Anda di halaman 1dari 19

FISIOLOGI

SISTEM INDERA
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI PENGLIHATAN

Disusun Oleh :

Kelompok 4 Farmasi 2018 AC

Yusuf Nur Pradana (11151020000028)


Harry Rhamadhan (11181020000012)
Ratih Efriyanti (11181020000014)
Indah Setyawati (11181020000020)
Nisa Rahmah (11181020000021)
Salwa Fahiratunnisa (11181020000026)
Nabila Amelia Hartono (11181020000037)
Firdanissa Risanti Azhari (11181020000040)
Atina Munfarikhatin (11181020000043)
Putri Alifia Agustina (11181020000048)
Nurbaiti Apriyani (11181020000050)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JULI/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga setelah melalui proses yang panjang pada akhirnya
kami dapat menyelesaikan laporan praktikum fisiologi mengenai sistem
integumenpada manusia.Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas dan sebagai
hasil dari kegiatan selama melaksanan praktikum “Fisiologi Penglihatan” pada
mata kuliah Praktikum Anatomi dan Fisiologi Manusia.

Dalam membuat laporan praktikum ini kami dibantu dari beberapa pihak
(Dosen Tim penyusun dan fasilitator), baik dalam bentuk bimbingan, petunjuk
maupun fasilitas yang telah kami dapatkan. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu kami
dalam menyelesaikan laporan praktikum ini. Kami menyadari bahwa proses
penyusunan laporan praktikum ini merupakan pekerjaanyang tidak ringan
sehingga memungkinkan adanya kekurangan ataupun kesalahan baik
dalam penulisan maupun teorinya, maka kami meminta saran dan kritik dari
dosen dan pembaca agar tugas-tugas selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Tangerang Selatan, Juli 2019

Penyusun (Kelompok 4)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1

1.2 Tujuan Praktikum ............................................................................................................ 1

BAB II DASAR TEORI ........................................................................................................... 2

BAB III METODE KERJA..................................................................................................... 4

3.1 Alat dan Bahan .............................................................................................................. 4

3.2 Bahan ............................................................................................................................ 4

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 7

4.1 Hasil dan Pembahasan .................................................................................................. 7


4.1.1 Hasil Ketajaman Penglihatan (visus) .................................................................. 7
4.1.2 Hasil Refleks Pupil ............................................................................................. 8
4.1.3 Hasil Reaksi Melihat Jarak Dekat ....................................................................... 8

4.2 Jawaban Pertanyaan ...................................................................................................... 8

4.3 Pembahasan Refleks Pupil ............................................................................................ 11

4.4 Pembahasan Reaksi Melihat Dekat ............................................................................... 11

BAB V PENUTUP .................................................................................................................... 12

5.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 12

5.2 Saran ............................................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 13

LAMPIRAN .............................................................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata merupakan organ sensorik yang kompleks, yang mampu menangkap


informasi berupa gelombang elektromagnetik dalam bentuk cahaya. Pada awal
perkembangannya seperti hewan invertebrata, organ ini hanya berupa bintik
(spots) pada permukaan tubuh, yang sensitif terhadap cahaya. Dalam penataan
pengembangannya, mata mempunyai lapisan reseptor (retina), dan sistim lensa
untuk memfokuskan cahaya, dan sistim persarafan untuk menghantarkan impuls
dari reseptor ke sistim saraf pusat.
Keberadaan mata dilokasinya dan bentuk dari bola mata, menyebabkan
terbatasnya lapangan penglihatan. Kondisi sistim lensa yang ada, mempengaruhi
ketajaman penglihatan seseorang, begitu juga kemampuan refraksinya. Daerah
tempat bersatunya serabut akson saraf mata (nervus optikus) sebelum
meninggalkan mata, menggeser reseptor ke sekelilingnya, sehingga pada tempat
tersebut sama sekali tidak mengandung reseptor penglihatan. Keadaan ini
menyebabkan tempat tersebut tidak dapat menangkap sinyal cahaya, dan menjadi
wilayah kebutaan normal, yang disebut sebagai bintik buta.
Untuk mengatur jumlah cahaya yang masuk, mata dilengkapi dengan pupil
yang dapat melebar dan mengecil melalui kontraksi dan relaksasi otot siliaris.
Dan keberadaan reseptor penglihatan pada retina yang berlainan tugas, dan
masing – masing jenis hanya berespon terhadap cahaya dengan panjang
gelombang tertentu, menyebabkan bila terjadi gangguan pada reseptor tertentu,
akan mengakibatkan terjadinya buta warna.

