Abstrak
Key words :
Bureaucratic Reform, Public Policy, Innovation, Disruption
Pendahuluan
“Kita hidup pada masa perubahan besar, suatu masa dari awal yang baru.
Kita hidup pada masa ketika banyak hal mulai berakhir”. Begitulah salah satu
pandangan John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yang menjadi best seller
pada awal tahun 1990-an. Selang dua dasawarsa kemudian, pendiri Rumah
Perubahan sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia,
Rhenald Kasali menulis buku “DISRUPTION : Tidak Ada Yang Tidak Bisa Diubah
Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup” (2017) menyatakan bahwa saat ini
kita tengah memasuki suatu “akhir jaman”. Bukan akhir jaman dalam pengertian
kiamat, tapi maksudnya kita telah memasuki jaman yang baru, yaitu sebuah jaman
digital, atau disebut juga era disruption.
Kedatangan jaman baru ini ditandai dengan kemajuan teknogi informasi yang
pesat, munculnya generasi baru dan wirausaha baru dengan cara cara baru.
Generasi baru disebut “Generasi Millenials” yang sangat terkoneksi dengan internet
dan media sosial (gadget mindset), dan sangat berbeda dengan generasi
pendahulunya dalam berbagai hal. Generasi ini lebih mengutamakan kebebasan dari
pada banyak aturan, generasi ini tidak suka kompetisi, tapi lebih suka berkolaborasi.
Generasi ini mulai diakui keberadaannya karena disruption yang mereka lakukan dan
dampaknya terhadap dunia bisnis. Karya generasi millennials (start-up) ini mulai
ditakuti para pengelola bisnis konvensional (incumbent), karena produk/jasa mereka
akan memangkas bisnis-bisnis yang dikelola perusahaan konvensional, seperti
dialami industri transportasi online (Grab, Uber, Go-jek), perhotelan (Airbnb),
Tokopedia, Financial Technology (FinTech), dan lain-lain.
2
Bagi mereka yang tidak segera menyadari perubahan jaman ini akan
terperangkap dalam masa lalu, merasa cemas, dan bersikeras bersikap resisten
terhadap perubahan yang sebenarnya tidak bisa dilawan. Era baru ini disebut era
Disruption yang ditandai dengan indikator simpler (lebih mudah), cheaper (lebih
murah), accesible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat). Persaingan bisnis
cenderung menghadapi lawan-lawan tak kelihatan, sehingga membuat tantangan
bagi para pebisnis dalam melakukan usahanya semakin sulit karena mereka dituntut
melakukan inovasi yang tidak hanya bersaing secara produk, namun juga bersaing
dalam model bisnis. Gugurnya perusahaan-perusahaan besar, seperti Kodak, Nokia,
dan sejumlah ritel raksasa di dalam dan luar negeri bukan karena menurunnya daya
beli, melainkan karena era disruption (Renald Kasali, 2017).
Presiden RI ke 7 Joko Widodo (Jokowi) meskipun tidak menggunakan istilah
disruption, namun dalam berbagai pengarahannya mengakui bahwa era disruption
memang sedang terjadi dan harus diantisipasi. Presiden menyatakan bahwa dewasa
ini dunia sedang memasuki era industri ke 4, yang dipicu kemajuan teknologi
informasi dan telekomunikasi yang sangat cepat yang mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan. Dalam era seperti ini, menurut presiden, bukan negara kuat yang
mengalahkan negara lemah, bukan negara besar yang mengalahkan negara kecil,
tetapi negara yang cepat mengalahkan negara yang lambat. Saat ini terdapat 42
ribu regulasi yang menyulitkan dan menjerat diri kita sendiri, tidak fleksibel dan tidak
akan membuat kita bisa maju bersaing dengan negara-negara lain. Dunia sudah
berubah cepat, sementara kita masih bekerja monoton, tidak mau berubah, tidak
mau berinovasi. Kita masih belajar internet, negara lain sudah menggunakan mobile
internet, negara-negara lain sudah memanfaatkan smart-office yang serba
paperless/digital, tetapi Aparatur Sipil Negara kita lebih banyak menghabiskan waktu
sehari-harinya membuat SPJ yang jumlahnya berlembar-lembar, negara lain sudah
berbicara tesla mobile, hyperload, mengelola luar angkasa untuk manusia, tapi kita
masih berkutat dengan persoalan yang tidak produktif, demo, fitnah, hujat
menghujat, dan berita bohong (dihimpun dari berbagai sumber media online).
