Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH GLOBALISASI

TERHADAP UMAT ISLAM


Posted by Dwi Santoso

Arus globalisasi berdampak besar pada perubahan sendi-sendi kehidupan. Tidak


sedikit nilai-nilai yang berasal dari Barat menjadi panutan umat Islam, bahkan sebagian besar
masyarakat dunia terinkorporasi oleh nilai-nilai itu. Persoalan globalisasi seolah-olah
berhadapan langsung dengan Islam. Kita justru dituntut untuk membenahi ilmu pengetahuan
agar dapat memenangkan kompetisi derasnya arus informasi dan teknologi.
Derasnya globalisasi mendapat resistensi dari sebagian umat umat Islam dan
cenderung berhadapan atau berlawanan. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan nilai-nilai
baru yang muncul dari Barat terutama abad 16-17 dan abad 20-21. Filsafat-filsafat baru yang
muncul dari Barat, akhirnya harus berhadapan dengan ajaran Islam. Kemudian menjadi term
yang berhadapan dengan Islam sebagai sebuah ajaran agama. Karena munculnya sistem-
sistem berpikir dan ide-ide itu di Barat, sehingga nilai-nilai Barat ini dianggap mempunyai
unsur-unsur ajaran agama dan diperhadapkan dengan Islam yang memang sudah menjadi
ajaran agama. Sebetulnya bukan hanya Islam yang berlawanan dengan Barat, akan tetapi
agama Timur lainnya seperti Budhaisme dan Hinduisme.
Mengapa perlawanan itu lebih tampak dari kaum Muslim? Itu disebabkan kita sebagai
orang Islam sering merasa bahwa yang betul-betul dihantam adalah ajaran Islam, maka Islam
yang seolah-olah muncul melawan Barat. Pasca perang dingin antara komunis dan kapitalis
muncul kekuatan baru dari Arab juga agama Islam yang dianggap sangat kuat. Gerakan Islam
itu diperkirakan bisa melawan Barat sehingga dianggap berhadap-hadapan dan muncul
kalimat “jihad”.
Apakah tepat menggunakan kalimat jihad untuk melawan Barat, khususnya dalam
pengertian perang bersenjata? Jihad sebagai perang dimaknai secara sepihak. Memang makna
jihad bermacam-macam dan asal-usulnya adalah kerja keras, yakni dari kata Jahada, jahidu
yang berarti bekerja keras, bersungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang optimal,
output yang bagus untuk kesejahteraan manusia.
Seseorang yang bekerja untuk dirinya kemudian bermanfaat untuk dirinya itulah
jihad. Orang yang bekerja untuk dirinya dan bermanfaat bagi keluarganya itu juga jihad.
Orang yang bekerja dan memberi manfaat komunitasnya, umatnya, bangsanya, juga jihad.
Mencari ilmu pengetahuan seperti yang Anda lakukan (mencari informasi) juga jihad. dan
yang dianggap kafir ini semua yang tidak islami, terutama yang dianggap agresif. Misalnya
Barat yang agresif, Amerika yang agresif, Inggris yang agresif, sehingga itu dianggap sebagai
musuh Islam yang harus dilawan dan kalau dilawan adalah jihad.
Mengapa kekeliruan seperti itu bisa terjadi? Ini kesalahan kita juga yang selama ini
tidak belajar sungguh-sungguh sehingga kalah dalam kompetisi pencarian ilmu pengetahuan
atau pencarian kebaikan (fastabiqul khairot). Padahal, dalam al-Quran Tuhan telah
memerintah agar kita berlomba-lomba (berkompetisi/bermusabaqah) untuk mendapatkan
kebaikan dan ilmu pengetahuan.
Kita sudah 600 tahun kalah dan tertinggal. Yang muncul sekarang adalah Barat
sebagai pelopor ilmu pengetahuan dan sukses dalam kompetisi (jihad) ini. Kita melawan
mereka kesulitan karena tidak punya sains, tidak punya teknologi dan akhirnya kita memilih
