Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penggunaan luas cairan rehidrasi oral WHO telah menyelamatkan berjuta-juta
penderita diare dari kematian karena dehidrasi di negara berkembang. Diare
persisten saat ini menjadi perhatian setelah WHO berhasil menurunkan kejadian
diare akut dengan upaya rehidrasi oral. Dilaporkan angka kejadian diare persisten
pada beberapa negara berkembang berkisar antara 3%-23%. Di Indonesia,
kejadian diare persisten belum banyak dilaporkan karena kejadian diare persisten
sering bersamaan dengan penyakit lainnya seperti otitis media akut, infeksi salu-
ran kemih, pneumonia dan gizi buruk.
Diare persisten secara definisi berarti diare yang berlangsung lebih dari 14 hari
dengan penyebab infeksi. WHO CDC program tahun 1991 melaporkan kejadian
diare persisten di Indonesia pada bayi sekitar 4%. Estimasi dari WHO dan
UNICEF tahun 1991 mengatakan bahwa diare persisten merupakan 10% dari
kejadian diare dengan kematian 35% pada anak di bawah 5 tahun. Firmansyah
melaporkan 5% diare akut akan melanjut lebih dari 14 hari dengan angka
kematian 23 – 62%.
Banyak faktor yang menyebabkan diare akut berlanjut menjadi diare persisten
seperti umur di bawah satu tahun, keadaan malnutrisi, penyakit gangguan
kekebalan tubuh, riwayat diare sebelumnya, dan infeksi usus spesifik seperti
parasit. Malnutrisi merupakan faktor risiko terjadinya diare, demikian pula
sebaliknya diare dapat menimbulkan malnutrisi. Diare pada malnutrisi akan
menyebabkan lamanya penyembuhan dan meningkatkan angka kematian.
Beberapa tahun terakhir HIV/AIDS berkembang dengan pesat dan merupakan
salah satu penyebab timbulnya diare persisten Estimasi tahun 2000 diperkirakan
5-10 juta anak terinfeksi virus HIV. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
karakteristik pasien, manifestasi klinis, dan laboratorium, serta
penyakit penyerta pasien diare persisten. 1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah dan
berlanjut sampai 14 hari atau lebih. Jika terdapat dehidrasi sedang atau berat, diare
persisten diklasifikasikan sebagai “berat”. Jadi diare persisten adalah bagian dari
diare kronik yang disebabkan oleh berbagai penyebab.
Diare persisten didefinisikan sebagai berlanjutnya episode diare selama 14
hari atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah (disentri).
Kejadian ini sering dihubungkan dengan kehilangan berat badan dan infeksi non
intestinal. Diare persisten tidak termasuk diare kronik atau diare berulang seperti
penyakit sprue, gluten sensitive enteropathi dan penyakit Blind loop4. Walker-
Smith mendefinisikan sebagai diare yang mulai secara akut tetapi bertahan lebih
dari 2 minggu setelah onset akut
Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama.
Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2
minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar
naik oleh Walker-Smith et al. didefinisikan sebagai diare persisten. Di lain pihak,
dasar etiologi diare kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The
American Gastroenterological Association.
Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua
minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi,
sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association
adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-
infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Bervariasinya definisi ini pada
dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan persisten di negara
berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di negara
maju.
Demikian juga porsi serta prioritas penelitianmaupun pembahasan lebih
didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam

2
tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya. Akan sangat
membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan
pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan di
lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian
bahwa ada 2 jenis diare yang berlangsung > 14 hari, yaitu diare persisten yang
mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar
etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut yang akan dipakai dalam
diskusi topik ini. 1,2

2.2 Epidemiologi Diare


Diare persisten masih menjadi masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat
kematian anak di dunia, dengan mencakup 3 –20% dari seluruh episode diare pada
balita. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-
150 episode per 100 balita setiap tahun, dengan angka kematian sebesar 36-54%
dari keseluruhan kematian akibat diare. Di Indonesia, prevalensi diare persisten
sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11
bulan.3

