Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK XVI

IDENTIFIKASI KELAINAN REFRAKSI DI MASYARAKAT


“SISTEM SENSORIS DAN INTEGUMENTUM”

Kelompok III
Pembimbing: dr. Hj. Hasmeinah, Sp. M

Hurait Hernando Hurairo (702014074)


Ghea Lingga Septiareni (702015025)
Elva Diana Miswandi (702015006)
Aulia Shawal (702015067)
Fadhila Anggarini (702015030)
Aprillia Sartika Sujirata (702015072)
Sri Nurheppi (702015003)
Mafazi Nataza Putra (702015034)
Yulia Rosa (702015057)
Okta Isvianty (702015088)
Dorratun Rezky (702015045)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2018

DAFTAR ISI

Halaman Cover......................................................................................................
Daftar Isi................................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Bab I : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................2
1.3 Tujuan.........................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum.....................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus.....................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................3
Bab II : Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi Mata.............................................................................4
2.2 Fisiologi Mata............................................................................13
2.3 Kelainan Refraksi.......................................................................21
2.4 Lensa Bifokal.............................................................................27
Bab III : Metodologi Penelitian
3.1 Tempat Pelaksanaan ..................................................................28
3.2 Waktu Pelaksanaan.....................................................................28
3.3 Subjek Pelaksanaan....................................................................28
3.4 Alat dan Bahan...........................................................................28
3.5 Langkah Kerja............................................................................28
Bab IV : Hasil dan Pembahasan .....................................................................29
4.1 Hasil .........................................................................................29
4.2 Pembahasan ..............................................................................34
Bab V : Penutup ............................................................................................29
5.1 Kesimpulan .............................................................................37
5.2 Saran..........................................................................................37
Lampiran ...................................................................................................38
Daftar Pustaka ...................................................................................................40
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit, yang
memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang
dipantulkan objek. Mata terletak dalam struktur bertulang yang protektif di
tengkorak, yaitu rongga orbita. Setiap mata terdiri atas sebuah bola mata fibrosa
yang kuat untuk mempertahankan bentuknya, suatu sistem lensa untuk
memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan suatu sistem sel dan saraf
yang berfungsi mengumpulkan, memproses, dan meneruskan informasi visual ke
otak (Junqueira, 2007).
Refraksi adalah titik fokus jauh dasar (tanpa bantuan alat) yang bervariasi
di antara mata individu normal, tergantung bentuk bola mata dan korneanya. Mata
emetrop secara alami memiliki fokus yang optimal untuk penglihatan jauh. Mata
ametrop (yakni, mata miopia, hipermetropia, atau astigmatisma) memerlukan
lensa koreksi agar terfokus dengan baik untuk melihat jauh salah satunya yaitu
dengan menggunakan lensa bifokal (P. Riordan & Eva, 2010).
Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak
dibentuk tepat di retina, melainkan di bagian depan atau belakang bintik kuning
dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam
beberapa bentuk, yaitu: miopia, hiperopia, dan astigmatisma (Ilyas dan Sri, 2015).
Lensa bifokal adalah lensa yang terdiri dari dua bagian dan masing –
masing bagiannya mempunyai titik fokus serta kekuatan yang berbeda. Bagian
yang berisi ukuran untuk koreksi jauh disebut distance portion (DP), bagian yang
berisi ukuran untuk koreksi dekat disebut reading portion (RP). Kemudian
terdapat pula istilah yang disebut dengan reading addition (add) yang merupakan
kekuatan spheris positif yang ditambahkan pada ukuran jauhnya untuk
menghasilkan ukuran dekat atau baca (P. Riordan & Eva, 2010).
Pada kasus pengguna lensa bifokal ini mengarah pada salah satu tujuan
dari blok ini yaitu mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep penyakit
yang berkaitan dengan Sistem Sensorik dan Integumentum. Berdasarkan tujuan
blok tersebut, maka kami kelompok 3 bermaksud melakukan kegiatan Tugas
Pengenalan Profesi (TPP) dengan judul yaitu “Identifikasi Kelainan Refraksi di
Masyarakat”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa faktor resiko kelainan refraksi pada mata?
2. Bagaimana manifestasi klinik kelainan refraksi pada mata?
3. Bagaimana tatalaksana kelainan refraksi pada mata?
4. Bagaimana komplikasi kelainan refraksi pada mata ?

1.3 Tujuan Pelaksanaan


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memahami kasus kelainan refraksi di masyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui faktor resiko kelainan refraksi pada mata.
2. Untuk mengetahui manifestasi klinik kelainan refraksi pada
mata.
3. Untuk mengetahui tatalaksana kelainan refraksi pada mata.
4. Untuk mengetahui komplikasi kelainan refraksi pada mata.

1.4 Manfaat
1.4.1 Untuk Mahasiswa
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit kelainan
refraksi.
1.4.2 Untuk Staff Pengajar dan Profesi Khusunya Bidang Kesehatan
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit kelainan
refraksi.
2. Dapat menjadikan sebagai literature perbandingan dalam
pengajaran penyakit kelainan refraksi.

1.4.1 Untuk Masyarakat


1. Dapat menambah wawasan mengenai penyakit kelainan
refraksi.
2. Dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit
kelainan refraksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Mata
2.1.1 Palpebra
Palpebra melindungi mata dari cedera dan cahaya berlebihan.
Permukaan superfisialisnya ditutupi oleh kulit, dan permukaan dalamnya
ditutupi oleh membrane mukosa yang disebut konjungtiva palpebra. Bulu
mata terletak pada pinggir bebas palpebra. Glandula sebasea bermuara
langsung ke dalam folikel bulu mata. Glandula tarsalis adalah modifikasi dari
kelenjar sebasea yang panjang, yang mengalirkan sekretnya yang berminyak
ke pinggir palpebra; muaranya terdapat di belakang bulu mata (Snell, 2012).
Posisi palpebra pada waktu istirahat tergantung pada tonus
musculus orbicularis oculi dan musculus levator palpebrae superioris serta
posisi bola mata. Palpebra menutup oleh kontraksi musculus orbicularis oculi
dan relaksasi musculus levator palpebrae superioris. Mata dibuka oleh
kontraksi musculus levator palpebrae superioris yang mengangkat palpebra
superior. Pada waktu melihat ke atas, musculus levator palpebrae superioris
berkontraksi, dan palpebra superior bergerak bersama bola mata. Pada waktu
melihat ke bawah, kedua palpebra bergerak, palpebra superior terus menutupi
cornea bagian atas, dan palpebra inferior agak tertarik ke bawah oleh
conjunctiva yang melekat pada sclera dan palpebra inferior (Snell, 2012).