bunuh diri. Jadi, andalan kita hanya bom bunuh diri. Padahal kita tidak boleh membunuh
orang. Karena dalam ayat disebutkan bahwa membunuh satu orang sama halnya membunuh
seluruh manusia.
Apa yang harus dilakukan umat Islam agar bisa bangkit? Intinya ilmu pengetahuan
dan kerja keras. Bekerja keras adalah jihad. Kita harus bangkit lagi untuk memenangkan
kompetisi di depan Tuhan dan malaikat-malaikat-Nya serta kita akan mendapatkan pahala)
baik di dunia maupun di akhirat. Kalau tidak, Barat akan sejahtera dan bahagia dari segi
ekonomi. Ingat, dengan kekayaan ekonomi bisa membuat orang damai. Tapi kalau kita fakir
bisa menimbulkan konflik dan perseteruan. Karena orang-orang yang fakir memiliki sifat
seperti orang-orang kafir yang menolak keberadaan, eksistensi, dan aturan Tuhan.
Sangat menarik tanggapan Saudara Marluwi, Masih Urgenkah Dialog Agama?, (Duta
Masyarakat 23/09/2002) atas tulisan saya, Ikhtiar Dialog Agama-Agama, (Duta Masyarakat
18/09/2002) di harian ini. Ia kembali mempertanyakan tentang urgensitas dialog agama-
agama dalam konteks ke-Indonesia-an. Ia menawarkan perlu adanya ketulusan bersama untuk
saling menghargai, menghormati, mengayomi dari masing-masing penganut agama. Dialog
agama tidak semata-mata dialog, akan tetapi perlu mengaplikasikan sebaik mungkin “pesan-
pesan” moral dari dialog yang dilakukan tersebut. Dialog tidak akan punya arti apa-apa jika
ternyata tidak pernah membumi dan tercermin pada konteks kehidupan nyata kita sehari-hari.
Pertanyaan-pertanyaan serta penyataan-pernyataan kritis dari Marluwi paling tidak
memperkaya khazanah intelektual bagi perkembangan dialog agama-agama dan sekaligus
memberi konstribusi yang sangat besar bagi upaya adanya keharmonisan di antara agama.
Konflik agama tetap saja mewarnai keberagamaan bangsa Indonesia. Seseorang tidak merasa
enjoy bersama dengan eksistensi agama di luar dirinya.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan.
Pertama, bagaimana mungkin suatu (pemeluk) agama bisa saling menghargai,
menghormati agama lain, jika tidak pernah bertemu dalam satu titik temu. Adalah sangat
tidak mungkin seseorang menghargai agama lain, tanpa ada keinginan to know dan to
understand yang kemudian to live together dengan agama lain yang mengharuskan melalui
sarana dialog. Hans Kung pernah mengatakan dalam salah satu karyanya bahwa No peace
among the nations without peace among religions, No peace among religions without
dialogue between the religions, No dialogue between the religions without investigation the
foundation of the religions.
Kedua, kenapa dialog antar agama tidak bisa menjadi solusi atas konflik keagamaan?
Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang menghambatnya. Di antaranya, pertama, masih
adanya ajaran-ajaran keagamaan yang eksklusif dan menolak adanya dialog agama. Kedua,
belum siapnya semua penganut agama untuk berdialog dengan agama lain.
Ketiga, karena kurangnya sosialisasi dialog agama-agama. Diskursus dialog agama
hanya menyentuh pada kalangan elite agama.
Keempat, seringnya agama ditunggangi kepentingan non-agama, seperti ekonomi,
sosial, budaya, politik dan lain semacamnya. Agama hanya dijadikan alat backing bagi
kepentingan non-agama.Atas semua hal itu, adanya sebuah solusi dan baru untuk
membendung semakin meluasnya konflik agama adalah niscaya. Dalam hal ini yang harus