2.3 Etiologi Diare


Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara
maju, sebagain besar membahas penyebab non-infeksi, umunya meliputi
intoleransi protein susu sapi/kedeai (pada anak usia < 6bulan, tinja sering disertai
dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis.
Namun, perhatian global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang
bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi
di negara-negara berkembang.
Sejumlah studi telah mencoba menemukan patogen utama yang berhubungan
dengan diare persisten. Informasi ini berguna untuk meramalkan perjalanan
penyakit dan membantu memutuskan apakah perlu pemakaian antibiotik. Empat
studi di India, Bangladesh dan Peru menemukan bahwa Rotavirus, Aeromonas,
Campylobacter, Shigella dan Giardia Lamblia sama seringnya pada diare akut dan

3
diare persisten. Cryptosporidium lebih sering pada diare persisten dibanding diare
akut di Bangladesh. Bukti dari beberapa studi menyatakan bahwa Entero-adherent
E Coli terutama dihubungkan dengan diare persisten. Studi Ashraf, dkk di
Bangladesh mendapatkan bakteri patogen dari isolasi feses berupa Diaregenic E
coli sebesar 66% (ETEC,EAEC dan EPEC) diikuti C jejuni 32%. Terdapat banyak
bakteri, virus dan parasit sebagai penyebab diare karena infeksi, sejumlah patogen
baru memperlihatkan agen penyebab diare yang sering ditemukan.

Penelitian Deddy dkk di RSCM tahum 2005 dari 27 pasien diare persisten
yang dilakukan kultur tinja menemukan E.Coli non pathogen sebanyak 13 kasus,
enterobacter Aerogenes 8 kasus ,Proteus Mirabilis 2 kasus dan 4 kasus neagatif.
Sedangkan pemeriksaan analisa tinja parasit yang dilakukan pada 17 pasien diare
persisten di dapatkan mikrosporidia, blastocystis hominis dan Giardia Lamblia, 1,3

2.4 Patogenesis
Titik sentral patogenesis diare persisten adalah kerusakan mukosa usus yang
pada tahap awal disebabkan oleh etiologi diare akut. Berbagai faktor resiko
melalui interaksi timbal balik menyebabkan rehabilitasi kerusakan mukosa
terhambat dan memperberat kerusakan. Secara pathofisiologi mekanisme
terjadinya diare persisten secara umum terbagi atas sekretori osmotik, gangguan
motility dan proses inflamasi tetapi pada beberapa kasus diare terjadi karena lebih
dari satu mekanisme tersebut.
Osmotic diare relative lebih sering pada anak keadaan ini disebabkan adanya
malabsorbsi bahan di lumen usus sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
osmotic di lumen usus halus bagian distal dan di kolon menyebabkan peningkatan
kehilangan cairan. Keadaan ini sering terjadi bila karbohidrat yang secara relative
merupakan partikel osmotic tidak diserap. Contoh klasik osmotic diare adalah
intoleransi laktosa yang disebabkan defisiensi enzyme lactase. Pada keadaan ini
laktosa pada usus halus tidak diserap dan terjadi peningkatan sekreesi cairan di
kolon. Bakteri yang berada di kolon akan memfermentasi laktosa yang tidak
diserap menjadi asam-asam organic rantai pendek yang berperan sebagai beban
osmotic guna menarik air ke lumen usus. Malabsorpsi karbohidrat pada bayi