Dalam acara pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
Tahun 2018 di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Presiden Jokowi kembali
menegaskan musuh kita nomor 1 adalah buang-buang waktu. Betapa mahalnya
waktu yang tidak dimanfaatkan (terbuang percuma), karena cara kerja aparat
birokrasi yang masih bertele-tele, gaya kerja yang masih ruwet dan jelimet, rantai
birokrasi dan perizinan yang panjang. Padahal dengan perkembangan teknologi
informasi yang makin memudahkan sekarang, seharusnya produktivitas bisa
meningkat. Namun, sayangnya tidak mampu dimanfaatkan, hanya karena pola pikir
yang masih belum berubah. Kondisi ini jika diteruskan, lupakan kita bisa maju
(Mediaindonesia.com, 20/04/2018).
Entah berapa kali lagi Presiden Jokowi mengulang-ulang pernyataan
kerasnya tentang kinerja birokrasi yang masih lamban ini?. Melihat periode
pemerintahan Jokowi-JK akan berakhir tahun 2019 berarti hanya tinggal 1 tahun lagi
(kecuali terpilih untuk periode ke-2), maka sangat sulit baginya mewujudkan
birokrasi seperti yang ia harapkan. Masih banyak persoalan birokrasi yang harus
dibenahi, bukan hanya yang bersifat teknis administratif, sistem dan prosedur yang
3
berbelit, tetapi yang terberat merubah perilaku, pola pikir (mind-set) dan budaya
(culture-set) aparat birokrasi yang masih menggunakan pola-pola “zaman old”,
mereka berada di zona nyaman akan sulit dirubah ke “zaman now”. Ini sekaligus
membuktikan bahwa “revolusi mental” yang menjadi agenda Jokowi-JK yang
tertuang dalam Nawacita dapat dianggap belum mencapai hasil yang diharapkan.
Tulisan ini mengelaborasi hubungan antara kebijakan reformasi birokrasi
dengan disruption yang menjadi fenomena jaman kekinian.
Akhir-akhir ini istilah disruption tiba-tiba saja semakin sering kita dengar dan
kita baca di media massa konvensional maupun digital (elektronik). Bahkan, apabila
kita googling di internet dengan kata kunci “konsep disruption”, maka dalam waktu
0,34 detik, google berhasil menampilkan hasil sebanyak 88.500. Beberapa seminar
dan diskusi publik telah diselenggarakan oleh pihak swasta maupun pemerintah
yang mengaitkan disruption dengan berbagai tema kontekstual.
Semakin populernya istilah disruption dalam diskursus publik tidak bisa
dipisahkan dengan terbitnya buku “Disruption” karya Renald Kasali yang membahas
tentang Disruption dengan mengambil contoh-contoh kasus di dalam negeri maupun
di luar negeri. Jika ditelusuri sejarahnya, istilah disruption sendiri pertama kalinya
diperkenalkan Clayton M. Christensen dan Joseph Bower dalam tulisan mereka
berjudul The Disruptive Innovation yang dimuat di jurnal Harvard Business Review
(1995). Artikel tersebut sebenarnya ditujukan untuk para eksekutif yang
menentukan pendanaan dan pembelian disuatu perusahaan berkaitan dengan
pendapatan perusahaan dimasa depan. Kemudian pada bukunya "The Innovator's
Dilemma", Christensen memperkenalkan model Disruptive Inovasi (The Disruptive
Innovation Model). Secara sederhana konsep dasar Disruptive Innovation adalah
suatu inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak
pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu
tersebut. Inovasi disruptif mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara
yang tak diduga pasar, umumnya dengan menciptakan jenis konsumen berbeda
pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama (incumbent).
