lahir
adalah gangguan metabolisme glukosa, kalsium, magnenisum, elektrolit,
dan asam amino. Gangguan metabolik ini terdapat pada 73% bayi baru
lahir dengan kerusakan otak. Berkurangnya level glukosa dari nilai
normal merupakan keadaan tersering penyebab gangguan metabolik pada
bayi baru lahir. Berbagai keadaan gangguan metabolik yang berhubungan
dengan kejang pada neonatus adalah:
 Hipoglikemia
Hipoglikemia pada bayi baru lahir adalah bila dalam tiga hari pertama
sesudah lahir, kadar gula darah kurang dari 20mg% pada bayi kurang
bulan atau kurang dari 30mg% pada bayi cukup bulan pada pemeriksaan
kadar gula darah 2 kali berturut-turut, dan kurang dari 40mg% pada bayi
berumur lebih dari 3 hari. Hipoglikemia sering terjadi pada bayi kecil
masa kehamilan, bayi dari ibu penderita diabetes, atau bayi dengan
penyakit berat seperti asfiksia dan sepsis.1
 Hipokalsemia
Hipokalsemia jarang menjadi penyebab tunggal kejang pada neonatus.
biasanya hipokalsemia disertai dengan gangguan lain, misalnya
hipoglikemia, hipomagnersemia, atau hipofosfatemia. Diagnosis
hipokalsemia adalah bila kadar kalsium dalam darah kurang dari 7 mg%.
Hipokalsemia terjadi pada masa dini dijumpai pada bayi berat lahir
rendah, ensefalopati hipoksik-iskemik, bayi dari ibu dengan diabetes
melitus, bayi yang lahir akibat komplikasi berat terutama karena
asfiksia.10
e. Gangguan Elektrolit
Gangguan keseimbangan elektrolit terutama natrium menyebabkan
hiponatremia ataupun hipernatremia yang kedua-duanya merupakan
penyebab kejang. Hiponatremia dapat terjadi bila ada gangguan sekresi
dari anti diuretik hormon (ADH) yang tidak sempurna. Hal ini sering
terjadi bersamaan dengan meningitis, meningoensefalitis, sepsis, dan
perdarahan intrakranial. Hiponatremia dapat terjadi pada diare akibat
pengeluaran natrium berlebuham, kesalahan pemberian cairan pada bayi,
dan akibat pengeluaran keringat berlebihan. Hipernatremia terjadi bila
pemberian natrium bikarbonat berlebihan pada koreksi asidosis dengan
dehidrasi.10

IV. KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS

Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitas normal pada bayi
prematur, bayi cukup bulan dan gerakan abnormal lain yang bukan kejang.8
Jitteriness merupakan salah satu gejala gangguan pergerakan yang sulit dibedakan
dengan kejang. Penyebab tersering jitteriness adalah ensefalopati hipoksik-
iskemik, hipokalsemia, hipoglikemia dan gejala putus obat. Akifitas lain pada
neonatus yang menyerupai kejang8
1. Pada saat sadar dan mengantuk/drowsy, tampak gerakan bola mata kearah
horizontal berupa nystagmoid jerk yang tidak menetap. Dapat dibedakan dari
gerakan bola mata pada subtle seizure yang berupa deviasi tonik horisontal bola
mata yang menetap, dengan atau tanpa jerking.
2. Pada saat tidur, sering dijumpai myoclonic jerk yang bersifat fragmenter
dan multipel. Sering disebut benign neonatal sleep myoclonus.
3. Hiperekpleksia suatu respons yang berlebihan terhadap stimulus (suara
atau taktil) berupa mioklonik umum seperti terkejut/kaget (startle response)
4. Klonus Gerakan-gerakan tersebut dapat dibedakan dari kejang dengan cara
menahan gerakan tersebut berhenti. Dengan kemajuan teknologi seperti pemakaian
video-EEG monitoring kejang neonatus dapat dibedakan menjadi epileptik dan
nonepileptik. Disebut epileptik jika manifestasi kejang berkorelasi kuat dan
konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG. Patofisiologi kejang
epileptik disebabkan oleh lepas muatan listrik yang berlebihan dan paroksismal di
neuron korteks serta peningkatan eksitasi seluler, sinaps dan aktifitas penyebaran
gelombang epilepsi. Disebut non-epileptik jika manifestasi kejang tidak berkorelasi
dan atau tidak konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG. Fokus
kejang berasal dari tingkat subkortikal (sistem limbik, diensefalon dan batang otak)
dan tidak menyebar ke korteks karena imaturitas pembentukan sinaps serta proyeksi
kortikal sehingga tidak dapat atau tidak selalu terdeteksi dengan pemeriksaan EEG.
Selain itu kejang yang terjadi bukan akibat dari lepas muatan listrik yang berlebihan
tetapi karena cetusan primitif dari batang otak dan refleks spinal yang tidak
mendapat inhibisi dari korteks serebri.1,2,8