4
biasanya disebabkan oleh kerusakan mukosa secara difuse. kelainan bawaan
sebagai penyebab malabsorbsi karbohidrat jarang ditemukan .
Sekretory diare ditandai dengan peningkatan elektrolit dan cairan keluar
melalui lumen usus, terjadi karena penghambatan absorbsi NACL neutral oleh
enterosit atau peningkatan secresi clorida electrogenic oleh sel crypti sekretori.
Mekamisme dari diare sekretori meliputi aktivasi mediator intraseluler seperti c
AMP, c GMP, dan calcium intraseluler yang mestimulasi secara aktif sekresi
chloride dari sel sel kripti, dan menghambat absorbsi nacl netral . mediator
mediator ini mempengaruhi aliran ion paraseluler karena toxin yang dimediasi
trauma pada thigh junction.
Gangguan motility dapat menyebabkan timbulnya diare, keadaan ini jarang
menimbulkan malabsorpsi. Karena motility yang meningkat sehingga kemampuan
absorpsi usus halus jadi berkurang karena waktu transit yang cepat. Penyebab
terbanyak pada kasus anak adalah iritabel usus besar pada bayi atau diare kronik
non spesifik , Gangguan yang menyebabkan berkurangnya motility usus seperti
pada syndrome chronic idiophatic pseudo obstruction usus atau penyakit
hirschsprung akan menyebabkan bakhteri tumbuh lampau pada usus halus dengan
kerusakan mukosa dan diare inflamasi.
Diare karena proses inflamasi secara relatif sering pada anak, terutama yang
berhubungan dengan diare akut yang menyerupai diare karena infeksi. Inflamasi
kronik seperti colitis ulserative, penyakit crohn, alergi dan penyebab lainnya. Pada
inflamasi terdapat dua efek utama sebagai penyebeb diare. Pertama setelah
terjadinya invasi awal sejumlah sel imun akan melepaskan mediator inflamasi
seperti sitokin (interleukin1, Tumor nekrotik factor alpha), chemokin (interleukine
8) dan prostaglandin yang meransang sekresi intestinal melalui enterosit dan
aktivasi saraf enterik. Kedua kerusakan miofibroblas sub epithelial basemen
membran oleh metalloproteinase kerusakan sel enterosite dan atropi vili mukosa
yang di ikuti regenesasi hiperplasi kripti pada usus halus dan besar.
Diare persisten menyebabkan berlanjutnya kerusakan mukosa dan lambatnya
perbaikan kerusakan mukosa yang menyebabkan gangguan absorpsi dan sekresi

5
abnormal dari solute dan air. Proses ini disebabkan oleh infeksi, malnutrisi, atau
intoleransi PASI (non human milk) secara terpisah atau bersamaan.

Infeksi parenteral sebagai penyakit penyerta atau sebagai komplikasi seperti


campak, otitis media akut, infeksi saluran kencing dan pneumonia dapat
menyebabkan gangguan imunitas. Menurunnya imunitas yang disebabkan faktor
etiologi seperti pada shingellosis, dan rotavirus yang diikuti enteropathi hilang
protein, Kurang Energi Protein (KEP) dan kerusakan mukosa sendiri yang
merupakan pertahanan lokal saluran cerna. KEP menyebabkan diare menjadi lebih
berat dan lama karena lambatnya perbaikan mukosa usus. Pasien KEP secara
histologi memiliki mukosa usus yang tipis, penumpulan mikrovili mukosa dan
indek mitosis yang rendah sehingga mengganggu absorpsi makanan, disampaing
itu akan menyebabkan gangguan motility saluran cerna, penurunan sintesis
antibody dan menganggu fungsi imun yang akan mempermudah pertumbuhan
bakteri pathogen.

Diare persisiten sering berhubungan atau bersamaan dengann intoleransi


laktosa dan protein susu sapi, tapi angka kejadian sebenarnya tidak
diketahui.4Intoleransi laktosa dan protein susu sapi dapat terjadi secara terpisah
atau bersamaan. Kedua keadaan ini muncul sekunder karena kerusakan mukosa
usus akibat infeksi, KEP atau reaksi alergi protein susu sapi atau protein lain.12(15)
Beberapa penelitian berbasis rumah sakit di India dan Brazil mendapatkan 28 – 64
% bayi KEP dengan diare persiten mengalami intoleransi laktosa dan 7 – 35 %
dengan intoleransi protein susu sapi.

Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks.


Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and
Nutrition (CAPGAN) menghasilkan suatu konsep pathogenesis diare kronis yang
menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun
non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu
kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali diare kronis
dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya

6
menggunakan salah stau istilah untuk menerangkan kedua jenis diare tersebut.
Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun,
kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi.
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah faktor intralumen dan faktor
mucosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen
termasuk gangguan pankreas, hepar, dan brush border membrane. Faktor mucosal
adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga
berhubungan dengan segala proses yang mengakibatkan perubahan integritas
membrane mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi transport protein.
Perubahan integritas membrane mukosa usus dapat disebabkan oleh proses akibat
infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapid an intoleransi laktosa.
Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukaran ion
Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.
Secara umum, patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas
oleh Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme, yakni:
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel
kripta akibat mediator intraseluler cAMP, cGMP, dan ca2+. Mediator tersebut
juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal
ini berakibat cairang tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran
cairansecaramasif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda
khas yaotu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja sangat
cair, konsentrasi Ba= dan cl- > 70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian
makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana
bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang
telah disebutkan sebelumnya.
2. Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjasi kegagalan
proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrient dalam usus halus sehingga zat
tersebut akan langsung memasuki kolon. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tekanan osmotik di lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus.