Disruption adalah sebuah proses yang terus akan berulang, dan dengan kemajuan
teknologi informasi yang semakin cepat, proses perubahannyapun semakin cepat
dan semakin tidak terduga.
Renald Kasali dalam bukunya Disruption mengupas teori dari Clayton M.
Christensen tersebut dengan mengambil contoh kasus-kasus mutakhir, baik dibidang
bisnis maupun dibidang birokrasi pemerintahan dan sosial masyarakat. Apakah
makna desruption?. Menurut Renald Kasali, disruption bisa diterjemahkan sebagai
penggangu, pengacau, atau biang kerok. Kalau dihubungkan dengan kata digital,
maka artinya adalah sesuatu yang datang setelah era digital dan mengganggu
kestabilan bisnis yang tidak menggunakan internet dan teknologi digital sebagai nilai
tambahnya. Disruption sebagai sebuah inovasi, akan menggantikan seluruh sistem
lama dengan cara-cara baru. Disruption akan menggantikan teknologi lama yang
serba fisik dengan teknologl digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar
4
baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. Atau dengan kata lain disruption
merubah cara lama menjadi lebih kekinian, praktis, simpel, efektif, efisien dan
mampu beradaptasi dengan perubahan jaman.
Dalam Bab 15 buku Disruption : “No Ordinary Disruption”, Renald Kasali
menjelaskan bahwa sekarang ini telah berlangsung suatu proses disruption yang
tidak biasa (no ordinary), bahkan rumit yang membuat banyak orang gelisah kalau
terlalu lama ditangani orang-orang yang hanya mampu berwacana. Perkembangan
teknologi informasi telah berimplikasi luas pada berbagai aspek kehidupan: (a)
teknologi telah menghubungkan semua orang diseluruh dunia dengan kecepatan
luar biasa (awal great disruption), (b) perubahan tidak lagi eksponensial, tapi linier.
Dulu dibutuhkan 38 thn bagi radio mencapai 50 juta user, sekarang hanya
dibutuhkan 3 tahun untuk internet, 1 tahun untuk facebook dan 9 bulan untuk
Twitter, (c) kecepatan penyebaran berita dalam hitungan detik, manusia sebagian
besar memindahkan sebagian besar aktivitasnya, merubah cara manusia
meramalkan tindakan publik, (d) robot membuat otomatisasi berjalan, mengancam
kelas pekerja, dan (e) uang tak lagi terlihat, hanya catatan maya di dunia digital.
Strategi menghadapi era disruption adalah melakukan self-disruption dengan
melihat jauh ke depan dan berani membongkar cara-cara lama. Untuk melihat
perubahan kedepan dibutuhkan kemampuan melihat kedepan (visioner), namun
sayangnya perubahan yang akan terjadi ke depan adalah sesuatu yang tidak mudah
dilihat dan terbaca. Setelah melihat adalah bergerak dan menyelesaikan persoalan.
Tugas pemimpin mengajak atau membuat apa yang ia lihat juga terlihat oleh
bawahannya, lalu menggerakkannya untuk menyelesaikan perubahan dengan
tuntas. Tiga hal yang disarankan, yaitu :
Pertama, jangan nyaman menjadi “Pemenang”. Organisasi yang sudah lama
berdiri, merasa bahwa dirinya tidak perlu lagi membuat banyak inovasi. Perasaan
aman yang muncul tersebut dikarenakan oleh asumsi bahwa pelanggannya akan
terus menerus loyal. Padahal pada kenyataannya, pergeseran segmen konsumen
(dari yang sebelumnya Generasi X menjadi Millennials) memerlukan pengembangan
dari berbagai aspek, termasuk layanan.
