Anda di halaman 1dari 16

MODUL 16 PENGLIHATAN

SKENARIO 4

SGD 1

Disusun Oleh :

FAZILA
AZZAHRA
71210811082

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA
UTARA
2023
LEMBAR PENILAIAN MAKALAH
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Puji dan syukur kita ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah dari
pelaksanaan SGD (Small Group Discussion) kami. Makalah ini disusun
berdasarkan pengalaman dan pengamatan kami selama melakukan kegiatan
berdasarkan paradigma pembelajaran yang baru. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas kami dalam bidang studi kedokteran yang menggunakan
metode PBL (Problem Based Learning). Laporan ini diharapkan dapat sebagai
bahan acuan untuk mencapai penggunaan metode baru tersebut secara
berkelanjutan. Kami berusaha menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti oleh semua kalangan untuk mempermudah dalam penyampaian
informasi metode pembelajaran ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen tutorial SGD 1
Fakultas Kedokteran UISU yang telah membimbing kami selama proses
pembelajaran dan SGD pada Modul 16 Penglihatan. Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena, itu penulis menerima kritik
dan saran yang positif dan membangun dari para pembaca untuk memperbaiki
kekurangan dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat pada
kita semua.

Tutor pembimbing Medan, 15 November 2023

Fazila Azzahra
dr. Dian Indah Pratama
Sari Nasution, M.Ked
(Paru), Sp. P

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
SKENARIO 4.................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
2.1 Kelaianan Refraksi...................................................................................... 2
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko Myopia............................................................6
2.3 Gejala Klinis Myopia.................................................................................. 8
2.4 Pemeriksaan Myopia...................................................................................8
2.5 Penulisan Resep Kacamata..........................................................................9

BAB III PENUTUP....................................................................................... 10


3.1 Kesimpulan................................................................................................10
3.2 Saran..........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

ii
SKENARIO 4

MYOPIA

Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dibawa ibunya untuk Pemeriksaan


mata. Tidak dijumpai mata merah atau keluhan lainnya. Pasien sulit untuk
mengikuti pelajaran saat di sekolah Melihat papan tulis. Orang tua mempunyai
riwayat pemakaian kacamata. Pasien sering bermain gadget lebih dari 2 jam per
hari, dan menonton tv dari jarak dekat.
Dari hasil pemeriksaan didapati :

OD 6/60 OS 6/24
S-2.00 6/7.5 S-1.25 6/7.5
dikoreksi dikoreksi

S-2.25 6/6 S-1.50 6/6

S-2.50 6/6 S-1.75 6/7.5

S-2.75 6/7,5

Segmen anterior kedua mata dalam batas normal. Dokter kemudian


meresepkan kacamata yang sesuai dengan hasil pemeriksaan.

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya
bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media
penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya
pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum
merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas.
Pungtum Remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat
dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan
retina atau foveola bila mata istirahat. Pada emetropia pungtum remotum terletak
di depan mata sedang pada mata hipermetropiatitik semu di belakang mata.
Gangguan refraksi tidak terkoreksi adalah penyebab gangguan penglihatan
sedang hingga berat tertinggi di dunia dan kebutaan nomor tiga di dunia. Miopia
termasuk gangguan refraksi penting, karena meningkatkan risiko berbagai
patologi yang menyebabkan kebutaan, termasuk ablasio retina, glaukoma, dan
degenerasi makula terkait miopia (DMM). Miopia juga termasuk masalah
kesehatan berat karena prevalensi yang meningkat signifikan di seluruh dunia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Kelainan Refraksi
2. Etiologi dan Faktor Resiko Myopia
3. Gejala klinis Myopia
4. Pemeriksaan Myopia
5. Penulisan Resep Kacamata

