2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2. Anamnesis
Diambil secara : Alloanamnesis (rekam medis)
Tanggal : 25 September 2018
Keluhan Utama
Demam
Keluhan Tambahan
Batuk, sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh demam sejak 4 hari SMRS. Demam dikatakan terus menerus dan
tidak diukur saat dirumah. Keluhan disertai dengan batuk sejak 4 hari SMRS dan
sesak napas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak napas dirasakan memberat
terutama saat beraktivitas dan tiduran. Mual dan mutah tidak ada, nyeri dada tidak
ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
4
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat mitral stenosis, sudah di USG jantung oleh dr. Rachmat
SpJP dah hasilnya kesan Rheumatic Heart Disease pada tahun 2014. Riwayat
hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit paru sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Pasien rutin berobat ke dokter jantung dan mengkonsumsi obat spironolakton
1x25mg, Lasix 1x40mg, digoxin 1x0,25mg. Untuk demam pasien telah
mengkonsumsi obat Paracetamol 3x500mg.
2.3. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
GCS : E4 M6 V5, Compos mentis
Tekanan Darah : 130/ 90 mmHg
Nadi : 120 x/menit
Laju Napas : 25 x/menit
Suhu : 38,1 oC
Status Generalisata
Kepala
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor 3/3mm,
refleks cahaya +/+
Leher : Trakea di tengah, KGB tidak teraba
Thoraks
Cor : Bunyi jantung I dan II regular, murmur diastolic (+) katup
mitral , murmur sistolik (+) katup tricuspid, murmur
diastolic (+) katup aorta, gallop (-)
Pulmo : gerakan napas simetris, bunyi napas vesikuler +/+,
ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Tampak cembung, distensi, bising usus (+), shifting dullness (+),
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, cyanosis (-)
5
2.4. Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Laboratorium (25 September 2018)
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,1 12,0 – 14,0 g/dl
Hematokrit 34,3 37,0 – 46,0 %
Leukosit 17,65 5,0 – 10,00 103/µL
Trombosit 330 150 – 400 103/µL
KIMIA DARAH
Kreatinin 0,6 0,5 – 1,5 mg/dl
Ureum 46 15 – 45 mg/ dl
Natrium 126 135 – 155 mmol/L
Kalium 4,9 3,6 – 5,0 mmol/L
6
2.4.3 Pemeriksaan Radiologi (25 September 2018)
Foto Torak AP :
Trakhea di tengah, terbuka
Jantung : membesar, CTR = 16/25; dilatasi, elongasi aorta
Paru : hilus kranialisasi, menebal, bronkhovaskular tampak kasar
transudasi alveoli peribronkial bilateral
Diafragma tidak mendatar, sinus kostofrenik baik. Fisura minor
tervisualisasi
Kesan : kardiomegali, dilatasi, elongasi aorta, edema pulmo.
7
2.5. Resume
Perempuan, usia 39 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 4 hari SMRS
Keluhan disertai batuk dan sesak yang memberat 1 hari SMRS. Pada pemeriksaan
fisik kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/ 90 mmHg, nadi 120 x/menit,
laju Napas 25 x/menit dan suhu 38,1 oC. Pemeriksaan jantung ditemukan murmur
diastolic (+) katup mitral, murmur sistolik (+) katup tricuspid, murmur diastolic
(+) katup aorta dan pemeriksaan abdomen ditemukan distensi dan asites (+).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis (leukosit 17, 65 ribu/
mm3), peningkatan ureum (ureum 46 mg/ dl) dan hiponatremia ( Na 126 mmol/L).
Pada EKG terdapat sinus takikardi, HR 128x/ menit, RAD, RVH. Hasil rontgen
thorax kardiomegali, dilatasi, elongasi aorta dan edema pulmo.