2.1.2 Apparatus Lacrimalis


Apparatus Lacrimalis terdiri dari glandula lacrimalis dan ductus
lakrimalis. Glandula lacrimalis terdiri atas pars orbitalis yang besar dan pars
palpebralis yang kecil, yang berhubungan satu dengan yang lain pada ujung
lateral aponeurosis musculus levator palpebraesuperioris. Glandula ini
terletak di atas bola mata, di bagian anterior dan superior orbita, posterior
terhadap septum orbitale. Kelenjar bermuara ke dalam bagian lateral fornix
superior glandula conjunctiva melalui 12 ductus (Snell, 2012).

2.1.3 Struktur Mata


Bola mata tertanam di dalam corpus adiposum orbitae, tetapi
dipisahkan dari corpus adiposum ini oleh selubung fascial bola mata. Bola
mata terdiri dari tiga lapisan, dari luar ke dalam adalah tunica fibrosa, tunica
vasculosa yang berpigmen, dan tunica nervosa (Snell, 2012).
A. Tunica Fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opak yaitu sklera,
dan bagian anterior yang transparan yaitu kornea.
 Sklera
Sklera yang opak terdiri dari jaringan fibrosa padat dan
berwarna putih. Di posterior, sklera ditembus oleh nervus
opticus dan menyatu dengan selubung dura nervus opticus.
Lamina cribrosa adalah daerah sklera yang ditembus oleh
serabut-serabut nervus opticus. Sklera juga ditembus oleh
arteri dan nervus ciliaris dan pembuluh venanya, yaitu venae
vorticosae. Ke arah depan sclera langsung beralih menjadi
kornea pada pertemuan sklera-kornea atau limbus (Snell,
2012).
 Kornea
Kornea merupakan bagian tunika fibrosa yang transparan,
tidak mengandung pembuluh darah, dan kaya akan ujung-
ujung serat saraf. Kornea berasal dari penonjolan tunika
fibrosa ke sebelah depan bola mata. Secara histologik kornea
terdiri atas 5 lapisan yaitu epitel kornea, membran Bowman,
stroma kornea, membran Descement, dan endotel kornea.
Kornea adalah avaskular dan sama sekali tidak mempunyai
aliran limfe. Kornea mendapatkan nutrisi dengan cara difusi
dari humor aqueus dan dari kapiler yang terdapat
dipinggirnya. Persarafannya berasal dari nervi ciliares longi
dari divisi ophthalmica nervus trigeminus (Snell, 2012).

B. Tunica Vasculosa
Tunica vasculosa dari belakang ke depan terdiri dari choroidea.
corpus ciliare, dan iris.
 Choroidea
Choroidea terdiri atas lapisan luar berpigmen dan lapisan
dalam yang sangat vascular.
 Corpus Ciliare
Corpus ciliare ke arah posterior dilanjutkan oleh choroidea,
dan ke anterior terletak di belakang batas perifer iris. Corpus
ciliare terdiri atas corona ciliaris, processus ciliarls, dan
musculus ciliaris.
 lris dan Pupil
Iris adalah diaphragma berpigmen yang tipis dan kontraktil
dengan lubang di tengahnya, yaitu pupil. Iris terletak di dalam
humor aquosus di antara kornea dan lensa. Pinggir iris melekat
pada permukaan anterior corpus ciliaris. Iris membagi ruang
antara lensa dan kornea menjadi kamera anterior dan kamera
posterior. Serabut-serabut otot iris bersifat involunter dan
terdiri dari serabut-serabut sirkular dan radial. Serabut-serabut
sirkular membentuk musculus sphincter pupillae dan tersusun
di sekitar pinggir pupil. Serabut-serabut radial membentuk
musculus dilator pupillae, yang merupakan lembaran tipis
serabut-serabut radial dan terletak dekat permukaan posterior.
Musculus sphincter pupillae disarafi oleh serabut parasimpatik
nervus oculomotodus. Setelah bersinaps di ganglion ciliare,
serabut-serabut posganglionik berjalan ke depan ke bola mata
di dalam nervi ciliares breves. Musculus dilatator pupiliae
disarafi oleh serabut simpatik, yang berjalan ke depan ke bola
mata di dalam nervi ciliares longi (Snell, 2012).

C. Tunica Nervosa: Retina


Retina terdiri dari pars pigmentosa di sebelah luar dan pars
nervosa di sebelah dalam. Permukaan luar berhubungan dengan
choroidea dan permukaan dalam berhubungan dengan corpus vitreum.
Bagian anterior retina bersifat bukan merupakan reseptor dan hanya
terdiri dari sel-sel berpigmen dengan lapisan epitel silindris di lapisan
dalam. Bagian anterior retina ini menutupi processus ciliaris dan
belakang iris. Pada pusat bagian posterior retina terdapat daerah
lonjong kekuningan, macula lutea, yang merupakan area retina
dengan daya lihat yang paling jelas. Ditengahnya terdapat lekukan,
disebut fovea centralis. Nervus opticus meninggalkan retina kira-kira
3 mm dari sisi medial macula lutea melalui discus nervi optici. Discus
nervi optici agak cekung pada bagian tengahnya, yaitu merupakan
tempat di mana nervus opticus ditembus oleh arteria centralis retinae.
Pada discus nervi optici tidak terdapat sel-sel batang dan kerucut,
sehingga tidak peka terhadap cahaya dan disebut sebagai bintik buta
(Snell, 2012).

2.1.4 Isi Bola Mata


A. Humor Aquosus
Humor aquosus adalah cairan bening yang mengisi camera
anterior dan camera posterior bulbi merupakan sekret dari
processus ciliaris, dari tempat ini mengalir ke camera posterior.
Kemudian humor aquosus mengalir ke dalam camera anterior
melalui pupil dan keluar melalui celah yang ada di angulus
iridocornealis masuk ke dalam sinus venosus sclerae (canal of
Schlemm). Hambatan aliran keluar humor aquosus
mengakibatkan peningkatan tekanan intraocular, disebut
glaucoma (Snell, 2012).

A. Corpus Vitreum
Corpus vitreum mengisi bola mata di belakang dan merupakan
gel yang transparan. Canalis hyaloideus adalah saluran sempit
yang berjalan melalui corpus vitreum dari discus nervi optici ke
permukaan posterior lensa (Snell, 2012).
B. Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks transparan yang dibungkus
oleh kapsul yang transparan. Terletak di belakang iris dan di
depan corpus vitreum, serta dikelilingi processus ciliaris.