1.2 Tujuan Praktikum

1. Melakukan pemeriksaan refraksi pada OP


2. Menetapkan visus seseorang dengan menggunakan optiti Snellen
3. Melihat ada atau tidak adanya kelainan refraksi pada OP
4. Memeriksa kemungkinan adanya astigmatisma pada OP menggunakan gambar
kipas Lancaster-Regan dan Keratoskop Placido
5. Memeriksa refleks pupil langsung dan tak langsung
6. Memahami peristiwa yang terjadi pada mata waktu melihat dekat

1
BAB II

DASAR TEORI

Visus (ketajaman penglihatan) adalah ukuran, berapa jauh, dan detail suatu benda
dapat tertangkap oleh mata sehingga visus dapat disebut sebagai fisiologi mata yang paling
penting. Ketajaman penglihatan didasarkan pada prinsip tentang adanya daya pisah
minimum yaitu jarak yang paling kecil antara 2 garis yang masih mungkin dipisahkan dan
dapat ditangkap sebagai 2 garis (Murtiati dkk, 2010).
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum
merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum
Remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik ini
merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata
istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak di depan mata (Ilyas, 2004 dalam Gita,
2009). Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan, dapat ditulis dengan rumus:

V = Visus
𝑑
V= d = Jarak Antara mata yang periksa dan opiti snellen
𝐷 D = Jarak baca mata emetrop pada baris yang masih dapat dibaca.

Secara klinik kelainan refraksi adalah akibat kerusakan ada akomodasi visual, entah
itu sebagai akibat perubahan biji mata, maupun kelainan pada lensa. Kelainan refraksi yang
sering dihadapi sehari-hari adalah miopia, hipermetropia, presbiopia, dan astigmatisma.
a) Miopi
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan
media refraksi terlalu kuat. Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat,
sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh. Seseorang miopia
mempunyai kebiasaan mengeryitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk
mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Miopia tampak
bersifat genetika, tetapi pengalaman penglihatan abnormal seperti kerja dekat berlebihan
dapat mempercepat perkembangannya. Cacat ini dapat dikoreksi dengan kacamata lensa
bikonkaf (lensa cekung), yang membuat sinar cahaya sejajar berdivergensi sedikit sebelum
ia mengenai mata (Ganong, 2002).
b) Hipermetropia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang
retina. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan
sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan
yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut
astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama
melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan estropia atau
juling ke dalam (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Cacat ini dapat dikoreksi dengan
menggunakan kacamata lensa cembung, yang membantu kekuatan refraksi mata dalam
memperpendek jarak fokus (Ganong, 2002)

2
c) Presbiopia
Presbiopia adalah gangguan akomodasi pada usia lanjut yang dapat terjadi akibat kelemahan
otot akomodasi dan lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis
lensa. Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, akan
memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair, dan sering terasa
pedas (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Keadaan ini dapat dikoreksi dengan memakai
kacamata lensa cembung (Ganong, 2002).
d) Astigmatisma
Kelainan refraksi karena kelengkungan kornea yang tidak teratur disebut astigmatisma. Pada
penderita astigmatisma, sistem optik yang astigmatismatik menimbulkan perbesaran atas
satu objek dalam berbagai arah yang berbeda. Satu titik cahaya yang coba difokuskan, akan
terlihat sebagai satu garis kabur yang panjang. Mata yang astigmatisma memiliki kornea
yang bulat telur, bukannya seperti kornea biasa yang bulat sferik. Kornea yang bulat telur
memiliki lengkung (meridian) yang tidak sama akan memfokus satu titik cahaya atau satu
objek pada dua tempat, jauh dan dekat. Lensa yang digunakan untuk mengatasi
astigmatisma adalah lensa silinder. Tetapi pada umumnya, di samping lensa silinder ini,
orang yang astigmatisma membutuhkan juga lensa sferik plus atau minus yang dipasang
sesuai dengan porosnya (Youngson, 1995 dalam Gita, 2009).