2.6. Diagnosis Kerja
• Observasi Febris
• Hiponatremia
• Rheumatic Heart Disease Mitral Stenosis
• Congestive Heart Failure
2.7. Penatalaksanaan di IGD
Non Farmakologis
• O2 4 lpm via nasal kanul
• Pemasangan DC Catheter
• IVFD RL 20tpm
Farmakologis
• Paracetamol drip 1000 mg IV
Konsul dr. Siska SpJP, Advis :
• IVFD RL 20tpm
• Furosemide drip 5mg/ jam
• Spironolakton 1x25mg
• Digoxin 1x1 tab
• Pasang DC catheter
• Konsul IPD untuk demam
• Rawat Ruang Biasa
8
Konsul dr. Arnadi, SpPD, Advis :
• Levofloxacin drip 1x500mg IV
• Paracetamol 3x500mg PO
• Ambroxol 3x1cth
2.8. Perkembangan Pasien dan Tatalaksana
Tanggal/Jam Perkembangan pasien
25/9/2018 13.30 Visit dr. Siska, SpJP :
S : Demam 4 hari SMRS, sesak, DOE (+), orthopnea
(+)
O : GCS E4 M6 V5, TD 130/ 80, RR 28, N 120,
S 41°C
A : obd febris
Hiponatremia
RHD MS
CHF
Advis :
IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm
Proris suppositori
Furosemid drip tunda
Furosemid 2x1 amp IV
Spironolakton 1x25mg
Digoxin 1x1
Pindah ICU dengan indikasi impending ALO
14.15 S: Penurunan kesadaran, sesak, demam tidak turun.
O: Kes coma ; GCS 3, E1V1M1
TD: 43/13 mmHg (dengan monitor)
HR: 108 kali/menit regular, teraba lemah
RR: 24 kali/menit, gasping, SpO2 88% (simple
mask 6lpm)
Suhu : 41°C
A: Obs penurunan kesadaran
Respiratory failure
9
Syok Kardiogenik dd syok sepsis
RHD MS
P:
Suction jalan napas
Pemasangan Oropharyngeal airway (OPA)/
Guedel
Ventilasi manual dengan Ambu Bag
10
P: Epinefrin 1 ampul
Kompresi dada + ventilasi manual
15.00 O: HR: nadi tidak teraba, monitor asistol
RR: apneu
P: Epinefrin 1 ampul
Kompresi dada + ventilasi manual
15.10 S: tidak ada respon
O: HR: nadi tidak teraba, monitor asystole
RR: apneu
Mata: Pupil midriasis maksimal, refleks cahaya -/-
Paru: gerakan napas (-), bunyi napas (-)
Jantung: bunyi jantung (-)
A: henti napas dan henti jantung
P: pasien dinyatakan meninggal di hadapan keluarga.
COD : henti napas dan henti jantung pada pasien
dengan RHD MS dan sepsis
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT JANTUNG REMATIK
3.1 Definisi
Demam rematik akut atau Acute Rheumatic Fever (ARF) merupakan
reaksi autoimun terhadap infeksi bakteri streptococcus Grup A. Penyakit jantung
rematik atau Rheumatic Heart Disease (RHD) ditandai dengan kerusakan
permanen pada katup jantung yang terjadi akibat episode berulang demam rematik
akut. 1,2
3.2 Epidemiologi
Pada tahun 2015, RHD mempengaruhi 30 juta orang secara global dan
menyebabkan 305 000 kematian, dimana 60% dari angka kematian ini terjadi
pada usia kurang dari 70 tahun. Sebanyak 80% kasus RHD terjadi di negara
berkembang dengan tingkat sosioekonomi rendah, padat penduduk serta akses
pelayanan kesehatan yang sulit didapat. 3,4
Demam rematik akut banyak ditemui pada anak umur 5 – 14 tahun dan
sangat jarang pada dewasa usia >30 tahun. Episode berulang demam rematik akut
sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda. Sedangkan kasus RHD
ditemukan paling banyak pada usia 25 dan 40 tahun. Lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 3 : 1.2,5
3.3 Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam
reumatik. Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem
yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai
faktor predisposisi.5
Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi
endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan
perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis dan paling
sering mengenai katup mitral, katup aorta atau keduanya.5
12
3.4 Patogenesis
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever
dalam patogenesisnya dipengaruhi oleh tiga faktor :2,5
1. Faktor organisme : ARF biasa didahului dengan infeksi saluran nafas yang
disebabkan oleh bakteri streptococcus grup A.
2. Faktor host : Sekitar 3–6% dari populasi memiliki potensi terinfeksi
rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen
human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam
perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen
HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun
respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada
reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan
humoral.rentan terhadap ARF. Hal ini diduga berkaitan dengan alel HLA
kelas II yang bersifat diturunkan.
3. Faktor sistem imun : Ketika host yang rentan terinfeksi oleh streptococcus
grup A, maka akan timbul reaksi autoimun yang menyebabkan kerusakan
pada jaringan tubuh.
13
memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme
dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.2
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari
reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan
lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M
yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti
protein M.2,5
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari
60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.
Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni
kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang
sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup,
pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi
valvular stenosis.2,5,6
14
Pada kondisi normal, area lubang katup mitral seluas 4 – 5 cm2, sehingga
pada saat diastole terdapat tekanan yang sama antara atrium kiri dan ventrikel kiri.