dilakukan adalah globalisasi agama. Artinya, seseorang harus keluar agama formalnya
melebur dengan “agama langit”. Istilah “agama langit” di sini yaitu untuk menggambarkan
sebuah agama yang mengandung nilai-nilai subtansi dari setiap agama. Selama ini,
merebaknya konflik agama dipicu oleh adanya agama formalitas, dan tidak pernah
menyentuh wilayah esoterik (istilahnya Huston Smith), esensial (istilahnya Bhagavan Das)
masing-masing agama.
Kesatuan transendental agama-agama yang sama (the transcendent unity of religion)
inilah yang menjadi inspirator bagi “agama langit “. Nilai-nilai universal dari agama seperti
keadilan, persamaan, toleransi, inilah yang harus melandasi bagi munculnya globalisasi
agama. Kegelisahan Saudara Marluwi sekaligus meminimalisir akan terjadinya peluang-
peluang konflik agama.Nilai-nilai subtansial yang universal ini tidak hanya dimonopoli oleh
satu agama, akan tetapi semua agama mempunyai nilai-nilai yang tidak berbeda antara yang
satu dengan yang lain, maka menjadi kewajiban atas setiap pemeluk agama (Kristen, Islam,
Katolik, Hindu, Budha dan agama lainnya) tidak hanya untuk memahami, akan tetapi
bagaimana nilai-nilai itu benar-benar terinternalisasi bagi segenap umat beragama yang pada
gilirannya akan mengamalkannya. Globalisasi agama ini tidak lagi disibukkan oleh
persoalan-persoalan yang bersifat eksetorik, tetapi melompat dari yang eksoterik, formal
menuju yang esoterik, esensial. Globalisasi agama sebenarnya bukan agama yang baru. Akan
tetapi, agama yang sudah ada, namun hadir dalam sebuah format dan ajaran-ajaran yang sama
sekali berbeda. Islam tidak harus dibubarkan, Kristen tidak harus dihancurkan, agama-agama
dunia harus tetap eksis dan berlangsung dengan baik. Yang dikhawatirkan kelompok yang
mendukung globalisasi agama adalah adanya benturan-benturan formalitas agama. Padahal,
menurut F. Schuon semua agama itu sama pada alam transendental. Menghadirkan nilai-nilai
universal dari seluruh agama secara bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari merupakan
anteseden dari munculnya globalisasi agama. Bagaimana nilai-nilai moral yang diteriakkan
oleh agama tidak hanya dinikmati oleh sebagian kalangan agamawan. Agama bukan untuk
segelintir orang. Transformasi kebenaran, kesejahteraan kepada seluruh masyarakat dunia
adalah niscaya, sehingga nilai-nilai agama itulah yang harus dipeluk oleh bangsa dunia. Hasil
dari pertemuan nilai-nilai masing-masing agama ini tidak milik satu agama, akan tetapi
seluruh agama, sehingga melaksanakannya adalah sebuah kewajiban penganut agama. Antar
agama yang satu dengan agama yang lain binner dan seimbang. Pada kerangka ini, tidak ada
permusuhan antar agama. Sebab, memusuhi agama lain berarti memusuhi agamanya sendiri.
Memperdebatkan aspek formalitas dari agama hanya akan menemukan “kekosongan”
substansial. Sebab, ia hanya memahami kulit dari sebuah agama dan tidak pernah meraba
aspek spirit dan value dari agamanya. Tidak jarang, seseorang harus merelakan nyawanya
melayang hanya karena perbedaan-perbedaan yang sifatnya fisikal.
Seseorang yang berbeda agama dianggap sebuah kesesatan, kafir dibunuh. Saya
yakin, bahwa Tuhan seluruh agama tidak akan menghendaki adanya pertumpahan darah dan
peperangan di bumi ini. Tuhan begitu dekat dengan kita, aqrabu min hablil warid.