Gambar 1. Anatomi Mata


(Snell, 2012)
2.1.5 Persarafan Orbita
A. Nervus Optikus
N. optikus masuk ke orbita melalui canalis optikus dari
fossa cranii media , disertai oleh arteri opthalmica, yang
terletak di sisi lateral bawahnya. Saraf ini dikelilingi oleh
selubung piameter, aracnoideamater, dan duramater. Berjalan
ke depandan lateral di dalam kerucut mm.recti dan menembus
sklera pada suatu titik di medial polus posterior bola mata
(Snell, 2012).
B. Nervus Lakrimalis
N. lakrimalis dipercabangkan dari divisi ophthalmica
n.trigeminus pada dinding lateral sinus cavernosus. Saraf ini
halus dan masuk ke orbita melaluibagian atas fisura orbitalis
superior. Berjalan ke depan sepanjang pinggir atas m.rectus
lateralis. Saraf ini bergabung dengan cabang n.
zigomaticotemporalis. N. lacrimalis berakhir dengan
mempersarafi kulit bagian lateral palpebra superior (Snell,
2012).
C. Nervus Frontalis
N. frontalis dipercabangkan dari divisi opthalmica
n.trigeminus pada dinding lateral sinus cavernosus. Masuk ke
orbita melalui bagian atas fisura orbitalis superior dan berjalan
ke depan pada permukaan superior m.levator palpebrae
superior, diantara otot ini dan atap orbita. Saraf ini bercabang
menjadi n.suprathoclearis dan n.supraorbitalis.
N.supratroclearis berjalan diatas trochlea untuk m.obliquus
superior dan melingkari pinggir atas orbita untuk mempersarafi
kulit dahi (Snell, 2012).
D. Nervus Trochlearis
N.trochlearis meninggalkan dinding lateral meninggalkan
dinding lateral sinus caveronsus dan masuk ke orbita melalui
bagian atas fissura orbitalis superior. Saraf tersebut berjalan
kedepan dan ke medial, melintasi origo m. Levator palpebrae
superior dan mempersarafi m. Obliquus superior (Snell, 2012).
E. N. Occulomotorius
Menurut Snell (2012), nervus occulomotorius terdiri dari :
 Ramus superior
 Ramus posterior
 Nervus abducens
 Nervus Nasociliaris

2.1.3 Otot Penggerak Bola Mata


Menurut Snell (2012), terdapat 6 otot pengerakan bola mata yaitu:
A. Musculus oblique inferior
Musculus ini mempunyai origo pada fosa lakrimal tulang
lakrimal. Berinsersi pada sklera posterior 2 mm dari kedudukan
makula, dipersarafi oleh saraf okulomotor, bekerja untuk
menggerakan mata ke arah abduksi dan eksiklotorsi.
B. Musculus oblique inferior
Musculus ini berorigo pada naulus zinn dan ala parva
tulang sfenoid di atas formaen optikus. Musculus ini dipersarafi
oleh N.IV atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal
susunan saraf pusat. Musculus ini mempunyai aksi pergerakan
miring dari troklea pada bola mata dengan kerja utama terjadi
bila sumbu aksi dan sumbu penglihatan searah atau mata
melihat ke arah nasal. Berfungsi menggerakan bola mata untuk
depresi terutama bila mata melihat ke nasal.
C. Musculus Rektus inferior
Mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik
inferior dan bola mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang
limbus yang pada persil dengan oblik inferior diikat kuat oleh
ligamen lockwood. Rektus inferior dipersarafi oleh n. III.
Rektus inferior membentuk sudut 23 derajat dengan sumbu
penglihatan.Fungsi menggerakkan mata: depresi (gerak
primer), eksoklotorsi (gerak sekunder), aduksi (gerak
sekunder).
D. Musculus Rektus Lateral
Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas
dan di bawah foramen optik. Rektus lateral dipersarafi oleh N.
VI dengan fungsi untuk menggerakan mata terutama abduksi.

E. Musculus Rektus Medius


Rektus medius merupakan otot mata yang paling tebal
dengan tendon terpendek. Menggerakan mata untuk aduksi
(gerak primer).

Gambar 2. Otot penggerak bola mata


(Snell, 2012)

2.1.3 Vaskularisasi
A. Arteri ophthalmica
Arteri ophthalmica adalah cabang dari a.carotis interna
setelah pembuluh ini keluar dari sinus cavernosus. Arteri ini
berjalan ke depan melalui canalis optikus bersama nervus
optikus. Pumbuluh ini berjalan di depan dan laterak dari
n.optikus, kemudian menyilang di atasnya untuk sampai ke
dinding medial orbita. Kemudian arteri ini memberikan banyak
cabang dan sebagian cabang-cabang megikuti saraf-saraf di
dalam orbita. Cabang-cabangnya :
 A. centralis retinae
 Rami muscularis
 Aa.ciliaris
 A.lacrimalis
 A.supratrochlearis dan a.supraorbitalis

B. Vena-vena ophthalmica
V.ophthalmica superior berhubungan di depan dengan
v.facialis. Vena ophthalmica inferior berhubungan melalui fissura
orbitalis inferior dengan plexus venosus pterygoideus. Kedua vena
ini berjalan ke belakang melalui fissura orbitalis dan bermuara ke
dalam sinus cavernosus (Snell, 2012).

Gambar 3. Vaskularisasi mata


(Snell, 2012)