Namun pada mitral stenosis, katup mitral menyempit secara progresif dan
menyebabkan tekanan pada atrium kiri melebihi tekanan ventrikel kiri. Bila
derajat stenosis bertambah buruk maka akan menyebabkan kongesti pulmonal
yang akhirnya meningkatkan tekanan pada ventrikel kiri dan pulmonal. Pada
stenosis mitral derajat berat, terjadi vasokonstriksi sekunder pada daerah pulmonal
dan menyebabkan hipertensi pulmonal.2,5
15
Terkadang dapat terjadi kelainan katup mitral dan katup aorta. Kerusakan
katup pada awalnya menyebabkan regurgitasi. Akibat dari episode
berulang ARF maka terjadi penebalan leaflet, pembentukan jaringan
parut, kalsifikasi, dan stenosis katup. Perikarditis menyebabkan friction
rub atau efusi minimal pada pemeriksaan dan menyebabkan timbulnya
nyeri dada pleuritik. Manifestasi khas dari karditis adalah regurgitasi
mitral, kadang-kadang dapat disertai dengan regurgitasi aorta. Peradangan
miokard dapat mempengaruhi jalur konduksi listrik, yang menyebabkan
perpanjangan interval P-R AV block derajat pertama) dan bunyi jantung
pertama yang terdengar lebih halus.
16
3.6 Diagnosis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones dan kriteria
WHO. Kriteria Jones dibagi menjadi manifestasi mayor dan minor.2,5
Tabel 1 Kriteria Jones untuk Demam Rematik Akut
Manifestasi Mayor Manifestasi Minor
Karditis Klinis :
Poliartritis Migrans - poliarthralgia
- Demam
Chorea Sydenham Laboratorium :
Eritema Marginatum - Peningkatan LED atau CRP
Nodul subkutan - Pemanjangan interval PR pada
EKG
Ditambah
Bukti infeksi Streptococcud grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen Streptococcus grup A
hasil positif
- Peningkatan titer serologi antibody Streptococcus grup A
Tabel 2 Kriteria WHO 2002 – 2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan
RHD
Kategori Diagnosis Kriteria
Rheumatic Fever serangan pertama - Dua mayor, atau
Rheumatic Fever serangan ulang tanpa - Satu mayor dan dua minor
RHD - Ditambah bukti infeksi
SBHGA sebelumnya
Rheumatic Fever serangan ulang - Dua minor
dengan RHD - Ditambah bukti infeksi
SBHGA sebelumnya
Chorea Rheumatic Tidak diperlukan kriteria mayor
Karditis rematik insidious lainnya atau bukti infeksi SBHGA
RHD Tidak diperlukan kriteria lainnya
untuk mendiagnosis sebagai RHD
17
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :2
a. Pemeriksaan Laboratorium
• Reaktan Fase Akut : Merupakan uji yang menggambarkan radang
jantung ringan. Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan
leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak
spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-reactive protein (CRP)
dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah
merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada
pasien dengan congestive failure atau meningkat pada anemia.
CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya jaringan
radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal
digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.
• Rapid Test Antigen Streptococcus : Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A secara tepat
dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.
• Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus : Kadar titer antibodi
antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis rheumatic
fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti
DNase B. Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak
terjadi peningkatan akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B.
Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada minggu 1, dan
mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik >
333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan
anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai puncak
minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada
anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.
• Kultur tenggorok : Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk
mengetahui ada tidaknya streptococcus beta hemolitikus grup A.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
18
antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala rheumatic fever
atau rheumatic heart disease mulai muncul.
b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada
karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya
pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas
atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18
detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan
karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan.
Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat
memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi
terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan
regurgitasi mitral ke postero-lateral. World Heart Federartion membuat
kriteria diagnosis untuk RHD.
19
Tabel 3 Kriteria Diagnosis World Heart Federation RHD Berdasarkan
Hasil Ekokardiografi
3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu,
ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.