Globalisasi, Di mana Agama?


Globalisasi awalnya merupakan mimpi banyak orang. Globalisasi dianggap jalan
menuju kesejahteraan dunia, melahirkan orang kaya, menghapuskan kemiskinan dan
membawa manusia mencapai kejayaannya. Akan tetapi prediksi itu salah. Globalisasi justru
melahirkan 1,6 milyar orang miskin, membuat jutaan orang meninggal. Globalisasi sama
sekali tidak berurusan dengan kalangan yang tidak punya modal, kalangan miskin.
Globalisasi adalah arena kontestasi dagang dunia. Setiap orang diperbolehkan untuk bergulat
dalam pasar. Kebebasan pasar ternyata berwajah angkuh. Mengeruk laba yang sebesar-
besarnya adalah tujuan banyak orang di pasar. Walhasil, mereka tidak memperdulikan
kelompok yang kalah di pasar dan hasilnya eksplotasi besar-besaran.Arena kasar seperti ini
akan sangat menguntungkan mereka yang bermodal besar dan mematikan mereka yang tidak
memiliki modal. Dus globalisasi memperkaya orang yang sudah kaya dan membunuh orang
miskin.
Dalam kencah globalisasi, semua hal direduksi menjadi persoalan materi. Uanglah
segalanya. Untuk mendapatkanya, raup duit sebanyak banyaknya. Globalisasi pada akhirnya
meniscayakan perang kekuatan yang bertujuan untuk menguasai, menjadi raja diraja.
Ditengah laju globalisasi yang seperti ini, masih relevankah berbicara soal agama?
Setidaknya itu menjadi pertanyaan besar. “Agama bisa menjadi amunisi bagi setiap orang
untuk peduli terhadap mereka yang miskin, ajaran kasih dalam setiap agama seharusnya
membangkitkan orang untuk berbagi.” Demikian kata Dr. Rizal Shiddiq dalam seminar Pro-
Kontra Globalisasi yang diselenggarakan BEMJ Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di
UIN Jakarta.
Dalam Islam misalnya perintah zakat merupakan bukti kepedulian Islam kepada
mereka yang kalah di pasar. Bahwa agama lahir dengan membawa tanggung jawab guna
menciptakan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian. Ajaran kasih dalam setiap agama tidak
membenarkan langkah-langkah eksploitatif dalam mewujudkan tujuan apapun. Dalam hal ini
agama bisa membuat globalisasi menjadi lebih manusiawi. Perlu dilakukan langkah kongkret
terutama dari negara. Seperti menyudahi korupsi, membuat kebijakan yang lebih memihak
rakyat miskin, dan menciptakan pasar yang berkeadilan. [ufi]
Respons Agama terhadap Globalisasi
Menjelang diberlakukan Pasar Bebas di Asia Tenggara (ASEAN Free Trade
Area/AFTA) 2003, banyak kalangan khawatir Indonesia tak akan mampu bersaing (Kompas,
24/12/2002). Tak peduli kita siap atau belum, era perdagangan bebas telah dimulai.
Masalahnya adalah situasi Indonesia sendiri belum beranjak dari keadaan saat krisis melanda
Asia Tenggara empat tahun silam. Di pihak lain, pemberlakuan AFTA membuka keran
gelombang globalisasi dengan berbagai dampak yang ditimbulkan. Sebab, kendati istilah
“globalisasi” awalnya muncul dalam arena keuangan, perdagangan, dan ekonomi; namun
dengan cepat ia meluas melampaui batasan cakupannya. Kini globalisasi dipandang sebagai
sistem atau kecenderungan worldwide yang meliputi keuangan, pertukaran pasar
internasional, komunikasi, politik, dan ideologi. Globalisasi bukan sekadar istilah baru soal