7
Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga
pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak
dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan
penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan
absorbs nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi
laktosa. Absennya enzim lactase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non
infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa
terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak
terserap ini kemungkinan akan difermentasikan oleh mikroflora sehingga
terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas
yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan
penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.
3. Mutasi protein transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur
pertukaran ion Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus uleo-colon,
berdampak pada gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat
tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolic dan pengasaman isi usus
yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yangtinggi
di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan
ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion,
kelahiran premature dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah,
sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai
daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa,
Timur Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-,
didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+-protein pengangkut asam
empedu.
4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu
se[erti necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn, dan
lain-lain, diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudia
menyebabkan short bowel syndrome. Diare dengan pathogenesis ini ditandai

8
dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang masif, serta malabsorbsi makro dan
mikronutrien.
5. Perubahan pada gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti, malnutrisi, scleroderma,
obstruksi usus, dan diabetes mellitus mengakibatkan pertumbuhan bakteri
berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihanmenyebabkan dekonjugasi
garam empedu yang berdampak meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti
pada mekanisme diare sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus
terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf adrenergic, yang pada
kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan atau proabsortif cairan usus,
sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu terjadinya diare. 2,4

2.5 Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya diare persisten adalah usia penderita, karena diare
persisten ini umumnya terjadi pada tahun pertama kehidupan dimana pada saat itu
pertumbuhan dan pertambahan berat badan bayi berlangsung cepat. Berlanjutnya
paparan etiologi diare akut seperti infeksi Giardia yang tidak terdeteksi dan
infeksi shinggella yang resisten ganda terhadap antibiotik dan infeksi sekunder
karena munculnya C. Defficile akibat terapi antibiotika. Infeksi oleh mikro
organisme tertentu dapat menimbulkan bakteri tumbuh lampau yang
menyebabkan kerusakan mukosa usus karena hasil metaboliknya yang bersifak
toksik, sehingga terjadi gangguan penyerapan dan bakteri itu sendiri berkompetisi
mendapatkan mikronutrien. Gangguan gizi yang terjadi sebelum sakit akan
bertambah berat karena berkurangnya masukan selama diare dan bertambahnya
kebutuhan serta kehilangan nutrien melalui usus. Gangguan gizi tidak hanya
mencakup makronutrien tetapi juga mikronutrien seperti difisiensi Vitamin A dan
Zinc. Faktor resiko lain berupa pemberian jenis makanan baru dan menghentikan
pemberian makanan selama diare akut, menghentikan atau tidak memberikan ASI
sebelum dan selama diare akut dan pemberian PASI selama diare akut.

9
Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi
atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi
kontribusi utama terjadinya diare persistensi.
Faktor-faktor risiko terjadinya diare
persisten
Faktor bayi Bayi berusia < 12 bulan
Berat badan lahir rendah (<2500
gram0
Bayi atau anak dengan malnutirsi
Anak-anak dengan gangguan imunitas
Riwayat infeksi slauran nafas
Faktor maternal Ibu berusia muda dengan pengalaman
yang terbatas dalam merawat bayi
Tingkat pendidikan dan pengetahuan
ibu mengenai higienis, kesehatan dan
gizi, baik menyangkut ibu sendiri
ataupun bayi
Pengetahuan, sikap, dan perilaku
dalam pemberian ASI serta makanan
pendamping ASI

Pemberian susu pada bayi Pengenalan susu non-ASI


Penggunaan botol susu
Riwayat infeksi sebelumnya Riwayat diare akut dalam waktu dekat
(khususnya pada bayi < 12 bulan)
Riwayat diare persisten sebelumnya
Penggunaan obat sebelumnya Obat antidiare, karena berhubungan
dengan menurunnya motilitas
gastrointestinal
Antimikroba, termasuk antibiotic dan
anti-parasit 5,6,7

10
2.6 Manifestasi Klinis
Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih
banyak menunjukkan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform.
Selain itu, malnutrisi merupakan gambaran umum anak-anak dengan
diarepersisten. Studi kohort di Amerika menunjukkan bahwa gejala penurunan
nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam tinja, dan gejala-gejala flu,
lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare akut. Gejala lain
yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya. 8