3
BAB III
METODE KERJA

3.1 Alat dan Bahan


1. Optiti Snellen
2. Mistar
3. Seperangkat lensa
4. Gambar kipas Lancaster-Regan
5. Keratoskop Placido
6. Senter

3.2 Prosedur Kerja


B. KETAJAMAN PENGLIHATAN (VISUS)
1. Suruh OP duduk menghadap optiti Snellen pada jarak 6 meter.
Jarak 6 meter adalah jarak terdekat untuk suatu objek yang masih dapat dilihat jelas
oleh mata normal, tanpa akomodasi
2. Pasangkan bingkai kacamata khusus dan tutup mata kirinya dengan kain hitam. Visus
dinyatakan dengan rumus : V = d/D (rumus Snellen), dimana V = visus; d = jarak
antara mata yang diperiksa dan optiti Snellen (= 6,1 m); D = jarak baca mata emetrop
pada baris huruf-huruf terkecil yang masih dapat dibaca oleh OP. Perbandingan d/D
sekali-kali tidak boleh disederhanakan, sehingga dari hasilnya selalu dapat diketahui,
cara pemeriksaan itu dilakukan. Jadi, misalnya visus mata kanan OP = 6/9 tidak boleh
disederhanakan menjadi 2/3. Apabila pada pemeriksaan tersebut orang percobaan
hanya mampu membaca lancar tanpa kesalahan sampai pada baris huruf yang ditandai
dengan angka 30 Ft (9,14 m), maka visus mata kanan OP tersebut = 6,1/9,14. Dasar
pembuatan optiti Snellen ialah jarak antara 2 titik yang masih harus dapat dibedakan,
merupakan fungsi dari sudut penglihatan minimal 1 menit dan jarak baca. Lihat
Ganong Review of Medical Physiology ed.20, Visual acuity Hal.162.
3. Suruh OP membaca huruf yang pembimbing praktikum tunjuk.
4. Catat apa yang terjadi, ulangi dengan mata kiri.
5. Ulangi dengan tanpa menggunakan penutup mata.

4
C. REFRAKSI
Jika visus OP di atas, tanpa lensa adalah 6/6, maka Op tidak mengalami miop (M). Jika visus
orang percobaan tanpa lensa = 6/6, maka mata itu tak mungkin miop (M), mata tersebut
mungkin emetrop (E) atau hipermetrop (H). Visus seseorang dapat lebih besar dari 6/6. Hal
ini menunjukkan ketajaman penglihatannya melebihi normal, dengan perkataan lain, sudut
penglihatan minimalnya lebih kecil dari 1 menit. Mata hipermetrop dapat mempunyai visus
6/6 karena mata H dapat mengadakan kompensasi dengan akomodasi. Untuk membedakan
mata OP yang mempunyai visus 6/6 tersebut emetrop atau hipermetrop, maka dilakukan
pemeriksaan lanjutan yaitu :
1. Pada OP yang sama, lakukan percobaan di atas dengan memasangkan lensa steris +
0.25D pada kacamata kanan (kiri ditutup). Bila sekarang visusnya menjadi lebih kecil,
berarti mata kanan orang percobaanemetrop. Bila visusnya ternyata tetap 6/6, bahkan
OP merasa melihat lebih jelas, hal ini berarti mata kanan orang percobaan
hipermetrop.
2. Jika kondisi mata kanan OP adalah emetrop (E), pemeriksaan dihentikan.
3. Jika kondisi mata kanan OP adalah hipermetrop (H), teruskan pemasangan lensalensa
dengan setiap kalimemberikan lensa positif yang 0.25D labih kuat hingga
mendapatkan lensa + yang maksimum dan memberikan visual maksimum. Nilai
lensa maksimum ini menunjukkan derajat hipermetrop OP dan dinyatakan dalam
dioptri (D). Catat derajat H untuk OP tersebut.
Jika visus OP di atas, tanpa lensa adalah lebih kecil dari 6/6, maka OP mengalami M.
1. Lakukan kondisi yang sama, namun lensa yang digunakan adalah – 0.25.
2. Pasang di depan mata kanannya lensa sferus negatif, mulai dari – 0.25D dengan
setiap kali memberikan lensa negatif yang 0.25D lebih kuat. Periksa lagi visusnya
setiap kali setelah perubahan kekuatan lensa. Lensa negatif yang terlemah yang
memberikan visus maksimal, merupakan ukuran bagi derajat miop yang dinyatakan
dalam dioptri
3. Catat derajat M orang percobaan dalam dioptri.
Jika visus mata kanan OP tanpa lensa lebih kecildari 6/6 kelainan refraksi yang mungkin
dijumpai adalah M atau hipermetrop berat.