Tabel 5. Jitteriness versus kejang1


Tabel 6. Klasifikasi kejang neonatus1,6,8,12

a. Kejang Subtle
Kejang jenis ini terjadi sehubungan dengan adanya jenis kejang lain dan
mungkin bermanifestasi dengan:
• Gerakan stereotip ekstremitas seperti gerakan mengayuh sepeda atau
berenang
• Deviasi / gerakan kejut pada mata dan mengedip berulang
• Ngiler, gerakan menghisap atau mengunyah
• Apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola pernapasan
• Fluktuasi yang berirama pada tanda vital

b. Kejang Klonik
• Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3
/menit), penyebabnya mungkin focal/multi-focal
• Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase
yang lambat
• Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan
menghambat gerakan tersebut
• Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan
• Tidak terjadi hilang kesadaran
• Berkaitan dengan trauma fokal,infarks atau gangguan metabolik

c. Kejang Tonik
Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal
Kejang tonik umum:
- Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500 gram).
- Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang
tubuh dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah
- Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis
apapun seperti meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit
memerah
Kejang Tonik Focal
• Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau batang tubuh
atau deviasi tonik kepala atau mata
• Sebagian besar kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit sistem
syaraf pusat yang difus dan perdarahan intraventrikular

d. Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum


• Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas
• Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak
sinkron pd beberapa bagian tubuh
• Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada
kepala dan batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas
• Kejang ini berkaitan dengan patologi SSP yang difus

V. PATOFISIOLOGI

Depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak terjadi akibat masuknya ion