2.2. Fisiologi Mata


Mata secara optik dapat disamakan dengan sebuah kamera fotografi biasa.
Mata mempunyai sistem lensa, diafragma yang dapat berubah-ubah (pupil), dan
retina yang dapat disamakan dengan film. Sistem lensa mata terdiri atas empat
perbatasan refraksi: (1) perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara,
(2) perbatasan antara permukaan posterior kornea dan humor aqueous, (3)
perbatasan antara humor aqueous dan permukaan anterior lensa mata , dan (4)
perbatasan antara permukaan posterior lensa dan humor vitreous. Indeks internal
udara adalah kornea, humor aqueous, lensa kristalina, dan humor vitreous
(Guyton, 2014).
2.2.1 Pembentukan Bayangan di Retina
Sama seperti pembentukan bayangan oleh lensa kaca pada secarik kertas,
sistem lensa mata juga dapat membentuk bayangan di retina. Bayangan ini
terbalik dibandingkan bendanya. Namun demikian, persepsi otak terhadap
orientasi terbalik di retina, karena otak sudah dilatih menangkap bayangan
yang terbalik itu sebagai keadaan normal (Guyton, 2014).
2.2.2 Mekanisme Akomodasi
Menurut Guyton (2014), pada anak-anak daya bias lensa mata dapat
ditingkatkan dari 20 dioptri menjadi kira-kira 34 dioptri. Ini berarti terjadi
akomodasi sebesar 14 dioptri. Untuk itu bentuk lensa diubah dari yang
tadinya konveks-sedang menjadi lensa yang sangat konveks. Pada orang
muda, lensa terdiri atas kapsul elastis yang kuat yang berisi cairan kental
yang mengandung banyak protein namun transparan. Bila berada dalam
keadaan relaksasi tanpa tarikan terhadap kapsulnya, lensa akan berbentuk
hampir sferis, terutama akibat retraksi elastis kapsul lensa.namun terdapat
kira-kira 70 ligamentum suspensorium yang melekat di sekeliling lensa
secara radial, menarik tepi lensa ke arah lingkar luar bola mata. Ligamen ini
secara konstan diregangkan oleh pelakatnya pada tepi anterior koroid dan
retina. Regangan pada ligamen ini menyebabkan lensa tetap relatif datar
dalam keadaan mata istirahat (Guyton, 2014).
Walaupun demikian, di tempat pelekatan lateral ligamen lensa pada bola
mata juga terdapat otot siliaris, yang memiliki dua set serat otot polos yang
terpisah yaitu serat meridional dan serat sirkular. Serat meridional
membentang dari ujung perifer ligamen suspensorium sampai peralihan
kornea-sklera. Bila serta otot ini berkontraksi, insersi perifer dari ligamen
lensa tadi akan tertarik ke medial ke arah tepi kornea, sehingga mengurangi
reegangan ligamen terhadap lensa. Serat sirkular tersusun melingkar
mengelilimgi pelekatan ligamen, sehingga pada waktu berkontraksi terjadi
gerak seperti sfingter, mengurangi diameter lingkaran pelekatan ligamen hal
ini juga menyebabkan tarikan ligamen terhadap kapsul lensa berkurang. Jadi,
kontraksi salah satu set serat otot polos dalam otot siliaris akan
mengendurkan ligamen kapsul lensa, dan lensa akan berbentuk lebih
cembung, seperti balon akibat sifat elastisitas alami kapsul lensa (Guyton,
2014).
Akomodasi diatur oleh saraf parasimpatis. Otot siliaris hampir seluruhnya
diatur oleh sinyal saraf parasimpatis yang dihantarkan ke mata melalui saraf
kranialis III dan nukleus saraf III pada batang otak. Perangsanagn saraf
parasimpatis menimbulkan kontraksi kedua set serat otot siliaris yang akan
mengendurkan ligamen lensa sehingga menyebabkan lensa menjadi lebih
tebal dan meningkatkan daya biasnya. Dengan meningkatkan daya bias mata
mampu melihat objek lebih dekat dibanding sewaktu daya biasnya rendah.
Akibatnya dengan mendekatnya objek ke arah mata, jumlah impuls
parasimpatis yang sampai ke otot siliaris harus ditingkatkan secara progresif
agar objek tetap dapat dilihat dengan jelas (Guyton, 2014).
Dengan meningkatnya usia, lensa semakin besar dan dan menebal serta
menjadi kurang elastis, sebagian disebabkan oleh denaturasi progresif protein
lensa. Kemampuan lensa untuk berubah bentuk akan berkurang seiring
dengan bertambahnya usia. Daya akomodasi berkurang dari 14 dioptri pada
usia anak-anak menjadi kurang dari 2 dioptri pada saat kita mencapai usia 45
sampai 50 tahun kemudian daya akomodasi berkurang menjadi 0 dioptri pada
usia 70 tahun. Sesudah itu dapat dikatakan lensa hampir sama sekali tidak
dapat berakomodasi dan keadaan itu disebut presbiopi (Guyton, 2014).
Segera setelah mencapai keadaan presbiopi mata akan terfokus secara
pemanen pada suatu jarak yang konstan. Jarak ini bergantung pada keadaan
fisik mata orang tersebut. Mata tidak dapat lagi berakomodasi untuk
penglihatan dekat maupun jauh dengan jelas. Seorang tua harus memakai
kacamat bifokus, bagian atas untuk penglihatan jauh dan bagian bawah untuk
penglihatan dekat (Guyton, 2014).

2.2.3 Tajam Penglihatan atau Visus


Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab
kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam
penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata.
Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu
Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diatur dengan
menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari) ataupun proyeksi
sinar. Untuk besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan rincian
benda ditentukan dengan kemampuan melihat benda terkecil yang masih
dapat dilihat pada jarak tertentu (Ilyas dan Sri, 2015).
Kemampuan mata melihat benda atau secara rinci sebuah objek secara
kuantitatif ditentukan dengan 2 cara:
a. Sebanding dengan sudut resolusi minimum (dalam busur menit). Ini
merupakan tajam penglihatan resolusi. Disebut juga resolusi
minimum tajam penglihatan.
b. Dengan fraksi Snellen. Ini ditentukan dengan mempergunakan huruf
atau cincin Landolt atau objek ekuivalen lainnya.

Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat


kemampuan mata membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku
untuk kartu. Hasilnya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk
penglihatan normal. Pada keadaan ini mata dapat melihat huruf pada jarak 20
kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut (Ilyas dan Sri, 2015).
Tajam penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau
201/15 atau 20/20 kaki). Tajam penglihatan maksimum berada di daerah
fovea, sedangkan beberapa faktor seperti penerangan umum, kontras, berbagai
uji warna, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam
penglihatan (Ilyas dan Sri, 2015).
Tajam perifer merupakan penglihatan tepi yang dilaksanakan terutama
oleh sel batang yang menempati retina bagian perifer. Tajam penglihatan
perifer merupakan kemampuan menangkap adanya benda, gerakan, atau
warna diluar garis langsung penglihatan (Ilyas dan Sri, 2015).
2.2.4 Tajam Penglihatan Binokular Tunggal
Kemampuan melihat dengan kedua mata serentak untuk memfokuskan
sebuah benda dan terjadinya fusi dari kedua bayangan yang menjadi
bentuknya di dalam ruang. Diharapkan dengan ini melihat dengan kedua
mata serentak tanpa keluhan diplopia. Dengan penglihatan binokular
dimungkinkan untuk menetukan kedalaman benda yang dilihat, yang
disebabkan adanya disparitas ringan antara kedua mata. Penglihatan
binokular dapat dilihat bagian benda yang tertutup pada satu mata tetapi akan
dapat dilihat oleh mata lain sehingga terdapat kesan penglihatan stereoskopik.
Untuk setiap titik retina pada satu mata terdapat titik yang sekoresponden
pada mata lainnya yang akan memberikan bayangan satu benda tunggal bila
dilihat dengan kedua mata (Ilyas dan Sri, 2015).
Penglihatan malam merupakan kemampuan melihat di malam hari dengan
penerangan kurang. Penglihatan malam merupakan hasil fungsi mata
beradaptasi gelap dengan melakukan dilatasi pupil, bertambahnya visual
purple dan menurunnya ambang intesnsitas (Ilyas dan Sri, 2015).