Bila pada orang tua diperoleh visus tanpa lensa lebih kecil dari 6/6, maka kelainan refraksi
yang mungkin dijumpai pada orang tersebut adalah H dengan daya akomodasi yang
berkurang atau M. Dalam keadaan demikian pemeriksaan refraksi mata sebaiknya dimulai
5
dengan lensa sferis positif dan dilihat apakah visusnya bertambah baik. Bila visusnya
membesar, maka refraksi mata orang tua tersebut H. Bila visusnya makin kecil maka refraksi
mata orang tersebut M. Jika pemberian lensa sferis tetap belum mencapai nilai visus 6/6, OP
kemungkinan mengalami astigmatisma. Maka lensa yang digunakan adalah lensa silindris.
1. Pasang di depan mata kanannya lensa sferis sehingga visus OP tersebut maksimal.
2. OP yang M juga diminta untuk melihat gambar kipas. Bila warna hitam garis pada
semua meredian terlihat merata, berarti OP tidak astigmatisma. Hentikan
pemeriksaan.
3. ika OP adalah astigmatisma, tambahkan sekarang di depan lensa sferis tersebut
lensa silindris positif atau negatif yang sesuai dengan jenis lensa sferis di atas, dengan
sumbu lensa silindris tegak luruspada garis meridian merata.
4. Ulangi dengan pembacaan di optiti Snellen. Tentukan dan catat jenis serta kekuatan
lensa sferis dan silindris, yang memberikan visus maksimal serta arah sumbu lensa
silindris tersebut.
Nama alat lain untuk menentukan adanya astigmatisma adalah keratoskop placido.

D. PERCOBAAN REFLEKS PUPIL


1. Sorot mata kanan OP dengan lampu senter dan perhatikan perubahan diameter pupil
pada mata tersebut.
2. Ulangi percobaan yang sama pada mata kiri, perhatikan perubahan diameter pupil
pada mata kanan.
3. Catat apa yang terjadi.

E. PERCOBAAN REAKSI MELIHAT DEKAT


1. Suruh OP melihat jari pemeriksa yang ditempatkan pada jarak ± ½ m di depannya.
2. Sambil memperhatikan pupil OP, dekatkan jari itu sehingga kedua mata OP terlihat
berkonvergensi.
3. Catat apa yang terjadi.

6
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Hasil Ketajaman Penglihatan (visus)

OP 1 dengan,
Nama : Nabila Amelia Hartono
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : perempuan
setelah diuji ketajaman penglihatan, diperoleh data sebagai berikut :

OD normal OD (lensa +0.25 D) OS normal OS dengan pin hole

20/20 20/25 20/25 20/20

normal Normal kelainan Menjadi normal

OP 2 dengan,
Nama : Ratih Efriyanti
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : perempuan
setelah diuji ketajaman penglihatan, diperoleh data sebagai berikut :

OD tanpa OD OS tanpa OS dengan OD (lensa - OS (lensa


daya dengan pin daya pin hole 2.5 D) -2.5 D)
akomodasi hole akomodasi

20/60 20/40 20/60 20/30 20/20 20/20

Kelainan Visus naik kelainan Visus naik Menjadi Menjadi


normal normal

7
4.1.2 Hasil Refleks Pupil
OP 1 dengan, OP 2 dengan,
Nama : Salwa Fahiratunnisa Nama : Ratih Efriyanti
Umur : 19 tahun Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : perempuan Jenis kelamin : perempuan
setelah diuji reflex pupil, diperoleh data sebagai berikut :

Nama OP Refleks Langsung Refleks Tidak Langsung

Salwa + +

Ratih + +

4.1.3 Hasil Reaksi Melihat Dekat


OP dengan,
Nama : Firdanissa Risanti Azhari
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : perempuan
setelah diuji reaksi melihat dekat, diperoleh hasil bahwa mata OP mengalami
konvergensi saat jari pemeriksa didekatkan ke matanya.