2.7 Diagnosis Diare Persisten


Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten, meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis harus dapat menjelaskan perjalanan penyakit diare, antara lain saat
mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi penampakan konsistensi,
adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis), terjadinya
diare sesudah diberikan susu atau makanan tambahan, buah-buahan (defisiensi
sukrase-isomerase), hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah
(malrotasi), diare sesudah gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon
syndrome), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya (antibiotic associated
diarrhea)
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang cermat keadaan umum pasien, status dehidrasi,
pemeriksaan abdomen, ekskoriasi pada bokong, manifestasi kulit, juga penting
untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan berat
badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat badan, menilai kurva
pertumbuhan, dan sebagainya
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah

11
Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap,
elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12 folat, kalsium, feritin, laju
endap darah, dan protein C-reaktif.
b. Pemeriksaan tinja
i. Makroskopis : warna , konsistensi, adanya darah, lendit

ii. Mikroskopis :

1. Darah samar dan leukosit yang positif (>10/lpb) menunjukkan kemungkinan


adanya peradangan pada kolon bagian bawah.

2. pH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi


karbihidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada di
dalam kolon

3. Clinitest, untuk memeriksa adanya substansi reduksi dalam sample tinja yang
masih baru, yang menunjukkan adanya malabsorbsi karbohidrat

4. Breath hydrogen test digunakan untuk evaluasi malabsorbsi karbohidrat

5. Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak,
merupakan skrining yang cepat dan sederhana untuk menentukan adanya
malabsorbsi lemak

6. Biakan kuman dalam tinja untuk mendapat informasi tentang flora usus dan
kontaminasi

7. Pemeriksaan parasit (Giardia lamblia, cacing)


c. Pemeriksaan radiologi/endoskopi:
Pada saluran gastrointestinal membantu mengidentifikasi cacat bawaan
(malrotasi, stenosis) dan kelainan-kelainan seperti limfangiektasis, inflammatory
bowel disease, penyakit Hirschsprung, enterokolitis nekrotikans.

12
2.8 Tata Laksana

Nilai anak untuk tanda dehidrasi dan beri cairan sesuai Rencana Terapi B atau
Rencana Terapi C

13
14
Larutan oralit efektif bagi kebanyakan anak dengan diare persisten.
Namun demikian, pada sebagian kecil kasus, penyerapan glukosa terganggu dan
larutan oralit tidak efektif. Ketika diberi larutan oralit, volume BAB meningkat
dengan nyata, rasa haus meningkat, timbul tanda dehidrasi atau dehidrasi
memburuk dan tinja mengandung banyak glukosa yang tidak dapat diserap. Anak
ini memerlukan rehidrasi intravena sampai larutan oralit bisa diberikan tanpa
menyebabkan memburuknya diare.

Pengobatan rutin diare persisten dengan antibiotik tidak efektif dan tidak
boleh diberikan. Walaupun demikian pada anak yang mempunyai infeksi non
intestinal atau intestinal membutuhkan antibiotik khusus.

 Periksa setiap anak dengan diare persisten apakah menderita infeksi yang
tidak berhubungan dengan usus seperti pneumonia, sepsis, infeksi saluran
kencing, sariawan mulut dan otitis media. Jika ada, beri pengobatan yang
tepat.
 Beri pengobatan sesuai hasil kultur tinja (jika bisa dilakukan).
 Beri zat gizi mikro dan vitamin yang sesuai seperti pada bagian
selanjutnya.
 Obati diare persisten yang disertai darah dalam tinja dengan antibiotik oral
yang efektif untuk Shigella seperti yang diuraikan pada bagian 5.4.
 Berikan pengobatan untuk amubiasis (metronidazol oral: 50 mg/kg, dibagi
3 dosis, selama 5 hari) hanya jika:
o pemeriksaan mikroskopis dari tinja menunjukkan adanya trofozoit
Entamoeba histolytica dalam sel darah; ATAU
o dua antibiotik yang berbeda, yang biasanya efektif untuk shigella,
sudah diberikan dan tidak tampak adanya perbaikan klinis.
 Beri pengobatan untuk giardiasis (metronidazol: 50 mg/kg, dibagi 3 dosis,
selama 5 hari) jika kista atau trofosoit Giardia lamblia terlihat di tinja.
 Beri metronidazol 30 mg/kg dibagi 3 dosis, bila ditemukan Clostridium
defisil (atau tergantung hasil kultur). Jika ditemukan Klebsiela spesies atau