natrium ke dalam sel, sedangkan repolarisasi diakibatkan oleh keluarnya ion kalium
ke ekstra sel. Fungsi neuron adalah menjaga keseimbangan antara depolarisasi dan
repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi maka terjadi potensial aksi yang
mengakibatkan penglepasan neurotransmiter dari presinaps di terminal akson.
Neurotransmiter akan berikatan dengan reseptor postsinaps dan menghasilkan
potensial aksi yang dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Fungsi otak normal sangat
bergantung dari keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.8 Keseimbangan
membran potensial membutuhkan enerji yang berasal dari adenosine triphospate
(ATP) yang menggerakkan pompa Na-K yang berfungsi mengeluarkan ion kalium
dan memasukkan ion natrium.9 Meskipun mekanisme terjadinya kejang pada
neonatus belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa teori yang
menerangkan depolarisasi berlebihan, yaitu9 (1) Pompa Na-K tidak berfungsi akibat
kekurangan enerji, disebabkan oleh hipoksikiskemik dan hipoglikemia. (2)
Neurotransmiter eksitasi (glutamate) yang berlebihan (produksi yang berlebih atau
berkurangnya re-uptake) sehingga mengakibatkan depolarisasi yang berlebihan,
ditemukan pada keadaan hipoksik-iskemik dan hipoglikemia. (3) Defisiensi relatif
neurotransmiter inhibisi (gama-amynobutiric acid /GABA) mengakibatkan
depolarisasi berlebihan, hal ini terjadi akibat menurunnya aktivitas enzim glutamic
acid decarboxylase pada keadaan defisiensi piridoksin. (4) Terganggunya
permeabilitas membran sel, sehingga ion natrium lebih banyak masuk ke intrasel
yang mengakibatkan depolarisasi berlebihan, ditemukan pada hipokalsemia dan
hipomagnesemia karena ion kalsium dan magnesium berinteraksi dengan membran
sel untuk menghambat masuknya ion natrium. Kejang pada neonatus berbeda dari
kejang pada bayi, anak maupun orang dewasa demikian pula manifestasi kejang
pada bayi prematur berbeda dibandingkan bayi cukup bulan.8 Kejang neonatus lebih
bersifat fragmenter, kurang terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat kejang
umum tonik klonik. Kejang pada bayi prematur lebih tidak terorganisasi
dibandingkan dengan bayi cukup bulan, berkaitan dengan perkembangan
neuroanatomi dan neurofisiologi pada masa perinatal.8 Organisasi korteks serebri
pada neonatus belum sempurna, selain itu pembentukan dendrit, akson,
sinaptogenesis dan proses mielinisasi dalam sistem eferen korteks belum selesai.
Imaturitas anatomi tersebut mengakibatkan kejang yang terjadi tidak dapat
menyebar ke bagian otak yang lain sehingga tidak menyebabkan kejang umum.
Daerah subkorteks seperti sistem limbik berkembang lebih dahulu dibandingkan
daerah korteks dan bagian ini sudah terhubung dengan diensefalon dan batang otak
sehingga kejang pada neonatus lebih banyak bermanifestasi gerakan-gerakan oral-
buccal-lingual movements seperti menghisap. mengunyah, drooling, gerakan bola
mata dan apnea.1 Hubungan antara sinaps eksitasi dan inhibisi merupakan faktor
penentu apakah kejang yang terjadi akan menyebar ke daerah lain. Ternyata
kecepatan perkembangan aktifitas sinaps eksitasi dan inhibisi di otak manusia
berbeda-beda. Sinaps eksitasi berkembang lebih dahulu dibandingkan sinaps
inhibisi terutama di daerah limbik dan korteks. Selain itu daerah hipokampus dan
neuron korteks yang masih imatur lebih mudah terjadi kejang dibandingkan yang
telah matur. Belum berkembangnya sistem inhibisi di substansia nigra juga
mempermudah timbulnya kejang.1

VI. DIAGNOSA
Riwayat kehamilan, persalinan dan riwayat kejang dalam keluarga sangat
diperlukan untuk mencari faktor risiko dan etiologi, setelah itu dilakukan
pemeriksaan penunjang.

Tabel 7. Asesmen kejang pada neonatus


Pendekatan diagnosis sebaiknya dilakukan secara bertahap. Langkah pertama
adalah pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, analisis cairan
serebrospinal (CSS), EEG dan pencitraan.

Tabel 8. Evaluasi diagnostik kejang pada neonatus 13


Tujuannya adalah untuk mencari etiologi, memberikan tata laksana yang
tepat serta untuk menentukan prognosis. Pemeriksaan ultrasonografi kepala sering
merupakan pilihan pertama karena dapat dilakukan bed-side sambil menunggu
kondisi neonatus stabil untuk pemeriksaan CT atau MRI. Pemeriksaan CT sangat
bermanfaat untuk mendeteksi perdarahan intrakranial akut atau kalsifikasi,
sedangkan MRI untuk mengetahui gambaran kerusakan otak yang disebabkan oleh
HIE dan melihat disgenesis serebral.10 Langkah berikutnya menyingkirkan infeksi
dengan pemeriksaan kultur darah dan CSS, serta pemeriksaan PCR dan kultur HSV
jika secara klinis dicurigai ensefalitis HSV. Jika penyebab struktural atau infeksi
dapat disingkirkan, pikirkan kemungkinan inborn error of metabolism. Asidosis
metabolik yang menetap menunjukkan adanya asidemia organik, pemeriksaan
amonia diperlukan untuk mendeteksi abnormalitas siklus urea, laktat untuk
ensefalopati mitokondria. Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah asam amino
11
serum dan asam organik urin. Riwayat keluarga penting untuk mengetahui ada
tidaknya sindrom epilepsi tertentu seperti benign familial neonatal convulsions. 10,11
Hasil rekaman EEG dapat memberikan konfirmasi apakah gejala yang
tampak adalah kejang. Di sisi lain, tidak semua manifestasi kejang bisa terdeteksi
dengan EEG terutama pada kejang subtle, sebagian besar kejang umum tonik,
kejang mioklonik fokal dan multifokal. Interpretasi EEG interiktal neonatus cukup
sulit dan memerlukan keahlian khusus, oleh karena itu untuk meningkatkan akurasi
diagnostik dilakukan modifikasi pemeriksaan EEG seperti pemeriksaan EEG secara
serial, continuous EEG monitoring, amplitude integrated EEG (aEEG) cerebral
2,6
function monitoring (CFM) dan synchronized video/ EEG recording. Beberapa
tahun terakhir pemakaian CFM mulai dikembangkan karena pemakaiannya lebih
mudah, dapat dikerjakan bed-side untuk menentukan irama dasar dan aktifitas iktal
pada neonatus. Meskipun demikian sekitar 50% kejang neonatus tidak terdeteksi
dengan pemeriksaan CFM. Dianjurkan kejang neonatus pertama kali dikonfirmasi
dengan pemeriksaan EEG konvensional, selanjutnya CFM dipakai untuk monitor
jangka panjang.8,10 Pemeriksaan EEG dan CFM juga dipakai untuk melihat respon
terapi antikonvulsan dengan berkurangnya aktifitas epileptiform, serta menentukan
lama terapi dan prognosis.8

VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip utama dalam tata laksana kejang neonatus adalah (1)
Mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat. (2) Mencari dan memberikan
tata laksana terhadap etiologi kejang sesegera mungkin. (3) Tata laksana kejang,
dengan mempertimbangkan manfaat pemberantasan kejang dengan efek samping
yang mungkin timbul dari pemberian obat antikonvulsan. Beberapa hal dalam tata
laksana kejang masih kontroversi, beberapa peneliti mengatakan bahwa kejang
neonatus diobati jika kejang terdeteksi secara klinis dan berkepanjangan, sedangkan
kejang elektrik yang terdeteksi melalui pemeriksaan EEG tidak memerlukan terapi.
Hal ini menimbulkan kontroversi mengingat kejang elektrik berefek negatif
terhadap otak yang immatur. Ketidaksesuaian antara kejang klinis dan elektrik serta
singkatnya kejang membuat keraguan kapan antikonvulsan dimulai atau dihentikan.
Hal yang perlu diingat adalah neonatus yang mengalami kejang berulang akan
mengalami kerusakan otak yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah ke
otak, metabolisme, dan pernapasan.1,2
Mizrahi dkk. menyatakan bahwa pemberian antikonvulsan harus
mempertimbangkan beberapa hal yaitu tipe kejang, patofisiologi, lama dan beratnya
kejang, perjalanan penyakit etiologi kejang, efek kejang dan obat antikonvulsan
terhadap neonatus. Klinisi sering memulai antikonvulsan tanpa melihat gambaran
EEG, pada keadaan ini klinisi harus menentukan terlebih dahulu kejang bersifat
epileptik atau non epileptik, setelah itu ditentukan lama dan beratnya kejang.
Kejang bersifat epileptik jika tidak dapat diprovokasi oleh stimulus dan tidak
berhenti dengan reposisi atau tahanan, non epileptik bersifat sebaliknya.8 Jika
pemeriksaan EEG bed-side atau EEG-video monitoring dapat dilakukan maka
pemberian obat antikonvulsan harus mempertimbangan hasil pemeriksaan
penunjang tersebut. Evans dkk. merekomendasikan pemberian obat antikonvulsan
pada kejang yang bersifat lama (lebih dari 3 menit) atau berulang (lebih dari 3 kali
perjam), terutama jika mengganggu ventilasi dan tekanan darah. Obat-obatan yang
dipakai dalam tata laksana kejang tertera pada Tabel 8.