4.2 Jawaban Pertanyaan Visus


1. Mengapa jarak baca harus 6 meter ?
Jawab :
Biasanya pada pemeriksaan ketajaman penglihatan ditentukan oleh suatu
kemampuan mata membaca huruf – huruf dengan berbagai ukuran pada jarak
baku penglihatan normal dimana pada keadaan ini mata dapat melihat huruf pada
jarak 6 meter karena pada jarak ini mata masih dapat melihat suatu objek dalam
keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi.

2. Apa artinya visus seseorang 20/20 atau 6/6 ?


Jawab :
Jika hasil visus seseorang adalah 20/20 berarti mata dapat melihat huruf pada
jarak 20 kaki yang memang seharusnya dapat dilihat pada jarak 20 kaki. Maka
sesorang tersebut memiliki mata normal karena masih bisa melihat tulisan pada
jarak 20 kaki atau 6 meter tanpa mata berakomodasi.

8
3. Apabila pada pemeriksaan visus OP hanya mampu membaca lancar tanpa
kesalahan sampai pada baris huruf yang di tandai 30 ft. berapa kah visus mata
kanan OP tersebut?
Jawab :
Bila OP hanya dapat membaca hingga huruf ke-30, visus mata kanan OP
tersebut adalah 20/30 (dalam feet) atau 6/9,14 (dalam meter). Dengan visus 20/30,
dapat disimpulkan bahwa mata kanan OP memiliki kelainan refraksi dan harus
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut menggunakan pinhole. Pemeriksaan lebih
lanjut untuk menentukan apakah OP menderita kelainan Miopi atau Hipermetrop.

4. Apakah dasar pembuatan Optiti Snellen (Snellen Chart)?


Jawab :

Snellen Chart merupakan alat yang digunakan untuk pemeriksaan mata


yang diciptakan oleh Herman Snellen, beliau adalah seorang dokter spesialis mata
atau Ophthalmologist, ia belajar Ilmu Kedokteran di Utrecht University. Pada
tahun 1862 Snellen menjadi pemeriksa utama, ia memperkenalkan karyanya
Optotype yang digunakan sebagai langkah dalam penyempurnaan untuk dapat
melakukan pemeriksaan terhadap ketajaman penglihatan yang kelak akan menjadi
standar Internasional.

Pada awalnya huruf atau objek dibuat dengan kotak 5×5 menjadi acuan dalam
penggambarannya. Pembuatan secara manual ini dijadikan sebagai standar sebelum
objek dicetak menggunakan mesin pencetak. Standar penglihatan telah diukur
sebagai kemampuan untuk dapat membaca secara sempurna seraya aturan 5×5
kotak terpenuhi atau mewakili sudut 5 menit arc dan dipisahkan oleh sudut 1 menit
arc.

Snellen Chart berbentuk 11 baris huruf dengan bentuk huruf capital. Barisan
pertama terdiri dari 1 buah huruf besar, biasanya huruf E, H, atau N. Baris
berikutnya diisi dengan jumlah huruf yang lebih banyak, hanya saja besaran
hurufnya menjadi lebih kecil. Snellen kemudian melakukan terobosan dengan
memasukan unsur tampilan dan perhitungan secara geometri. Unsur geometri yang
wajib terpenuhi adalah:

1. Tebal garis pada huruf sama dengan ketebalan spasi antara kedua huruf diatasnya.
2. Tinggi dan lebar huruf adalah 5 kali dari ketebalan garis tersebut.