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kelainan Refraksi


 Emetropia
Emetropia berasal dari kata Yunani emetros yang berarti ukuran normal atau
dalam keseimbangan wajar sedang arti opsis adalah penglihatan. Mata dengan
sifat emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar mata
dan berfungsi normal.
Pada mata ini daya bias mata adalah normal, dimana sinar jauh difokuskan
sempurna di daerah makula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar
tidak difokuskan pada makula lutea disebut ametropia.
Mata emetropia akan mempunya penglihatan normal atau 6/6 atau 100%. Bila
media penglihatan seperti kornea, tonsa, dan badan kac keruh maka sinar tidak
dapat diteruskan ke makula lutea. Pada keadaan media penglihatan keruh maka
penglihatan tidak akan 100% atau 6/6.
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang
peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda yang dekat. Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila
terdapat kelainan pembiasan sinar oleh korea (mendatar, mencembung) atau
adanya perubahan panjang (lebih panjang. Lebih pendek) bola mata maka sinar
normal tidak dapat terfokus pada makula Keadaan ini disebut sebagai emetropia
yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmat.
Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan peru- bahan
kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elasti sitas lensa
sehingga terjadi gangguan akomodasi Gangguan akomodasi dapat terlihat pada
usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia.
 Akomodasi
Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina,
demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi
benda dapat difokuskan pada retina atau makula lutea. Dengan berakomodasi,
2
maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi
adalah kemampuan lensa untuk mecembung yang terjadi akibat kontraksi otot
siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan
akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin
kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh
refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan
pada waktu konvergensi atau melihat dekat.
Dikenal beberapa teori akomodasi seperti:
- Teori akomodasi Hemholtz : Dimana zonula Zinn kendor akibat kontraksi otot
siliar sirkuler, mengkibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan diater
menjadi kecil.
- Teori akomodasi Thsemig : Dasamya adalah bahwa nukleus lensa tidak dapat
berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superfisial
atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn
sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial di depan nukleus akan
mencembung.
Mata akan berakomodasi bila bayangan benda difokuskan di belakang retina.
Bila sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan
refraksi hipermetropia maka mata tersebut akan berakomodasi terus menerus
walaupun letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan fungsi
akomodasi yang baik Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali
sehingga memberikan kesukaran pada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya
akomodasi kuat pada anak-anak dapat mencapai + 12.0-18.0 D. Akibat daripada
ini, maka pada anak-anak yang sedang dilakukan pemeriksaan kelainan
refraksinya untuk melihat jauh mungkin terjadi koreksi miopia yang lebih tinggi
akibat akomodasi sehingga mata tersebut memerlukan lensa negatif yang
berlebihan (koreksi lebih) Untuk pemeriksaan kelainan refraksi anak sebaiknya
diberikan sikloplegik yang melumpuhkan otot akomodasi sehingga pemeriksaan
kelainan refraksinya murni, dilakukan pada mata beristirahat. Biasanya diberikan
sikloplegik atau sulfas atropin tetes mata selama 3 hari. Sulfas atropin bersifat
parasimpatolitik, yang bekerja selain untuk melumpuhkan otot siliar juga
melumpuhkan otot sfingter pupil.
Dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi akibat

3
berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan
berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia.
 Presbiopia
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat :
- Kelemahan otot akomodasi
- Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa.
Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun,
akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan
sering terasa pedas.
Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat
yang berkekuatan tertentu, biasanya :
+1.0 D untuk usia 40 tahun
+1.5 D untuk usia 45 tahun
+2.0 D untuk usia 50 tahun
+2.5 D untuk usia 55 tahun
+3.0 D untuk usia 60 tahun
Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.0 dioptri adalah lensa positif
terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak
melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm. Karena benda yang
dibaca terletak pada titik api lensa +3.00 dioptri sehingga sinar yang keluar akan
sejajar.
Pemeriksaan adisi untuk membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan jarak
kerja pasien pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka-
angka di atas tidak merupakan angka yang tetap.
 Ametropia
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan komea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya Lensa memegang
peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda yang dekat.
Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan
panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat

4
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa
miopia, hipermetropia, atau astigmat.
Dalam bahasa Yunani ametros berarti tidak sebanding atau tidak seimbang,
sedang ops berarti mata. Sehingga yang dimaksud dengan ametropia adalah
keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Hal ini
akan terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau
kelainan bentuk bola mata.
Ametropia dalam keadaan tanpa akomodasi atau dalam keadaan istirahat
memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina.
Pada keadaan ini bayangan pada selaput jala tidak sempuma terbentuk. Dikenal
berbagai bentuk ametropia, seperti:
a. Ametropia aksial
Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang. Atau
lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang
retina. Pada miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata
lebih panjang dan pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak dibelakang
retina.
b. Ametropia refraktif
Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya
bias kuat maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya
bias kurang maka bayangan benda akan terletak dibelakang retina (hipermetropia
reaktif).
Gambar 2.1 Kausa ametropia

