Kejang Neonatus
DISUSUN OLEH :
Rahmalia Dewi Fitriani
1910221049
PEMBIMBING :
dr. Tundjungsari R.U, M.Sc, Sp.A
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan nikmat-Nya laporan kasus yang berjudul Kejang Neonatus dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Tundjungsari R.U, M.Sc, Sp.A
selaku pembimbing selama penulis menjalani kepaniteraan klinik anak di RSUD
Ambarawa serta teman-teman seperbimbingan yang saling membantu dan
mendukung.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,
oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga laporan kasus
yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan di masa
yang akan datang.
Penulis
PENGESAHAN
Pembimbing
Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : November 2019
STATUS PASIEN
1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ny. SW selaku ibu
pasien di Bangsal Perinatalogi Seruni RSUD Ambarawa dengan didukung catatan
medis tanggal 6 November 2019.
Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang bayi laki-laki berusia 1 hari dirujuk dari bidan ke IGD RSUD
Ambarawa pada tanggal 6 November 2019 pukul 18.00 dengan kondisi kurang
baik, tampak kejang di separuh badan (bagian kanan tubuh) kemudian seluruh
tubuh. Ibu pasien mengatakan bayi tampak berkedip terus dari pukul 15.00 WIB (3
jam yll), tidak menangis, tidak mau minum (menetek), BAB (+), BAK (+). Riwayat
persalinan ibu P1 A0 pasien lahir secara spontan, riwayat persalinan lama (+)
dengan ibu dipimpin mengejan selama 1,5 jam, Air Ketuban keruh, Apgar Score 7
– 8 – 9 (Asfiksia Ringan) riwayat asfiksia berat disangkal dan sudah dilakukan
resusitasi, caput (+), dengan BBL 3600 gr.
Riwayat Penyakit Dahulu
Belum diketahui (pasien usia 1 hari)
Riwayat Penyakit Keluarga
riwayat kejang keluarga disangkal
Nenek (ayah) DM (+), HT (+)
Nenek (ibu) HT(+)
Kakek (ibu) riwayat jantung (+)
Riwayat Pengobatan
Belum mendapatkan terapi dari rujukan asal
Genogram
Nenek Nenek Kakek
Kakek
a
Bibi ayah Ibu Bibi Paman Bibi
Pasien P
Keterangan :
: Laki-laki : HT (+)
Riwayat Minum
- 0 bulan 1 hari : ASI (kurang lebih 2-3 jam sekali), ASI ibu
keluar sedikit - sedikit
Riwayat Imunisasi
• Kesan : Riwayat Imunisasi dasar Pasien sudah lengkap sesuai usia.
(usia 1 hari)
• Hb0 : saat baru lahir
Anamnesis Sistem
a. Sistem Cerebrospinal
kejang (+), demam (-)
b. Sistem Kardiovaskular
Bengkak pada tungkai (-)
c. Sistem Respirasi
mengi (-), mengorok (-), menangis lemah (+)
d. Sistem Gastrointestinal
muntah (-), BAB (+), kembung (-)
e. Sistem Muskuloskeletal
Gerak aktif (-), sendi bengkak (-), bengkak jari (-).
f. Sistem Integumentum
Petekie (-), purpura (-), rash kemerahan (-)
g. Sistem Urogenital
BAK (+), urin kuning jernih
h. Sistem Vestibular
cairan (-), edem (-)
Status Generalis
Kesan Umum : CM, gerak kurang aktif (-), menangis jarang, lemas
Kelainan mukosa kulit/su bkutan yang menyeluruh:
Sedikit Pucat (-), Sianosis lidah dan mulut (-), Perdarahan (-), Oedem
(-), Turgor cukup
Kepala :
Normocephal, rambut hitam dan terdistribusi merata (+)
Mata :
Palpebra tidak edema, tidak cekung, konjungtiva tidak anemis dan
sclera tidak ikterik, kornea jernih (+/+), lensa jernih (+/+), refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
Telinga
o Daun telinga : Bentuk, besar dan posisinya normal
o Lubang telinga : Tidak ada sekret, serumen (-)
o Gendang telinga : tidak dinilai
Hidung :
bentuk normal, sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut :
Bibir tidak sianosis, mukosa bibir lembab (+)
Leher :
Trachea di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Tenggorokan :
Faring hiperemis (-), T1/T1
Thorax :
Bentuk simetris, tidak ada deformitas, tidak ada retraksi pernafasan,
Paru :
KIRI KANAN
Jantung :
o Inspeksi : dbn
o Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
o Perkusi :-
o Auskultasi : SI-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : kembung (-)
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas :
Akral hangat (+), CRT <2 detik, tidak edema, turgor baik, sianosis (-)
Genital : Laki-laki, kedua testis sudah turun, dalam batas nrmal
Anorektal : Atresia Ani (-)
MCV 84.5 82 – 98 fL
MCH 29 27 – 32 Pg
Limfosit% 17.8 25 – 40 %
Neutrofil% 71.2 50 – 70 %
PDW 11.8 10 – 18 %
GD/RH A/+
TANGGAL S O A P
6 /11/ 2019 Kejang (+), gerak tidak aktif KU: lemah, CM - Obs konvulsi Advice dr.Tundjung
HR: 128x/min
neonatus Sp.A
RR: 50x/min
T: 36.8 C - Inf. D10% :10 tpm
SpO2: 98%
- Inj. Ampicillin 2x
BB:3.6 kg
Stat. Internus 200 mg
HEENT:
- Inj.cibital ekstra
Thoraks: Paru (dbn), cor (dbn)
Abdomen: BU (+) IGD 40 mg/,
Ekstremitas: akral hangat (+),
monitor 20 mg/12
CRT <2 detik, turgor baik.