Kedua, jangan takut mengkanibalisasi produk sendiri. Belajar dari kasus
kebangkrutan Kodak, sebuah organisasi hendaknya selalu melakukan inovasi-
inovasi. Termasuk berani menjadi kanibal untuk produknya sendiri. Hal tersebut
merupakan salah satu langkah proaktif sebelum pihak lain yang melakukan. Dalam
kasus Kodak, mereka merasa bahwa keahliannya dalam penyedia negatif film tidak
akan tergerus oleh teknologi. Padahal sebaliknya, kehadiran kamera digital malah
membuat Kodak harus gulung tikar.
Ketiga, membentuk ulang (reshape) atau menciptakan yang baru (create). Di
era disrupsi, ada 2 pilihan yang bisa diambil, yaitu melakukan membentuk kembali
atau mencipta, atau memilih keduanya. Ketika memutuskan reshape, maka bisa
melakukan inovasi dari produk atau layanan yang sudah dimiliki. Sedangkan, jika
memilih create, harus berani memiliki inovasi yang sesuai dengan kebiasaan
konsumen. Apabila dapat “membaca” situasi dengan baik kemudian melihat peluang
yang ada, maka itulah cara bisa bertahan di era disrupsi.
5
dan Laos (93). Beberapa permasalahan mendasar dalam birokrasi Indonesia yang
mendapatkan sorotan dari World Economic Forum (WEF) adalah korupsi menempati
urutan pertama dengan skor (13,8), inefisiensi birokrasi pemerintah (11,1),
keterbatasan infrastruktur (9,2), akses terhadap pembiayaan (8,8), inflasi (8,6),
ketidakstabilan politik (6,5), etos kerja yang buruk (5,8), tarif pajak (5,2),
keterbatasan sumber daya manusia terdidik (4,3), regulasi perpajakan (4,8), regulasi
mata uang (4,6), ketidakstabilan pemerintah (4,0), kesehatan masyarakat miskin
(4,0), pencurian (4,0), kurangnya inovasi (2,5), serta kebijakan perburuhan yang
menghambat (4,0) (https://www.weforum.org,17/01/2018)
Temuan World Economic Forum (WEF) tersebut hampir sama dengan hasil
Survei Litbang Kompas (September 2016) yang dilaksanakan di 14 Kota Besar di
Indonesia yang menempatkan persoalan korupsi dan birokrasi yang berbelit
(efisiensi birokrasi) sebagai persoalan utama yang masih dihadapi birokrasi di
Indonesia sampai dengan saat ini, seperti disajikan pada Grafik dibawah ini.
Grafik di atas dapat dibaca bahwa untuk provinsi hanya 2 yang memperoleh
predikat Sangat Baik (A-) dari 34 provinsi yang ada, yaitu Provinsi DKI Jakarta dan
Provinsi Riau. Sedangkan, untuk kabupaten/kota sebanyak 18 yang memperoleh
predikat Sangat Baik (A-). Yang menarik, masih ada 3 provinsi dan 2 kabupaten/kota
yang “kurang” alias tidak ada predikat (diperlukan prioritas pembinaan). Kondisi ini
sangat ironis, karena sudah puluhan tahun reformasi birokrasi diimplementasikan,
khususnya bidang pelayanan publik masih ada pemda yang tidak mengalami
kemajuan/perubahan kinerja. Lantas, apa yang aparat pemda lakukan selama ini
untuk melayani rakyat di daerah tersebut?.
8
Daftar kebijakan di atas akan semakin panjang lagi jika dikaitkan dengan
penjabaran kebijakan yang diterbitkan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), dalam bentuk Peraturan Menteri, Lembaga,
Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota seluruh
Indonesia. Sehingga, dilihat dari aspek dan cakupannya, maka kebijakan reformasi
birokrasi sebenarnya sudah cukup lengkap, termasuk instrumen pengukurannya.