Ametropia dapat disebabkan kelengkungan korea atau lensa yang d normal


(ametropia kurvatur) atau indeks bias abnormal di dalam n (ametropia indeks).
Panjang bola mata normal.
Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan :
5
 Miopia
 Hipermetropia
 Astigmat
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko Myopia
Banyak penelitian telah membahas mengenai berbagai faktor risiko miopia,
namun masih banyak kontroversi. Dibutuhkan lebih banyak studi untuk dapat
memahami etiologi dan faktor risiko miopia.
 Genetik
Anak dengan orangtua miopia memiliki prevalensi miopia lebih tinggi.
Faktor genetik memiliki peran dalam bentuk dan pemanjangan bola mata.
Pola genetik yang diturunkan bervariasi : autosomal resesif, autosomal
dominan, dan sex linked, baik terkait sindrom maupun berdiri sendiri. Makin
banyaknya kasus miopia tanpa kluster keluarga menandakan genetik tidak
berdiri sendiri serta adanya pengaruh faktor lingkungan.
 Pekerjaan dengan jarak pandang dekat
Pekerjaan dengan jarak pandang dekat, kurang dari 25-30 cm, dalam
jangka waktu lama dikaitkan dengan tidak optimalnya akomodasi. Hal ini
akan menciptakan kondisi bayanga difokuskan di belakang retina (hyperopic
defocus), yang terbukti menyebabkan pemanjangan bola mata. Hubungan
kejadian miopia dengan pekerjaan dengan jarak pandang dekat <25 cm
cenderung lebih besar pada anak-anak.
 Aktivitas diluar ruangan
Aktivitas di luar ruangan dinilai sebagai faktor terkuat yang dapat
menunda mulainya miopia pada anak. Hal ini diduga terkait dengan beberapa
mekanisme berikut. Pertama, stimulus cahaya saat aktivitas luar ruangan
memicu keluarnya dopamin retina, yang menghambat proses pertumbuhan
dan perubahan bentuk sklera. Kedua, hipotesis bahwa stimulus cahaya
mengaktifkan kaskade sinyal retina ke sklera yang akan memengaruhi proses
perubahan sklera. Ketiga, memberi kesempatan melihat jarak jauh tanpa
akomodasi, menyeimbangkan hyperopic defocus berkepanjangan yang kerap
terjadi di dalam ruangan.
 Jenis kelamin
Kejadian miopia pada anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-

6
laki. Perempuan memiliki risiko 1,21 kali lebih tinggi untuk mengidap miopia
daripada laki-laki. Anak perempuan cenderung memiliki aktivitas luar
ruangan yang lebih singkat dan lebih lama bekerja dengan jarak pandang
dekat.
 Lama waktu tidur
Hubungan antara waktu tidur dan miopia belum sepenuhnya dipahami.
Anak yang tidur selama 9 jam atau lebih dalam sehari memiliki risiko lebih
rendah daripada yang tidur kurang dari 7 jam sehari. Terdapat dua hipotesis,
pertama yaitu tidur mengistirahatkan otot siliar dan menghambat progres
miopia. Kedua, tidur memberi kesempatan bagi sel batang mata untuk
terpajan suasana gelap (skotopik). Berbagai penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa penglihatan perifer yang didominas peran sel batang
memberikan input visual yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal refraksi
mata.
 Pemakaian perangkat dengan layar digital (digital screen time)
Pemakaian perangkat dengan layar digital, misalnya tablet, smartphone,
televisi, dan komputer, dalam jangka lama dapat menyebabkan serangkaian
gejala yang disebut digital eye strain (DES) atau ketegangan mata digital,
berupa mata lelah, mata kering, nyeri kepala, mata kabur, dan nyeri kepala
hingga leher. Namun, bukti hubungan antara pemakaian perangkat dengan
layar digital dan kejadian miopia masih kontradiktif. Sebuah studi
menyarankan batas pemakaian perangkat digital tidak lebih dari 2 jam per
hari pada anak dan remaja untuk mencegah perkembangan miopia.
Penggunaan tablet memiliki risiko miopia lebih rendah daripada smartphone,
karena tablet cenderung diposisikan lebih jauh dari mata pengguna sehingga
beban konvergensi mata lebih rendah. Ulasan sistematis lainnya memaparkan
tidak ada hubungan antara layar digital dan perkembangan miopia.
 Kepadatan penduduk, ukuran rumah, dan perkotaan
Hidup di lingkungan padat penduduk, perkotaan dan ukuran rumah sempit
memiliki risiko bola mata lebih panjang, atau miopia lebih tinggi. Hal ini
dikaitkan dengan area bermain luar ruangan yang terbatas, sehingga makin
banyak porsi waktu untuk pekerjaan dengan jarak pandang dekat.
 Status ekonomi