Tabel 8. Kriteria klinis pemberian obat antikovulsan pada neonatus8

Jika pada fase akut pemberian fenobarbital sampai 40 mg/kg BB belum dapat
memberantas kejang, dapat dilanjutkan dengan pemberian fenitoin inisial. Jika
tidak terdapat respon dengan kombinasi fenobarbital dan fenitoin, dapat
ditambahkan lorazepam. Lorazepam seperti diazepam mempunyai onset yang cepat
(kurang dari 5 menit). Kelebihan lorazepam dibandingkan diazepam adalah masa
kerja yang lebih panjang (sampai 24 jam), efek depresi pernapasan dan hipotensi
yang ditimbulkan lebih ringan. Sedapat mungkin diazepam tidak dipergunakan
karena beberapa alasan (1) Masa kerja yang singkat, (2) Kombinasi diazepam
dengan fenobarbital meningkatkan risiko kolapsnya kardiovaskular dan gagal
napas, (3) Kisaran dosis sangat sempit, dan (4) Pelarut diazepam mengandung
natrium benzoat yang mengganggu kompleks bilirubin-albumin. Obat fenobarbital,
fenitoin, lorazepam, dan diazepam adalah obat lini pertama, jika dengan obat-obat
tersebut kejang belum teratasi, penyebab kejang harus dicari dan diobati termasuk
gangguan metabolik seperti IEM, pyridoxin dan folinic acid dependency terutama
jika tidak terdapat faktor risiko perinatal ataupun intrapartum.13 Selanjutnya dipakai
obat-obat lini kedua (Tabel 9).

Tabel 9. Kriteria EEG pemberian obat antikovulsan pada neonatus 8

Beberapa tahun terakhir ini midazolam banyak dipakai untuk mengatasi


kejang, dibandingkan golongan benzodiazepin lain, midazolam paling minimal
menimbulkan efek samping seperti sedasi, hipotensi dan depresi pernapasan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa midazolam cukup efektif sebagai obat lini
kedua jika dengan fenobarbital dan fenitoin tidak teratasi.13
Topiramat yang termasuk golongan antagonis AMPA (alpha-amino-3-
hydroxy-5-methyl-4-isoxazole proprionic acid) merupakan obat yang cukup
menjanjikan karena aman dan terbukti berefek neuroprotektif terhadap hewan
percobaan dibandingkan dengan obat antikonvulsan konvensional seperti
fenobarbital dan fenitoin yang dapat menyebabkan apoptosis neuron pada hewan
percobaan.13 Lama pemberian obat antikonvulsan ditentukan oleh berapa besar
risiko kejang berulang jika obat dihentikan, dan risiko terjadinya epilepsi (10%-
30%). Faktor penentu lama pemberian terapi antara lain, (1) Pemeriksaan neurologi,
jika pada saat bayi pulang terdapat kelainan dalam pemeriksaan neurologi maka
risiko berulangnya kejang sebesar 50%, (2) Penyebab kejang itu sendiri, etiologi
asfiksia beresiko sebesar 30% sedangkan disgenesis korteks beresiko 100%
terhadap berulangnya kejang, (3) Gambaran EEG, jika irama dasar memperlihatkan
kelainan minimal atau ringan maka tidak dapat risiko terjadi epilepsi, jika terdapat
kelainan yang berat maka risiko meningkat menjadi 41%.1 Volpe
merekomendasikan jika pada saat neonatus akan dipulangkan pemeriksaan
neurologi normal maka semua obat antikonvulsan dihentikan, jika abnormal
pertimbangkan faktor etiologi dan dilakukan pemeriksaan EEG. Jika pemeriksaan
EEG abnormal fenobarbital dilanjutkan tetapi jika EEG normal atau etiologi adalah
gangguan metabolik yang bersifat sementara fenobarbital dapat dihentikan. Jika
fenitoin diberikan, obat tersebut dihentikan pada saat jalur intravena dihentikan,
meskipun pemeriksaan neurologi abnormal. Bayi yang dipulangkan dengan
fenobarbital, diulang pemeriksaan neurologi dan perkembangan saat usia 1 bulan,
jika pemeriksaan neurologi normal fenobarbital dihentikan dalam waktu 2 minggu,
jika abnormal lakukan pemeriksaan EEG dan fenobarbital dihentikan jika tidak
terdapat kelainan yang bermakna pada EEG, evaluasi ulang saat usia 3 bulan jika
EEG abnormal. Volpe menyatakan bahwa sedapat mungkin obat antikonvulsan
dihentikan sesegera mungkin dan pada keadaan tertentu dapat diberikan sampai
usia 3-6 bulan, hal ini karena efek fenobarbital terhadap otak yang masih
berkembang masih banyak diperdebatkan.1

Tabel 10. Terapi kejang pada neonatus13


Tabel 11. Obat antikonvulsan alternatif untuk kejang neonatus13

VIII. PROGNOSIS
Kejang neonatus sebanyak 25%-30% berhubungan dengan gangguan
perkembangan. Faktor penentu utama prognosis adalah etiologi, neonatus dengan
disgenesis serebral serta hipoksik-iskemik sedang dan berat mempunyai prognosis
yang buruk. Gangguan metabolik akut dan perdarahan subarachnoid mempunyai
prognosis yang baik, sedangkan infeksi intrakranial dan IEM mempunyai prognosis
yang bervariasi.6 Karakteristik kejang juga mempengaruhi prognosis, kejang onset
dini, kejang berulang dan berkepanjangan yang resisten terhadap pengobatan
mempunyai prognosis yang buruk.6 Kejang tonik berhubungan dengan palsi
serebral, retardasi mental dan epilepsi sedangkan kejang mioklonik berkaitan
dengan retardasi mental.2 Penelitian Brunquell menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan tipe kejang yang lain kejang subtle dan tonik umum mempunyai komplikasi
epilepsi, retardasi mental dan epilepsi yang lebih tinggi. Gambaran EEG juga
merupakan faktor prognosis. Hasil EEG interiktal normal 85% mempunyai
prognosis baik, sedangkan gambaran EEG yang isoelektrik, voltase rendah atau
paroksismal burst-suppression mempunyai prognosis buruk.6
Tabel 12. Prognosis kejang neonatus13

IX. KOMPLIKASI


Tabel 13. Komplikasi kejang neonatus13


DAFTAR PUSTAKA

1. Volpe JJ. Neonatal seizures. Neurology of the newborn. Edisi keempat.


Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2000. h. 178-206.
2. Verrotti A, Latini G, Cicioni P, De Felice C. New trends in neonatal seizures.
Review article. J Pediatr Neurol 2004; 2:191-7.
3. Nunez JL, Alt JJ, Mc Carthy MM. A novel model for prenatal brain damage.
Long-term deficits in hippocampal cell number and hippocampal dependent
behaviour following neonatal GABAA receptor activation. Exp Neurol 2003;
181:270-80.
4. Lanska MJ, Lanska DJ. Neonatal seizures in the United States: results of the
national hospital discharge survey 1980-1991. Neuroepidemiology 1996;
15:117-25.
5. Ronen GM, Penney S, Andrew W. The epidemiology of clinical neonatal
seizures in Newfoundland. A population- based study. J Pediatr 1999; 134:71-
5.
6. Heljic S., Uzicanin S., Catibusic dan F Catibusic S. Predictors of Mortality in
Neonates with Seizures; a Prospective Cohort Study. Med Arch. 2016. 70(3),
pp. 182-185.
7. Wiadnyana, I., Bikin Suryawan, I., Sucipta, A. 2018. Hubungan antara bayi
berat lahir rendah dengan asfiksia neonatarum di RSUD Wangaya Kota
Denpasar. Intisari Sains Medis 9(2). DOI: 10.15562/ism.v9i2.167
8. Sheth RD. Neonatal seizures. E-medicine.16 November 2001 (Sitasi 28
September 2005). Didapat dari:http://
www.emedicine.com/neuro/topic240.htm.
9. L Hellstrom-Westas IA-W, J Agren, K Kallen. Incidence and risk factors for
neonatal seizure in Sweden. Archives of Disease in Childhood. 2008; 93.
10. Silverstein FS., dan Jensen FE. Neonatal Seizures. Neurological Progress.
2007. 62, pp. 112–120.
11. World Health Organization. 2011. Guidelines Of Neonatal Seizures.
12. Handryastuti S. 2007. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis
dan Tata laksana. Divisi Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr.
Ciptomangunkusumo, Jakarta, pp 112-119.
13. Anggriawan, A. 2016. Tinjauan Klinis Hypoxic-Ischemic Encephalopathy.
CDK-243/vol. 43 no. 8 th. 2016, pp.582-585

Anda mungkin juga menyukai