2.2.5 Pemeriksaan Visus Satu Mata


Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan
kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam
penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya. Dengan
gambar kartu Snellen ditentukan tajam penglihatan dimana mata hanya dapat
membedakan 2 titik tersebut membentuk sudut 1 menit. Satu huruf hanya
dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut 5 menit dan setiap bagian
dipisahkan dengan sudut 1 menit. Makin jauh huruf harus terlihat, maka
makin besar huruf tersebut harus dibuat karena sudut yang dibentuk harus
tetap 5 menit (Ilyas dan Sri, 2015).
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 atau 6
meter, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan
beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan
dipakai kartu baku atau standar misalnya kartu baca Snellen yang setiap
hurufnya membentuk sudut 5 menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada
baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 60
meter dan pada baris tanda 30 berarti huruf tersebut membentuk sudut 5
menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf yang
membentuk sudut 5 menit pada jarak 6 meter sehingga huruf ini pada orang
normal akan dapat dilihat dengan jelas (Ilyas dan Sri, 2015).
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau
kemampuan melihat seseorang, seperti:
 Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada
jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat
pada jarak 6 meter.
 Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang
menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
 Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang
menunjukkan angka 50, berati tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
 Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada
jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat
pada jarak 60 meter.
 Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen
maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang
normal pada jarak 60 meter.
 Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60.
 Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai
1/60 yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
 Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam
penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal
dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter.
Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1 meter,
berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.
 Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan
tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai
tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada
jarak tidak terhingga.
 Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka
dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total.

Hal diatas dapat dilakukam pada orang yang telah dewasa atau dapat
berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan
tersebut. Untuk mengetahui sama atau tidaknya ketajaman penglihatan kedua
mata akan dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu
mata ditutup akan menimbulkan reaksi yang ebrbeda pada sikap anak, yang
berarti ia sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik
dibanding dengan mata lainnya (Ilyas dan Sri, 2015).
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat
kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole
penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan refraksi ada kelainan
refraksi yang masih dapat dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan
berkurang dengan diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan
organik atau kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan
menurun (Ilyas dan Sri, 2015).
Menurut Ilyas dan Sri (2015), pada seseorang yang terganggu
akomodasinya atau adanya presbiopi, maka apabila melihat benda yang
sedikit didekatkan akan terlihat buram. Sebaiknya diketahui bahwa:
1. Bila dipakai huruf tunggal pada uji tajam penglihatan maka penderita
ambliopia akan mempunyai tajam penglihatan huruf tunggal lebih
baik diabndingkan memakai huruf ganda.
2. Huruf pada satu baris tidak sama mudahnya terbaca karena
bentuknya kadang-kadang sulit dibaca seperti huruf T dan W.
3. Pemeriksaan tajam penglihatan mata anak jangan sampai terlalu
melelahkan mata anak.
4. Gangguan lapang pandang dapat memberikan gangguan penglihatan
pada satu sisi pembacaan uji baca.
5. Tajam penglihatan dengan kedua mata akan lebih baik dibanding
dengan membaca dengan satu mata.
6. Amati pasien selama pemeriksaan.

Pada tabel dibawah ini terlihat tajam penglihatan yang dinyatakan


dalam sistem desimal, Snellen dalam meter dan kaki.

Tabel 1 Rekaman tabel tajam penglihatan


Snellen 6 mm 20 kaki Sistem desimal
6/6 20/20 1.0
5/6 20/25 0.8
6/9 20/30 0.7
5/9 15/25 0.6
6/12 20/40 0.5
5/12 20/50 0.4
6/18 20/70 0.3
6/60 20/200 0.1
(Ilyas dan Sri, 2015)
2.3. Kelainan Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media pengelihatan yang
terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal susunan pembiasan oleh media pengelihatan dan
panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah
melewati media pengelihatan dibiaskan tepat didaerah macula lutea. Mata
yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan
bayangan benda tepat di depan retinanya pada keadaan mata istirahat (Ilyas
dan Sri, 2015).
Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak
dibentuk tepat di retina, melainkan di bagian depan atau belakang bintik
kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal
dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia, hiperopia, dan astigmatisma, dan
presbiopi (Ilyas dan Sri, 2015).
2.3.1 Hiperopia
Hiperopia adalah keadaan mata tak berakomodasi yang
memfokuskan bayangan di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan
oleh berkurangnya panjang sumbu (hiperopia aksial), seperti yang
terjadi pada kelainan kongenital tertentu, atau menurunnya indeks
refraksi (hiperopia refraktif), seperti pada afakia. Jika hiperopianya
tidak terlalu berat, orang yang berusia muda dapat memperoleh
bayangan objek jauh yang tajam dengan melakukan akomodasi, seperti
yang dilakukan mata normal sewaktu membaca. Orang hiperopia yang
berusia muda juga dapat membentuk bayangan tajam dari objek dekat
dengan melakukan akomodasi lebih banyak atau jauh lebih banyak
daripada orang tanpa hiperopia. Usaha tambahan ini dapat
menyebabkan kelelahan mata yang tebih parah pada pekerjaan-
pekerjaan yang memerlukan ketelitian penglihatan (P. Riordan & Eva,
2010).
Derajat hiperopia yang mungkin diidap seseorang tanpa
menimbulkan gejala bervariasi. Namun, derajat tersebut berkurang
seiring usia karena meningkatnya presbiopia (penurunan kemampuan
berakomodasi). Hiperopia tiga dioptri rnungkin dapat ditoleransi oleh
seorang remaja, tetapi pada usia yang lebih lanjut mungkin
memerlukan kacamata walaupun hiperopianya tidak meningkat.
Apabila hiperopianya terlalu tinggi, mata mungkin tidak mampu
mengoreksi bayangan dengan akomodasi. Hiperopia yang tidak dapat
dikoreksi oleh akomodasi disebut hiperopia manifes. Hal ini
merupakan salah satu penyebab ambliopia deprivasi pada anak-anak
dan dapat bilateral. Terdapat korelasi refleks antara akomodasi dan
konvergensi kedua mata. Dengan demikian, hiperopia sering menjadi
penyebab esotropia (crossed eyes) dan ambliopia monocular (P.
Riordan & Eva, 2010).
Seperti dijelaskan di atas, seseorang yang presbiopik dengan
hiperopia mungkin dapat memperoleh bayangan yang jelas di retina
dengan melakukan akomodasi. Derajat hiperopia yang diatasi oleh
akomodasi disebut sebagai hiperopia laten. Namun seiring dengan
datangnya presbiopia, pasien hiperopia mula-mula akan menemui
kesulitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan penglihatan
dekat dan pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan
nonhiperopia. Akhirnya, orang yang hiperopia mengalami kekaburan
penglihatan untuk objek dekat dan jauh dan memerlukan kacamata
untuk penglihatan dekat dan jauh (P. Riordan & Eva, 2010).

2.3.2 Miopia
Menurut Ilyas dan Sri (2015), miopia atau rabun jauh merupakan
kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki mata
tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Pada
miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Dikenal beberapa
bentuk miopia seperti:
a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan
seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi
lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan
miopia bias atau miopia indeks, miopia yang terjadi akibat
pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata,
dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal.

Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam:


a. Miopia ringan, dimana miopia kecil dari pada1-3 dioptri
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6
dioptri

Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:


a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia
dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata
c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan
miopiapernisosa= miopia maligna= miopia degenerative

Miopia degenerative atau miopia maligna biasanya bila miopia


lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan pada
panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang
terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina.
Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sclera dan
kadang kadang terjadi rupture membrane Bruch yang dapat
menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina.
Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa biperplasi pigmen epitel
dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan
terjadi degenerasi papil saraf optik (Ilyas dan Sri, 2015).
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila melihat
sedangkan melihat jauh, buram atau disebut pasien adalah rabun jauh.
Selain itu, pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit
kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit.
Seseorang miopia mempunyai kebiasaan menyipitkan matanya untuk
mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang
kecil). Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat
sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan
menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini
menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esoptropia
(Ilyas dan Sri, 2015).
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu
gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata
miopia, sclera oleh koroid. Pada mata dengan miopia tinggi akan
terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi macula dan
degenerasi retina bagian perifer (Ilyas dan Sri, 2015).
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kaca
mata sferis negative terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan
maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.0
memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S-
3.25, maka sebaiknya diberikan lensa koreksi -3.0 agar untuk
memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi (Ilyas dan
Sri, 2015).
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah
terjadinya ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia atau juling
ke dalam akibat mata berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat
juling keluar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat
ambliopia (Ilyas dan Sri, 2015).

2.3.3 Presbiopia
Menurut Ilyas dan Sri (2015), presbiopi merupakan salah satu
bentuk kelainan refraksi yang terjadi pada usia lanjut. Presbiopi dapat
terjadi akibat :
a. kelemahan otot akomodasi
b. lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat
sklerosis lensa.

Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih


dari dari 40 tahun akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu
berupa mata lelah, berair dan sering terasa pedas.
Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk
membaca dekat yang berkekuatan tertentu, biasanya :
1. S+ 1.00 D untuk usia 40 tahun
2. S+ 1.50 D untuk usia 45 tahun
3. S+ 2.00 D untuk usia 50 tahun
4. S+2.50 D untuk usia 55 tahun
5. S+ 3.00 D untuk usia 60 tahun

Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi S+ 3.00 dioptri


adalah lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada
keadaan ini mata tidak melakukan akomodasi bila membaca jarak 33
cm, karena benda yang dibaca terletak pada titik api lensa + 3.00
dioptri sehingga sinar yang keluar akan sejajar. Pemeriksaan adisi
untuk membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan jarak kerja pasien
pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka-
angka diatas tidak merupakan angkja yang tetap (Ilyas dan Sri, 2015).

2.3.4 Astigmatisme
Pada astigmatisme, mata menghasilkan suatu bayangan dengan
titik atau garis fokus multipel. Pada astigmatisne regular, terdapat dua
meridian utama, dengan orientasi dan kekuatan konstan di sepanjang
lubang pupil sehingga terbentuk dua garis fokus. Selanjutnya,
astigmatisme didefinisikan berdasarkan posisi garis-garis fokus ini
terhadap retina. Apabila meridian-meridian utamanya saling tegak
lurus dan sumbu-sumbunya terletak di dalam 20 derajat horizontal dan
vertikal, astigmatismenya dibagi lagi menjadi astigmatism with the
rule, dengan daya bias yang lebih besar terletak di meridian vertikal;
dan astigmatism against the rule, dengan daya bias yang lebih besar
terletak di meridian horizontal. Astigmatism with the rule lebih sering
ditemukan pada pasien berusia muda dan astigmatism against the rule
lebih sering pada orangtua (P. Riordan & Eva, 2010).
Astigmatisme oblik adalah astigmatisme regular yang meridian-
meridian utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan
vertikal. Pada astigmatisme iregular, daya atau orientasi meridian-
meridian utamanya berubah di sepanjang lubang pupil (P. Riordan &
Eva, 2010).
Penyebab umum astigmatisme adalah kelainan bentuk kornea.
Lensa kristalina juga dapat berperan. Dalam terminologi lensa kontak,
astigmatisme lentikular disebut astigmatisme residual karena tidak
dapat dikoreksi dengan lensa kontak sferis yang keras, yang dapat
mengoreksi astigmatisme kornea. Kelainan astigmatisme dapat
dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali dikombinasi dengan lensa
sferis. Karena otak mampu beradaptasi terhadap distorsi penglihatan
yang disebabkan oleh kelainan astigmatisme yang tidak terkoreksi,
kacamata baru yang memperbaiki kelainan dapat menyebabkan
disorientasi temporer, terutama akibat bayangan yang tampak miring
(P. Riordan & Eva, 2010).
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1. Tempat Pelaksanaan


Tugas pengenalan profesi Blok XVI kali ini dilaksanakan di Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

3.2. Waktu Pelaksanaan


Hari/ Tanggal : Kamis, 4 Januari 2018
Tempat : Ruang Latihan Keterampilan Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang

3.3. Subjek Pelaksanaan


Subjek pelaksanaan tugas pengenalan profesi Blok XVI adalah mahasiswa
yang menderita gangguan refraksi mata di Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.

3.4. Langkah Kerja


1. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi
2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi
3. Meminta surat jalan dari kampus untuk melaksanakan TPP
4. Mengidentifikasi kelainan refraksi di masyarakat
5. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu
kesimpulan
6. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi dari data yang sudah
didapatkan.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Saat melaksanakan kegiatan tugas pengenalan profesi (TPP) yang
dilaksanakan oleh kelompok TPP 3. Kami mendapatkan 3 orang pasien, yaitu
Nn. H, Nn. N, dan Nn. E.
I. Data Anamnesis Nn. H
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. H
Umur : 20 Th
Pekerjaan : Mahasiswa
B. Keluhan Utama
Nn. H mengalami keluhan sulit melihat dengan jelas pada bila
melihat dengan jarak jauh Nn. H merasa penglihatannya buram.
Keluhan sulit melihat secara jelas pada jarak jauh dirasakan pertama
kali pada tahun 2012.
C. Keluhan Tambahan
Nn H merasa sering sakit kepala.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Nn. H tidak memiliki riwayat penyakit.
E. Riwayat Pengobatan
Nn. H tidak pernah konsumsi obat-obatan jangka panjang,. Nn H
pernah memeriksa keadaan matanya di optik.
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah Nn.H mengalami keluhan sulit melihat jelas pada jarak dekat
dan Ibu Nn.H mengalami keluhan sulit melihat jelas pada jarak jauh.
G. Pola hidup dan Kebiasaan
Nn. H sejak kecil mempunyai kebiasaan sering main hp dan
membaca buku dengan posisi berbaring.

II. Data Anamnesis Nn. N


A. Identitas Pasien
Nama : Nn. N
Umur : 19 Th
Pekerjaan : Mahasiswa
B. Keluhan Utama
Nn. N mengalami keluhan sulit melihat dengan jelas bila melihat
dengan jarak jauh Nn. H merasa penglihatannya buram. Keluhan sulit
melihat secara jelas pada jarak jauh dirasakan pertama kali pada
tahun 2017.
C. Keluhan Tambahan
Nn N merasa sering sakit kepala dan matanya sering berair.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Nn. N tidak memiliki riwayat penyakit.
E. Riwayat Pengobatan
Nn. N tidak pernah konsumsi obat-obatan jangka panjang. Nn N
pernah memeriksa keadaan matanya di optik.
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Orangtua Nn.N tidak memiliki keluhan serupa.
G. Pola hidup dan Kebiasaan
Nn. N mempunyai kebiasaan sering main hp dan membaca buku
dengan posisi berbaring dan membaca dengan jarak dekat pada posisi
duduk.