Pertanyaannya, mengapa pelaksanaan reformasi birokrasi masih berjalan
lamban ?. Berikut ini beberapa catatan kritis untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Kebijakan KIPP sangat relevan pada era disruption seperti saat ini, untuk
mendorong atau bahkan memaksa semua instansi melakukan terobosan atau inovasi
di instansinya masing-masing, sekaligus merubah budaya birokrasi pelayanan yang
pasif/monoton dan lamban menjadi kreatif dan bergerak dinamis sehingga bisa
adaptif dan responsif terhadap perubahan yang terjadi. Tetapi berdasarkan
pengalaman, karena penulis juga pernah terlibat mengikuti kompetisi ini, ada
beberapa catatan yang perlu menjadi pertimbangan ke depan.
14
Sumber Daya Manusia Aparatur Sipil Negara (ASN) menempati posisi yang
sangat penting dan stretegis dalam menentukan keberhasilan reformasi birokrasi
Indonesia. Hal ini, disebabkan ASN merupakan pelaksana berbagai kebijakan dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat. ASN menjadi motor penggerak dan
agen perubahan birokrasi agar bisa sejajar dengan bangsa lain di dunia. Jadi,
selengkap apapun regulasi yang dibuat, sebaik apapun sistem yang dibangun, dan
secanggih apapun teknologi yang dipergunakan semuanya tergantung dari SDM
ASN, baik dari jumlah, tingkat pendidikan yang mempengaruhi kompetensi maupun
distribusinya antar wilayah dan instansi serta manajemennya yang baik.
Terbitnya UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
dapat dianggap sebagai reformasi besar-besaran dalam pengelolaan aparatur sipil
negara dibanding dengan peraturan sebelumnya UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian. Ada beberapa istilah baru yang dimuat dalam UU ini,
diantaranya : Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai Aparatur Sipil Negara, (c)
Pegawai Negeri Sipil (PNS), (d) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Selain itu, penamaan jenis jabatan juga berubah, yaitu : (a) Jabatan Administrator,
(b) Jabatan Fungsional, dan (c) Jabatan Pimpinan Tinggi. Jabatan Pimpinan Tinggi
(JPT) dibagi menjadi : (a) Jabatan Pimpinan Tinggi Utama (JPTU), (b) Jabatan
Pimpinan Tinggi Madya (JPTM), dan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP).
Hal baru lainnya adalah dibentuknya lembaga baru non-struktural yang diberi
nama Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Tugasnya adalah mempromosikan dan
mengawasi penerapan Nilai Dasar ASN, pelaksanaan kode etik dan kode perilaku
pegawai ASN, serta mengawasi penerapan sistem merit (merit system) dalam
kebijakan dan manajemen sumber daya ASN, dan menjaga netralitas Pegawai ASN
dari intervensi politik serta mengawasi pembinaan profesi ASN.
Berdasarkan laporan KASN tahun 2017 yang dirilis bulan Januari 2018 dapat
diketahui kondisi ASN di Indonesia yang menjadi motor penggerak reformasi
birokrasi, berdasarkan kelompok umur dan pendidikan seperti Grafik dibawah ini.
Kedua, bagi CPNS itu sendiri. Jumlah CPNS yang direkrut tahun 2017
jumlahnya masih sedikit dibanding dengan jumlah ASN yang sudah ada, hal ini
dapat dianalogikan seperti pendatang baru masuk ke dalam lingkungan incumbent
yang sudah mapan dengan pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set).
Pertanyaannya, apakah pendatang baru ini akan “terkontaminasi” dengan pola-pola
lama incumbent atau sebaliknya mampu menjadi inisiator dan agen perubahan di
lingkungan instansi dimana dia ditempatkan.
Era Baru Birokrasi Indonesia akan terwujud menjadi Birokrasi Kelas Dunia,
jika rekrutmen CPNS dari generasi millenials ini mampu menjadi inisiator dan agen
perubahan dilingkungan instansinya masing-masing. Jika tidak, maka kita harus
menunggu lebih lama, sampai pergantian sebagian besar generasi ASN telah diganti
dengan generasi millenials.
DAFTAR PUSTAKA