Snellen hanya menggunakan huruf yang diajuka atas inisiatif Sloan yang berupa C,
D, Y, F, L, N, O, P, T, dan Z karena dilandasi oleh kesamaan dalam ketentuan
huruf-huruf tersebut mudah dibaca. Snellen Chart juga terdapat dalam dua versi
angka, yaitu angka metrik dan angka imperial. Snellen Chart metrik dinyatakan

9
dalam perbandingan 6 meter (6/6, 6/9, 6/12, sampai 6/60), sedangkan Snellen Chart
imperial dinyatakan dalam pembandingan 20 kaki (20/20 sampai 20/200). Dalam
pemeriksaan ketajaman penglihatan, angka yang perperan penting adalah angka
disebelah baris terbawah yang dapat dibaca oleh OP.

5. Dapatkah visus seseorang lebih besar dari 6/6?


Jawab :
Ya, visus seseorang dapat lebih besar dari 6/6. Hal ini menunjukkan ketajaman
penglihatan melebihi normal, dengan perkataan lain, sudut penglihatan
minimalnya lebih kecil dari 1 menit.

6. Mengapa mata hipermetropi dapat mempunyai visus 6/6?


Jawab :
karena mata hipermetropi dapat mengadakan kompensasi dengan akomodasi

7. Jika visus mata kanan OP tanpa lensa lebih kecil dari 6/6 (keatas) kelainan
refraksi apa yang mungkin dijumpai?
Jawab :
Kemungkinan OP mempunyai kelainan refraksi mata rabun jauh (miopi). Hal ini
merupakan kondisi penglihatan dengan tidak mampu melihat benda secara jelas
dalam jarak yang orang normal bisa lihat. Rabun jauh disebabkan karena bola
mata terlalu panjang atau memiliki kornea yang melengkung terlalu curam.
Sehingga cahaya memasuki setiap mata untuk fokus di depan retina, dan ini
mengakibatkan gambaran yang buram.

8. Sebutkan nama alat untuk menentukan adanya kelainan astigmatisma?


Jawab :
 Lensa silindris
 Keratoskop placido
 Kipas Lancaster – regan.

10
4.3 Pembahasan Refleks Pupil

Penyinaran terhadap salah satu mata pada orang normal akan menyebabkan
kedua pupil berkonstriksi. Reaksi pupil pada mata yang disinari secara langsung
disebut respon direk/langsung sedangkan reaksi pupil pada mata sebelahnya disebut
respon konsensual. Hal tersebut diatas terjadi karena adanya hemidekusatio pada jaras
pupilomotor di chiasma dan batang otak .
Penyinaran dengan sinar yang redup pada salah satu mata pada orang normal
akan menyebabkan kedua pupil berkontriksi. Sinar yang lebih terang akan
menyebabkan kontraksi yang lebih kuat. Bila setelah menyinari satu mata, sinar
secara cepat dipindahkan ke mata satunya, respon yang terjadi adalah kontriksi kedua
pupil diikuti redilatasi. Bila sinar dipindahkan ke sisi yang satu, reaksi yang sama juga
terjadi.
Mata yang terkena cahaya secara tiba-tiba akan mengecil secara cepat dan iris
mendekat secara cepat, sedangkan mata yang tidak terkena cahaya tiba-tiba, pupil
akan mengecil secara lambat dan iris mendekat secara lambat. Mengecilnya pupil
karena cahaya lebarnya pupil diatur oleh iris sesuai dengan intensitas cahaya yang
diterima oleh mata. Ditempat yang gelap dimana intensitas cahayanya kecil maka
pupil akan menbesar, agar cahaya dapat lebih banyak masuk kemata. Ditempat yang
sangat terang dimana intensitas cahayanya cukup tinggi atau besar maka pupil akan
mengecil, agar cahaya lebih sedikit masuk kemata.