III. Data Anamnesis Nn. E


A. Identitas Pasien
Nama : Nn. E
Umur : 20 Th
Pekerjaan : Mahasiswa
B. Keluhan Utama
Nn. E mengalami keluhan sulit melihat dengan jelas bila melihat
dengan jarak jauh Nn. H merasa penglihatannya buram. Keluhan sulit
melihat secara jelas pada jarak jauh dirasakan pertama kali pada
tahun 2012.
C. Keluhan Tambahan
Nn E merasa sering sakit kepala.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Nn. E tidak memiliki riwayat penyakit.
E. Riwayat Pengobatan
Nn. E tidak pernah konsumsi obat-obatan jangka panjang. Nn E
pernah memeriksa keadaan matanya di optik.
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Orangtua Nn. E tidak memiliki keluhan serupa.
H. Pola hidup dan Kebiasaan
Nn. E mempunyai kebiasaan sering main komputer terlalu lama dan
dengan posisi duduk jarak dekat, serta mempunyai kebiasaan sering
main hp dan membaca buku dengan posisi berbaring.

IV. Data Hasil Pemeriksaan


Pemeriksaan tajam penglihatan pada pasien dilakukan pada setiap mata
yang diperiksa terpisah. Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata
kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatat hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada jarak 20 kaki, karena pada
jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa
akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baca Snellen.

No Nama Visus Dasar Uji Koreksi Visus Akhir

VOD VOS Pinh VOD VOS VOD VOS


ole

1. H 16/200 16/200 + -2,50 -2,50 20/20 20/20

2. N 20/25 20/40 + -0,25 -0,50 20/20 20/20

3. E 13/200 13/200 + -3,00 -2,75 20/20 20/20

Interpretasi :
Pada pemeriksaan yang dilakukan pada oculi dextra pasien H, ia tidak
dapat melihat huruf yang paling besar pada snellen chart. Kemudian, saat
dilakukan pemeriksaan hitung jari yang dimulai dari jarak 20 kaki didapatkan
pasien dapat menghitung jari tersebut pada jarak 16 kaki. Hal ini
menunjukkan visus dasar pada oculi dextra pasien sebesar 16/200 yang
berarti pasien dapat menghitung jari tersebut pada jarak 16 kaki yang pada
orang normal dapat lakukan pada jarak 200 kaki. Sedangkan pada oculi
sinistra juga didapatkan visus dasarnya sebesar 16/200. Kemudian dengan
pemasangan pinhole pada oculi dextra maupun sinistra visus dasar pasien
menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
penurunan visus yang dialami pasien dikarenakan kelainan media refraksi
yang dapat dikoreksi dengan kaca mata. Pada saat dilakukan koreksi pasien
baru dapat membaca huruf baris kedua dari yang paling bawah pada snellen
chart (visus 20/20) dengan menggunakan lensa negatif 2,50 pada oculi
dextra maupun sinistra.
Pada pemeriksaan yang dilakukan pada oculi dextra pasien N, ia dapat
melihat huruf pada snellen chart sampai pada baris ketiga dari yang paling
bawah. Hal ini menunjukkan visus dasar oculi dextra pasien sebesar 20/25
yang berarti pasien dapat melihat huruf di snellen chart tersebut pada jarak 25
kaki yang orang normal dapat lakukan pada jarak 20 kaki. Sedangkan pada
oculi sinistra pasien dapat melihat huruf pada snellen chart sampai pada baris
kelima dari yang paling bawah. Hal ini menunjukkan visus dasar oculi
sinistranya sebesar 20/40 yang bearti pasien dapat melihat huruf di snellen
chart tersebut pada jarak 40 kaki yang orang normal dapat lakukan pada jarak
20 kaki. Kemudian dengan pemasangan pinhole pada oculi dextra maupun
sinistra visus dasar pasien menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Hal
ini menunjukkan bahwa penurunan visus yang dialami pasien dikarenakan
kelainan media refraksi yang dapat dikoreksi dengan kaca mata. Pada saat
dilakukan koreksi pada oculi dextra pasien baru dapat membaca huruf baris
kedua dari yang paling bawah pada snellen chart (visus 20/20) dengan
menggunakan lensa negatif 0,25 sedangkan pada oculi sinistra dengan
menggunakan lensa negatif 0,50.
Pada pemeriksaan yang dilakukan pada oculi dextra pasien E, ia tidak
dapat melihat huruf yang paling besar pada snellen chart. Kemudian, saat
dilakukan pemeriksaan hitung jari yang dimulai dari jarak 20 kaki didapatkan
pasien dapat menghitung jari tersebut pada jarak 13 kaki. Hal ini
menunjukkan visus dasar pada oculi dextra pasien sebesar 13/200 yang
berarti pasien dapat menghitung jari tersebut pada jarak 13 kaki yang pada
orang normal dapat lakukan pada jarak 200 kaki. Sedangkan pada oculi
sinistra juga didapatkan visus dasarnya sebesar 13/200. Kemudian dengan
pemasangan pinhole pada oculi dextra maupun sinistra visus dasar pasien
menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
penurunan visus yang dialami pasien dikarenakan kelainan media refraksi
yang dapat dikoreksi dengan kaca mata. Pada saat dilakukan koreksi pada
oculi dextra pasien baru dapat membaca huruf baris kedua dari yang paling
bawah pada snellen chart (visus 20/20) dengan menggunakan lensa negatif
3,00 sedangkan pada oculi sinistra dengan menggunakan lensa negatif 2,75.
4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara ketiga pasien memiliki keluhan yang sama