hegemoni Barat, kendati tak dapat dipungkiri Barat memiliki posisi istimewa. Peter Beyer,
misalnya Perkembangan komunikasi dan transportasi menyebabkan proses globalisasi
berlangsung intensif, ekstensif, dan cepat. Masalah jarak ruang dan waktu tidak lagi menjadi
penting. Dunia seakan menjadi kian sempit dan menyatu, atau seperti digambarkan David
Harley, dunia menjadi global village. Berbagai perkembangan baru masuk ke lingkungan-
lingkungan yang semula eksklusif dan tertutup.
Muncul kekhawatiran Menyadari bahwa globalisasi dengan segala dampaknya pasti
menyentuh sendi-sendi agama dan kehidupan beragama, maka dapat dimengerti jika umat
beragama merasa perlu merespons fenomena globalisasi yang melanda kehidupannya.
Dampak sampingan globalisasi komunikasi, perdagangan, politik, dan mobilitas
internasional, masyarakat kian sadar akan keragaman dan urgensi melakukan refleksi kritis
atas berbagai asumsi yang selama ini taken for granted. Proses globalisasi mengakselerasi
kesadaran umat akan pluralitas agama. Perubahan persepsi diyakini akan mempengaruhi
berbagai organisasi keagamaan. Sejauh ini, isu globalisasi lebih banyak memunculkan
kekhawatiran. Pertama, globalisasi dipandang sebagai upaya untuk memperluas model
Amerika (the American model) untuk mencakup seluruh dunia. Karena itu, banyak kalangan
mengkritik globalisasi sebagai Amerikanisasi, atau ekspansi universal gagasan dan nilai-nilai
Amerika.
Dengan kata lain, globalisasi tak lebih dari bentuk lain kolonialisme atau pasca-
kolonialisme. Pertanyaan yang selalu menghantui adalah, bagaimana pengaruhnya terhadap
negara-negara yang bercita-cita untuk membangun negara bangsa (nation state) dan mencapai
perkembangan ekonominya, seperti negara-negara Muslim? Kedua, dalam perkembangannya
globalisasi akan menghapus batas negara. Beberapa pakar menduga, 15 jaringan global akan
menguasai pasar dunia, dan pemilik jaringan itu akan menjadi tuan dunia. Itu berarti, aktivitas
perekonomian dunia hanya akan ada di tangan sekelompok orang. Sebagai ilustrasi, lima
negara (AS, Jepang, Perancis, Jerman, dan Inggris) merupakan tempat 172 dari 200
perusahaan terbesar dunia. Mereka menguasai ekonomi dunia dan akan memperkuat
kontrolnya. Dengan pemberlakuan ekonomi tanpa batas, perusahaan-perusahaan raksasa itu
akan menguasai seluruh kekayaan dunia. Di antara konsekuensi sosial dari konsentrasi
kekayaan dunia yang eksesif itu adalah makin luasnya jurang pemisah antarbangsa dan
antarsegmen suatu masyarakat. Pada gilirannya hal itu akan akan meningkatkan angka
kemiskinan. Sebab, prinsip ekonomi global adalah “memproduksi sebanyak mungkin barang
dengan sedikit pekerja” (producing more goods with fewer workers). Persoalan yang menjadi
perhatian para ahli adalah: Jika pertumbuhan ekonomi pada masa lalu dapat menciptakan
lapangan kerja, perkembangan ekonomi dalam konteks globalisasi dan liberalisme yang
ekstrem akan mengantarkan pada berkurangnya lapangan kerja. Sejumlah sektor di bidang
elektronik, informasi, dan komunikasi hanya membutuhkan sedikit pekerja. Yang lebih
mengkhawatirkan, dengan motto more profits, fewer workers globalisasi berdampak
bertambahnya pengangguran dan akhirnya bisa berakibat krisis sosial.

