Respons agama
Itulah beberapa hal yang harus direnungkan dan diantisipasi dengan kebijakan yang
tepat. Dari sudut pandang keagamaan, kehadiran globalisasi tidak hanya bersifat negatif.
Sebagai keniscayan sejarah, globalisasi tidak bisa ditolak, namun perlu disikapi secara arif
dan bijaksana sebagai tantangan bagi umat beragama. Pengaruh globalisasi terhadap agama,
setidaknya dapat dilihat dari munculnya dua respons agama yang tampaknya berlawanan.
Agama-agama bisa saja merambah dunia global atau malah menentangnya. Yang pertama,
jalan universalisme: pandangan kultural yang menegaskan, kita semua ada dalam
kebersamaan dan kita lebih baik belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama.
Hal ini dapat melibatkan ragam kultural yang akhirnya mengantar umat beragama pada
kesatuan kemanusiaan sebagai satu keluarga. Sebenarnya, mereka merupakan ideologi baru
yang pura-pura berupaya mempertahankan “hal-hal baik di masa lalu”, padahal di balik itu
adalah ketidakmampuan membendung modernisasi dan globalisasi. Terbukti, kelompok-
kelompok fundamentalis ini mampu mengembangkan kekuatan sosial baru-seperti terorisme
bersenjata mutakhir-sebagai cara merevitalisasi sejarah yang mereka dambakan (imaging
history). Dengan tepat Beyer menggambarkan kecendrungan fundamentalis agama dengan,
“a fundamentalist’s respons that allows change under the insistence that nothing fundamental
is changing” (1994, 10). Kendati mereka menentang gerakan HAM universal, sebagai
respons juga mengembangkan kecenderungan sosial seperti didasarkan pada HAM versi
sendiri. Kalangan umat beragama perlu lebih mendalami semangat etis dan paradigma
perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Dengan semangat itu kita bisa menjawab tantangan
globalisasi, seperti hilangnya batas-batas atau sekat-sekat etnik, golongan, bahkan negara.
Kita harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung
membatasi kebajikan sebagai milik “kita” saja, dan “mereka” tak punya. Pendekatan
eksklusif tidak akan mampu mentransendenkan batas-batas keagamaan seseorang. Beberapa
aspek globalisasi, seperti dikemukakan di atas, mungkin dapat membuat umat beragama lebih
mudah menyampaikan pesan-pesan agama secara lebih luas dan universal. Dengan jangkauan
media yang worldwide kita memiliki kesempatan membentangkan esensi agama sehingga
dapat mewarnai etika perdagangan dunia. Kini masyarakat dunia telah menjadi lebih multi-
religius, tidak lagi eksklusif. Realitas sosial ini dengan sendirinya mendorong kita untuk
menyingkirkan sikap eksklusif dan mengembangkan orientasi universal terhadap agama
sehingga dapat lebih mengakomodasi “yang lain” (the other). Satu pelajaran penting yang
dapat dipetik dari arus globalisasi adalah, seluruh masyarakat lambat laun akan menyadari
perihal kemanusiaan.
Jadi menurut saya dari arus globalisasi dan beragama dan karena itu pula mendapat
resistensi umat islam padahal mestinya tidak demikian barat yang tadinya hanya sebatas
nama mata angin seperti halnya ada timur, selatan dan utara. Memang makna jihad
bermacam-macam dan asal-usulnya adalah selama ini makna jihad yang umum bahwa jihad
selalu identik dengan perang, qital dan meneteskan darah konotasinya selalu berhadapan
dengan musuh islam yang kafir. Saya lihat kesalahpahaman kita sendiri kemudian
berkembang di barat, pemaknaan kita yang salah itu ditangkap oleh barat sejak munculnya
gerakan perlawanan kaum muslim semacam ini. Jadi akibatnya kita ketinggalan dalam ilmu
pengetahuan sehingga pelarian kita kalau diserang selalu harus mempertahankan diri dan ini
adalah jihad. Orang yang fakir cenderung suka mencuri karena kemiskinannya, menjadi
bodoh karena kemiskinanya dan tidak sejahtera karena kemiskinannya.
Sumber artikel :
http://blog.umy.ac.id/santosodwi99/2013/04/02/pengaruh-globalisasi-terhadap-umat-islam/