yaitu mengalami keluhan sulit melihat dengan jelas bila melihat dengan jarak
jauh. Ketiga pasien merasa penglihatannya buram. Hanya saja onset keluhan
yang dialami berbeda-beda. Ny. H dan Ny. E mengalami penurunan
penglihatan saat melihat jauh pada tahun 2012, sedangkan Ny. N mengalami
penurunan penglihatan saat melihat jauh pada tahun 2017. Berdasarkan teori
menurut Ilyas dan Sri (2015) kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan
dimana bayangan tidak dibentuk tepat di retina, melainkan di bagian depan
atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam.
Miopia atau rabun jauh merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar
sejajar yang memasuki mata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada
di depan retina sehingga pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas
bila melihat dekat sedangkan buram bila melihat jauh, atau disebut pasien
adalah rabun jauh.
Berdasarkan wawancara Nn N merasa sering sakit kepala dan matanya
sering berair, Nn. H dan Nn.E juga merasa sering sakit kepala. Berdasarkan
teori menurut Ilyas dan Sri (2015) pasien dengan miopia akan memberikan
keluhan sakit kepala.
Berdasarkan wawancara pada Nn H, anggota keluarga Nn H yaitu Ayah
Nn.H mengalami keluhan sulit melihat jelas pada jarak dekat dan Ibu Nn.H
mengalami keluhan sulit melihat jelas pada jarak jauh. Berdasarkan
wawancara pada Nn. N, orangtua Nn.N tidak memiliki keluhan serupa.
Berdasarkan wawancara orangtua Nn. E tidak memiliki keluhan serupa.
Berdasarkan teori terdapat dua pendapat yang menerangkan faktor resiko
terjadinya miopia, yaitu yang berhubungan dengan faktor herediter atau
keturunan dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi
miopia pada anak yang kedua orang tuanya menderita miopia adalah sebesar
33-60%. Pada anak yang salah satu orang tuanya menderita miopia,
prevalensinya adalah 23-40%. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa
anak yang kedua orang tuanya tidak menderita miopia, hanya 6-15% yang
menderita miopia (Drexler, 2008).
Berdasarkan wawancara dengan Nn H, Nn N. Kedua pasien mempunyai
kebiasaan sering main handphone, membaca buku dengan posisi berbaring
atau membaca dengan jarak terlalu dekat pada posisi duduk. Berdasarkan
wawancara dengan Nn. E mempunyai kebiasaan sering main komputer
terlalu lama dan dengan posisi duduk jarak dekat, serta mempunyai kebiasaan
sering main handphone dan membaca buku dengan posisi berbaring.
Berdasarkan teori kebiasaan seseorang ketika beraktivitas dalam jarak dekat,
seperti menghabiskan banyak waktu untuk membaca atau beraktivitas jarak
dekat tanpa diselingi dengan istirahat setelah 30- 40 menit serta jarak
beraktivitas dalam jarak dekat yang tidak proporsional, seperti jarak membaca
yang terlalu dekat ( kurang dari 30 cm) dan jarak menonton televisi yang
terlalu dekat (kurang dari 5 kali lebar televisi) juga menyebabkan upaya
akomodasi yang berlebihan ketika mata mencoba untuk memfokuskan objek
pada jarak yang dekat. Kondisi ini menyebabkan perubahan adiptif pada
kekuatan pembiasan dari lensa dan beberapa sistem yang berhubungan,
seperti tonus dari otot siliar menjadi hipertropi dan atropi, sehingga
menyebabkan seseorang menjadi miopia. Begitu juga halnya dengan
kebiasaan membaca atau menonton televisi dengan posisi tiduran. Kebiasaan
ini mengakibatkan meningkatnya tekanan intraokular pada bola mata. Apabila
terjadi peningkatan tekanan intaokular sebesar 10-20mmHg dapat
menyebabkan pemanjangan bola mata 23-39 µm, sehingga menyebabkan
seseorang menjadi miopia. Menurut Canadian (Association of Optometrists
(CAO), 2006) jarak menonton yang baik adalah 5 kali lebar layar televisi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tajam penglihatan dan koreksi tajam
penglihatan. Nn. H diberikan koreksi dengan VOD -2,50 dan VOS -2,50. Nn
N diberikan koreksi dengan VOD -0,25 dan VOS -0,50. Nn E diberikan
koreksi dengan VOD -3,00 dan VOS -2,75 dan semua pasien memberikan
respon tajam penglihatan 20/20. Berdasarkan teori pengobatan pasien dengan
miopia adalah dengan memberikan kaca mata sferis negative terkecil yang
memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien
dikoreksi dengan -3.00 memberikan tajam penglihatan 20/20, dan demikian
juga bila diberi S-3,25, maka sebaiknya diberikan lensa koreksi -3,00 agar
untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi (Ilyas dan
Sri, 2015).
Berdasarkan wawancara pada ketiga pasien tidak ada keluhan yang
mengarah kepada penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia
adalah terjadinya ablasi retina bahkan kebutaan. Berdasarkan teori kelainan
refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World Health
Organization (WHO) menyatakan 45 juta orang mengalami kebutaan di
seluruh dunia dan 135 juta dengan penurunan tajam penglihatan (low vision)
(Ilyas dan Sri, 2015).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Faktor resiko kelainan refraksi pada Nn H kemungkinan adalah faktor
genetik dan faktor gaya hidup, sedangkan faktor resiko kelainan refraksi
yang terjadi pada Nn N dan Nn E kemungkinan adalah faktor gaya hidup
yaitu berhubungan dengan kebiasaan beraktivitas melihat dalam jarak
dekat dan dalam posisi yang salah.
2. Manifestasi klinik kelainan refraksi pada mata adalah Nn H, Nn N dan Nn
E ialah tidak dapat melihat dengan jelas benda yang jauh.
3. Tatalaksana kelainan refraksi pada kelainan refraksi pada mata Nn H, Nn
N dan Nn E adalah koreksi dengan menggunakan lensa sferis negatif atau
lensa cekung .
4. Komplikasi kelainan refraksi pada mata Nn H, Nn N dan Nn E tidak ada.

5.2 Saran
Kepada pasien dengan kelainan refraksi dan pembaca hendaknya menjaga
kesehatan mata dengan mengatur posisi dan jarak ketika menggunakan
layar monitor dan saat membaca buku.
DAFTAR PUSTAKA

American Optometric Association (AOA). Optometric Clinical Practice


Guildeline : Care of the Patient with Myopia. St. Louis: American Optometric
Association. 2006. 1-70.
Beyer JE, Deborah PL. 2008. Refractive Errors Clinical Optics and Contact
Lenses
In Manual of Ocular Dignosis and Therapy sixth edition. Lippincott Williams
and Wilkins.
Guyton, A.C & Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 12. Jakarta:
Penerbit EGC. Hal 646-648.
Ilyas, S., dan Sri, R. 2015. Ilmu Penyakit Mata . Edisi Kelima. Jakarta: Balai
Penerbit
FKUI. Hal.63-79.
Junqueira LC, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar edisi 10. Jakarta : Penerbit EGC.
Khaw PT, Shah P, Elkington AR. 2005. Refractive Errors In ABC of Eyes Fourth
edition. London: BMJ Books.
Leydolt C. Findl O. dan Drexler W. Effect of Change in Intraocular Pressure on
Axial Eye Length and Lens Position. Eye. 2008. 22 : 657-61.
P. Riordan & Eva. 2010. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology 17 th Ed. The
McGraw-Hill Companies Inc.
Snell, Richard S. 2012. Anatomi Kedokteran untuk Mahasiswa. edisi 6. Jakarta:
Penerbit EGC.
LAMPIRAN
LAMPIRAN

38

Anda mungkin juga menyukai