jam
- Cek DR, elektrolit
I. DEFINISI
Definisi kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku,
fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran.6 Kejang
merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering terjadi pada neonatus
karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi
kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari.
Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu diferensiasi neuron, mielinisasi, dan
proliferasi glia pada neonatus dianggap sebagai penyebab kerusakan otak. kejang
berulang akan menyebabkan berkurangnya oksigenasi, ventilasi, dan nutrisi di
otak. 9 Kejang pada neonatus dibatasi waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari
pertama kehidupan (bayi cukup bulan) atau 44 minggu masa konsepsi (usia
kronologis + usia gestasi pada saat lahir) pada bayi prematur.8
II. EPIDEMIOLOGI
Gambaran klinis kejang sangat bervariasi bahkan sangat sulit membedakan
gerakan normal bayi itu sendiri. Meskipun demikian, angka kejadian di Amerika
Serikat berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 bayi lahir hidup setiap tahunnya. Sumber
pustaka lain menyebutkan angka kejadian pada umumnya berkisar antara 1,5 per
1000 kelahiran sampai 14 per 1000 kelahiran. Di ruang perawatan intensif, pada
bayi 9 berat lahir rendah yang sakit, frekuensi kejang meningkat sampai 25%.
Kejang pada bayi baru lahir 85% terjadi pada 15 hari pertama kehidupan dan 65%
terjadi pada hari kedua dan kelima kehidupan.9
Tabel 1. Prevalensi Kejang Neonatus11
III. ETIOLOGI
Tabel 2. Etiologi kejang neonatus dihubungkan dengan awitan kejang dan frekuensi.1
Tabel 3. Etiologi kejang.1
a. Asfiksia
Asfiksia perinatal menyebabkan terjadinya ensefalopati hipoksik-iskemik
dan merupakan masalah neurologis yang penting pada masa neonatal, dan
menimbulkan gejala sisa neurologis di kemudian hari. Asfiksia intrauter
in adalah penyebab terbanyak ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini
karena terjadi hipoksemia, kurangnya kadar oksigen ke jaringan otak.
Kedua keadaan tersebut dapat terjadi secara bersama-sama. Disebutkan
bahwa periode neonatus merupakan insiden terbesar terjadinya kejang
dan di dalam beberapa penelitian dari Levene dan Trounce, Lien dkk,
Mizrahi dan Kellaway bahwa penyebab tersering terjadinya kejang adalah
HIE (30-53%) yang disebabkan akibat asfiksia.10
Hypoxic-Ischemic Encephalopathy (HIE)
HIE adalah sindrom klinis dengan gangguan fungsi neurologis pada awal
kehidupan neonatus yang lahir pada atau lebih dari 35 minggu gestasi,
dengan manifestasi penurunan kesadaran atau kejang, sering disertai
gangguan untuk memulai dan menjaga pernapasan, dan depresi tonus otot
dan refleks. Asfiksia perinatal yang berakibat HIE secara global, 10-60%
bayi akan meninggal pada periode postnatal; dari yang selamat paling
tidak 25% akan mendapat sekuele neuropsikologis berat dan permanen,
berupa retardasi mental, gangguan visuomotor atau visuo-perseptif,
hiperaktivitas, cerebral palsy, dan epilepsi.13
Etiologic HIE
Penyebab cedera hipoksik, yaitu asfiksia intrauterin atau postnatal.