Respons agama
Itulah beberapa hal yang harus direnungkan dan diantisipasi dengan kebijakan yang
tepat. Dari sudut pandang keagamaan, kehadiran globalisasi tidak hanya bersifat negatif.
Sebagai keniscayan sejarah, globalisasi tidak bisa ditolak, namun perlu disikapi secara arif
dan bijaksana sebagai tantangan bagi umat beragama. Pengaruh globalisasi terhadap agama,
setidaknya dapat dilihat dari munculnya dua respons agama yang tampaknya berlawanan.
Agama-agama bisa saja merambah dunia global atau malah menentangnya. Yang pertama,
jalan universalisme: pandangan kultural yang menegaskan, kita semua ada dalam
kebersamaan dan kita lebih baik belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama.
Hal ini dapat melibatkan ragam kultural yang akhirnya mengantar umat beragama pada
kesatuan kemanusiaan sebagai satu keluarga. Sebenarnya, mereka merupakan ideologi baru
yang pura-pura berupaya mempertahankan “hal-hal baik di masa lalu”, padahal di balik itu
adalah ketidakmampuan membendung modernisasi dan globalisasi. Terbukti, kelompok-
kelompok fundamentalis ini mampu mengembangkan kekuatan sosial baru-seperti terorisme
bersenjata mutakhir-sebagai cara merevitalisasi sejarah yang mereka dambakan (imaging
history). Dengan tepat Beyer menggambarkan kecendrungan fundamentalis agama dengan,
“a fundamentalist’s respons that allows change under the insistence that nothing fundamental
is changing” (1994, 10). Kendati mereka menentang gerakan HAM universal, sebagai
respons juga mengembangkan kecenderungan sosial seperti didasarkan pada HAM versi
sendiri. Kalangan umat beragama perlu lebih mendalami semangat etis dan paradigma
perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Dengan semangat itu kita bisa menjawab tantangan
globalisasi, seperti hilangnya batas-batas atau sekat-sekat etnik, golongan, bahkan negara.
Kita harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung
membatasi kebajikan sebagai milik “kita” saja, dan “mereka” tak punya. Pendekatan
eksklusif tidak akan mampu mentransendenkan batas-batas keagamaan seseorang. Beberapa
aspek globalisasi, seperti dikemukakan di atas, mungkin dapat membuat umat beragama lebih
mudah menyampaikan pesan-pesan agama secara lebih luas dan universal. Dengan jangkauan
media yang worldwide kita memiliki kesempatan membentangkan esensi agama sehingga
dapat mewarnai etika perdagangan dunia. Kini masyarakat dunia telah menjadi lebih multi-
religius, tidak lagi eksklusif. Realitas sosial ini dengan sendirinya mendorong kita untuk
menyingkirkan sikap eksklusif dan mengembangkan orientasi universal terhadap agama
sehingga dapat lebih mengakomodasi “yang lain” (the other). Satu pelajaran penting yang
dapat dipetik dari arus globalisasi adalah, seluruh masyarakat lambat laun akan menyadari
perihal kemanusiaan.

Jadi menurut saya dari arus globalisasi dan beragama dan karena itu pula mendapat
resistensi umat islam padahal mestinya tidak demikian barat yang tadinya hanya sebatas
nama mata angin seperti halnya ada timur, selatan dan utara. Memang makna jihad
bermacam-macam dan asal-usulnya adalah selama ini makna jihad yang umum bahwa jihad
selalu identik dengan perang, qital dan meneteskan darah konotasinya selalu berhadapan
dengan musuh islam yang kafir. Saya lihat kesalahpahaman kita sendiri kemudian
berkembang di barat, pemaknaan kita yang salah itu ditangkap oleh barat sejak munculnya
gerakan perlawanan kaum muslim semacam ini. Jadi akibatnya kita ketinggalan dalam ilmu
pengetahuan sehingga pelarian kita kalau diserang selalu harus mempertahankan diri dan ini
adalah jihad. Orang yang fakir cenderung suka mencuri karena kemiskinannya, menjadi
bodoh karena kemiskinanya dan tidak sejahtera karena kemiskinannya.

Sumber artikel :

http://blog.umy.ac.id/santosodwi99/2013/04/02/pengaruh-globalisasi-terhadap-umat-islam/

Anda mungkin juga menyukai