15
Escherichia coli patogen, antibiotik disesuaikan dengan hasil sensitivitas
dari kultur.

Pemberian Makan untuk Diare persisten

Perhatian khusus tentang pemberian makan sangat penting diberikan kepada


semua anak dengan diare persisten. ASI harus terus diberikan sesering mungkin
selama anak mau.

Diet Rumah Sakit

Anak-anak yang dirawat di rumah sakit memerlukan diet khusus sampai diare
mereka berkurang dan berat badan mereka bertambah. Tujuannya adalah untuk
memberikan asupan makan tiap hari sedikitnya 110 kalori/kg/hari.

Bayi berumur di bawah 6 bulan

 Semangati ibu untuk memberi ASI eksklusif. Bantu ibu yang tidak
memberi ASI eksklusif untuk memberi ASI eksklusif pada bayinya.
 Jika anak tidak mendapat ASI, beri susu pengganti yang sama sekali tidak
mengandung laktosa. Gunakan sendok atau cangkir, jangan gunakan botol
susu. Bila anak membaik, bantu ibu untuk menyusui kembali.
 Jika ibu tidak dapat memberi ASI karena mengidap HIV-positif, ibu harus
mendapatkan konseling yang tepat mengenai penggunaan susu pengganti
secara benar.

Anak berumur 6 bulan atau lebih

Pemberian makan harus dimulai kembali segera setelah anak bisa makan.
Makanan harus diberikan setidaknya 6 kali sehari untuk mencapai total asupan
makanan setidaknya 110 kalori/kg/hari. Walaupun demikian, sebagian besar anak
akan malas makan, sampai setiap infeksi serius telah diobati selama 24 – 48 jam.
9,10

16
BAB III
KESIMPULAN

1. Diare persisten didefinisikan sebagai berlanjutnya episode diare selama 14


hari atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah
(disentri)
2. Faktor resiko terjadinya diare persisten adalah usia penderita, karena diare
persisten ini umumnya terjadi pada tahun pertama kehidupan dimana pada
saat itu pertumbuhan dan pertambahan berat badan bayi berlangsung
cepat.
3. Gambaran Klinis Diare Persisten: BAB cair, gejala penurunan nafsu
makan, muntah, demam, adanya lendir dalam tinja, dan gejala-gejala flu,
4. Diagnosis Diare Persisten berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Adisasmito W. Juni 2007. Faktor Resiko Diare Pada Bayi dan Balita di
Indonesia: systematic review penelitian akademik bidang Kesehatan
Masyarakat. Makara Kesehatan.

2. Garnadi. 2000. Kumpulan Kasus Pediatri. Jakarta: MediaDIKA.

3. Giyantini. 2000. Faktor –Faktor yang Berhubungan dengan Diare pada


Balita di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur. [Thesis]. Depok:
Program Pasca Sarjana FKM Universitas Indonesia.
4. Hidayat. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan I. Jakarta: Salemba Medika.

5. Karyono. 2009. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pasien


Diare pada Anak di RSUD Majenang Kabupaten Cilacap Tahun 2008.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. Volume 5.

6. Mohammad. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Diare


Pada Bayi 0-11 Bulan Di Puskesmas Galesong Utara. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol 19. No 3. Juli 2006. ISSN 1411-6197 : 319-332.

7. Rahmadhani. 2013. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Angka


Kejadian Diare Akut pada Bayi Usia 0-1 tahun di Puskesmas Kuranji
Kota Padang. Jurnal KesehatanAndalas. Vol2. No 2.

8. Soebagyo. 2008, Diare Akut pada Anak. Surakarta: Universitas Sebelas


Maret Press.

9. Suharyono. 2008. Diare Akut Klinik dan Laboratorik. Jakarta: Rineka


Cipta.

18
10. Widjaja. 2004. Kesehatan Anak: Mengatasi Diare dan Keracunan Pada
Balita. Jakarta: Kawan Pustaka

19

Anda mungkin juga menyukai