Asfiksia intrauterin terjadi jika pertukaran udara dan aliran darah plasenta
terganggu. Gangguan tersebut disebabkan faktor janin, perfusi plasenta
yang tidak adekuat, gangguan oksigenasi maternal, terputusnya sirkulasi
umbilikal. Sedangkan asfiksia postnatal bisa disebabkan penyakit
membran hialin, pneumonia, aspirasi mekonium, penyakit jantung
kongenital.7 Hal ini menyebabkan depresi perinatal yang berlanjut pada
berkurangnya pertukaran oksigen dan karbondioksida dan timbulnya
asidosis laktat berat. Jika episode hipoksik iskemik ini cukup parah untuk
merusak otak, maka akan terjadi kondisi hypoxic-ischemic
encephalopathy dalam 12-36 jam.13
Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitas normal pada bayi
prematur, bayi cukup bulan dan gerakan abnormal lain yang bukan kejang.8
Jitteriness merupakan salah satu gejala gangguan pergerakan yang sulit dibedakan
dengan kejang. Penyebab tersering jitteriness adalah ensefalopati hipoksik-
iskemik, hipokalsemia, hipoglikemia dan gejala putus obat. Akifitas lain pada
neonatus yang menyerupai kejang8
1. Pada saat sadar dan mengantuk/drowsy, tampak gerakan bola mata kearah
horizontal berupa nystagmoid jerk yang tidak menetap. Dapat dibedakan dari
gerakan bola mata pada subtle seizure yang berupa deviasi tonik horisontal bola
mata yang menetap, dengan atau tanpa jerking.
2. Pada saat tidur, sering dijumpai myoclonic jerk yang bersifat fragmenter
dan multipel. Sering disebut benign neonatal sleep myoclonus.
3. Hiperekpleksia suatu respons yang berlebihan terhadap stimulus (suara
atau taktil) berupa mioklonik umum seperti terkejut/kaget (startle response)
4. Klonus Gerakan-gerakan tersebut dapat dibedakan dari kejang dengan cara
menahan gerakan tersebut berhenti. Dengan kemajuan teknologi seperti pemakaian
video-EEG monitoring kejang neonatus dapat dibedakan menjadi epileptik dan
nonepileptik. Disebut epileptik jika manifestasi kejang berkorelasi kuat dan
konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG. Patofisiologi kejang
epileptik disebabkan oleh lepas muatan listrik yang berlebihan dan paroksismal di
neuron korteks serta peningkatan eksitasi seluler, sinaps dan aktifitas penyebaran
gelombang epilepsi. Disebut non-epileptik jika manifestasi kejang tidak berkorelasi
dan atau tidak konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG. Fokus
kejang berasal dari tingkat subkortikal (sistem limbik, diensefalon dan batang otak)
dan tidak menyebar ke korteks karena imaturitas pembentukan sinaps serta proyeksi
kortikal sehingga tidak dapat atau tidak selalu terdeteksi dengan pemeriksaan EEG.
Selain itu kejang yang terjadi bukan akibat dari lepas muatan listrik yang berlebihan
tetapi karena cetusan primitif dari batang otak dan refleks spinal yang tidak
mendapat inhibisi dari korteks serebri.1,2,8
a. Kejang Subtle
Kejang jenis ini terjadi sehubungan dengan adanya jenis kejang lain dan
mungkin bermanifestasi dengan:
• Gerakan stereotip ekstremitas seperti gerakan mengayuh sepeda atau
berenang
• Deviasi / gerakan kejut pada mata dan mengedip berulang
• Ngiler, gerakan menghisap atau mengunyah
• Apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola pernapasan
• Fluktuasi yang berirama pada tanda vital
b. Kejang Klonik
• Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3
/menit), penyebabnya mungkin focal/multi-focal
• Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase
yang lambat
• Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan
menghambat gerakan tersebut
• Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan
• Tidak terjadi hilang kesadaran
• Berkaitan dengan trauma fokal,infarks atau gangguan metabolik
c. Kejang Tonik
Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal
Kejang tonik umum:
- Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500 gram).
- Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang
tubuh dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah
- Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis
apapun seperti meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit
memerah
Kejang Tonik Focal
• Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau batang tubuh
atau deviasi tonik kepala atau mata
• Sebagian besar kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit sistem
syaraf pusat yang difus dan perdarahan intraventrikular
V. PATOFISIOLOGI
VI. DIAGNOSA
Riwayat kehamilan, persalinan dan riwayat kejang dalam keluarga sangat
diperlukan untuk mencari faktor risiko dan etiologi, setelah itu dilakukan
pemeriksaan penunjang.
VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip utama dalam tata laksana kejang neonatus adalah (1)
Mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat. (2) Mencari dan memberikan
tata laksana terhadap etiologi kejang sesegera mungkin. (3) Tata laksana kejang,
dengan mempertimbangkan manfaat pemberantasan kejang dengan efek samping
yang mungkin timbul dari pemberian obat antikonvulsan. Beberapa hal dalam tata
laksana kejang masih kontroversi, beberapa peneliti mengatakan bahwa kejang
neonatus diobati jika kejang terdeteksi secara klinis dan berkepanjangan, sedangkan
kejang elektrik yang terdeteksi melalui pemeriksaan EEG tidak memerlukan terapi.