7
Terdapat data yang kontradiktif. Penelitian di India menunjukkan status
ekonomi tinggi dihubungkan dengan kejadian miopia yang lebih tinggi,
namun penelitian di Rotterdam, Belanda, menunjukkan miopia lebih tinggi
pada kelompok status ekonomi lebih rendah. Penelitian lain tidak menemukan
hubungan signifikan antara miopia dan status ekonomi. Status ekonomi
dihubungkan dengan motivasi belajar yang menyebabkan lebih banyaknya
pekerjaan dengan jarak pandang dekat.
2.3 Gejala Klinis Myopia
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat malahan melihat
terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh.
Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai
dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia mempunyai
kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk
mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).
Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu
dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia
konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap maka penderita akan terlihat juling ke
dalam atau esoptropia.
2.4 Pemeriksaan Myopia
 Tujuan :
Pemeriksaan dilakukan guna mengetahui derajat lensa negatif yang diperlukan untuk
memperbaiki tajam penglihatan sehingga tajam penglihatan menjadi normal atau
tercapai tajam penglihatan terbaik.
 Dasar :
- Mata miopia mempunyai daya lensa positif yang lebih sehingga sinar yang sejajar
atau datang dari tidak terhingga difokuskan di depan retina.
- Lensa negatif menggeser bayangan benda ke belakang sehingga dapat diatur tepat
jatuh pada retina.
 Alat :
- Bingkai lensa percobaan
- Sebuah set lensa coba
 Teknik :
1. Pasien duduk mengahadap kartu snellen

8
2. Pada jarak 6 meter
3. Pada mata dipasang bingkai percobaan
4. Satu mata ditutup.
5. Pasien diminta membaca kartu Snellen mulai huruf terkecil yang masih dibaca.
6. Lensa negatif terkecil dipasang pada tempatnya dan bila tajam penglihatan
menjadi lebih baik ditambah kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat dibaca
huruf pada baris terbawah.
7. Sampai terbaca baris 6/6.
8. Mata yang satunya dikerjakan dengan cara yang sama.
 Nilai :
1. Bila dengan S-1.50 tajam penglihatan 6/6, kemudian dengan S-1.75 penglihatan
6/6-2 sedang dengan S-2.00 penglihatan 6/7.5 maka pada keadaan ini derajat
miopia mata yang diperiksa adalah S-1.50 dan kaca mata dengan ukuran ini
diberikan pada pasien.
2. Pada pasien miopia selamanya diberikan lensa sferis minus terkecil yang
memberikan tajam penglihatan terbaik.
2.5 Penulisan Resep Kacamata

Keterangan :
1. OD = Oftalmika dekstra(mata kanan)
2. OS = Oftalmikasinistra(mata kiri)
3. S = lensaspheris
4. C = lensacylindris, dilengkapi dengan axisnya
5. Hasil koreksivisus jauh, ditulis di atas garis
6. Hasil koreksivisus dekat dijumlahkan terlebih dahulu dengan koreksi visus jauh,
dan totalnya ditulis di bawah garis
9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Miopia merupakan masalah kesehatan global dengan peningkatan drastis setiap tahun
di seluruh dunia; peningkatan paling tajam di Asia. Miopia tinggi meningkatkan risiko
berbagai patologi yang dapat menyebabkan kebutaan. Penemuan miopia pada usia lebih
dini dikaitkan dengan progresivitas miopia maligna yang lebih tinggi. Berbagai faktor
risiko telah banyak diteliti. Penyaringan dan penemuan kasus lebih awal dan
memeriksakan mata teratur sebaiknya lebih ketat pada kelompok anak risiko tinggi.
Dibutuhkan pencegahan terkait faktor risiko seperti regulasi pihak sekolah ataupun orang
tua untuk meningkatkan waktu luar ruangan dan membatasi waktu pekerjaan dengan jarak
pandang dekat serta edukasi terhadap penderita dan keluarga tentang konsekuensi serius
miopia.
3.2 Saran
Untuk masyarakat tetap menjaga pola hidup yang sehat dan harus mengetahui
pencegahan terhadap penyakit kelainan matan yang bisa menyebabkan kematian.

10
DAFTAR PUSTAKA

KIlyas S (2010). Buku Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia.
Ilyas S (2012). Buku Dasar-dasar Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Supit F, Winly(2021). Miopia : Epidemiologidan Faktor Resiko. Universitas
Gajah Mada. 48(12) Hal : 741-744.
Widuri A (2018). BUKU MODUL KETRAMPILAN MEDIK SEMESTER 5.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhmmadiyah
Yogyakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai