SKENARIO 4
SGD 1
Disusun Oleh :
FAZILA
AZZAHRA
71210811082
Assalamualaikum wr.wb
Puji dan syukur kita ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah dari
pelaksanaan SGD (Small Group Discussion) kami. Makalah ini disusun
berdasarkan pengalaman dan pengamatan kami selama melakukan kegiatan
berdasarkan paradigma pembelajaran yang baru. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas kami dalam bidang studi kedokteran yang menggunakan
metode PBL (Problem Based Learning). Laporan ini diharapkan dapat sebagai
bahan acuan untuk mencapai penggunaan metode baru tersebut secara
berkelanjutan. Kami berusaha menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti oleh semua kalangan untuk mempermudah dalam penyampaian
informasi metode pembelajaran ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen tutorial SGD 1
Fakultas Kedokteran UISU yang telah membimbing kami selama proses
pembelajaran dan SGD pada Modul 16 Penglihatan. Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena, itu penulis menerima kritik
dan saran yang positif dan membangun dari para pembaca untuk memperbaiki
kekurangan dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat pada
kita semua.
Fazila Azzahra
dr. Dian Indah Pratama
Sari Nasution, M.Ked
(Paru), Sp. P
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
SKENARIO 4.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
2.1 Kelaianan Refraksi...................................................................................... 2
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko Myopia............................................................6
2.3 Gejala Klinis Myopia.................................................................................. 8
2.4 Pemeriksaan Myopia...................................................................................8
2.5 Penulisan Resep Kacamata..........................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11
ii
SKENARIO 4
MYOPIA
OD 6/60 OS 6/24
S-2.00 6/7.5 S-1.25 6/7.5
dikoreksi dikoreksi
S-2.75 6/7,5
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya
bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media
penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya
pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum
merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas.
Pungtum Remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat
dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan
retina atau foveola bila mata istirahat. Pada emetropia pungtum remotum terletak
di depan mata sedang pada mata hipermetropiatitik semu di belakang mata.
Gangguan refraksi tidak terkoreksi adalah penyebab gangguan penglihatan
sedang hingga berat tertinggi di dunia dan kebutaan nomor tiga di dunia. Miopia
termasuk gangguan refraksi penting, karena meningkatkan risiko berbagai
patologi yang menyebabkan kebutaan, termasuk ablasio retina, glaukoma, dan
degenerasi makula terkait miopia (DMM). Miopia juga termasuk masalah
kesehatan berat karena prevalensi yang meningkat signifikan di seluruh dunia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Kelainan Refraksi
2. Etiologi dan Faktor Resiko Myopia
3. Gejala klinis Myopia
4. Pemeriksaan Myopia
5. Penulisan Resep Kacamata
1
BAB II
PEMBAHASAN
3
berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan
berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia.
Presbiopia
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat :
- Kelemahan otot akomodasi
- Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa.
Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun,
akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan
sering terasa pedas.
Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat
yang berkekuatan tertentu, biasanya :
+1.0 D untuk usia 40 tahun
+1.5 D untuk usia 45 tahun
+2.0 D untuk usia 50 tahun
+2.5 D untuk usia 55 tahun
+3.0 D untuk usia 60 tahun
Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.0 dioptri adalah lensa positif
terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak
melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm. Karena benda yang
dibaca terletak pada titik api lensa +3.00 dioptri sehingga sinar yang keluar akan
sejajar.
Pemeriksaan adisi untuk membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan jarak
kerja pasien pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka-
angka di atas tidak merupakan angka yang tetap.
Ametropia
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan komea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya Lensa memegang
peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda yang dekat.
Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan
panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat
4
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa
miopia, hipermetropia, atau astigmat.
Dalam bahasa Yunani ametros berarti tidak sebanding atau tidak seimbang,
sedang ops berarti mata. Sehingga yang dimaksud dengan ametropia adalah
keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Hal ini
akan terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau
kelainan bentuk bola mata.
Ametropia dalam keadaan tanpa akomodasi atau dalam keadaan istirahat
memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina.
Pada keadaan ini bayangan pada selaput jala tidak sempuma terbentuk. Dikenal
berbagai bentuk ametropia, seperti:
a. Ametropia aksial
Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang. Atau
lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang
retina. Pada miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata
lebih panjang dan pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak dibelakang
retina.
b. Ametropia refraktif
Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya
bias kuat maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya
bias kurang maka bayangan benda akan terletak dibelakang retina (hipermetropia
reaktif).
Gambar 2.1 Kausa ametropia
6
laki. Perempuan memiliki risiko 1,21 kali lebih tinggi untuk mengidap miopia
daripada laki-laki. Anak perempuan cenderung memiliki aktivitas luar
ruangan yang lebih singkat dan lebih lama bekerja dengan jarak pandang
dekat.
Lama waktu tidur
Hubungan antara waktu tidur dan miopia belum sepenuhnya dipahami.
Anak yang tidur selama 9 jam atau lebih dalam sehari memiliki risiko lebih
rendah daripada yang tidur kurang dari 7 jam sehari. Terdapat dua hipotesis,
pertama yaitu tidur mengistirahatkan otot siliar dan menghambat progres
miopia. Kedua, tidur memberi kesempatan bagi sel batang mata untuk
terpajan suasana gelap (skotopik). Berbagai penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa penglihatan perifer yang didominas peran sel batang
memberikan input visual yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal refraksi
mata.
Pemakaian perangkat dengan layar digital (digital screen time)
Pemakaian perangkat dengan layar digital, misalnya tablet, smartphone,
televisi, dan komputer, dalam jangka lama dapat menyebabkan serangkaian
gejala yang disebut digital eye strain (DES) atau ketegangan mata digital,
berupa mata lelah, mata kering, nyeri kepala, mata kabur, dan nyeri kepala
hingga leher. Namun, bukti hubungan antara pemakaian perangkat dengan
layar digital dan kejadian miopia masih kontradiktif. Sebuah studi
menyarankan batas pemakaian perangkat digital tidak lebih dari 2 jam per
hari pada anak dan remaja untuk mencegah perkembangan miopia.
Penggunaan tablet memiliki risiko miopia lebih rendah daripada smartphone,
karena tablet cenderung diposisikan lebih jauh dari mata pengguna sehingga
beban konvergensi mata lebih rendah. Ulasan sistematis lainnya memaparkan
tidak ada hubungan antara layar digital dan perkembangan miopia.
Kepadatan penduduk, ukuran rumah, dan perkotaan
Hidup di lingkungan padat penduduk, perkotaan dan ukuran rumah sempit
memiliki risiko bola mata lebih panjang, atau miopia lebih tinggi. Hal ini
dikaitkan dengan area bermain luar ruangan yang terbatas, sehingga makin
banyak porsi waktu untuk pekerjaan dengan jarak pandang dekat.
Status ekonomi
7
Terdapat data yang kontradiktif. Penelitian di India menunjukkan status
ekonomi tinggi dihubungkan dengan kejadian miopia yang lebih tinggi,
namun penelitian di Rotterdam, Belanda, menunjukkan miopia lebih tinggi
pada kelompok status ekonomi lebih rendah. Penelitian lain tidak menemukan
hubungan signifikan antara miopia dan status ekonomi. Status ekonomi
dihubungkan dengan motivasi belajar yang menyebabkan lebih banyaknya
pekerjaan dengan jarak pandang dekat.
2.3 Gejala Klinis Myopia
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat malahan melihat
terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh.
Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai
dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia mempunyai
kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk
mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).
Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu
dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia
konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap maka penderita akan terlihat juling ke
dalam atau esoptropia.
2.4 Pemeriksaan Myopia
Tujuan :
Pemeriksaan dilakukan guna mengetahui derajat lensa negatif yang diperlukan untuk
memperbaiki tajam penglihatan sehingga tajam penglihatan menjadi normal atau
tercapai tajam penglihatan terbaik.
Dasar :
- Mata miopia mempunyai daya lensa positif yang lebih sehingga sinar yang sejajar
atau datang dari tidak terhingga difokuskan di depan retina.
- Lensa negatif menggeser bayangan benda ke belakang sehingga dapat diatur tepat
jatuh pada retina.
Alat :
- Bingkai lensa percobaan
- Sebuah set lensa coba
Teknik :
1. Pasien duduk mengahadap kartu snellen
8
2. Pada jarak 6 meter
3. Pada mata dipasang bingkai percobaan
4. Satu mata ditutup.
5. Pasien diminta membaca kartu Snellen mulai huruf terkecil yang masih dibaca.
6. Lensa negatif terkecil dipasang pada tempatnya dan bila tajam penglihatan
menjadi lebih baik ditambah kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat dibaca
huruf pada baris terbawah.
7. Sampai terbaca baris 6/6.
8. Mata yang satunya dikerjakan dengan cara yang sama.
Nilai :
1. Bila dengan S-1.50 tajam penglihatan 6/6, kemudian dengan S-1.75 penglihatan
6/6-2 sedang dengan S-2.00 penglihatan 6/7.5 maka pada keadaan ini derajat
miopia mata yang diperiksa adalah S-1.50 dan kaca mata dengan ukuran ini
diberikan pada pasien.
2. Pada pasien miopia selamanya diberikan lensa sferis minus terkecil yang
memberikan tajam penglihatan terbaik.
2.5 Penulisan Resep Kacamata
Keterangan :
1. OD = Oftalmika dekstra(mata kanan)
2. OS = Oftalmikasinistra(mata kiri)
3. S = lensaspheris
4. C = lensacylindris, dilengkapi dengan axisnya
5. Hasil koreksivisus jauh, ditulis di atas garis
6. Hasil koreksivisus dekat dijumlahkan terlebih dahulu dengan koreksi visus jauh,
dan totalnya ditulis di bawah garis
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Miopia merupakan masalah kesehatan global dengan peningkatan drastis setiap tahun
di seluruh dunia; peningkatan paling tajam di Asia. Miopia tinggi meningkatkan risiko
berbagai patologi yang dapat menyebabkan kebutaan. Penemuan miopia pada usia lebih
dini dikaitkan dengan progresivitas miopia maligna yang lebih tinggi. Berbagai faktor
risiko telah banyak diteliti. Penyaringan dan penemuan kasus lebih awal dan
memeriksakan mata teratur sebaiknya lebih ketat pada kelompok anak risiko tinggi.
Dibutuhkan pencegahan terkait faktor risiko seperti regulasi pihak sekolah ataupun orang
tua untuk meningkatkan waktu luar ruangan dan membatasi waktu pekerjaan dengan jarak
pandang dekat serta edukasi terhadap penderita dan keluarga tentang konsekuensi serius
miopia.
3.2 Saran
Untuk masyarakat tetap menjaga pola hidup yang sehat dan harus mengetahui
pencegahan terhadap penyakit kelainan matan yang bisa menyebabkan kematian.
10
DAFTAR PUSTAKA
11