4.4 Pembahasan Reaksi Melihat Dekat

Ketika seseorang melihat benda dari jarak dekat dengan refleks konvergensi-
akomodasi yaitu mata berkonvergensi, pupil menjadi kontruksi, maka memfokuskan
pada objek. Dibelakang masing-masing pupil terdapat lensa, yang memfokuskan
cahaya yang datang dari retina. Ketika kita mengarahkan penglihatan kita kepada
sesuatu yang bergerak dekat denga kita, ketegangan pada ligamen-ligamen yang
mempertahankan masing-masing lensa agar tetap ditempatnya disesuaikan oleh otot-
otot siliaria, dan berbentuk silinder sesuai bentuk alamiahnya. Hal ini meningkatkan
kemampuan lensa untuk merefraksi (membelokkan) cahaya untuk mendekatkan
objek-objek ke fokus yang tajam. Ketika kita memfokuskan penglihatan pada objek
yang tajam, lensa menjadi datar. Proses menyesuaikan konfigurasi lensa untuk
memfokuskan gambar pada retina ini disebut akomodasi. Sedangkan konvergensi
matasecara simultan, mata bergerak melihat objek.

11
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum ini dapat disimpulkan visus, reflex pupil dan reaksi melihat
dekat. Mata mempunyai reseptor khusus untuk mengenali perubahan sinar dan warna. Cara
kerja mata manusia pada dasarnya sama dengan cara kerja kamera, kecuali cara mengubah
fokus lensa. Ada berbagai macam kelainan pada mata seperti : presbiopi, hipermetropi,
miopi, astigmatisma, katarak dan sebagainya. Cara pemeriksaan visus menggunakan huruf
dari Optotype Snellen yaitu sebuah ukuran kuantitatif untuk mengidentifikasikan simbol-
simbol berwarna hitam dengan jarak yang telah di standarisasi serta ukuran symbol yang
bervariasi. Visus orang normal berada pada 20/20 atau 6/6. Dari 2 OP diperoleh nilai
visusnya yaitu Nabila OD 20/20 dan OS 20/20, Ratih OD 20/40 dengan pin hole dan OS
20/30 dengan pin hole. Nilai visus dengan menggunakan dua bola mata lebih baik dari pada
nilai visus dengan menggunakan satu bola mata ditutup. Refleks pupil bagian koroid yang
sedikit terbuka sebagai tempat masuknya cahaya dengan reaksi pupil yaitu mengecilnya pupil
karena adanya rangsangan jika diberi cahaya dengan menyenteri maka pupil akan mengecil
sedangkan ditempat gelap reaksi pupil akan membesar. Jika ketika disenteri pupil mengecil
maka mata tersebut normal sedangkan jika disenteri pupil tidak bereaksi maka mata tersebut
memiliki kelainan.

5.2 Saran

1. Diperlukan suatu penelitian lanjut pemeriksaan indera penglihatan pada berbagai


kelainan dan jenis lensa yang digunakan sebelum melakukan pemeriksaan indera
penglihatan dari penelitian ini.
2. Dalam penelitian ini, pemeriksaan indera penglihatan dilakukan oleh empat
mahasiswa atau empat OP yang memiliki kemampuan indera penglihatan berbeda
satu sama lain dan diharapkan kefokusannya agar pemeriksaan memiliki nilai yang
sangat akurat

12
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. BAB IV SISTEM INDERA. Diperoleh dari : https://lms.ipb.ac.id/ [Diakses pada 18


Juli 2019/Pukul 16;15 WIB]

Anonim. BAB IIx. Diperoleh dari : https://digilib.unimus.ac.id/ [diakses pada 19 Juli 2019/
Pukul 13:29 WIB]

Chamidah, Atien Nur. Ophtalmologi : Ilmu Mata. Diperoleh dari : https://staffnew.uny.ac.id/

[Diakses pada 19 Juli 2019/Pukul 14.10 WIB]

Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC

Sidharta, Ilyas. Pemeriksaan Pupil Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Anonim. BAB II Data dan Analisis Snellen Chart. Diperoleh dari :https://library.binus.ac.id/
[Diaksespada 19 Juli 2019/Pukul 16;25 WIB]

13
LAMPIRAN

GAMBAR KETERANGAN

OP dengan keadaan mata normal


(emetropi)

OP dengan mata memiliki kelainan


refraksi

OP dengan kondisi mata konvergensi

14
OP dengan uji Light pen secara tidak
langsung

OP dengan uji Light pen secara langsung

PERALATAN YANG DIPAKAI :


GAMBAR KETERANGAN

Seperangkat Lensa

Keratoskop Placido

15
Kipas Lancaster Regan

Snellen Chart atau Optotype Snellen

16

Anda mungkin juga menyukai