Kelompok III
Pembimbing: dr. Hj. Hasmeinah, Sp. M
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2018
DAFTAR ISI
Halaman Cover......................................................................................................
Daftar Isi................................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Bab I : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................2
1.3 Tujuan.........................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum.....................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus.....................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................3
Bab II : Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi Mata.............................................................................4
2.2 Fisiologi Mata............................................................................13
2.3 Kelainan Refraksi.......................................................................21
2.4 Lensa Bifokal.............................................................................27
Bab III : Metodologi Penelitian
3.1 Tempat Pelaksanaan ..................................................................28
3.2 Waktu Pelaksanaan.....................................................................28
3.3 Subjek Pelaksanaan....................................................................28
3.4 Alat dan Bahan...........................................................................28
3.5 Langkah Kerja............................................................................28
Bab IV : Hasil dan Pembahasan .....................................................................29
4.1 Hasil .........................................................................................29
4.2 Pembahasan ..............................................................................34
Bab V : Penutup ............................................................................................29
5.1 Kesimpulan .............................................................................37
5.2 Saran..........................................................................................37
Lampiran ...................................................................................................38
Daftar Pustaka ...................................................................................................40
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
1.4.1 Untuk Mahasiswa
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit kelainan
refraksi.
1.4.2 Untuk Staff Pengajar dan Profesi Khusunya Bidang Kesehatan
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit kelainan
refraksi.
2. Dapat menjadikan sebagai literature perbandingan dalam
pengajaran penyakit kelainan refraksi.
B. Tunica Vasculosa
Tunica vasculosa dari belakang ke depan terdiri dari choroidea.
corpus ciliare, dan iris.
Choroidea
Choroidea terdiri atas lapisan luar berpigmen dan lapisan
dalam yang sangat vascular.
Corpus Ciliare
Corpus ciliare ke arah posterior dilanjutkan oleh choroidea,
dan ke anterior terletak di belakang batas perifer iris. Corpus
ciliare terdiri atas corona ciliaris, processus ciliarls, dan
musculus ciliaris.
lris dan Pupil
Iris adalah diaphragma berpigmen yang tipis dan kontraktil
dengan lubang di tengahnya, yaitu pupil. Iris terletak di dalam
humor aquosus di antara kornea dan lensa. Pinggir iris melekat
pada permukaan anterior corpus ciliaris. Iris membagi ruang
antara lensa dan kornea menjadi kamera anterior dan kamera
posterior. Serabut-serabut otot iris bersifat involunter dan
terdiri dari serabut-serabut sirkular dan radial. Serabut-serabut
sirkular membentuk musculus sphincter pupillae dan tersusun
di sekitar pinggir pupil. Serabut-serabut radial membentuk
musculus dilator pupillae, yang merupakan lembaran tipis
serabut-serabut radial dan terletak dekat permukaan posterior.
Musculus sphincter pupillae disarafi oleh serabut parasimpatik
nervus oculomotodus. Setelah bersinaps di ganglion ciliare,
serabut-serabut posganglionik berjalan ke depan ke bola mata
di dalam nervi ciliares breves. Musculus dilatator pupiliae
disarafi oleh serabut simpatik, yang berjalan ke depan ke bola
mata di dalam nervi ciliares longi (Snell, 2012).
A. Corpus Vitreum
Corpus vitreum mengisi bola mata di belakang dan merupakan
gel yang transparan. Canalis hyaloideus adalah saluran sempit
yang berjalan melalui corpus vitreum dari discus nervi optici ke
permukaan posterior lensa (Snell, 2012).
B. Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks transparan yang dibungkus
oleh kapsul yang transparan. Terletak di belakang iris dan di
depan corpus vitreum, serta dikelilingi processus ciliaris.
2.1.3 Vaskularisasi
A. Arteri ophthalmica
Arteri ophthalmica adalah cabang dari a.carotis interna
setelah pembuluh ini keluar dari sinus cavernosus. Arteri ini
berjalan ke depan melalui canalis optikus bersama nervus
optikus. Pumbuluh ini berjalan di depan dan laterak dari
n.optikus, kemudian menyilang di atasnya untuk sampai ke
dinding medial orbita. Kemudian arteri ini memberikan banyak
cabang dan sebagian cabang-cabang megikuti saraf-saraf di
dalam orbita. Cabang-cabangnya :
A. centralis retinae
Rami muscularis
Aa.ciliaris
A.lacrimalis
A.supratrochlearis dan a.supraorbitalis
B. Vena-vena ophthalmica
V.ophthalmica superior berhubungan di depan dengan
v.facialis. Vena ophthalmica inferior berhubungan melalui fissura
orbitalis inferior dengan plexus venosus pterygoideus. Kedua vena
ini berjalan ke belakang melalui fissura orbitalis dan bermuara ke
dalam sinus cavernosus (Snell, 2012).