Hal ini menimbulkan kontroversi mengingat kejang elektrik berefek negatif
terhadap otak yang immatur. Ketidaksesuaian antara kejang klinis dan elektrik serta
singkatnya kejang membuat keraguan kapan antikonvulsan dimulai atau dihentikan.
Hal yang perlu diingat adalah neonatus yang mengalami kejang berulang akan
mengalami kerusakan otak yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah ke
otak, metabolisme, dan pernapasan.1,2
Mizrahi dkk. menyatakan bahwa pemberian antikonvulsan harus
mempertimbangkan beberapa hal yaitu tipe kejang, patofisiologi, lama dan beratnya
kejang, perjalanan penyakit etiologi kejang, efek kejang dan obat antikonvulsan
terhadap neonatus. Klinisi sering memulai antikonvulsan tanpa melihat gambaran
EEG, pada keadaan ini klinisi harus menentukan terlebih dahulu kejang bersifat
epileptik atau non epileptik, setelah itu ditentukan lama dan beratnya kejang.
Kejang bersifat epileptik jika tidak dapat diprovokasi oleh stimulus dan tidak
berhenti dengan reposisi atau tahanan, non epileptik bersifat sebaliknya.8 Jika
pemeriksaan EEG bed-side atau EEG-video monitoring dapat dilakukan maka
pemberian obat antikonvulsan harus mempertimbangan hasil pemeriksaan
penunjang tersebut. Evans dkk. merekomendasikan pemberian obat antikonvulsan
pada kejang yang bersifat lama (lebih dari 3 menit) atau berulang (lebih dari 3 kali
perjam), terutama jika mengganggu ventilasi dan tekanan darah. Obat-obatan yang
dipakai dalam tata laksana kejang tertera pada Tabel 8.
Jika pada fase akut pemberian fenobarbital sampai 40 mg/kg BB belum dapat
memberantas kejang, dapat dilanjutkan dengan pemberian fenitoin inisial. Jika
tidak terdapat respon dengan kombinasi fenobarbital dan fenitoin, dapat
ditambahkan lorazepam. Lorazepam seperti diazepam mempunyai onset yang cepat
(kurang dari 5 menit). Kelebihan lorazepam dibandingkan diazepam adalah masa
kerja yang lebih panjang (sampai 24 jam), efek depresi pernapasan dan hipotensi
yang ditimbulkan lebih ringan. Sedapat mungkin diazepam tidak dipergunakan
karena beberapa alasan (1) Masa kerja yang singkat, (2) Kombinasi diazepam
dengan fenobarbital meningkatkan risiko kolapsnya kardiovaskular dan gagal
napas, (3) Kisaran dosis sangat sempit, dan (4) Pelarut diazepam mengandung
natrium benzoat yang mengganggu kompleks bilirubin-albumin. Obat fenobarbital,
fenitoin, lorazepam, dan diazepam adalah obat lini pertama, jika dengan obat-obat
tersebut kejang belum teratasi, penyebab kejang harus dicari dan diobati termasuk
gangguan metabolik seperti IEM, pyridoxin dan folinic acid dependency terutama
jika tidak terdapat faktor risiko perinatal ataupun intrapartum.13 Selanjutnya dipakai
obat-obat lini kedua (Tabel 9).
VIII. PROGNOSIS
Kejang neonatus sebanyak 25%-30% berhubungan dengan gangguan
perkembangan. Faktor penentu utama prognosis adalah etiologi, neonatus dengan
disgenesis serebral serta hipoksik-iskemik sedang dan berat mempunyai prognosis
yang buruk. Gangguan metabolik akut dan perdarahan subarachnoid mempunyai
prognosis yang baik, sedangkan infeksi intrakranial dan IEM mempunyai prognosis
yang bervariasi.6 Karakteristik kejang juga mempengaruhi prognosis, kejang onset
dini, kejang berulang dan berkepanjangan yang resisten terhadap pengobatan
mempunyai prognosis yang buruk.6 Kejang tonik berhubungan dengan palsi
serebral, retardasi mental dan epilepsi sedangkan kejang mioklonik berkaitan
dengan retardasi mental.2 Penelitian Brunquell menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan tipe kejang yang lain kejang subtle dan tonik umum mempunyai komplikasi
epilepsi, retardasi mental dan epilepsi yang lebih tinggi. Gambaran EEG juga
merupakan faktor prognosis. Hasil EEG interiktal normal 85% mempunyai
prognosis baik, sedangkan gambaran EEG yang isoelektrik, voltase rendah atau
paroksismal burst-suppression mempunyai prognosis buruk.6
Tabel 12. Prognosis kejang neonatus13
IX. KOMPLIKASI