3.7.1 Terapi Antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang
sangat penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen
20
Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti
dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap
infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang berulang.4,8
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek
bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi
regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien
meminum obat), harga, dan juga efek samping.9
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan
amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta
hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap
penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi
dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus group
A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin G
benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi
dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat
menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever
atau gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan
dengan faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk,
status sosio-ekonomi rendah).2
21
Tabel 3 Obat-obatan Profilaksis Primer untu Rheumatic Fever
Agen Dosis
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal 1 g) oral satu kali
sehari selama 10 hari
BB ≤27kg : 600 000 unit IM sekali
Penicillin G Benzathine
BB >27kg : 1 200 000 unit IM sekali
BB ≤27kg : diberikan 250mg, oral 2 – 3x
sehari selama 10 hari
Penicillin V Potassium
BB >27kg : 500mg oral, 2 – 3x sehari
selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin
Narrow Spectrum cephalosporin Bervariasi
(cephalexin, cefadroxil)
12 mg/ kgBB/ hari (maks. 500mg) oral 1x
Azithromycin
sehari selama 5 hari
15 mg/ kgBB/ hari, dibagi menjadi 2 dosis
Clarithromycin
(maks. 250mg 2x sehari) selama 10 hari
20 mg/ kgBB/ hari oral (maks. 1.8 g/ hari),
Clindamycin
dibagi menjadi 3 dosis untuk 10 hari
Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau
munculnya rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah
metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang
parah.2
22
Tabel 4 Obat – obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever
Agen Dosis
Penicillin G benzathine BB ≤ 27kg : 600 000 unit IM setiap
4 minggu sekali
BB >27 kg : 1 200 000 unit IM
setiap 4 minggu sekali
Penicillin V potassium 250mg oral, 2x sehari
Sulfadiazine BB ≤ 27kg : 0,5g oral 1x sehari
BB >27 kg : 1g oral 1x sehari
Makrolide atau antibiotic azalide Bervariasi
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)
23
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai
diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125
mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat
diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi
terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.10
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan
dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali
sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada
kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30
mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap
terapi.4,10
3.7.3 Terapi Gagal Jantung
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap
tirah baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa
pasien dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa
digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah
dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan
atau digoxin.4,10
Tabel 6 Obat – obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever
Obat Dosis
30 mcg/kgBB dosis total digitalisasi,
Digoxin
7,5 mcg/kgBB/hari dosis pemeliharaan
Diuretik :
Furosemide 0,5 – 2 mg/kg/hari
Metolazone 0,2 – 0,4 mg/kg/hari
Vasodilator :
Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan,
Captopril dinaikkan 1,5 – 3 mg/kg/hari dibagi
dalam 3 dosis
0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan
Sodium nitroprusside bila gagal jantung sulit dikontrol.
Monitor kada sianida
24
Inotropic
Dobutamin 2 – 20 mcg/kg/menit per infus
Dopamine 2 – 20 mcg/kg/menit per infus
25
Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan
tanpa serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan
rheumatic fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%. Pada
pasien asimptomatik, 10 year survival rate mencapai >80% dan menurun hingga
<15% pada pasien dengan mitral stenosis. Kongesti pulmonal menyebabkan
kematian pada 60% pasien dengan mitral stenosis. Pada 20 – 30% kasus terjadi
emboli sistemik, 10% emboli pulmonal dan infeksi pada 1 – 5%.2,5
26
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Diagnosis kerja pada pasien dibuat berdasarkan hasil anamnesis dan temuan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. RHD ditegakkan berdasarkan
anamnesis dimana pasien telah memiliki riwayat RHD sejak tahun 2014. Temuan
pemeriksaan fisik berupa murmur diastolic (+) katup mitral, murmur sistolik (+)
katup tricuspid, murmur diastolic (+) katup aorta menunjukkan adanya mitral
stenosis, regurgitasi aorta dan regurgitasi katup tricuspid. Hal ini sesuai dengan
penyakit RHD yang melibatkan kelainan pada katup jantung terutama katup
mitral dan pada perkembangannya akan menyebabkan mitral stenosis.
Pada anamnesa terdapat keluhan sesak, dyspnea on exertion dan orthopnea Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya asites, hasil EKG menunjukkan RVH dan
terdapat kardiomegali dan edem pulmo pada rontgen thorax. Berdasarkan temuan
ini pasien didiagnosis dengan gagal jantung. Pada perkembangannya, mitral
stenosis menyebabkan kongesti pulmonal dan meningkatkan tekanan pada
ventrikel kanan dan pulmonal. Ventrikel kanan lama kelamaan mengalami
hipertrofi sesuai dengan temuan EKG pada pasien. Pada stenosis mitral derajat
berat, terjadi vasokonstriksi sekunder pada daerah pulmonal dan menyebabkan
hipertensi pulmonal yang akhirnya menyebabkan asites.
27
DAFTAR PUSTAKA
28