Hal diatas dapat dilakukam pada orang yang telah dewasa atau dapat
berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan
tersebut. Untuk mengetahui sama atau tidaknya ketajaman penglihatan kedua
mata akan dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu
mata ditutup akan menimbulkan reaksi yang ebrbeda pada sikap anak, yang
berarti ia sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik
dibanding dengan mata lainnya (Ilyas dan Sri, 2015).
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat
kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole
penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan refraksi ada kelainan
refraksi yang masih dapat dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan
berkurang dengan diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan
organik atau kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan
menurun (Ilyas dan Sri, 2015).
Menurut Ilyas dan Sri (2015), pada seseorang yang terganggu
akomodasinya atau adanya presbiopi, maka apabila melihat benda yang
sedikit didekatkan akan terlihat buram. Sebaiknya diketahui bahwa:
1. Bila dipakai huruf tunggal pada uji tajam penglihatan maka penderita
ambliopia akan mempunyai tajam penglihatan huruf tunggal lebih
baik diabndingkan memakai huruf ganda.
2. Huruf pada satu baris tidak sama mudahnya terbaca karena
bentuknya kadang-kadang sulit dibaca seperti huruf T dan W.
3. Pemeriksaan tajam penglihatan mata anak jangan sampai terlalu
melelahkan mata anak.
4. Gangguan lapang pandang dapat memberikan gangguan penglihatan
pada satu sisi pembacaan uji baca.
5. Tajam penglihatan dengan kedua mata akan lebih baik dibanding
dengan membaca dengan satu mata.
6. Amati pasien selama pemeriksaan.
2.3.2 Miopia
Menurut Ilyas dan Sri (2015), miopia atau rabun jauh merupakan
kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki mata
tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Pada
miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Dikenal beberapa
bentuk miopia seperti:
a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan
seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi
lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan
miopia bias atau miopia indeks, miopia yang terjadi akibat
pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata,
dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal.
2.3.3 Presbiopia
Menurut Ilyas dan Sri (2015), presbiopi merupakan salah satu
bentuk kelainan refraksi yang terjadi pada usia lanjut. Presbiopi dapat
terjadi akibat :
a. kelemahan otot akomodasi
b. lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat
sklerosis lensa.
2.3.4 Astigmatisme
Pada astigmatisme, mata menghasilkan suatu bayangan dengan
titik atau garis fokus multipel. Pada astigmatisne regular, terdapat dua
meridian utama, dengan orientasi dan kekuatan konstan di sepanjang
lubang pupil sehingga terbentuk dua garis fokus. Selanjutnya,
astigmatisme didefinisikan berdasarkan posisi garis-garis fokus ini
terhadap retina. Apabila meridian-meridian utamanya saling tegak
lurus dan sumbu-sumbunya terletak di dalam 20 derajat horizontal dan
vertikal, astigmatismenya dibagi lagi menjadi astigmatism with the
rule, dengan daya bias yang lebih besar terletak di meridian vertikal;
dan astigmatism against the rule, dengan daya bias yang lebih besar
terletak di meridian horizontal. Astigmatism with the rule lebih sering
ditemukan pada pasien berusia muda dan astigmatism against the rule
lebih sering pada orangtua (P. Riordan & Eva, 2010).
Astigmatisme oblik adalah astigmatisme regular yang meridian-
meridian utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan
vertikal. Pada astigmatisme iregular, daya atau orientasi meridian-
meridian utamanya berubah di sepanjang lubang pupil (P. Riordan &
Eva, 2010).
Penyebab umum astigmatisme adalah kelainan bentuk kornea.
Lensa kristalina juga dapat berperan. Dalam terminologi lensa kontak,
astigmatisme lentikular disebut astigmatisme residual karena tidak
dapat dikoreksi dengan lensa kontak sferis yang keras, yang dapat
mengoreksi astigmatisme kornea. Kelainan astigmatisme dapat
dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali dikombinasi dengan lensa
sferis. Karena otak mampu beradaptasi terhadap distorsi penglihatan
yang disebabkan oleh kelainan astigmatisme yang tidak terkoreksi,
kacamata baru yang memperbaiki kelainan dapat menyebabkan
disorientasi temporer, terutama akibat bayangan yang tampak miring
(P. Riordan & Eva, 2010).
BAB III
METODE PELAKSANAAN
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Saat melaksanakan kegiatan tugas pengenalan profesi (TPP) yang
dilaksanakan oleh kelompok TPP 3. Kami mendapatkan 3 orang pasien, yaitu
Nn. H, Nn. N, dan Nn. E.
I. Data Anamnesis Nn. H
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. H
Umur : 20 Th
Pekerjaan : Mahasiswa
B. Keluhan Utama
Nn. H mengalami keluhan sulit melihat dengan jelas pada bila
melihat dengan jarak jauh Nn. H merasa penglihatannya buram.
Keluhan sulit melihat secara jelas pada jarak jauh dirasakan pertama
kali pada tahun 2012.
C. Keluhan Tambahan
Nn H merasa sering sakit kepala.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Nn. H tidak memiliki riwayat penyakit.
E. Riwayat Pengobatan
Nn. H tidak pernah konsumsi obat-obatan jangka panjang,. Nn H
pernah memeriksa keadaan matanya di optik.
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah Nn.H mengalami keluhan sulit melihat jelas pada jarak dekat
dan Ibu Nn.H mengalami keluhan sulit melihat jelas pada jarak jauh.
G. Pola hidup dan Kebiasaan
Nn. H sejak kecil mempunyai kebiasaan sering main hp dan
membaca buku dengan posisi berbaring.
Interpretasi :
Pada pemeriksaan yang dilakukan pada oculi dextra pasien H, ia tidak
dapat melihat huruf yang paling besar pada snellen chart. Kemudian, saat
dilakukan pemeriksaan hitung jari yang dimulai dari jarak 20 kaki didapatkan
pasien dapat menghitung jari tersebut pada jarak 16 kaki. Hal ini
menunjukkan visus dasar pada oculi dextra pasien sebesar 16/200 yang
berarti pasien dapat menghitung jari tersebut pada jarak 16 kaki yang pada
orang normal dapat lakukan pada jarak 200 kaki. Sedangkan pada oculi
sinistra juga didapatkan visus dasarnya sebesar 16/200. Kemudian dengan
pemasangan pinhole pada oculi dextra maupun sinistra visus dasar pasien
menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
penurunan visus yang dialami pasien dikarenakan kelainan media refraksi
yang dapat dikoreksi dengan kaca mata. Pada saat dilakukan koreksi pasien
baru dapat membaca huruf baris kedua dari yang paling bawah pada snellen
chart (visus 20/20) dengan menggunakan lensa negatif 2,50 pada oculi
dextra maupun sinistra.
Pada pemeriksaan yang dilakukan pada oculi dextra pasien N, ia dapat
melihat huruf pada snellen chart sampai pada baris ketiga dari yang paling
bawah. Hal ini menunjukkan visus dasar oculi dextra pasien sebesar 20/25
yang berarti pasien dapat melihat huruf di snellen chart tersebut pada jarak 25
kaki yang orang normal dapat lakukan pada jarak 20 kaki. Sedangkan pada
oculi sinistra pasien dapat melihat huruf pada snellen chart sampai pada baris
kelima dari yang paling bawah. Hal ini menunjukkan visus dasar oculi
sinistranya sebesar 20/40 yang bearti pasien dapat melihat huruf di snellen
chart tersebut pada jarak 40 kaki yang orang normal dapat lakukan pada jarak
20 kaki. Kemudian dengan pemasangan pinhole pada oculi dextra maupun
sinistra visus dasar pasien menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Hal
ini menunjukkan bahwa penurunan visus yang dialami pasien dikarenakan
kelainan media refraksi yang dapat dikoreksi dengan kaca mata. Pada saat
dilakukan koreksi pada oculi dextra pasien baru dapat membaca huruf baris
kedua dari yang paling bawah pada snellen chart (visus 20/20) dengan
menggunakan lensa negatif 0,25 sedangkan pada oculi sinistra dengan
menggunakan lensa negatif 0,50.
Pada pemeriksaan yang dilakukan pada oculi dextra pasien E, ia tidak
dapat melihat huruf yang paling besar pada snellen chart. Kemudian, saat
dilakukan pemeriksaan hitung jari yang dimulai dari jarak 20 kaki didapatkan
pasien dapat menghitung jari tersebut pada jarak 13 kaki. Hal ini
menunjukkan visus dasar pada oculi dextra pasien sebesar 13/200 yang
berarti pasien dapat menghitung jari tersebut pada jarak 13 kaki yang pada
orang normal dapat lakukan pada jarak 200 kaki. Sedangkan pada oculi
sinistra juga didapatkan visus dasarnya sebesar 13/200. Kemudian dengan
pemasangan pinhole pada oculi dextra maupun sinistra visus dasar pasien
menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
penurunan visus yang dialami pasien dikarenakan kelainan media refraksi
yang dapat dikoreksi dengan kaca mata. Pada saat dilakukan koreksi pada
oculi dextra pasien baru dapat membaca huruf baris kedua dari yang paling
bawah pada snellen chart (visus 20/20) dengan menggunakan lensa negatif
3,00 sedangkan pada oculi sinistra dengan menggunakan lensa negatif 2,75.
4.2 Pembahasan
5.2 Saran
Kepada pasien dengan kelainan refraksi dan pembaca hendaknya menjaga
kesehatan mata dengan mengatur posisi dan jarak ketika menggunakan
layar monitor dan saat membaca buku.
DAFTAR PUSTAKA
38